• Tidak ada hasil yang ditemukan

ICASERD WORKING PAPER No.60

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ICASERD WORKING PAPER No.60"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ICASERD WORKING PAPER No.60

PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN

PEREKONOMIAN PEDESAAN MELALUI

KEMITRAAN USAHA BERWAWASAN

AGRIBISNIS

S u p a d i

Agustus 2004

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

(2)

ICASERD WORKING PAPER No. 60

PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN

PEREKONOMIAN PEDESAAN MELALUI

KEMITRAAN USAHA BERWAWASAN

AGRIBISNIS

S u p a d i

Agustus 2004

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496

E-mail : caser@indosat.net.id

No. Dok.066.60.7.04

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

(3)

PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEREKONOMIAN PEDESAAN MELALUI KEMITRAAN USAHA BERWAWASAN AGRIBISNIS

S u p a d i

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRAK

Petani masih sangat lemah dalam berbagai bidang sehingga untuk memperkuat posisi rebut tawar “bargaining position” petani perlu mengkonsolidasikan dalam wadah kelompok. Kelembagaan petani ini sangat penting untuk menggalang kebersamaan meningkatkan kemampuan mengelola usahanya, dan meningkatkan efektivitas kegiatan kelompok. Selain itu petani sangat tergantung pada banyak pihak. Sektor pertanian memiliki keterkaitan yang luas baik ke hulu mapun ke hilir. Keberhasilan pembangunan pertanian, sangat ditentukan oleh sektor lain sehingga perlu dibangun kemitraan usaha. Sampai kini kegiatan usahatani, penyediaan sarana produksi, pengolahan hasil dan pendistribusiannya masih tersekat-sekat. Pengembangan agribisnis ke depan harus dilihat sebagai suatu sistem dan agribisnis sebagai suatu usaha dilihat secara utuh. Upaya ini dapat dilakukan melalui upaya pengembangan agribisnis kemitraan usaha agribisnis.

Kata kunci : kelembagaan petani, kemitraan dan agribisnis konsolidatif.

PENDAHULUAN

Usahatani di Indonesia didominasi oleh usahatani keluarga skala kecil yang sangat lemah dalam berbagai bidang, seperti keterbatasan dalam menguasai asset produktif, modal kerja, posisi tawar-menawar dan kekuatan politik ekonomi, sehingga tidak dapat berkembang mandiri secara dinamis. Menurut Rusastra et al., (2002), petani sangat tergantung pada banyak pihak, antara lain pada bantuan subsidi, dukungan harga dan perlindungan dari pemerintah yang biasanya tidak efisien dan tidak sesuai pula dengan prinsip persaingan bebas yang menjadi dasar kesepakatan WTO. Petani kecil sangat tergantung pada golongan petani lahan luas atau pedagang untuk memperoleh asset produktif (lahan, peralatan), modal kerja dan perolehan sarana produksi. Demikian juga dalam penjualan hasil petani sangat tergantung pada pedagang hasil. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan petani melalui pengembangan kelompok tani dan melalui kemitraan usaha agribisnis konsolidatif sebagai langkah strategis. Petani adalah pengusaha yang bertindak rasional, yang akan memberikan respon secara dinamis terhadap bekerjanya mekanisme pasar. Karena itu mekanisme pasar menjadi dasar dari penggerakan proses partisipasi petani dalam intensifikasi (Adjid,1980)

(4)

Tulisan ini bertujuan untuk membahas beberapa upaya yang berkaitan dengan pengembangan kelembagaan kelompok tani, pola-pola kemitraan usaha dan sistem serta usaha agribisnis yang konsolidatif. Metode penulisan yang digunakan adalah melalui studi literatur atau kepustakaan dari berbagai buku-buku dan sumber tulisan lain yang mendukung.

KERANGKA PEMIKIRAN

Untuk mengembangkan agribisnis dibutuhkan subsistem agribisnis yang saling mendukung, terpadu, berdampingan secara serasi berbagai pihak yang terlibat atas dasar saling membutuhkan dan saling ketergantungan (Gambar 1).

Petani adalah pelaku utama yang harus diberdayakan. Tahap awal yang perlu ditempuh untuk memberdayakan petani adalah membentuk kelembagaan berupa kelompok tani yang merupakan organisasi kerja sama. Kerjasama sangat diperlukan untuk menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi yang pada dasarnya sangat sulit bila dihadapi secara individu. Selama ini petani lemah dalam menentukan harga produksinya karena sulit mendapat akses informasi pasar. Dalam hal ini petani harus melakukan konsolidasi yang bersifat horizontal. Selanjutnya melalui penyuluhan (pendidikan dan latihan) yang berkelanjutan terhadap kelompok yang mendapat pembinaan tersebut diharapkan menghasilkan sumberdaya manusia petani yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam berusahatani.

Untuk dapat berusahatani lebih teratur dan terarah maka kelembagaan kelompok tani perlu menjalin kerja sama dan kemitraan dengan pihak luar/usahawan. Keterkaitan

Petani Kelembagaan Kelompok Tani Agribisnis Konsolidatif Swasta Usahawan Pemerintah Konsolidasi vertikal Konsolidasi vertikal (kemitraan)

(5)

dan kerja sama kelembagaan kelompok tani dengan pihak swasta/usahawan dapat terjalin secara baik bila terdapat saling ketergantungan dan kerjasama yang bersifat simetri serta saling menguntungkan. Kemitraan dalam hal ini identik dengan konsolidasi vertikal yang memadukan segmen kegiatan usahatani, pengolahan hingga pemasaran.

Peran pemerintah melalui berbagai kebijakan dan program diharapkan dapat mendorong dan menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menggairahkan petani/kelompok tani maupun pihak swasta/usahawan, sehingga agribisnis dapat berkembang. Dalam hal ini pemerintah bertindak sebagai fasilitator, regulator, motivator yang harus menserasikan hubungan antar pelaku agribisnis tersebut, sehingga para pelaku dapat berinteraksi secara proporsional dan tidak terjadi eksploitasi yang bersifat kontradiktif. Para pelaku usaha bisa meraih keuntungan yang seimbang.

Dengan terjadinya keterpaduan berbagai unsur tersebut (kelompok tani, swasta/usahawan dan pemerintah) diharapkan agribisnis yang bersifat konsolidatif vertikal atau kemitraan tersebut dapat berkembang.

PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN KELOMPOK PETANI

Pengembangan kelembagaan kelompok petani sangat dibutuhkan untuk pemberdayaan petani untuk dapat tumbuh berkembang secara dinamis dan mandiri sebagai langkah kunci di dalam mewujudkan strategi pembangunan pedesaan berbasis pertanian. Dengan penguatan kelembagaan kelompok petani, masyarakat tani memiliki daya atur diri yang menimbulkan ketaatan (comformity) terhadap norma-norma yang telah diakui bersama (Soewardi, 1977).

Untuk dapat menjalankan suatu aktivitas yang secara ekonomik menguntungkan diperlukan suatu bentuk atau organisasi kerja sama yang dapat mendorong masyarakat mampu mengembangkan respon yang sesuai dengan kondisi atau iklim ekonomi yang kondusif.

Banyak pakar yang mengemukakan betapa pentingnya usaha-usaha pertanian di Indonesia dilaksanakan secara berkelompok. Beberapa argumen pentingnya kelembagaan kelompok tani, antara lain adalah: (1) memudahkan dalam transfer teknologi; (2) meningkatkan efisiensi dalam mendapatkan sarana produksi; (3) meningkatkan efisiensi dalam penjualan hasil; dan (4) memudahkan dalam pelaksanaan berbagai program pembangunan pertanian. Adanya kelompok tani yang dinamis dapat

(6)

meningkatkan kemampuan mengelola yang berkaitan dengan pengaturan pola tanam komoditas yang diusahakan, pengaturan air, pengelolaan kredit, serta pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil secara bersama. Pada dasarnya, semua permasalahan tersebut tidak dapat diatasi oleh petani secara individu, namun memerlukan aksi kolektif. Perubahan-perubahan dalam lingkup yang lebih luas dalam rangka pengembangan kelembagaan akan sulit dan lambat terjadi, bila dilaksanakan secara individu (Nataatmadja, 1977). Perubahan perilaku akan sangat dipercepat bila terjadi pada individu-individu yang berkelompok dan sengaja dibina (Soewardi, 1980). Hal ini berarti bahwa keberlanjutan partisipasi petani peserta program akan sangat ditentukan oleh adanya sistem pembinaan yang berkelanjutan.

Kemajuan masyarakat pertanian dan pedesaan serta kemajuan ekonomi yang berkembang cepat seperti pada kasus di Korea, Jepang dan Vietnam dilatarbelakangi oleh keorganisasian kelompok tani yang relatif kuat (Pranadji, 2003). Sistem keorganisasian ekonomi kelompok petani yang mandiri dan kuat dapat mudah dikembangkan bila struktur penguasaan lahan pertaniannya relatif merata (Sudaryanto dan Pranadji, 2000) Menurut Krisnamurthi (2003) yang dikutip Trubus, 80 persen keberhasilan pembangunan pertanian ditentukan oleh kapasitas dan kualitas petaninya. Namun pemerintah perlu dilibatkan terutama untuk membangun berbagai infrastruktur pendukung (jaringan jalan, irigasi, telekomunikasi, listrik dan lain-lain).

Kelembagaan kelompok petani yang perlu dikembangkan meliputi: (a) organisasi untuk mengatur sumber daya milik bersama seperti organisasi petani pemakai air, pemanfaatan hutan atau lahan adat, dan dalam bentuk arisan tenaga kerja saat puncak kegiatan usahatani, (b) organisasi bisnis kooperatif, dapat berupa kegiatan kolektif (pengadaan sarana produksi pertanian, pengadaan modal dan pemasaran hasil secara bersama-sama), dan (c) organisasi lobi politik ekonomi dengan membentuk paguyuban petani (Rusastra et al., 2002).

Kelembagaan merupakan faktor penting dalam mengatur hubungan antar manusia untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Meskipun secara ekonomik menguntungkan karena produktivitas yang lebih tinggi dan ongkos yang lebih rendah, tetapi inovasi dalam bentuk usahatani berkelompok bukan merupakan suatu yang bersifat teknis di mana mekanisme yang begitu saja dapat diadopsi oleh petani seperti mengadopsi komponen teknologi fisik (pupuk, pestisida, alat dan lain-lain). Usahatani berkelompok merupakan inovasi yang proses adopsinya melalui suatu proses partisipasi

(7)

dalam membangun kemampuan kelompok tani untuk mengelola rencana kerja yang telah disusunnya untuk mencapai tujuan bersama.

Berkelompok bukanlah sesuatu materi yang sudah tersedia untuk “dibeli” dan dipakai. Kemampuan kelompok adalah sesuatu yang harus dibangun dengan usaha dan “pengorbanan” dari para pesertanya. Dalam kenyataannya perkembangan kemampuan kelompok kerja sama pengelolaan usahatani itu memerlukan keterlibatan yang aktif dari pemerintah melalui pelayanan/pembinaan yang bersifat motivasi dan edukasi yang dilakukan oleh petugas pertanian (KCD, BPP, dan PPL), sehingga partisipasi petani timbul dari kesadarannya sebagai jalan meningkatkan pendapatan mereka. Adanya partisipasi secara sukarela dan atas kesadaran bersama petani/kelompok tani dapat meningkatkan konsolidasi di dalam kelompok. Namun dalam hal ini yang perlu diingat, petani jangan disibukkan dengan kegiatan partisipatif yang kurang/tidak produktif (Sudaryanto, 1996).

Perkembangan kelembagaan selayaknya dapat berlangsung secara alamiah. Dalam hal ini campur tangan pemerintah hendaknya bersifat konsultatif fasilitatif dan pengembangan sistem insentif. Pada akhirnya pengembangan dan peranan kelompok tani merupakan perwujudan kekuatan sosial petani berswadaya untuk mencapai kemandirian.

Perkembangan pertanian yang berlangsung di negara-negara yang sedang berkembang pada dasarnya merupakan penerapan teknologi baru yang lebih unggul dan kompleks dibandingkan dengan teknologi tradisional. Penerapan teknologi baru oleh petani mau tidak mau harus disertai dengan “proses modernisasi”, yaitu adanya proses-proses perubahan di dalam masyarakat, baik proses-proses perubahan perilaku maupun perubahan kelembagaan. Perubahan atau dalam hal ini pengembangan kelembagaan petani pada dasarnya merupakan penjalinan antara masyarakat desa (petani) dan masyarakat nasional secara permanen. Dengan berkembangnya kelembagaan kelompok tani dapat dijadikan modal utama dalam usaha transformasi perekonomian pedesaan yang bersifat tradisional ke arah perekonomian pedesaan yang modern, sehingga perekonomian pedesaan dapat diintegrasikan dengan ekonomi pasar baik lokal, regional, maupun global (Saptana, et al., 2003).

Bedasar uraian di atas untuk dapat memanfaatkan sesuatu hal yang secara ekonomi menguntungkan diperlukan suatu bentuk atau organisasi kerja sama yang

(8)

membuat masyarakat mampu mengembangkan respon yang sesuai dengan logika yang implisit terbawa oleh kondisi atau "iklim” ekonomi yang menguntungkan.

Proses pembangunan (ekonomi) suatu bangsa secara implisit mensyaratkan adanya transformasi pertanian tradisional menjadi pertanian maju atau modern. Dalam proses transformasi itulah pola partisipasi memainkan peranannya. Pertanian maju adalah pertanian yang berkemampuan untuk terus-menerus menyesuaikan diri dengan tantangan dan permintaan pasar yang senantiasa berubah.

Perencanaan kuantitatif ekonomi pertanian Indonesia belum memungkinkan dilakukan selama sektor pertanian (rakyat) belum mampu untuk menumbuhkan partisipasi petani secara menyeluruh. Kekuatan yang menghasilkan momentum untuk membangun itu adalah kemampuan untuk mengelola unit organisasi ekonomi yang cukup “besar” yang dapat berbentuk koperasi kelompok tani atau koperasi agribisnis yang mampu menjalin kerja sama dengan perusahaan (industri) yang mengolah hasil pertanian.

Kemampuan manajemen yang didukung oleh partisipasi aktif dari para petani itu merupakan syarat yang diperlukan bagi tumbuh dan berkembangnya industri/ perusahaan pertanian (agroindustri) di pedesaan yang terkait secara terpadu dengan kehidupan dan perkembangan usahatani. Dengan demikian akan terbangun suatu pola kemitraan usaha yang saling membutuhkan, memperkuat dan menguntungkan.

MEMBANGUN POLA KEMITRAAN USAHA

Salah satu hambatan utama untuk menghasilkan produk pertanian berdaya saing tinggi adalah lemahnya “bangunan” kelembagaan kemitraan agribisnis terutama yang dijalankan oleh dan di masyarakat pedesaan (Sudaryanto dan Pranadji, 2000). Dewasa ini sebagian pelaku agribisnis adalah petani di pedesaan dan hampir semuanya merupakan kegiatan usahatani yang dikelola dengan pola usaha keluarga. Kemitraan usaha yang menonjol di tingkat desa adalah kemitraan horizontal, antara lain berupa kerja sama kelompok tani, sedangkan hubungan buruh-majikan, atau bapak-anak angkat

(patront client).

Peran kemitraan usaha adalah pada kemampuan kerja sama yang lebih teratur dan terarah, sehingga pengembangan sistem agribisnis mempunyai daya guna yang lebih tinggi dan berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan pelaku-pelaku

(9)

agribisnis di pedesaan. Dihasilkannya produk pertanian berdaya saing tinggi, dapat dipandang sebagai interaksi sinergis dari komponen budaya material, peran kewirausahaan dan kelembagaan (kemitraan yang terbangun dengan baik). Struktur organisasi ekonomi masyarakat pedesaan sangat rapuh dan hal itu tercermin dari posisi pelaku ekonomi pedesaan yang tidak “memiliki” kekuatan memadai untuk melakukan

bargaining position dengan pelaku ekonomi di luar desa. Lemahnya bargaining position

tersebut disebabkan oleh banyak faktor, antara lain kelemahan dalam pengorganisasian kelompok tani, penguasaan permodalan usaha, interdependensi yang sangat timpang antar pelaku ekonomi pedesaan dengan luar pedesaan.

Pola keorganisasian kemitraan yang ada dewasa ini, yaitu program pemerintah (inti-plasma), tradisional (patront client) dan pasar (“rasional”) masih menempatkan petani pada posisi yang tereksploitasi secara sangat tidak adil. Pola pemerintah menunjukkan terlalu dominannya intervensi pemerintah dan pada umumnya menempatkan plasma pada posisi yang lemah. Pola tradisional sulit menumbuhkan semangat dan kreativitas serta mengembangkan diri, sedangkan pola pasar menyebabkan besarnya ketergantungan petani terhadap usahawan dan dapat menimbulkan konglomerasi (Saragih dan Krisnamurthi, 1996). Bagi pengembangan agribisnis “kecil” masalah yang sering dihadapi terutama adalah ketidakseimbangan rebut tawar (bargaining position) dan adanya intransparansi bisnis. Oleh sebab itu peran pemerintah selain sebagai regulator dan pemberi insentif, juga perlu diarahkan untuk membantu pengembangan kegiatan kemitraan usaha agribisnis kecil.

Karakteristik usahatani di Indonesia dicirikan oleh sifat usaha skala kecil dikelola secara independen dan menyebar dalam kawasan yang luas (dispersal). Konsekuensinya adalah volume produksi terbatas, kualitas produk dan waktu panen bervariasi serta biaya pengumpulan produk relatif besar sehingga kurang kondusif bagi pengembangan agroindustri dan sistem pemasaran yang efisien. Dampak integratifnya adalah tingginya biaya pemasaran sehingga akan menekan pangsa harga yang diterima petani dan mengangkat tingkat harga yang dibayar konsumen. Akibatnya adalah permintaan dan penawaran produk usahatani akan menurun, sehingga menghambat perkembangan agribisnis (PSE, 2002).

Berdasarkan pada permasalahan tersebut maka strategi kemitraan usaha yang tepat untuk mendorong mengembangkan agribisnis di pedesaan adalah kemitraan usaha melalui konsolidasi vertikal. Usahatani skala kecil dikonsolidasikan oleh suatu usaha

(10)

agroindustri atau pemasaran dalam suatu usaha kemitraan sehingga tercipta satu unit industri pertanian (agroindustri). Pola kemitraan haruslah didasarkan pada kesadaran semua pihak bahwa mereka saling membutuhkan dan hanya dapat tumbuh bersama sehingga harus bermitra dengan prinsip transparan, adil, patuh aturan kesepakatan dan terpercaya.

Pengembangan unit agroindustri merupakan strategi dasar pengembangan agribisnis di pedesaan. Pengembangan unit agroindustri merupakan strategi operasional yang tepat sebagai implementasi dari konsep pengembangan wilayah pedesaan yang tertata (agropolitan). Mengingat pasar tidak selamanya sempurna dan adanya senjang informasi, maka pembentukan agroindustri haruslah dipacu melalui peran aktif pemerintah yang bertindak sebagai inisiator gagasan, mediator, fasilitator, pelindung dan regulator yang jujur, adil dan bijaksana. Forum dialog antara pengusaha, petani dan pemerintah dinilai sangat penting dalam mencapai keberhasilan program kemitraan agroindustri di pedesaan.

Konsep agropolitan pada dasarnya adalah pengembangan wilayah pedesaan terkelola dengan luasan sekitar 30 ribu hektar dan berpenduduk maksimum 600.000 orang. Daerah pedesaan dikembangkan berdasarkan pewilayahan komoditas unggulan utama yang menghasilkan bahan baku untuk pengembangan agroindustri di daerah perkotaan. Struktur agroindustri harus mampu menjamin efisiensi dan daya saing serta bersifat konstruktif.

Petani sebagai pelaku utama dalam pengembangan usahatani perlu dibina dan ditumbuhkembangkan motivasi dan minatnya dalam usahatani bahwa usahatani dapat memberikan tambahan pendapatan bila usahataninya dikelola secara baik. Dengan teknik pengelolaan yang lebih baik, keragaan sektor pertanian bisa tidak kalah dengan sektor perekonomian yang paling modern sekalipun (PSE,2002).

Kemitraan adalah kerja sama antara usaha kecil dan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan (UU. No. 9/1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 1 ayat 8). Peranan kemitraan dalam pengembangan agribisnis dalam konteks UU No.9/1995 dipandang cukup strategis karena dominannya usahatani kecil atau malah subsisten di Indonesia. Menurut Sudaryanto dan Pranadji (2000) perangkat hukum sangat penting untuk mendukung sehatnya perkembangan kemitraan usaha, terutama ditujukan untuk

(11)

melindungi hak-hak individu petani dan bahaya eksploitasi pemodal besar dan perusakan sumber daya alam yang menjadi basis usaha di sektor pertanian. Namun dalam hal ini perlu diketahui bahwa untuk bermitra, di pihak petani harus ada kelembagaan kelompok tani yang berbadan hukum atau dengan kata lain dan yang lebih tepat lagi petani harus telah bergabung dalam wadah koperasi (Karwan, 1997).

Untuk menjalin kemitraan, petani perlu disiapkan dalam arti ditingkatkan kemampuannya baik dari aspek keorganisasian, manajemen, dan permodalannya supaya bisa bermitra dengan yang lebih kuat. Suatu usaha dapat berkembang dengan baik bila dapat diidentifikasi dengan baik berbagai faktor yang mempengaruhinya baik faktor internal (pendorong dan penghambat) dan eksternal (peluang dan tantangan). Perlunya kemitraan di sektor pertanian karena keberhasilan pembangunan pertanian, 60–70 persen ditentukan oleh sektor lain (Hafsah dalam Olson, 1997).

Diharapkan gerakan kemitraan nasional dapat mengubah paradigma model pembangunan trickle down effect (menetes/mengalir ke bawah) menjadi model snow ball

effect (efek bola salju) yang lebih menjanjikan pemerataan yang berkeadilan.

Pengembangan kelembagaan kemitrausahaan dapat dipandang sebagai komplemen dari konsolidasi segmen-segmen kegiatan pertanian. Pada kelembagaan kemitrausahaan, kegiatan pertanian selain bisa diarahkan untuk meningkatkan pencapaian efisiensi ekonomi, juga bisa untuk tujuan peningkatan pemerataan dan keadilan.

Dengan konsolidasi segmen-segmen kegiatan pertanian “usahatani” dapat menjadi satu kesatuan dengan industri “pengolahan hasil”. Dengan konsolidatif ini, friksi antar kegiatan tersebut dapat ditekan sekecil mungkin. Gejala umum yang tidak sehat seperti harga bahan baku (hasil usahatani petani) yang ditekan oleh pengusaha pengolah hasil pertanian tidak lagi dijumpai. Peningkatan efisiensi dapat dimulai dari konsolidasi lahan usahatani, untuk dikelola secara kolektif. Beberapa manfaat adanya konsolidasi usahatani ini antara lain:

1. Seluruh rangkaian kegiatan fisik dapat diselenggarakan di pedesaan sehingga pengembangan pertanian berimpit dengan pengembangan ekonomi pedesaan.

2. Teknologi dan modal untuk pengembangan pertanian bisa langsung diarahkan dan disalurkan ke pedesaan.

(12)

4. Mendorong perekonomian desa berkembang lebih pesat, sehingga dapat membendung mengalirnya tenaga-tenaga kerja muda yang potensial dari pedesaan ke kota.

MENGEMBANGKAN AGRIBISNIS KONSOLIDATIF

Ciri-ciri sebagian besar usahatani Indonesia adalah (1) merupakan usaha keluarga skala kecil sehingga volume produksi per usahatani sangat kecil, (2) usaha tani dikelola secara independen sehingga kualitas produk yang dihasilkan dan waktu panen bervariasi antar petani; (3) Usahatani tersebar dalam kawasan luas (dispersal) sehingga biaya pengumpulan hasil produksi besar pula dan juga sistem pemasaran hasil tidak efisien; (4) volume kecil merupakan penghambat eksploitasi skala ekonomi; (5) kualitas yang beragam membuat ongkos standarisasi tinggi; dan (6) tiadanya kepastian informasi mengenai kualitas dan waktu panen menciptakan ongkos pencarian dan risiko kesalahan informasi (Rusastra et al., 2002).

Dengan demikian, strategi yang tepat untuk mendorong perkembangan agribisnis di pedesaan ialah agribisnis konsolidatif, usaha kecil dikonsolidasikan, sehingga sistem ekonomi dualistik yang selama ini mendominasi usaha pertanian di Indonesia dapat dihapuskan. Indikator sehatnya organisasi masyarakat pertanian antara lain mencakup adanya konsolidasi dan integrasi antar cabang agribisnis pertanian, interdependensi antar pelaku agribisnis pertanian dan iklim usaha yang dibangun (praktek persaingan usaha yang sehat, pencegahan praktek monopoli, kemudahan usaha, kepastian hukum dan penyelenggaraan administrasi pemerintah yang bersih dan berwibawa (Pranadji, 2001).

Penghapusan struktur ekonomi dualistik (antara pertanian rakyat dan pertanian modern) merupakan salah satu strategi penting untuk memposisikan sektor pertanian sebagai tulang punggung perekonomian nasional di masa datang. Selama gejala dualistik tersebut dibiarkan, selama itu pula kekhawatiran pembangunan pertanian mengalami kemacetan akan semakin mendekati kenyataan. Karena akan mempengaruhi respon petani dalam adopsi teknologi dan penggunaan kapital dalam usahatani, sehingga tidak kondusif bagi pembangunan pertanian (PSE 2002).

Pada saat krisis ekonomi berlangsung, sektor pertanian menunjukkan daya tahan yang relatif kuat, bukti empiris menunjukkan sektor pertanian merupakan sektor yang cukup tangguh dalam menghadapi krisis dan paling berjasa dalam menampung

(13)

pengangguran yang kehilangan pekerjaan akibat krisis ekonomi tersebut. Jika saja sektor pertanian ditangani dengan lebih baik dan terarah diperkirakan pengaruh krisis ekonomi terhadap kehidupan masyarakat tidak seburuk saat ini. Dengan demikian di masa datang sektor pertanian perlu mendapat perhatian lebih serius. Dengan manajemen yang lebih baik, keragaan sektor pertanian bisa tidak kalah dengan sektor perekonomian yang paling modern sekalipun. (Simatupang, et al., 2002).

Sumber munculnya gejala dualistik terutama disebabkan oleh tersekat-sekatnya kegiatan agribisnis, misalnya usahatani, pengolahan hasil dan pendistribusiannya. Gejala dualistik tadi akan terhapus jika seluruh kegiatan agribisnis dilihat secara utuh, sehingga tidak dikenal lagi pengusaha bahan baku atau pengusaha bahan setengah jadi (Simatupang, et al., 2002). Dengan kata lain kegiatan agribisnis harus dipandang sebagai satu jaringan kegiatan ekonomi utuh, tidak tersekat-sekat sehingga responsif terhadap dinamika pasar, teknologi dan permodalan Upaya ini dapat dilakukan melalui upaya pengembangan agribisnis konsolidatif. (Rusastra, et al., 2002).

Pengembangan agribisnis konsolidatif merupakan konsolidasi secara vertikal dari sejak segmen kegiatan usahatani, pengolahan hingga pemasaran. Dengan konsolidasi ini kegiatan pertanian “usahatani” menjadi satu kesatuan dengan industri “pengolahan hasil”. Dengan konsolidatif ini, friksi antar segmen kegiatan agribisnis tersebut dapat ditekan sekecil mungkin. Gejala umum yang tidak sehat, seperti harga bahan baku (hasil usahatani petani) ditekan oleh pengusaha pengolah hasil pertanian, tidak dijumpai lagi.

Beberapa manfaat yang berhubungan dengan agribisnis konsolidatif: (Simatupang, et al., 2002) :

1. Seluruh rangkaian kegiatan fisik agribisnis dapat dilaksanakan di pedesaan, sehingga perekonomian desa lebih berkembang.

2. Teknologi dan kapital bisa langsung diarahkan dan disalurkan ke pedesaan.

3. Bisa membendung mengalirnya tenaga-tenaga kerja muda yang potensial di pedesaan ke kota.

4. Sumber daya pertanian (lahan) dapat dikelola secara lebih efisien. Pada saat ini pengelolaan usahatani mengikuti manajemen keluarga, sehingga tidak efisien. Peningkatan efisiensi bisa dimulai dari konsolidasi lahan usahatani untuk dikelola secara kolektif.

(14)

5. Meningkatnya kredibilitas dilihat dari aspek perbankan dan bargaining position di bidang pemasaran hasil akhir.

6. Pemeliharaan lingkungan dan pelestarian sumber daya setempat dapat dilakukan secara lebih efektif karena kegiatan lebih mudah diintegrasikan dengan ekosistem setempat.

Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa konsolidasi agribisnis tidak dapat dipisahkan dengan upaya penerapan dan kemitraan usaha. Pengembangan kelembagaan kemitrausahaan dapat dipandang sebagai komplemen dari konsolidasi segmen-segmen kegiatan agribisnis. Pengembangan kelembagaan kemitrausahaan dalam rangka mengembangkan kegiatan agribisnis selain dapat diarahkan untuk meningkatkan pencapaian efisiensi ekonomi, juga dapat ditujukan untuk pemerataan dan keadilan.

Menurut Simatupang, et al., (2002) dan Sudaryanto dan Pranadji (2000) terdapat tiga pola kemitraan yang berkembang dalam kegiatan agribisnis, yaitu: (1) pola kemitraan tradisional, (2) kemitraan “pemerintah”, dan (3) kemitraan pasar. Kemitraan tradisional mengikuti pola hubungan patron-client (misal hubungan pemilik lahan dan petani penggarap. Pola kemitraan program pemerintah condong pada pengembangan kemitraan secara vertikal dengan pola hubungan “Bapak Anak Angkat” yang pada agribisnis perkebunan dikenal dengan pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Sedangkan pola kemitraan pasar berkembang sebagai akibat dari masuknya sistem ekonomi pasar dalam usaha pertanian rakyat di pedesaan. Jenis usaha pertanian yang dibidik adalah usahatani yang menghasilkan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai permintaan kuat di pasar dunia. Pola ini melibatkan petani dengan pemilik modal besar yang bergerak di bidang industri pengolahan dan pemasaran hasil. Mereka menggalang kerja sama (“kemitraan”) karena adanya kepentingan untuk berbagai manfaat ekonomi (mutually beneficial).

Kelemahan ketiga pola tersebut (Simatupang, et al., (2002) dan Sudaryanto dan Pranadji (2000) adalah:

1. Pola kemitraan tradisional sangat kurang kondusif untuk adopsi inovasi teknologi, permodalan dan kelembagaan ekonomi. Tidak adanya kompetisi ekonomi, sehingga kreativitas usaha pelaku-pelaku sulit ditumbuhkan secara sehat.

(15)

2. Pola kemitraan program pemerintah, dapat memberi peluang terjadinya “eksploitasi legal” dari Sang Bapak kepada Anak Angkatnya.

3. Pola kemitraan pasar, secara individual petani “dibuat” mengalami kesulitan untuk akses langsung ke jaringan pusat pemasaran, karena sruktur pasar yang dikuasai pedagang besar (oligopsonistik) dan dengan kemampuannya pengusaha/pedagang besar mampu mengendalikan pasar, termasuk untuk menciptakan situasi sehingga koperasi “tidur nyenyak”.

Dari kelemahan yang telah disebutkan tersebut, pola kemitraan yang bagaimana yang dapat diunggulkan sebagai pola alternatif yang kuat untuk mencapai pemerataan dan keadilan sosial. Dalam hal ini alternatif pola kemitraan yang harus dibangun adalah pola yang mampu mentransformasikan ciri usaha (ekonomi/pertanian tradisional menjadi berciri dan berbentuk struktur ekonomi pasar). Menurut Kasryno (2000), pertanian rakyat dapat berdampingan dengan perusahaan besar dengan membina saling ketergantungan di mana petani merasa memiliki perusahaan melalui pemilikan saham. Bentuk kemitraan tersebut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Petani produsen harus menjadi pemilik saham, sehingga secara kolektif petani menguasai tubuh agribisnis.

2. Organisasi petani tidak dibatasi hanya pada kegiatan produksi bahan baku.

3. Output usaha pertanian bukanlah bahan mentah yang tidak stabil melainkan komoditas olahan (akhir) dengan nilai tambah tinggi.

4. Hubungan kemitraan antar pelaku agribisnis didasarkan rasionalitas ekonomi dan spesialisasi pembagian kerja secara organik. Azas keterbukaan dan penerapan demokrasi serta pengambilan keputusan baik melalui musyawarah ataupun pemungutan suara (voting).

Sedangkan menurut Rusastra, et al., (2002) ciri-ciri yang diperlukan adalah (1) pemilik “saham” terbesar kegiatan agribisnis adalah petani, (2) kegiatan agribisnis bersifat integratif, sehingga friksi antar kegiatan agribisnis dapat dieliminir, (3) output kegiatan agribisnis bersifat stabil, memiliki nilai tambah tinggi dan berstandar mutu tinggi, (4) spesialisasi kerja dan rasionalisasi ekonomi dapat diharmonisasikan .dengan cara pengelolaan agribisnis yang kooperatif, dengan koperasi sebagai lembaga ekonomi andalannya dan (5) mudah di integrasikan dengan perkembangan ekonomi pedesaan.

(16)

Dalam rangka membangun kemitraan usaha, diharapkan turut campur pemerintah terutama dalam beberapa aspek yaitu:

1. Mengarahkan kelembagaan ekonomi koperasi, untuk menjadi bagian dari kegiatan agribisnis.

2. Pengkonsolidasian lahan pertanian yang terarah bahwa lahan pertanian adalah untuk usaha pertanian.

3. Pembuatan perangkat hukum (Undang-Undang atau PP) yang mendukung berkembangnya kemitraan usaha, terutama yang ditujukan untuk melindungi hak-hak individu petani dari bahaya eksploitasi pemodal besar, dan pengrusakan lingkungan dan sumber daya alam yang menjadi basis usaha di sektor pertanian.

4. Menciptakan prakondisi usaha seperti pengembangan prasarana ekonomi, pengkajian dan penerapan teknologi, kemudahan pelayanan perkreditan, dan pengembangan sistem informasi pasar untuk pengembangan produk pertanian.

PENUTUP

Kelembagaan kelompok/organisasi petani yang perlu dikembangkan meliputi: (a) organisasi untuk mengatur sumber daya milik bersama seperti organisasi petani pemakai air, pemanfaatan hutan lahan adat, (b) organisasi bisnis kooperatif yang dapat berupa kegiatan produktif kolektif (pelaksanaan/pengaturan kegiatan usaha tani, pembelian sarana produksi, pengadaan modal/kredit pemasaran hasil dan koperasi, dan (c) organisasi lobi politik ekonomi dengan membentuk asosiasi petani.

Pola kemitraan usaha yang harus dikembangkan adalah kemitraan usaha agribisnis konsolidatif yang diarahkan untuk menggantikan pola kemitraan yang berciri patronase. Dengan pola ini tidak dikenal lagi eksploitasi antar pelaku agribisnis dalam satu jaringan kegiatan agribisnis (berdasarkan output akhir), baik secara terselubung, legal dan terbuka. Pola kemitraan usaha yang terbangun diharapkan dapat saling membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan.

Untuk membangun ekonomi pedesaan melalui usaha-usaha pengembangan kelembagaan petani, pembangunan pola kemitraan dikaitkan dengan pengembangan agribisnis konsolidatif perlu didukung oleh pembangunan sarana/prasarana (infrastruktur) ekonomi pedesaan, pengembangan sistem inovasi pertanian, optimasi pemanfaatan

(17)

sumber daya berkelanjutan, pemacuan investasi dan kebijaksanaan insentif sehingga dapat memacu pembangunan sosial ekonomi wilayah pedesaan yang pada gilirannya dapat meningkatkan taraf hidup kesejahteraan petani.

Kondisi pertanian Indonesia akan tetap didominasi oleh pertanian rakyat. Untuk dapat berdampingan dengan perusahaan besar petani perlu dibina terutama dalam penguasaan teknologi, akses terhadap sumber permodalan, sehingga dapat hidup berdampingan melalui pemilikan saham secara bersama. Dalam kondisi demikian kecemburuan dan kesenjangan sosial dapat diperkecil. Ini berarti masing-masing subsistem agribisnis dapat berkembang saling menguntungkan dan saling membutuhkan secara adil, jauh dari eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah. Pembangunan pertanian haruslah dapat mengembangkan keseluruhan subsistem dalam sistem agribisnis ini secara simultan dan harmonis, dengan tetap memperhatikan keunikan masing-masing subsistem yang terlibat dalam proses modernisasi pertanian ini. Dalam proses ini keberadaan lembaga pelayanan dan pembinaan seperti lembaga konsultasi, lembaga keuangan pedesaan, koperasi yang merupakan hasil penggabungan kelompok tani adalah sangat penting.

DAFTAR PUSTAKA

Adjid, D.A. 1980.Pola Operasional Intensifikasi Dalam Pelita III. Dalam Capita Selecta: Pengembangan dan Pembinaan Kelompok Tani dalam Intensifikasi Tanaman Pangan. Satuan Pengendali Bimas Jakarta Hal. 62-92.

Karwan. 1997. Kemitraan dan Daya Saing Petani Kita. SK. Sinar Tani, 29 Januari 1997.

Kasryno, F. 2000. Sumber Daya Manusia dan Pengelolaan Lahan Pertanian di Indonesia. FAE Vol. 18 No. 1 dan 2, Desember 2000 Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Hal. 25-51.

Nataatmadja, H. 1977. Beberapa Segi Sosial Ekonomi Petani. Dalam Penelitian Constraints to Higher Yields. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Bogor

Olson, P.S. 1997. Kemitraan Agribisnis Gilirannya Pejabat Pemerintah yang Menjadi Pelobby. SK. Sinar Tani, 29 Januari 1997.

Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. 2002. Pembangunan Pertanian Andalan Berwawasan Agribisnis.Dalam: Analisis Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Andalan Berwawasan Agribisnis. Monograph Series No. 23. T. Sudaryanto, et al., (Eds). Hal. V-X.

Pranadji,T. 2003. Diagnosa Kerapuhan Kelembagaan Perekonomian Pedesaan. FAE Vol. 21 No. 2, Desember 2003. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Hal. 128-142.

(18)

Rusastra, I W., P. Simatupang, B. Rahman 2002. Pembangunan Ekonomi Pedesaan Berlandaskan Agribisnis. Dalam: Analisis Kebijaksanaan: Pembangunan Pertanian Andalan Berwawasan Agribisnis. Monograph Series No. 23 T. Sudaryanto, dkk (Eds) Puslitbangsosek Pertanian, Bogor. Hal 62-93.

Saptana, Tri Pranadji, Syahyuti, dan Roosgandha E.M. 2003. Transformasi Kelembagaan Tradisional Untuk Menunjang Ekonomi Kerakyatan di Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Saragih, B. dan B. Krisnamurthi. 1996. Keterkaitan Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian. Agritexts No. 06 Th. II /1996. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Hal. 21-31.

Simatupang, P., N. Syafa’at, Tri Pranadji, V.P.H. Nikijuluw dan B. Rachman. 2002. Pembangunan Pertanian Sebagai Andalan Perekonomian Nasional. Dalam Analisis Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Andalan Berwawasan Agribsnis. Monograph Series No.23. T. Sudaryanto, I W. Rusastra, A. Syam, M. Ariani (Eds.). Puslitbangsosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor. Hal 1-60.

Soewardi, H. 1977. Perkembangan Kelembagaan Menunjang Pembangunan Pertanian. Fakultas Pertanian, UNPAD. Bandung.

Soewardi, H. 1980. Kebangkitan Kelompok Tani: Jawaban Terhadap Masalah Penyambungan Kelembagaan Masyarakat Nasional dan Masyarakat Tradisional Dalam Rangka Penerobosan “Stagnasi” Pembangunan Pertanian. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Sosiologi Pedesaan pada Universitas Padjadjaran.

Sudaryanto, Totok. 1996. Kemitraan Usaha dalam Pengembangan Agribisnis untuk Petani Kecil. Agritexts No. 06 Th. II/1996.Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta Hal. 8-14.

Sudaryanto, T. dan Tri Panadji. 2000. Peran Kewirausahaan dan Kelembagaan (Kemitraan) dalam Peningkatan Daya Saing Produk Tanaman Pangan. Dalam Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan. Konsep dan Strategi Peningkatan Produksi Pangan. A.K Makarim, dkk (Eds) Puslitbang Tanaman Pangan Badan Litbang Pertanian. Hal. 104-114.

Referensi

Dokumen terkait

tingkat depresi lansia. Dalam penelitian ini, Vitaria mengemukakan bahwa depresi pada lansia berawal dari rasa kesepian dan keterasingan. Tetapi dengan adanya

Pada setiap pilar di cek biaxial metode Bresler dan Parme untuk rasio tulangan 1% sampai 6% baik ke arah memanjang maupun melintang jembatan (4). Berdasarkan hasil

ABSTRAK: Indonesia merupakan negara yang multikultural, artinya negara yang memiliki keanekaragaman suku bangsa, agama, ras, dan golongan. Dengan menjadi negara yang

• Sama-sama terdapat argumen atau alasan-alasan untuk mencapai kesepakatan. Alasan teks negosiasi seperti baru tiga bulan bekerja. Tidak bisa memberi biaya sekolah anak

Semiotika sastra bukanlah suatu aliran dan bukanlah suatu ilmu yang hanya mempelajari bahasa alami yang dipakai dalam sastra, tetapi juga sistim-sistim tanda lainnya untuk

Sesuai dengan fokus penelitian yang diajukan yaitu tentang pengembangan kualitas sumber daya pemuda melalui program pelatihan kepada calon pelatih, kader HMI, maka proses

Namun sebelumnya yang menjadi faktor penghambat dalam penegakan syariat Islam di Aceh Tamiang adalah dari perubahan rezim (tata pemerintahan negara) yang berkaitan

Praktikum konservasi pada sistem beban tidak seimbang yang telah dilakukan, dengan tujuan praktikum yaitu untuk mengevaluasi sistem kelistrikan dilihat dari keseimbangan beban yang