• Tidak ada hasil yang ditemukan

Universitas Padjadjaran, Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21, Jatinangor, Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Universitas Padjadjaran, Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21, Jatinangor, Bandung."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

FOSFAT TERHADAP PERTUMBUHAN DAN EMISI CO

PADA

PEMBIBITAN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT

AMELIORATION AND PHOSPHATE SOLUBILIZING MICROBE INOCULATION

EFFECT ON OIL PALM SEEDLING GROWTH AND CO2 EMISSION FROM PEAT

NURSERY

Ida Nur Istina1 , Benny Joy2, Aisyah D. Suyono2, Happy Widiastuti3, Heri Widianto4 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharudin Nasution No.341, Km 10, Padang Marpoyan, Pekanbaru.

2

Universitas Padjadjaran, Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21, Jatinangor, Bandung. 3

Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Jl. Taman Kencana, Bogor. 4

Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor.

Abstrak. Upaya peningkatan produksi kelapa sawit pada lahan gambut dilakukan dengan teknik ameliorasi dan penggunaan mikroba potensial yang mampu meningkatkan kandungan hara tanah dan performansi pertumbuhan tanaman. Di sisi lain penggunaan amelioran dan aktifitas mikroba potensial dapat memicu peningkatan emisi karbon yang apabila melebihi batas dapat merugikan. Penelitian pot ini bertujuan untuk mengevaluasi respon ameliorasi dan inokulasi mikroba pelarut fosfat (MPF) terhadap pertumbuhan dan emisi CO2 pada pembibitan kelapa sawit di lahan gambut yang dilakukan di Provinsi Riau. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan dan sepuluh perlakuan yaitu a1 = 500 g kompos tandan kosong kelapa sawit/kg media ; a2 = tanpa amelioran; a3 = 500 g kompos tandan kosong kelapa sawit/kg media + 25 % pupuk P; a4 = 500 g kompos tandan kosong kelapa sawit/kg media + 50 % pupuk P; a5 = 500 g kompos tandan kosong kelapa sawit/kg media + 75 % pupuk P; a6 = 500 g kompos tandan kosong kelapa sawit/kg media + 100 % pupuk P; a7 = 25 % pupuk P; a8 = 50 % pupuk P; a9 = 75 % pupuk P dan a10 = 100 % sesuai dosis rekomendasi). Parameter pengamatan adalah pertumbuhan bibit kelapa sawit (tinggi tanaman (cm), jumlah daun (lembar), lingkar batang (cm) dan emisi CO2. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS ver. 16. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ameliorasi menggunakan tandan kosong kelapa sawit dan inokulasi MPF meningkatkan ketersediaan hara untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit yang diindikasikan oleh berat biomassa dan menurunkan emisi CO2.

Kata Kunci : Emisi CO2, Gambut, Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit, Mikroba pelarut fosfat, pertumbuhan bibit kelapa sawit,

(2)

Abstract. Efforts to improve the palm oil production on peatlands is done with amelioration techniques and use of the potential microbes that improve soil nutrient content and plant growth performance. However, the use of ameliorant may also trigger an increase in carbon emissions. Research aimes are to evaluate the amelioration and phosphate solubilizing microbial inoculation (MPF) response on oil palm growth and CO2 emissions in the oil palm nursery at Riau. We used randomized block design with three replications. Ten treatments were tested, namely a1 = 500 g empty oil palm fruit bunch compost/kg soil; a2 = without ameliorant; a3 = 500 g empty oil palm fruit bunch compost/kg soil + 25% P; a4 = 500 g empty oil palm fruit bunch compost/kg soil + 50% P; a5 = 500 g empty oil palm fruit bunch compost/kg soil + 75% P; a6 = 500 g empty oil palm fruit bunch compost/kg soil + 100% P; a7 = 25% P; a8 = 50% P; a9 = 75% P and a10 = 100% P, where 100% P is recomendation dosage of fertilizer. Observations included growth of oil palm seedlings (plant height (cm), leaf (sheets), trunk circumference (cm) and CO2 emissions. Data were analyzed using SPSS software ver. 16th. The results showed that amelioration using oil palm bunches compos (a1) and MPF inoculation increased the availability of palm oil seedlings as indicated by the highamount of biomass and relatively lowr CO2 emissions.

Keywords: Peat soil, oil palm empty bunches compost, phosphat

solubilizing microbe, the growth of oil palm seedlings, CO2 Emissions

PENDAHULUAN

Lahan gambut merupakan lahan sub optimal yang berpotensi untuk penyediaan produk pertanian ke depan mengingat lahan subur di Indonesia sudah menyempit. Luasan lahan gambut Indonesia mencapai 14,9 juta hektar (Ritung, dkk, 2011) yang tersebar di Indonesia, dimana 4.2 juta diantaranya berpotensi untuk pengembangan komoditas pertanian termasuk komoditas perkebunan. Luasan perkebunan kelapa sawit Indonesia pada tahun 2013 mencapai 10.59 juta hektar dan dengan laju pertumbuhan 2.49 % per tahun 2014 luasan diprediksi akan mencapai 10.85 juta hektar (BPS, 2013). 1.539.579 juta hektar diantaranya tumbuh di lahan gambut (Wahyunto dkk., 2013) dan 40 % diantaranya diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat.

Pengembangan pertanian di lahan gambut mengalami banyak kendala berkaitan dengan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang mengindikasikan tingkat kesuburan dan kesehatan lahan. Pemanfaatan lahan gambut dengan pengelolaan yang baik mampu berkontribusi dalam perekonomian masyarakat (Wahyunto et al., 2010); diantaranya dengan pengaturan muka air tanah, ameliorasi dan asupan hara yang diperlukan tanaman. Fosfat merupakan unsur hara terpenting setelah unsur hara N. Fosfat di lahan gambut terkhelat oleh unsur Fe atau Al dalam bentuk fosfolipida dengan kisaran antara 0.17-0.33 mg g-1 (Berg, 2008) sehingga tidak tersedia, akibatnya hanya 30 % yang dapat diserap tanaman. Kurangnya asupan unsur P menyebabkan tidak normalnya pertumbuhan dan produksi tanaman (Sharma et al., 2013).

(3)

Penggunaan pupuk kimia dalam jumlah besar mahal dan tidak terjangkau khususnya bagi petani. Penggunaannya secara terus menerus juga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan akibat adanya leaching dan kerusakan tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompos tandan kosong kelapa sawit mengandung unsur hara makro dan mikro yang diperlukan untuk tumbuh dan kembang tanaman (Darnoko,2006), selain pemberian bahan organik itu dapat meningkatkan pH tanah karena asam-asam organik hasil dekomposisi akan mengikat Al membentuk senyawa komplek (khelat), sehingga Al-tidak terhidrolisis lagi (Suntoro, 2003).

Di alam mikroba tersedia secara melimpah baik dari jenis bakteri, fungi maupun aktinomiset yang mempengaruhi kesehatan tanah. Proses mineralisasi yang dilakukan oleh mikroba melalui mekanisme pengeluaran asam organik akan mengubah fosfat yang sukar larut menjadi tersedia bagi tanaman. Aktivitas mikroba sangat ditentukan oleh pH, temperatur dan kandungan C organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus subtilis, bacterium mycoides dan B. Mesentericus dapat melarutkan P organik (FePO4), Ca3 (PO4)2, glicerofosfat, lesitin dan tepung tulang) secara in vitro berturut-turut 2-7, 3-9, 3-13, 5-21 dan 14 persen (Suriadikarta, 2006). Bacillus sp dan 2 galur B firmus mampu melarutkan masing-masing 0.3, 0.9 dan 0.3 persen senyawa Ca3(PO4)2 tetapi tidak mampu melarutkan AlPO4 dan FePO4. Hasil penelitian Banik dan Dey, (1982) menyebutkan bahwa fungi mampu melarutkan P dalam bentuk AlPO4 pada tanah masam bahkan lebih tinggi dibandingkan bakteri (Goenadi dan Saraswati, 1993) dengan kemampuan antara 12– 162 ppm di medium Pikovskaya yang mengandung sumber P AlPO4 yang relatif lebih sukar larut sebesar 27-47 % (Lestari dan Saraswati, 1997). Ketersediaan fosfat mengakibatkan peningkatan pertumbuhan dan hasil tanaman (El-Yazeid, A.A and H.E. Abou-Aly, 2011), mengurangi penggunaan pupuk (Singh and Reddy, 2011; Zaidi A., 2009) bahkan beberapa mikroba pelarut fosfat mampu berperanan sebagai antagonis.

Pengembangan pertanian termasuk kelapa sawit di lahan gambut disinyalir merupakan penyebab tingginya emisi gas rumah kaca terutama CO2 (Agus et al., 2010). Karbondioksida (CO2) merupakan gas tidak berwarna terdiri dari 2 atom oksigen dan satu atom karbon; yang dihasilkan oleh proses dekomposisi, respirasi termasuk organisma aerobik, pembakaran fosil termasuk gambut dan aktivitas industri manusia. CO2 mempunyai andil dalam siklus karbon pada tanaman, alga dan cyanobakteri yang dengan bantuan energi matahari mengubah CO2 dan air menjadi fotosintat (Kaufman dan Cecilia, 1996). CO2 merupakan sumber utama karbon . Tanaman memerlukan CO2 untuk tumbuh dan berkembang, namun jumlah CO2 yang tidak mencukupi atau kurang dapat menyebabkan tanaman berhenti tumbuh (pada konsentrasi 100 x lebih tinggi), meminimalisir perkembangan kupu dan laba-laba (konsentrasi 1 % atau lebih). Selain itu CO2 dapat dimanfaatkan untuk mengontrol pH. Kandungan CO2 meningkat seiring waktu

(4)

dan suhu. Tingginya CO2 di udara diiringi adanya perubahan iklim seperti temperatur tinggi, peningkatan precipitasi dan penurunan kandungan N dalam tanah menyebabkan penurunan pertumbuhan tanaman (Shwartz, 2014).

Emisi dunia diperkirakan sekitar 78 juta ton dan Indonesia rangking ke 21. Sumber emisi diantaranya berasal dari sektor kehutanan yang mampu menyumbang 850 Mt CO2 (38 % total emisi Indonesia; deforestrasi hutan sebanyak 0.8 – 1 juta ha per tahun memungkinkan 850 Mt emisi CO2 akan berlangsung hingga 2030). Lahan gambut menyumbang 45 % dari total emisi Indonesia. Kegiatan pengeringan, oksidasi dan penggundulan gambut yang dilakukan akan meningkatkan jumlah emisi hingga 1.2 Gt pada 2030. Tingginya emisi dari lahan pertanian/gambut merupakan akibat adanya drainase dan konversi karbon padat rawa gambut (Tribune, 2013). Jenis vegetasi berkontribusi 35-57 %v terutama yang berasal dari respirasi akar, proses yang terjadi pada rizosfir. Mineralisasi oleh eksudat akar menyumbang 14-53 μmol C-CO2/m2/hari tergantung jenis vegetasi dan kelembaban. Vegetasi mempengaruhi lokasi C (Crow and R. Kelman Wieder, 2005). Mengingat pentingnya pengelolaan gambut, maka penelitian yang bertujuan untuk mengetahui respon ameliorasi dan inokulasi mikroba pelarut fosfat (MPF) terhadap pertumbuhan dan emisi CO2 pada pembibitan kelapa sawit telah dilakukan di lahan gambut

METODOLOGI

Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kebun bibit petani di Provinsi Riau dari Oktober 2013- Mei 2014,. Beberapa sifat kimia tanah disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Sifat kimia tanah gambut yang digunakan dalam penelitian

Sifat kimia tanah Nilai

pH 3

C 37.35

N (%) 1.83

C/N 20

P2O5 (Bray II) ppm 22.8 K tersedia 175.4 P2O5 HCl 25 % (mg 100 g-1) 59.22

K2O HCl 25 % (mg 100 g-1) 42.84 Mg tersedia cmol(+) kg-1 3.05

(5)

Penempatan Perlakuan dan inokulasi mikroba

Desain penelitian menggunakan Rancangan Acak kelompok dengan 3 kali ulangan terdiri 10 perlakuan yaitu a1= gambut + kompos tankos, a2= gambut (kontrol), a3= gambut + kompos tankos+25%P, a4= gambut + kompos tankos+50%P, a5 = gambut + kompos tankos + 75%, a6= gambut kompos tankos + 100% P, a7= gambut + 25% P, a8= gambut +50% P, a9= gambut + 75% P, dan a10= gambut + 100% P.

Bahan tanaman yang digunakan adalah bibit kelapa sawit varietas AA DP TOPAS 3 umur 4 bulan setelah semai. Inokulan mikroba pelarut fosfat adalah mikroba yang terindikasi sebagai mikroba pelarut fosfat yang diisolasi dari tanah gambut saprik Riau menggunakan media selektif pikovskaya.

Media tanam yang digunakan adalah tanah gambut dangkal asal kabupaten Pelalawan yang diambil pada kedalaman 0-20 cm dengan sifat seperti pada Tabel 1, di keringanginkan dan disaring dengan diameter saringan 2 mm, tanah dicampur dengan kompos tankos dengan perbandingan 1:1 sesuai perlakuan dan dimasukkan ke dalam polibag ukuran 40 x 50 cm.

Penyiapan inokulan

Inokulum diperbanyak dengan menambahkan 10 ml NaCl fisiologis (0,85 %) pada stok isolat murni pada permukaan agar miring sehingga menjadi suspensi mikroba yang kemudian diinkubasikan pada suhu 30 o Chingga mencapai fase eksponensial yang dipercepat. 10 % suspensi dikulturkan dalam 100 ml medium yang mengandung 10 m M asam fitat pada suhu kamar stationer. Pada akhir inkubasi konsentrasi sel mikroba dihitung kepadatannya.

Penanaman

Masing-masing bibit kelapa sawit umur 4 bulan ditanam pada polibag tidak berlubang berisi media yang telah disiram hingga jenuh dan diberi lubang tanam dengan diameter 14 cm. Sebelum bibit ditanam ke dalam lubang tanam diberikan pupuk dasar 0.569 g N/tan + 0.458 g P /tan + 0.276 K/tan + 0.201 g Mg/tan.

Pemupukan

Pemupukan bibit dilakukan 2 minggu setelah tanam menggunakan pupuk tunggal secara tabur. Pupuk N diberikan dalam bentuk Urea, P diberikan dalam bentuk TSP, K dalam bentuk KCl dan Mg dalam bentuk kiserit, sesuai dengan perlakuan Tabel 2.

(6)

Inokulan diinokulasikan pada sore hari dengan tingkat kerapatan 109, sebanyak 15 ml/tanaman dengan menuangkan larutan ke dalam tanah sesuai dosis perlakuan. Pemeliharaan meliputi penyiangan terhadap gulma yang tumbuh, penyemprotan pestisida untuk mencegah serangan hama dan penyakit tanaman.

Tabel 2. Dosis pupuk anorganik dan waktu pemupukan

Minggu ke

Dosis Pupuk (g/tan)

N P K Mg 100% 75% 50% 25% Kontrol 18 1,594 1,283 0,963 0,642 0,321 0 0,774 0,563 20 2,278 1,833 1,375 0,917 0,458 0 1,106 0,804 22 2,278 1,833 1,375 0,917 0,458 0 1,106 0,804 24 2,278 1,833 1,375 0,917 0,458 0 1,106 0,804 26 3,644 2,933 2,2 1,467 0,733 0 6,271 7,638 28 3,644 2,933 2,2 1,467 0,733 0 6,271 7,638 30 3,644 2,933 2,2 1,467 0,733 0 6,271 7,638 32 4,556 3,667 2,75 1,833 0,917 0 7,839 8,04 34 4,556 3,667 2,75 1,833 0,917 0 7,839 8,04 35 4,556 3,667 2,75 1,833 0,917 0 7,839 8,04 Pengukuran emisi CO2

Emisi CO2 diukur menggunakan perangkat Infra Red Gas Analyzer (IRGA) type dengan metoda closed chamber. Chamber yang digunakan adalah dark chamber. Light chamber juga digunakan diakhir penelitian. Pengukuran emisi CO2 menggunakan dark chamber dilakukan setiap bulan sekali sedangkan light chamber digunakansekali saja saat pengamatan terakhir.

Parameter pengamatan meliputi: pertumbuhan tinggi tanaman 5 bulan setelah tanam, jumlah daun, lingkar batang, bobot kering akar, batang dan emisi CO2. 20 minggu setelah perlakuan tanaman dicabut dengan hati-hati dibersihkan dari tanah dan dicuci agar tanah yang menempel pada akar terlepas kemudian ditimbang bobot akar, batang dan daun. Data yang terkumpul ditabulasikan dan dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS versi 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan pertumbuhan bibit kelapa sawit

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan ameliorasi dan inokulasi mikroba pelarut fosfat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan

(7)

tinggi tanaman bibit kelapa sawit; hal ini kemungkinan disebabkan kebutuhan hara untuk pertumbuhan optimal masih dapat dipenuhi oleh media gambut, namun menunjukkan perbedaan yang nyata pada pertambahan jumlah daun dan lingkar batang. Pertumbuhan vegetatif tanaman dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk diantaranya kecukupan hara seperti unsur hara N sebagai penyusun sel yang merangsang pertumbuhan vegetatif yaitu tinggi tanaman sedangkan unsur P berperan dalam pembelahan sel untuk membentuk organ tanaman. Bibit kelapa sawit akan mengalami defisiensi yang menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak normal jika kandungan hara P dalam tanah kurang dari 15 mg P/kg, K kurang dari 0,15 cmol/kg. Tinggi tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan inokulasi MPF pada Gambut+75 % P (73.74 cm) dan terendah pada inokulasi MPF pada media gambut (70.72 cm). Artinya bahwa bahwa inokulasi MPF meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit jika dikombinasikan dengan bahan anorganik. Asupan hara P yang ditambahkan pada tanah gambut diperlukan mikroba untuk kegiatan metabolismenya sehingga memacu pertumbuhan dan perkembangan mikroba untuk menghasilkan asam organik yang berperanan dalam mengkhelat unsur P yang terlarut sehingga tersedia bagi tanaman.

Pertambahan jumlah daun terbanyak terdapat pada perlakuan inokulasi MPF pada gambut + 25 % P (11,22 lembar) tidak berbeda nyata dengan inokulasi mikroba pelarut P pada gambut yang diberi amelioran tandan kosong kelapa sawit baik tanpa penambahan pupuk P maupun dengan penambahan berbagai dosis pupuk P kecuali penambahan 75 % P dan inokulasi mikroba pelarut P pada tanah gambut + 50 % P.

Tabel 3. Keragaan rata-rata pertumbuhan bibit kelapa sawit

Perlakuan Tinggi tanaman Σ daun Diameter (cm) (lbr) batang(cm) Gambut + tankos 72.57 10.50 ab 4.83 b Gambut 70.72 10.47 a 4.61 ab Gambut+ tankos+25% P 72.86 10.64 ab 4.51 ab Gambut+ tankos+50% P 73.40 10.53 ab 4.67 ab Gambut+ tankos+75% P 71.38 10.36 a 4.53 ab Gambut+ tankos+100%P 71.74 10.92 ab 4.48 a Gambut+ 25 % P 73.54 11.22 b 4.45 a Gambut+ 50 % P 73.07 10.64 ab 4.56 ab Gambut+ 75 % P 73.74 10.44 a 4.45 a Gambut+ 100 % P 72.24 10.47 a 4.44 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf

(8)

Jumlah daun terendah pada inokulasi MPF pada media gambut+kompos tankos+75% P (10,36 lembar) tidak berbeda nyata dengan kontrol. Pembentukan organ baru ditentukan oleh unsur hara P . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa MPF bekerja dengan baik pada tanah yang kandungan hara P nya rendah. Pada kondisi hara P tersedia melimpah MPF tidak bekerja. Pada perlakuan dimana gambut memiliki kandungan P tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman sehingga MPF melakukan aktivitas pelarutan dengan baik. Peranan MPF adalah menguraikan unsur hara P dan mencegah P yang terurai dikhelat oleh koloid tanah sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.

Pertambahan diameter batang terbesar terdapat pada perlakuan inokulasi MPF pada tanah gambut (4.83 cm) dan terkecil pada perlakuan inokulasi MPF pada Gambut+100 % P artinya bahwa penambahan P menghambat aktifitas MPF untuk melakukan aktifitas pelarutan hara P, sementara dari 100 % P yang diaplikasikan 80-90% difiksasi komponen tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman.

Berat Biomassa bibit kelapa sawit

Berat biomassa tanaman menggambarkan aplikasi MPF pada berbagai media menunjukkan perbedaan yang nyata. Berat brangkasan bibit kelapa sawit tertinggi pada media gambut +75% P, Gambut + 100 % P, Gambut + tankos +100% P dan Gambut + tankos tetapi tidak berbeda nyata dengan aplikasi MPF pada media Gambut+ tankos+50% P, Gambu t+ 75 % P, Gambut + 50 % P namun berbeda nyata dengan aplikasi MPF pada tanah gambut, demikian juga pada berat brangkasan akar (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa berat biomasa tanaman ditentukan oleh penambahan bahan anorganik baik dalam bentuk pupuk kimia yang ditambahkan maupun yang berasal dari kompos tandan kosong kelapa sawit yang merupakan bahan baku untuk proses fotosintesa dan proses metabolisme tanaman lainnya. Hasil dari proses tersebut pada akhirnya didistribusikan kembali pada seluruh bagian tanaman. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa MPF berkontribusi dalam penyediaan hara P melalui mekanisme penguraian unsur P dari P anorganik dan mencegah khelasi oleh asam organik gambut. Unsur hara P diperlukan tanaman untuk pertumbuhan akar, proses fotosintesis dan metabolisme lainnya. Selain itu inokulasi mikroba pelarut fosfat kan meningkatkan lapisan yang sesuai untuk pertumbuhan dan produksi tanaman serta kelestarian kesehatan tanah (Sharma, 2013).

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa aplikasi MPF secara tunggal tidak berpengaruh nyata terhadap keragaan berat kering batang (bagian atas tanaman), namun pengaruhnya menjadi nyata pada berbagai media dengan kombinasi kompos tankos dan pupuk P anorganik, meski tidak berbeda nyata pada bagian akar tanaman.

(9)

Tabel 4. Keragaan berat brangkasan dan berat kering tanaman

Perlakuan Brangkasan (g) Berat Kering (g) Batang Akar Batang Akar Gambut+tankos 321.99 bc 100.61 abc 104.79 bc 21.64 a Gambut 250.28 a 82.99 a 84.69 ab 18.76 a Gambut+ tankos+25% P 279.60 ab 89.77 ab 90.19 abc 20.63 a Gambut+ tankos+50% P 302.70 abc 103.97 bc 97.79 abc 21.75 a Gambut+ tankos+75% P 281.30 ab 101.89 abc 83.61 a 18.97 a Gambut+ tankos+100% P 339.71 bc 108.80 bc 106.23 c 23.30 a Gambut+ 25 % P 290.17 abc 104.79 bc 90.41 abc 19.97 a Gambut+ 50 % P 289.26 abc 107.54 bc 90.71 abc 19.13 a Gambut+ 75 % P 348.62 c 108.92 bc 103.46 abc 20.15 a Gambut+ 100 % P 322.18 bc 113.10 c 97.77 abc 21.00 a Keterangan : - Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf

beda

Nyata 5 % - 25-100% P adalah persen pupuk P diaplikasikan dari total rekomendasi pupuk P

Artinya bahwa hara didistribusikan secara merata baik pada bagian atas tanaman maupun bagian bawah tanaman (akar). Berat brangkasan tertinggi terdapat pada perlakuan gambut+ 75 % P tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan lain kecuali perlakuan gambut menunjukkan bahwa kecukupan hara P yang diperlukan tanaman untuk proses metabolisme yang diindikasikan dengan berat brangkasan berasal dari P yang diberikan dan kandungan P asal tandan kosong kelapa sawit.

Kompos tandan kosong kelapa sawit yang digunakan dalam penelitian ini memiliki pH 8.5, sehingga penggunaannya sebagai amelioran berpengaruh pada peningkatan pH tanah yang berdampak baik pada pertumbuhan mikroba maupun ketersediaan hara P bagi tanaman. Pada gambut yang tidak terameliorasi, kecukupan hara P selain dipengaruhi oleh P yang diberikan juga dipengaruhi oleh adanya mikroba pelarut fosfat yang berperanan dalam mencegah P terlarut diikat oleh aluminium tanah sehingga tersedia bagi tanaman.

Keragaan Emisi CO2 pada pembibitan kelapa sawit

Emisi CO2 dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pH tanah, ketersediaan hara, air, suhu dan faktor lingkungan lainnya. Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa perlakuan ameliorasi dan inokulasi mikroba pelarut fosfat pada tanah gambut saprik berpengaruh terhadap respirasi dan emisi CO2 pada 1 bulan setelah perlakuan, namun

(10)

tidak berbeda nyata hingga 5 bulan setelah perlakuan dan memiliki kecenderungan menurun (Tabel 5). Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan lahan gambut menggunakan amelioran tandan kosong kelapa sawit dan inokulasi mikroba pelarut fosfat untuk meningkatkan performansi pertumbuhan tanaman tidak berpengaruh terhadap emisi CO2.

Tabel 5. Pengaruh amelioran terhadap emisi CO2

Perlakuan Respirasi Nov Des Jan Peb Maret Dark Light Gambut+tankos 5.77 ab 16.07 ab 38.23 a 23.43 a 28.62 a 20.91 a -4.54 a Gambut 4.20 a 14.69 ab 38.77 a 27.16 a 28.69 a 19.39 a 2.38 a Gambut+ tankos+25% P 5.38 ab 14.89 ab 34.71 a 23.66 a 26.83 a 21.03 a -3.42 a Gambut+ tankos+50% P 5.30 ab 16.30 ab 38.33 a 29.97 a 28.17 a 20.66 a -2.28 a Gambut+ tankos+75% P 5.80 ab 13.48 a 36.67 a 26.56 a 25.95 a 21.98 a -11.17 a Gambut+ tankos+100% P 5.47 ab 17.84 b 40.07 a 22.57 a 33.94 a 23.83 a -2.38 a Gambut+ 25 % P 6.62 b 16.04 ab 38.07 a 24.94 a 29.07 a 20.67 a -3.23 a Gambut+ 50 % P 5.69 ab 14.96 ab 40.26 a 26.97 a 28.95 a 21.23 a -13.47 a Gambut+ 75 % P 5.13 ab 13.21 a 34.52 a 26.56 a 30.01 a 25.30 a -1.15 a Gambut+ 100 % P 4.56 ab 13.96 ab 39.84 a 26.73 a 28.53 a 22.47 a -14.16 a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf beda nyata 5 %

Tabel 5 menunjukkan bahwa respirasi pada pemupukan 25 % menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Penambahan pupuk pada kompos memberikan indikasi terjadinya respirasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa amelioran. Penambahan pupuk P pada gambut yang diameliorasi menunjukkan kecenderungan semakin tinggi dosis pupuk P yang diberikan semakin tinggi respirasi, meskipun terjadi penurunan apabila dosis ditingkatkan lebih dari 75 %.

Pada tanah gambut yang tidak diberi amelioran memiliki kecenderungan semakin tinggi dosis pupuk P yang diberikan semakin rendah respirasi yang terjadi. Respirasi terjadi pada penambahan dosis pupuk P sebesar 25 %. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh aktifitas mikroba, dimana semakin tinggi dosis pupuk P mikroba pelarut fosfat tdak dapat bekerja dengan baik dan kelebihan pupuk P yang bersifat mobil diikat oleh asam organik tanah sehingga respirasinya berkurang. Sedangkan pada tanah gambut yang diameliorasi kecenderungan respirasi meningkat hingga dosis penambahan pupuk P 75 %, hal ini kemungkinan diakibatkan oleh perubahan kondisi tanah khususnya pH yang lebih sesuai dengan pertumbuhan mikroba untuk beraktifitas menghambat kehilangan pupuk P maupun aktifitas dekomposisi. Pada awal pengamatan penambahan pupuk P sebanyak 75

(11)

% pada tanah gambut yang diberi amelioran maupun tidak menunjukkan emisi CO2 lebih rendah berbeda nyata dengan ameliorasi tanah gambut + 100 % pupuk P. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh penambahan unsur hara P diperlukan mikroba untuk melakukan aktifitas dalam penyusunan sel dan enzim fosfatase yang berperan dalam menstimulir pertumbuhan akar dan mikroba sehingga meningkatkan emisi CO2. Keragaan emisi CO2 pada pembibitan kelapa sawit mengalami fluktuasi dengan kecenderungan menurun setelah minggu ke sepuluh setelah perlakuan. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh adanya kandungan Fe dalam kompos tandan kosong kelapa sawit yang berinteraksi dengan asam-asam organik membentuk komplek organo Fe yang stabil (Nelvia, 2009) dan sulit didekomposisikan oleh mikroorganisme yang berdampak pada terhambatnya aktifitas dan mengurangi produksi CO2. Hasil analisis laboratorium terhadap kompos kelapa sawit menunjukkan bahwa kandungan Fe pada kompos yang digunakan sebesar 1.22 ppm. Kemungkinan lain adalah adanya reduksi oleh kegiatan fotosintesa bibit kelapa sawit untuk menghasilkan fotosintat bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Kusumaningrum, 2008). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sekuestrasi emisi CO2 terjadi pada semua perlakuan kecuali pada perlakuan kontrol (gambut), hal ini mengindikasikan bahwa ameliorasi dan inokulasi mikroba pelarut fosfat berpengaruh positif terhadap gambut yaitu meningkatkan pH tanah, hara tanah dan menyediakan suasana yang baik untuk mikroba potensial dan melakukan aktifitasnya.

KESIMPULAN

Ameliorasi tandan kosong kelapa sawit pada tanah gambut mampu meningkatkan meningkatkan ketersediaan hara bibit untuk pembibitan kelapa sawit yang diindikasikan pada berat biomassa. Kombinasi inokulasi mikroba pelaruf fosfat dan amelioran yang diaplikasikan juga berpengaruh secara tidak langsung dalam menurunkan emisi CO2.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Badan Litbang Pertanian beserta jajarannya yang sudah memberikan pendanaan dan bantuan sarana prasarana selama penelitian. Bapak Prof. Fahmuddin Agus yang telah memberikan bantuan, saran dan perbaikan. Ibu Nurhayati SP,MP; Jakoni SP.MP dan Aris yang membantu dalam pelaksanaan eksplorasi, pelaksanaan dan pengamatan emisi CO2.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., Wahyunto, A. Dariah, P. Setyanto, I.G.M. Subiksa, E. Runtunuwu, E. Susanti, and W. Supriatna. 2010. Carbon budget and management strategies for conserving carbon in peat land: Case study in Kubu Raya and Pontianak

(12)

Districts, West Kalimantan, Indonesia. pp. 217-233. In, Chen, Z.S. and F. Agus (eds.), Proceedings of Int’l Workshop on Evaluation and Sustainable Management of Soil Carbon Sequestration on Asian Countries.

Badan Pusat Statistik, 2013. Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2013. www.bps.go.id/ publications/publikasi.php.

Banik, S. Dan B.K. Dey, 1982.Available fosfate content of an alluvial soil as influenced by inoculation of some isolated fosfate solubilizing micro-organisms. Plant soil 69:353-364.

Berg Bjorn dan Charles Mc Claugherty, 2008. Plant litter. Decomposition Humus Formation, Carbon Sequestration. Springer, Verlag Berlin Heisenberg.

Crow Susan E., and R. Kelman Wieder, 2005. Sources of CO2 Emission from A Northern Peatland : Root Respiration, Exudation, and Decomposition. Esa Ecology 86:1825–1834. http://dx.doi.org/10.1890/04-1575.

Darnoko dan Ady S.S., 2006. Pabrik Kompos di Pabrik Kelapa Sawit. Tabloid Sinar Tani, 9 Agustus 2006. http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/129/pdf/Pabrik%20 Kompos%20di%20Pabrik%20Sawit.pdf (4/5/12).

El-Yazeid and H.E.Abou-Aly, 2011. Enhanching Growth, Productivity and Qualit of Tomato Plants Using Phosphat Solubilizing Microorganisms. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 5(7):371-379.

Goenadi, D.H dan R. Saraswati, 1993. Kemampuan melarutkan fosfat dari beberapa isolat fungi pelarut fosfat. Menara Perkebunan 61 (3): 61-66.

Hartono Yuafanda Kholfi, 2013. Indonesia turut menyumbang Emisi Karbon Dunia. Tribune Sabtu 23 Pebruari 2013. www.tribunnews.com › Tribunners.

Kaufman Donald G.; Cecilia M. Franz (1996). Biosphere 2000: protecting our global environment. Kendall/Hunt Pub. Co. ISBN 978-0-7872-0460-0. Retrieved 11 October 2011.

Kusumaningrum N, 2008. Potensi Tanaman Dalam Menyerap CO2 dan CO untuk Mengurangi Dampak Pemanasan Global. Jurnal Pemukiman Vol. 3 No. 2 Juli 2008. Hal 96-105. http://www.pu.go.id/uploads/services/infopublik 20131119123830.pdf.

Lestari, Y. Dan R. Saraswati, 1997. Aktivitas enzim fosfatase jamur pelarut fosfat pada tanah podzolik merah kuning. Dalam prosiding Seminar Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Menyongsong Era Globalisasi, Banjarmasin 13-14 Maret 1997 Nelvia, 2009. Kandungan Fosfor dan Emisi Karbon Tanah Gambut yang Diameliorasi. J.

Tanah Trop., Vol 14 No. 3 hal. 195-2004

Ritung, Wahyunto, Kusumo Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparo dan Chendy Tafakresnanto, 2011. Peta lahan gambut Indonesia Skala 1 : 250.000. Edisi desember 2011. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian. 30 hal.

(13)

Sharma Seema B, Riyaz Z Sayyed, Mrugesh H.T. and Thivakaran A. Gobi, 2013. Phosphate Solubilizing microbes: Sustainable approach for managing phosphorus deficiency in Agricultural Soils. A Springer Open Journal. Springer Plus. 2013,2:587 doi:10.1186/2193-1801-2-587. http://springerplus.com/content/ 2/1/587

Singh, S.K. and Reddy, K.R. 2011. Regulation of photosynthesis, fluorescence, stomatal conductance and water-use efficiency of cowpea (Vigna unguiculata [L.] Walp.) under drought, Journal of Photochemistry and Photobiology B:Biology, 105:40-50.

Shwartz Mark, Climate change surprise: High carbon dioxide levels can retard plant growth, study reveals. Stanford News Service: (650) 7239296,

mshwartz@stanford.edu.

Suntoro, 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Universitas Sebelas Maret.

Suriadikarta, R.D.M dan Simanungkalit, D.A. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengem bangan Pertanian. Bogor.

Wahyunto, Wahyu Supriatna, and Fahmuddin Agus. 2010. Landuse change and Recommendation for Sustainable development of Peat for agriculture: Case study at Kubu raya and pontianak Districts, West Kalimantan. Indonesian Journal of Agricultiural Science. Vol.11, No.1, April 2010. Page. 32-40.

Wahyunto, Ai Dariah, Djoko Pitono dan Muhrizal Sarwani, 2013. Prospek Pemanfaatan lahan gambut untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Perspektif Vol.12 No.1/Juni 2013. Halaman 11-22.

Zaidi A, Khan MS, Ahemad M, Oves M, Wani PA, 2009.Recent Advances in Plant Growth Promotion by Phosphate-Solubilizing Microbes. In: Khan MS (ed) Microbial Strategies for Crop Improvement, Berlin Heidelberg: Springer-Verlag. pp 23-50.

Referensi

Dokumen terkait

Berikut merupakan contoh kemudahan yang disediakan oleh kerajaan untuk penduduk luar bandar, kecuali. A perpustakaan bergerak B klinik kesihatan C kompleks beli-belah D

sedangkan pada fase baseline kedua (A2) lebih rendah yaitu 0 dibandingkan dengan fase perlakuan (B) yaitu 0,25 dengan penurunan sebesar 0,25.Sehingga dapat

Berpedoman pada aturan dalam Bab III maka dapat disimpulkan bahwa subjek field independent cenderung memiliki proses berpikir konseptual , yaitu proses berpikir yang selalu

Jika salah satu loket (loket 1 atau loket 2) menekan tombol, maka arduino dimana loket tersebut menekan tombol (arduino sudah dikenali) akan mengirimkan informasi ke Raspberry

Beberapa parameter yang umum digunakan adalah frekuensi angkatan, jarak vertikal angkatan, titik awal angkatan, posisi angkatan (simetri dan tidak simetri), ukuran barang

Dari hasil analisis statistik ANAVA tunggal tentang aplikasi bakteri endofit dalam meningkatkan kadar klorofil daun tanaman kentang (Solanum tuberosum), diperoleh

Dari data tersebut yang merupakan kebijakan pemerintah Raffles di Indonesia adalah ... Pernyataan berikut yang merupakan ciri dari negara maju adalah ... Sumber daya manusia rendah

Sebelum pengesahan, terlebih dahulu dilakukan perubahan atas Piagam Jakarta atau Rancangan Mukadimah Hukum Dasar (RMHD) dan Rancangan Hukum Dasar (RHD). Pengesahan