BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teoritik
3. Metode Konvensional
ekspositori
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan
dengan metode IMPROVE?
2. Bagaimana kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan
dengan metode konvensional?
3. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis siswa
yang diajarkan dengan metode IMPROVE dengan siswa yang diajarkan
dengan metode konvensional?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan dengan metode IMPROVE
2. Mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan dengan metode konvensional.
3. Mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang
diajarkan metode IMPROVE dengan siswa yang diajarkan metode
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis:
a. Salah satu alternatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa;
2. Manfaat praktis:
a. Bagi siswa
Melatih siswa meningkatkan kemampuan berpikir kritis
matematisnya
Merasakan pembelajaran yang berbeda dari pembelajaran biasanya
b. Bagi guru
Sebagai bahan pertimbangan dan sumber data bagi guru dalam
merumuskan metode pembelajaran terbaik untuk siswanya
Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat
dimanfaatkan bagi pelaksanaan pengajaran matematika disekolah c. Bagi peneliti
Sebagai referensi begi peneliti-peneliti lain yang ingin meneliti tentang metode IMPROVE.
10
BAB II
KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teoritik
1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
a. Kemampuan Berpikir
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemampuan berasal dari
kata “mampu” yang berarti sanggup.1 Kemampuan adalah suatu
kesanggupan dalam melakukan sesuatu.2 Seseorang dapat dikatakan
memiliki kemampuan apabila ia sanggup untuk melakukan sesuatu.
Arti kata dasar “pikir” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
akal budi, ingatan, angan-angan.3 Sedangkan, “berpikir” adalah
menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan sesuatu, menimbang-nimbang dalam ingatan.4
Ruggiero mengartikan berpikir, sebagaimana dikutip oleh Yuli, sebagai suatu aktivitas mental untuk membantu memformulasikan atau memecahkan suatu masalah, membuat suatu keputusan, atau memenuhi hasrat keingintahuan (fulfill a desire to understand).5 Ketika seseorang merumuskan atau memecahkan suatu masalah, membuat suatu keputusan ataupun memahami sesuatu, hal ini menunjukkan bahwa ia melakukan aktivitas berpikir.
Menurut Suryabrata, sebagaimana dikutip oleh Yuli, menyatakan bahwa berpikir merupakan proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya.6 Proses berpikir pada pokoknya terdiri dari 3 langkah, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia [online] tersedia kbbi.web.id, 2 Agustus 2014
2 Ibid. 3 Ibid. 4 Ibid. 5
Tatag Yuli, Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif, (Surabaya : Unesa University Press, 2008), h. 13.
6
penarikan kesimpulan.7 Hal ini menunjukan bahwa apabila seseorang dihadapkan pada masalah maka dalam proses berpikir orang tersebut akan menyusun hubungan antara bagian-bagian informasi yang direkam sebagai pengertian. Kemudian orang tersebut membentuk pendapat-pendapat yang sesuai dengan pengetahuannya. Setelah itu, akan membuat kesimpulan yang digunakan untuk mencari solusi dari masalah tersebut.
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir adalah kesanggupan seseorang dalam menggunakan akal budi untuk memformulasikan atau memecahkan suatu masalah, membuat suatu keputusan, atau memenuhi hasrat keingintahuan yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya.
b. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Dewey mendefinisikan berpikir kritis, sebagaimana dikutip oleh Fisher, sebagai pertimbangan yang aktif, persistent (terus menerus) dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan
kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi kecendrungannya.8
Berdasarkan dari definisi tersebut, Dewey ingin membedakan antara
„berpikir kritis‟ dengan „berpikir pasif‟. Bagi Dewey, berpikir kritis adalah
berpikir „aktif‟.
Dewey menunjukan dua ciri utama dari berpikir aktif, yakni berpikir secara terus menerus dan teliti.9 Berdasarkan kedua hal tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berpikir kritis akan terus aktif mengoptimalkan daya nalarnya dalam mencermati berbagai informasi atau pengetahuan yang menjadi objek penalaranya sebelum menyimpulkannya dan tidak mau menerima sesuatu begitu saja. Berbeda dengan seseorang
7
Ibid. 8
Fisher, op. cit., h. 2.
9
Kasdin Sihotang, dkk, Critical Thinking Membangun Pemikiran Logis, (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 2012). h.4
12
yang berpikir pasif, ia akan menerima begitu saja sebuah gagasan atau informasi dari orang lain tanpa mempertimbangkanya.
Pendapat Dewey di atas mendapat penjelasan lebih lanjut oleh Glaser mengenai berpikir kritis. Glaser mendefinisikan berpikir kritis, sebagaimana dikutip oleh Fisher, sebagai :
(1) suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang; (2) pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis; dan (3) semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.10
Berangkat dari apa yang telah dikatakan Glaser, dapat dipahami bahwa:
Kemampuan berpikir kritis menuntut adanya usaha untuk menguji
keyakinan atau pengetahuan berdasarkan bukti pendukungnya. Hal ini penting untuk menguji kesahihan dari kesimpulan atau pengetahuan tersebut.
Berpikir kritis juga menuntut adanya kemampuan untuk mengenali
mengidentifikasi, dan memahami persoalan serta menemukan solusi atasnya. Kemampuan ini diperlukan agar seseorang dapat mengumpulkan informasi atau data-data yang dibutuhkan untuk memecahkan persoalan tersebut.
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh Dewey dan Glaser, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah kemampuan untuk menguji keyakinan sebuah informasi atau pengetahuan berdasarkan bukti
pendukung dan kesimpulan–kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.
Berpikir kritis juga berkaitan dengan sikap atau disposisi untuk menanggapi berbagai persoalan, menimbang berbagai persoalan tersebut dalam jangkauan pengalaman dan kemampuan memikirkanya secara mendalam.
10
Pada umumnya proses berpikir kritis terjadi dalam beragam situasi, misalnya sosial, politik, keluarga, sekolah dan sebagainnya. Berpikir kritis juga terjadi dalam situasi belajar khususnya dalam belajar matematika.
Glaser merumuskan berpikir kritis dalam matematika, sebagaimana dikutip oleh Suwarman, sebagai kemampuan dan disposisi untuk menyertakan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematika, dan strategi kognitif untuk mengeneralisasi, membuktikan, atau mengevaluasi situasi-situasi matematika yang tidak familiar secara reflektif.11 Menurut Glaser, berpikir kritis dapat dirujuk dari kombinasi pemecahan masalah, penalaran, dan pembuktian matematika.12 Berpikir kritis matematika sebagai pemecahan masalah dengan solusi baik satu atau lebih. Penalaran merupakan bagian dari berpikir kritis matematika yang melibatkan pembentukan generalisasi, dan penarikan kesimpulan terhadap ide-ide dan bagaimana ide-ide tersebut dihubungkan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis matematis adalah kemampuan untuk memahami konsep matematika atau menentukan solusi dari permasalahan matematika dengan menggunakan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematika dan strategi kognitif secara reflektif.
c. Indikator Berpikir Kritis Matematis
Menurut Glaser, sebagaimana dikutip oleh Fisher bahwa terdapat beberapa kemampuan dalam berpikir kritis, sebagai berikut :
(a) mengenal masalah, (b) menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah itu, (c) mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan, (d) mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan, (e) memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas, (f) menganalisis data, (g) menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan, (h) mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah, (i) menarik kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang diperlukan, (j) menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil, (k) menyusun kembali pola-pola
11
Suwarman. loc.cit. 12
14
keyakinan seseorang berdasarkan penglaman yang lebih luas; dan (l) membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari.13
Adapun indikator yang digunakan dalam mengukur kemampuan berpikir kritis matematis dalam penelitian ini, meliputi:
1) Kemampuan mengenal masalah
Kemampuan mengenal masalah yang dimaksud adalah siswa mampu menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan berdasarkan informasi yang terdapat dalam masalah.
2) Kemampuan menemukan cara untuk menyelesaikan masalah
Kemampuan menemukan cara untuk menyelesaikan masalah yang
dimaksud adalah siswa mampu menuliskan langkah-langkah
penyelesaian masalah dengan benar dan sistematis.
3) Kemampuan mengenal adanya hubungan yang logis antara
masalah-masalah
Kemampuan mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah yang dimaksud adalah siswa mampu memberikan penjelasan dengan benar mengenai hubungan antara informasi yang terdapat dalam masalah dengan konsep yang digunakan untuk menyelesaikan masalah, dan menuliskan konsep yang digunakan dalam setiap langkah penyelesaian dengan benar dan tepat
4) Kemampuan menganalisis data
Kemampuan menganalisis data yang dimaksud adalah siswa mampu menilai pernyataan dengan benar disertai alasan dengan tepat.
2. Metode IMPROVE
a. Metode IMPROVE
Metode IMPROVE merupakan metode yang didesain pertama kali
oleh Mevarech dan Kramarsky. Mereka mengatakan bahwa:
13
The methode involves three interdependent components: (a) facilitating both strategy acquisition and metacognitive processes; (b) learning in cooperative teams of four students with different prior knowledge:one high, two middle, and one low-achieving student; and (c) provision of feedback-corrective-enrichment that focuses on lower and higher cognitive processes.14
Metode IMPROVE terdiri dari tiga komponen yang saling
bergantungan: (a) memfasilitasi perolehan strategi dan proses
metakognitif; (b) belajar dalam tim-tim kooperatif terdiri dari empat siswa dengan berbagai pengetahuan sebelumnya: satu tinggi, dua tengah dan satu siswa pencapaian rendah; (c) penyediaan umpan balik korektif-pengayaan yang memfokuskan pada proses kognitif yang lebih rendah dan lebih tinggi.
Mevarech dan Kramarsky menyebutkan bahwa IMPROVE
merupakan akronim yang mempresentasikan semua tahap dalam metode ini, yaitu:
Introducing new concepts, Metacognitive questioning, Practicing,
Reviewing and reducing difficulties, Obtaining mastery,
Verification, and Enrichment.15
Pertanyaan metakognitif menjadi kunci utama yang harus disajikan oleh guru dalam metode ini. Menurut Kramarski dan Mizrachi pertanyaan metakognitif meliputi, sebagai berikut:
1) The comprehension questions were designed to promp students to reflect on the problem/task before solving it. In addressing a comprehension question, students had to read the problem/task aloud, describe the task in their own words and try to understand what the
14
Zemira R. Mevarech dan Bracha Kramarski, IMPROVE: A Multidimensional Method for Teaching Mathematics in Heterogeneous Classrooms, American Educational Research Journal, Vol. 34, 1997, h. 369.
15 Ibid.
16
task/concepts mean.16 Pertanyaan pemahaman mendorong siswa membaca soal, menggambarkan suatu konsep dengan kata-kata sendiri, dan mencoba memahami makna suatu konsep. Adapun contoh dari pertanyaan pemahaman, yaitu: Keseluruhan masalah ini tentang apa? 2) The connection question were designed to prompt students to focus on
similarities and differences between the problem/task they work on and the problem/task or set of problems/task taht they had already solved.17 Pertanyaan koneksi merupakan mendorong siswa untuk melihat persamaan dan perbedaan suatu konsep/permasalahan. Adapun contoh dari pertanyaan koneksi, yaitu: Apa persamaan dan perbedaan antara permasalahan saat ini dengan permasalah yang telah dipecahkan sebelumnya?
3) The strategic questions were designed to promp students to consiedr which strategies are approriate for solving the given problem/task and for what reasons.18 Pertanyaan strategi mendorong siswa untuk mempertimbangkan strategi yang cocok dalam menyelesaikan masalah yang diberikan serta menyertakan alasan pemilihan strategi tersebut. Adapun contoh dari pertanyaan strategi, yaitu: Strategi, taktik atau prinsip apa yang cocok untuk memecahkan masalah tersebut ?
4) The reflection questions were designed to promp srudents to reflect on the understanding and feelings during the solution process.19 Pertanyaan refleksi merupakan pertanyaan yang mendorong siswa untuk bertanya pada diri sendiri mengenai proses penyelesaian. Adapun contoh dari pertanyaan refleksi, meliputi : “ what am I doing?”; “does it make sense?”; “What difficulties/feeling I face in solvingthe task?”;
16
Bracha Kramarski dan Nava Mizrachi, Enhancing Mathematical Literacy With The Use Of Metacognitive Guidance In Forum Discussion, Proceedings of the 28th Conference of the International Group for Psychology of Mathematics Education,Vol 3, 2004, h .171.
17 Ibid. 18 Ibid., h. 172 19 Ibid.
“How can I verify the solution?”; “Can I verify the solutin?”; “Can I use another approach for solving the task?”20
Menurut Mevarech dan Kramarski, “The metacognitive questions
were constructed and arranged to follow the 4-stage model of the problem-solving process: orientation and problem identification, organization, execution, and evaluation.”21
Maksudnya, pertanyaan metakognisi dibangun dengan berdasarkan 4 tahap proses pemecahan masalah yaitu orientasi dan identifikasi masalah, organisasi, pelaksanaan dan evaluasi. Melalui pertanyaan metakognitif ini diharapkan akan membantu siswa dalam menyelesaikan permasalahan matematika.
Selain menekankan pada kegiatan metakognisi, metode IMPROVE juga berorientasi pada interaksi dengan teman sebaya dan proses sistematik umpan balik-perbaikan-pengayan. Interaksi dengan teman sebaya merupakan salah satu kegiatan yang memberikan keuntungan bagi siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikirnya. Melalui interaksi ini, siswa dapat berbagi pendapat dan memperkaya pengetahuannya. Hal
ini didukung oleh Slavin yang mengatakan bahwa “Peer interaction
provide ample opportunies for students to articulate their though, explain their mathematical reasoning.”22
. Maksudnya, interaksi dengan teman sebaya memberikan banyak manfaat bagi siswa untuk mengungkapkan pikiran mereka, dan menjelaskan pemahaman mereka. Sedangkan, proses sistematik mengenai umpan balik-perbaikan-pengayaan (feedback-corrective-enrichment), diberikan pada akhir setiap pertemuan. Pemberian tes sebagai umpan balik untuk mengetahui penguasaan materi yang telah dicapai siswa. Siswa yang belum mencapai kriteria keahlian pada tes diberikan kegiatan perbaikan, sedangkan siswa yang telah mencapai kriteria keahlian diberikan kegiatan pengayaan.
20
Ibid. 21
Kramarski, op. cit., h. 370.
22 Ibid.
18
Adapun tujuan diberikannya kegiatan perbaikan yaitu untuk meningkatakan penguasaan terhadap bahan pelajaran yang diberikan oleh guru, terutama untuk mengatasi kesulitan belajar yang dialami siswa. Sedangkan kegiatan pengayaan dimaksud untuk meningkatkan dan mempertahankan hasil belajar siswa yang telah dicapai serta sebagai salah satu cara dalam mengembangkan potensi siswa secara optimal karena dalam kegiatan ini, siswa diberi kesempatan untuk memperdalam dan memperluas pengetahuannya.
Kegiatan perbaikan dan pengayaan diperlukan dalam rangka ketuntasan belajar dan berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Hal ini berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mavarech
menunjukkan bahwa Implementing feedback-corrective-enrichment
activities in either cooperative or individualized settings promoted higer mathematics achievement than learning in cooperative/individualized setting with no feedback-corrective-enrichment.23 Maksudnya, pelaksanaan kegiatan umpan balik korektif-pengayaan dalam pengaturan kelompok ataupun individual lebih tinggi prestasi belajar matematikanya daripada belajar dengan pengaturan kelompok atau individual tanpa umpan balik korektif-pengayaan.
b. Teori Belajar yang Mendasari Metode IMPROVE
1) Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme memahami belajar sebagai proses
pembentukan (konstruksi) pengetahuan. According to constructivist
theories, “learning occurs not by recording information but by interpreting it”.24
Maksudnya, bahwa belajar terjadi tidak dengan merekam informasi tetapi dengan menafsirkanya. Ketika siswa menemukan informasi atau pengetahuan baru, mereka akan mencoba untuk menghubungkanya dengan pengetahuan sebelumnya. Sementara
23
Ibid., h 371
24
Piaget, sebagaimana dikutip oleh Siregar dan Nara, mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalamannya, proses pembentukan berjalan terus menerus dan setiap kali terjadi rekonstruksi karena adanya pemahaman baru.25 Hal tersebut, senada dengan pendapat Trianto, yang mengatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan tersebut tidak sesuai.26
Menurut teori ini, guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa atau bukan lagi pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan siswa harus membangun sendiri pengetahuan dibenaknya. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi dengan cara memberikan siswa kesempatan untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri.
Kaitannya dengan pembelajaran matematika, Cobb mengatakan sebagaimana dikutip oleh Suherman bahwa belajar matematika merupakan proses dimana siswa secara aktif mengkonstruksikan pengetahuan matematika.27 Guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa tetapi siswa harus membangun sendiri pengetahuan dibenaknya
Mengingat bahwa konstruksi pengetahuan berkaitan dengan pengetahuan sebelumnya, sehingga dengan menerapkan pembelajaran kooperatif akan sangat menguntungkan bagi siswa karena keragaman pengetahuan siswa dapat dimanfaatkan selama interaksi yang terjadi dalam kelompok kecil sehingga siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah tersebut dengan teman satu kelompok.
25
Eveline Siregar dan Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.39
26
Trianto, Model Pembelajaran Terpadu, (Jakarta : Bumi Aksara, 2010) Cet.2, h. 74.
27
Erman Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, ( Bandung: JICA-UPI, 2001), h. 71
20
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme merupakan teori belajar yang mendorong siswa untuk aktif dalam rangka menemukan sendiri pengetahuan atau suatu konsep, sedangkan guru berfungsi sebagai fasilitator dalam rangka membimbing siswa menemukan konsep tersebut. Melalui pembelajaran kooperatif akan memudahkan siswa menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah tersebut dengan anggota kelompoknya.
Kaitan antara konstruktivisme dengan metode IMPROVE, bahwa
metode ini dilandasi oleh teori konstruktivisme. Hal ini terlihat dari implementasi pembelajaran konstruktivisme pada salah satu tahapan dalam metode ini, yaitu pada tahap Introducing New Concepts (Mengenalkan Konsep Baru). Guru tidak langsung memberikan suatu konsep baru secara langsung, tetapi meminta siswa berpartisipasi secara aktif terhadap kegiatan yang dilakukan guru dalam rangka menemukan konsep. Selain itu pada tahap Introducing New Concept hingga tahap Review and reducing siswa diminta duduk secara berkelompok dengan tujuan agar siswa dapat berdiskusi dan bertukar pengetahuan sehingga memudahkan mereka menemukan dan memahami konsep dengan baik.
2) Teori Metakognisi
Matlin menyatakan: ”metacognition is our knowledge, awareness,
and control of our cognitive process.”28
Maksudnya, metokognisi adalah pengetahuan, kesadaran, dan kontrol terhadap proses kognitif yang terjadi pada diri sendiri. Tidak berbeda jauh dengan pendapat Wellman yang
menyatakan bahwa “Metacognition is a form of cognition, a second or
higher order thinking process which involves active control over cognitive processes. It can be simply defined as thinking about thinking or as a
28
Dwi Purnomo, Proses Metakognisi dan Pemikiran Konsep dalam Matematika, 2014, h. 8, tersedia : http://dwipurnomoikipbu.files.wordpress.com/2014/02/makalah-tentang-proses-metakognisi.pdf.
„person‟s cognition about cognition.”29
Maksudnya, metakognisi sebagai
suatu bentuk kognisi, atau proses berpikir dua tingkat atau lebih yang melibatkan pengendalian terhadap aktivitas kognitif. Karena itu, metakognisi dapat dikatakan sebagai berpikir seseorang tentang berpikirnya sendiri atau kognisi seseorang tentang kognisinya sendiri.
Menurut Schoenfeld, sebagaimana dikutip oleh Purnomo bahwa metakognisi sebagai pemikiran tentang pemikiran sendiri merupakan interaksi antara tiga aspek penting yaitu: pengetahuan tentang proses berpikir sendiri, pengontrolan atau pengaturan diri, serta keyakinan dan intuisi. 30 Interaksi ini sangat penting karena dengan pengetahuan yang dimiliki mengenai proses kognitif, dapat membantu untuk mengatur hal-hal disekitar dan menyeleksi strategi-strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif selanjutnya. Contohnya, ketika kita menyadari bahwa kita sering lupa atau kurang memahami suatu konsep matematika dan kita sadar bahwa konsep itu sulit dibandingkan dengan konsep lain, sehingga kita perlu memilih cara tertentu, misalnya dengan menggaris bawahi pengertian dan konsep tersebut yang sehingga dapat membantu kita memahami dan mengingat yang kita lupa tadi.
Pengertian metakognisi yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas sangat beragam, namun pada hakekatnya memberikan penekanan pada kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri.
Metakognisi mempunyai kelebihan dimana seseorang mencoba
merenungkan cara berpikir atau merenungkan proses kognitif yang
dilakukannya. Dengan demikian aktivitas seperti merencanakan
bagaimana pendekatan yang diberikan pada tugas-tugas pembelajaran, memonitor kemampuan dan mengevaluasi rencana dalam rangka melaksanakan tugas merupakan sifat-sifat alami dari metakognisi. Kaitan antara kemampuan metakognisi dengan strategi berpikir adalah bahwa
29
Khamim Thohari, Menyelesaikan Permasalahan Matematika dengan Metakognisi, 2014, h.4, tersedia : http://karinakiki.files.wordpress.com/2012/06/metakognisi.pdf.
30
22
kemampuan metakognisi menyediakan cara mengendalikan berpikir yang pada akhirnya akan menghasilkan kemampuan dalam berpikir kritis (critical thinking).31
Jika dikaitkan dengan proses belajar, kemampuan metakognisi adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol proses belajarnya, mulai dari tahap perencanan, memilih strategi yang tepat dan sesuai masalah yang dihadapi, kemudian memonitor kemajuan dalam belajar dan secara bersamaan mengoreksi jika ada kesalahan yang terjadi selama memahami konsep, menganalisis keefektifan dari strategi yang dipilih. Kemudian melakukan refleksi berupa mengubah kebiasaan belajar dan strateginya jika diperlukan, apabila
hal itu dipandang tidak cocok lagi dengan kebutuhan
lingkungannya.32
Menurut Flavell, sebagaiman dikutip oleh Purnomo, mengatakan bahwa metakognisi terdiri dari pengetahuan metakognisi (metacognitive knowledge) dan pengalaman atau regulasi metakognisi (metacognitive exprience or regulation).33 Pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan yang digunakan untuk mengarahkan proses berpikir kita sendiri. Pengarahan proses berpikir ini dapat dilakukan melalui aktivitas perencanaan, pemonitoring dan pengevaluasian. Aktivitas-aktivitas ini disebut juga sebagai strategi metakognisi atau keterampilan metakognisi