• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh metode improve terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh metode improve terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa"

Copied!
274
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Indah Permatasari

NIM : 11100170000024

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Indah Permatasari

NIM : 1110017000024

Jurusan : Pendidikan Matematika

AngkatanTahun : 2010

Alamat : Jln. Merpati I Blok H51/04 RT 02/RW 17

Tambun Selatan-Bekasi

MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA

Bahwa skripsi yang berjudul Pengaruh Metode IMPROVE Terhadap

Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen:

1. Nama : Maifalinda Fatra, M.Pd

NIP : 19700528 199603 2 002

Dosen Jurusan : Pendidikan Matematika

2. Nama : Gusni Satriawati, M.Pd

NIP : 19780809 200801 2 032

Dosen Jurusan : Pendidikan Matematika

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap

menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya

(3)
(4)
(5)

i

ABSTRAK

Indah Permatasari (1110017000024). “Pengaruh Metode IMPROVE terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis”. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Oktober 2014.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan metode IMPROVE dengan siswa yang diajarkan metode konvensional. Penelitian dilakukan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri 2 Ciganjur Jakarta Selatan, Tahun Ajaran 2014/2015. Metode penelitian yang digunakan adalah metode quasi eksperimen dengan

design Randomized Posttest-Only Control Group Design, yang melibatkan 74

siswa sebagai sampel. Pengumpulan data setelah perlakuan dilakukan dengan menggunakan tes kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajar dengan metode IMPROVE lebih tinggi dibandingkan rata-rata kemampuan berpikir kritis yang diajar dengan metode konvensional

(thitung = 4,732 > ttabel = 1,666). Kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelas

eksperimen pada indikator mengenal masalah mendapatkan nilai sebesar 84,5, sedangkan pada kelas kontrol mendapatkan nilai sebesar 82,75. Pada indikator menemukan cara yang dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah kelas eksperimen mendapatkan nilai sebesar 75,55 sedangkan pada kelas kontrol mendapatkan nilai sebesar 60. Pada indikator menemukan hubungan yang logis antara masalah-masalah kelas eksperimen mendapatkan nilai sebesar 60,4 sedangkan pada kelas kontrol mendapatkan nilai sebesar 39,2. Pada indikator menganalisis data kelas eksperimen mendapatkan nilai sebesar 71,25 sedangkan

pada kelas kontrol mendapatkan nilai sebesar 52,37. Dengan demikian

penggunaan metode IMPROVE memberikan perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa dibandingkan metode konvensional.

(6)

ii

ABSTRACT

Indah Permatasari (1110017000024). “The Effect of IMPROVE Method to in Student‟s Matematical Critical Thinking Ability”. Thesis Department of Mathematics Education, Faculty of Tarbiyah and Teachers Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, Oktober 2014.

The purpose of this study was to determine differences in mathematical ability of students to think critically taught the IMPROVE method with students taught with conventional methods. The study was conducted at the junior secondary school (MTs) Ciganjur South Jakarta State 2, Academic Year 2014/2015. The research method used was a quasi-experimental method to design Randomized Posttest-Only Control Group Design, which involves 74 students as the sample. Data collection after the treatment had done by using a mathematical test student‟s critical thinking skills.

The results showed that the average critical thinking skills of students who are taught mathematical IMPROVE method is higher than the average of critical thinking skills that were taught by the conventional method (thitung = 4.732>t table

= 1.666). Critical thinking skills in the experimental class students' mathematical problem getting a knowing indicator value of 84.5, while the control class to get a value of 82.75. On indicators that can be used to find ways to solve the problem of the experimental class to get a value of 75.55 while the control class scores of 60 At indicators find a logical relationship between the problems of the experimental class to get a value of 60.4 while the control class to get value of 39.2. In analyzing the data indicators experimental class to get a value of 71.25 while the control class to get a value of 52.37. Thus the use of IMPROVE method gives a significant difference to the students' ability to think critically mathematical than conventional methods.

(7)

iii

KATA PENGANTAR

ﻳﺤﺭﻟﺍﻦ ﺤﺭﻟﺍﷲﺍ ﺳﺑ

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang

telah memberikan inspirasi tidak terhingga disetiap kata-kata yang penulis tulis di

skripsi ini, serta juga kemudahan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan

kepada Nabi Muhammad SAW, yang mengganti zaman kebodohan sampai zaman

skripsi seperti saat ini.

Selama penulisan skripsi ini, penulis mengerti betul banyak sekali kekurangan

dalam penulisan, proses penulisan, serta penelitian. Namun, berkat kerja keras, doa,

perjuangan, kesungguhan hati dan dorongan serta nasehat positif dari berbagai pihak

untuk penyelesaian skripsi ini, sehingga penulis dapat mengatasi kesulitan dan

hambatan uang dialami. Oleh sebab itu penulis ingin mengucapkan terimakasih

kepada:

1. Ibu Nurlena Rifa‟i, M.A, Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Bapak Dr. Kadir M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Bapak Abdul Muin, S.Si. M,Pd., Sekertaris Jurusan Pendidikan Matematika

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Ibu Maifalinda Fatra, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Gusni

Satriawati, M.Pd selaku Dosen Pembimbing II yang telah menyempatkan

waktunya untuk melayani pertanyaan-pertanyaan penuh kebingungan dengan

kesabaran dan senyuman, serta selalu memberikan titik terang ditengah kegaluan menyelesaikan skripsi ini. Semoga ibu tidak terganggu dengan SMS “Indah boleh bimbingan ya bu hari ini?”

5. Bapak Drs. H. M. Ali Hamzah selaku dosen pembimbing akademik yang telah

(8)

iv

6. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Matemaika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah memberikan ilmu serta bimbingan selama mengikuti perkuliahan.

7. Kepala MTs Negeri 2 Ciganjur Jakarta Selatan, Bapak H. Fahrurozi, M.Pd yang

telah memberikan izin untuk melakukan penelitian

8. Seluruh dewan guru MTs Negeri 2 Ciganjur, Khususnya ibu Elvi Indrawati, S.Pd

dan Bapak H. Mas‟ud, S.Pd yang telah membantu penulis dalam melaksanakan

penelitian ini, serta siswa-siswa MTs Negeri 2 Ciganjur, khususnya kelas VII-2

dan VII-3.

9. Teristimewa untuk kedua orangtuaku tercinta, Ayahanda Mulyadi dan Ibunda

Hartati yang tak henti-hentinya mendoakan dan memberikan motivasi dengan

senantiasa menanyakan “Kapan Wisuda?” serta seluruh keluarga yang

mendoakan dan mendorong penulis untuk tetap semangat dalam menyelesaikan

skripsi ini.

10. Sahabatku tersayang Khairiah Nuroctaviani, Afrina Amelia Dewi, Dewi Nirmala,

Emi Suhaemi dan Nuristia Fathu serta Hafizh Nizham yang tak henti-hentinya

memberikan semangat dan membantu menghilangkan stress serta tempat berbagi

untuk segala cerita selama perkuliahan dan penulisan skripsi ini.

11. M. Ferdila Nugraha yang selalu meluangkan waktu untuk menemani dan

memberikan doa dan motivasi serta tempat berbagi segala cerita selama proses

penulisan skripsi ini.

12. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Matematika Angkatan 2010.

Terimakasih untuk segala kehangatan yang diberikan selama empat tahun

bersama.

Ucapan terima kasih juga ditunjukan kepada semua pihak yang namanya tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis hanya dapat memohon dan berdoa

mudah-mudahan bantuan, bimbingan, dukungan, semangat, masukan dan doa yang

(9)

v

Demikianlah, betapapun penulis telah berusaha dengan segenap kemampuan

yang ada untuk menyusun karya tulis yang sebaik-baiknya, namun di atas

lembaran-lembaran skripsi ini masih saja dirasakan dan ditemui berbagai macam kekurangan

dan kelemahan. Karena itu, kritik dan saran dari siapa saja yang membaca skripsi ini

akan penulis terima dengan hati terbuka.

Penulis berharap semoga skripsi ini akan membawa manfaat yang

sebesar-besarnya bagi penulis khususnya dan bagi pembaca sekalian umumnya.

Jakarta, Oktober 2014

(10)

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR BAGAN ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah... 7

C.Pembatasan Masalah ... 7

D.Perumusan Masalah ... 8

E.Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS ... 10

A.Deskripsi Teoritik ... 10

1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 10

a. Kemampuan Berpikir ... 10

b. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 11

c. Indikator Berpikir Kritis Matematis ... 13

2. Metode IMPROVE ... 14

a. Metode IMPROVE ... 14

b. Teori Belajar yang Mendasari Metode IMPROVE ... 18

c. Tahapan Metode IMPROVE ... 24

3. Metode Konvensional ... 27

B.Hasil Penelitian yang Relevan ... 28

(11)

vii

D.Hipotesis Penelitian ... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 32

A.Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

B.Metode dan Desain Penelitian ... 32

C.Populasi dan Sampel Penelitian ... 33

1. Populasi ... 33

2. Sample ... 34

D.Teknik Pengumpulan Data ... 34

E.Instrumen Penelitian ... 35

F. Analisis Instrumen ... 36

1. Uji Validitas... 36

2. Uji Reliabilitas ... 37

3. Taraf Kesukaran ... 38

4. Daya Pembeda ... 39

G.Teknik Analisis Data ... 41

1. Uji Normalitas ... 41

2. Uji Homogenitas ... 43

3. Pengujian Hipotesis ... 44

H.Hipotesis Statistik ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 48

A.Deskripsi Data ... 48

1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 48

2. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 53

3. Perbandingan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 57

B.Analisis Data ... 60

1. Uji Prasyarat ... 60

a. Uji Normalitas ... 60

(12)

viii

2. Pengujian Hipotesis ... 62

C.Pembahasan Hasil Penelitian ... 63

D.Keterbatasan Penelitian ... 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

A.Kesimpulan ... 81

B.Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83

(13)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tahap Metode IMPROVE ... 26

Tabel 3.1 Desain Penelitian ... 33

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Berpikir Kritis Matematis... 35

Tabel 3.3 Rekapitulasi Hasil Uji Analisis Butir Soal ... 41

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 49

Tabel 4.2 Deskripsi Statistik Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 50

Tabel 4.3 Deskripsi Data Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen Berdasarkan Indikator Glaser ... 51

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 53

Table 4.5 Deskripsi Statistik Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 54

Tabel 4.6 Deskripsi Data Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Kontrol Berdasarkan Indikator Glaser ... 55

Tabel 4.7 Perbandingan Hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 57

Tabel 4.8 Perbandingan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasar- kan Indikator Glaser Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 58

Tabel 4.9 Hasil Uji Normalitas Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 61

Tabel 4.10 Hasil Uji Homogenitas Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 62

(14)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Histogram dan Poligon Distribusi Frekuensi Kemampuan

Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 49

Gambar 4.2 Diagram Batang Nilai Indikator Kemampuan Berpikri Kritis

Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 52

Gambar 4.3 Histogram dan Poligon Distribusi Frekuensi Kemampuan

Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 53

Gambar 4.4 Diagram Batang Nilai Indikator Kemampuan Berpikri Kritis

Matematis Siswa Kelas Kontrol... 56

Gambar 4.5 Perbandingan Nilai Indikator Kemampuan Berpikri Kritis

Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 60

Gambar 4.6 Hasil Jawaban Salah Satu Kelompok Pada Soal No.2 LLS-1 .. 64

Gambar 4.7 Hasil Jawaban Salah Satu Kelompok Pada Soal No.3 LLS-3 .. 66

Gambar 4.8 Hasil Jawaban Salah Satu Kelompok Pada Soal No.2 LLS-1 .. 67

Gambar 4.9 Hasil Jawaban Siswa Indikator Mengenal Masalah Kelas

Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 71

Gambar 4.10 Hasil Jawaban Siswa Indikator Menemukan Cara yang Dapat

Dipakai Untuk Menyelesaikan Masalah Kelas Eksperimen dan

Kelas Kontrol ... 72

Gambar 4.11 Hasil Jawaban Siswa Indikator Menemukan Hubungan yang

Logis Antara Masalah-Masalah Kelas Eksperimen dan Kelas

Kontrol ... 74

Gambar 4.12 Hasil Jawaban Siswa Indikator Menemukan Hubungan yang

Logis Antara Masalah-Masalah Kelas Eksperimen dan Kelas

Kontrol ... 75

Gambar 4.13 Hasil Jawaban Siswa Indikator Menganalisis Data Kelas

(15)

xi

DAFTAR BAGAN

(16)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Observasi Aktivitas Mengajar Pra Penelitian ... 86

Lampiran 2 Lembar Observasi Aktivitas Belajar Siswa Pra Penelitian... 88

Lampiran 3 Form Wawancara Pra Penelitian ... 90

Lampiran 4 Soal Tes Penempatan Kelompok Pada Pertemuan Pertama Kelas Eksperimen ... 92

Lampiran 5 Pedoman Penilaian Tes Penempatan Kelompok Pada Pertemuan Pertama Kelas Eksperimen ... 93

Lampiran 6 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen ... 95

Lampiran 7 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Kontrol ... 125

Lampiran 8 Lembar Latihan Soal (LLS) Kelas Eksperimen ... 140

Lampiran 9 Lembar Latihan Soal (LLS) Kelas Kontrol ... 161

Lampiran 10 Kuis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 177

Lampiran 11 Soal Remedial Kelas Eksperimen ... 185

Lampiran 12 Soal Pengayaan Kelas Eksperimen ... 193

Lampiran 13 Tabel Rekapitulasi Hasil Penilaian CVR ... 201

Lampiran 14 Tabel Perhitungan Validitas CVR... 202

Lampiran 15 Form Penilaian CVR ... 203

Lampiran 16 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis... 207

Lampiran 17 Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 209

Lampiran 18 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis... 211

Lampiran 19 Pedoman Penilaian Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis... 216

Lampiran 20 Langkah-langkah Perhitungan Uji Validitas ... 217

Lampiran 21 Hasil Uji Validitas ... 219

Lampiran 22 Langkah-langkah Perhitungan Uji Reliabilitas ... 220

(17)

xiii

Lampiran 24 Langkah-langkah Perhitungan Uji Taraf Kesukaran ... 222

Lampiran 25 Hasil Uji Taraf Kesukaran ... 223

Lampiran 26 Langkah-langkah Perhitungan Uji Daya Pembeda ... 224

Lampiran 27 Hasil Uji Daya Pembeda ... 225

Lampiran 28 Rekapitulasi Perkembangan Sikap Kelas Eksperimen ... 226

Lampiran 29 Rekapitulasi Perkembangan Sikap Kelas Kontrol ... 227

Lampiran 30 Hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 228

Lampiran 31 Hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 229

Lampiran 32 Perhitungan Distribusi Frekuensi, Mean, Median, Modus, Varians, Simpangan Baku, Kemiringan dan Ketajaman Kelas Eksperimen ... 230

Lampiran 33 Perhitungan Rata-Rata dan Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Berdasarkan Indikator Glaser pada Kelas Eksperimen ... 235

Lampiran 34 Perhitungan Distribusi Frekuensi, Mean, Median, Modus, Varians, Simpangan Baku, Kemiringan dan Ketajaman Kelas Kontrol ... 236

Lampiran 35 Perhitungan Rata-Rata dan Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Berdasarkan Indikator Glaser pada Kelas Kontrol ... 241

Lampiran 36 Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Eksperimen... 242

Lampiran 37 Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Kontrol ... 244

Lampiran 38 Perhitungan Uji Homogenitas ... 246

Lampiran 39 Perhitungan Uji Hipotesis Statistik ... 247

Lampiran 40 Tabel Nilai Koefisien Korelasi “r” Product Moment dari Pearson ... 249

Lampiran 41 Tabel Nilai Kritis Distribusi Chi Square ... 250

Lampiran 42 Tabel Nilai Kritis Distribusi F ... 251

(18)

xiv

Lampiran 44 Tabel Minimum CVR... 253

Lampiran 45 Uji Referensi ... 254

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada era informasi global saat ini, situasi dunia menjadi amat

transparan, jendela internasional terdapat hampir di setiap rumah. Apa yang

terjadi di salah satu sudut bumi dalam waktu singkat dapat ditangkap dari

berbagai belahan bumi lainnya. Seluruh pihak dapat dengan mudah

mendapatkan informasi secara cepat dan melimpah dari berbagai sumber dan

dari berbagai penjuru dunia. Oleh karena itu, manusia dituntut memiliki

kemampuan dalam memperoleh, memilih, mengelola dan menindaklanjuti

informasi tersebut untuk dapat dimanfaatkan dalam kehidupan yang dinamis,

sarat tantangan dan penuh kompetensi.

Berpikir kritis merupakan salah satu yang dibutuhkan dalam

memperoleh dan mengelola informasi. Menurut Dewey, sebagaimana dikutip

oleh Fisher, berpikir kritis sebagai pertimbangan yang aktif, persistent (terus

menerus) dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan

yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang

mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi

kecendrungannya.1 Maksudnya, berpikir kritis sebagai berpikir aktif, yakni berpikir secara terus menerus dan teliti dalam mencermati berbagai informasi

atau pengetahuan berdasarkan bukti pendukungnya sebelum

menyimpulkannya. Hal ini senada dengan pendapat Glaser yang menyatakan

bahwa berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap

keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan

kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.2

Berdasarkan pendapat mengenai berpikir kritis yang telah

dikemukakan sebelumnya, dapat dipahami bahwa kemampuan berpikir kritis

menuntut adanya usaha untuk menguji keyakinan atau pengetahuan

1

Alec Fisher, Berpikir Kritis Sebuah Pengantar, (Jakarta : Erlangga, 2008), h. 2.

2

(20)

2

berdasarkan bukti pendukungnya. Selain itu, berpikir kritis juga menuntut

adanya kemampuan untuk mengenali, mengidentifikasi, dan memahami

persoalan serta menemukan solusi atasnya. Anak didik yang memiliki

kemampuan berpikit kritis akan mampu menyaring informasi, memilih layak

atau tidaknya informasi sesuai kebutuhan, memeriksa kebenaran dari

informasi dan menindaklanjuti informasi tersebut untuk dimanfaatkan dalam

kehidupan mereka.

Kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan dalam berbagai mata

pelajaran, salah satunya pada mata pelajaran matematika. Matematika

merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan penting dalam

bidang pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari pelajaran matematika diberikan

pada semua jenjang pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan

Tinggi. Belajar matematika berkaitan erat dengan aktivitas, proses belajar dan

berpikir. Hal ini tentu bukan suatu hal yang sederhana. Aktivitas dan proses

berpikir akan terjadi apabila seseorang individu berhadapan dengan situasi

atau masalah yang mendesak dan menantang serta dapat memicunya untuk

berpikir agar diperoleh kejelasan dan solusi atau jawaban terhadap masalah

tersebut.

Berpikir kritis dalam matematika didefinisikan oleh Glaser,

sebagaimana dikutip oleh Suwarman, sebagai kemampuan dan disposisi

untuk menyertakan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematika, dan

strategi kognitif untuk menggeneralisasi, membuktikan, atau mengevaluasi

situasi-situasi matematika yang tidak familiar secara reflektif.3 Maksudnya peserta didik dituntut untuk bukan hanya memindahkan rumus dari dalam

penyelesaian, tetapi mengerti apa yang ditanyakan, konsep dan strategi apa

yang digunakan dalam menentukan solusi dari permasalahan matematika

dengan menggunakan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematika dan

strategi kognitif secara reflektif. Kemampuan ini yang dibutuhkan untuk

3

(21)

mengembangkan intelektual peserta didik, sehingga dapat mengatasi berbagai

permasalahan yang dihadapi.

Pentingnya kemampuan berpikir kritis ini juga ditunjukkan oleh PISA

Program for International Student Assesment). PISA merupakan suatu

lembaga yang mengadakan survey 3 tahunan untuk siswa yang berusia

rata-rata 15 tahun. Salah satu tujuan dari PISA adalah untuk menilai pengetahuan

matematika siswa dalam menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan

sehari-hari. Penilaian tidak hanya dilakukan untuk memastikan apakah siswa

mampu mengembangkan pengetahuannya tetapi juga untuk meneliti sejauh

mana siswa mampu memperkirakan dari apa yang telah mereka pelajari dan

menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan.4 Adapun kemampuan

matematis yang digunakan sebagai penilaian proses matematika dalam PISA

adalah komunikasi, matematisasi, representasi, penalaran dan argumen,

merumuskan strategi untuk memecahkan masalah, menggunakan bahasa

simbolik, formal dan teknik serta operasi, dan menggunakan alat-alat

matematik.

Hasil survey PISA pada tahun 2012, Indonesia menempati ranking 64

dari 65 negara dengan skor rata-rata 375 untuk matematika. Berdasarkan skor

tersebut, Indonesia termasuk ke dalam level 2 dari 6 level dalam PISA.

Artinya siswa Indonesia hanya sampai pada menginterpretasikan dan

mengenali situasi dalam konteks yang memerlukan penarikan kesimpulan

secara langsung, memilah informasi yang relevan dari sumber tunggal dan

menggunakan penarikan kesimpulan yang tunggal, menerapkan algoritma

dasar, memformulasikan, menggunakan, melaksanakan prosedur atau

ketentuan yang dasar, memberikan alasan secara langsung dan melakukan

penafsiran secara harfiah. Mengingat bahwa kemampuan berpikir kritis

merupakan suatu kemampuan untuk menentukan solusi dari permasalahan

yang dihadapi dengan menggunakan pengetahuan sebelumnya, penalaran

4

OECD, PISA 2012 Result: Creative Problem Solving Student‟ Skills Tackling Real-Life

(22)

4

matematika dan strategi kognitif. Dengan demikian, dapat diasumsikan

kemampuan berpikir kritis matematis siswa masih rendah.

Berdasarkan hasil observasi aktivitas mengajar (lampiran 1) dan

observasi aktivitas belajar siswa (lampiran 2) yang dilakukan pada salah satu

Madrasah Tsanawiyah di daerah Jakarta Selatan, terlihat bahwa banyak siswa

yang belum dapat menganalisis, mengidentifikasi, menghubungkan suatu

masalah lebih dalam dan menentukan solusi dari suatu masalah. Hal tersebut

diduga karena siswa masih terbiasa menghafal rumus yang diberikan guru

bukan memahaminya. Selain itu, guru hanya fokus pada pemberian materi,

mencontohkan soal dan pemberian soal latihan saja. Siswa kurang berperan

aktif dalam pembelajaran.

Pembelajaran satu arah seperti ini menempatkan guru sebagai

pemeran utama dalam proses pembelajaran sedangkan siswa hanya sebagai

penonton. Siswa tidak berperan aktif dalam pembelajaraan. Siswa hanya

mendengarkan dan memperhatikan penjelasan guru saja sehingga siswa

menjadi terbiasa menerima konsep secara langsung dan menghafalnya bukan

memahaminya. Menurut Mukhayat, sebagaimana dikutip oleh Soinakim,

bahwa belajar dengan menghafal tidak terlalu banyak menuntut aktivitas

berpikir anak dan mengandung akibat buruk pada perkembangan mental

anak.5 Anak akan cendrung suka mencari gampangnya saja dalam belajar dan

anak akan kehilangan sense of learning. Hal tersebut akan membuat anak

bersikap pasif atau menerima begitu saja apa adanya sehingga mengakibatkan

anak tidak terbiasa berpikir kritis.

Proses pembelajaran satu arah tentu kurang dapat mengembangkan

kemampuan berpikir kritis secara optimal. Selain itu, pembelajaran seperti

ini, kurang memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan

kemampuan berpikir kritis. Siswa kurang dilatih untuk mengenal masalah,

menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah,

menemukan hubungan yang logis antara masalah-masalah dan menganalisis

5

(23)

data. Akibatnya ketika siswa diberikan soal berbeda dengan contoh yang

diberikan, mereka tidak mampu mengerjakan soal tersebut. Terbukti dari hasil

wawancara yang telah dilakukan terhadap guru bidang studi matematika, Elvi

Indrawati, S.Pd, di MTs Negeri 2 Ciganjur (lampiran 3), diketahui bahwa

kemampuan berpikir kritis matematis di sekolah tersebut masih rendah, hal

ini berdasarkan pemaparan narasumber yang menyebutkan bahwa

kemampuan mengenal masalah, kemampuan menemukan cara untuk

menyelesaikan masalah, kemampuan menganalisis data dan kemampuan

mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah belum

sepenuhnya dimiliki siswa. Terlihat dari ketika siswa diberi soal berbeda dari

contoh, sangat sedikit siswa yang bisa menyelesaikan soal tersebut dengan

benar.

Lemahnya kemampuan berpikir kritis ini memerlukan upaya dalam

memperbaiki keadaan tersebut. Sebagai upaya memfasilitasi siswa agar

kemampuan berpikir kritis berkembang yaitu dengan suatu pembelajaran

dimana pembelajaran tersebut harus berangkat dari pembelajaran yang

membuat siswa aktif sehingga siswa leluasa untuk berpikir dan

mempertanyaakan kembali apa yang mereka terima dari guru. Hal ini

dikemukakan oleh Ibrahim, sebagaimana dikutip oleh Istianah bahwa untuk

membawa ke arah pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan

berpikir kritis harus berangkat dari pembelajaran yang membuat siswa aktif. 6 Beragam metode pembelajaran yang membuat siswa berperan aktif dalam

pembelajaran dan telah mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis

matematis misalnya saja penelitian yang telah dilakukan oleh Dewi Ragiel

Susanti, dkk dengan judul “Pengaruh Penggunaan Metode Problem solving

Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematika siswa kelas X SMK

Gotong Royong”. Hasil Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa

kemampuan berpikir kritis matematika siswa yang diajarkan menggunakan

metode Problem Solving lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan

6

Euis Istianah, “Meningkatkan Kemapuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematika dengan

(24)

6

pembelajran konvensional pada materi program linear.7 Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lia Kurniawati dan Belani Margi Utami yang berjudul “Pengaruh Metode Penemuan dengan Strategi Heuristik Terhadap kemampuan Berpikir Kritis Matematis”. Hasil Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis

matematis siswa yang diajarkan dengan metode penemuan dengan strategi

heuristik lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan dengan metode

konvensional.8

Berdasarkan pendapat Paul, sebagaimana dikutip oleh Fisher, yang

menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis seseorang ialah melalui „berpikir tentang pemikiran sendiri‟ (atau sering disebut „metakognisi‟).9 Selain itu, interaksi yang dilakukan sesama siswa maupun antar siswa dengan guru dapat berpengaruh terhadap

perkembangan kemampuan berpikirnya. Melalui interaksi, siswa dapat

berbagi pendapat dan memperkaya pengetahuan mereka.

Salah satu metode pembelajaran yang memfasilitasi siswa

mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis melalui aktivitas

metakognitif dan interaksi sesama teman sebaya adalah metode IMPROVE.

Metode IMPROVE merupakan metode yang didesain pertama kali oleh

Mevarech dan Kramarsky. Metode IMPROVE merupakan sebuah akronim

dari Introducing New Concepts, Metacognitive questioning, Practicing,

Reviewing and reducing difficulties, Obtaining mastery, Verification, dan

Enrichment. Dalam metode ini terdapat 3 komponen yang saling

bergantungan yaitu: memfasilitasi perolehan strategi dan proses metakognitif,

interaksi dengan teman sebaya dan kegiatan sistematik dari umpan

balik-perbaikan-pengayaan. Melalui metode ini siswa dikenalkan pada konsep baru,

7

Dewi Ragiel Susanti, dkk, “Pengaruh Penggunaan Metode Problem Solving terhadap

Kemampuan Berpikir Kritis Matematika Siswa Kelas X SMK Gotong Royong” Tersedia:

http://kim.ung.ac.id/index.php/KIMFMIPA/article/viewFile/3393/3369, 15 November 2014

8

Lia Kurniawati dan Belani Margi Utami, “Pengaruh Metode Penemuan dengan Strategi Heuristik Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa”, Tersedia:

http://fmipa.um.ac.id/index.php/component/attachments/download/139.html, 15 November 2014

9

(25)

yaitu diawali dengan diberikan pertanyaan-pertanyaan metakognitif dan

kemudian dilatih memecahkan masalah terkait materi. Siswa juga dapat

mengevaluasi materi yang telah mereka pelajari sehingga dapat memperkaya

pengetahuan siswa.

Berdasarkan uraian di atas perlu kiranya diteliti lebih lanjut mengenai

kemampuan berpikir kritis matematis siswa dengan metode IMPROVE.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “PENGARUH METODE IMPROVE TERHADAP

KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya,

dapat diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran matematika di sekolah bersifat satu arah lebih terpusat

pada guru sehingga siswa menjadi pasif.

2. Pembelajaran matematika yang biasa diterapkan di kelas kurang

memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan kemampuan

berpikir kritis matematis

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan

sebelumnya, maka dalam penelitian ini perlu diadakan pembatasan masalah

agar pengkajian masalah dalam penelitian ini lebih terarah dan terfokus.

Adapun pembatasan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah

1. Metode IMPROVE yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari

beberapa langkah, yaitu: Introducing New Concepts (Memperkenalkan

konsep-konsep baru), Metacognitive questioning (Pertanyaan

metakognitif), Practicing (Berlatih), Reviewing and Reducing difficulties

(Meninjau ulang dan mengurangi kesulitan), Obtaining mastery

(Mendapatkan penguasaan), Verification (Verifikasi) dan Enrichment

(26)

8

2. Indikator yang digunakan dalam mengukur kemampuan berpikir kritis

dalam penelitian ini dibatasi hanya pada aspek: mengenal masalah,

menemukan cara untuk menyelesaikan masalah, mengenal adanya

hubungan yang logis antara masalah-masalah, dan menganalisis data.

3. Metode konvensional yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode

ekspositori

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah

dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan

dengan metode IMPROVE?

2. Bagaimana kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan

dengan metode konvensional?

3. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis siswa

yang diajarkan dengan metode IMPROVE dengan siswa yang diajarkan

dengan metode konvensional?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka

yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan

dengan metode IMPROVE

2. Mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan

dengan metode konvensional.

3. Mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang

diajarkan metode IMPROVE dengan siswa yang diajarkan metode

(27)

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis:

a. Salah satu alternatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis

matematis siswa;

2. Manfaat praktis:

a. Bagi siswa

 Melatih siswa meningkatkan kemampuan berpikir kritis

matematisnya

 Merasakan pembelajaran yang berbeda dari pembelajaran biasanya

b. Bagi guru

 Sebagai bahan pertimbangan dan sumber data bagi guru dalam

merumuskan metode pembelajaran terbaik untuk siswanya

 Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat

dimanfaatkan bagi pelaksanaan pengajaran matematika disekolah

c. Bagi peneliti

 Sebagai referensi begi peneliti-peneliti lain yang ingin meneliti

(28)

10

BAB II

KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Deskripsi Teoritik

1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

a. Kemampuan Berpikir

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemampuan berasal dari

kata “mampu” yang berarti sanggup.1 Kemampuan adalah suatu

kesanggupan dalam melakukan sesuatu.2 Seseorang dapat dikatakan

memiliki kemampuan apabila ia sanggup untuk melakukan sesuatu.

Arti kata dasar “pikir” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

akal budi, ingatan, angan-angan.3 Sedangkan, “berpikir” adalah

menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan sesuatu,

menimbang-nimbang dalam ingatan.4

Ruggiero mengartikan berpikir, sebagaimana dikutip oleh Yuli,

sebagai suatu aktivitas mental untuk membantu memformulasikan atau

memecahkan suatu masalah, membuat suatu keputusan, atau memenuhi

hasrat keingintahuan (fulfill a desire to understand).5 Ketika seseorang merumuskan atau memecahkan suatu masalah, membuat suatu keputusan

ataupun memahami sesuatu, hal ini menunjukkan bahwa ia melakukan

aktivitas berpikir.

Menurut Suryabrata, sebagaimana dikutip oleh Yuli, menyatakan

bahwa berpikir merupakan proses yang dinamis yang dapat dilukiskan

menurut proses atau jalannya.6 Proses berpikir pada pokoknya terdiri dari 3 langkah, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan

1

Kamus Besar Bahasa Indonesia [online] tersedia kbbi.web.id, 2 Agustus 2014

2 Ibid. 3

Ibid. 4

Ibid. 5

Tatag Yuli, Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif, (Surabaya : Unesa University Press, 2008), h. 13.

6

(29)

penarikan kesimpulan.7 Hal ini menunjukan bahwa apabila seseorang dihadapkan pada masalah maka dalam proses berpikir orang tersebut akan

menyusun hubungan antara bagian-bagian informasi yang direkam sebagai

pengertian. Kemudian orang tersebut membentuk pendapat-pendapat yang

sesuai dengan pengetahuannya. Setelah itu, akan membuat kesimpulan

yang digunakan untuk mencari solusi dari masalah tersebut.

Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat

disimpulkan bahwa kemampuan berpikir adalah kesanggupan seseorang

dalam menggunakan akal budi untuk memformulasikan atau memecahkan

suatu masalah, membuat suatu keputusan, atau memenuhi hasrat

keingintahuan yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya.

b. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Dewey mendefinisikan berpikir kritis, sebagaimana dikutip oleh

Fisher, sebagai pertimbangan yang aktif, persistent (terus menerus) dan

teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima

begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan

kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi kecendrungannya.8

Berdasarkan dari definisi tersebut, Dewey ingin membedakan antara

„berpikir kritis‟ dengan „berpikir pasif‟. Bagi Dewey, berpikir kritis adalah

berpikir „aktif‟.

Dewey menunjukan dua ciri utama dari berpikir aktif, yakni berpikir

secara terus menerus dan teliti.9 Berdasarkan kedua hal tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berpikir kritis akan terus aktif

mengoptimalkan daya nalarnya dalam mencermati berbagai informasi atau

pengetahuan yang menjadi objek penalaranya sebelum menyimpulkannya

dan tidak mau menerima sesuatu begitu saja. Berbeda dengan seseorang

7

Ibid. 8

Fisher, op. cit., h. 2.

9

(30)

12

yang berpikir pasif, ia akan menerima begitu saja sebuah gagasan atau

informasi dari orang lain tanpa mempertimbangkanya.

Pendapat Dewey di atas mendapat penjelasan lebih lanjut oleh

Glaser mengenai berpikir kritis. Glaser mendefinisikan berpikir kritis,

sebagaimana dikutip oleh Fisher, sebagai :

(1) suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang; (2) pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis; dan (3) semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.10

Berangkat dari apa yang telah dikatakan Glaser, dapat dipahami

bahwa:

 Kemampuan berpikir kritis menuntut adanya usaha untuk menguji

keyakinan atau pengetahuan berdasarkan bukti pendukungnya. Hal

ini penting untuk menguji kesahihan dari kesimpulan atau

pengetahuan tersebut.

 Berpikir kritis juga menuntut adanya kemampuan untuk mengenali

mengidentifikasi, dan memahami persoalan serta menemukan solusi

atasnya. Kemampuan ini diperlukan agar seseorang dapat

mengumpulkan informasi atau data-data yang dibutuhkan untuk

memecahkan persoalan tersebut.

Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh Dewey dan

Glaser, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah kemampuan untuk

menguji keyakinan sebuah informasi atau pengetahuan berdasarkan bukti

pendukung dan kesimpulan–kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.

Berpikir kritis juga berkaitan dengan sikap atau disposisi untuk

menanggapi berbagai persoalan, menimbang berbagai persoalan tersebut

dalam jangkauan pengalaman dan kemampuan memikirkanya secara

mendalam.

10

(31)

Pada umumnya proses berpikir kritis terjadi dalam beragam situasi,

misalnya sosial, politik, keluarga, sekolah dan sebagainnya. Berpikir kritis

juga terjadi dalam situasi belajar khususnya dalam belajar matematika.

Glaser merumuskan berpikir kritis dalam matematika, sebagaimana

dikutip oleh Suwarman, sebagai kemampuan dan disposisi untuk

menyertakan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematika, dan strategi

kognitif untuk mengeneralisasi, membuktikan, atau mengevaluasi

situasi-situasi matematika yang tidak familiar secara reflektif.11 Menurut Glaser, berpikir kritis dapat dirujuk dari kombinasi pemecahan masalah,

penalaran, dan pembuktian matematika.12 Berpikir kritis matematika sebagai pemecahan masalah dengan solusi baik satu atau lebih. Penalaran

merupakan bagian dari berpikir kritis matematika yang melibatkan

pembentukan generalisasi, dan penarikan kesimpulan terhadap ide-ide dan

bagaimana ide-ide tersebut dihubungkan. Sehingga, dapat disimpulkan

bahwa berpikir kritis matematis adalah kemampuan untuk memahami

konsep matematika atau menentukan solusi dari permasalahan matematika

dengan menggunakan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematika dan

strategi kognitif secara reflektif.

c. Indikator Berpikir Kritis Matematis

Menurut Glaser, sebagaimana dikutip oleh Fisher bahwa terdapat

beberapa kemampuan dalam berpikir kritis, sebagai berikut :

(a) mengenal masalah, (b) menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah itu, (c) mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan, (d) mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan, (e) memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas, (f) menganalisis data, (g) menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan, (h) mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah, (i) menarik kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang diperlukan, (j) menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil, (k) menyusun kembali pola-pola

11

Suwarman. loc.cit. 12

(32)

14

keyakinan seseorang berdasarkan penglaman yang lebih luas; dan (l) membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari.13

Adapun indikator yang digunakan dalam mengukur kemampuan

berpikir kritis matematis dalam penelitian ini, meliputi:

1) Kemampuan mengenal masalah

Kemampuan mengenal masalah yang dimaksud adalah siswa

mampu menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan berdasarkan

informasi yang terdapat dalam masalah.

2) Kemampuan menemukan cara untuk menyelesaikan masalah

Kemampuan menemukan cara untuk menyelesaikan masalah yang

dimaksud adalah siswa mampu menuliskan langkah-langkah

penyelesaian masalah dengan benar dan sistematis.

3) Kemampuan mengenal adanya hubungan yang logis antara

masalah-masalah

Kemampuan mengenal adanya hubungan yang logis antara

masalah-masalah yang dimaksud adalah siswa mampu memberikan

penjelasan dengan benar mengenai hubungan antara informasi yang

terdapat dalam masalah dengan konsep yang digunakan untuk

menyelesaikan masalah, dan menuliskan konsep yang digunakan dalam

setiap langkah penyelesaian dengan benar dan tepat

4) Kemampuan menganalisis data

Kemampuan menganalisis data yang dimaksud adalah siswa

mampu menilai pernyataan dengan benar disertai alasan dengan tepat.

2. Metode IMPROVE

a. Metode IMPROVE

Metode IMPROVE merupakan metode yang didesain pertama kali

oleh Mevarech dan Kramarsky. Mereka mengatakan bahwa:

13

(33)

The methode involves three interdependent components: (a) facilitating both strategy acquisition and metacognitive processes; (b) learning in cooperative teams of four students with different prior knowledge:one high, two middle, and one low-achieving student; and (c) provision of feedback-corrective-enrichment that focuses on lower and higher cognitive processes.14

Metode IMPROVE terdiri dari tiga komponen yang saling

bergantungan: (a) memfasilitasi perolehan strategi dan proses

metakognitif; (b) belajar dalam tim-tim kooperatif terdiri dari empat siswa

dengan berbagai pengetahuan sebelumnya: satu tinggi, dua tengah dan satu

siswa pencapaian rendah; (c) penyediaan umpan balik korektif-pengayaan

yang memfokuskan pada proses kognitif yang lebih rendah dan lebih

tinggi.

Mevarech dan Kramarsky menyebutkan bahwa IMPROVE

merupakan akronim yang mempresentasikan semua tahap dalam metode

ini, yaitu:

Introducing new concepts, Metacognitive questioning, Practicing,

Reviewing and reducing difficulties, Obtaining mastery,

Verification, and Enrichment.15

Pertanyaan metakognitif menjadi kunci utama yang harus disajikan

oleh guru dalam metode ini. Menurut Kramarski dan Mizrachi pertanyaan

metakognitif meliputi, sebagai berikut:

1) The comprehension questions were designed to promp students to

reflect on the problem/task before solving it. In addressing a

comprehension question, students had to read the problem/task aloud,

describe the task in their own words and try to understand what the

14

Zemira R. Mevarech dan Bracha Kramarski, IMPROVE: A Multidimensional Method for Teaching Mathematics in Heterogeneous Classrooms, American Educational Research Journal, Vol. 34, 1997, h. 369.

(34)

16

task/concepts mean.16 Pertanyaan pemahaman mendorong siswa

membaca soal, menggambarkan suatu konsep dengan kata-kata sendiri,

dan mencoba memahami makna suatu konsep. Adapun contoh dari

pertanyaan pemahaman, yaitu: Keseluruhan masalah ini tentang apa?

2) The connection question were designed to prompt students to focus on

similarities and differences between the problem/task they work on and

the problem/task or set of problems/task taht they had already solved.17

Pertanyaan koneksi merupakan mendorong siswa untuk melihat

persamaan dan perbedaan suatu konsep/permasalahan. Adapun contoh

dari pertanyaan koneksi, yaitu: Apa persamaan dan perbedaan antara

permasalahan saat ini dengan permasalah yang telah dipecahkan

sebelumnya?

3) The strategic questions were designed to promp students to consiedr

which strategies are approriate for solving the given problem/task and

for what reasons.18 Pertanyaan strategi mendorong siswa untuk

mempertimbangkan strategi yang cocok dalam menyelesaikan masalah

yang diberikan serta menyertakan alasan pemilihan strategi tersebut.

Adapun contoh dari pertanyaan strategi, yaitu: Strategi, taktik atau

prinsip apa yang cocok untuk memecahkan masalah tersebut ?

4) The reflection questions were designed to promp srudents to reflect on

the understanding and feelings during the solution process.19

Pertanyaan refleksi merupakan pertanyaan yang mendorong siswa

untuk bertanya pada diri sendiri mengenai proses penyelesaian. Adapun

contoh dari pertanyaan refleksi, meliputi : “ what am I doing?”; “does it make sense?”; “What difficulties/feeling I face in solvingthe task?”;

16

Bracha Kramarski dan Nava Mizrachi, Enhancing Mathematical Literacy With The Use Of Metacognitive Guidance In Forum Discussion, Proceedings of the 28th Conference of the International Group for Psychology of Mathematics Education,Vol 3, 2004, h .171.

17 Ibid. 18

Ibid., h. 172

(35)

“How can I verify the solution?”; “Can I verify the solutin?”; “Can I use another approach for solving the task?”20

Menurut Mevarech dan Kramarski, “The metacognitive questions

were constructed and arranged to follow the 4-stage model of the

problem-solving process: orientation and problem identification, organization, execution, and evaluation.”21

Maksudnya, pertanyaan metakognisi dibangun

dengan berdasarkan 4 tahap proses pemecahan masalah yaitu orientasi dan

identifikasi masalah, organisasi, pelaksanaan dan evaluasi. Melalui

pertanyaan metakognitif ini diharapkan akan membantu siswa dalam

menyelesaikan permasalahan matematika.

Selain menekankan pada kegiatan metakognisi, metode IMPROVE

juga berorientasi pada interaksi dengan teman sebaya dan proses

sistematik umpan balik-perbaikan-pengayan. Interaksi dengan teman

sebaya merupakan salah satu kegiatan yang memberikan keuntungan bagi

siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikirnya. Melalui interaksi

ini, siswa dapat berbagi pendapat dan memperkaya pengetahuannya. Hal

ini didukung oleh Slavin yang mengatakan bahwa “Peer interaction

provide ample opportunies for students to articulate their though, explain

their mathematical reasoning.”22. Maksudnya, interaksi dengan teman sebaya memberikan banyak manfaat bagi siswa untuk mengungkapkan

pikiran mereka, dan menjelaskan pemahaman mereka. Sedangkan, proses

sistematik mengenai umpan balik-perbaikan-pengayaan

(feedback-corrective-enrichment), diberikan pada akhir setiap pertemuan. Pemberian

tes sebagai umpan balik untuk mengetahui penguasaan materi yang telah

dicapai siswa. Siswa yang belum mencapai kriteria keahlian pada tes

diberikan kegiatan perbaikan, sedangkan siswa yang telah mencapai

kriteria keahlian diberikan kegiatan pengayaan.

20

Ibid. 21

Kramarski, op. cit., h. 370.

(36)

18

Adapun tujuan diberikannya kegiatan perbaikan yaitu untuk

meningkatakan penguasaan terhadap bahan pelajaran yang diberikan oleh

guru, terutama untuk mengatasi kesulitan belajar yang dialami siswa.

Sedangkan kegiatan pengayaan dimaksud untuk meningkatkan dan

mempertahankan hasil belajar siswa yang telah dicapai serta sebagai salah

satu cara dalam mengembangkan potensi siswa secara optimal karena

dalam kegiatan ini, siswa diberi kesempatan untuk memperdalam dan

memperluas pengetahuannya.

Kegiatan perbaikan dan pengayaan diperlukan dalam rangka

ketuntasan belajar dan berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Hal ini

berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mavarech

menunjukkan bahwa Implementing feedback-corrective-enrichment

activities in either cooperative or individualized settings promoted higer

mathematics achievement than learning in cooperative/individualized

setting with no feedback-corrective-enrichment.23 Maksudnya, pelaksanaan kegiatan umpan balik korektif-pengayaan dalam pengaturan

kelompok ataupun individual lebih tinggi prestasi belajar matematikanya

daripada belajar dengan pengaturan kelompok atau individual tanpa umpan

balik korektif-pengayaan.

b. Teori Belajar yang Mendasari Metode IMPROVE

1) Teori Konstruktivisme

Teori konstruktivisme memahami belajar sebagai proses

pembentukan (konstruksi) pengetahuan. According to constructivist

theories, “learning occurs not by recording information but by interpreting it”.24 Maksudnya, bahwa belajar terjadi tidak dengan merekam informasi tetapi dengan menafsirkanya. Ketika siswa

menemukan informasi atau pengetahuan baru, mereka akan mencoba

untuk menghubungkanya dengan pengetahuan sebelumnya. Sementara

23

Ibid., h 371

24

(37)

Piaget, sebagaimana dikutip oleh Siregar dan Nara, mengemukakan bahwa

pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari

pengalamannya, proses pembentukan berjalan terus menerus dan setiap

kali terjadi rekonstruksi karena adanya pemahaman baru.25 Hal tersebut, senada dengan pendapat Trianto, yang mengatakan bahwa siswa harus

menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks,

mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya

apabila aturan tersebut tidak sesuai.26

Menurut teori ini, guru tidak dapat hanya sekedar memberikan

pengetahuan kepada siswa atau bukan lagi pemberi jawaban akhir atas

pertanyaan siswa, melainkan siswa harus membangun sendiri pengetahuan

dibenaknya. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawa

siswa ke pemahaman yang lebih tinggi dengan cara memberikan siswa

kesempatan untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri.

Kaitannya dengan pembelajaran matematika, Cobb mengatakan

sebagaimana dikutip oleh Suherman bahwa belajar matematika merupakan

proses dimana siswa secara aktif mengkonstruksikan pengetahuan

matematika.27 Guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa tetapi siswa harus membangun sendiri pengetahuan

dibenaknya

Mengingat bahwa konstruksi pengetahuan berkaitan dengan

pengetahuan sebelumnya, sehingga dengan menerapkan pembelajaran

kooperatif akan sangat menguntungkan bagi siswa karena keragaman

pengetahuan siswa dapat dimanfaatkan selama interaksi yang terjadi dalam

kelompok kecil sehingga siswa akan lebih mudah menemukan dan

memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling

mendiskusikan masalah tersebut dengan teman satu kelompok.

25

Eveline Siregar dan Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.39

26

Trianto, Model Pembelajaran Terpadu, (Jakarta : Bumi Aksara, 2010) Cet.2, h. 74.

27

(38)

20

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

konstruktivisme merupakan teori belajar yang mendorong siswa untuk

aktif dalam rangka menemukan sendiri pengetahuan atau suatu konsep,

sedangkan guru berfungsi sebagai fasilitator dalam rangka membimbing

siswa menemukan konsep tersebut. Melalui pembelajaran kooperatif akan

memudahkan siswa menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit

apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah tersebut dengan

anggota kelompoknya.

Kaitan antara konstruktivisme dengan metode IMPROVE, bahwa

metode ini dilandasi oleh teori konstruktivisme. Hal ini terlihat dari

implementasi pembelajaran konstruktivisme pada salah satu tahapan dalam

metode ini, yaitu pada tahap Introducing New Concepts (Mengenalkan

Konsep Baru). Guru tidak langsung memberikan suatu konsep baru secara

langsung, tetapi meminta siswa berpartisipasi secara aktif terhadap

kegiatan yang dilakukan guru dalam rangka menemukan konsep. Selain itu

pada tahap Introducing New Concept hingga tahap Review and reducing

siswa diminta duduk secara berkelompok dengan tujuan agar siswa dapat

berdiskusi dan bertukar pengetahuan sehingga memudahkan mereka

menemukan dan memahami konsep dengan baik.

2) Teori Metakognisi

Matlin menyatakan: ”metacognition is our knowledge, awareness,

and control of our cognitive process.”28

Maksudnya, metokognisi adalah

pengetahuan, kesadaran, dan kontrol terhadap proses kognitif yang terjadi

pada diri sendiri. Tidak berbeda jauh dengan pendapat Wellman yang

menyatakan bahwa “Metacognition is a form of cognition, a second or

higher order thinking process which involves active control over cognitive

processes. It can be simply defined as thinking about thinking or as a

28

(39)

„person‟s cognition about cognition.”29

Maksudnya, metakognisi sebagai

suatu bentuk kognisi, atau proses berpikir dua tingkat atau lebih yang

melibatkan pengendalian terhadap aktivitas kognitif. Karena itu,

metakognisi dapat dikatakan sebagai berpikir seseorang tentang

berpikirnya sendiri atau kognisi seseorang tentang kognisinya sendiri.

Menurut Schoenfeld, sebagaimana dikutip oleh Purnomo bahwa

metakognisi sebagai pemikiran tentang pemikiran sendiri merupakan

interaksi antara tiga aspek penting yaitu: pengetahuan tentang proses

berpikir sendiri, pengontrolan atau pengaturan diri, serta keyakinan dan

intuisi. 30 Interaksi ini sangat penting karena dengan pengetahuan yang dimiliki mengenai proses kognitif, dapat membantu untuk mengatur

hal-hal disekitar dan menyeleksi strategi-strategi untuk meningkatkan

kemampuan kognitif selanjutnya. Contohnya, ketika kita menyadari bahwa

kita sering lupa atau kurang memahami suatu konsep matematika dan kita

sadar bahwa konsep itu sulit dibandingkan dengan konsep lain, sehingga

kita perlu memilih cara tertentu, misalnya dengan menggaris bawahi

pengertian dan konsep tersebut yang sehingga dapat membantu kita

memahami dan mengingat yang kita lupa tadi.

Pengertian metakognisi yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas

sangat beragam, namun pada hakekatnya memberikan penekanan pada

kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri.

Metakognisi mempunyai kelebihan dimana seseorang mencoba

merenungkan cara berpikir atau merenungkan proses kognitif yang

dilakukannya. Dengan demikian aktivitas seperti merencanakan

bagaimana pendekatan yang diberikan pada tugas-tugas pembelajaran,

memonitor kemampuan dan mengevaluasi rencana dalam rangka

melaksanakan tugas merupakan sifat-sifat alami dari metakognisi. Kaitan

antara kemampuan metakognisi dengan strategi berpikir adalah bahwa

29

Khamim Thohari, Menyelesaikan Permasalahan Matematika dengan Metakognisi, 2014, h.4, tersedia : http://karinakiki.files.wordpress.com/2012/06/metakognisi.pdf.

30

(40)

22

kemampuan metakognisi menyediakan cara mengendalikan berpikir yang

pada akhirnya akan menghasilkan kemampuan dalam berpikir kritis

(critical thinking).31

Jika dikaitkan dengan proses belajar, kemampuan metakognisi adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol proses belajarnya, mulai dari tahap perencanan, memilih strategi yang tepat dan sesuai masalah yang dihadapi, kemudian memonitor kemajuan dalam belajar dan secara bersamaan mengoreksi jika ada kesalahan yang terjadi selama memahami konsep, menganalisis keefektifan dari strategi yang dipilih. Kemudian melakukan refleksi berupa mengubah kebiasaan belajar dan strateginya jika diperlukan, apabila

hal itu dipandang tidak cocok lagi dengan kebutuhan

lingkungannya.32

Menurut Flavell, sebagaiman dikutip oleh Purnomo, mengatakan

bahwa metakognisi terdiri dari pengetahuan metakognisi (metacognitive

knowledge) dan pengalaman atau regulasi metakognisi (metacognitive

exprience or regulation).33 Pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan yang digunakan untuk mengarahkan proses berpikir kita sendiri.

Pengarahan proses berpikir ini dapat dilakukan melalui aktivitas

perencanaan, pemonitoring dan pengevaluasian. Aktivitas-aktivitas ini

disebut juga sebagai strategi metakognisi atau keterampilan metakognisi

yang dapat membantu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Berkaitan dengan hubungan antara aktivitas metakognisi dengan

penyelesaian masalah matematika, beberapa peneliti, seperti halnya Yong

dan King, Panaoura dan Gama, sebagaiman dikutip oleh Purnomo

mengemukakan bahwa keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan

masalah turut dipengaruhi oleh aktivitas metakognisinya.34 Dalam proses penyelesaian masalah matematika terjadi intraksi antara aktivitas kognitif

dan metakognisi. Aktivitas kognitif terbatas pada bagaimana informasi

diproses untuk mencapai tujuan, sedangkan aktivitas metakognisi

penekanannya pada kesadaran seseorang terhadap apa yang dilakukannya.

31

Ibid., h.11

32

Ibid., h.10

33

Ibid., h. 7-8

34

(41)

Penyelesaian masalah akan diawali dengan bagaimana siswa mengenali

masalah tersebut, kemudian memutuskan bagaimana menyelesaikan

masalah tersebut sampai dengan bagaimana mengevaluasi hasil yang telah

dibuat. Jika dikaitkan dengan hubungannya dalam pembelajaran, Dawson

dan Fuhcer mengemukakan bahwa siswa-siswa yang menggunakan

metakognisinya dengan baik akan menjadi pemikir kritis, problem solver

yang baik, serta pengambil keputusan yang baik dari pada mereka tidak

menggunakan metakognisinya.35

Kaitan antara metakognisi dengan konstruksi pengetahuan bahwa

konstruksi pengetahuan merupakan proses kognitif internal yang dilakukan

oleh siswa secara individu, sehingga diperlukan suatu cara untuk melatih

siswa mengatur diri dalam pembelajaran. Menurut Mavarech dan

Kramarsky adalah :

One way is by formulating and answering questions that focus on informaion processing producere. Because knowledge construction occurs when individuals generate relationships between the newly encountered information and their prior knowledge.36

Maksudnya bahwa salah satu cara melatih siswa mengatur diri dalam

pembelajaran dengan merumuskan dan menjawab pertanyaan yang

berfokus pada prosedur pengelolahan informasi. Karena konstruksi

pengetahuan terjadi ketika individu menghasilkan hubungan antara

informasi yang baru ditemui dengan pengetahuan mereka sebelumnya.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut berfokus pada struktur masalah, hubungan

antara pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sebelumnya dan

strategi/taktik/prinsip-prinsip tertentu yang sesuai untuk memecahkan

masalah.

Kaitanya metakognisi dengan metode IMPROVE bahwa metakognisi

merupakan salah satu unsur utama dalam penerapan metode IMPROVE.

Hal ini terlihat pada beberapa tahapan dalam metode ini yang

memfasilitasi perolehan strategi dan proses metakognitif siswa, yaitu pada

35

Ibid., h.16

36

(42)

24

tahap Introducing New Concepts, siswa diminta menyelesaikan contoh

masalah yang telah diberikan dengan bantuan 3 kartu yang berisi

pertanyaan metakognisi. Pertanyaan tersebut meliputi pertanyaan

pemahaman, pertanyaan strategi dan pertanyaan koneksi. Selain itu pada

tahap Metacognitive questioning, Practicing, siswa kembali diminta

menyelesaikan Lembar Latihan Soal (LLS) yang didalamnya dilengkapi

pertanyaan metakognisi untuk membantu siswa menyelesaikan masalah.

c. Tahapan Metode IMPROVE

Berikut ini merupakan penjabaran sintak metode IMPROVE: 37

Introducing New Concepts (Memperkenalkan konsep baru)

Pengenalan konsep baru berorientasi pada pengetahuan awal siswa.

Dalam mengenalkan konsep baru, siswa difasilitasi dengan contoh

masalah dengan memberi pertanyaan metakognisi dalam kelompok

heterogen. Selama proses belajar, jika siswa mengalami kesulitan

dalam menjelaskan pertanyaan metakognisi di contoh masalah, guru

harus dapat mengarahkan agar siswa mamahami pertanyaan

metakognisi.

Metacognitive questioning, Practicing (Latihan yang disertai dengan

pertanyaan metakognisi)

Pada tahap ini siswa menyelesaikan contoh masalah yang telah

diberikan dengan bantuan pertanyaan metakognisi. Dari contoh soal

yang telah dibahas, siswa dipancing agar dapat mengeluarkan

pertanyaan-pertanyaan metakognitif yang apabila tidak dapat dijawab

oleh siswa lainnya, maka guru harus dapat menjelaskan dan

memberikan pemahaman agar siswa dapat berpikir secara

metakognitif.

37

(43)

Reviewing and reducing difficulties, Obtaining mastery

(Meninjau ulang, mengurangi kesulitan, dan memperoleh

pengetahuan)

Pada tahap ini dilakukan tinjauan ulang terhadap jawaban siswa serta

mengenai kekuatan dan kelemahan kinerja siswa dalam kerja sama

kelompok. Pada tahap ini pula seharusnya sudah dapat terlihat apakah

siswa telah menguasai materi secara menyeluruh atau belum,

termasuk juga peran dan kemampuan individu dalam kinerja

kelompok masing-masing.  Verification (Verifikasi)

Verifikasi dilakukan untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang

dikategorikan sudah mencapai kriteria keahlian dan yang belum

mencapai kriteria keahlian. Identifikasi pencapaian hasil dijadikan

umpan balik. Hasil umpan balik dipakai sebagai bahan orientasi

pemberian kegiatan pengayaan dan kegiatan perbaikan tahap

berikutnya.

Enrichment (Pengayaan)

Tahap pengayaan mencangkup dua jenis kegiatan, yaitu kegiatan

perbaikan dan kegiatan pengayaan. Kegiatan perbaikan diberikan

kepada siswa yang teridentifikasi belum mencapai kriteria keahlian,

sedang kegiatan pengayaan diberikan kepada siswa yang sudah

mencapai kriteria keahlian.

Metode IMPROVE mengharuskan siswa belajar dalam kelompok

heterogen yang terdiri dai siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah.

Oleh sebab itu, sebelum memulai pertemuan, seluruh siswa kelas

ekperimen diminta mengerjakan 6 butir soal. Soal tersebut merupakan soal

UASBN tahun 2013 mata pelajaran matematika yang berkaitan dengan

materi bilangan bulat dan bilangan pecahan. Nantinya hasil nilai tersebut

digunakan sebagai dasar dalam pembentukan kelompok heterogen pada

pertemuan pertama. Sedangkan, pada setiap pertemuan selanjutnya,

(44)

26

sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan heterogenitas

kelompok.

Adapun penjabaran langkah-langkah metode IMPROVE dalam

penelitian ini meliputi:

Tabel 2.1

Tahap Metode IMPROVE

Tahap Langkah-Langkah

Introducing

New Concepts

 Siswa diminta berpartisipasi terhadap kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam rangka menemukan konsep

 Guru mengarahkan siswa menarik kesimpulan berdasarkan hasil kegiatan.  Guru memberikan pengembangan materi berdasarkan kesimpulan  Siswa diminta duduk secara berkelompok berdasarkan kelompok

heterogen yang telah dibentuk oleh guru

 Guru memberikan contoh masalah berkaitan dengan materi yang dipelajari  Guru memberikan 3 kartu berisi pertanyaan metakognitif kepada

masing-masing kelompok

 Setiap kelompok diminta mendiskusikan dan mempresentasikan jawaban dari kartu yang berisi pertanyaan metakognitif dan penyelesaian masala

Referensi

Dokumen terkait

Pemasangan patok batas sudah sesuai Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional atau PMNA/KaBPN No.3 Tahun 1997 Pasal 22 ayat (1c). Sebelum

Adapun tujuan penelitian perbaikan pembelajaran adalah untuk meningkatkan hasil belajar mata pelajaran IPA dengan penerapan metode demonstrasi Siswa Kelas VI SD

22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam studi kasus tidak menggunakan helm oleh pengendara motor pada konvoi suporter Persebaya di wilayah hukum Polsek

Berbicara pada kekuatan struktur untuk rancangan alat desalinasi air laut.. ini, maka akan berbicara pada ketahanan alat ini sampai sebelum

Variabel Besar Pengaruh Langsung Tidak Langsung Tidak Langsung Melalui Total Motivasi Kerja 0.0676 0.1522 0.0221 Kepemimpinan 0.0363 Budaya Organisasi 0.0372

yang memiliki kesimpulan bahwa survey menunjukan banyak konsumen yang menyukai kopi yang dijual pada coffee shop yang sudah memiliki nama (kopi produk luar),

Pada tahap vital dalam proses kreatif dari sebuah perancangan tipografi, seorang desainer akan bertindak sebaga komunikator visual yang memiliki berbagai peluang mengontrol

Dari permasalahan tersebut, maka diperlukan suatu penelitian untuk mendapatkan pengaturan parameter proses pada mesin 3D Printer yang optimal dalam mendapatkan keakuratan