• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 ERGONOMI 2.1.1 Definisi Ergonomi

Dalam International Ergonomics Association dijelaskan bahwa ergonomi berasal dari kata ergon yang berarti kerja dan nomos yang berarti hukum atau aturan, dimana kedua kata tersebut berasal dari bahasa Yunani dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen, dan desain atau perancangan. Selanjutnya untuk lebih memahami pengertian mengenai ergonomi, maka penulis akan menjabarkan berbagai macam definisi ergonomi dari beberapa literatur, antara lain:

• Seorang pakar keselamatan dan kesehatan kerja Indonesia Suma’mur (1989) menyatakan bahwa ergonomi adalah ilmu yang penerapannya berusaha untuk menyerasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang atau yang setinggi-tingginya melalui pemanfaatan faktor manusia seoptimal-optimalnya, hal ini meliputi penyerasiaan pekerjaan terhadap tenaga kerja secara timbal balik untuk efisiensi dan kenyamanan kerja. • Ergonomi adalah aplikasi informasi ilmiah mengenai manusia terhadap

desain objek, sistem, lingkungan untuk penggunaan manusia (Pheasant, 1991).

• Ergonomi adalah cara memandang dunia, berpikir tentang manusia dan bagaimana interaksinya dengan seluruh aspek dalam lingkungan, peralatan, dan situasi kerjanya (Oborne, 1995)

• Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dan objek yang mereka gunakan serta lingkungan kerjanya (Pulat, 1997).

(2)

• Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dan mesin serta faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi tersebut (Bridger, 2003)

• Ergonomi adalah ilmu, seni, dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik (Tarwaka, 2004)

• Ergonomi adalah suatu istilah yang berlaku untuk dasar studi dan desain hubungan antara manusia dan mesin untuk mencegah penyakit dan cidera serta meningkatkan prestasi atau performa kerja (ACGIH, 2007).

• ILO mendefinisikan ergonomi sebagai penerapan ilmu biologi manusia sejalan dengan ilmu rekayasa untuk mencapai penyesuaian yang saling menguntungkan antara pekerja dengan pekerjaannya secara optimal dengan tujuan agar bermanfaat demi efisiensi dan kesejahteraan

Berdasarkan berbagai definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu ergonomi merupakan suatu bidang keilmuan tentang cara menyerasikan antara manusia dengan pekerjaan dan lingkungan pekerjaannya agar terciptanya kenyamanan, keselamatan, dan pencegahan terhadap timbulnya cidera ataupun gangguan kesehatan dengan tujuan meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas hidup manusia yang lebih baik.

2.1.2 Ruang Lingkup dan Tujuan Ergonomi

Ergonomi merupakan suatu bidang ilmu yang multidisiplin. Ilmu ini terdiri dari perpaduan ilmu psikologi, anatomi dan kedokteran, fisiologi dan psikologi faal, serta fisika dan teknik. Ilmu faal dan anatomi memberikan gambaran mengenai struktur tubuh, kemampuan terhadap nilai beban yang bisa diangkat dan ketahanan terhadap tekanan fisik, serta batasan fisik dan dimensi tubuh, dan lain-lain. Ilmu fisiologi faal memberikan gambaran mengenai fungsi sistem otak dan saraf berkaitan dengan tingkah laku, sedangkan ilmu psikologi mempelajari

(3)

konsep dasar mengenai bagaimana mengambil sikap, mengingat, memahami, belajar dan mengendalikan proses motorik. Sedangkan ilmu fisika dan teknik memberikan gambaran mengenai desain dan lingkungan kerja (Oborne,1995).

Fokus ergonomi ialah pada biomekanik, kinesiologi, fisiologi kerja, dan antropometri. Biomekanik adalah mekanisme sistem biologi, khususnya pada tubuh manusia. Pendekatan biomekanik pada desain tempat kerja yang utama mempertimbangkan kemampuan pekerja, tuntutan tugas, dan peralatan yang terintegrasi. Kinesiologi merupakan ilmu yang mempelajari pergerakan manusia dalam fungsi anatomi. Prinsip kinesiologi harus digunakan pada desain tempat kerja untuk mencegah pergerakan yang tidak sesuai. Fisiologi kerja menggambarkan reaksi fisiologi pekerja terhadap tuntutan pekerjaannya dan memeliharanya pada batasan yang aman. Antropometri berfokus pada dimensi tempat kerja, peralatan, dan material. Data antropometri terdiri dari dimensi tubuh, jangkauan pergerakan lengan/tangan dan kaki, dan kemampuan kekuatan otot (Pulat, 1992).

Peranan ergonomi dalam meningkatkan faktor keselamatan dan kesehatan kerja, antara lain: desain suatu sistem kerja untuk mengurangi rasa nyeri dan ngilu pada sistem kerangka dan otot manusia, desain stasiun kerja untuk alat peraga visual. Hal tersebut untuk mengurangi ketidaknyamanan visual dan postur kerja, desain suatu perkakas kerja untuk mengurangi kelelahan kerja, desain suatu peletakan instrumen dan sistem pengendalian agar didapat optimasi dalam proses transfer informasi dengan dihasilkannya suatu respon yang cepat dengan meminimalkan risiko kesalahan, serta agar didapatkan optimasi, efisiensi kerja, dan hilangnya risiko kesehatan akibat metode kerja yang kurang tepat (Nurmianto, 2004). Ergonomi berusaha untuk menjamin bahwa pekerjaan dan setiap tugas-tugas dari pekerjaan tersebut didesain agar sesuai dengan kemampuan atau kapasitas dari pekerjanya (ACGIH, 2007).

Secara umum tujuan dari penerapan ilmu ergonomi adalah:

1. meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cidera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja

(4)

2. meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial, mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif

3. menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek, yaitu aspek teknis, ekonomis, antropologis, dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi (Tarwaka, 2004).

Berdasarkan penjabaran di atas dari berbagai sumber, maka dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup dari ergonomi berfokus pada perancangan tugas, peralatan, area kerja, dan sistem kerja yang disesuaikan dengan kapasitas pekerja (mempertimbangkan keterbatasan fisik pekerja) yang bertujuan untuk menciptakan efisiensi serta kenyamanan dalam bekerja dan mencegah dari kecelakaan ataupun penyakit akibat kerja.

2.1.3 Prinsip Ergonomi

Ergonomi berfokus kepada desain dari suatu sistem dimana manusia bekerja. Semua sistem kerja tersebut terdiri atas komponen manusia, komponen mesin, dan lingkungan yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Fungsi dasar dari ergonomi adalah memenuhi kebutuhan manusia akan desain kerja yang memberikan keselamatan dan efisiensi kerja bagi manusia yang bekerja di dalamnya. Terdapat enam kategori interaksi antara manusia, mesin dan lingkungan, dan interaksi tersebut, yaitu: Human>Machine,

Human>Environment, Machine>Human, Machine>Environment, Environment>Human, Environment>Machine (Bridger, 2003). Interaksi dasar dalam sistem kerja tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

(5)

Tabel 2.1 Interaksi Dasar dan Evaluasinya dalam Sistem Kerja

Interaksi Evaluasi Manusia > Mesin : Tindakan pengendalian dasar

yang dilakukan manusia dalam menggunakan mesin. Aplikasinya berupa penggunaan kekuatan yang besar, penanganan material, perawatan, dan lain sebagainya.

Anatomi : postur tubuh, pergerakan, besaran kekuatan, durasi dan frekuensi pergerakan, kelelahan otot.

Fisiologi : work rate (konsumsi oksokan dan detak jantung), kebugaran, dan kelelahan fisiologi

Psikososial : Persyaratan kemampuan, beban mental, proses informasi yang pararel/berkelanjutan.

Manusia > Lingkungan : Efek dari manusia terhadap lingkungan. Manusia mengeluarkan karbondioksida, kebisingan, panas, dan lain sebagainya.

Fisik: Pengukuran obyektif dari lingkungan kerja. Implikasinya berupa pemenuhan standar yang berlaku

Mesin > Manusia : Umpan balik dan display informasi. Mesin dapat memberikan efek tekanan terhadap manusia berupa getaran, percepatan, dan lain sebagainya. Permukaan mesin yang panas atau dingin dapat mengancam kesehatan manusia.

Anatomi: Desain dari kendali dan alat Fisik: Pengukuran obyektif dari getaran, reaksi kekuatan dari tenaga mesin, kebisingan dan temperature permukaan lingkungan kerja.

Fisiologi: Aplikasi dari prinsip pengelompokan desain dari faceplates, panel dan display grafik

Mesin > Lingkungan: Mesin dapat mengubah lingkungan kerja dengan mengeluarkan kebisingan, panas, dan buangan gas

Umumnya ditangani oleh teknisi lapangan dan industrial hygienist.

Lingkungan > Manusia: Lingkungan juga dapat mempengaruhi kemampuan manusia dalam berinteraksi dengan mesin atau sistem kerja ( dikarenakan oleh asapa, kebnisingan, panas, dan lain sebagainya)

Fisik–Fisiologi : kebisingan, pencahayaan dan temperatur.

Lingkungan > Mesin: Lingkungan dapat mempengaruhi fungsi dari mesin dengan menimbulkan pemanasan atau pembekuan komponen mesin.

Ditangani oleh teknisi lapangan, personil perawatan, fasilitator manajemen dan lain sebagainya.

( > causal direction )

(6)

Dalam upaya menciptakan suatu kondisi kerja yang aman dan nyaman, maka diperlukan interaksi yang baik dari ketiga komponen yang telah disebutkan di atas, yaitu manusia, mesin, dan lingkungan kerja. Dalam ergonomi, manusia merupakan komponen yang paling utama yang harus diperhatikan dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, karena manusia dalam hal ini yang menjadi operator dari pekerjaannya. Ini berarti hal yang diperbaiki adalah mengenai workstation yang akan menyesuaikan pekerjanya. Sebagai contoh, desain pembuatan kursi kerja berkisar antara 43-50 cm (Oborne, 1995). Kursi kerja yang didesain dengan menambahkan sandaran punggung (backrest) dilakukan dengan tujuan agar memberikan kesempatan relaksasi pada otot punggung secara berkala (Kroemer dan Grandjean, 1997). Contoh lainnya adalah mengenai desain meja kerja. Menurut Kroemer dan Grandjean (1997), tinggi meja yang disarankan untuk pekerjaan berat adalah sekitar 75-90 cm dari lantai (untuk pria) dan 70-85 cm dari lantai (untuk wanita), untuk pekerjaan ringan berkisar antara 90-95 cm dari lantai (untuk pria) dan 85-90 cm dari lantai (untuk wanita), serta pekerjaan yang membutuhkan ketelitian berkisar 100-110 cm dari lantai (untuk pria) dan 95-105 cm dari lantai (untuk wanita).

2.1.4 Konsep Keseimbangan Ergonomi

Ergonomi merupakan suatu ilmu, seni, dan teknologi yang berupaya untuk menyerasikan alat, cara, dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan, dan segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara optimal tanpa pengaruh buruk dari pekerjaannya. Dari sudut pandang ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai performa kerja yang tinggi. Dengan kata lain, tuntutan tugas pekerjaan tidak boleh terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload) karena keduanya akan menyebabkan stress (Tarwaka, 2004). Menurut Manuaba (2000), konsep keseimbangan antara kapasitas kerja dengan tuntutan tugas tersebut dapat diilustrasikan seperti pada gambar berikut.

(7)

Gambar 2.1 Konsep Keseimbangan Ergonomi Sumber: Manuaba, 2000

Keterangan:

• Kemampuan Kerja

Kemampuan seseorang sangat ditentukan oleh:

1. Personal Capacity (karakteristik pribadi), meliputi faktor usia, jenis kelamin, antropometri, pendidikan, pengalaman, status sosial, agama dan kepercayaan, status kesehatan, kesegaran tubuh, dan sebagainya.

2. Physiological Capacity (kemampuan fisiologis), meliputi kemampuan dan daya tahan kardiovaskuler, syaraf otot, panca indera, dan sebagainya.

Material Characteristics Task/Work Place Characterist ics Organizational Characteristics Environment al Characterist ics Personal Capacity Physiologic al Capacity Psycological Capacity Biomechani cal Capacity TASK DEMANDS WORK CAPACITY PERFORMANCE Quality Stress Fatigue Accident Discomfort Diseases Injury Productivity

(8)

3. Psycological Capacity (kemampuan psikologis) berhubungan dengan kemampuan mental, waktu reaksi, kemampuan adaptasi, stabilitas emosi, dan sebagainya.

4. Biomechanical Capacity (kemampuan biomekanik) berkaitan dengan kemampuan dan daya tahan sendi dan persendian, tendon, dan jalinan tulang.

• Tuntutan tugas

Tuntutan tugas pekerjaan atau aktivitas tergantung pada:

1. Task dan Material Characteristics (karakteristik tugas dan material) ditentukan oleh karakteristik peralatan dan mesin, tipe kecepatan, irama kerja, dan sebagainya.

2. Organization Characteristics (karakteristik organisasi) berhubungan dengan jam kerja dan jam istirahat, kerja malam dan bergilir, cuti dan libur, manajemen, dan sebagainya.

3. Environmental Characteristics (karakteristik lingkungan) berkaitan dengan manusia teman setugas, suhu dan kelembaban, bising dan getaran, penerangan, sosio-budaya, tabu, norma, adat dan kebiasaan, bahan-bahan pencemar, dan sebagainya.

• Performa

Performa atau tampilan seseorang sangat tergantung kepada rasio dari besarnya tuntutan tugas dengan besarnya kemampuan yang bersangkutan. Dengan demikian:

1. Bila rasio tuntutan tugas lebih besar daripada kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi penampilan akhir berupa ketidaknyamanan, overstress, kelelahan, kecelakaan, cidera, rasa sakit, penyakit, dan tidak produktif.

2. Sebaliknya, bila tuntutan tugas lebih rendah daripada kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi penampilan akhir berupa understress, kebosanan, kejemuan, kelesuan, sakit, dan tidak produktif

3. Agar penampilan menjadi optimal maka perlu adanya keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas dengan kemampuan

(9)

yang dimiliki sehingga tercapai kondisi dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman, dan produktif.

Dapat disimpulkan bahwa konsep keseimbangan dalam ergonomi menggambarkan antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja berada pada satu jalur yang harus ada kesesuaian diantara keduanya dengan tujuan menghasilkan performa kerja yang tinggi.

2.2 ANATOMI SISTEM MUSKULOSKELETAL

Dalam rangka memenuhi tujuan desain atau perancangan produk baru pekerjaan serta peralatan yang sesuai dengan kebutuhan manusia, maka diperlukan pengetahuan tentang karakteristik otot dan kerangka manusia terutama dimensi dan kapasitasnya.

2.2.1 Sistem Rangka

Sistem rangka berfungsi untuk menggambarkan dasar bentuk tubuh, penentuan tinggi seseorang, perlindungan organ tubuh yang lunak, sebagi tempat melekatnya otot, mengganti sel-sel yang telah rusak, memberikan sistem sambungan untuk gerak pengendali, dan menyerap reaksi dari gaya serta beban kejut (Nurmianto, 2004). Sistem rangka terdiri dari rangka atau tulang-tulang ekstremitas atas, tulang-tulang ekstremitas bawah, dan lengkung kaki. Tulang-tulang ekstremitas atas terdiri dari: skapula dan klavikula yang membentuk gelang bahu, humerus, radius dan ulnar yang membentuk lengan bawah, 8 tulang karpal, 5 tulang metakarpal, serta 14 falanges. Tulang-tulang ekstremitas bawah terdiri dari: tulang pinggul yang membentuk sebagian dari panggul (pelvis), femur, patella, tibia dan fibula yang membentuk tungkai bawah, 7 tulang tarsalia, 5 tulang metatarsal, serta 14 falanges. Lengkung kaki terdiri dari: lengkung medial yang sangat elastis, lengkung lateral yang kuat dan terbatas gerakannya, serta terdapat sejumlah lengkung transversal (Watson, 1997).

Panjang tulang untuk menentukan tinggi badan seseorang, sedangkan batas jangkauan dapat menentukan ruang gerak atau aktivitas. Selain dari itu, dimensi ruang yang terbentuk tersebut penting untuk penempatan pengendali dan desain stasiun kerja. Sifat masing-masing sambungan tulang pada pergerakan

(10)

sangat kompleks. Contoh sambungan tulang yang sederhana ada pada siku dan lutut. Siku dan lutut merupakan sambungan yang membatasi gerakan fleksi. Tangan manusia mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam gerakannya. Akan tetapi jika ada gerakan berulang (repetitive), maka harus mempertimbangkan hal yang lebih penting, misalnya seperti efisiensi penggunaan otot dan konsumsi energinya (Nurmianto, 2004).

2.2.2 Sistem Otot

Sistem otot (muskular) terdiri dari sejumlah besar otot yang bertanggung jawab atas gerakan tubuh (Watson, 1997). Otot terbentuk atas fiber yang berukuran panjang dari 10 hingga 400 mm dan berdiameter 0,01 hingga 0,1 mm. Pengujian mikroskopis menunjukkan bahwa fiber terdiri dari myofibril yang tersusun atas sel-sel filament dari molekul myosin yang saling tumpang tindih dengan filament dari molekul aktin. Serabut otot bervariasi antara satu otot dengan yang lainnya. Beberapa diantaranya mempunyai gerakan yang lebih cepat dari yang lainnya dan hal ini terjadi pada otot yang dipakai untuk mempertahankan kontraksi badan, seperti otot pembentuk postur tubuh (Nurmianto, 2004).

Dalam Watson (1997) dijelaskan bahwa otot utama tubuh terdiri atas: otot kepala, otot leher, otot tubuh, otot anggota gerak atas, dan otot anggota gerak bawah. Untuk mengetahui jenis-jenis otot yang telah disebutkan di atas lebih lanjut, maka dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.2 Klasifikasi dan Jenis Otot

Klasifikasi Otot Jenis otot

Otot kepala Otot-otot ekspresi dan otot-otot mastikasi Otot leher Otot sternokleidomastoideus dan otot trapezius Otot tubuh Otot yang menggerakkan bahu, otot pernapasan,

otot yang membentuk dinding abdomen, otot yang menggerakkan panggul, otot yang menggerakkan tulang belakang, otot dasar panggul

Otot anggota gerak atas Otot lengan, otot lengan bawah, dan otot tangan Otot anggota gerak bawah Otot paha, otot betis, dan otot kaki

(11)

2.2.2.1 Aktivitas Otot

Otot hanya mempunyai kemampuan kontraksi dan relaksasi. Dalam pergerakan yang pelan dan terkendali, baik otot penggerak utama maupun yang antagonis berada pada posisi tegang selama dalam pergerakannya. Sebaliknya dalam pergerakan yang cepat, otot antagonis secara otomatis akan relaks. Sebagai contoh, otot trisep dalam keadaan antagonis relatif terhadap otot bisep selama dalam gerakan fleksi oleh siku pada saat tangan mengangkat beban.

Selain itu, ada beberapa otot lain yang juga berpartisipasi dalam pergerakan otot. Misalnya, otot bisep dibantu oleh brachialis selama gerakan fleksi pada siku. Ada juga jenis otot lain yang disebut sebagai fiksator yang berfungsi sebagai pemberi kesetimbangan pada saat adanya suatu gerakan, dan sinergis yang berfungsi untuk mengontrol sambungan-sambungan sehingga memungkinkan suatu gerakan berjalan secara efisien (Nurmianto, 2004).

2.2.2.2 Sumber Energi Otot

Sumber energi otot adalah berasal dari pemecahan senyawa fosfat kaya energi dari kondisi energi tinggi ke energi rendah, dimana dalam waktu yang sama akan menghasilkan muatan elektrostatis dan menyebabkan gerakan relatif dari molekul aktin dan myosin. Hal tersebut ditunjukkan pada proses berikut:

ATP Æ ADP + energi ATP = Adenosin Tri Phosphat ADP = Adenosin Di Phosphat

Untuk melanjutkan proses ini, ATP harus disintesa ulang dengan bahan baker yang berasal dari sumber lain. Dua proses berikut akan memberikan penjelasan secara lebih rinci, yaitu:

a. Anaerobik

Anaerobik yaitu proses perubahan ATP menjadi ADP dan energi tanpa bantuan oksigen. Glikogen yang terdapat dalam otot terpecah menjadi energi dan membentuk asam laktat. Dalam proses ini, asam laktat akan memberikan indikasi adanya kelelahan otot secara lokal, karena kurangnya jumlah oksigen yang disebabkan oleh kurangnya jumlah suplai darah yang dipompa dari jantung, misalnya jika ada gerakan yang bersifat tiba-tiba. Penyebab lainnya adalah karena pencegahan kebutuhan aliran darah yang mengandung oksigen dengan adanya

(12)

beban otot statis ataupun karena aliran darah yang tidak cukup mensuplai oksigen dan glikogen, akan melepaskan asam laktat.

b. Aerobik

Aerobik yaitu proses perubahan ATP menjadi ADP dan energi dengan bantuan oksigen yang cukup. Asam laktat yang dihasilkan oleh kontraksi otot dioksidasi dengan cepat menjadi karbondioksida dan H2O dalam kondisi aerobic, sehingga beban pekerjaan yang tidak terlalu melelahkan akan dapat berlangsung cukup lama. Selain itu, aliran darah yang cukup akan mensuplai lemak, karbohidrat, dan oksigen ke dalam otot. Akibat dari kondisi kerja yang terlalu lama akan menyebabkan kadar glikogen dalam darah akan menurun drastis di bawah normal dan kebalikannya kadar asam laktat akan meningkat. Apabila sudah demikian, maka cara terbaik adalah menghentikan pekerjaan, kemudian istirahat dan makan makanan yang bergizi untuk membentuk kadar gula dalam darah.

Hal tersebut di atas merupakan proses kontraksi otot yang telah disederhanakan analisa pembangkit energinya, serta sekaligus menandakan pentingnya aliran darah untuk otot. Oleh karena itu, para ahli ergonomi hendaklah memperhatikan hal-hal seperti berikut untuk sedapat mungkin dihindari:

a. beban otot statis

b. oklusi (penyumbatan aliran darah) karena tekanan, misalnya tekanan segi kursi pada lipat lutut

c. bekerja dengan lengan berada di atas yang menyebabkan siku aliran darah bekerja berlawanan dengan arah gravitasi (Nurmianto, 2004).

2.2.2.3 Pembebanan Otot Secara Statis

Beban otot statis terjadi ketika otot dalam keadaan tegang tanpa menghasilkan gerakan tangan atau kaki sekalipun. Pergerakan ritmik yang dinamis adalah proses pemompaan aliran darah oleh organ tubuh manusia. Beban otot statis terjadi ketika postur tubuh berada dalam kondisi yang tidak natural, peralatan maupun material ditahan pada kondisi yang berlawanan dengan arah gravitasi (Nurmianto, 2004).

(13)

2.2.3 Jaringan Penghubung

Jaringan-jaringan penghubung yang terpenting pada sistem kerangka otot adalah ligamen, tendon, dan fasciae. Jaringan ini terdiri dari kolagen dan serabut elastis dalam beberapa proporsi. Tendon berfungsi sebagai penghubung antara otot dan tulang terdiri dari sekelompok serabut kolagen yang letaknya parallel dengan panjang tendon. Ligamen berfungsi sebagai penghubung antara tulang dengan tulang untuk stabilitas sambungan. Ligamen tersusun atas serabut yang letaknya tidak parallel. Oleh karena itu, tendon dan ligamen bersifat inelastis dan berfungsi pula untuk menahan deformasi. Adanya tegangan yang konstan akan dapat memperpanjang ligamen dan menjadikannya kurang efektif dalam menstabilkan sambungan. Sedangkan jaringan fasciae berfungsi sebagai pengumpul dan pemisah otot, yang terdiri dari sebagian besar serabut elastis dan mudah sekali terdeformasi (Nurmianto, 2004).

2.3 MANUAL HANDLING

Berdasarkan U.S. Department of Labor, handling didefinisikan sebagai tindakan meraih, memegang, menggenggam, memutar atau pekerjaan lainnya yang menggunakan tangan, dan National Institute of Occupational Safety and Health medefinisikannya sebagai suatu aktivitas dengan menggunakan pergerakan tangan pekerja untuk mengangkat, mengisi, mengosongkan, meletakkan atau membawa (NIOSH, 2007). Sedangkan menurut OSHA, manual handling meliputi semua pekerjaan memindahkan material dengan tangan dengan cara mengangkat, menurunkan, membawa, mendorong, menarik, menggeser ataupun menyusun material (OSHA, 1997) . Manual handling tidak hanya berarti mengangkat atau membawa sesuatu saja, namun manual handling meliputi mendorong, menggapai, memegang, dan tindakan ringan yang berulang (OH&S, 2003).

Jadi dapat disimpulkan manual handling adalah seluruh rangkaian aktivitas pekerjaan yang masih mempergunakan tenaga manusia namun bukan hanya aktivitas mengangkat, menurunkan, membawa, menarik, mendorong, menggeser sesuatu saja, tetapi juga seluruh aktivitas ringan yang dilakukan secara berulang. Kegiatan manual handling berisiko menimbulkan cidera dan kecelakaan. Cidera akibat material manual handling dapat terjadi karena

(14)

memegang objek, atau postur tubuh saat memindahkan barang yang kurang baik. Cidera dapat terjadi seketika maupun secara berangsur-angsur selama beberapa tahun. Cidera yang dihasilkan dari aktivitas pada pekerjaan yang dilakukan ini berkaitan dengan gangguan pada sistem muskuloskeletal. Untuk selanjutnya, maka akan dijelaskan mengenai gangguan muskuloskeletal serta faktor risikonya.

2.4 MUSCULOSKELETAL DISORDERS 2.4.1 Definisi MSDs

Gangguan muskuloskeletal atau biasa yang disebut dengan MSDs adalah serangkaian sakit pada otot, tendon dan saraf. Aktivitas dengan tingkat pengulangan yang tinggi dapat menyebabkan kelelahan pada otot, merusak jaringan hingga kesakitan dan ketidaknyamanan. Ini bisa terjadi walaupun tingkat gaya yang dikeluarkan ringan dan postur kerja memuaskan (OHSCO, 2007). Menurut NIOSH (1997), gangguan muskuloskeletal adalah sekumpulan kondisi patologis yang mempengaruhi fungsi normal dari jaringan halus sistem muskuloskeletal yang mencakup syaraf, tendon, otot, dan struktur penunjang seperti discus intervertebral.

Definisi lain dijelaskan oleh ACGIH, musculoskeletal disorders maksudnya adalah adanya suatu gangguan kronis pada otot, tendon, dan syaraf yang disebabkan oleh penggunaan tenaga secara berulang (repetitive), gerakan secara cepat, beban yang tinggi, tekanan, postur janggal, vibrasi, dan rendahnya temperatur (ACGIH, 2007).

Berdasarkan berbagai definisi dari lembaga-lembaga tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa gangguan musculoskeletal merupakan suatu gangguan yang menyerang otot, tendon, dan syaraf manusia yang disebabkan oleh aktivitas yang dilakukan secara repetitif dengan postur janggal.

2.4.2 Jenis-jenis MSDs

Postur janggal merupakan faktor risiko pada kejadian MSDs karena pada postur janggal, otot, tulang, dan sendi bekerja berlebihan memberikan tekanan atau gaya untuk mempertahankan keseimbangan posisi tubuh tertentu. Postur janggal akan meningkatkan risiko kejadian MSDs bila terjadi kombinasi dengan faktor risiko ergonomi lain, seperti durasi, frekuensi, intensitas, repetitif, dan

(15)

adanya intervensi stressor dari lingkungan. Berikut ini adalah beberapa jenis MSDs yang dapat diakibatkan oleh postur janggal, yaitu:

1. Low Back Pain, yaitu rasa sakit akut dan kronis dari tulang belakang pada daerah lumbosacral, pantat dan kaki bagian atas yang biasanya terjadi karena penipisan intervertebral disk atau berkurangnya cairan pada disk. Biasanya terjadi pada pekerja yang suka mengangkat (Bridger, 2003)

2. Carpal Tunnel Syndrome, yaitu tendon pada carpal tunnel membengkak karena penggunaan yang cepat dan berulang pada jari dan tangan. menyebabkan nyeri, rasa terbakar, dan kemampuan menggenggam menurun. Biasanya terjadi pada typist (Humantech, 1989,1995)

3. Bursitis, yaitu rongga yang berisi cairan pelumas sendi membengkak dan inflamasi sehingga menyebabkan nyeri dan keterbatasan gerak (Bridger, 2003) 4. Epicondylitis, yaitu inflamasi pada otot dan jaringan penghubung yang berada di sekitar siku karena adanya rotasi dan putaran yang terlalu sering. Biasanya sering terjadi pada petenis (Bridger, 2003)

5. Sprain dan strains, terjadi saat ligamen atau otot terlalu tertekan karena adanya postur yang memberi beban terhadap tubuh (Bridger, 2003)

6. Ganglion Cyst, yaitu benjolan di bawah kulit yang disebabkan karena akumulasi cairan pada lapisan tendon. Ini biasanya ditemukan pada tangan dan pergelangan tangan (Humantech, 1989, 1995)

7. Tendinitis, yaitu inflamasi pada tendon biasanya terjadi pada tangan dan pergelangan tangan karena pekerjaan menggunakan postur yang tidak biasa secara terus-menerus (Bridger, 2003)

8. Tenosynovitis, terjadi karena adanya inflamasi tendon dan pelapisnya dengan pembengkakan pada pergelangan tangan aktifitas yang berlebihan pada tendon yang disebabkan oleh beban dan pergerakan yang berulang (Pulat, 1997). 9. Trigger Finger, yaitu keadaan kaku dan gemetar pada jari karena gerakan

berulang dan penggunaan yang berlebihan dari jari, ibu jari atau pergelangan tangan yang terus-menerus (Bridger, 2003)

(16)

2.4.3 Faktor risiko MSDs

Dalam suatu pekerjaan ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi risiko terjadinya suatu cidera ataupun penyakit akibat kerja, yang biasa disebut dengan musculoskeletal disorders, repetitive strain injury, cumulative trauma disorders dan penyakit-penyakit lainnya. Amstrong et al.(1993) menjabarkan beberapa faktor risiko ergonomi, yaitu faktor fisik pekerjaan, faktor organisasi kerja, dan faktor psikososial. Sedangkan Bridger (2003) mengkategorikan kedalam empat kelompok faktor-faktor risiko utama terhadap terjadinya gangguan muskuloskeletal, yaitu beban, postur, frekuensi, dan durasi pekerjaan (Bridger, 2003).

a. Postur kerja

Salah satu aspek yang dipertimbangkan dalam ergonomi adalah postur kerja/working posture. Menurut Occupational Health and Safety Council of Ontario dalam Resource Manual for the MSD Prevention Guideline for Ontario (2006) disebutkan bahwa postur kerja adalah berbagai posisi dari anggota tubuh pekerja selama melakukan aktivitas pekerjaan. Pembagian postur kerja dalam ergonomi didasarkan atas posisi tubuh dan pergerakan. Berdasarkan posisi tubuh, postur kerja dalam ergonomi terdiri dari:

1. Postur Netral (Neutral Posture), yaitu postur dimana seluruh bagian tubuh berada pada posisi yang sewajarnya/seharusnya dan kontraksi otot tidak berlebihan sehingga bagian organ tubuh, saraf jaringan lunak dan tulang tidak mengalami pergeseran, penekanan, ataupun kontraksi yang berlebih.

2. Postur Janggal (Awkward Posture), yaitu postur dimana posisi tubuh (tungkai, sendi dan punggung) secara signifikan menyimpang dari posisi netral pada saat melakukan suatu aktivitas yang disebabkan oleh keterbatasan tubuh manusia untuk melawan beban dalam jangka waktu lama. Postur janggal akan menyebabkan stress mekanik pada otot, ligamen, dan persendian sehingga menyebabkan rasa sakit pada otot rangka. Selain itu, postur janggal membutuhkan energi yang lebih besar pada beberapa bagian otot, sehingga meningkatkan kerja jantung dan paru-paru untuk menghasilkan energi. Semakin lama bekerja dengan postur janggal, maka semakin banyak energi yang dibutuhkan untuk memepertahankan kondisi tersebut, sehingga dampak

(17)

kerusakan otot rangka yang ditimbulkan semakin kuat (Bridger, 1995). Beberapa bentuk postur janggal antara lain:

• Postur janggal pada Tulang Belakang

a. Membungkuk (bent forward), yaitu punggung dan dada lebih condong ke depan membentuk > 200 terhadap garis vertikal.

b. Berputar (twisted), yaitu posisi tubuh yang berputar ke kanan dan kiri dimana garis vertikal menjadi sumbu tanpa memperhitungkan berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan.

c. Miring (bent sideway), yaitu setiap deviasi bidang median tubuh dari garis vertikal tanpa memperhitungkan besarnya sudut yang dibentuk. Terjadi fleksi pada bagian tubuh, biasanya ke depan atau ke samping.

Membungkuk Memutar(Twisting) Miring (Bending)

Gambar 2.2 Postur Janggal Tulang Belakang Sumber: Humantech, 1989, 1995

Selain itu, terdapat postur janggal pada tulang punggung saat mengangkat seperti pada gambar berikut ini.

Gambar 2.3 Postur Mengangkat Sumber: Bridger, 2003

(18)

• Postur janggal pada tangan dan pergelangan tangan (kiri dan kanan)

Faktor risiko pada tangan dan pergelangan tangan adalah melakukan pekerjaan dengan posisi memegang benda dengan cara mencubit (pinch grip), tekanan pada jari terhadap objek (finger press), menggenggam dengan kuat (power grip), posisi pergelangan tangan yang fleksi dan ekstensi dengan sudut >450, serta posisi pergelangan tangan yang deviasi selama lebih dari10 detik, dan frekuensi > 30/menit (Humantech, 1989,1995).

        

Gambar 2.4 Postur Janggal Tangan dan Pergelangan Tangan Sumber: Humantech, 1989, 1995

• Postur janggal pada bahu (kiri dan kanan)

Postur bahu yang merupakan faktor risiko adalah melakukan pekerjaan lengan atas membentuk sudut >45o ke arah samping atau ke arah depan terhadap badan selama lebih dari 10 detik dengan frekuensi lebih dari atau sama dengan 2 kali per menit dan beban > 4.5kg (Humantech, 1989, 1995).

(19)

Lengan ke samping depan Lengan di belakang badan

Gambar 2.5 Postur Janggal Bahu Sumber: Humantech, 1989, 1995

• Postur janggal pada lengan bawah (kiri dan kanan)

Postur lengan bawah yang menjadi faktor risiko adalah posisi siku sebesar 135º dan jika menggunakan gerakan penuh dalam bekerja (Humantech, 1989, 1995).

Gambar 2.6 Postur Janggal Lengan Bawah Sumber: Humantech, 1989, 1995

• Postur janggal pada leher

Postur leher yang menjadi faktor risiko adalah melakukan pekerjaan (membengkokkan leher > 20º terhadap vertikal), menekukkan kepala atau menoleh ke samping kiri atau kanan, serta menengadah (Humantech, 1989, 1995).

Menunduk Menoleh Menekukkan Menengadah

Gambar 2.7 Postur Janggal Leher Sumber: Humantech, 1989, 1995

(20)

• Postur janggal pada kaki

a. Jongkok (squatting), yaitu posisi tubuh dimana perut menempel pada paha dimana terjadi fleksi maksimal pada daerah lutut, pangkal paha, dan tulang lumbal.

b. Berlutut (kneeling), yaitu posisi tubuh dimana sendi lutut menekuk, permukaan lutut menyentuh lantai dan berat tubuh bertumpu pada lutut dan jari-jari kaki.

c. Berdiri pada Satu Kaki (stand on one leg), yaitu posisi tubuh dimana tubuh bertumpu pada satu kaki.

Gambar 2.8 Postur Janggal Kaki

Sumber: Humantech, 1989, 1995

Sedangkan berdasarkan pergerakan, postur kerja dalam ergonomi terdiri dari: 1. Postur statis, yaitu postur yang terjadi dimana sebagian besar tubuh tidak aktif

atau hanya sedikit sekali terjadi pergerakan. Postur statis dalam jangka waktu lama sehingga otot berkontraksi secara terus-menerus dan dapat menyebabkan tekanan/stres pada bagian tubuh (Bridger, 2003). Pergerakan otot statis menyebabkan aliran darah ke otot berkurang dan glikogen otot diubah menjadi asam laktat yang mengakibatkan rasa lelah (Humantech, 1995). Berikut ini contoh postur statis, yaitu:

a. Berdiri, yaitu kepala, punggung dan kaki tegak lurus atau sejajar dengan sumbu vertikal.

b. Duduk, yaitu pantat menyentuh suatu permukaan dan terjadi fleksi pada lutut 900. Posisi duduk memerlukan lebih sedikit energi daripada berdiri, karena hal itu dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki (Nurmianto, 2004). Pada posisi duduk, jaringan lunak pada tulang punggung antara anterior dan posterior tertekan sehingga menyebabkan kesakitan (Bridger, 1995). Selain itu, sikap duduk yang tegang lenih

(21)

banyak memerlukan aktivitas otot atau urat saraf belakang (Nurmianto, 2004).

c. Berbaring, yaitu kepala, punggung dan kaki sejajar dengan sumbu horizontal.

2. Postur dinamis, yaitu postur yang terjadi dimana sebagian besar anggota tubuh bergerak. Jenisnya adalah:

a. Carrying, yaitu aktivitas mengangkat beban sambil berjalan b. Pulling, yaitu tarikan pada benda agar benda bergerak

c. Pushing, yaitu memindahkan benda dengan memberikan gaya agar benda berpindah.

b. Frekuensi

Postur yang salah dengan frekuensi pekerjaan yang sering dapat mengakibatkan tubuh kekurangan suplai darah, asam laktat yang terakumulasi, inflamasi, tekanan pada otot, dan trauma mekanis. Frekuensi terjadinya postur janggal terkait dengan terjadinya repetitive motion dalam melakukan pekerjaan. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja terus-menerus tanpa melakukan relaksasi (Bridger, 2003). Secara umum, semakin banyak pengulangan gerakan dalam suatu aktivitas kerja, maka akan mengakibatkan keluhan otot semakin besar. Pekerjaan yang dilakukan secara repetitif dalam jangka waktu lama maka akan meningkatkan risiko MSDs apalagi bila ditambah dengan gaya/beban dan postur janggal (OHSCO, 2007).

c. Durasi

Durasi adalah jumlah waktu terpajan faktor risiko. Durasi dapat dilihat sebagai menit-menit dari jam kerja/hari pekerja terpajan risiko. Durasi juga dapat dilihat sebagai pajanan/tahun faktor risiko atau karakteristik pekerjaan berdasarkan faktor risikonya. Secara umum, semakin besar pajanan durasi pada faktor risiko, semakin besar pula tingkat risikonya. Durasi diklasifikasikan sebagai berikut :

(22)

• Durasi singkat : < 1 jam/hari • Durasi sedang : 1-2 jam/hari • Durasi lama : > 2 jam

Pada posisi kerja statis yang membutuhkan 50% dari kekuatan maksimum tidak dapat bertahan lebih dari satu menit, jika kekuatan digunakan kurang dari 20 % kekuatan maksimum maka kontraksi akan berlangsung terus untuk beberapa waktu. Sedangkan untuk durasi aktivitas dinamis selama 4 menit atau kurang seseorang dapat bekerja dengan intensitas sama dengan kapasitas aerobik sebelum beristirahat (Kroemer & Grandjean, 1997) .

d. Force atau beban

Force merupakan usaha yang dibutuhkan untuk melakukan gerakan. Pekerjaan yang menuntut penggunaan tenaga besar, maka akan memberikan beban pada otot, tendon, ligamen, dan sendi. Objek merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan otot rangka. Menurut ILO, beban maksimum yang diperbolehkan untuk diangkat oleh seseorang adalah 23-25 kg. Bentuk dan ukuran objek juga ikut mempengaruhi hal tersebut. Ukuran objek harus cukup kecil agar dapat diletakkan sedekat mungkin dari tubuh. Lebar objek yang besar yang dapat membebani otot pundak/bahu adalah lebih dari 300-400 mm, panjang lebih dari 350 mm dengan ketinggian lebih dari 450 mm. Suma’mur (1989) menjabarkan cara menangani beban yang baik, yaitu:

1. Pegangan harus tepat. Memegang diusahakan dengan tangan penuh dan memegang dengan hanya beberapa jari dapat menyebabkan ketegangan statis lokal pada jari dan pergelangan tangan.

2. Lengan harus berada di dekat tubuh dengan posisi lurus. Fleksi pada lengan untuk mengangkat dan membawa menyebabkan ketegangan otot statis pada lengan yang melelahkan.

3. Punggung harus diluruskan. Posisi deviasi punggung membebani tulang belakang. Untuk menghindari punggung membungkuk, mula-mula lutut harus bengkok (fleksi) sehingga tubuh tetap berada pada posisi dengan punggung lurus.

(23)

5. Posisi kaki dibuat sedemikian rupa agar mampu mengimbangi momentum yang terjadi dalam posisi mengangkat dan menurunkan. Kedua kaki ditempatkan untuk membantu mendorong tubuh.

6. Beban diusahakan menekan pada otot tungkai yang kuat dan sebanyak mungkin otot tulang belakang yang lebih lemah dibebaskan dari pembebanan.

7. Beban yang ditangani diusahakan berada sedekat mungkin terhadap garis vertikal atau pusat gravitasi tubuh. Posisi tubuh yang menahan beban cenderung mengikuti beban sedangkan posisi tubuh yang menjauhi pusat gravitasi tubuh lebih berisiko MSDs.

Sedangkan bentuk objek yang baik harus memiliki pegangan, tidak ada sudut tajam dan tidak dingin atau panas saat diangkat. Mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandalkan kekuatan jari, karena kemampuan otot jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar, 1996). Semakin berat objek yang ditangani, tenaga yang dibutuhkan akan meningkat. Dapat disimpulkan, semakin besar gaya yang dikeluarkan untuk menangani suatu objek, maka semakin tinggi risiko terkait gangguan otot rangka apabila hal tersebut dilakukan dengan postur yang salah dan berat objek melampaui batas maksimum yang diperbolehkan.

Pajanan terkait MSDs tersebut tidak hanya disebabkan oleh salah satu faktor saja, melaikan adanya keterkaitan atau gabungan dari berbagai faktor risiko ergonomi yang ada serta faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhinya. Gangguan terhadap muskuloskeletal tersebut akan timbul semakin cepat apabila suatu aktivitas kerja yang dilakukan dengan postur yang tidak tepat dengan beban yang berat dan dilakukan secara repetitif dalam jangka waktu yang cukup lama.

2.4.4 Keluhan Muskuloskeletal

Aktivitas manual material handling (MMH) ataupun postur kerja yang tidak tepat dapat menimbulkan kerugian bahkan kecelakaan pada karyawan. Akibat yang ditimbulkan dari aktivitas MMH ataupun postur yang tidak benar salah satunya adalah keluhan muskuloskeletal. Keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai

(24)

dari keluhan yang sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dalam jangka waktu yang lama akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon. Keluhan inilah yang biasanya disebut sebagai muskuloskeletal disordes (MSDs) atau cidera pada sistem muskuloskeletal (Grandjean, 1993). Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, tetapi keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan

2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap meskipun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut (Tarwaka, 2004).

Terdapat berbagai cara dalam melakukan evaluasi ergonomi untuk mengetahui tingkat keluhan muskuloskeletal, salah satunya adalah melalui Nordic Body Map (NBM). Corlett (1992) memaparkan bahwa melalui NBM maka dapat diketahui bagian-bagian otot yang mengalami keluhan dengan tingkat keluhan mulai dari rasa tidak nyaman (agak sakit) hingga sangat sakit. Dengan melihat dan menganalisis peta tubuh (NBM), maka dapat diestimasi jenis dan tingkat keluhan muskuloskeletal yang dirasakan oleh pekerja. Cara ini sangat sederhana, namun memiliki keterbatasan, yaitu mengandung tingkat subjektivitas yang tinggi (Tarwaka, 2004).

2.4.5 Tindakan Pengendalian Terhadap Keluhan MSDs

Berdasarkan rekomendasi dari Occupational Safety and Health Administration (OSHA), tindakan ergonomik untuk mencegah adanya sumber penyakit adalah melalui dua cara, yaitu rekayasa teknik melalui desain stasiun dan alat kerja dan rekayasa manajemen melalui criteria dan organisasi kerja (Grandjean, 1993). Berikut merupakan penjabaran dari dua cara tindakan pengendalian yang telah disebutkan sebelumnya, antara lain:

(25)

1. Rekayasa teknik

Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa alternatif sebagai berikut:

• Eliminasi, yaitu menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal ini jarang bisa dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang ada.

• Substitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan yang baru yang aman, menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur penggunaan peralatan.

• Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan pekerja, sebagai contoh memisahkan ruang mesin yang bergetar dengan ruang kerja lainnya, pemasangan alat peredam getaran, dan sebagainya.

• Ventilasi, yaitu menambah ventilasi untuk mengurangi risiko sakit, misalnya akibat suhu udara yang terlalu panas.

2. Rekayasa manajemen

Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan sebagai berikut:

• Pendidikan dan pelatihan

Melalui pendidikan dan pelatihan, pekerja menjadi lebih memahami lingkungan dan alat kerja, sehingga diharapkan dapat melakukan penyesuaian dalam melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap risiko sakit akibat kerja

• Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang

Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang maksudnya adalah disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan, sehingga dapat mencegah paparan yang berlebihan terhadap sumber bahaya

• Pengawasan yang intensif

Melalui pengawasan yang intensif dapat dilakukan pencegahan secara lebih dini terhadap kemungkinan terjadinya risiko sakit akibat kerja (Tarwaka, 2004).

(26)

ACGIH mengakui bahwa gangguan musculoskeletal merupakan masalah kesehatan kerja yang penting yang dapat dikelola dengan memberlakukan program ergonomi untuk kesehatan dan keselamatan kerja. Kejadian MSDs dapat dikendalikan dengan program ergonomi yang terbaik yang elemen-elemennya mencakup:

• Rekognisi sumber masalah

• Evaluasi pekerjaan yang diduga mungkin sebagai faktor risiko • Identifikasi dan evaluasi faktor-faktor yang menjadi penyebab • Melibatkan pekerja sebagai peserta yang memberi tahu secara aktif

• Menyediakan perlindungan kesehatan yang tepat untuk pekerja yang mengalami MSDs

Pengendalian program yang umum yang harus diimplementasikan ketika risiko MSDs dikenali, meliputi:

• Pendidikan bagi pekerja, supervisor, engineers, dan manajer • Melaporkan sejak awal gejala yang dialami oleh pekerja

• Evaluasi dan pengawasan secara terus menerus data medis, kesehatan, dan cidera

Pengendalian secara khusus pada pekerjaan yang langsung berhubungan dengan MSDs mencakup engineering controls dan administrative controls seperti yang akan dijelaskan berikut ini.

1. Diantara pengendalian-pengendalian engineering untuk mengeliminasi atau mengurangi faktor-faktor risiko pada pekerjaan, berikut ini yang dapat dipertimbangkan:

• Menggunakan metode kerja, seperti analisis gerakan untuk mengeliminasi pengerahan tenaga dan gerakan yang tidak seharusnya.

• Menggunakan bantuan mesin untuk mengeliminasi atau mengurangi pengerahan tenaga dalam menggunakan alat dan objek kerja

• Menyeleksi atau mendesain peralatan untuk mengurangi beban, menghemat waktu, dan memperbaiki postur

• Menyediakan tempat kerja yang dapat disesuaikan dengan penggunaannya untuk mengurangi jangkauan dan memperbaiki postur

(27)

• Mengimplementasikan program pemeliharaan dan pengendalian kualitas untuk mengurangi pergerakan dan beban yang tidak seharusnya, khususnya yang berhubungan dengan pekerjaan yang tidak memiliki nilai tambah

2. Pengendalian administratif untuk mengurangi risiko karena pengurangan waktu pajanan, contohnya adalah:

• Mengimplementasikan standar kerja yang memberi izin pekerja untuk berhenti sejenak atau melakukan peregangan otot seperlunya, paling tidak hal tersebut dilakukansatu kali dalam satu jam

• Merealokasikan penempatan kerja, seperti memberlakukan rotasi pekerja, sehingga pekerja tidak menghabiskan seluruh shift kerjanya dengan melakukan atau mengerjakan tuntutan tugas atau pekerjaan yang tinggi (ACGIH, 2007).

2.5 METODE PENILAIAN ERGONOMI 2.5.1 Ergonomic Assesment Survey (EASY)

Ergonomic Assesment Survey (EASY) adalah suatu metode yang mengidentifikasi dan merangking kegiatan atau operasi dengan tingkatan (frekuensi dan prioritas) dari faktor-faktor ergonomi. Hal ini merupakan simpulan dari kesatuan alat penilaian risiko yaitu BRIEF Survey untuk pekerjaan dengan data cidera / gangguan kesehatan dan feedback pekerja dengan memproses strategi prioritas risiko. Metode EASY merupakan bagian pusat dari proses ergonomi. EASY menyediakan metode untuk mengidentifikasi masalah yang merupakan tujuan, sesuatu yang dapat dipercaya dan pendukung identifikasi prioritas. EASY mengembangkan suatu pernyataan untuk fasilitas pada suatu kegiatan dengan menentukan tingkat risiko tiap bagian tubuh. Rangking dari EASY akan mengidentifikasi nilai total yang berkisar antara 1-7. Berdasarkan persetujuan dengan sumber data sehingga pendekatan masalah lebih sistematis dan dengan cara pendekatan yang logis (Humantech, 1989, 1995).

(28)

2.5.2 Baseline Risk Identification of Ergonomics Factors (BRIEF)

Baseline Risk Identification of Ergonomics Factors (BRIEF) adalah alat penyaring awal menggunakan struktur dan bentuk sistem tingkatan untuk mengidentifikasi penerimaan tiap tugas dalam suatu pekerjaan. BRIEF digunakan untuk menentukan sembilan bagian tubuh yang dapat berisiko terhadap terjadinya gangguan muskuloskeletal. Bagian tubuh yang dianalisa meliputi: tangan dan pergelangan tangan kiri, siku kiri, bahu kiri, leher, punggung, tangan dan pergelangan tangan kanan, siku kanan, bahu kanan, dan kaki. Penilaian pekerjaan menggambarkan tinjauan ulang ergonomi secara mendalam dari ketiga penetapan data ( sederhana, mudah dipahami, dan dapat dipercaya) dan juga yang paling memberikan beban paling berat (Humantech, 1989, 1995)

Survei ini mengidentifikasi risiko-risiko yang berhubungan dengan postur, tenaga, durasi, dan frekuensi ketika mengamati kesembilan bagian tubuh tersebut. Penilaian risiko digunakan untuk menentukan tinggi, sedang, atau rendahnya risiko untuk setiap bagian tubuh. Kelebihan BRIEF Survey, antara lain :

1. Dapat mengkaji hampir seluruh bagian tubuh (9 bagian tubuh). 2. Dapat menentukan risiko terhadap terjadinya CTD (Cumulative

Trauma Disorders).

3. Dapat menentukan bagian tubuh mana yang memiliki beban paling berat.

4. Dapat mengidentifikasi awal peneyebab MSDs

5. Telah memenuhi persyaratan sebagai sebuah sistem analisa bahaya MSDs yang diakui OSHA

6. Tidak membutuhkan seorang ahli ergonomi untuk melakukan penilaian pekerjaan menggunakan BRIEF Survey

Kekurangan BRIEF Survey, antara lain :

1. Tidak dapat mengetahui total skor secara menyeluruh dari suatu pekerjaan, karena skor yang dihitung berdasarkan bagian tubuh yang dinilai

2. Banyak faktor yang harus dikaji

3. Membutuhkan waktu pengamatan yang lebih lama 4. tidak dapat digunakan untuk manual handling.

(29)

2.5.3 Quick Exposure Checklist (QEC)

Quick Exposure Checklist (QEC) secara cepat menilai pajanan risiko dari Work-related Musculoskeletal Disorders (WMSDs). Metode ini dikembangkan oleh Li dan Buckle (1999). QEC memiliki tingkat sensitivitas dan kegunaan yang tinggi serta dapat diterima secara luas realibilitasnya. QEC dapat diaplikasikan untuk jenis pekerjaan yang lebih luas. Dengan waktu pelatihan yang singkat, penilaian dapat dilengkapi secara cepat untuk setiap tugas atau pekerjaan. QEC memberikan evaluasi pada desain peralatan dan tempat kerja. QEC membantu untuk mencegah berbagai macam WMSDs. Tujuan dari penggunaan QEC adalah :

1. Mengukur perubahan postur terhadap faktor risiko muskuloskeletal sebelum dan sesudah intervensi ergonomi

2. Melibatkan kedua pihak yakni observer dan pekerja dalam melaksanakan penilaian risiko dan mengidentifikasi kemungkinan perubahan.

3. Mendorong peningkatan kualitas tempat kerja

4. Meningkatkan kepedulian dan kesadaran pada manjer, teknisi, designers, praktisi K3, dan pekerja mengenai faktor risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) di tempat kerja.

5. Membandingkan pajanan antar karyawan dalam satu pekerjaan ataupun antar karyawan pekerjaan berbeda.

Dalam penggunaannya QEC memiliki empat tahapan kerja yang meliputi : 1. Pengukuran oleh peneliti (Observer’s assessment)

Peneliti (observer) memiliki form isian tersendiri yang dapat diisi melalui pengamatan kerja di lapangan. Sebagai alat bantu, dapat menggunakan stopwatch guna menghitung durasi dan frekuensi kerja. 2. Pengukuran oleh pekerja (Worker’s assessment)

Seperti halnya peneliti (observer), pekerja pun memiliki form isian sendiri, yang berisi pertanyaan seputar pekerjaan yang dilakukan. 3. Mengkalkulasi skor pajanan

Proses kalkulasi dapat dilakukan melalui dua cara, yakni manual (dengan menjumlahkan skor pada lembar isian), ataupun dengan program komputer

(30)

4. Consideration of action

QEC secara cepat dapat mengidentifikasikan tingkat pajanan dari punggung, bahu/lengan tangan, pergelangan tangan dan leher. Hasil dari metode ini juga merekomendasikan intervensi ergonomi yang efektif untuk mengurangi tingkat pajanan

Metode QEC ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari metode ini, antara lain adalah:

1. mencakup beberapa faktor risiko fisik terbesar terkait WMSDs

2. mempertimbangkan kebutuhan pengguna dan dapat digunakan oleh peneliti yang belum berpengalaman

3. mempertimbangkan kombinasi dan interaksi berbagai macam faktor risiko di tempat kerja

4. menyediakan tingkat sensitivitas dan kegunaan yang baik 5. realibilitas dapat diterima secara luas

6. mudah dipelajari dan cepat digunakan

Disamping berbagai keuntungan tersebut, metode ini juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain :

1. metode hanya berfokus pada faktor fisik di tempat kerja

2. hipotesis skor pajanan yang disarankan pada action level membutuhkan validasi

3. pelatihan dan praktek tambahan diperlukan oleh penggunan yang belum berpengalaman untuk pengembangan reliabilitas pengukuran (Stanton, dkk, 2005).

2.5.4 Rapid Upper Limb Assessment (RULA)

Rapid Upper Limb Assessment (RULA) adalah suatu metode penilaian postur utuk menentukan risiko gangguan kesehatan yang disebabkan oleh tubuh bagian atas. RULA merupakan metode analisis cepat dan sistematik dari risiko postur terhadap pekerja. Analisis dapat dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi untuk menggambarkan atau memperlihatkan efektivitas dari pengendalian yang telah dilaksanakan.

(31)

Tingkat risiko dihitung dalam skor 1 yang berarti memiliki tingkat risiko rendah hingga skor 7 yang berarti memiliki tingkat risiko tinggi. Skor tersebut disatukan ke dalam empat kategori action level yang mengindikasikan jangka waktu yang tepat untuk dilakukannya tindakan pengendalian yang disarankan. RULA biasanya digunakan pada pekerjaan di depan komputer, manufaktur atau retail dimana pekerja duduk atau berdiri tanpa adanya pergerakan. Tujuan dari RULA adalah sebagai berikut:

1. Mengukur risiko muskuloskeletal, biasanya sebagai bagian dari sebuah investigasi ergonomi

2. Membandingkan beban muskuloskeletal yang terjadi dan memodifikasi desain tempat kerja

3. Mengevaluasi hasil, seperti produktivitas atau kesesuaian peralatan

4. Mendidik pekerja terhadap risiko muskuloskeletal yang ada di berbagai postur kerja yang berbeda

Prosedur menggunakan RULA terbagi ke dalam tiga langkah, yaitu: 1. Memilih postur yang akan dinilai

2. Postur dinilai dengan menggunakan lembar penilaian, diagram bagian tubuh, dan tabel

3. Nilai diubah ke dalam kategori action level dari angka 1hingga 4 (Stanton, dkk, 2005).

Seperti metode penilaian ergonomi yang lain, RULA juga memiliki kelebihan. Kelebihan RULA adalah sebagai berikut:

1. Panduan cepat dan mudah untuk mendeterminasi keberadaan WMSDs 2. Efektif untuk menilai postur bagian atas

3. Sudah mencakup postur, tekanan, dan frekuensi

4. Dapat mengidentifikasi pada bagian tubuh mana yang berisiko paling besar pada suatu pekerjaan

5. Score pada RULA dilengkapi dengan action level yang menggambarkan prioritas tindakan.

(32)

Selain kelebihan yang telah disebutkan tersebut, RULA juga memiliki kekurangan, antara lain:

1. Tidak menilai postur secara keseluruhan 2. Hanya efektif pada sedentary task

3. Beban (force) dan waktu (frekuensi & durasi) tidak dijelaskan secara spesifik pada setiap bagian tubuh

4. Waktu untuk intervensi tidak dijelaskan secara jelas.

2.5.5 The Ovako Working Posture Analysis System (OWAS)

The Ovako Working Posture Analysis System (OWAS) merupakan suatu metode yang digunakan dalam mengevaluasi postur tubuh pekerja selama bekerja, dengan menganalisa berdasarkan klasifikasi sederhana dan sistematik dari postur saat bekerja yang dikombinasikan dengan observasi dari kegiatan pekerjaan. OWAS mengizinkan pengguna OWAS untuk mengestimasi berdasarkan beratnya objek yang diangkat ataupun kekuatan yang digunakan saat bekerja. Dalam perhitungannya, metode ini juga mengikutsertakan waktu observasi dan kaitannya dengan kegiatan pekerjaan yang memungkinkan menghubungkan setiap postur yang dilakukan dengan kegiatan pekerjaan yang mempengaruhinya (ILO, 1998).

Tabel 2.3 Kelebihan dan Kekurangan Metode OWAS

Kelebihan Kekurangan • Mudah digunakan

• Hasil observasi bisa dibandingkan dengan benchmarks untuk

menentukan prioritas intervensi • Angka pada tiap bagian tubuh bias

digunakan untuk perbandingan sebelum dan sesudah intervensi untuk mengevaluasi keefektifitasannya • Angka pada tiap bagian tubuh bias

digunakan untuk studi epidemiologi

• Tidak adanya informasi mengenai durasi waktu kerja dari postur kombinasi

• Tidak ada perbedaan klasifikasi antara lengan kiri dan kanan

• Tidak memperhitungkan mengenai posisi siku, pergelangan tangan atau tangan

(33)

2.5.6 Rapid Entire Body Assessment (REBA)

Rapid Entire Body Assessment (REBA) adalah cara penilaian tingkat risiko dari repetitive motion dengan melihat pergerakan/ postur yang dilakukan oleh pekerja. Pengukuran dilakukan menggunakan task analysis (tahapan kegiatan kerja dari awal hingga akhir).

Sistem penilaian REBA digunakan untuk menghitung tingkat risiko yang dapat terjadi sehubungan dengan pekerjaan yang dapat menyebabkan MSDs dengan menampilkan serangkaian tabel-tabel untuk melakukan penilaian berdasarkan postur-postur yang terjadi beberapa bagian tubuh dan melihat beban atau tenaga yang dikeluarkan serta aktivitasnya. Perubahan nilai-nilai disediakan untuk setiap bagian tubuh untuk memodifikasi nilai dasar jika terjadi perubahan atau penambahan faktor risiko dari setiap pergerakan postur yang dilakukan.

Cara perhitungan adalah dengan memberi nilai pada setiap postur yang terjadi, yang terdiri dari tiga group, yakni : pertama pada bagian leher, punggung, dan kaki ; kedua pada bagian lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan ; ketiga merupakan penggabungan antara bagian pertama dan bagian kedua. Bagian pertama dijumlahkan dengan berat sedangkan bagian kedua dijumlahkan dengan coupling, dan ketiga dijumlahkan dengan aktivitas yang dilakukan. Setelah didapatkan hasilnya maka dapat ditentukan rekomendasi untuk tindakan pengendalian, berdasarkan atas tingkat risiko yang terjadi (Stanton, dkk, 2005).

Tabel 2.4 REBA Action Levels

Skor REBA Tingkat Risiko Action Level Tindakan

1 2-3 4-7 8-10 11-15 Diabaikan Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi 0 1 2 3 4 Tidak perlu Mungkin perlu Perlu Perlu segera Sekarang juga Sumber: Stanton, dkk, 2005

Alasan penulis menggunakan metode REBA di dalam penelitian ini dikarenakan metode ini menilai risiko pada seluruh bagian tubuh dan juga menilai

(34)

diuji, sehingga penelitian dapat diterima secara ilmiah. Selain itu, metode ini juga tidak membutuhkan waktu yang lama dalam penelitiannya dan mudah untuk digunakan. Metode ini tentu saja bukanlah metode yang paling baik digunakan, namun mungkin lebih sesuai untuk penelitian ini. Berikut merupakan kelebihan dan kekurangan dari metode ini.

Tabel 2.5 Kelebihan dan Kekurangan Metode REBA

Kelebihan Kekurangan • Menilai risiko pada hampir semua bagian

tubuh seperti dada, leher, kaki, pergelangan tangan, anggota gerak atas dan bawah

• Memisahkan penilaian untuk pergelangan tangan, anggota gerak atas dan bawah menjadi sisi kanan dan kiri

• Menilai faktor risiko ergonomi lain, seperti postur janggal, durasi, frekuensi,

coupling, dan force.

• Dapat digunakan untuk menilai postur statis, postur dinamis, postur tidak stabil yang selalu cepat.

• Dapat menilai hampir semua aktivitas tubuh.

• Dapat digunakan untuk menilai lebih dari satu spesifik task.

• Sensitif terhadap risiko MSDs pada berbagai task.

• Skor final REBA menunjukkan action

level dengan indikasi dari urgensi postur

yang dinilai.

• Kerangka waktu untuk intervensi tidak diberitahukan dengan jelas.

• Belum menilai faktor risiko ergonomi dari lingkungan.

• Hanya menganalisis faktor risiko postur, dan tidak ada analisis terhadap faktor risiko ergonomi secara lengkap.

• Tidak ada analisis terhadap faktor risiko individu dan organisasi.

• Faktor risiko fisik lainnya tidak di ukur. • Tidak ada pengukuran durasi dan

frekuensi tiap bagian tubuh secara lebih spesifik.

(35)

OPERASIONAL

3.1 Kerangka Teori

Secara garis besar menurut Bridger (2003), faktor-faktor risiko yang terdapat pada pekerjaan terkait dengan risiko terjadinya MSDs, yaitu: postur, frekuensi, durasi, dan beban.

Bagan 3.1 Faktor risiko MSDs

Postur Frekuensi Durasi Beban Faktor risiko MSDs

(36)

3.2 Kerangka Konsep

Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah REBA (Rapid Entire Body Assesment). Dalam metode ini, terdapat beberapa faktor risiko pekerjaan yang menjadi penelitian, yaitu: postur, beban, coupling, durasi, dan frekuensi. Selain itu, digunakan Nordic Body Map dalam penelitian untuk melihat gambaran tingkat keluhan terkait MSDs. Semua variabel-variabel tersebut dituangkan dalam kerangka konsep sebagai berikut:

Bagan 3.2 Kerangka Konsep

Faktor Risiko Pekerjaan Inspeksi kain, pembungkusan, dan pengepakan (mengangkat kain) • Postur Janggal (leher, tulang belakang, kaki, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan) • Gaya/beban • Coupling • Aktivitas (Frekuensi dan durasi) Tingkat Risiko Ergonomi dengan Metode REBA Keluhan MSDs dengan Nordic Body Map

(37)

Univer

sitas I

ndonesia

44

3.3 Definisi Operasional

Berdasarkan kerangka konsep yang telah dibuat, maka definisi operasional dari setiap variabel adalah sebagai berikut: Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Hasil Ukur

Tingkat risiko ergonomi

Hasil akhir dari proses penilaian terhadap postur tubuh penggunaan

otot dan penggunaan kekuatan/muatan yang telah dilakukan responden mulai dari sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.

REBA Ordinal • Skor 1 : Sangat rendah

• Skor 2-3 : Rendah • Skor 4-7 : Sedang • Skor 8-10 : Tinggi • Skor 11-15 : Sangat tinggi

Postur (leher, batang

tubuh/tulang belakang, kaki, lengan atas kiri dan kanan, lengan bawah kiri dan kanan, pergelangan tangan kiri dan kanan)

Sikap atau posisi bagian tubuh (leher, batang tubuh/tulang belakang, kaki, lengan atas kiri dan kanan, lengan bawah kiri dan kanan, serta pergelangan tangan kiri dan kanan) pekerja saat melakukan pekerjaan pada masing-masing proses kerja yang terdiri dari inspeksi kain,

pembungkusan, pengepakan (mengangkat kain). REBA Checklist, Handycam, Busur derajat

Nominal Penilaian Posisi Leher:

(38)

Univer

sitas I

ndonesia

45

Penilaian Posisi Kaki:

Penilaian Postur Lengan atas:

Penilaian Postur Lengan Bawah:

Penilaian Postur Pergelangan Tangan

Force/beban Gaya yang dibutuhkan untuk

aktivitas manual handling atau massa beban yang diangkat.

REBA

checklist

Interval Penilaian Gaya/Beban:

1. + 0, untuk beban 0-5 kg 2. + 1, untu beban 6-10 kg 3. +2 untuk beban > 10 kg

Coupling Posisi genggaman tangan terhadap

objek yang disentuh, diangkat atau dipindahkan.

REBA

checklist

Ordinal Penilaian Coupling:

1. Good = +0 2. Fair = + 1

(39)

Univer sitas I ndonesia 46 3. Poor = +2 4. Unacceptable = +3 Aktivitas (durasi dan frekuensi)

Lama anggota tubuh melakukan pekerjaan dan pengulangan yang terjadi

REBA

checklist timer

Nominal Penilaian Aktivitas:

• +1 jika postur janggal dilakukan lebih dari 1 menit

• +1 jika postur janggal dilakukan > 4 kali per menit

• +1 jika perubahan signifikan dari postur janggal sati ke postur janggal lainnya dilakukan dalam rentan waktu yang berdekatan

Keluhan MSDs Keluhan yang berhubungan dengan MSDs berupa rasa sakit atau nyeri, kesemutan, kramp, panas, bengkak mati rasa, pegal-pegal, dan bagian tubuh yang terkena dampak

Kuesioner

Nordic Body Map (NBM)

Nominal • Ya

Gambar

Gambar 2.3  Postur Mengangkat
Gambar 2.6 Postur Janggal Lengan Bawah
Tabel 2.3 Kelebihan dan Kekurangan Metode OWAS
Tabel 2.5 Kelebihan dan Kekurangan Metode REBA
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil tersebut konsentrasi ekstrak batang pisang ambon ( Musa Paradisiaca Var. Sapientum) yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap diameter zona

Sifat adil dituntut dalam agama Islam dan sebagai seorang pemimpin harus mengamalkan keadilan dalam membuat sebarang keputusan kerana keadilan pemimpin akhirnya akan dinilai oleh

Pedagogiką studijuoja Lietuvoje tūkstančiai žmonių. Bet pedagogika kaip mokslas apie asmenybės bei individualybės ugdymo dėsningumus šiandien rei­ kalauja

Kelebihan dari sistem alat akuisisi data panel surya ini adalah hasil pengukuran dari setiap sensor dapat diproses secara langsung disimpan oleh SD Card dari nilai tegangan dan

Sehingga dengan ini memperkuat alasan penulis untuk meneliti apakah pemberitaan K-pop Idol dapat memberikan pengaruh positif, yang dapat ditunjukkan dengan

Pada hasil output dari analisis Probit ekstrak jamur tiram, diperoleh nilai. signifikansi pada parameter estimate 0,000&lt;0,005 sehingga dapat

Perlindungan hukum desain Indistri Secara substantif, dalam Undang-Undang Desain Industri terdiri dari 57 pasal tersebut mengatur beberapa hal penting berkaitan

(3) Perspektif ketiga adalah mengenai konsepsi kebijakan ekonomi itu sendiri. Dimasa lalu, penetapan kebijakan merupakan proses top-down yang dilakukan oleh Pemerintah,