• Tidak ada hasil yang ditemukan

Badan Informasi Geospasial (BIG) Jl. Raya Jakarta Bogor KM 46 Cibinong Telp ; Fax: ;

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Badan Informasi Geospasial (BIG) Jl. Raya Jakarta Bogor KM 46 Cibinong Telp ; Fax: ;"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Volume 15 No 1 Juni 2013 Nomor Akreditasi : 529/AU1/P2MI-LIPI/04/2013 Majalah Ilmiah Globë merupakan media penyebaran hasil penelitian dan kajian/tinjauan ilmiah dalam bidang kebumian. Majalah ini terbit dua kali setiap tahun yaitu pada Bulan Juni dan Desember. Pernyataan penulis dalam artikel yang dimuat pada majalah ini merupakan pendapat individu penulis bukan pendapat penerbit.

Pengarah :

Kepala Badan Informasi Geospasial

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Penelitian, Promosi dan Kerjasama BIG

Redaktur Pelaksana:

Ketua : Irmadi Nahib, M.Sc Sekretaris : Ir. Sri Hartini, M.GIS Anggota : Sri Lestari Munajati, M.Agr

Ati Rahadiati, M.Sc Dra. Niendyawati, M.Sc Ir. Yatin Suwarno, M.Sc Rizka Windiastuti, M.IT Doddy Mendro Yuwono, MT Arisauna Pahlevi, MT Agung Christianto, M.Sc Arif Aprianto, S.Si Utami Yulaila, SE Yochi Citra Pramesti

Keterangan Gambar Sampul:

Kerapatan Hutan dan Degradasi Lahan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Carolyn, R.D., dkk., 2013) hal 39-47.

Diterbitkan oleh :

Badan Informasi Geospasial (BIG) Jl. Raya Jakarta – Bogor KM 46 Cibinong

(3)

Volume 15 No 1 Juni 2013 Nomor Akreditasi : 529/AU1/P2MI-LIPI/04/2013

ii

SUSUNAN DEWAN REDAKSI

DEWAN REDAKSI (Editorial Board)

Nama :

Prof. Dr. Aris Poniman Dr. Sobar Sutisna Dr. Dewayany Sutrisno

Dr. Mulyanto Darmawan Dr. Gatot H. Pramono Dr. Ibnu Sofian

Dr. Antonius Bambang Wijanarto Dr. Bambang J. Pratondo Dr. Sumaryono

MITRA BESTARI (Peer Reviewer)

Nama :

Prof. Dr Fauzi Febrianto Dr. Riadika Mastra Dr. M. Buce Saleh Dr. Budi Sulistio Dr. Akhmad Fahrudin Dr. Jonson L. Gaol Prof. Dr. Sri Yusnaini

Bidang Kepakaran : Penginderaan Jauh

Geodesi dan Batas Wilayah Sumberdaya Laut dan Pesisir Penginderaan jauh

Sistem Informasi Spasial Kelautan Oseanografi

Geografi

Pengelolaan Lingkungan Pengelolaan Kebencanaan

Bidang Kepakaran: Teknologi Hasil Hutan

Geodesi dan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Kehutanan Pemetaan Digital Kelautan Ekonomi Sumberdaya Alam Penginderaan Jauh Kelautan Sumberdaya Lahan Kedudukan : Ketua Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Instansi:

Institut Pertanian Bogor Universitas Pancasila Institut Pertanian Bogor Balitbang Kemententerian KP Institut Pertanian Bogor Institut Pertanian Bogor Universitas Lampung

(4)

Volume 15 No 1 Juni 2013

Nomor Akreditasi : 529/AU1/P2MI-LIPI/04/2013

DAFTAR ISI

SUSUNAN DEWAN REDAKSI ………...…………... DAFTAR ISI ………... PENGANTAR REDAKSI ……….

Pengaruh Ketinggian dalam Analisis Kemasuk-Akalan (Plausibility Function) untuk Optimalisasi Klasifikasi Penggunaan Lahan

(

Plausibility FunctionAnalysis of Elevation Effect for Optimizing Land Use Classification

)

Iswari Nur Hidayati

Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada ... Inventarisasi Produksi Padi dengan Menggunakan Data Citra MODIS di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten

(Rice Production Inventory Using MODIS Image Data in Lebak District, Banten Province)

Ratih Kusumawardani, Suharto Widjojo dan Irmadi Nahib

Badan Informasi Geospasial …………...………... Evaluasi Lahan Wilayah Pertanian Kepulauan Maritim untuk Mendukung Ketahanan Pangan : Studi Kasus di Kabupaten Maluku Tenggara Barat

(Land Evaluation of Agricultural Area of Maritime Islands to Support Food Security : Case Study at Maluku Tenggara Barat Regency)

Bambang Riadi dan Habib Subagio

Badan Informasi Geospasial …………...………... Pemetaan Lahan Kritis Kabupaten Belitung Timur Menggunakan Sistem Informasi Geografis

(Critical Land Mapping of East Belitung Regency Using Geographic Information System)

Yatin Suwarno

Badan Informasi Geospasial …………...………... Analisis Degradasi untuk Penyusunan Arahan Strategi Pengendaliannya di Taman Nasional Gunung Halimun – Salak Provinsi Jawa Barat

(Degradation Analysis for the Management Strategic in Gunung Halimun - Salak National Park, West Java Province)

Rully Dhora Carolyn, Dwi Putro Tejo Baskoro dan Lilik Budi Prasetyo

Institut Pertanian Bogor …………...………... Perencanaan Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air di Sub DAS Cisadane Hulu

(Landuse Planning Based on Water Resources Conservation in Cisadane Hulu Sub Watershed)

Dwi Maryanto, Dwi Putro Tejo Baskoro dan Baba Barus

Institut Pertanian Bogor …………...………...

ii iii v 1-11 12-22 23-29 30-38 39-47 48-54

(5)

Volume 15 No 1 Juni 2013 Nomor Akreditasi : 529/AU1/P2MI-LIPI/04/2013

iv

Survei Cepat Terintegrasi Untuk Pemantauan dan Pengambilan Keputusan Mengatasi Banjir di Sungai Bekasi

(Rapid Integrated Survey for Flood Hazard Monitoring and Decision Making in Bekasi River)

Aris Poniman, Suprajaka, Sri Hartini dan Sony Nugratama

Badan Informasi Geospasial dan Universitas Islam “45” Bekasi …………...………... Model Spasial Genangan Banjir: Studi Kasus Wilayah Sungai Mangottong, Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan

(Spatial Modelling of Flood Inundation: Case Study Mangottong River Area, Sinjai Regency, South Sulawesi Province)

Seniarwan, Dwi Putro Tejo Baskoro dan Komarsa Gandasasmita

Institut Pertanian Bogor …………...………... Analisis Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dengan Pemanfaatan Pemodelan Spasial

(Analysis of Forest and Land Fire Risk in the Rawa Aopa Watumohai National Park Using Spatial Model)

Dwi Putro Sugiarto,Komarsa Gandasasmita, dan Lailan Syaufina

Institut Pertanian Bogor …………...………... Nilai Sosial Ekonomi Rumput Laut: Studi Kasus Kecamatan Tanimbar Selatan dan Selaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku

(The Socioe-conomics Value of Seaweed: Case Study South Tanimbar and Selaru Subdistrict, District of West Maluku Tenggara, Maluku Province)

Yudi Wahyudin

Institut Pertanian Bogor …………...………... LEMBAR ABSTRAK PEDOMAN PENULISAN 55-61 62-67 68--76 77-85

(6)

Volume 15 No 1 Juni 2013

Nomor Akreditasi : 529/AU1/P2MI-LIPI/04/2013

PENGANTAR REDAKSI

Dewan Redaksi Majalah Ilmiah Globë mengucapkan salam jumpa kembali dengan majalah kebanggaan kita semua. Pada edisi kali ini, disajikan beberapa topik kajian, penelitian dan tinjauan terkait bidang informasi geospasial. Seperti biasanya Majalah Ilmiah Globe ini menyajikan 10 tulisan yang berasal dari berbagai sumber. Untuk kali ini sumber tulisan berasal dari Badan Informasi Geospasial, Fakultas Geografi - Universitas Gadjah Mada, Fakultas Kehutanan - IPB, Fakultas Pertanian – IPB, PKSPL – IPB dan Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watomohai, Kendari.

Pembaca yang budiman,

Kajian dan penelitian menggunakan analisa inderaja yang disajikan pada edisi kali ini membahas tentang pengaruh ketinggian untuk klasifikasi penggunaan lahan menggunakan Landsat ETM., inventarisasi produksi padi menggunakan Enhanced Vegetation Index (EVI) citra MODIS, analisis degradasi untuk strategi pengendalian taman nasional Gunung Halimun menggunakan citra Landsat untuk mendeteksi kelas kerapatan hutan dan tingkat degradasi hutan, dan pengembangan metode survei penginderaan jauh geografis secara cepat dan terintegrasi untuk pemantauan dan pengambilan keputusan dalam mengatasi bencana banjir.

Penggunaan analisis spasial dilakukan pada evaluasi lahan pertanian untuk ketahanan pangan, pemetaan lahan kritis, dan perencanaan penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya air berdasarkan scenario terbaik menggunakan AHP (Analytic Hierarchy Process) .

Sedangkan untuk pemodelan digunakan pada analisis dan simulasi model spasial genangan di wilayah Sungai Mangottong Kab. Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan data DEM dan volume banjir serta analisis kebakaran hutan dan lahan dengan pemodelan spasial. Sedangkan tulisan terakhir (last but not least) berupa analisis sosial ekonomi untuk rumput laut, penilaian sosial ekonomi secara spasial dapat dihitung sehingga manghasilkan informasi yang berharga yang dapat digunakan oleh para pembaca yang budiman.

Pada kesempatan ini, Redaksi mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada para penulis dan kepada para pembaca Majalah Ilmiah Globë atas partisipasinya sehingga majalah ini dapat hadir dihadapan pembaca setia. Saran dan kritik sangat diharapkan demi keberlangsungan majalah ilmiah ini.

Salam, Redaksi

(7)

Pengaruh Ketinggian dalam Analisis Kemasuk-Akalan ....………..……….(Hidayati, I.N.)

1

PENGARUH KETINGGIAN DALAM ANALISIS KEMASUK-AKALAN

(PLAUSIBILITY FUNCTION) UNTUK OPTIMALISASI KLASIFIKASI

PENGGUNAAN LAHAN

(Plausibility Function

Analysis of Elevation Effect for Optimizing Land Use Classification)

Iswari Nur Hidayati1

1

Fakultas Geografi UGM, Sekip Utara, Bulak Sumur Yogyakarta. Email: iswari@ugm.ac.id

Diterima (received): 30 April 2013; Direvisi (revised): 10 Mei 2013; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 15 Mei 2013

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengkaji aspek kemasuk-akalan untuk mendapatkan informasi penggunaan lahan dari data penutup lahan yang diperoleh dari citra penginderaan jauh; dan (2) mengkaji pengaruh informasi ketinggian dalam pengambilan keputusan untuk pemetaan penggunaan lahan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembuatan klasifikasi maximum likelihood untuk pemetaan penutup lahan yang dibuat dari citra Landsat ETM+. Dari hasil klasifikasi kemudian dilakukan perkalian terhadap nilai plausibilitas untuk penggunaan lahan dan plausibilitas lereng sehingga menghasilkan klasifikasi penggunaan lahan optimal. Penggunaan lahan optimal adalah penggunaan lahan yang sesuai dengan keadaan di lapangan dengan memperhatikan ”local knowledge” dan aspek ketidak-pastian. Teori Dempster-Shaffer menawarkan alternatif berdasarkan teori probablisitik yang direpresentasikan melalui ketidakpastian dengan mencari nilai terbaik dari plausibilitas penutup lahan untuk penggunaan lahan, yang diperoleh dari perkalian antara nilai terbaik dari plausibilitas penutup lahan dengan plausibilitas elevasi optimum untuk penggunaan lahan. Penelitian ini merupakan modifikasi teori Dempster-Shaffer untuk pemetaan Penggunaan Lahan Optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode tersebut dapat digunakan untuk optimalisasi penggunaan lahan. Hasil akurasi dari metode adalah 92,40% dan koeffisien kappa sebesar 0,93.

Kata Kunci: plausibilitas, knowledge-based, penggunaan lahan

ABSTRACT

The aims of the research were: (1) to study the plausibility effect on land use classification, and (2) to study the effect of elevation that used as evidence for optimalisation of land use classification. The method applied in this research was maximum likelihood classification for land cover mapping using Landsat ETM+ image. Dempster-Shafer theory offers an alternative to traditional probabilistic theory for the mathematical representation of uncertainty. Dempster-Shafer theory does not require an assumption regarding the probability of the individual constituents of the set or interval. Dempster-Shaffer theory of evidence used to find the best land use classification. Plausibility values were combined to be used to find optimum land use. Plausibility class made out of signature class. Signature class made out of land cover plausibility. The method was optimum land cover plausibility multiplied by elevation plausibility. The method used in this study was a modification of Dempster-Shaffer theory of evidence to optimum land use classification. The results of this study show that the first method was very good in producing optimum land use classification. The accuracy of land use classification was 92.40% and the kappa coefficient was 0.93. This method explained that combination Dempster-Shaffer theory of evidence with multi source spatial data and image data could provide good result.

Keywords: plausibility function, knowledge-based approach, land use

PENDAHULUAN Latar Belakang

Studi penginderaan jauh, pengolahan citra secara digital mampu memberikan hasil yang baik dalam membedakan obyek yang berdasarkan pada karakteristik pantulan spektral. Ferson (2002) menyebutkan bahwa algoritma klasifikasi multispektral pada umumnya hanya mampu menghasilkan peta penutup lahan bukan peta penggunaan lahan. Penggunaan algoritma ini dikembangkan dan diuji di

negara-negara Barat terutama di Amerika Utara dan Eropa Barat, tempat asal teknologi pengolahan citra, dimana liputan lahan berupa tanaman pertanian (misalnya: kentang, jagung, tulip) cenderung mempunyai lokasi tanam yang relatif tetap dan pola rotasi yang sederhana yang dikarenakan adanya keterbatasan alam yang mengenal pola 4 musim. Oleh karena itu, pengenalan jenis-jenis tanaman pertanian ini melalui informasi spektral terekam pada citra satelit secara langsung menjurus pada pengenalan fungsi penggunaan lahannya.

(8)

Campbell (2002) mengelompokkan kelas-kelas menjadi informational classes dan spectral classes.

Informational classes merupakan kelas-kelas yang

didefinisikan langsung oleh pengguna, seperti kelas-kelas pada penutup lahan dan penggunaan lahan pada umumnya. Informational classes pada dasarnya tidak terikat pada pola spektral, dikarenakan kelas-kelas ini didefinisikan terlebih dahulu dan dasar pendefinisian-nya juga bukan pada pola spektral tetapi berdasarkan informasi yang dapat diturunkan dari kenampakan pada citra. Sistem klasifikasi multispektral yang digunakan untuk keperluan pemetaan pada level skala tertentu, mengharuskan untuk menggeneralisasi kelas penutup lahan atau penggunaan lahan. Hal ini mengakibatkan beberapa objek yang berbeda karakter spektralnya digabungkan menjadi satu kelas, sehingga hal ini mengakibatkan faktor ketidak-pastian dalam penurun-an informasi penutup lahpenurun-an menjadi penggunapenurun-an lahpenurun-an dari citra penginderaan jauh.

Ketidak-pastian tidak bisa diabaikan dalam proses

pengambilan keputusan. Dalam Sistem Informasi Geografis, pengambilan keputusan selalu mempertim-bangkan ketidak-pastian (Goodchild dan Gopal, 1989). Hal ini dikarenakan logika biner hanya memberikan keputusan “ya dan tidak” dengan tidak mempertimbangkan bahwa ada sebagian keputusan atau area yang merupakan „daerah samar‟ yang tidak bisa diselesaikan secara mutlak. Ketidak-pastian meliputi beberapa kesalahan yang dikenal maupun yang tidak dikenal, variasi atau keambiguan di dalam

database dan kaidah pengambilan keputusan. Dengan

begitu, ketidak-pastian merupakan variabel yang tidak bisa dipisahkan dari ketidakstabilan, keambiguan konseptual, atau ketidaktahuan sederhana dari parameter-parameter pemodelan yang sangat penting.

Teori Dempster-Shaffer menjelaskan tentang beberapa kemungkinan yang akan terjadi dalam pengambilan keputusan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan ada faktor penghambat untuk menetapkan kemungkinan tersebut. Dempster-Shaffer

Theory (DST) ini dirancang untuk mengatasi berbagai

macam tingkat ketepatan dalam menentukan suatu informasi yang ada yang dibangun menggunakan berbagai asumsi. DST juga memperhitungkan tentang ”ketidakpastian” dari sistem untuk menanggapi informasi yang kurang jelas. Setiap sumber (berupa citra dan peta) dipandang sebagai suatu bukti (evidence) keberadaan suatu fakta. Fakta yang dimaksud adalah fenomena yang akan dilakukan klasifikasi. Dalam teori ini pula diperkenalkan konsep

belief (kepercayaan) dan plausibility (kemasuk-akalan).

Kepercayaan secara umum merupakan nilai yang diperoleh dari hasil ketidak-percayaan (belief-againts), dan nilai ketidak-percayaan inilah yang dapat diestimasi secara langsung dengan dilandasi dengan tingkat kepakaran tertentu. Perhitungan untuk kepercayaan, ketidak-percayaan, maupun kemasuk-akalan diperhi-tungkan dalam presentase (%) (Ferson, 2002). Ada tiga fungsi penting di dalam DST yaitu: Basic Probability

Assignment (BPA atau m), Belief Function (Bel), dan Plausibility Function (Pl).

Perumusan Masalah

Klasifikasi yang baik memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan sebagai perencanaan dalam pengambilan keputusan dan mempertimbangkan faktor yang digunakan dalam pengambilan keputusan. DST merupakan salah satu teori yang menerangkan tentang plausibility yang didukung dengan fakta yang ada untuk menentukan keputusan klasifikasi. DST ini memerlukan citra satelit untuk melakukan penelitian yang digunakan sebagai input untuk klasifikasi. Penelitian yang menggunakan teori ini biasanya digunakan untuk optimalisasi klasifikasi penutup lahan. Oleh karena itu perlu adanya kombinasi antara klasifikasi Maximum Likelihood dengan DST. Penelitian ini dilakukan dengan memasukkan faktor elevasi untuk memudahkan pengambilan keputusan yang berdasarkan pada local knowledge. Faktor elevasi digunakan karena ada pengaruh antara ketinggian dengan penggunaan lahan. Walaupun aturan DST ini menyangkut tentang 3 aspek yaitu belief probability

assignment, belief function, dan plausibility function,

namun penelitian ini yang dilibatkan dalam perhitungan langsung adalah belief function dan plausibility function. Secara singkat penelitian ini digambarkan dalam skema yang tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengkaji aspek kemasuk-akalan untuk menurunkan informasi penggunaan lahan dari data penutup lahan melalui citra penginderaan jauh.

2. Mengkaji pengaruh informasi ketinggian dalam pengambilan keputusan untuk pemetaan penggunaan lahan.

Data Citra Satelit

Expert Knowledge Data elevasi Klasifikasi Penutup

Lahan

DST Rule

Peta Plausibilitas Tiap Penggunaan Lahan

ANALISIS

(9)

Pengaruh Ketinggian dalam Analisis Kemasuk-Akalan...(Hidayati, I. N.)

3

METODE PENELITIAN Lokasi

Penelitian dilaksanakan di sebagian wilayah DI. Yogyakarta. Sampel area diambil untuk pembuktian plausibilitas yang disesuaikan dengan keberadaan citra Quickbird sebagai alat bantu untuk ground check. Luas daerah penelitian ini adalah 344.729.180,626 m2 (34.472,918 ha). Penelitian ini tidak menggunakan batas administrasi sebagai batas penelitian, akan tetapi menggunakan batas tersendiri sebagai batas penelitian. Alat yang Digunakan

1. Software Image Processing.

2. Global Positioning System (GPS) Receiver. 3. Kamera Digital.

4. Komputer.

Bahan yang Digunakan

1. Landsat ETM+ tahun 2001 (tanggal perekaman 1 Juli 2001) saluran 1,2,3,4,5, dan 7 dengan path/row 120/065.

2. Peta Rupabumi Indonesia skala 1:25.000 tahun 2001, digunakan sebagai panduan koreksi geometrik dan cek lapangan.

3. Data Elevasi yang digunakan sebagai salah satu bukti dalam Evidence Theory.

4. Citra Quickbird Yogyakarta digunakan untuk panduan dalam melakukan training area sebelum klasifikasi multispektral dan untuk ground check. Ruang Lingkup

Penelitian yang lebih bersifat untuk uji metodologi dengan menggunakan data Landsat ETM+ tahun 2001 dengan asumsi bahwa semua saluran dalam citra tersebut masih bagus untuk digunakan dalam penelitian yang bersifat menguji nilai piksel. Ruang lingkup penelitian dibatasi dalam pengambilan keputusan untuk penurunan data penggunaan lahan yang diperoleh dari data penutup lahan dari citra tersebut dengan mempertimbangkan factor ketidak-pastian dengan menggunakan plausibility

factor (variabel kemasuk-akalan).

Tahap Pelaksanaan 1. Koreksi Radiometrik Citra

Citra yang digunakan yaitu citra Landsat ETM+. Mengingat citra yang digunakan telah terkoreksi radiometrik secara sistematis dan tidak dimaksudkan untuk analisis multitemporal berbasis indek maka koreksi atau kalibrasi radiometrik tidak diperlukan (Phinn, et al., 2000; Danoedoro, 2004).

2. Koreksi Geometrik Citra

Koreksi geometrik citra dilakukan karena pada saat perekaman tidak sepenuhnya terbebas dari gangguan atau kesalahan geometrik. Transformasi yang paling dasar adalah menempatkan kembali piksel sedemikian rupa sehingga citra digital yang tertransformasi dapat

dilihat gambaran obyek di permukaan bumi yang terekam oleh sensor. Metode interpolasi nilai piksel yang digunakan yaitu nearest neighbour sebab citra terkoreksi akan digunakan untuk klasifikasi citra digital untuk analisis kuantitatif sehingga diperlukan nilai piksel yang tidak besar perubahannya. Jensen (1986) menjelaskan dua operasi yang harus dilakukan dalam rektifikasi geometri citra, yaitu prinsip kerja proses ini adalah menyamakan koordinat citra dengan koordinat peta. Besarnya distorsi geometrik citra dapat diketahui dengan melihat besarnya nilai total RMS-error (Residual Mean Square) yang dinyatakan dengan besaran sigma (∑) seperti pada Persamaan 1. 2 ) ' ( 2 ) ' (X Xasli Y Yasli error RMS i     ...(1)

Besarnya nilai ∑ sebaiknya di bawah 0,5 (Jensen, 1986). Jika ini diterapkan pada citra Landsat TM, maka besarnya pergeseran piksel di medan adalah = 0,5 x 30 m = 15 meter.

Sistem Klasifikasi Multispektral

Pola spektral yang terdapat dalam klasifikasi multispektral menjadi dasar secara numerik dalam mengklasifikasikan piksel. Pengenalan terhadap pola spektral berkaitan dengan metode klasifikasi yang digunakan sebagai dasar klasifikasi penutup lahan (Lillesand, et al. 2004). Wilayah yang terekam pada beberapa saluran spektral mempunyai nilai histogram yang kemudian dilakukan evaluasi sehingga akan diperoleh hasil bahwa setiap histogram tersebut terlihat secara multimodal yang merupakan gabungan dari histogram unimodal dari objek-objek yang berbeda. Semakin banyak saluran spektral yang digunakan maka akan memberikan pengenalan objek yang lebih baik (Danoedoro, 1996).

Metode yang digunakan untuk pemilihan daerah sampel adalah yang memberikan pilihan daerah contoh yang seimbang untuk dapat menaksir dalam hal kuantitatif dan memperhatikan akurasi daerah contoh yang didapatkan. Sebuah prosedur yang umum digunakan adalah dengan menentukan keterpisahan (separability) matematik dari kelas-kelas yang ada. Terutama pada pemotongan atau pemilihan daerah contoh dilakukan dengan melakukan cek terhadap variasi keterpisahan spektral kelas ketika dilakukan pemilihan daerah contoh. Salah satu model indeks keterpisahan antar daerah contoh (nilai divergence ataupun Transformed Divergence) seperti yang dikemukakan oleh Jensen, 1996.

Penutup lahan dan penggunaan lahan suatu daerah sangat dipengaruhi oleh faktor geologi dan geomorfologi, elevasi, jenis tanah, bentuk lahan dan iklim. Demikian pula, kondisi topografi mempengaruhi struktur dan komposisi vegetasi. Kondisi topografi yang berbeda akan menyebabkan kesuburan tanah yang berbeda. Perbedaan letak suatu tempat (ketinggian tempat dari permukaan laut) akan menyebabkan perbedaan iklim dan berpengaruh langsung terhadap

(10)

persebaran vegetasi dan orientasi pengembangan bagi manusia (Samudra, 2007). Dalam penelitian ini, klasifikasi penutup lahan dan penggunaan lahan berdasarkan Danoedoro (2006) yang telah dimodifikasi, seperti yang tersaji masing-masing pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Klasifikasi Penutup Lahan Tingkat

Klasifikasi/ Kode

Jenis Penutup Lahan C1 Perairan

C2 Tutupan Vegetasi C21 Vegetasi berdaun lebar

C211 Vegetasi berdaun lebar – kerapatan rendah C212 Vegetasi berdaun lebar – kerapatan sedang C213 Vegetasi berdaun lebar – kerapatan tinggi C22 Daun Lebar tak berkayu

C221 Daun Lebar tak berkayu – kerapatan rendah C222 Daun Lebar tak berkayu – kerapatan sedang C223 Daun Lebar tak berkayu – kerapatan tinggi C3 Lahan Terbangun

C31 Lahan Terbangun – Kerapatan sangat tinggi C32 Lahan Terbangun – Kerapatan Agak Tinggi C33 Lahan Terbangun – Kerapatan Sedang C34 Lahan Terbangun – Kerapatan Agak Rendah C35 Lahan Terbangun – Kerapatan Rendah C4 Lahan Terbuka

C5 Awan

C6 Bayangan Awan

(Sumber: Danoedoro, 2006 dengan modifikasi)

Tabel 2. Klasifikasi Penggunaan Lahan Level 1 Level 2 Level 3 Level 4

Pemanfaatan Pertanian Sawah Sawah 2 X Panen 3x Panen 2x Panen Dan Hasil Bumi Yang Diperdagang kan Padi – Padi – Hasil Bumi Lainnya Padi – Padi – Multiple Cash Crop Padi 1x Dan Hasil Bumi Lainnya

Padi 1x & Satu Hasil Bumi Lainnya Padi 1x Dan Beberapa Hasil Bumi Yang Lain Agroforestry Rumah Dan Pekarangan Kebun Campur Pemanfaatan Hutan Konservasi Dan Rekreasi Hutan Lindung Permukiman Dan Infrastruktur Permukiman, Industri, Perdagangan, Dan Jasa Permukiman Kota Permukiman Kota Permukiman Pedesaan Permukiman Pedesaan Permukiman Pedesaan Transportasi Transportasi Bandara (Sumber: Danoedoro, 2006 dengan modifikasi)

Penentuan Daerah Sampel

Congalton dan Green dalam Lillesand, et al. (2004) merekomendasikan jumlah titik sampel untuk setiap kategori penutup lahan atau penggunaan lahan adalah 50 titik. Akan tetapi, jika wilayah pengamatan cukup besar (misalnya lebih dari satu juta acre/setara dengan 400 ribu ha), atau kelas penutup lahan dan penggunaan lahan

yang ada pada wilayah kajian cukup banyak (misalnya lebih dari 12 kelas), maka jumlah titik sampel harus ditingkatkan menjadi 75 hingga 100 titik sampel per kategori. Khorram, et al. (2003) menggunakan 50 titik sampel per kelas untuk 8 kelas penutup lahan, dan Khorram dan Morisette (2000) menggunakan 100 titik sampel per kelas untuk 15 kelas penutup lahan. Jumlah sampel dalam penelitian ini mengacu pada Congalton dan Green dalam Lillesand, et al. (2004) yaitu 50 sampel dalam setiap penutup lahan.

Uji Akurasi

Matriks kesalahan membandingkan kategori per kategori (kelas per kelas) hubungan antara data sebenarnya (ground truth) atau data lapangan dengan data hasil klasifikasi otomatis. Uji akurasi digambarkan dalam Tabel 3. Uji akurasi dilakukan dengan menggunakan akurasi keseluruhan dan akurasi kappa. Tabel 3. Matriks penaksiran akurasi hasil interpretasi

Hasil Klasifikasi

Data Lapangan Jumlah Baris A B C D E F A 300 0 5 0 0 0 305 B 0 40 0 40 0 0 80 C 0 0 214 50 0 0 264 D 0 8 0 20 0 0 28 E 0 0 0 18 250 123 391 F 0 0 20 14 20 322 376 Jumlah Kolom 300 48 239 142 270 445 1444 Keterangan A : Air B : Pasir C : Hutan D : Kota E : Jagung F ; Rumput

Sumber: Lillesand et. al., 2004

Penentuan akurasi keseluruhan menggunakan Persamaan 2, dimana hasil klasifikasi multispektral untuk setiap kelas dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu

producer’s accuracy dan user’s accuracy. Producer’s accuracy mengindikasikan bagaimana training set dari

suatu kelas diklasifikasikan. Sedangkan user’s

accuracy mengindikasikan probabilitas suatu pixel yang

diklasifikasikan ke dalam suatu kelas tertentu yang mewakili kelas itu di lapangan, dengan kata lain, merupakan selisih antara kelas hasil klasifikasi dengan kelas sebenarnya di lapangan (Lillesand, et al. 2004).

Selain producer’s accuracy dan user’s accuracy, akurasi hasil klasifikasi multispektral juga ditentukan dan dinyatakan dengan Kappa Coefficient atau Khat

Coefficient, yang diformulasikan dengan Persamaan 3

(Jensen, 1996; Richard dan Jia, 2006)

79,36% 100% x 1444 322 250 20 214 40 300            ...(2)

(11)

Pengaruh Ketinggian dalam Analisis Kemasuk-Akalan...(Hidayati, I. N.) 5

      

I 1 i i i 2 I 1 i I 1 i i i ii hat

x

x

-N

x

x

-x

N

K

…...… (3) dimana:

N = jumlah seluruh pixel sampel dalam confusion matrix xii = pixel pada diagonal utama (klasifikasi yang benar)

confusion matrix

xi+ = jumlah pixel seluruh kolom pada suatu baris x+i = jumlah pixel seluruh baris pada suatu kolom

Demspter-Shaffer Theory of Evidence

Dempster-Shaffer Theory (DST) merupakan salah satu dari teori matematika yang dikemukakan pada tahun 1967 dan dikembangkan oleh Shafer pada tahun 1976. DST ini menjelaskan tentang beberapa kemungkinan yang akan terjadi dalam keputusan. DST juga mengenal sebagai teori dari fungsi belief, yang merupakan penyamarataan Teori Bayesian dari probabilitas subyektif. DST berdasarkan pada dua gagasan yaitu gagasan untuk memperoleh derajat kepercayaan dari berbagai kemungkinan yang bersifat subyektif dan aturan Dempster sendiri untuk mengkombinasikan derajat tingkat kepercayaan yang berdasarkan bukti yang sudah diperoleh (Aiqun, 2003).

Forster (2006) mengungkapkan keutamaan teori DST ini adalah model dirancang untuk mengatasi bermacam-macam tingkat kepastian mengenai suatu informasi dan tidak ada asumsi-asumsi lebih lanjut yang diperlukan untuk merepresentasikan informasi.

DST juga mempertimbangkan penyajian ketidak-pastian dari sistem untuk menanggapi suatu masukan yang tidak jelas yang dapat ditandai oleh interval tertentu. Ada tiga fungsi penting di dalam DST yaitu:

Basic Probability Assignment (BPA atau m), Belief Function (Bel), dan Plausibility Function (Pl). Basic Probability Assignment tidak mengacu pada kemungkinan di dalam Traditional Probability Theory.

BPA diwakili oleh m yang menggambarkan atau

memetakan himpunan yang mempunyai interval antara 0-1. BPA dengan nilai 0 adalah BPA dengan himpunan 0, dan tambahan BPA dari semua himpunan bagian yang merupakan power set yang mempunyai nilai 1. Nilai BPA untuk satu set yang diberi notasi A maka akan diwakili dengan m(A) yang menyatakan proporsi dari semua bukti yang tersedia dan relevan untuk mendukung suatu justifikasi unsur tertentu akan tetapi tidak mempunyai subset tertentu dari A, dalam hal ini diwakili dengan notasi X (Yonghong, 2003). Nilai dari

m(A) dipergunakan untuk himpunan bagian dan

membuat tidak ada justifikasi tambahan di sekitar subset-subset dari A.

Bukti-bukti yang menguatkan pada subset-subset tersebut akan diwaklili oleh BPA yang lain, yaitu bukti pada subset-subset dari lebih lanjut A akan diwakili oleh bpa lain, yaitu. B^a, m(B) akan BPA untuk subset B. Secara formal, uraian ini m dapat diwakili dengan Persamaan 4 dan 5 (Klir, 1998 dalam Rhicard dan Jia 2006).

 

0

,

1

)

(

:

P

X

m

………...………...………..(4)

0

)

(

m

) (

1

)

(

X P A

A

m

………...……(5) dimana :

P (X) = power set dari X,

0 = himpunan nol, dan

A = bagian dari power set P (X).

Penentuan Nilai Plausibilitas

Hal yang paling utama untuk menentukan nilai plausibilitas yang mempunyai interval nilai 0-1 adalah menggunakan Quickbird sebagai dasar untuk penentuan plausibilitas. Satu piksel dalam Landsat diplotkan ke dalam 30 piksel dalam Quickbird yang kemudian digunakan untuk menentukan nilai plausibilitas untuk masing-masing penggunaan lahan. Pengeplotan ini dilakukan untuk 50 titik sampel. Dari 50 sampel ini kemudian dicari nilai rata-rata untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal.

Pembuatan Peta Penggunaan Lahan

Pembuatan klasifikasi penggunaan lahan membutuhkan beberapa tahapan. Pertama, yang dilakukan adalah memasukan nilai plausibilitas ke dalam klasifikasi penutup lahan yang akan menghasilkan berbagai macam plausibilitas.

Penelitian ini terdiri dari 12 klasifikasi penutup lahan yang diperoleh dari klasifikasi maximum likelihood. Masing-masing klasifikasi penggunaan lahan mempunyai 8 tingkat nilai plausibilitas. Sebagai contoh, penutup lahan dengan klasifikasi lahan terbangun 1, mempunyai 8 tingkat plausibilitas sehingga klasifikasi penutup lahan untuk lahan terbangun ini memiliki 8 tingkat plausibilitas. Untuk 12 klasifikasi penutup lahan maka peta plausibilitas yang dihasilkan adalah 96 buah peta plausibilitas.

Kedua, untuk optimalisasi penggunaan lahan adalah mengalikan dengan faktor elevasi. Faktor elevasi ini dicari nilai plausibilitasnya untuk masing-masing kelas elevasi. Input yang digunakan untuk mencari nilai plausibilitas untuk peta elevasi adalah hasil kriging dari data ketinggian dan hasil klasifikasi penutup lahan dengan metode

maximum likelihood.

Tahap kedua inipun mendapatkan hasil yang lebih beragam, dikarenakan melibatkan faktor elevasi. Tahapan kerjanya hampir sama dengan mencari penggunaan lahan optimal dengan single value. Dengan menggabungkan berbagai peta yang mempunyai plausibilitas yang tinggi untuk penggunaan lahan tertentu, maka akan diperoleh nilai maksimal atau nilai optimal untuk penggunaan lahan.

(12)

HASIL DAN PEMBAHASAN Klasifikasi Penutup Lahan

Klasifikasi penutup lahan untuk tahun 2001 mempunyai 12 kelas penutup lahan. Hasil klasifikasi ini diperoleh dari perhitungan daerah contoh yang diperoleh dari indeks keterpisahan dengan nilai 1.999 – 2.000 dan juga dilihat dalam 2D scatter gram. Tabel 4 merupakan hasil klasifikasi digital maximum likelihood untuk tahun 2001. Gambar 2 memperlihatkan citra Landsat ETM+ yang digunakan di dalan penelitian ini dan hasil klasifikasi penutup lahannya.

Uji akurasi hasil klasifikasi dilakukan dengan menggunakan matriks kesalahan untuk membanding-kan hubungan antara data lapangan dan hasil klasifikasi (peta penutup lahan), sehingga nilai producer

accuracy, user accuracy, overall accuracy, dan indeks

kappa dapat dihitung. Besarnya nilai uji akurasi sangat mempengaruhi besarnya kepercayaan pengguna terhadap setiap jenis data maupun metode analisisnya. Nilai overall accuracy 98,59% dengan nilai indeks Kappa 0,98. Hasil uji akurasi menggunakan confusion

matrix disajikan pada Tabel 5.

Tabel 4. Hasil Klasifikasi Digital Tahun 2001

KODE Keterangan

V1A Vegetasi berdaun lebar, berkayu, vegetasi 1 V2A Vegetasi berdaun lebar, berkayu, vegetasi 2 V3A Vegetasi berdaun lebar, tak berkayu, vegetasi 1 V4A Vegetasi berdaun lebar, tak berkayu, vegetasi 2 LTB1A Lahan terbangun 1

LTB2A Lahan terbangun 2 LTB3A Lahan terbangun 3 LTB4A Lahan terbangun 4 LTB5A Lahan terbangun 5

AA Awan

LTBK1A Lahan terbuka Bayangan Daerah bayangan awan Sumber: Hidayati (2008).

Perhitungan Nilai Belief dan Plausibilitas untuk Ketinggian

Pembuatan DEM diturunkan dari titik ketinggian peta RBI skala 1:25.000, hal ini disesuaikan resolusi spasial dari data citra yang digunakan. Pembuatan DEM untuk mendapatkan titik elevasi tidak hanya melibatkan area penelitian, tetapi areal yang lebih luas mulai dari Puncak Merapi hingga pantai. Titik elevasi yang ada dilakukan interpolasi linear sehingga membentuk peta kontur yang kemudian diinterpolasi menjadi TIN yang digunakan sebagai masukan untuk plausibilitas elevasi. Masing-masing kelas ketinggian dibuat plausibilitas untuk menentukan hasil dari penggunaan lahan. Perhitungan nilai plausibilitas untuk elevasi ini berdasarkan pada kondisi geografis wilayah penelitian dan pengamatan di lapangan. Kelas 1 merupakan daerah yang datar. Perhitungan nilai plausibilitas ini dilakukan untuk masing-masing tahun.

Data belief berasal dari perbedaan kepastian yang diapllikasikan dalam aturan DST untuk pemodelan. Masing-masing data terdiri dari basic probability

assignment. Belief merupakan knowledge-based dari input data yang diperoleh dari berbagai hipotesis

masing-masing layer. DST, merupakan varian dari

Bayesian Probability Theory dengan tegas mengenali

ketidakpastian yang berkaitan dengan informasi yang kurang sempurna. Nilai plausibilitas merupakan nilai yang dicari menggunakan software Idrisi. Plausibilititas elevasi ini akan mempengaruhi hasil penelitian dikarenakan nilai ini akan menjadi faktor pengali dalam pemrosesan. Tabel 6 dan Tabel 7, masing-masing merupakan nilai belief dan nilai plausibilitas untuk elevasi. Nilai plausibilitas pada Tabel 7 yang akan digunakan sebagai masukan dalam pembuatan peta plausibilitas.

Tabel 7 menggambarkan bahwa nilai plausibilitas untuk hutan lindung berada pada kelas 6 dengan ketinggian di atas 500 m, sedangkan plausibilitas untuk kebun campur berada pada kelas 4 hingga kelas 6, yang berarti mempunyai ketinggian mulai dari 200 – <500 m. Permukiman kota yang didukung oleh elevasi yang datar terletak pada ketinggiaan 0–200 m. Permukiman kota ini terletak di Kota Yogyakarta, Sebagian Kabupaten Sleman, dan sebagian Kabupaten Bantul.

Nilai ketinggian kemudian dijadikan sebagai bahan masukan untuk menghitung nilai plausibilitas masing-masing penggunaan lahan. Cara mendapatkan nilai plausibilitas menggunakan signature class dari setiap kelas ketinggian. Dalam hal ini dipergunakan 7 saluran pada Landsat TM. Hasil plausibilitas yang masih murni untuk masing-masing penggunaan lahan, tidak dicantumkan dalam tulisan ini, karena jumlah petanya sebanyak 288 peta.

Penelitian ini membuktikan bahwa elevasi sangat berpengaruh untuk penggunaan lahan. Misalnya hutan lindung yang berada pada ketinggian di atas 500 m dpal. Nilai plausibilitas 0,9–1 menggambarkan bahwa plausibilitas elevasi untuk hutan lindung adalah tinggi, sedangkan nilai plausibiitas 0-0,1 merupakan nilai plausibilitas rendah untuk hutan lindung. Hubungan antara kemiringan elevasi dengan fungsi hidro-orologis adalah bahwa semakin kecil kemiringan elevasi akan semakin memperbesar kemungkinan air hujan untuk meresap ke dalam tanah, hal ini dikarenakan semakin kecilnya air hujan yang menjadi air permukaan. Disamping itu aliran air pada daerah datar, cenderung lebih lambat dibandingkan dengan daerah curam, sehingga kemungkinan terjadinya erosi juga kecil. Dengan demikian pengaruh daerah dengan elevasi datar terhadap kemungkinan timbulnya lahan kritis, juga semakin kecil, dengan demikian semakin datar kemiringan elevasi, maka nilai skornya semakin besar. Pengaruh Peta Lereng untuk Pengambilan Keputus-an PembuatKeputus-an Peta PenggunaKeputus-an LahKeputus-an

Faktor elevasi sering digunakan untuk penentuan kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan permukiman, dan lain sebagainya, yang tertuang dalam rencana tata ruang wilayah. Formula 1, yang menyatakan bahwa plausibilitas penggunaan lahan*plausibilitas elevasi. Plausibilitas elevasi untuk

(13)

Pengaruh Ketinggian dalam Analisis Kemasuk-Akalan...(Hidayati, I. N.)

7

penggunaan lahan hutan lindung mempunyai interval nilai 0-1. Akan tetapi secara spesifik yang menggambarkan hutan lindung adalah piksel yang mempunyai plausibilitas 0,87–1. Secara spasial, plausibilitas untuk penggunaan lahan ini terletak pada Kabupaten Sleman, dan mempunyai ketinggian di atas 500 m. Plausibilitas untuk penggunaan lahan ini mempunyai nilai ketidak-pastian yang kecil dikarenakan penggunaan lahan hutan lindung dapat dikenali secara pasti. Walaupun demikian, nilai ketidak-pastiannya berkisar antara 0,1–0,2. Gambar 3 menggambarkan secara detail persebaran plausibilitas penggunaan

lahan hutan lindung. Terdapat 8 plausibilitas yang dihasilkan, dimana plausibilitas paling baik adalah yang ke-3.

Hasil dari pembuatan belief dalam citra merepresentasikan mengenai derajat yang mendukung hipotesis yang lebih spesifik. Citra plausibility

menggambarkan tentang bukti yang tidak menyangkal hipotesis. Hasil perhitungan dari perkalian antara elevasi dan penggunaan lahan akan menjadi hasil penggunaan lahan yang kedua yang nantinya akan dijadikan sebagai pembanding untuk penggunaan lahan optimal.

Tabel 5. Hasil Uji Akurasi menggunakan Confusion Matrix

Kelas V1A V3A V2A LTB1A AA LTBK1A LTB2A V4A LTB3A LTB4A LTB5A bayangan Total

V1A 63 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 63 V3A 0 63 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 64 V2A 2 2 74 0 0 0 0 0 0 0 0 0 78 LTB1A 0 0 0 78 0 0 0 0 0 0 0 0 78 AA 0 0 0 0 72 0 0 0 0 0 0 0 72 LTBK1A 0 0 0 0 0 60 0 0 0 0 0 0 60 LTB2A 0 0 0 0 1 0 61 0 0 0 0 0 62 V4A 0 1 0 0 0 0 0 67 0 0 0 0 68 LTB3A 0 0 0 0 0 0 0 0 60 0 0 0 60 LTB4A 0 0 0 0 0 0 0 0 0 118 0 2 120 LTB5A 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 60 0 60 Bayangan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 64 67 Total 65 66 75 78 73 60 61 67 60 121 60 66 852 Sumber : Sumber: Hidayati, 2008.

Keterangan:

V1A : Vegetasi berdaun lebar, berkayu, vegetasi 1 LTB1A : Lahan terbangun 1 V2A : Vegetasi berdaun lebar, berkayu, vegetasi 2 LTB2A : Lahan terbangun 2 V3A : Vegetasi berdaun lebar, tak berkayu, vegetasi 1 LTB3A : Lahan terbangun 3 V4A : Vegetasi berdaun lebar, tak berkayu, vegetasi 2 LTB4A : Lahan terbangun 4

AA : Awan LTB5A : Lahan terbangun 5

bayangan : Bayangan awan LTBK1A : Lahan terbuka

Tabel 6. Nilai Belief untuk Elevasi Belief Hutan Lindung Kebun Campur Permukiman Kota Permukiman Desa Tegalan Sawah 2 kali padi Sawah 1 kali padi Bandara 1 2 3 4 5 6 7 8 V1A 1 0.9 0.9 0.1 0.3 0.6 0.3 0.3 0.2 V3A 2 0.9 0.9 0.1 0.2 0.6 0.3 0.3 0.5 V2A 3 0.9 0.6 0.7 0.4 0.6 0.6 0.6 0.9 LTB1A 4 0.9 0.6 0.8 0.4 0.6 0.6 0.4 0.9 AA 5 0.2 0.6 0.9 0.4 0.8 0.8 0.8 0.9 LTBK1A 6 0.1 0.6 0.9 0.7 0.9 0.9 0.9 0.9 Sumber: Hidayati, 2008.

Tabel 7. Nilai Plausibilitas untuk Elevasi Plausibility Hutan Lindung Kebun Campur Permukiman Kota Permukiman Desa Tegalan Sawah 2 kali padi Sawah 1 kali padi Bandara KET 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kls 1 1 0.1 0.1 0.9 0.7 0.4 0.7 0.7 0.8 0-100 Kls 2 2 0.1 0.1 0.9 0.8 0.4 0.7 0.7 0.5 100-200 Kls 3 3 0.1 0.4 0.3 0.6 0.4 0.4 0.4 0.1 200-300 Kls 4 4 0.1 0.4 0.2 0.6 0.4 0.4 0.6 0.1 300-400 Kls 5 5 0.8 0.4 0.1 0.6 0.2 0.2 0.2 0.1 400-500 Kls 6 6 0.9 0.4 0.1 0.3 0.1 0.1 0.1 0.1 > 500 m Sumber: Hidayati, 2008.

(14)

(a). (b).

Gambar 2. (a). Citra Landsat ETM+; (b). Hasil Klasifikasi Penutup Lahan. Klasifikasi Penggunaan Lahan

Pembuatan peta penggunaan lahan pada tahapan ini menggunakan faktor elevasi sebagai masukan untuk mencari nilai penggunaan lahan yang lebih optimal. Peta elevasi menjadi evidence untuk penelitian dengan metode 2. Pembuatan signature class sudah melibatkan elevasi di dalamnya sehingga belclass yang dihasilkan sudah mencakup nilai elevasi. Pembuatan

signature class untuk penggunaan lahan metode ini

mempunyai 8 kelas yang disesuaikan dengan kelas elevasi. Signature class dipadukan dengan citra penutup lahan Landsat ETM+. Pembuatan belclass dari

signature class menghasilkan 64 peta plausibilitas.

Peta-peta ini kemudian dianalisis kecenderungan untuk melihat pola penggunaan lahannya. Pola-pola penggunaan lahan ini dicari yang mempunyai interval plausibilitas 0–1.

Modifikasi ini dilakukan dengan cara mengalikan faktor plausibilitas penutup lahan dengan plausibilitas elevasi. Metode menghasilkan beberapa peta penggunaan lahan. Dalam paper ini yang akan dibahas hanya 4 peta penggunaan lahan hasil modifikasi DST. Peta penggunaan lahan–1 pada metode 2 ini menggabungkan kedelapan plausibilitas untuk

penggunaan lahan. Hasil yang diperoleh mempunyai koeffisien kappa sebesar 0,78 dan overall accuracy sebesar 81,56%. Hasil ini belum baik untuk hasil klasifikasi penggunaan lahan.

Tabel 8, 9 dan Tabel 10 menggambarkan optimalisasi klasifikasi penggunaan lahan dengan mempertimbangkan keberadaan elevasi sebagai salah satu evidence untuk pengambilan keputusan. Tabel 8 dan 9 menjadi gambaran tentang proses perhitungan

overall accuracy dan indeks kappa, yang berbeda

dalam hal satuan, dimana masing-masing dengan satuan piksel dan satuan persen. Sedangkan Tabel 10, memperlihatkan nilai komisi, omisi, producer accuracy, dan user accuracy dari proses pembuatan peta penggunaan lahan.

Sebelum mendapatkan hasil yang terbaik, dicari beberapa model untuk menentukan hasil terbaik dari beberapa model yang telah diperoleh dengan cara mengalikan faktor penutup lahan dan elevasi. Hasilnya adalah peta penggunaan lahan versi ke-2 yang mempunyai koeffisien kappa sebesar 0,93 dan mempunyai overall accuracy sebesar 92,40%. Hasil pemetaan penggunaan lahan hasil dari optimalisasi penggunaan lahan dengan mempertimbangkan faktor elevasi tersaji pada Gambar 4.

(15)

Pengaruh Ketinggian dalam Analisis Kemasuk-Akalan...(Hidayati, I. N.)

Gambar 3. Peta Plausibilitas untuk Penggunaan Lahan Hutan Lindung.

Tabel 8. Hasil Perhitungan Confusion Matrix (dalam piksel) hasil perkalian antara Penggunaan Lahan dengan Faktor Elevasi.

Kelas Bandara Lindung Hutan Permukiman Kota Permukiman Desa

Sawah 1 kali padi Sawah 2 kali padi

Tegalan Campur Kebun Total

Unclassified 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Bandara 87 0 0 0 0 0 25 0 112

Hutan Lindung 0 78 2 0 0 0 0 15 95

Permukiman Kota 0 0 87 0 0 0 0 0 87

Permukiman Desa 0 0 0 82 0 0 0 0 82

Sawah 1 kali padi 0 0 0 0 69 5 0 0 74

Sawah 2 kali padi 0 0 0 0 0 78 0 0 78

Tegalan 0 0 0 0 0 0 60 0 60

Kebun Campur 0 6 0 0 0 0 1 83 90

Total 87 84 89 82 69 83 86 98 678

Tabel 9. Hasil Perhitungan Confusion Matrix (dalam persen) hasil perkalian antara Penggunaan Lahan dengan Faktor Elevasi.

Kelas Bandara Lindung Hutan Permukiman Kota Permukiman Desa

Sawah 1 kali padi Sawah 2 kali padi

Tegalan Campur Kebun Total

Unclassified 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Bandara 100.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 26.60 0.00 16.52

Hutan Lindung 0.00 111.43 2.44 0.00 0.00 0.00 0.00 14.56 14.01

Permukiman Kota 0.00 0.00 106.10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.83

Permukiman Desa 0.00 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.09

Sawah 1 kali padi 0.00 0.00 0.00 0.00 94.52 5.75 0.00 0.00 10.91

Sawah 2 kali padi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 89.66 0.00 0.00 11.50

Tegalan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 63.83 0.00 8.85

Kebun Campur 0.00 8.57 0.00 0.00 0.00 0.00 1.06 80.58 13.27

(16)

Gambar 4. Peta Penggunaan Lahan Optimal Sebagian Wilayah DI. Yogyakarta.

Tabel 10. Komisi, Omisi, Producer Accuracy, dan User Accuracy Penggunaan Lahan.

Kelas Komisi (%) Omisi (%) Producer

accuracy (%) User accuracy (%) Bandara 22.32 0.00 100.00 77.68 Hutan Lindung 17.89 7.14 92.86 82.11 Permukiman Kota 0.00 2.25 97.75 100.00 Permukiman Desa 0.00 0.00 100.00 100.00

Sawah 1 kali padi 6.76 0.00 100.00 93.24

Sawah 2 kali padi 0.00 5.81 94.19 100.00

(17)

Pengaruh Ketinggian dalam Analisis Kemasuk-Akalan...(Hidayati, I. N.)

KESIMPULAN

Penelitian ini menghasilkan kesimpulan yaitu aspek plausibilitas menjadi sangat penting untuk pengambilan keputusan dalam menurunkan informasi penggunaan lahan karena knowledge based yang harus digunakan untuk justifikasi hasil pemetaan. Kesimpulan yang kedua adalah informasi ketinggian dapat dijadikan sebagai evidence, karena dengan memasukkan faktor ketinggian dalam modifikasi DST maka menghasilkan akurasi yang lebih baik.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Fakultas Geografi UGM yang telah memberikan ruang dan waktu untuk penelitian. Tak lupa ucapan terima kasih juga saya haturkan untuk Drs. Projo Danoedoro, M.Sc., Ph.D, Taufik Hery Purwanto, S.Si., M.Si, Drs. Retnadi Heru Jatmiko, M.Sc, Prof. Dulbahri, dan Prof. Dr.rer.nat. Junun Sartohadi, M.Sc atas bimbingan dan arahannya dalam penyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aiqun, Chen. (2003). Application of the Information

Fusion Based on Evidence Theory in Urban Development. Wuhan University Library.

Campbell, J.B. (2002). Introduction to Remote Sensing (Third Edition). The Guilford Press. New York. Danoedoro, P. (1996). Pengolahan Citra Digital : Teori

dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Danoedoro, P. (2004). Informasi Penggunaan Lahan Multidimensional: Menuju Sistem Klasifikasi Penggunaan Lahan Multiguna untuk Perencanaan Wilayah dan Pemodelan Lingkungan. Prosiding

Sains Informasi Geografis: dari Perolehan dan Analisis Citra hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah

Mada. Yogyakarta.

Danoedoro, P. (2006). Extracting Land-Use Information Related to Socio-Economic Function from Quickbird Imagery: A Case Study of Semarang Area, Indonesia. Proceeding of Map Asia 2006.

GISDevelopment. Bangkok.

Danoedoro, P. (2009). Land-use Information from the

Satellite Imagery: Versatility and Contents for Local Physical Planning. Lambert Academic Publishing

AG & Co. KG.

Ferson, Scott. (2002). Combination of Evidence in Dempster-Shaffer Theory. Sandia Report. Sandia

National Laboratories. Department of Energy. Alberqueque. Mexico-California.

Forster, Malcom R. (2006). Counterexamples to a Likelihood Theory of Evidence. Department of Philosophy. University of Wisconsin-Madison. USA. Goodchild, M. and S. Gopal. (1989). Accuracy of

Spatial Databases. Taylor and Francis. London. Hidayati, Iswari Nur. (2008). Modifikasi Teori Bukti

Dempster-Shaffer untuk Optimalisasi Klasifikasi Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra dan Data Spasial Multisumber. Tesis. Fakultas Geografi.

UGM.

Jensen, J.R. (1986). Digital Image Processing, an Introductionary Perspective. Prentice-Hall. Engle-wood Cliffs, New Jersey.

Jensen, J.R. (1996). Introductory to Digital Image Processing: A Remote Sensing Perspective (Second Edition). Prentice-Hall, Inc., Upper Saddle River, New Jersey.

Khorram, S., & Morisette, J. T. (2000). Accuracy assessment curves for satellite-based change detection. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 66(7), 875-880.

Khorram, S., J.F. Knight, and H.I. Cakir, (2003). Thematic Accuracy Assessment of Regional Scale Land Cover Data. In R. S. Lunetta and J.G. Lyon, editors, Remote Sensing and GIS Accuracy

Assessment . CRC Press. Boca Raton.

Klir, G, J., and Pan, Y. (1998) Constrained fuzzy arithmetic: Basic questions and answers. Soft

Computing. 2(2). 100-108

Lillesand, T.M., Kiefer R.W. and Chipman, J.W. (2004). Remote Sensing and Image Interpretation (Fifth Edition). John Wiley & Sons, Inc., New York.

Phinn, S.R., Menges, C., Hill, G.J.E., & Stanfo rd, M. (2000). Optimising remotely sensed solutions for monitoring, modeling and managing coastal environments. Remote Sensing of Environment. 73: 117-132.

Rhicards, J.A. and Jia, X. (2006). Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction (Fourth Edition). Springer-Verlag, Berlin.

Samudra, Imanda Surya. 2007. Kajian Kemampuan

Metode Jaringan Syaraf Tiruan Untuk Klasifikasi Penutup Lahan dengan Menggunakan Citra Aster.

Tesis. Sekolah Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Yonghong, Jia. (2003). Feature Fusion Based on Dempster-Shaffer Evidential Reasoning for Image Texture Classification. School of Remote Sensing. Information of Engineering. Wuhan University. Wuhan. China.

(18)

INVENTARISASI PRODUKSI PADI DENGAN MENGGUNAKAN DATA CITRA

MODIS DI KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

(Rice Production Inventory Using MODIS Image Data

in Lebak District, Banten Province)

Ratih Kusumawardani1, Suharto Widjojo2 dan Irmadi Nahib3

123

Badan Informasi Geospasial (BIG) Jalan Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong, Bogor

Email: ratih.kusumawardani@big.go.id

Diterima (received): 7 Maret 2013; Direvisi (revised): 11 April 2013; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 15 Mei 2013

ABSTRAK

Memantapkan ketahanan pangan merupakan prioritas utama pembangunan, karena pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi manusia. Salah satu pilar penting dalam membangun ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan. Aspek produksi menjadi salah satu aspek terpenting dalam ketersediaan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan inventarisasi produksi dan pola musim tanam dan panen padi sawah dengan menggunakan Enhanced Vegetation Index (EVI) citra MODIS. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah estimasi produksi tanaman padi sawah di Kabupaten Lebak pada tahun 2011 yaitu sebesar 489.947 ton atau 2% lebih kecil dibandingkan dengan angka perhitungan produksi tanaman padi sawah dari Dinas Pertanian Kabupaten Lebak. Secara umum, Kabupaten Lebak mengalami 3 periode musim tanam dan panen dalam setahun. Musim tanam terjadi pada bulan Januari, Mei dan November, sedangkan musim panen terjadi pada bulan Maret, April, Agustus dan September.

Kata Kunci: estimasi produksi, penginderaan jauh, Enhanced Vegetation Index

ABSTRACT

Strengthening food security is one among top priorities of development because food is the most basic needs of humans’ life. One of the important pillars in building food security is ensuring food availability. For this respect, food production aspect is the most important aspects in ensuring food availability. This study aims to inventory food production and planting and harvesting patterns of wetland rice crop by using the Enhanced Vegetation Index (EVI) derived from MODIS imagery. The results of this study shows that the estimation of rice crop production in Lebak Regency in 2011 amounted to 489.947 tonnes or 2% less compared to paddy crop production data provide by the Lebak District Agriculture Office. In general, there are 3 (three) periods of paddy planting and harvesting yearly in Lebak Regency. The planting season falls in the months of January, May and November, while the harvesting season falls in March, April, August or September.

Keywords: rice production estimation, remote sensing, Enhanced Vegetation Index

PENDAHULUAN Latar Belakang

Aspek ketahanan pangan semakin penting saat ini dan mendatang. Fisher (2009) mengemukakan dunia dihadapkan kepada kejadian perubahan iklim global dan berdampak pada penurunan produksi pangan dunia. Sampai dengan tahun 2050 produksi sereal dunia menurun satu persen sementara pada periode yang sama penduduk dunia meningkat satu persen. Memantapkan ketahanan pangan merupakan prioritas utama pembangunan, karena pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi manusia (UU No. 7, 1996). Ketahanan pangan juga sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanan atau ketahanan nasional (Suryana, 2001).

Salah satu pilar penting dalam membangun ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan. Aspek produksi menjadi salah satu aspek terpenting dalam ketersediaan pangan. Informasi tentang ketersediaan pangan di suatu daerah sangat penting kaitannya dengan kecukupan pangan, rawan pangan dan masalah sosial lainnya. Dalam rangka mendukung ketahanan pangan, perlu adanya masukan tentang perkiraan produksi pangan khususnya beras karena sampai saat ini beras masih menjadi komoditi pangan utama di Indonesia (Puslitbang Deptan, 2009).

Saat ini perkiraan produksi padi umumnya dilakukan dengan cara konvensional yaitu melalui survei lapangan. Cara konvensional ini membutuhkan biaya tinggi dan waktu yang lama, apabila dibandingkan dengan teknologi penginderaan jauh. Survei kondisi lahan dengan mempergunakan teknologi satelit penginderaan jauh selain waktu perolehan informasinya cepat dan murah, juga

(19)

Inventarisasi Produksi Padi ...(Kusumawardani, R. et.al)

cakupan wilayah surveinya luas dan informasi yang diperoleh lebih berkesinambungan (LAPAN, 2002).

Dirgahayu (2005) telah melakukan penelitian tentang model pertumbuhan tanaman padi menggunakan data MODIS. Pemantauan pertumbuhan tanaman padi tersebut berdasarkan prediksi tingkat kehijauan tanaman. Parameter tingkat kehijauan tanaman (vegetation index) yang diturunkan melalui analisis citra satelit MODIS digunakan untuk membuat estimasi umur tanaman padi dan produktivitasnya. Dengan menghitung luas areal tanaman padi yang dimonitor pada citra satelit, dapat diestimasi produksi padi yang akan dipanen disuatu wilayah dengan baik (Wahyunto, dkk, 2006).

Salah satu indeks vegetasi yang dapat digunakan untuk mengestimasi umur tanaman padi adalah

Enhanced Vegetation Index (EVI). EVI merupakan

indeks vegetasi yang dibuat untuk mengoreksi nilai NDVI yang berkurang akibat kandungan aerosol atmosfer yang terdeteksi oleh kanal biru dalam sistem sensor. Selain itu nilai EVI dibuat untuk mempertajam nilai NDVI karena nilai EVI memperhitungkan juga pengaruh kondisi tanah/lahan (Dirgahayu, 2005).

Perhitungan EVI digunakan untuk menghasilkan besaran nilai produktivitas padi yang diperlukan dalam pendekatan keseimbangan antara suplai (produksi) dengan kebutuhan (konsumsi) pangan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi produktivitas dan produksi padi untuk inventarisasi stok padi di Kabupaten Lebak dalam rangka mendukung program pemerintah di bidang ketahanan pangan.

METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Lebak yang secara geografis terletak pada koordinat antara 6o18' – 7o

00' LS dan 105o 25' – 106o 30‟ BT, dengan luas wilayah 3.044,72 km2. Survei lapangan dilakukan di 16 kecamatan, masing-masing kecamatan diambil 2–3 lokasi yang dijadikan titik sampel, jumlah keseluruhan titik sampel sebanyak 30 sampel, seperti disajikan pada Gambar 1.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara yaitu studi kepustakaan dan instansional serta survei lapangan.

1. Studi kepustakaan dan instansional

Tahapan ini bertujuan untuk mendapatkan literatur, data tabular, peta dan citra digital. Data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

o Data nilai indeks vegetasi EVI tahun 2007 - 2011 diperoleh dari Citra Satelit Terra MODIS resolusi 250 m bersumber dari Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN). Data nilai indeks vegetasi EVI digunakan untuk memperoleh nilai estimasi produksi padi.

o Peta Rupabumi Kabupaten Lebak Skala 1:25.000 tahun 2000 dari Badan Informasi Geospasial (BIG).

o Peta penggunaan lahan Skala 1: 25.000 tahun 1996 diperoleh dari BIG.

Gambar 1. Sebaran Titik Sampel. 2. Pengamatan dan Survei Lapangan

Pengamatan dan survei lapangan bertujuan untuk melihat secara langsung lokasi titik sampel didasarkan atas distribusi spasial EVI. Letak koordinat setiap titik sampel diukur menggunakan GPS. Titik sampel diambil secara acak tersebar di daerah penelitian yang dianggap mewakili suatu keseluruhan daerah penelitian. Selain itu dilakukan wawancara dengan petani setempat dan petugas penyuluh pertanian. Kegiatan yang dilakukan pada saat pengamatan dan survei lapang adalah sebagai berikut:

o Pengambilan sejumlah sampel dilakukan pada setiap lokasi. Luas area minimum yang dapat mewakili suatu titik sampel dalam penelitian ini adalah 250 m x 250 m, yang disesuaikan dengan resolusi citra MODIS yaitu 250 m.

o Pencatatan koordinat lokasi sampel menggunakan Global Positioning System (GPS).

o Pencatatan nilai produksi per satuan unit. Pencatatan dilakukan secara manual dengan metode wawancara terhadap petani, atau pemanfaatan data pertanian yang telah tersedia. o Pengumpulan data sekunder, dengan metode

wawancara. Data-data yang diperlukan antara lain luas area penanaman, jenis padi yang ditanam, pola tanam tanaman padi (terkait dengan waktu dan metode penanaman), serta produktivitas per satuan unit (bersifat temporal).

o Pendokumentasian kegiatan survei lapang menggunakan kamera digital.

(20)

Pengolahan Data

Pengolahan Data Awal

Pengolahan data terdiri dari beberapa tahapan, yaitu membuat citra komposit, koreksi radiometrik untuk membuat nilai-nilai pada citra tersebut berada pada kondisi idealnya, sehingga dapat digunakan untuk analisis baik visual maupun matematis, koreksi duplikasi baris untuk menghilangkan duplikasi data pada baris-baris tertentu dan koreksi geometrik.

Pengolahan Data EVI

Data MODIS yang telah diproses digunakan sebagai dasar dalam perhitungan EVI. Data EVI digunakan untuk melihat fase pertumbuhan padi dilihat dari tingkat kehijauan tanaman padi per-hari. Nilai EVI untuk masing-masing citra MODIS akan diperoleh dengan cara mengaplikasikan rumus seperti pada Persamaan 1. Adapun algoritma yang digunakan dalam perangkat lunak penginderaan jauh menggu-nakan Persamaan 2 (Huete, 1996).

EVI = 2.5*(ρ2– ρ1)/(1+ρ2+6*ρ1– 7.5*ρ3) ...(1)

dimana :

ρ1,2,3 = reflektansi kanal Red, NIR, dan Blue

If blue <= red or red <= nir then EVI = 2.5*( nir– red)

/ ( 1 + nir + 6 *red – 7.5 *biru ) else EVI = 1.5*( nir –

red) / ( 0.5 + nir + red ) ...(2)

Perhitungan Produktivitas Padi

Pendugaan umur tanaman padi dilakukan dengan menggunakan data citra MODIS selama empat tahun. Citra MODIS yang telah diketahui nilai EVI-nya terlebih dahulu di-overlay dengan citra yang bertanggal beberapa hari sebelumnya yang juga telah diketahui nilai EVI-nya. Lalu memasukkan rumus ke dalam citra yang telah di-overlay tersebut untuk mengetahui fase apa yang sedang dialami tanaman padi tersebut. Kondisi fase vegetatif akan diindikasikan dengan bertambah-nya nilai EVI, sedangkan kondisi fase generatif akan diindikasikan dengan semakin berkurangnya nilai EVI. Hubungan nilai EVI dengan fase-fase tanaman padi seperti disajikan pada Gambar 2. Karena terdapat nilai EVI yang sama pada umur tanaman yang berbeda, maka diperlukan minimal dua tanggal perekaman citra dalam waktu yang berdekatan untuk bisa mengestimasi fase tanaman padi. Estimasi fase tanaman padi dideteksi dengan selisih nilai EVI pada tanggal tertentu (t) dengan nilai EVI beberapa hari sebelumnya (t-1) dengan kriteria seperti pada Persamaan 3 (Dirgahayu, 2005).

Gambar 2. Hubungan Nilai EVI dengan Umur Tanaman Padi. ) 1 ( ) ( ) (   

EVIt EVI t EVIt ...(3) dimana :

Fase Dominan Air, jika EVI(t) <= 0.19

Fase Bera Dominan Air, jika EVI(t) > 0.19 dan EVI(t)<

0.22

Fase vegetatif, jika EVI(t)> 0 Fase generatif, jika EVI(t)< 0

Setelah diketahui fase tanaman padi yang terdapat pada citra, maka estimasi umur tanaman padi dapat dilakukan. Klasifikasi citra EVI menjadi umur tanaman padi dapat dilakukan dengan kriteria tercantum pada Tabel 1.

Jika estimasi umur tanaman padi sudah dilakukan, maka selanjutnya dilakukan estimasi produktivitas tanaman padi. Estimasi produktivitas diperoleh berdasarkan keeratan korelasi antara nilai EVI pada saat umur padi mencapai 80-90 hari setelah tanam dengan produktivitas sebenarnya. Nilai EVI diukur dari citra satelit, sedangkan untuk produktivitasnya digunakan data lapangan berupa hasil produktivitas yang diperoleh langsung dari petani setempat. Model regresi linear digunakan dengan metode pendugaan

Ordinary Least Square (OLS), dengan formula pada

Persamaan 4 (Dirgahayu, 2005).

Produktivitas (t/ha)= a (EVI) + b ...(4) dimana :

a = konstanta 1 b = konstanta 2

Dari persamaan tersebut diperoleh koefisien determinasi (R2) yang menerangkan keeratan korelasi antara produktivitas padi dengan nilai EVI. Melalui beberapa uji lapang, model estimasi ini dapat digunakan sebagai dasar/acuan dalam estimasi produksi padi yang mempunyai kondisi (ekosistem) yang serupa dengan daerah kajian.

Gambar

Gambar 2. (a). Citra Landsat ETM+; (b). Hasil Klasifikasi Penutup Lahan.
Gambar 3.  Peta Plausibilitas untuk Penggunaan Lahan Hutan Lindung.
Tabel 10. Komisi, Omisi, Producer Accuracy, dan User Accuracy Penggunaan Lahan.
Gambar 1. Sebaran Titik Sampel.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bobo t Prior itas Riset Rintisan Terdepan Riset Teknologi Tinggi Riset Maju Manufaktur Riset Terapan Manufaktur Riset Maju berbasis SDA Riset Terapan berbasis SDA..

Peningkatan kualitas produk bisa dilakukan dengan cara pemilihan bahan baku yang terbaik, proses pengerjaan yang tidak merusak kualitas bahan baku, meningkatkan

Penanggungjawab mempunyai kewajiban sebagaimana tercantum dalam lampiran Rekomendasi Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kendal tentang Perubahan Persetujuan Upaya

Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2011 tentang Badan Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 144), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Perkembangan titik panas atas hotspot pada hari ini pukul 17.00 WIB berdasarkan pantauan citra satelit Terra/Aqua (BMKG) total Sumatera NIhil, Riau : Nihil dan

Dari hasil yang sudah didapat dan dilihat bahwa Trisinar memiliki Kriteria waktu pengiriman yang lebih tinggi sehingga dapat memenuhi kriteria pengiriman dan di

Karakter bobot biji basah per buah juga dapat digunakan secara tidak langsung untuk seleksi bobot kering per biji baik berdasar pada nilai koefisien keragaman genotipik (11,9%),

Terhadap Perilaku Siswa Kelas VIII SMP Muhamadyah 1 Pleret Tahun Ajaran 2015/2016. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Yogyakarta. Tujuan penelitian