Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Indah Permatasari
NIM : 11100170000024
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Indah Permatasari
NIM : 1110017000024
Jurusan : Pendidikan Matematika
AngkatanTahun : 2010
Alamat : Jln. Merpati I Blok H51/04 RT 02/RW 17
Tambun Selatan-Bekasi
MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA
Bahwa skripsi yang berjudul Pengaruh Metode IMPROVE Terhadap
Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen:
1. Nama : Maifalinda Fatra, M.Pd
NIP : 19700528 199603 2 002
Dosen Jurusan : Pendidikan Matematika
2. Nama : Gusni Satriawati, M.Pd
NIP : 19780809 200801 2 032
Dosen Jurusan : Pendidikan Matematika
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap
menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya
i
ABSTRAK
Indah Permatasari (1110017000024). “Pengaruh Metode IMPROVE terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis”. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Oktober 2014.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan metode IMPROVE dengan siswa yang diajarkan metode konvensional. Penelitian dilakukan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri 2 Ciganjur Jakarta Selatan, Tahun Ajaran 2014/2015. Metode penelitian yang digunakan adalah metode quasi eksperimen dengan
design Randomized Posttest-Only Control Group Design, yang melibatkan 74
siswa sebagai sampel. Pengumpulan data setelah perlakuan dilakukan dengan menggunakan tes kemampuan berpikir kritis matematis siswa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajar dengan metode IMPROVE lebih tinggi dibandingkan rata-rata kemampuan berpikir kritis yang diajar dengan metode konvensional
(thitung = 4,732 > ttabel = 1,666). Kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelas
eksperimen pada indikator mengenal masalah mendapatkan nilai sebesar 84,5, sedangkan pada kelas kontrol mendapatkan nilai sebesar 82,75. Pada indikator menemukan cara yang dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah kelas eksperimen mendapatkan nilai sebesar 75,55 sedangkan pada kelas kontrol mendapatkan nilai sebesar 60. Pada indikator menemukan hubungan yang logis antara masalah-masalah kelas eksperimen mendapatkan nilai sebesar 60,4 sedangkan pada kelas kontrol mendapatkan nilai sebesar 39,2. Pada indikator menganalisis data kelas eksperimen mendapatkan nilai sebesar 71,25 sedangkan
pada kelas kontrol mendapatkan nilai sebesar 52,37. Dengan demikian
penggunaan metode IMPROVE memberikan perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa dibandingkan metode konvensional.
ii
ABSTRACT
Indah Permatasari (1110017000024). “The Effect of IMPROVE Method to in Student‟s Matematical Critical Thinking Ability”. Thesis Department of Mathematics Education, Faculty of Tarbiyah and Teachers Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, Oktober 2014.
The purpose of this study was to determine differences in mathematical ability of students to think critically taught the IMPROVE method with students taught with conventional methods. The study was conducted at the junior secondary school (MTs) Ciganjur South Jakarta State 2, Academic Year 2014/2015. The research method used was a quasi-experimental method to design Randomized Posttest-Only Control Group Design, which involves 74 students as the sample. Data collection after the treatment had done by using a mathematical test student‟s critical thinking skills.
The results showed that the average critical thinking skills of students who are taught mathematical IMPROVE method is higher than the average of critical thinking skills that were taught by the conventional method (thitung = 4.732>t table
= 1.666). Critical thinking skills in the experimental class students' mathematical problem getting a knowing indicator value of 84.5, while the control class to get a value of 82.75. On indicators that can be used to find ways to solve the problem of the experimental class to get a value of 75.55 while the control class scores of 60 At indicators find a logical relationship between the problems of the experimental class to get a value of 60.4 while the control class to get value of 39.2. In analyzing the data indicators experimental class to get a value of 71.25 while the control class to get a value of 52.37. Thus the use of IMPROVE method gives a significant difference to the students' ability to think critically mathematical than conventional methods.
iii
KATA PENGANTAR
ﻳﺤﺭﻟﺍﻦ ﺤﺭﻟﺍﷲﺍ ﺳﺑ
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang
telah memberikan inspirasi tidak terhingga disetiap kata-kata yang penulis tulis di
skripsi ini, serta juga kemudahan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang mengganti zaman kebodohan sampai zaman
skripsi seperti saat ini.
Selama penulisan skripsi ini, penulis mengerti betul banyak sekali kekurangan
dalam penulisan, proses penulisan, serta penelitian. Namun, berkat kerja keras, doa,
perjuangan, kesungguhan hati dan dorongan serta nasehat positif dari berbagai pihak
untuk penyelesaian skripsi ini, sehingga penulis dapat mengatasi kesulitan dan
hambatan uang dialami. Oleh sebab itu penulis ingin mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Ibu Nurlena Rifa‟i, M.A, Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Dr. Kadir M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bapak Abdul Muin, S.Si. M,Pd., Sekertaris Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Ibu Maifalinda Fatra, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Gusni
Satriawati, M.Pd selaku Dosen Pembimbing II yang telah menyempatkan
waktunya untuk melayani pertanyaan-pertanyaan penuh kebingungan dengan
kesabaran dan senyuman, serta selalu memberikan titik terang ditengah kegaluan menyelesaikan skripsi ini. Semoga ibu tidak terganggu dengan SMS “Indah boleh bimbingan ya bu hari ini?”
5. Bapak Drs. H. M. Ali Hamzah selaku dosen pembimbing akademik yang telah
iv
6. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Matemaika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan ilmu serta bimbingan selama mengikuti perkuliahan.
7. Kepala MTs Negeri 2 Ciganjur Jakarta Selatan, Bapak H. Fahrurozi, M.Pd yang
telah memberikan izin untuk melakukan penelitian
8. Seluruh dewan guru MTs Negeri 2 Ciganjur, Khususnya ibu Elvi Indrawati, S.Pd
dan Bapak H. Mas‟ud, S.Pd yang telah membantu penulis dalam melaksanakan
penelitian ini, serta siswa-siswa MTs Negeri 2 Ciganjur, khususnya kelas VII-2
dan VII-3.
9. Teristimewa untuk kedua orangtuaku tercinta, Ayahanda Mulyadi dan Ibunda
Hartati yang tak henti-hentinya mendoakan dan memberikan motivasi dengan
senantiasa menanyakan “Kapan Wisuda?” serta seluruh keluarga yang
mendoakan dan mendorong penulis untuk tetap semangat dalam menyelesaikan
skripsi ini.
10. Sahabatku tersayang Khairiah Nuroctaviani, Afrina Amelia Dewi, Dewi Nirmala,
Emi Suhaemi dan Nuristia Fathu serta Hafizh Nizham yang tak henti-hentinya
memberikan semangat dan membantu menghilangkan stress serta tempat berbagi
untuk segala cerita selama perkuliahan dan penulisan skripsi ini.
11. M. Ferdila Nugraha yang selalu meluangkan waktu untuk menemani dan
memberikan doa dan motivasi serta tempat berbagi segala cerita selama proses
penulisan skripsi ini.
12. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Matematika Angkatan 2010.
Terimakasih untuk segala kehangatan yang diberikan selama empat tahun
bersama.
Ucapan terima kasih juga ditunjukan kepada semua pihak yang namanya tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis hanya dapat memohon dan berdoa
mudah-mudahan bantuan, bimbingan, dukungan, semangat, masukan dan doa yang
v
Demikianlah, betapapun penulis telah berusaha dengan segenap kemampuan
yang ada untuk menyusun karya tulis yang sebaik-baiknya, namun di atas
lembaran-lembaran skripsi ini masih saja dirasakan dan ditemui berbagai macam kekurangan
dan kelemahan. Karena itu, kritik dan saran dari siapa saja yang membaca skripsi ini
akan penulis terima dengan hati terbuka.
Penulis berharap semoga skripsi ini akan membawa manfaat yang
sebesar-besarnya bagi penulis khususnya dan bagi pembaca sekalian umumnya.
Jakarta, Oktober 2014
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR BAGAN ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Identifikasi Masalah... 7
C.Pembatasan Masalah ... 7
D.Perumusan Masalah ... 8
E.Tujuan Penelitian ... 8
F. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS ... 10
A.Deskripsi Teoritik ... 10
1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 10
a. Kemampuan Berpikir ... 10
b. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 11
c. Indikator Berpikir Kritis Matematis ... 13
2. Metode IMPROVE ... 14
a. Metode IMPROVE ... 14
b. Teori Belajar yang Mendasari Metode IMPROVE ... 18
c. Tahapan Metode IMPROVE ... 24
3. Metode Konvensional ... 27
B.Hasil Penelitian yang Relevan ... 28
vii
D.Hipotesis Penelitian ... 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 32
A.Tempat dan Waktu Penelitian ... 32
B.Metode dan Desain Penelitian ... 32
C.Populasi dan Sampel Penelitian ... 33
1. Populasi ... 33
2. Sample ... 34
D.Teknik Pengumpulan Data ... 34
E.Instrumen Penelitian ... 35
F. Analisis Instrumen ... 36
1. Uji Validitas... 36
2. Uji Reliabilitas ... 37
3. Taraf Kesukaran ... 38
4. Daya Pembeda ... 39
G.Teknik Analisis Data ... 41
1. Uji Normalitas ... 41
2. Uji Homogenitas ... 43
3. Pengujian Hipotesis ... 44
H.Hipotesis Statistik ... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 48
A.Deskripsi Data ... 48
1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 48
2. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 53
3. Perbandingan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 57
B.Analisis Data ... 60
1. Uji Prasyarat ... 60
a. Uji Normalitas ... 60
viii
2. Pengujian Hipotesis ... 62
C.Pembahasan Hasil Penelitian ... 63
D.Keterbatasan Penelitian ... 80
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 81
A.Kesimpulan ... 81
B.Saran ... 82
DAFTAR PUSTAKA ... 83
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tahap Metode IMPROVE ... 26
Tabel 3.1 Desain Penelitian ... 33
Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Berpikir Kritis Matematis... 35
Tabel 3.3 Rekapitulasi Hasil Uji Analisis Butir Soal ... 41
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 49
Tabel 4.2 Deskripsi Statistik Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 50
Tabel 4.3 Deskripsi Data Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen Berdasarkan Indikator Glaser ... 51
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 53
Table 4.5 Deskripsi Statistik Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 54
Tabel 4.6 Deskripsi Data Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Kontrol Berdasarkan Indikator Glaser ... 55
Tabel 4.7 Perbandingan Hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 57
Tabel 4.8 Perbandingan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasar- kan Indikator Glaser Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 58
Tabel 4.9 Hasil Uji Normalitas Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 61
Tabel 4.10 Hasil Uji Homogenitas Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 62
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Histogram dan Poligon Distribusi Frekuensi Kemampuan
Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 49
Gambar 4.2 Diagram Batang Nilai Indikator Kemampuan Berpikri Kritis
Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 52
Gambar 4.3 Histogram dan Poligon Distribusi Frekuensi Kemampuan
Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 53
Gambar 4.4 Diagram Batang Nilai Indikator Kemampuan Berpikri Kritis
Matematis Siswa Kelas Kontrol... 56
Gambar 4.5 Perbandingan Nilai Indikator Kemampuan Berpikri Kritis
Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 60
Gambar 4.6 Hasil Jawaban Salah Satu Kelompok Pada Soal No.2 LLS-1 .. 64
Gambar 4.7 Hasil Jawaban Salah Satu Kelompok Pada Soal No.3 LLS-3 .. 66
Gambar 4.8 Hasil Jawaban Salah Satu Kelompok Pada Soal No.2 LLS-1 .. 67
Gambar 4.9 Hasil Jawaban Siswa Indikator Mengenal Masalah Kelas
Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 71
Gambar 4.10 Hasil Jawaban Siswa Indikator Menemukan Cara yang Dapat
Dipakai Untuk Menyelesaikan Masalah Kelas Eksperimen dan
Kelas Kontrol ... 72
Gambar 4.11 Hasil Jawaban Siswa Indikator Menemukan Hubungan yang
Logis Antara Masalah-Masalah Kelas Eksperimen dan Kelas
Kontrol ... 74
Gambar 4.12 Hasil Jawaban Siswa Indikator Menemukan Hubungan yang
Logis Antara Masalah-Masalah Kelas Eksperimen dan Kelas
Kontrol ... 75
Gambar 4.13 Hasil Jawaban Siswa Indikator Menganalisis Data Kelas
xi
DAFTAR BAGAN
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Observasi Aktivitas Mengajar Pra Penelitian ... 86
Lampiran 2 Lembar Observasi Aktivitas Belajar Siswa Pra Penelitian... 88
Lampiran 3 Form Wawancara Pra Penelitian ... 90
Lampiran 4 Soal Tes Penempatan Kelompok Pada Pertemuan Pertama Kelas Eksperimen ... 92
Lampiran 5 Pedoman Penilaian Tes Penempatan Kelompok Pada Pertemuan Pertama Kelas Eksperimen ... 93
Lampiran 6 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen ... 95
Lampiran 7 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Kontrol ... 125
Lampiran 8 Lembar Latihan Soal (LLS) Kelas Eksperimen ... 140
Lampiran 9 Lembar Latihan Soal (LLS) Kelas Kontrol ... 161
Lampiran 10 Kuis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 177
Lampiran 11 Soal Remedial Kelas Eksperimen ... 185
Lampiran 12 Soal Pengayaan Kelas Eksperimen ... 193
Lampiran 13 Tabel Rekapitulasi Hasil Penilaian CVR ... 201
Lampiran 14 Tabel Perhitungan Validitas CVR... 202
Lampiran 15 Form Penilaian CVR ... 203
Lampiran 16 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis... 207
Lampiran 17 Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 209
Lampiran 18 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis... 211
Lampiran 19 Pedoman Penilaian Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis... 216
Lampiran 20 Langkah-langkah Perhitungan Uji Validitas ... 217
Lampiran 21 Hasil Uji Validitas ... 219
Lampiran 22 Langkah-langkah Perhitungan Uji Reliabilitas ... 220
xiii
Lampiran 24 Langkah-langkah Perhitungan Uji Taraf Kesukaran ... 222
Lampiran 25 Hasil Uji Taraf Kesukaran ... 223
Lampiran 26 Langkah-langkah Perhitungan Uji Daya Pembeda ... 224
Lampiran 27 Hasil Uji Daya Pembeda ... 225
Lampiran 28 Rekapitulasi Perkembangan Sikap Kelas Eksperimen ... 226
Lampiran 29 Rekapitulasi Perkembangan Sikap Kelas Kontrol ... 227
Lampiran 30 Hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 228
Lampiran 31 Hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 229
Lampiran 32 Perhitungan Distribusi Frekuensi, Mean, Median, Modus, Varians, Simpangan Baku, Kemiringan dan Ketajaman Kelas Eksperimen ... 230
Lampiran 33 Perhitungan Rata-Rata dan Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Berdasarkan Indikator Glaser pada Kelas Eksperimen ... 235
Lampiran 34 Perhitungan Distribusi Frekuensi, Mean, Median, Modus, Varians, Simpangan Baku, Kemiringan dan Ketajaman Kelas Kontrol ... 236
Lampiran 35 Perhitungan Rata-Rata dan Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Berdasarkan Indikator Glaser pada Kelas Kontrol ... 241
Lampiran 36 Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Eksperimen... 242
Lampiran 37 Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Kontrol ... 244
Lampiran 38 Perhitungan Uji Homogenitas ... 246
Lampiran 39 Perhitungan Uji Hipotesis Statistik ... 247
Lampiran 40 Tabel Nilai Koefisien Korelasi “r” Product Moment dari Pearson ... 249
Lampiran 41 Tabel Nilai Kritis Distribusi Chi Square ... 250
Lampiran 42 Tabel Nilai Kritis Distribusi F ... 251
xiv
Lampiran 44 Tabel Minimum CVR... 253
Lampiran 45 Uji Referensi ... 254
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era informasi global saat ini, situasi dunia menjadi amat
transparan, jendela internasional terdapat hampir di setiap rumah. Apa yang
terjadi di salah satu sudut bumi dalam waktu singkat dapat ditangkap dari
berbagai belahan bumi lainnya. Seluruh pihak dapat dengan mudah
mendapatkan informasi secara cepat dan melimpah dari berbagai sumber dan
dari berbagai penjuru dunia. Oleh karena itu, manusia dituntut memiliki
kemampuan dalam memperoleh, memilih, mengelola dan menindaklanjuti
informasi tersebut untuk dapat dimanfaatkan dalam kehidupan yang dinamis,
sarat tantangan dan penuh kompetensi.
Berpikir kritis merupakan salah satu yang dibutuhkan dalam
memperoleh dan mengelola informasi. Menurut Dewey, sebagaimana dikutip
oleh Fisher, berpikir kritis sebagai pertimbangan yang aktif, persistent (terus
menerus) dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan
yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang
mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi
kecendrungannya.1 Maksudnya, berpikir kritis sebagai berpikir aktif, yakni berpikir secara terus menerus dan teliti dalam mencermati berbagai informasi
atau pengetahuan berdasarkan bukti pendukungnya sebelum
menyimpulkannya. Hal ini senada dengan pendapat Glaser yang menyatakan
bahwa berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap
keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan
kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.2
Berdasarkan pendapat mengenai berpikir kritis yang telah
dikemukakan sebelumnya, dapat dipahami bahwa kemampuan berpikir kritis
menuntut adanya usaha untuk menguji keyakinan atau pengetahuan
1
Alec Fisher, Berpikir Kritis Sebuah Pengantar, (Jakarta : Erlangga, 2008), h. 2.
2
2
berdasarkan bukti pendukungnya. Selain itu, berpikir kritis juga menuntut
adanya kemampuan untuk mengenali, mengidentifikasi, dan memahami
persoalan serta menemukan solusi atasnya. Anak didik yang memiliki
kemampuan berpikit kritis akan mampu menyaring informasi, memilih layak
atau tidaknya informasi sesuai kebutuhan, memeriksa kebenaran dari
informasi dan menindaklanjuti informasi tersebut untuk dimanfaatkan dalam
kehidupan mereka.
Kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan dalam berbagai mata
pelajaran, salah satunya pada mata pelajaran matematika. Matematika
merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan penting dalam
bidang pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari pelajaran matematika diberikan
pada semua jenjang pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan
Tinggi. Belajar matematika berkaitan erat dengan aktivitas, proses belajar dan
berpikir. Hal ini tentu bukan suatu hal yang sederhana. Aktivitas dan proses
berpikir akan terjadi apabila seseorang individu berhadapan dengan situasi
atau masalah yang mendesak dan menantang serta dapat memicunya untuk
berpikir agar diperoleh kejelasan dan solusi atau jawaban terhadap masalah
tersebut.
Berpikir kritis dalam matematika didefinisikan oleh Glaser,
sebagaimana dikutip oleh Suwarman, sebagai kemampuan dan disposisi
untuk menyertakan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematika, dan
strategi kognitif untuk menggeneralisasi, membuktikan, atau mengevaluasi
situasi-situasi matematika yang tidak familiar secara reflektif.3 Maksudnya peserta didik dituntut untuk bukan hanya memindahkan rumus dari dalam
penyelesaian, tetapi mengerti apa yang ditanyakan, konsep dan strategi apa
yang digunakan dalam menentukan solusi dari permasalahan matematika
dengan menggunakan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematika dan
strategi kognitif secara reflektif. Kemampuan ini yang dibutuhkan untuk
3
mengembangkan intelektual peserta didik, sehingga dapat mengatasi berbagai
permasalahan yang dihadapi.
Pentingnya kemampuan berpikir kritis ini juga ditunjukkan oleh PISA
Program for International Student Assesment). PISA merupakan suatu
lembaga yang mengadakan survey 3 tahunan untuk siswa yang berusia
rata-rata 15 tahun. Salah satu tujuan dari PISA adalah untuk menilai pengetahuan
matematika siswa dalam menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan
sehari-hari. Penilaian tidak hanya dilakukan untuk memastikan apakah siswa
mampu mengembangkan pengetahuannya tetapi juga untuk meneliti sejauh
mana siswa mampu memperkirakan dari apa yang telah mereka pelajari dan
menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan.4 Adapun kemampuan
matematis yang digunakan sebagai penilaian proses matematika dalam PISA
adalah komunikasi, matematisasi, representasi, penalaran dan argumen,
merumuskan strategi untuk memecahkan masalah, menggunakan bahasa
simbolik, formal dan teknik serta operasi, dan menggunakan alat-alat
matematik.
Hasil survey PISA pada tahun 2012, Indonesia menempati ranking 64
dari 65 negara dengan skor rata-rata 375 untuk matematika. Berdasarkan skor
tersebut, Indonesia termasuk ke dalam level 2 dari 6 level dalam PISA.
Artinya siswa Indonesia hanya sampai pada menginterpretasikan dan
mengenali situasi dalam konteks yang memerlukan penarikan kesimpulan
secara langsung, memilah informasi yang relevan dari sumber tunggal dan
menggunakan penarikan kesimpulan yang tunggal, menerapkan algoritma
dasar, memformulasikan, menggunakan, melaksanakan prosedur atau
ketentuan yang dasar, memberikan alasan secara langsung dan melakukan
penafsiran secara harfiah. Mengingat bahwa kemampuan berpikir kritis
merupakan suatu kemampuan untuk menentukan solusi dari permasalahan
yang dihadapi dengan menggunakan pengetahuan sebelumnya, penalaran
4
OECD, PISA 2012 Result: Creative Problem Solving Student‟ Skills Tackling Real-Life
4
matematika dan strategi kognitif. Dengan demikian, dapat diasumsikan
kemampuan berpikir kritis matematis siswa masih rendah.
Berdasarkan hasil observasi aktivitas mengajar (lampiran 1) dan
observasi aktivitas belajar siswa (lampiran 2) yang dilakukan pada salah satu
Madrasah Tsanawiyah di daerah Jakarta Selatan, terlihat bahwa banyak siswa
yang belum dapat menganalisis, mengidentifikasi, menghubungkan suatu
masalah lebih dalam dan menentukan solusi dari suatu masalah. Hal tersebut
diduga karena siswa masih terbiasa menghafal rumus yang diberikan guru
bukan memahaminya. Selain itu, guru hanya fokus pada pemberian materi,
mencontohkan soal dan pemberian soal latihan saja. Siswa kurang berperan
aktif dalam pembelajaran.
Pembelajaran satu arah seperti ini menempatkan guru sebagai
pemeran utama dalam proses pembelajaran sedangkan siswa hanya sebagai
penonton. Siswa tidak berperan aktif dalam pembelajaraan. Siswa hanya
mendengarkan dan memperhatikan penjelasan guru saja sehingga siswa
menjadi terbiasa menerima konsep secara langsung dan menghafalnya bukan
memahaminya. Menurut Mukhayat, sebagaimana dikutip oleh Soinakim,
bahwa belajar dengan menghafal tidak terlalu banyak menuntut aktivitas
berpikir anak dan mengandung akibat buruk pada perkembangan mental
anak.5 Anak akan cendrung suka mencari gampangnya saja dalam belajar dan
anak akan kehilangan sense of learning. Hal tersebut akan membuat anak
bersikap pasif atau menerima begitu saja apa adanya sehingga mengakibatkan
anak tidak terbiasa berpikir kritis.
Proses pembelajaran satu arah tentu kurang dapat mengembangkan
kemampuan berpikir kritis secara optimal. Selain itu, pembelajaran seperti
ini, kurang memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan
kemampuan berpikir kritis. Siswa kurang dilatih untuk mengenal masalah,
menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah,
menemukan hubungan yang logis antara masalah-masalah dan menganalisis
5
data. Akibatnya ketika siswa diberikan soal berbeda dengan contoh yang
diberikan, mereka tidak mampu mengerjakan soal tersebut. Terbukti dari hasil
wawancara yang telah dilakukan terhadap guru bidang studi matematika, Elvi
Indrawati, S.Pd, di MTs Negeri 2 Ciganjur (lampiran 3), diketahui bahwa
kemampuan berpikir kritis matematis di sekolah tersebut masih rendah, hal
ini berdasarkan pemaparan narasumber yang menyebutkan bahwa
kemampuan mengenal masalah, kemampuan menemukan cara untuk
menyelesaikan masalah, kemampuan menganalisis data dan kemampuan
mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah belum
sepenuhnya dimiliki siswa. Terlihat dari ketika siswa diberi soal berbeda dari
contoh, sangat sedikit siswa yang bisa menyelesaikan soal tersebut dengan
benar.
Lemahnya kemampuan berpikir kritis ini memerlukan upaya dalam
memperbaiki keadaan tersebut. Sebagai upaya memfasilitasi siswa agar
kemampuan berpikir kritis berkembang yaitu dengan suatu pembelajaran
dimana pembelajaran tersebut harus berangkat dari pembelajaran yang
membuat siswa aktif sehingga siswa leluasa untuk berpikir dan
mempertanyaakan kembali apa yang mereka terima dari guru. Hal ini
dikemukakan oleh Ibrahim, sebagaimana dikutip oleh Istianah bahwa untuk
membawa ke arah pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan
berpikir kritis harus berangkat dari pembelajaran yang membuat siswa aktif. 6 Beragam metode pembelajaran yang membuat siswa berperan aktif dalam
pembelajaran dan telah mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis
matematis misalnya saja penelitian yang telah dilakukan oleh Dewi Ragiel
Susanti, dkk dengan judul “Pengaruh Penggunaan Metode Problem solving
Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematika siswa kelas X SMK
Gotong Royong”. Hasil Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
kemampuan berpikir kritis matematika siswa yang diajarkan menggunakan
metode Problem Solving lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan
6
Euis Istianah, “Meningkatkan Kemapuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematika dengan
6
pembelajran konvensional pada materi program linear.7 Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lia Kurniawati dan Belani Margi Utami yang berjudul “Pengaruh Metode Penemuan dengan Strategi Heuristik Terhadap kemampuan Berpikir Kritis Matematis”. Hasil Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis
matematis siswa yang diajarkan dengan metode penemuan dengan strategi
heuristik lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan dengan metode
konvensional.8
Berdasarkan pendapat Paul, sebagaimana dikutip oleh Fisher, yang
menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis seseorang ialah melalui „berpikir tentang pemikiran sendiri‟ (atau sering disebut „metakognisi‟).9 Selain itu, interaksi yang dilakukan sesama siswa maupun antar siswa dengan guru dapat berpengaruh terhadap
perkembangan kemampuan berpikirnya. Melalui interaksi, siswa dapat
berbagi pendapat dan memperkaya pengetahuan mereka.
Salah satu metode pembelajaran yang memfasilitasi siswa
mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis melalui aktivitas
metakognitif dan interaksi sesama teman sebaya adalah metode IMPROVE.
Metode IMPROVE merupakan metode yang didesain pertama kali oleh
Mevarech dan Kramarsky. Metode IMPROVE merupakan sebuah akronim
dari Introducing New Concepts, Metacognitive questioning, Practicing,
Reviewing and reducing difficulties, Obtaining mastery, Verification, dan
Enrichment. Dalam metode ini terdapat 3 komponen yang saling
bergantungan yaitu: memfasilitasi perolehan strategi dan proses metakognitif,
interaksi dengan teman sebaya dan kegiatan sistematik dari umpan
balik-perbaikan-pengayaan. Melalui metode ini siswa dikenalkan pada konsep baru,
7
Dewi Ragiel Susanti, dkk, “Pengaruh Penggunaan Metode Problem Solving terhadap
Kemampuan Berpikir Kritis Matematika Siswa Kelas X SMK Gotong Royong” Tersedia:
http://kim.ung.ac.id/index.php/KIMFMIPA/article/viewFile/3393/3369, 15 November 2014
8
Lia Kurniawati dan Belani Margi Utami, “Pengaruh Metode Penemuan dengan Strategi Heuristik Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa”, Tersedia:
http://fmipa.um.ac.id/index.php/component/attachments/download/139.html, 15 November 2014
9
yaitu diawali dengan diberikan pertanyaan-pertanyaan metakognitif dan
kemudian dilatih memecahkan masalah terkait materi. Siswa juga dapat
mengevaluasi materi yang telah mereka pelajari sehingga dapat memperkaya
pengetahuan siswa.
Berdasarkan uraian di atas perlu kiranya diteliti lebih lanjut mengenai
kemampuan berpikir kritis matematis siswa dengan metode IMPROVE.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “PENGARUH METODE IMPROVE TERHADAP
KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya,
dapat diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran matematika di sekolah bersifat satu arah lebih terpusat
pada guru sehingga siswa menjadi pasif.
2. Pembelajaran matematika yang biasa diterapkan di kelas kurang
memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan kemampuan
berpikir kritis matematis
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka dalam penelitian ini perlu diadakan pembatasan masalah
agar pengkajian masalah dalam penelitian ini lebih terarah dan terfokus.
Adapun pembatasan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah
1. Metode IMPROVE yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
beberapa langkah, yaitu: Introducing New Concepts (Memperkenalkan
konsep-konsep baru), Metacognitive questioning (Pertanyaan
metakognitif), Practicing (Berlatih), Reviewing and Reducing difficulties
(Meninjau ulang dan mengurangi kesulitan), Obtaining mastery
(Mendapatkan penguasaan), Verification (Verifikasi) dan Enrichment
8
2. Indikator yang digunakan dalam mengukur kemampuan berpikir kritis
dalam penelitian ini dibatasi hanya pada aspek: mengenal masalah,
menemukan cara untuk menyelesaikan masalah, mengenal adanya
hubungan yang logis antara masalah-masalah, dan menganalisis data.
3. Metode konvensional yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode
ekspositori
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah
dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan
dengan metode IMPROVE?
2. Bagaimana kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan
dengan metode konvensional?
3. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis siswa
yang diajarkan dengan metode IMPROVE dengan siswa yang diajarkan
dengan metode konvensional?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan
dengan metode IMPROVE
2. Mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan
dengan metode konvensional.
3. Mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang
diajarkan metode IMPROVE dengan siswa yang diajarkan metode
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis:
a. Salah satu alternatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa;
2. Manfaat praktis:
a. Bagi siswa
Melatih siswa meningkatkan kemampuan berpikir kritis
matematisnya
Merasakan pembelajaran yang berbeda dari pembelajaran biasanya
b. Bagi guru
Sebagai bahan pertimbangan dan sumber data bagi guru dalam
merumuskan metode pembelajaran terbaik untuk siswanya
Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat
dimanfaatkan bagi pelaksanaan pengajaran matematika disekolah
c. Bagi peneliti
Sebagai referensi begi peneliti-peneliti lain yang ingin meneliti
10
BAB II
KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teoritik
1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
a. Kemampuan Berpikir
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemampuan berasal dari
kata “mampu” yang berarti sanggup.1 Kemampuan adalah suatu
kesanggupan dalam melakukan sesuatu.2 Seseorang dapat dikatakan
memiliki kemampuan apabila ia sanggup untuk melakukan sesuatu.
Arti kata dasar “pikir” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
akal budi, ingatan, angan-angan.3 Sedangkan, “berpikir” adalah
menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan sesuatu,
menimbang-nimbang dalam ingatan.4
Ruggiero mengartikan berpikir, sebagaimana dikutip oleh Yuli,
sebagai suatu aktivitas mental untuk membantu memformulasikan atau
memecahkan suatu masalah, membuat suatu keputusan, atau memenuhi
hasrat keingintahuan (fulfill a desire to understand).5 Ketika seseorang merumuskan atau memecahkan suatu masalah, membuat suatu keputusan
ataupun memahami sesuatu, hal ini menunjukkan bahwa ia melakukan
aktivitas berpikir.
Menurut Suryabrata, sebagaimana dikutip oleh Yuli, menyatakan
bahwa berpikir merupakan proses yang dinamis yang dapat dilukiskan
menurut proses atau jalannya.6 Proses berpikir pada pokoknya terdiri dari 3 langkah, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia [online] tersedia kbbi.web.id, 2 Agustus 2014
2 Ibid. 3
Ibid. 4
Ibid. 5
Tatag Yuli, Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif, (Surabaya : Unesa University Press, 2008), h. 13.
6
penarikan kesimpulan.7 Hal ini menunjukan bahwa apabila seseorang dihadapkan pada masalah maka dalam proses berpikir orang tersebut akan
menyusun hubungan antara bagian-bagian informasi yang direkam sebagai
pengertian. Kemudian orang tersebut membentuk pendapat-pendapat yang
sesuai dengan pengetahuannya. Setelah itu, akan membuat kesimpulan
yang digunakan untuk mencari solusi dari masalah tersebut.
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa kemampuan berpikir adalah kesanggupan seseorang
dalam menggunakan akal budi untuk memformulasikan atau memecahkan
suatu masalah, membuat suatu keputusan, atau memenuhi hasrat
keingintahuan yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya.
b. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Dewey mendefinisikan berpikir kritis, sebagaimana dikutip oleh
Fisher, sebagai pertimbangan yang aktif, persistent (terus menerus) dan
teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima
begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan
kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi kecendrungannya.8
Berdasarkan dari definisi tersebut, Dewey ingin membedakan antara
„berpikir kritis‟ dengan „berpikir pasif‟. Bagi Dewey, berpikir kritis adalah
berpikir „aktif‟.
Dewey menunjukan dua ciri utama dari berpikir aktif, yakni berpikir
secara terus menerus dan teliti.9 Berdasarkan kedua hal tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berpikir kritis akan terus aktif
mengoptimalkan daya nalarnya dalam mencermati berbagai informasi atau
pengetahuan yang menjadi objek penalaranya sebelum menyimpulkannya
dan tidak mau menerima sesuatu begitu saja. Berbeda dengan seseorang
7
Ibid. 8
Fisher, op. cit., h. 2.
9
12
yang berpikir pasif, ia akan menerima begitu saja sebuah gagasan atau
informasi dari orang lain tanpa mempertimbangkanya.
Pendapat Dewey di atas mendapat penjelasan lebih lanjut oleh
Glaser mengenai berpikir kritis. Glaser mendefinisikan berpikir kritis,
sebagaimana dikutip oleh Fisher, sebagai :
(1) suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang; (2) pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis; dan (3) semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.10
Berangkat dari apa yang telah dikatakan Glaser, dapat dipahami
bahwa:
Kemampuan berpikir kritis menuntut adanya usaha untuk menguji
keyakinan atau pengetahuan berdasarkan bukti pendukungnya. Hal
ini penting untuk menguji kesahihan dari kesimpulan atau
pengetahuan tersebut.
Berpikir kritis juga menuntut adanya kemampuan untuk mengenali
mengidentifikasi, dan memahami persoalan serta menemukan solusi
atasnya. Kemampuan ini diperlukan agar seseorang dapat
mengumpulkan informasi atau data-data yang dibutuhkan untuk
memecahkan persoalan tersebut.
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh Dewey dan
Glaser, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah kemampuan untuk
menguji keyakinan sebuah informasi atau pengetahuan berdasarkan bukti
pendukung dan kesimpulan–kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.
Berpikir kritis juga berkaitan dengan sikap atau disposisi untuk
menanggapi berbagai persoalan, menimbang berbagai persoalan tersebut
dalam jangkauan pengalaman dan kemampuan memikirkanya secara
mendalam.
10
Pada umumnya proses berpikir kritis terjadi dalam beragam situasi,
misalnya sosial, politik, keluarga, sekolah dan sebagainnya. Berpikir kritis
juga terjadi dalam situasi belajar khususnya dalam belajar matematika.
Glaser merumuskan berpikir kritis dalam matematika, sebagaimana
dikutip oleh Suwarman, sebagai kemampuan dan disposisi untuk
menyertakan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematika, dan strategi
kognitif untuk mengeneralisasi, membuktikan, atau mengevaluasi
situasi-situasi matematika yang tidak familiar secara reflektif.11 Menurut Glaser, berpikir kritis dapat dirujuk dari kombinasi pemecahan masalah,
penalaran, dan pembuktian matematika.12 Berpikir kritis matematika sebagai pemecahan masalah dengan solusi baik satu atau lebih. Penalaran
merupakan bagian dari berpikir kritis matematika yang melibatkan
pembentukan generalisasi, dan penarikan kesimpulan terhadap ide-ide dan
bagaimana ide-ide tersebut dihubungkan. Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa berpikir kritis matematis adalah kemampuan untuk memahami
konsep matematika atau menentukan solusi dari permasalahan matematika
dengan menggunakan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematika dan
strategi kognitif secara reflektif.
c. Indikator Berpikir Kritis Matematis
Menurut Glaser, sebagaimana dikutip oleh Fisher bahwa terdapat
beberapa kemampuan dalam berpikir kritis, sebagai berikut :
(a) mengenal masalah, (b) menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah itu, (c) mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan, (d) mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan, (e) memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas, (f) menganalisis data, (g) menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan, (h) mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah, (i) menarik kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang diperlukan, (j) menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil, (k) menyusun kembali pola-pola
11
Suwarman. loc.cit. 12
14
keyakinan seseorang berdasarkan penglaman yang lebih luas; dan (l) membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari.13
Adapun indikator yang digunakan dalam mengukur kemampuan
berpikir kritis matematis dalam penelitian ini, meliputi:
1) Kemampuan mengenal masalah
Kemampuan mengenal masalah yang dimaksud adalah siswa
mampu menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan berdasarkan
informasi yang terdapat dalam masalah.
2) Kemampuan menemukan cara untuk menyelesaikan masalah
Kemampuan menemukan cara untuk menyelesaikan masalah yang
dimaksud adalah siswa mampu menuliskan langkah-langkah
penyelesaian masalah dengan benar dan sistematis.
3) Kemampuan mengenal adanya hubungan yang logis antara
masalah-masalah
Kemampuan mengenal adanya hubungan yang logis antara
masalah-masalah yang dimaksud adalah siswa mampu memberikan
penjelasan dengan benar mengenai hubungan antara informasi yang
terdapat dalam masalah dengan konsep yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah, dan menuliskan konsep yang digunakan dalam
setiap langkah penyelesaian dengan benar dan tepat
4) Kemampuan menganalisis data
Kemampuan menganalisis data yang dimaksud adalah siswa
mampu menilai pernyataan dengan benar disertai alasan dengan tepat.
2. Metode IMPROVE
a. Metode IMPROVE
Metode IMPROVE merupakan metode yang didesain pertama kali
oleh Mevarech dan Kramarsky. Mereka mengatakan bahwa:
13
The methode involves three interdependent components: (a) facilitating both strategy acquisition and metacognitive processes; (b) learning in cooperative teams of four students with different prior knowledge:one high, two middle, and one low-achieving student; and (c) provision of feedback-corrective-enrichment that focuses on lower and higher cognitive processes.14
Metode IMPROVE terdiri dari tiga komponen yang saling
bergantungan: (a) memfasilitasi perolehan strategi dan proses
metakognitif; (b) belajar dalam tim-tim kooperatif terdiri dari empat siswa
dengan berbagai pengetahuan sebelumnya: satu tinggi, dua tengah dan satu
siswa pencapaian rendah; (c) penyediaan umpan balik korektif-pengayaan
yang memfokuskan pada proses kognitif yang lebih rendah dan lebih
tinggi.
Mevarech dan Kramarsky menyebutkan bahwa IMPROVE
merupakan akronim yang mempresentasikan semua tahap dalam metode
ini, yaitu:
Introducing new concepts, Metacognitive questioning, Practicing,
Reviewing and reducing difficulties, Obtaining mastery,
Verification, and Enrichment.15
Pertanyaan metakognitif menjadi kunci utama yang harus disajikan
oleh guru dalam metode ini. Menurut Kramarski dan Mizrachi pertanyaan
metakognitif meliputi, sebagai berikut:
1) The comprehension questions were designed to promp students to
reflect on the problem/task before solving it. In addressing a
comprehension question, students had to read the problem/task aloud,
describe the task in their own words and try to understand what the
14
Zemira R. Mevarech dan Bracha Kramarski, IMPROVE: A Multidimensional Method for Teaching Mathematics in Heterogeneous Classrooms, American Educational Research Journal, Vol. 34, 1997, h. 369.
16
task/concepts mean.16 Pertanyaan pemahaman mendorong siswa
membaca soal, menggambarkan suatu konsep dengan kata-kata sendiri,
dan mencoba memahami makna suatu konsep. Adapun contoh dari
pertanyaan pemahaman, yaitu: Keseluruhan masalah ini tentang apa?
2) The connection question were designed to prompt students to focus on
similarities and differences between the problem/task they work on and
the problem/task or set of problems/task taht they had already solved.17
Pertanyaan koneksi merupakan mendorong siswa untuk melihat
persamaan dan perbedaan suatu konsep/permasalahan. Adapun contoh
dari pertanyaan koneksi, yaitu: Apa persamaan dan perbedaan antara
permasalahan saat ini dengan permasalah yang telah dipecahkan
sebelumnya?
3) The strategic questions were designed to promp students to consiedr
which strategies are approriate for solving the given problem/task and
for what reasons.18 Pertanyaan strategi mendorong siswa untuk
mempertimbangkan strategi yang cocok dalam menyelesaikan masalah
yang diberikan serta menyertakan alasan pemilihan strategi tersebut.
Adapun contoh dari pertanyaan strategi, yaitu: Strategi, taktik atau
prinsip apa yang cocok untuk memecahkan masalah tersebut ?
4) The reflection questions were designed to promp srudents to reflect on
the understanding and feelings during the solution process.19
Pertanyaan refleksi merupakan pertanyaan yang mendorong siswa
untuk bertanya pada diri sendiri mengenai proses penyelesaian. Adapun
contoh dari pertanyaan refleksi, meliputi : “ what am I doing?”; “does it make sense?”; “What difficulties/feeling I face in solvingthe task?”;
16
Bracha Kramarski dan Nava Mizrachi, Enhancing Mathematical Literacy With The Use Of Metacognitive Guidance In Forum Discussion, Proceedings of the 28th Conference of the International Group for Psychology of Mathematics Education,Vol 3, 2004, h .171.
17 Ibid. 18
Ibid., h. 172
“How can I verify the solution?”; “Can I verify the solutin?”; “Can I use another approach for solving the task?”20
Menurut Mevarech dan Kramarski, “The metacognitive questions
were constructed and arranged to follow the 4-stage model of the
problem-solving process: orientation and problem identification, organization, execution, and evaluation.”21
Maksudnya, pertanyaan metakognisi dibangun
dengan berdasarkan 4 tahap proses pemecahan masalah yaitu orientasi dan
identifikasi masalah, organisasi, pelaksanaan dan evaluasi. Melalui
pertanyaan metakognitif ini diharapkan akan membantu siswa dalam
menyelesaikan permasalahan matematika.
Selain menekankan pada kegiatan metakognisi, metode IMPROVE
juga berorientasi pada interaksi dengan teman sebaya dan proses
sistematik umpan balik-perbaikan-pengayan. Interaksi dengan teman
sebaya merupakan salah satu kegiatan yang memberikan keuntungan bagi
siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikirnya. Melalui interaksi
ini, siswa dapat berbagi pendapat dan memperkaya pengetahuannya. Hal
ini didukung oleh Slavin yang mengatakan bahwa “Peer interaction
provide ample opportunies for students to articulate their though, explain
their mathematical reasoning.”22. Maksudnya, interaksi dengan teman sebaya memberikan banyak manfaat bagi siswa untuk mengungkapkan
pikiran mereka, dan menjelaskan pemahaman mereka. Sedangkan, proses
sistematik mengenai umpan balik-perbaikan-pengayaan
(feedback-corrective-enrichment), diberikan pada akhir setiap pertemuan. Pemberian
tes sebagai umpan balik untuk mengetahui penguasaan materi yang telah
dicapai siswa. Siswa yang belum mencapai kriteria keahlian pada tes
diberikan kegiatan perbaikan, sedangkan siswa yang telah mencapai
kriteria keahlian diberikan kegiatan pengayaan.
20
Ibid. 21
Kramarski, op. cit., h. 370.
18
Adapun tujuan diberikannya kegiatan perbaikan yaitu untuk
meningkatakan penguasaan terhadap bahan pelajaran yang diberikan oleh
guru, terutama untuk mengatasi kesulitan belajar yang dialami siswa.
Sedangkan kegiatan pengayaan dimaksud untuk meningkatkan dan
mempertahankan hasil belajar siswa yang telah dicapai serta sebagai salah
satu cara dalam mengembangkan potensi siswa secara optimal karena
dalam kegiatan ini, siswa diberi kesempatan untuk memperdalam dan
memperluas pengetahuannya.
Kegiatan perbaikan dan pengayaan diperlukan dalam rangka
ketuntasan belajar dan berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Hal ini
berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mavarech
menunjukkan bahwa Implementing feedback-corrective-enrichment
activities in either cooperative or individualized settings promoted higer
mathematics achievement than learning in cooperative/individualized
setting with no feedback-corrective-enrichment.23 Maksudnya, pelaksanaan kegiatan umpan balik korektif-pengayaan dalam pengaturan
kelompok ataupun individual lebih tinggi prestasi belajar matematikanya
daripada belajar dengan pengaturan kelompok atau individual tanpa umpan
balik korektif-pengayaan.
b. Teori Belajar yang Mendasari Metode IMPROVE
1) Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme memahami belajar sebagai proses
pembentukan (konstruksi) pengetahuan. According to constructivist
theories, “learning occurs not by recording information but by interpreting it”.24 Maksudnya, bahwa belajar terjadi tidak dengan merekam informasi tetapi dengan menafsirkanya. Ketika siswa
menemukan informasi atau pengetahuan baru, mereka akan mencoba
untuk menghubungkanya dengan pengetahuan sebelumnya. Sementara
23
Ibid., h 371
24
Piaget, sebagaimana dikutip oleh Siregar dan Nara, mengemukakan bahwa
pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari
pengalamannya, proses pembentukan berjalan terus menerus dan setiap
kali terjadi rekonstruksi karena adanya pemahaman baru.25 Hal tersebut, senada dengan pendapat Trianto, yang mengatakan bahwa siswa harus
menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks,
mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya
apabila aturan tersebut tidak sesuai.26
Menurut teori ini, guru tidak dapat hanya sekedar memberikan
pengetahuan kepada siswa atau bukan lagi pemberi jawaban akhir atas
pertanyaan siswa, melainkan siswa harus membangun sendiri pengetahuan
dibenaknya. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawa
siswa ke pemahaman yang lebih tinggi dengan cara memberikan siswa
kesempatan untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri.
Kaitannya dengan pembelajaran matematika, Cobb mengatakan
sebagaimana dikutip oleh Suherman bahwa belajar matematika merupakan
proses dimana siswa secara aktif mengkonstruksikan pengetahuan
matematika.27 Guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa tetapi siswa harus membangun sendiri pengetahuan
dibenaknya
Mengingat bahwa konstruksi pengetahuan berkaitan dengan
pengetahuan sebelumnya, sehingga dengan menerapkan pembelajaran
kooperatif akan sangat menguntungkan bagi siswa karena keragaman
pengetahuan siswa dapat dimanfaatkan selama interaksi yang terjadi dalam
kelompok kecil sehingga siswa akan lebih mudah menemukan dan
memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling
mendiskusikan masalah tersebut dengan teman satu kelompok.
25
Eveline Siregar dan Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.39
26
Trianto, Model Pembelajaran Terpadu, (Jakarta : Bumi Aksara, 2010) Cet.2, h. 74.
27
20
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
konstruktivisme merupakan teori belajar yang mendorong siswa untuk
aktif dalam rangka menemukan sendiri pengetahuan atau suatu konsep,
sedangkan guru berfungsi sebagai fasilitator dalam rangka membimbing
siswa menemukan konsep tersebut. Melalui pembelajaran kooperatif akan
memudahkan siswa menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit
apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah tersebut dengan
anggota kelompoknya.
Kaitan antara konstruktivisme dengan metode IMPROVE, bahwa
metode ini dilandasi oleh teori konstruktivisme. Hal ini terlihat dari
implementasi pembelajaran konstruktivisme pada salah satu tahapan dalam
metode ini, yaitu pada tahap Introducing New Concepts (Mengenalkan
Konsep Baru). Guru tidak langsung memberikan suatu konsep baru secara
langsung, tetapi meminta siswa berpartisipasi secara aktif terhadap
kegiatan yang dilakukan guru dalam rangka menemukan konsep. Selain itu
pada tahap Introducing New Concept hingga tahap Review and reducing
siswa diminta duduk secara berkelompok dengan tujuan agar siswa dapat
berdiskusi dan bertukar pengetahuan sehingga memudahkan mereka
menemukan dan memahami konsep dengan baik.
2) Teori Metakognisi
Matlin menyatakan: ”metacognition is our knowledge, awareness,
and control of our cognitive process.”28
Maksudnya, metokognisi adalah
pengetahuan, kesadaran, dan kontrol terhadap proses kognitif yang terjadi
pada diri sendiri. Tidak berbeda jauh dengan pendapat Wellman yang
menyatakan bahwa “Metacognition is a form of cognition, a second or
higher order thinking process which involves active control over cognitive
processes. It can be simply defined as thinking about thinking or as a
28
„person‟s cognition about cognition.”29
Maksudnya, metakognisi sebagai
suatu bentuk kognisi, atau proses berpikir dua tingkat atau lebih yang
melibatkan pengendalian terhadap aktivitas kognitif. Karena itu,
metakognisi dapat dikatakan sebagai berpikir seseorang tentang
berpikirnya sendiri atau kognisi seseorang tentang kognisinya sendiri.
Menurut Schoenfeld, sebagaimana dikutip oleh Purnomo bahwa
metakognisi sebagai pemikiran tentang pemikiran sendiri merupakan
interaksi antara tiga aspek penting yaitu: pengetahuan tentang proses
berpikir sendiri, pengontrolan atau pengaturan diri, serta keyakinan dan
intuisi. 30 Interaksi ini sangat penting karena dengan pengetahuan yang dimiliki mengenai proses kognitif, dapat membantu untuk mengatur
hal-hal disekitar dan menyeleksi strategi-strategi untuk meningkatkan
kemampuan kognitif selanjutnya. Contohnya, ketika kita menyadari bahwa
kita sering lupa atau kurang memahami suatu konsep matematika dan kita
sadar bahwa konsep itu sulit dibandingkan dengan konsep lain, sehingga
kita perlu memilih cara tertentu, misalnya dengan menggaris bawahi
pengertian dan konsep tersebut yang sehingga dapat membantu kita
memahami dan mengingat yang kita lupa tadi.
Pengertian metakognisi yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas
sangat beragam, namun pada hakekatnya memberikan penekanan pada
kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri.
Metakognisi mempunyai kelebihan dimana seseorang mencoba
merenungkan cara berpikir atau merenungkan proses kognitif yang
dilakukannya. Dengan demikian aktivitas seperti merencanakan
bagaimana pendekatan yang diberikan pada tugas-tugas pembelajaran,
memonitor kemampuan dan mengevaluasi rencana dalam rangka
melaksanakan tugas merupakan sifat-sifat alami dari metakognisi. Kaitan
antara kemampuan metakognisi dengan strategi berpikir adalah bahwa
29
Khamim Thohari, Menyelesaikan Permasalahan Matematika dengan Metakognisi, 2014, h.4, tersedia : http://karinakiki.files.wordpress.com/2012/06/metakognisi.pdf.
30
22
kemampuan metakognisi menyediakan cara mengendalikan berpikir yang
pada akhirnya akan menghasilkan kemampuan dalam berpikir kritis
(critical thinking).31
Jika dikaitkan dengan proses belajar, kemampuan metakognisi adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol proses belajarnya, mulai dari tahap perencanan, memilih strategi yang tepat dan sesuai masalah yang dihadapi, kemudian memonitor kemajuan dalam belajar dan secara bersamaan mengoreksi jika ada kesalahan yang terjadi selama memahami konsep, menganalisis keefektifan dari strategi yang dipilih. Kemudian melakukan refleksi berupa mengubah kebiasaan belajar dan strateginya jika diperlukan, apabila
hal itu dipandang tidak cocok lagi dengan kebutuhan
lingkungannya.32
Menurut Flavell, sebagaiman dikutip oleh Purnomo, mengatakan
bahwa metakognisi terdiri dari pengetahuan metakognisi (metacognitive
knowledge) dan pengalaman atau regulasi metakognisi (metacognitive
exprience or regulation).33 Pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan yang digunakan untuk mengarahkan proses berpikir kita sendiri.
Pengarahan proses berpikir ini dapat dilakukan melalui aktivitas
perencanaan, pemonitoring dan pengevaluasian. Aktivitas-aktivitas ini
disebut juga sebagai strategi metakognisi atau keterampilan metakognisi
yang dapat membantu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Berkaitan dengan hubungan antara aktivitas metakognisi dengan
penyelesaian masalah matematika, beberapa peneliti, seperti halnya Yong
dan King, Panaoura dan Gama, sebagaiman dikutip oleh Purnomo
mengemukakan bahwa keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan
masalah turut dipengaruhi oleh aktivitas metakognisinya.34 Dalam proses penyelesaian masalah matematika terjadi intraksi antara aktivitas kognitif
dan metakognisi. Aktivitas kognitif terbatas pada bagaimana informasi
diproses untuk mencapai tujuan, sedangkan aktivitas metakognisi
penekanannya pada kesadaran seseorang terhadap apa yang dilakukannya.
31
Ibid., h.11
32
Ibid., h.10
33
Ibid., h. 7-8
34
Penyelesaian masalah akan diawali dengan bagaimana siswa mengenali
masalah tersebut, kemudian memutuskan bagaimana menyelesaikan
masalah tersebut sampai dengan bagaimana mengevaluasi hasil yang telah
dibuat. Jika dikaitkan dengan hubungannya dalam pembelajaran, Dawson
dan Fuhcer mengemukakan bahwa siswa-siswa yang menggunakan
metakognisinya dengan baik akan menjadi pemikir kritis, problem solver
yang baik, serta pengambil keputusan yang baik dari pada mereka tidak
menggunakan metakognisinya.35
Kaitan antara metakognisi dengan konstruksi pengetahuan bahwa
konstruksi pengetahuan merupakan proses kognitif internal yang dilakukan
oleh siswa secara individu, sehingga diperlukan suatu cara untuk melatih
siswa mengatur diri dalam pembelajaran. Menurut Mavarech dan
Kramarsky adalah :
One way is by formulating and answering questions that focus on informaion processing producere. Because knowledge construction occurs when individuals generate relationships between the newly encountered information and their prior knowledge.36
Maksudnya bahwa salah satu cara melatih siswa mengatur diri dalam
pembelajaran dengan merumuskan dan menjawab pertanyaan yang
berfokus pada prosedur pengelolahan informasi. Karena konstruksi
pengetahuan terjadi ketika individu menghasilkan hubungan antara
informasi yang baru ditemui dengan pengetahuan mereka sebelumnya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut berfokus pada struktur masalah, hubungan
antara pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sebelumnya dan
strategi/taktik/prinsip-prinsip tertentu yang sesuai untuk memecahkan
masalah.
Kaitanya metakognisi dengan metode IMPROVE bahwa metakognisi
merupakan salah satu unsur utama dalam penerapan metode IMPROVE.
Hal ini terlihat pada beberapa tahapan dalam metode ini yang
memfasilitasi perolehan strategi dan proses metakognitif siswa, yaitu pada
35
Ibid., h.16
36
24
tahap Introducing New Concepts, siswa diminta menyelesaikan contoh
masalah yang telah diberikan dengan bantuan 3 kartu yang berisi
pertanyaan metakognisi. Pertanyaan tersebut meliputi pertanyaan
pemahaman, pertanyaan strategi dan pertanyaan koneksi. Selain itu pada
tahap Metacognitive questioning, Practicing, siswa kembali diminta
menyelesaikan Lembar Latihan Soal (LLS) yang didalamnya dilengkapi
pertanyaan metakognisi untuk membantu siswa menyelesaikan masalah.
c. Tahapan Metode IMPROVE
Berikut ini merupakan penjabaran sintak metode IMPROVE: 37
Introducing New Concepts (Memperkenalkan konsep baru)
Pengenalan konsep baru berorientasi pada pengetahuan awal siswa.
Dalam mengenalkan konsep baru, siswa difasilitasi dengan contoh
masalah dengan memberi pertanyaan metakognisi dalam kelompok
heterogen. Selama proses belajar, jika siswa mengalami kesulitan
dalam menjelaskan pertanyaan metakognisi di contoh masalah, guru
harus dapat mengarahkan agar siswa mamahami pertanyaan
metakognisi.
Metacognitive questioning, Practicing (Latihan yang disertai dengan
pertanyaan metakognisi)
Pada tahap ini siswa menyelesaikan contoh masalah yang telah
diberikan dengan bantuan pertanyaan metakognisi. Dari contoh soal
yang telah dibahas, siswa dipancing agar dapat mengeluarkan
pertanyaan-pertanyaan metakognitif yang apabila tidak dapat dijawab
oleh siswa lainnya, maka guru harus dapat menjelaskan dan
memberikan pemahaman agar siswa dapat berpikir secara
metakognitif.
37
Reviewing and reducing difficulties, Obtaining mastery
(Meninjau ulang, mengurangi kesulitan, dan memperoleh
pengetahuan)
Pada tahap ini dilakukan tinjauan ulang terhadap jawaban siswa serta
mengenai kekuatan dan kelemahan kinerja siswa dalam kerja sama
kelompok. Pada tahap ini pula seharusnya sudah dapat terlihat apakah
siswa telah menguasai materi secara menyeluruh atau belum,
termasuk juga peran dan kemampuan individu dalam kinerja
kelompok masing-masing. Verification (Verifikasi)
Verifikasi dilakukan untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang
dikategorikan sudah mencapai kriteria keahlian dan yang belum
mencapai kriteria keahlian. Identifikasi pencapaian hasil dijadikan
umpan balik. Hasil umpan balik dipakai sebagai bahan orientasi
pemberian kegiatan pengayaan dan kegiatan perbaikan tahap
berikutnya.
Enrichment (Pengayaan)
Tahap pengayaan mencangkup dua jenis kegiatan, yaitu kegiatan
perbaikan dan kegiatan pengayaan. Kegiatan perbaikan diberikan
kepada siswa yang teridentifikasi belum mencapai kriteria keahlian,
sedang kegiatan pengayaan diberikan kepada siswa yang sudah
mencapai kriteria keahlian.
Metode IMPROVE mengharuskan siswa belajar dalam kelompok
heterogen yang terdiri dai siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah.
Oleh sebab itu, sebelum memulai pertemuan, seluruh siswa kelas
ekperimen diminta mengerjakan 6 butir soal. Soal tersebut merupakan soal
UASBN tahun 2013 mata pelajaran matematika yang berkaitan dengan
materi bilangan bulat dan bilangan pecahan. Nantinya hasil nilai tersebut
digunakan sebagai dasar dalam pembentukan kelompok heterogen pada
pertemuan pertama. Sedangkan, pada setiap pertemuan selanjutnya,
26
sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan heterogenitas
kelompok.
Adapun penjabaran langkah-langkah metode IMPROVE dalam
penelitian ini meliputi:
Tabel 2.1
Tahap Metode IMPROVE
Tahap Langkah-Langkah
Introducing
New Concepts
Siswa diminta berpartisipasi terhadap kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam rangka menemukan konsep
Guru mengarahkan siswa menarik kesimpulan berdasarkan hasil kegiatan. Guru memberikan pengembangan materi berdasarkan kesimpulan Siswa diminta duduk secara berkelompok berdasarkan kelompok
heterogen yang telah dibentuk oleh guru
Guru memberikan contoh masalah berkaitan dengan materi yang dipelajari Guru memberikan 3 kartu berisi pertanyaan metakognitif kepada
masing-masing kelompok
Setiap kelompok diminta mendiskusikan dan mempresentasikan jawaban dari kartu yang berisi pertanyaan metakognitif dan penyelesaian masala