• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODE PENELITIAN"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta, karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu.Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif, tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari implikasi (Hadi, 2002).

Punch (dalam Hasan 2003) menyatakan bahwa ada dua kegunaan penelitian deskriptif. Pertama, untuk pengembangan teori dan area penelitian yang baru. Kedua, untuk mendapatkan deskripsi yang tepat mengenai proses-proses sosial yang kompleks sehingga dapat membantu kita untuk memahami faktor apa saja yang mempengaruhi suatu variabel dan faktor apa yang perlu diteliti lebih lanjut dalam penelitian berikutnya secara lebih mendalam.

Jenis penelitian ini tidak mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel, dan tidak melakukan pengujian hipotesis. Pengolahan dan analisis data menggunakan pengolahan statistik yang bersifat deskriptif (Hasan, 2003).

A. Identifikasi Variabel

Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah gaya resolusi konflik.

(2)

B. Definisi Operasional

Resolusi konflik adalah strategi atau metode yang digunakan seseorang untuk mengatasi atau mengelola suatu konflik tertentu. Gaya resolusi konflik yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari lima gaya yaitu:

1. Competitive Style adalah individu memaksa pasangannya unttuk menerima dan mengikuti apa yang diinginkan, tidak mau menerima pendapat orang lain, suka mengintimidasi dan senang berdebat.

2. Collaborative Style adalah individu memiliki kesadaran terhadap kebutuhan diri sendiri dan pasangan serta ketersediaan untuk berusaha berdamai merupakan kesempatan yang paling baik dalam resolusi konflik

3. Compromise Style adalah dimana pasangan membuat kesepakatan yang mengarah pada persetujuan.

4. Accomodting Style adalah individu tidak mementingkan kebutuhan sendiri tetapi mementingkan kebutuhan pasangannya, mengikuti apa yang menjadi keputusan pasangan, menerima segala pendapat dan keinginan pasangan. 5. Avoidance Style adalah individu memunculkan perilaku menghindari situasi

konflik, menolak membicarakan konflik, dan menyangkal terlibat dalam suatu konflik.

Non kategori adalah dimana pasangan tidak termasuk dalam 5 gaya diatas dalam resolusi konfliknya, dikarenakan pasangan ini tidak konsisten dalam menggunakan gaya resolusi konflik terhadap konflik yang dihadapi.

(3)

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah keseluruhan individu yang akan diselidiki dan mempunyai minimal satu sifat yang sama atau ciri–ciri yang sama dan untuk siapa kenyataan yang diperoleh dari subjek penelitian hendak digeneralisasikan (Hadi, 2000).Hadi (2000) mengemukakan bahwa semua individu yang memiliki generalisasi keadaan atau kenyataan yang sama disebut dengan populasi. Populasi adalah seluruh subjek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki sifat yang sama. Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus memiliki paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000).

Sugiarto (2003) berpendapat bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data dengan statistik, besar sampel yang paling kecil adalah 30, walaupun ia juga mengakui bahwa banyak peneliti lain menganggap bahwa sampel sebesar 100 merupakan jumlah yang minimum. Menurut Azwar (2004), secara tradisional statistika menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak. Namun, sesungguhnya tidak ada angka yang dapat dikatakan dengan pasti. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 109pasangan untuk uji coba dan 74pasangan untuk uji sebenarnya. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka karakteristik sampel atau subjek dalam penelitian ini adalah pasangan perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia

(4)

2. Metode Pengambilan Sampel

Metode sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasidengan menggunakan prosedur tertentu agar diperoleh sampel yang mewakili populasi (Hadi, 2000).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan non probability sampling.Teknik non probability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental sampling. Metode incidental berarti tidak semua individu dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dapat dipilih menjadi anggota sampel, hanya individu-individu yang kebetulan dijumpai atau dapat dijumpai saja yang diteliti dan sesuai dengan kriteria penelitian (Hadi, 2000). Alasan menggunakan teknik sampling ini adalah mengingat subjek yang akan diteliti sulit untuk ditemukan, dan ada kemungkinan akan mendapat penolakan sehingga peluang tidak semua orang mau menjadi subjek penelitian sangat besar.

Teknik pengambilan sampel ini sesuai untuk penelitian mengingat jumlah populasi yang tidak memiliki jumlah data yang jelas dalam arti tidak ada sumber data yang pasti mengenai jumlah populasi penelitian.Besarnya sampel yang dipilih adalah berdasarkan pertimbangan ketepatan dan efisiensi biaya, tenaga, waktu dan kemampuan peneliti.

D. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode skala. Metode skala yang digunakan mengingat data yang ingin diukur berupa konsep psikologis yang dapat

(5)

diungkapkan secara tidak langsung melaui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam aitem-aitem (Azwar, 2004). Skala berisi kumpulan pernyataan yang diajukan kepada responden untuk diisi oleh responden.

Alasan digunakannya alat ukur skala didasarkan atas asumsi :

1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

2. Interpretasi subjek terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti adalah sama dengan pemahaman dan interpretasi peneliti.

3. Pernyataan atau tanggapan yang diberikan subjek adalah benar, jujur serta dapat dipercaya (Hadi, 2000).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur berupa skala yang aitemnya disusun berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Killman dan Thomas (dalam Olson & DeFrain, 2006) yang terdiri dari lima gaya resolusi konflik yaitu competitive style, collaborative style, compromise style, accomodating style dan avoidance style.

Skala yang digunakan adalah skala dikotomi atau skala Guttman. Pemberian skor pada penelitian ini menggunakan dua alternatif jawaban pada tiap-tiap aitem (dikotomi), untuk jawaban ”Ya” pada aitem favorabel mendapat skor 1 (satu), sedangkan yang menjawab ”Tidak” mendapat skor 0 (nol). Sebaliknya, untuk jawaban ”Ya” pada aitem unfavorabel mendapat skor 0 (nol) dan jawaban ”Tidak” mendapat skor 1 (satu). Skala ini tidak menyediakan pilihan netral atau ragu-ragu karena membutuhkan jawaban yang tegas, oleh karena itu skala ini sebenarnya kurang halus dalam mempresentasikan respon, tetapi adakalanya peneliti membutuhkan jawaban yang tegas (Simamora, 2005)

(6)

Penilaian skala gambaran gaya resolusi konflik pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 1. Cara Penilaian Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan Campuran Tionghoa – Indonesia

Bentuk Pertanyaan Skor 0 1 Favorable Tidak Ya Unfavorable Ya Tidak

Penyusunan skala gaya resolusi konflik dalam penelitian ini didasarkan lima gaya resolusi konflikyang dikemukakan oleh Killman dan Thomas (dalam Olson & DeFrain, 2006) dengan Blueprint pada Tabel dibawah ini :

Tabel 2. Blue PrintDistribusi aitem Skala Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan Campuran Tionghoa-Indonesia

No Komponen Aitem Jumlah Bobot Favorable Unfavorable 1. competitive style 1, 17, 22, 30, 39 4, 10, 19, 37 9 19,15% 2. collaborative style 3, 9, 15, 20, 36, 41 7, 23, 32, 43 10 21,28% 3. compromise style 2, 16, 25, 31, 47 11, 26, 38, 45 9 19,15% 4. accommodating style 5, 18, 29, 35, 42 13, 27, 33, 46 9 19,15% 5. avoidance style 8, 14, 21, 28, 34, 44 6, 12, 24, 40 10 21,28% Jumlah 27 20 47 100 %

(7)

Skala dalam penelitian ini akan diproses dengan diuji coba untuk mengetahui kualitas aitem-aitem sebelum digunakan pada penelitian yang sesungguhnya. Aitem-aitem yang kualitasnya kurang baik akan dibuang dan aitem-aitem yang berkualitas baik akan digunakan sebagai alat ukur penelitian yang sesungguhnya. Aitem-aitem yang berkualitas akan ditunjukkan oleh koefisiensi korelasi yang tinggi, yaitu korelasi antara masing-masing aitem dengan aitem total.

Selain aitem-aitem tersebut, di dalam alat ukur juga tertera identitas yang harus diisi oleh subjek penelitian. Identitas tersebut terbagi atas identitas pasangan. Identitasnya terdiri dari nama atau inisial, jenis kelamin, usia, etnis atau suku dan lamanya perkawinan. Setelah uji coba selesai, maka selanjutnya peneliti melakukan penomoran kembali terhadap aitem-aitem skala untuk dijadikan sebagai alat pengumpulan data penelitian yang sebenarnya.

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

Salah satu masalah utama dalam kegiatan penelitian sosial khususnya psikologi adalah cara memperoleh data yang akurat dan objektif. Hal ini menjadi sangat penting, artinya kesimpulan penelitian hanya akan dapat dipercaya apabila didasarkan pada info yang juga dapat dipercaya (Azwar, 2001). Dengan memperhatikan kondisi ini, tampak bahwa alat pengumpulan data memiliki peranan penting. Baik atau tidaknya suatu alat pengumpulan data dalam mengungkap kondisi yang ingin diukur tergantung pada validitas dan reliabilitas alat ukur yang akan digunakan.

(8)

1. Validitas alat ukur

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrument atau alat ukur dalam menjalankan fungsi ukurnya dan memberikan hasil yang tepat dan akurat sesuai dengan maksud diadakannya pengukuran tersebut (Azwar, 2004). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas ini menunjukkan sejauh mana aitem-aitem dalam skala telah komprehensif mencakup semua aspek dalam penelitian dan tingkat relevansinya. Validitas isi dalam penelitian ini diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional (kesesuaian dengan blueprint yang telah disusun oleh peneliti) dan diperkuat lewat professional judgement (dalam hal ini dilakukan oleh dosen pembimbing) (Azwar, 2004).

2. Reliabilitas alat ukur

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil dari suatu pengukuran dapat dipercaya. Artinya dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama selama aspek dalam diri subyek yang diukur memang belum berubah (Azwar, 2004). Uji reliabilitas untuk skala gambaran dilakukan dengan menguji konsistensi internal. Prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan tes kepada sekelompok individu sebagai subjek penelitian. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis, dan berefisiensi tinggi (Azwar, 2004).

Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan 1. Koefisien reliabilitas yang semakin mendekati

(9)

angka 1 menandakan semakin tinggi reliabilitas. Sebaliknya, koefisien yang semakin mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitas yang dimiliki. Menurut Azwar (2004) pengukuran pada aspek-aspek sosial-psikologis yang mencapai angka koefisien reliabilitas 1 tidak pernah dijumpai, dikarenakan manusia sebagai subjek pengukuran psikologis merupakan sumber eror yang potensial.

Menurut Triton (2006) kategori reliabilitas pengukuran terbagi atas 5 (lima) bagian, yaitu:

1. 0,00 s/d 0,20 (kurang reliabel) 2. >0,20 s/d 0,40 (agak reliabel) 3. >0,40 s/d 0,60 (cukup reliabel) 4. >0,60 s/d 0,80 (reliabel)

5. >0,80 s/d 1,00 (sangat reliabel)

Teknik yang digunakan adalah teknik koefisiensi Alpha Cronbach. Selanjutnya, pengujian realibilitas ini akan menghasilkan realibilitas dari skala gambaran. Uji reliabilitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan program SPSS for Windows Versi 16.0.

3. Uji Daya Beda Aitem

Setelah skala diuji coba pada sejumlah sampel, maka peneliti akan melakukan uji daya beda aitem untuk mendapatkan aitem-aitem yang memenuhi persyaratan. Uji daya beda aitem adalah sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Prinsip kerja yang dijadikan dasar untuk melakukan seleksi aitem

(10)

dalam hal ini adalah memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes sebagaimana yang dikehendaki oleh penyusunnya (Azwar, 2004).

Untuk menguji daya beda dari aitem-aitem dalam skala gambaran, peneliti menggunakan formula koefisien korelasi Pearson Product Moment. Prosedur pengujian ini menghasilkan koefesien korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks daya beda aitem (Azwar, 2004). Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan dengan SPSS versi 16.0 for windows akan diperoleh item-item yang memenuhi persyaratan.

Menurut Azwar, (2004) semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal rix ≥ 0.300, daya pembedanya dianggap memuaskan. Semakin tinggi harga kritik, maka aitem tersebut semakin baik.

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Setelah melakukan uji coba skala gaya resolusi konflik pada 109 pasangan subjek penelitian, didapatkan 9 aitem yang dinyatakan gugur dari 47 aitem keseluruhan menjadi 38 aitem. Seperti yang dinyatakan Azwar (2004) bahwa kriteria berdasarkan keofisien aitem total yang biasanya digunakan adalah batasan ≥ 0,300 yang dianggap memiliki daya beda yang memuaskanKoefisien korelasi aitem total yang memenuhi kriteria bergerak dari 0,360 hingga0,836. Distribusi aitem skala setelah uji coba ditunjukkan pada tabel 3.

(11)

Tabel. 3. Distribusi aitem-aitem Skala Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia

No Komponen Aitem Jumlah Bobot Favorable Unfavorable 6. competitive style 1, 17, 22, 30, 39 4, 10, 19, 37 9 23,68% 7. collaborative style 3, 15, 36, 41 7, 23 6 15,79% 8. compromise style 2, 16, 31, 47 11, 26, 45 7 18,42% 9. accommodating style 5, 18, 29, 35, 42 13, 27, 33, 46 9 23,68% 10. avoidance style 14, 21, 28 6, 12, 24, 40 7 18,42% Jumlah 21 17 38 100 %

Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa dari keseluruhan yaitu 47 aitem yang diujicobakan diperoleh 38 aitem yang memenuhi indeks diskriminasi ≥ 0,300 dengan nilai koefisien alpha masing-masing dari tiap gaya. Nilai realiabilitas dari tiap gaya resolusi konflik dapaat dilihat pada tabel 4:

Tabel 4. Reliabilitas dari tiap-tiap gaya resolusi konflik Gaya Resolusi Konflik Realiabitas

Competitive Style .911 Collaborative Style .773 Compromise Style .808 Accomadating Style .872 Avoidance Style .750

(12)

Peneliti menggunakan 38 aitem yang lolos dari seleksi setelah uji coba skala dilakukan. Selanjutnya dilakukan penomoran baru terhadap aitem yang dimasukkan dalam skala untuk penelitian. Distribusi aitem skala gambarangaya resolusi konflik pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia yang digunakan dalam penelitian ditunujukkan pada tabel 5 berikut :

Tabel. 5. Distribusi aitem-aitem Skala Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia

No Komponen Aitem Jumlah Bobot Favorable Unfavorab le 1. competitive style 1, 15, 19, 26, 32 4, 8, 17, 31 9 23,68% 2. collaborative style 3, 13, 30, 34 7, 20 6 15,79% 3. compromise style 2, 14, 27, 38 9, 22, 36 7 18,42% 4. accommodating style 5, 16, 25, 29, 35 11, 23, 28, 37 9 23,68% 5. avoidance style 12, 18, 24 6, 10, 21, 33 7 18,42% Jumlah 21 17 38 100 %

(13)

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap persiapan

Dalam rangka pelaksanaan penelitian ini ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan oleh peneliti, antara lain:

a. Rancangan alat dan instrumen penelitian

Pada tahap ini, alat ukur yang berupa skala gaya resolusi konflikoleh peneliti berdasarkan berdasarkan lima gaya resolusi konflikyang dikemukakan oleh Killman dan Thomas (dalam Olson & DeFrain, 2006) dengan bimbingan professional judgement (dalam hal ini dilakukan oleh dosen pembimbing). Skala dibuat dalam bentuk booklet ukuran kertas A4 yang terdiri petunjuk pengisian, setiap pernyataan memiliki 2 alternatif jawaban yang tempatnya telah disediakan sehingga memudahkan subjek dalam memberikan jawaban.

b. Uji coba alat ukur

Sebelum menjadi alat ukur yang sebenarnya, skala tersebut diujicobakan terlebih dahulu kepada sejumlah responden yang sesuai dengan karakteristik sampel yang akan digunakan dalam penelitian. Dalam hal ini peneliti akan mengujicobakan pada sejumlah reponden yang tidak terpilih sebagai sampel penelitian. Total skala yang disebarkan berjumlah 230 skala.

c. Revisi alat ukur

Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur yang dilakukan pada 109 pasangan, peneliti menguji validitas dan reliabilitas skala gaya resolusi konflik melalui koefisien alpha cronbach dengan menggunakan SPSS version 16.0 for

(14)

windows. Aitem-aitem yang valid kemudian disusun kembali dalam bentuk booklet untuk dijadikan alat ukur yang sebenarnya.

2. Tahap pelaksanaan

Setelah skala penelitian lulus dalam uji validitas dan reliabilitas, maka aitem-aitemdalam skala tersebut disusun kembali. Selanjutnya, aitem-aitem yang sudah lulus penyaringan dijadikan alat pengumpulan data pada sampel penelitian. 3. Tahap pengolahan data

Setelah diperoleh data maka dilakukan pengolahan data. Untuk mempermudah penganalisaan data, data diolah dengan menggunakan SPSS 16.0 for Windows.

H. Metode Analisis Data

Azwar (2004) menyatakan bahwa pengolahan data penelitian yang sudah diperoleh dimaksudkan sebagai suatu cara mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga dapat dibaca dan dapat diinterpretasikan.

Data yang diperoleh akan diolah dengan analisis statistika. Alasan yang mendasari digunakannya analisis statistik adalah karena statistik dapat menunjukkan kesimpulan atau generalisasi penelitian.

Pertimbangan lain adalah (Hadi, 2002) : 1. statistik bekerja dengan angka

2. statistik bersifat objektif 3. statistik bersifat universal

(15)

Dalam penelitian ini, analisis statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran atau memberikan deskriptif mengenai subjek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh untuk kelompok subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis.

Data yang diperoleh akan diolah dengan metode analisis deskriptif. Data yang akan diolah yaitu skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi. Untuk lebih jelasnya pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS versi16.0 for windows

(16)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Bab ini akan menguraikan deskripsi umum subjek penelitian dan hasil penelitian yang berkaitan dengan analisis data penelitian dan sesuai dengan permasalahan yang ingin dilihat dari penelitan ini terhadap data yang ada.

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Subjek penelitian berjumlah 74 pasangan yang keseluruhannya merupakan pasangan perkawinan campuran Tionghoa - Indonesia. Berdasarkan skala yang diberikan kepada subjek penelitian, diperoleh deskripsi data sebagai berikut:

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Etnis atau Suku

Berdasarkan etnis atau suku, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan seperti pada tabel di bawah ini :

Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Etnis atau Suku Suku atau Etnis Frequency Percent

Aceh 4 2.7 Batak 39 26.4 Jawa 19 12.8 Melayu 5 3,4 Padang 6 4,1 Sunda 1 0,7 Tionghoa 74 50.0 Total 148 100.0

(17)

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa hasil penelitian gambaran secara umum dengan 148 orang yang melakukan perkawinan campuran Tionghoa-Indonesiaada7 etnis atau suku dimana pembagiannya adalahsuku Aceh terdapat 3 orang (2%), lalu sebanyak 39 orang yang bersuku batak (26,4%), sedangkan suku Jawa ada 19 orang (12,8%), orang yang berusuku Melayu ada 3 orang (2%), lalu suku Padang dan suku Sunda masing-masing ada sebanyak 5 orang (3,4%), dan yang terakhir merupakan sebagian dari total subjek penelitian ini yaitu etnis Tionghoa sebanyak 74 orang (50%).

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lamanya Perkawinan Berdasarkan lamanya perkawinan, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan pada tabel beikut in :

Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lamanya Perkawinan Lamanya Perkawinan Frequency Percent

1 tahun – 10 tahun 32 43,2 10 tahun 1 bulan – 20 tahun 31 41,9 20 tahun 1 bulan – 30 tahun 11 14,9 Total 74 100

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa lamanya subjek pnelitian menjalankan perkawinan dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu 1 tahun – 10 tahun ada sebanyak 32 pasangan (43,2%), sedangkan 10 tahun 1 bulan – 20 tahun

(18)

ada 31 pasangan (41,9%), dan yang terakhir adalah 20 tahun 1 bulan – 30 tahun sebanyak 11 pasangan (14,9%).

B. Hasil Penelitian

Data dalam penelitian ini akan dianalisa secara deskriptif. Tujuan dari analisis ini adalah untuk menjelaskan karakteristik variabel yang diteliti, dalam hal ini adalah gaya resolusi konflik pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia. Fungsi analisis deskriptif adalah menyederhanakan kumpulan data hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga kumpulan data tersebut berubah menjadi informasi yang berguna.Secara teknis, analisis deskriptif merupakan kegiatan meringkas kumpulan data menjadi ukuran tengah dan ukuran variasi.Selanjutnya membandingkan data kelompok subjek satu dan lainnya (Hastono, 2001).

Data dalam penelitian ini adalah data numerik, maka analisis deskriptif yang akan disajikan adalah ukuran tengah meliputi nilai mean dan ukuran variasi meliputi standar deviasi, minimum dan maksimum.

Mean adalah angka rata-rata. Nilai maksimum dan nilai minimum digunakan untuk mengetahui range (selisih antara nilai maximum dan minimum). Nilai kuadrat penyimpangan dari nilai mean disebut dengan varian. Agar satuan varian sama dengan mean, maka dikembangkan ukuran variasi yang disebut dengan standar deviasi. Standar deviasi merupakan akar dari varian, dimana standar deviasi yang semakin besar menunjukan variasi yang semakin besar pula (Hastono, 2001).

(19)

1. Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan Campuran Tionghoa-Indonesia

Dalam Penelitian ini pasangan perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia sebagai subjek penelitian digolongkan kedalam 5 gaya yaitu competitive, collaborative, compromise, accomodatingdan avoidance yang dikemukakan oleh Killman dan Thomas (dalam DeFrain, 2006). Penggolongan subjek dalam masing-masing gaya resolusi konflik di gunakan kategorisasi z skor.Nilai Z (standard score) adalah nilai yang digunakan untuk membandingkan angka-angka dari variabel yang menggunakan satuan pengukuran yang berbeda (Hadi, 2000).Harga z yang ditetapkan pada setiap gaya resolusi konflik sebesar 1,936 yang berarti dalam distribusi teoritis, peluang untuk memperoleh harga z yang lebih besar daripada 1,936 hanyalah 5%. Jadi, keyakinan bahwa subjek penelitian yang mencapai kriteria tersebut memang memiliki ciri gaya resolusi konflik tertentu menjadi lebih besar.

Z ≥ 1,936

Zcompetitive ≥ 1,936 ; Zcollaborative < 0 ; Zcompromise< 0 ; Zacc0modating< 0 ; Zavoidance< 0

Zcollqborative≥ 1,936 ; Zcompetitive< 0 ; Zcompromise< 0 ; Zacc0modating< 0 ; Zavoidance< 0

Zcompromise ≥ 1,936 ; Zcompetitive< 0 Zcollqborative< 0 ; Zlacc0modating< 0 ; Zavoidance< 0

Zaccomodating≥ 1,936 ; Zcompetitive< 0 Zcollqborative< 0 ; Z compromise< 0 ; Zavoidance< 0

(20)

Tabel 8. Deskripsi Nilai Mininimum, Nilai Maximum, Mean dan Standar

deviasi

Gaya Resolusi

Konflik N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Competitive 74 0 9 3.81 2.605

Collaborative 74 0 6 2.31 1.687

Compromise 74 1 7 3.20 1.783

Accommodating 74 1 9 4.54 2.271

Avoidance 74 0 7 3.54 1.673

Adapun mean untuk competitive style adalah 3,81 (SD=2,605), mean untuk collaborative style 2,31 (SD=1,687), mean untuk compromise style 3,20 (SD=1,783) kemudian mean untuk accommodating style 4,54 (SD=2,271) dan yang terakhir adalah mean untuk avoidance style sebesar 3,54 (SD=1,673). Kemudian untuk transformasi nilai subjek ke Z score digunakan bantuan SPSS 16.0 for windows.

Berdasarkan Z score sebesar 1,936 sebagai ketetapan dalam menentukan gaya resolusi konflik yang digunakan pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia, maka berikut adalah deskripsi umum karakteristik resolusi konflik:

(21)

Tabel 9. Deskripsi Umum Gaya Resolusi Konflik

Gaya Resolusi

Konflik Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Accommodating 9 12.2 12.2 12.2 Avoidance 8 10.8 10.8 23.0 Collaborative 6 8.1 8.1 31.1 Competitive 11 14.9 14.9 45.9 Compromise 9 12.2 12.2 58.1 non kategori 31 41.9 41.9 100.0 Total 74 100.0 100.0

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat dilihat gaya resolusi konflik murni yang ditemukan pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia di Medan adalah competitive style sebanyak 11 pasangan (14,9%), kemudian collaborative style sebanyak 6 pasangan (8,1%) kemudian compromise style 9 pasangan (12,2%), accommodating style 9 pasangan (12,2%), dan yang terakhir adalah avoidance style 8 pasangan (10,8%). Sementara sisanya sebanyak 31 pasangan (41,9%) tidak dapat dikategorisasikan.

(22)

Tabel 10. Deskripsi Gaya Resolusi Konflik Berdasarkan Etnis Pasangan

Etnis Pasangan

Gaya Resolusi Konflik Total

Competi- tive Style Collabo- rative Style Compro-mise Style Accommo-dating Style Avoidance Style Non Kategori Tionghoa– Aceh - - 1 pasangan 1 pasangan - 2 pasangan 4 pasangan Tionghoa – Batak 11 pasangan - 6 pasangan 3 pasangan 6 pasangan 13 pasangan 39 pasangan Tionghoa – Jawa - 5 pasangan 2 pasangan 1 pasangan - 11 pasangan 19 pasangan Tionghoa – Melayu - 1 pasangan - 2 pasangan 2 pasangan - 5 pasangan Tionghoa – Padang - - - 1 pasangan 5 pasangan 6 pasangan Tionghoa – Sunda - - - 1 pasangan - 1 pasangan Total Subjek 74 pasangan 31 pasangan

Berdasarkan tabel 10 dapat dilihat bahwa dari 4 pasangan Tionghoa-Aceh yang menggunakan gaya resolusi konflik compromise style 1 pasangan, accommodating style 1 pasangan dan yang tidak terkategori 2 pasangan). Dari 39 pasangan Tionghoa-Batak yang menggunakan gaya resolusi konflik competitive style 11 pasangan, compromise style 6 pasangan, accommodating style 3 pasangan, avoidance style 6 pasangan dan yang tidak terkategori 13 pasangan. Dari 19 pasangan Tionghoa-Jawa yang menggunakan gaya resolusi konflik collaborative style 5 pasangan, compromise style 2 pasangan, accommodating

(23)

style 1 pasangan dan yang tidak terkategori 11 pasangan. Dari 5 pasangan Tionghoa-Melayu yang menggunakan gaya resolusi konflik collaborative style 1 pasangan, accommodating style 2 pasangan, avoidance style 2 pasangan dan yang tidak terkategori 13 pasangan. Dari 6 pasangan Tionghoa-Padang yang menggunakan gaya resolusi konflik accommodating style 1 pasangan dan yang tidak terkategori 5 pasangan. Satu pasangan Tionghoa-Sunda menggunakan accommodating style sebagai gaya resolusi konflik.

C. Pembahasan

Perkawinan campuran adalah perkawinan yang terjadi antar pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Budaya menjadi suatu aspek yang paling penting dalam perkawinan, dimana pasangan tersebut tentu memiliki dalam hal nilai-nilai budaya yang dianut, menurut keyakinan dan kebiasaan, serta adat istiadat dan gaya hidup yang berbeda, suku yang berbeda (Koentjaraningrat, 1981).

Salah satu contoh perkawinan campuran antara orang Indonesia dan etnis lain adalah dengan etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa merupakan etnis mayoritas non pribumi yang ada di Indonesia. Sebagai kaum minoritas, sikap terhadap mereka pun tidak menentu, dalam keadaan tertentu disenangi, dalam keadaan lainnya dibenci. Hubungan antara etnis Tionghoa dan orang Indonesia di Indonesia tidak luput dari keberadaan stereotype. Menurut Suryadinata (1984) salah satu pencetus stereotype terhadap etnis Tionghoa adalah disebabkan selain jumlahnya yang makin lama makin besar, juga disebabkan peranan mereka yang

(24)

menonjol dalam kehidupan ekonomi di negara Indonesia, akibat kelebihan itu maka persepsi terhadap etnis Tionghoa selalu bersifat negatif.

Perkawinan antara etnis Tionghoa dan Indonesia suatu fenomena unik.. Etnis Tionghoa yang dikenal agak tertutup dan kurang mau bergaul dengan suku lain, berbanding terbalik dengan orang Indonesia yang lebih suka bersosialisasi dan berkelompok. Latar belakang yang berbeda ini dapat menimbulkan ketidakcocokan, karena pasangan Tionghoa dan Indonesia tentu memiliki adat istiadat dan kebudayaaan yang yang berbeda sehingga akan membentuk kepribadian tersendiri dengan pola pemikiran, cara pandang atau pemikiran yang berbeda. Ketidakcocokan tersebut dapat mengakibatkan konflik, baik tentang kebiasaan, sikap perilaku dominan, maupun campur tangan keluarga.(Purnomo dalam Natalia & Iriani, 2002).

Konflik merupakan suatu proses atau keadaan dimana dua pihak atau lebih berusaha untuk saling menggagalkan tujuan masing-masing karena adanya perbedaan pendapat, nilai-nilai ataupun tuntunan dari masing-masing pihak (Koentjaraningrat, 1984). Konflik yang tidak diselesaikan atau tidak dapat diselesaikan akan berdampak negatif untuk masing-masing individu dalam pasangan. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh konflik dapat dirasakan langsung oleh orang yang mengalami konflik.

Konflik tidak bisa terus menerus dihindarkan didalam hubungan antar manusia.Namun konflik juga tidak perlu dipandang sebagai suatu hal yang buruk dan secara mutlak harus dihindarkan. Begitupula dalam setiap keluarga, suatu saat nanti pasti juga akan mengalami konflik dalam tingkatan besar maupun kecil.

(25)

Masing-masing individu tentu mempunyai cara yang berbeda dalam mengelola konflik yang sedang dihadapi. Dengan mengetahui bagaimana cara menghadapi konflik maka diharapkan dapat mencari penyelesaian yang tepat terhadap perbedaan dan ketidaksetujuan yang timbul, untuk itu diperlukan adanya penanganan atau resolusi konflik.

Resolusi konflik adalah cara atau pendekatan atau metode yang digunakan seseorang untuk mengatasi atau menghadapi suatu konflik tertentu (Dwijanti, 2000). Menurut Killman dan Thomas (dalam DeFrain, 2006) ada 5gaya resolusi konflik yang dapat digunakan yaitu competitive, collaborative, compromise, accomodatingdan avoidance, dimana masing-masing gaya memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan konflik yang sedang dihadapi. Pasangan perkawinan campuran mungkin dapat menggunakan berbagai macam gaya dalam mengelola konflik yang dihadapinya. Biasanya cara tersebut dipilih berdasarkan kebiasaan dan kebiasaan tersebut muncul akibat proses belajar dimasa lalu.

Berdasarkan hasil penelitian gambaran gaya resolusi konflik pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa dan Indonesia dapat dilihat gaya resolusi konflik murni yang ditemukan pada 74 pasangan perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia di Medan adalah competitive style sebanyak 11 pasangan (14,9%), kemudian collaborative style sebanyak 6 pasangan (8,1%) kemudian compromise style 9 pasangan (12,2%), accommodating style 9 pasangan (12,2%), dan yang terakhir adalah avoidance style 8 pasangan (10,8%).

Pada penelitian ini diketahui gaya resolusi konflik pada pasangan Tionghoa-Indonesia paling banyak menggunakan competitive style yaitu sebanyak

(26)

11 pasangan., dimana menurut Killman dan Thomas (dalam DeFrain, 2006), competitive style adalah merupakan cara menyelesaikan konflik tanpa memikirkan pasangannya Individu yang menggunakan gaya ini menampilkan perilaku seperti agresi, koersi, manipulasi, intimidasi, dan senang berdebat. Aspek lain dalam gaya ini adalah tidak mempedulikan kebutuhan dari pasangan. Orang-orang yang menggunakan gaya ini cenderung agresif dan tidak kooperatif, dan mengikuti apa yang diinginkan dengan mengorbankan orang lain. Mereka mendapatkan kekuatan dengan mengkonfrontasi dan berusaha menang tanpa menyesuaikan tujuan dan hasratnya dengan tujuan dan hasrat orang lain.

Duval dan Miller (1985) mengatakan masa awal pernikahan merupakan masa paling berat ketika pasangan yang baru menikah harus menghadapi berbagai proses penyesuaian diri terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Proses ini pasti melibatkan banyak konflik didalamnya, karena pada masa ini pasangan masih akan bertahan dengan ego masing-masing dan tidak mau mengalah satu sama lain karena merasa paling benar.

Menurut Dwijanti (2000) gaya resolusi konflik adalah cara atau pendekatan atau metode yang digunakan seseorang untuk mengatasi atau menghadapi suatu konflik tertentu. Dalam perkawinan resolusi konflik melibatkan pasangan suami istri, dimana karakter dari pasangan berpengaruh dalam menentukan gaya resolusi konflik mana yang akan cenderung digunakan. Hal ini berkaitan dengan yang dikemukakan oleh Willmott & Hocker (2001) bahwa gaya resolusi konflik dibentuk oleh respon atau kumpulan perilaku yang digunakan individu-individu dalam konflik.

(27)

Gaya yang paling banyak digunakan pasangan Tionghoa-Indonesia dalam resolusi konflik mereka selanjutnya adalah compromise style dan accommodating style, masing-masing sebanyak 9 pasangan (12,2%). Menurut Killman dan Thomas (dalam DeFrain, 2006) Pada compromise style kedua individu dalam pasangan membuat kesepakatan yang mengarah pada persetujuan. Pasangan memberikan beberapa tujuan penting untuk mendapatkan kesepakatan.Gaya ini merupakan jalan tengah yang dihasilkan dari kombinasi tingginya perhatian terhadap tujuan individu dan tujuan pasangannya.

Accommodating style adalah perilaku non asertif namun kooperatif dimana idividu cenderung mengesampingkan keinginan pribadi dan berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang lain. Pasangan yang secara konsisten menggunakan gaya ini seringkali menghindari konflik. Hal ini dikarenakan untuk menghindari kemarahan pasangan dan untuk menjaga keharmonisan hubungan.(Killman dan Thomas dalam DeFrain, 2006).

Sisanya adalah avoidance style 8 pasangan (10,8%) dan yang paling sedikt adalah collaborative style sebanyak 6 pasangan (8,1%). Menurut Thomas dan Killman (dalam DeFrain, 2006) avoidance style adalah gaya yang mengalihkan perhatian dari konflik atau justru menghindari konflik. Kelebihan dari gaya ini adalah memberikan waktu untuk berfikir pada masing-masing pihak, apakah ada kemauan dari diri atau pihak lain untuk menangani situasi dengan cara yang lebih baik. Kelemahan dari gaya ini adalah individu menjadi tidak peduli dengan permasalahan dan cederung untuk melihat konflik sebagai sesuatu yang buruk dan harus dihindari dengan cara apa pun.

(28)

Collaborative style menggambarkan pendekatan resolusi konflik dimana masing-masing pasangan saling memperhatikan kebutuhan atau kepentingan pasangannya.Gaya ini menekankan pada kepentingan hubungan pernikahan. Gaya ini juga biasa disebut gaya integrasi. Kesadaran terhadap kebutuhan diri sendiri dan pasangan serta kesediaan untuk berusaha berdamai merupakan kesempatan yang paling baik dalam resolusi konflik. Indivdiu yang menggunakan gaya ini memiliki asertif yang tinggi dalam mencapai tujuannya tapi memiliki perhatian terhadap tujuan orang lain (Killman dan Thomas dalam DeFrain, 2006).

Hasil lain dari peneilitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 31 pasangan Tionghoa - Indonesia (41,9 %) tidak terkategorikan dalam 5 gaya resolusi konflik, karena kemungkinan 31 pasangan tersebut tidak konsisten dalam menggunakan gaya resolusi konfliknya. Menurut Kuntaraf dan Kuntaraf (1999), masing-masing pasangan memiliki kecendrungan untuk menggunakan salah satu cara saja dalam menghadapi konflik. Ini disebabkan oleh kebiasaan, dimana apabila sudah terbiasa dengan menggunakan satu gaya untuk menghadapi konflik yang terjadi maka gaya itu juga yang akan digunakan untuk konflik-konflik selanjutnya. Setiap gaya akan efektif jika digunakan pada situasi atau kondisi yang tepat. Penggunaan gaya resolusi konflik yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi maka tidak akan menghasilkan penyelesaian konflik yang diharapkan. Oleh karena itu penting bagi pasangan untuk memahami semua gaya resolusi konflik sehingga dapat memilih gaya yang tepat dan disesuaikan dengan konflik yang dihadapi.

(29)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab terakhir ini peneliti akan menjelaskan lebih lanjut peneilitian yang telah dilakukan. Bab ini terdiri dari dua bagian yaitu kesimpulan dan saran. Pada bagian kesimpulan terdapat rangkuman hasil analisis data yang ada pada bab sebelumnya., yang kemudian akan dikemukakan saran – saran penelitian untuk masa yang akan datang yang berkaitan dengan penelitian ini.

A. KESIMPULAN

Berikut ini akan dipaparkan kesimpulan yang diperoleh berdasarkan pembahasan hasil penelitian, yaitu :

1. Berdasarkan perhitungan nilai Z, diperoleh kesimpulan bahwa subjek penelitian gambaran gaya resolusi konflik pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa–Indonesia yang terkategorisasi paling banyak menggunakan competitive style sebanyak 11 pasangan (14,9%), kemudian collaborative style sebanyak 6 pasangan (8,1%) kemudian compromise style 9 pasangan (12,2%), accommodating style 9 pasangan (12,2%), dan yang terakhir adalah avoidance style 8 pasangan (10,8%).

2. Sementara sisanya sebanyak 31 pasangan tidak dapat dikategorisasikan, dikarenakan hasil olah data pasangan-pasangan tersebut tidak mencapai nilai z yang telah ditentukan yaitu sebesar 1,936. Hal ini disebabkan kemungkinan subjek tidak konsisten dalam menggunakan gaya resolusi konflik yang dihadapi.

(30)

B. SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, Penelitian ini tidak luput dari kekurangan baik secara metodologis ataupun secara praktis. Peneliti menyampaikan beberapa saran metodologis yang diharapkan nantinya dapat menjadi bahan masukan yang cukup berarti untuk penelitian selanjutnya. Berikut ini adalah beberapa saran metodologis yang penting untuk dipertimbangkan

1. Saran Metodologis

Berikut ini adalah beberapa saran metodologis yang penting untuk dipertimbangkan, yaitu:

a. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik melakukan penelitian yang berkaitan dengan judul ini, hendaknya dilakukan dengan metode kualitatif. Metode kualitatif akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam yang tidak bisa dijawab oleh penelititan ini.

b. Mengontrol proses pengisian skala yang dilakukan dirumah, dimana hal ini pasangan berpotensi tidak mengisi skala penelitian secara bersama-sama dan tidak memberikan jawaban yang sejujurnya. Kelemahan ini dapat menimbulkan kurang akuratnya data yang diperoleh karena tidak menggambarkan dengan tepat hal yang benar-benar dirasakan pasangan. Peneliti selanjutnya bisa mengontrol dan berkomunikasi lebih intens dengan subjek penelitian.

(31)

c. Penelitian selanjutnya hendaknya memperhatikan teknik sampling yang digunakan sehingga memungkinkan hasil penelitian dapat digeneralisasikan.

2. Saran Praktis

a. Berdasarkan dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa gaya resolusi konflik yang paling sering digunakan pada pasangan Tionghoa – Indonesia yang terkategori ada competitive style. Oleh karena itu, hendaknya pasangan lebih memahami karakteristik dari pasangannya masing-masing dan dapat mengembangkan pendekatan pemecahan masalah yang efektif dikarenakan competitive style termasuk gaya resolusi konflik yang destruktif yang dapat memperkeruh hubungan suami dan istri

b. Individu yang menikah beda etnis hendaknya dapat mengembangkan pendekatan pemecahan masalah yang efektif, memahami perbedaan pasangannya, mengembangkan pola resolusi konflik agar terhindar dari hal yang tidak diinginkan.

Gambar

Tabel  1.  Cara  Penilaian  Gambaran  Gaya  Resolusi  Konflik  pada  Pasangan  Perkawinan Campuran Tionghoa – Indonesia
Tabel 4. Reliabilitas dari tiap-tiap gaya resolusi konflik  Gaya Resolusi Konflik  Realiabitas
Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Etnis atau Suku  Suku atau Etnis  Frequency  Percent
Tabel  7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lamanya Perkawinan  Lamanya Perkawinan  Frequency  Percent
+4

Referensi

Dokumen terkait

Rem tromol adalah salah satu konstruksi rem yang cara pengereman kendaraan dengan menggunakan tromol rem (brake drum), sepatu rem (brake shoe), dan silider roda

Metode dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan menggunakan pola matching subjek design atau M-S, analisis data menggunakan rumus statistik t-test

Melihat latar belakang politik yang begitu rumit, yang turut mengiringi perjalanan Lekra sebagai sebuah lembaga, dimulai dari kedekatannya dengan PKI, para pendirinya yang

Sistem Pertanian-Bioindustri Terpadu merupakan totalitas atau kesatuan kinerja pertanian terpadu yang terdiri dari: (1) Subsistem sumberdaya insani dan IPTEK; (2) Subsistem

Berdasarkan tabel 5.3, persentase responden yang menyatakan setuju bahwa penampilan karakter utama dalam iklan AlwaysOn mampu menarik perhatian mereka adalah yang paling besar

Untuk itu dalam pengambilan frekuensi dengan spektrogram dalam laras yang sama dengan vokalis yang berbeda, terdapat frekuensi yang tidak

Kegiatan yang telah dilaksanakan mendapatkan hasil: (1) egiatan dapat berjalan sesuai rencana program; (2) mahasiswa peserta pelatihan nampak sangat antusias; (3)

a) Fungsi informatif, yaitu organisasi dipandang sebagai suatu sistem proses informasi. Bermakna seluruh anggota dalam suatu organisasi berharap dapat memperoleh informasi yang