SISWA SMA
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh :
FIKI ALGHADARI 1102623
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG
SISWA SMA
TESIS
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING
Pembimbing I
Prof. Dr. Utari Sumarmo.
Pembimbing II
Dr. Dadang Juandi, M.Si.
Diketahui oleh
Ketua Jurusan Pendidikan Matematika
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
KEMAMPUAN DAN DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMA
Oleh Fiki Alghadari
Sebuah tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Matematika
© Fiki Alghadari, 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
Juli 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul ”Pembelajaran
Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis
Matematik Siswa SMA” beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya
sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara
yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku. Atas pernyataan ini, saya
siap menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila di kemudian
hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini,
atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.
Bandung, Juli 2013
Yang Membuat Pernyataan
Assalamualaikum Wr.Wb
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, karena atas kehendak-Nyalah Penulis dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul “Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis Matematik Siswa SMA”
tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada
Rasulullah Muhammad SAW.
Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh Ujian Sidang Magister Pendidikan Jurusan Matematika FPMIPA UPI.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangannya, oleh
karena itu para pembaca diharapkan menanggapi dan memberikan kritik serta
saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini.
Semoga tesis ini dapat menambah ilmu pengetahuan serta wawasan
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca. Akhirnya kepada Allah
jugalah penulis mohon taufik hidayah, semoga usaha penulis ini mendapat
manfaat yang baik. Serta mendapat ridho dari Allah SWT. Amin ya rabbal alamin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bandung, Juni 2013
Dalam penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan,
sumbangan pikiran, dan dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih yang
sebesar-besarnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Utari Sumarmo, selaku dosen pembimbing I yang senantiasa
memberikan bimbingan ditengah kesibukannya. Terima kasih atas segala
bentuk bimbingan dan koreksinya sehingga membuat Penulis menjadi lebih
baik lagi.
2. Bapak Dr. Dadang Juandi, M.Si, selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Matematika sekaligus pembimbing II dan pembimbing akademik yang
senantiasa memberikan bimbingan di tengah kesibukannya. Terima kasih atas
segala bentuk bimbingan dan koreksinya sehingga membuat Penulis menjadi
lebih baik lagi.
3. Bapak Drs. Turmudi, M.Ed., M.Sc., Ph.D, selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Matematika SPs UPI.
4. Bapak Juanda serta staf jurusan dan fakultas yang senantiasa memotivasi
mahasiswa dan membantu menyelesaikan setiap urusan administrasi.
5. Bapak Basri, S.Pd, selaku Kepala Sekolah SMAN 2 Tanjungpandan Bangka
Belitung yang telah memberikan izin penelitian untuk penulisan tesis ini.
6. Bapak Suas, S.Pd, selaku guru bidang studi matematika SMAN 2
Tanjungpandan Bangka Belitung yang telah membantu dalam penelitian untuk
keperluan penulisan tesis ini.
7. Bapak Ardianto, S.Pd, selaku guru di SMAN 2 Tanjungpandan Bangka
Belitung yang juga membantu dalam proses izin untuk melakukan penelitian.
8. Seluruh siswa SMAN 2 Tanjungpandan Bangka Belitung yang telah
menerima dengan baik, selama penulis mengadakan penelitian.
9. Ayahanda dan Ibunda tercinta, yang telah memberikan motivasi, dukungan
11.Semua teman-teman mahasiswa S2 angkatan 2011 di Sekolah Pascasarjana
UPI Program Studi Matematika yang sama-sama berjuang dan memberikan
bantuan, sumbangan pemikiran serta dorongan dan motivasi.
12.Seluruh guru dan dosen yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih
atas seluruh ilmu bermanfaat yang telah diberikan semoga setiap titik ilmu
yang menyebar dari para siswa dan mahasiswanya menjadi titik-titik ilmu
yang lebih banyak dan berlipat sehingga bermanfaat dan menjadi ladang
kebaikan di akhirat nanti.
13.Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak mungkin penulis
sebutkan satu persatu.
Bandung, Juni 2013
SISWA SMA
Fiki Alghadari (1102623)
ABSTRAK
Latar belakang penelitian ini adalah pentingnya kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis siswa. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan disain kelompok kontrol non-ekivalen menggunakan teknik purposive
sampling. Kelas eksperimen mendapat pembelajaran matematika berbasis masalah
dan kelas kontrol mendapat pembelajaran konvensional. Instrumen yang digunakan berupa tes kemampuan berpikir kritis, dan skala disposisi berpikir kritis. Penelitian ini dilakukan di salah satu sekolah menengah atas. Populasi penelitian ini adalah siswa SMA dengan sampel penelitian adalah siswa kelas X SMA Negeri di Tanjungpandan Bangka Belitung, dengan responden penelitiannya adalah siswa kelas X sebanyak dua kelas, yaitu 23 siswa untuk kelas eksperimen dan 23 siswa untuk kelas kotrol, yang dipilih secara acak dari enam kelas yang ada. Analisis data kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis menggunakan uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapat pembelajaran matematika berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Analisis data skala disposisi berpikir kritis matematis memperlihatkan bahwa peningkatan disposisi berpikir kritis matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran berbasis masalah tidak berbeda dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Hasil uji kontingensi antara kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis menunjukan derajat asosiasi yang sangat rendah, dan uji hipotesis menghasilkan kesimpulan bahwa tidak terdapat asosiasi yang signifikan antara kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah memungkinkan menjadi alternatif untuk implementasik pembelajaran di SMA.
PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C.Tujuan Penelitian... 12
D.Manfaat Penelitian... 13
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 13
F. Hipotesis Penelitian ... 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Masalah dan Pemecahan-Masalah ... 15
B. Pembelajaran Berbasis-Masalah (PBM) ... 17
C.Konstruktivisme sebagai Landasan PBM ... 23
D.Teori Belajar Bermakna dan PBM ... 26
E. Kemampuan Berpikir Kritis ... 28
F. Disposisi Berpikir Kritis Matematik ... 34
G.Hubungan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 39
H.Penelitian yang Relevan ... 40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.Desain Penelitian ... 44
B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 45
C.Instrumen Penelitian ... 46
1. Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 46
a. Uji Validitas Tes ... 48
b. Uji Reliabilitas Tes ... 50
c. Uji Tingkat Kesukaran Tes ... 51
d. Uji Daya Pembeda Tes ... 52
2. Skala Disposisi Berpikir kritis Matematik... 54
a. Uji Validitas Skala ... 55
b. Uji Reliabilitas Skala ... 56
3. Lembar Observasi ... 57
D.Analisis Data ... 58
1. Perhitungan Statistik Deskriptif... 58
2. Perhitungan N-Gain ... 58
6. Uji Asosiasi... 62
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian dan Analisis Data ... 65
1. Analisis Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis... 65
a. Uji Normalitas Distribusi ... 67
b. Uji Homogenitas Varians ... 69
c. Uji Perbedaan Rata-rata ... 71
2. Analisis Peningkatan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis . 73 a. Uji Normalitas Distribusi ... 75
b. Uji Homogenitas Varians ... 76
c. Uji Perbedaan Rata-rata ... 78
3. Asosiasi antara Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 80
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 82
1. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis... 82
2. Peningkatan Disposisi Berpikir Kritis ... 86
3. Asosiasi antara Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 88
C.Aktivitas Guru dan Siswa ... 90
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A.Kesimpulan... 83
B. Implikasi ... 94
C.Rekomendasi ... 95
DAFTAR PUSTAKA ... 98
LAMPIRAN-LAMPIRAN LAMPIRAN A: INSTRUMEN PENELITIAN ... 104
LAMPIRAN B: ANALISIS HASIL UJI COBA INSTRUMEN ... 177
LAMPIRAN C: ANALISIS DATA KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS ... 182
Tabel
3.1 Pedoman Pemberian Skor Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 47
3.2 Interpretasi Koefisien Validitas ... 49
3.3 Hasil Uji Validitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 49
3.4 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas ... 50
3.5 Klasifikasi Koefisien Indeks Kesukaran... 52
3.6 Hasil Analisis Indeks Kesukaran Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 52
3.7 Klasifikasi Koefisien Daya Pembeda ... 53
3.8 Hasil Analisis Daya Pembeda Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 54
3.9 Kriteria Kategori Disposisi Berpikir Kritis ... 55
3.10 Rekapitulasi Hasil Uji Validitas Skala Disposisi Berpikir Kritis ... 55
3.11 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas ... 56
3.12 Kriteria Indeks Gain ... 58
3.13 Klasifikasi Koefisien Kontingensi ... 63
4.1 Rata-rata dan Standar Deviasi Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 65
4.2 Hasil Uji Normalitas Distribusi Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis . 68 4.3 Hasil Uji Homogenitas Varians Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis 70 4.4 Hasil Uji Perbedaan Rata-rata Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 72
4.5 Hasil Uji Normalitas Distribusi N-Gain Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 76
4.6 Hasil Uji Homogenitas Varians N-Gain Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 77
4.7 Hasil Uji Perbedaan Rata-rata N-Gain Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 79
4.8 Kontingensi Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 81
LAMPIRAN A: INSTRUMEN PENELITIAN
A.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Bahan Ajar ... 104
A.2 Lembar Observasi Proses Pembelajaran Berbasis Masalah ... 147
A.3 Kisi-kisi Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 170
A.4 Tes Kemampuan Berpikir Kritis... 171
A.5 Jawaban Alternatif dan Penilaian Tes Kemampuan Berpikir Kritis... 172
A.6 Kisi-kisi Skala Disposisi Berpikir Kritis Matematik ... 174
A.7 Skala Disposisi Berpikir Kritis Matematik ... 175
LAMPIRAN B: ANALISIS HASIL UJI COBA INSTRUMEN B.1 Validitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 177
B.2 Reliabilitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 178
B.3 Daya Pembeda Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 179
B.4 Indeks Kesukaran Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 179
B.5 Hasil Uji Coba Disposisi Berpikir Kritis Matematik ... 180
B.6 Reliabilitas Disposisi Berpikir Kritis Matematik... 181
LAMPIRAN C: ANALISIS DATA KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS C.1 Skor Pretes, Postes dan N-Gain Kelompok Eksperimen ... 182
C.2 Skor Pretes, Postes dan N-Gain Kelompok Kontrol ... 183
C.3 Statistik Deskriptif Pretes, Postes, dan N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 184
C.4 Uji Normalitas Skor Pretes, Postes, dan N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 185
C.5 Uji Hipotesis Skor Pretes, Postes, dan N-Gain ... 186
LAMPIRAN D: ANALISIS DATA DISPOSISI BERPIKIR KRITIS D.1 Data Preskala dan Posskala Kelas Eksperimen ... 187
D.2 Data Preskala dan Posskala Kelas Kontrol ... 188
D.3 Rekapitulasi Skor Preskala, Posskala dan N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 189
D.4 Statistik Deskriptif Preskala, Posskala dan N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 190
D.5 Uji Normalitas Preskala, Posskala dan N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 191
D.6 Uji Hipotesis Preskala, Posskala dan N-Gain ... 192
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Matematika merupakan mata pelajaran pokok mulai dari sekolah dasar
sampai perguruan tinggi, baik di sekolah yang berbasis agama maupun berbasis
umum. Matematika merupakan suatu disiplin ilmu yang mempunyai kekhususan
dibanding dengan ilmu pengetahuan lain. Untuk mengetahui kekhususan bidang
ilmu ini, haruslah memahami hakikatnya, dan kemampuan belajar yang menjadi
penentu dalam pemahaman. Tanpa memperhatikan faktor penentu tersebut tujuan
belajar menjadi sulit tercapai. Seorang dikatakan belajar bila diasumsikan dalam
diri orang itu ada kegiatan yang mengakibatkan suatu perubahan pada tingkah
lakunya. Perubahan tingkah laku dapat diamati dari seorang melalui penilaian
pada kemampuan masing-masing. Proses belajar-mengajar akan mengakibatkan
perubahan pada tingkah laku. Proses belajar-mengajar juga dipengaruhi oleh
faktor yang akan menentukan keberhasilan siswa.
Menurut teori yang dikemukakan oleh Bruner (Suherman, dkk., 2001),
belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada
konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam materi yang diajarkan.
Jadi belajar merupakan proses untuk menemukan pola dan struktur materi,
kemudian memahami konsep yang termuat dalam pola-pola dan struktur itu.
Konsentrasi siswa pada materi pembelajaran akan membantu mereka
mengembangkan fakta-fakta, selanjutnya dari fakta tersebut siswa menemukan
sendiri pola dan struktur dari konsep-konsep materi.
Matematika merupakan pelajaran yang dapat menumbuhkembangkan
berbagai kemampuan siswa. Kemampuan siswa untuk menemukan struktur
konsep-konsep materi belajar, sehingga dengan kemampuan tersebut siswa akan
mampu untuk berpikir matematis dan meningkatkan kemampuan lainya seperti
yang termuat dalam National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000)
yaitu diantaranya adalah problem solving, reasoning and proof, communication,
Lebih lanjut, siswa diharapkan memiliki kemampuan matematis seperti
yang termuat dalam permendiknas No.22 tahun 2006, bahwa pelajaran
matematika SMA bertujuan agar: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan
keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara
luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan-masalah; (2) Menggunakan
penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika; (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh; (4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,
diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) Memiliki
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa
ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet
dan percaya diri dalam pemecahan-masalah (Shadiq, 2009).
Secara umum ada dua macam objek yang berkaitan dengan tujuan
pembelajaran matematika, yaitu objek langsung dan objek tidak langsung. Objek
langsung berkaitan dengan fakta, konsep, prinsip, dan skill matematika. Objek
tidak langsung berkaitan dengan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah,
alih belajar (transfer of learning), menyelidiki, kreatif, bersifat kritis, teliti, dan
pengembangan sikap positif lainnya (Krismanto, 2003; Peter, 2012). Sesuai
dengan tujuan tersebut, maka setelah dilakukan proses pembelajaran kepada siswa
diharapkan dapat memahami dan bersifat kritis (berpikir kritis), sehingga dapat
menggunakan kemampuan tersebut dalam menghadapi masalah-masalah
matematis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berpikir kritis merupakan
bagian kemampuan yang penting dalam belajar matematika.
Dalam proses belajar, prinsip harus terlebih dahulu dipilih, sehingga
sewaktu mempelajari matematika dapat berlangsung dengan lancar. Ini berarti
mempelajari matematika haruslah bertahap dan berurutan serta mendasarkan pada
pengalaman belajar yang terdahulu. Untuk mencapai pemahaman belajar, siswa
menempuh sejumlah proses pemodelan, atau penyusunan skema, proses
formal. Dengan kata lain, belajar matematika didasarkan pada penggunaan dan
penerapan konsep matematis sebelumnya. Menerapkan konsep-konsep matematis
yang telah dipelajari sebelumnya dengan jalan yang terstruktur secara sistematis,
yaitu suatu proses pembelajaran untuk membangun pemahaman baru. Ini
melandaskan pada paham konstruktivisme.
Pembelajaran matematika akan membantu siswa untuk membangun
konsep-konsep matematis dengan kemampuannya sendiri melalui proses
internalisasi sehingga konsep itu terbangun kembali. Tranformasi pengetahuan
yang diperoleh akan membentuk konsep-konsep baru. Dengan demikian
pembelajaran matematika adalah pembelajaran yang membangun pemahaman,
yaitu pemahaman untuk memecahkan/menyelesaikan berbagai masalah-masalah
matematis baik yang rutin maupun yang non-rutin.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyudin (Dahlan, 2003), ditemukan
bahwa siswa kurang memiliki pengetahuan materi prasyarat yang baik, kurang
memiliki kemampuan untuk memahami serta mengenali konsep-konsep dasar
matematika, kurang memiliki kemampuan dan ketelitian dalam menyimak atau
mengenali sebuah persoalan matematika, kurang memiliki kemampuan menyimak
kembali sebuah jawaban yang diperoleh (apakah jawaban itu mungkin/tidak),
kurang memiliki kemampuan bernalar yang logis dalam menyelesaikan persoalan
atau soal-soal matematika.
Lebih lanjut, Sumarmo (2006) mengemukakan bahwa pembelajaran
matematika hendaknya mengutamakan perkembangan daya matematis siswa,
yaitu meliputi: kemampuan menggali konsep matematika, menyusun konjektur
dan nalar secara logis, menyelesaikan soal non-rutin, menyelesaikan masalah,
berkomunikasi secara matematika, dan mengaitkan ide matematika dengan
kegiatan intelektual lainnya.
Sesuai hasil penelitian tersebut, mengindikasikan kelemahan siswa pada
kemampuan matematis, yaitu ditandai dengan adanya kekeliruan pada
penyelesaian masalah matematis. Beberapa ahli menggolongkan jenis kesalahan
yang sering dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal diantaranya; salah dalam
penggunaan operasi hitung, algoritma yang tidak sempurna, serta mengerjakan
dengan serampangan (Widdiharto, 2008). Semua jenis kesalahan tersebut berawal
dari pemahaman siswa terhadap konsep matematis yang kurang mereka kuasai
saat memecahkan masalah. Padahal dengan mengerjakan soal-soal latihan maka
pemahaman konsep/prinsip akan semakin mantap (Krismanto, 2003). Akan tetapi,
tetap saja menjadi percuma apabila siswa hanya berlatih mengerjakan soal tanpa
memiliki pengetahuan dan pemahaman pada konsep–konsep matematis sebagai
fondasi atau dasar untuk memecahkan masalah.
Siswa mengalami kesulitan memecahkan masalah matematis karena siswa
kurang memahami pelajaran, dan kadang-kadang bahkan seringkali dialami
bahwa konsep yang disampaikan guru tidak sampai kepada pemahaman siswa.
Karena tidak paham pada konsep pelajaran, maka siswa akan tetap terus
mengalami kesulitan dan sampai pada akhirnya mengalami ketinggalan serta
kehilangan informasi ketika pelajaran dilanjutkan pada pembahasan berikutnya.
Padahal pemahaman sangat penting dalam belajar karena pemahaman merupakan
kemampuan syarat untuk siswa berpikir kritis. Berdasarkan temuan dari hasil
penelitian, Bransford, et al. (NCTM, 2000) menyimpulkan bahwa pemahaman
merupakan komponen penting dari kemampuan yang dimiliki siswa.
Dalam diskusi dari hasil penelitian disertasi yang dilakukan oleh Attorps
(2006), menyebutkan bahwa dengan siswa memahami konsep, menggunakan
rumus dan persamaan matematis sebagai alat untuk memecahan masalah, maka
siswa akan mampu mengembangkan pengetahuan dan kemampuan mereka. Jadi,
adanya rumus matematis bukan hanya sebagai penyedia kebutuhan siswa untuk
memecahkan masalah saja, akan tetapi rumus matematis juga digunakan untuk
mengembangkan kemampuan pemahaman pada konsep dasar matematis. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Shadiq (2009), bahwa pemahaman merupakan
kompetensi yang ditunjukkan siswa dalam memahami konsep dan dalam
melakukan prosedur (algoritma) secara luwes, akurat, efisien, dan tepat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mencapai tujuan dan prinsip-prinsip
dalam kegiatan pembelajaran tidak cukup hanya dengan memecahkan masalah
adanya siswa yang mengalami masalah dalam mencapai indikator keberhasilan
dan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut, juga dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan dan
pencapaian tujuan pembelajaran matematika yang diharapkan, tentu banyak cara
yang perlu ditempuh setiap guru mata pelajaran. Salah satu diantaranya yaitu
dengan guru mengajukan masalah kontekstual yang relevan dengan materi yang
akan dipelajari, kemudian siswa memperoleh pemahaman dari pemecahan
masalah yang ditemukan. Teknik pembelajaran seperti ini dinamakan dengan
pembelajaran berbasis masalah.
Penelitian yang dilakukannya Sugandi (2010) menyimpulkan bahwa,
faktor pendekatan pembelajaran lebih berperan daripada faktor tingkat
kemampuan awal siswa, dan peringkat sekolah dalam menghasilkan kemampuan
matematis tingkat tinggi siswa. Pembelajaran berbasis masalah merupakan
pendekatan pembelajaran yang diimplementasikan dalam penelitian tersebut.
Pembelajaran berbasis masalah adalah siswa belajar dari masalah, siswa
menemukan pemecahan masalah, dan siswa memperoleh pemahaman. Siswa
memahami materi belajar melalui konstruksi pengetahuan sendiri sehingga
menjadi belajar bemakna.
Walaupun kemampuan matematis tingkat tinggi tidak setara dengan
kemampuan berpikir kritis, akan tetapi semua komponen berpikir tingkat tinggi
termuat dalam berpikir kritis (Sumarmo, dkk., 2012). Bercermin dari kesimpulan
hasil penelitian Sugandi (2010), jika siswa belajar berdasarkan masalah akan
meningkatkan pemahaman pada materi belajar, maka akan terlihat perbedaan pada
tingkat pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan yang diperoleh akan dipahami
secara mendalam karena PBM mendorong siswa sendiri yang melakukannya
untuk: memperoleh pengetahuan dan pemahaman konsep, mencapai berpikir
kritis, memiliki kemandirian belajar, keterampilan berpartisipasi dalam kerja
kelompok, dan kemampuan pemecahan masalah (Sumarmo, dkk., 2012).
Bukan berarti pembelajaran tradisional atau konvensional tidak mampu
meningkatkan pemahaman dan kemampuan berpikir mereka. Tetapi, akan lebih
matematika seperti menerapkan pembelajaran berbasis masalah, maka diharapkan
siswa mampu memecahkan masalah nonrutin yang sebelumnya dirasakan sulit.
Masalah yang sulit akan menjadi lebih sederhana dan memudahkan siswa dalam
mengingat kembali, ketika menghadapi masalah yang sama tetapi dalam bentuk
yang berbeda. Dikarenakan masalah yang diajukan dibuat dalam bentuk
kontekstual, maka akan menghadirkan pengalaman bermakna bagi siswa dengan
belajar berlandaskan paham konstruktivisme.
Ketika siswa berusaha memecahkan masalah, dibutuhkan kegigihan dalam
menghadapi dan menyelesaikan masalah dengan gairah dan perhatian yang serius,
tekun dalam mengerjakannya, rasa ingin tahu, dan percaya diri. Fleksibel dalam
menggunakan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, dan mencari metode
penyelesaian alternatif juga tidak kalah penting dalam usaha menemukan
penyelesaian masalah. Semua kebutuhan pereti tersebut dalam usaha memecahkan
masalah merupakan bagian indikator disposisi matematis yang dikemukakan
Polking (Sumarmo, 2011). Lebih lanjut, juga merupakan karakteristik atau ciri
disposisi berpikir kritis yang ditelaah Ennis (Sumarmo, 2011), yaitu mencari
berbagai alternatif, bersikap terbuka, dan bertindak cepat. Dengan demikian,
pentingnya memiliki disposisi matematis sekaligus disposisi berpikir kritis
merupakan keutamaan dalam kehidupan sehari-hari untuk memecahkan masalah
(Saurino, 2008).
Sumarmo, (2011) mendefinisikan disposisi yaitu keinginan, kesadaran,
dedikasi, dan kecenderungan yang kuat pada siswa untuk merefleksi pemikiran
secara fleksibel dalam mengeksplorasi ide-ide matematis untuk menyelesaikan
masalah, serta berperilaku secara positif, sadar, dan teratur. Kilpatrick, et al.
(2001) mengistilahkan sikap ini sebagai productive disposition (sikap disposisi).
Disposisi berpikir kritis adalah penggunaan kemampuan/strategi untuk
meningkatkan kemungkinan hasil yang diinginkan (Halpern, 1998). Dalam hal ini,
matematika sebagai sarana untuk siswa menumbuhkan sikap tersebut. Pentingnya
mengembangkan sikap positif terhadap matematika termuat dalam tujuan
pembelajaran KTSP butir kelima, yaitu memiliki sikap menghargai kegunaan
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan-masalah (Dewanti, 2011; Shadiq, 2008; Sumarmo, 2011).
Menyelesaikan masalah dibutuhkan pula kemampuan yang bisa mengatasi
secara efektif situasi sulit, tidak nyaman, bahkan berbahaya. Kemampuan tersebut
merupakan karakter dari siswa itu sendiri. Karakter menuntut kecerdasan otak,
dan indikator kecerdasan otak diantaranya yaitu berilmu, berpikir logis dan kritis
(Dewanti, 2011). Oleh karena bermanfaat supaya siswa mampu dalam
memecahkan masalah-masalah matematis, maka dari itu perlunya dikembangkan
kemampuan berpikir kritis mereka. Selain itu, pentingnya siswa mengembangkan
kemampuan berpikir kritis karena merupakan salah satu objek tidak langsung dari
tujuan pembelajaran matematika (Krismanto, 2003; Peter, 2012).
Pada pembelajaran matematika di kelas, tidak sedikit siswa yang
ditemukan tidak berdaya dalam usaha memecahkan masalah-masalah matematis.
Sebagai contoh, seperti soal-soal pembuktian yaitu khususnya pada materi
identitas trigonometri. Langkah pengerjaan dan penyelesaian untuk soal-soal
pembuktian dilakukan melalui proses analisis dan evaluasi asumsi. Pola
penyelesaian yang dikembangkan matematika seperti dijelaskan di atas,
merupakan kemampuan yang memang membutuhkan dan melibatkan pemikiran
kritis, sistematis, logis (Shadiq, 2004).
Banyaknya masalah-masalah matematis yang memerlukan pemecahan
dengan cara atau teknik baru menuntut adanya kehadiran inovasi pembelajaran.
Pada umumnya pembelajaran matematika di sekolah masih menekankan pada
hafalan dan mencari jawaban dari soal-soal yang sifatnya rutin atau prosedural
(Ibrahim, 2011). Fakta seperti ini memberikan petunjuk untuk segera melakukan
perbaikan atas kelemahan pembelajaran, sehingga pengembangan kemampuan
berpikir kritis sangat mungkin untuk dikembangkan dalam pembelajaran
matematika. Apalagi diwaktu sekarang ini, yaitu pada era global dan era
perdagangan bebas, kemampuan berpikir kritis, kreatif, logis, dan rasional
semakin dibutuhkan (Shadiq, 2004).
Semakin banyak materi pelajaran yang harus dipahami siswa untuk suatu
pemikiran yang kritis dengan pemahaman konsep yang baik dari materi yang telah
disampaikan guru, maka siswa akan mudah untuk menyelesaikan masalah atau
soal-soal matematika sekalipun disajikan dalam bentuk yang berbeda, sehingga
kemampuan matematis dan hasil belajar siswa juga akan mengalami peningkatan
yang lebih baik.
Hasil belajar seorang atau sekelompok siswa kadang-kadang di bawah
rata-rata bila dibandingkan dengan hasil belajar teman-teman sekelasnya. Hasil
belajar matematika siswa juga dipengaruhi kemampuan berpikir dan pemahaman
matematis siswa terhadap materi pelajaran. Hal seperti inilah yang perlu mendapat
perhatian guru untuk memberikan pembelajaran berbasis masalah kepada siswa.
Seperti yang dikemukakan Peled (2008) bahwa pentingnya pemecahan-masalah
dalam rangka meningkatkan motivasi belajar, meningkatkan kemampuan berpikir
siswa khususnya berpikir kritis, dan juga mengembangkan pemahaman pada
konsep-konsep matematis. Lebih lanjut, siswa diharapkan memiliki sikap positif
dalam memecahkan masalah-masalah matematis (Dewanti, 2011). Berdasarkan
pernyataan tersebut, juga merupakan sebagian dari alasan penelitian, maka
pembelajaran berbasis masalah sangat perlu untuk diterapkan.
Dalam praktek pembelajaran di sekolah yang memakai sistem klasikal,
seluruh siswa dipandang sebagai suatu kelompok besar yang diharapkan dapat
mengembangkan diri dan mencapai tujuan pelajaran secara bersama-sama, dan
dianggap memiliki kemampuan atau potensial yang sama pula. Padahal
kenyataannya siswa itu mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda,
seperti halnya dalam mencapai tujuan pembelajaran, ada siswa yang dapat
menguasai pelajaran secara mudah, namun ada pula siswa yang lambat dalam
menguasai pelajaran dan akan berakibat mengalami hambatan atau kesulitan
dalam memecahkan masalah, kemudian berikutnya akan menghambat pula
terhadap pencapaian tujuan dari proses tujuan belajarnya.
Kesulitan belajar sebagai masalah adalah terletak dalam hal hambatan ini,
yaitu akibat-akibat yang mungkin akan timbul baik terhadap dirinya maupun
lingkungan bila hambatan ini tidak segera diatasi. Oleh karena itu, adanya
menuntut adanya suatu rencana demi meningkatkan kemampuan dan sikap positif
siswa untuk berprestasi dalam matematika.
Dalam rencana mengatasi kesulitan siswa memecahkan masalah,
meningkatkan mutu pendidikan matematika yang selama ini boleh dikatakan
masih rendah, menimbulkan kebiasaan berpikir untuk mengkritisi, juga untuk
menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika, dapat dilakukan dengan
beberapa cara antara lain menggunakan pendekatan pembelajaran yang sesuai
ataupun memberdayakan kualitas kemampuan guru agar memiliki dasar yang
mantap sehingga dapat mentransfer ilmu dalam mempersiapkan mutu sumber
daya manusia. Melakukan transfer ilmu dengan memodelkan matematika yang
mungkin dari konteks yang ada, dengan cara menghubungkan variabel-variabel
untuk menemukan kembali konsep-konsep matematis terdahulu dan mendapatkan
rumusan (formula) ataupun mendapatkan suatu prosedur merupakan salah satu
contoh teknis dalam melaksanakan pembelajaran.
Sebagai studi literatur, implementasi pemecahan-masalah dalam
kurikulum matematika telah direalisasikan di Singapura sejak tahun 1992.
Singapura telah menjadikan pemecahan-masalah sebagai pusat kerangka
pembelajaran matematika. Hasil positif telah ditunjukan Singapura dengan
konsisten menempati peringkat satu pada penilaian Trends in International
Mathematics and Science Study (TIMSS) selama tiga tahun berturut-turut yaitu
1995, 1999, dan 2003 (Rudder, 2006). TIMSS mengukur kemampuan literasi
matematis, yaitu kemampuan merumuskan, menerapkan dan menafsirkan
matematika dalam berbagai konteks; kemampuan melakukan penalaran secara
matematis dan menggunakan konsep, prosedur, dan fakta untuk menggambarkan,
menjelaskan atau memperkirakan fenomena/kejadian (Wardhani dan Rumiati,
2011). Melihat indikator kemampuan literasi matematis tersebut, maka erat
kaitannya dengan kemampuan berpikir kritis.
Bergulirnya pemecahan-masalah dalam kurikulum matematika maka akan
tergerak dan berkembangnya kemampuan siswa, sehingga pemecahan-masalah
dipandang sangat penting untuk diterapkan sebagai focus kurikulum matematika
Jaipal-Jamani (2011) bahwa pemecahan-masalah merupakan salah satu
pembaruan yang efektif dalam belajar dan mengajar matematika. Maka,
pemecahan-masalah dalam matematika merupakan kunci untuk menjadikan
pembelajaran menjadi efektif dalam rangka mengatasi kesulitan siswa
menyelesaikan masalah-masalah matematis.
Dalam menjelaskan konsep baru atau membuat kaitan antara materi yang
telah dikuasai siswa dengan bahan yang disajikan dalam pelajaran matematika,
akan membuat siswa siap mental untuk memasuki persoalan-persoalan yang akan
dibicarakan dan juga dapat meningkatkan minat dan prestasi siswa terhadap
materi pelajaran matematika. Sehubungan dengan itu, kegiatan belajar-mengajar
matematika yang terputus-putus dapat mengganggu proses belajar-mengajar ini
berarti proses belajar matematika akan terjadi dengan lancar bila belajar itu sendiri
dilakukan secara kontinu. Dari keterangan ini, maka dapat disimpulkan bahwa
seseorang akan lebih mudah untuk mempelajari sesuatu apabila belajar didasari
pada apa yang telah diketahui sebelumnya karena dalam mempelajari materi
matematika yang baru, pengalaman sebelumnya akan mempengaruhi kelancaran
proses belajar matematika.
Untuk keberhasilan dalam proses belajar-mengajar penting bagi siswa
memiliki pemahaman. Pemahaman merupakan kemampuan menghubungkan
ide-ide matematis dalam berbagai bentuk representasi yang disajikan. Pemahaman
merupakan kemampuan awal untuk mengembangkan berpikir kritis. Dengan
menghubungkan ide-ide matematis tersebut, maka terjadi aktivitas pada otak dan
secara bersamaan pula akan meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya. Lebih
lanjut, hasil penelitian Prabawati (2011) menunjukan bahwa terdapat korelasi
yang positif antara pemahaman matematis dengan kemampuan berpikir kritis
siswa. Artinya, jika kemampuan berpikir kritis siswa meningkat, maka
kemampuan pemahaman siswa juga demikian. Sabandar (2007) juga
mengutarakan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan hasil cerminan dari
pemecahan masalah. Jika disimpulkan, maka penting adanya inovasi pendidikan
yaitu dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan berpikir
Pada saat sekarang ini terlihat seakan-akan pembelajaran untuk
meningkatkan berpikir kritis matematis siswa masih kurang mendapat perhatian
yang serius. Padahal jika diperhatikan dengan mempertimbangkan konsekuensi
yang timbul akibat ketidakmengertian dalam belajar matematika, maka diperlukan
upaya untuk mengatasi masalah belajar yaitu dengan berpikir kritis. Sesuai
pernyataan Sumarmo (2000) mengatakan agar pembelajaran dapat
memaksimalkan proses dan hasil belajar matematika, guru perlu mendorong siswa
untuk terlibat secara aktif berdiskusi dalam kelompok ataupun berpasangan,
bertanya serta menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, menjelaskan setiap
jawaban yang diberikan, serta mengajukan alasan untuk setiap jawaban yang
diajukan.
Pada kenyataannya, kebutuhan pendidikan masyarakat Indonesia sangatlah
tinggi, siswa sangat membutuhkan pembelajaran yang berkualitas, pembelajaran
yang memberi mereka pengalaman dalam memecahkan masalah. Untuk itu,
pembelajaran berbasis masalah yang guru kembangkan sangat berarti untuk
membantu masing-masing siswa meningkatkan potensi dirinya melalui penemuan
solusi dari masalah-masalah kontekstual yang diajukan. Di samping itu, juga
membantu pihak sekolah dalam rangka menciptakan lulusan pendidikan yang
berkualitas.
Dalam perkembangan menurut pengamatan sementara, tidak sedikit
sekolah menengah yang masih kurang memberi perhatiannya dalam hal
membantu siswa membiasakan untuk berpikir kritis. Padahal, mencapai tingkat
kemampuan ini sangat penting untuk mereka miliki. Bukan karena keterbatasan
pemahaman siswa dalam matematika, akan tetapi guru juga mempunyai peranan
penting dalam menciptakan ide kreatif untuk pengembangan rencana
pembelajaran bermakna dan berkualitas, berlandaskan paham konstruktivisme,
sehingga pencapaian siswa diharapkan menjadi lebih baik karena masalah
diselesaikan secara kooperatif.
Dengan demikian, diperlukan pemikiran kritis dalam upaya meningkatkan
kualitas kemampuan pada materi belajar, disertai sikap positif siswa yang
juga agar siswa memperoleh tingkat kemampuan pemecahan-masalah untuk
meningkatkan hasil belajar mereka pula. Berdasarkan dari apa yang telah
diuraikan dan sekaligus menjadi pokok permasalahan, maka penelitian ini
direncanakan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi pembelajaran berbasis
masalah jika dilihat pada peningkatan kemampuan dan disposisi berpikir kritis
matematis siswa.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan pokok
permasalahan yang dapat dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Apakah kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional?
2. Apakah disposisi berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional?
3. Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan dan disposisi berpikir kritis
matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran berbasis masalah.
4. Bagaimana gambaran aktivitas guru dan siswa pada kelas yang memperoleh
pembelajaran berbasis masalah.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang, dan sejalan dengan rumusan masalah yang
telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional.
2. Mengetahui disposisi berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang memperoleh
3. Mengetahui asosiasi antara kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis
siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah.
4. Mengetahui gambaran aktivitas guru dan siswa pada kelas yang memperoleh
pembelajaran berbasis masalah.
D. Manfaat Penelitian
Apabila penelitian ini menunjukan hasil yang signifikan¸ maka diharapkan
dapat bermanfaat bagi :
1. Siswa, dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada pembelajaran
matematika sehingga siswa juga akan memiliki kemampuan untuk
memecahkan masalah-masalah matematis.
2. Guru, sebagai saran bahwa pembelajaran berbasis masalah begitu penting bagi
siswa dalam belajar matematika untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kritis mereka.
3. Peneliti, dapat memberikan informasi mengenai peningkatan kemampuan
berpikir kritis khususnya pada pembelajaran berbasis masalah.
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Agar tidak terjadi perbedaan pemahaman istilah dalam penelitian ini, maka
ada beberapa istilah mengenai variabel dalam penelitian yang perlu didefinisikan
secara operasional.
1. Pembelajaran berbasis masalah (PBM) adalah pembelajaran dalam kelompok
kecil yang diawali dengan penyajian masalah kontekstual untuk memahamkan
konsep dan mengembangkan kemampuan matematis melalui beberapa
tahapan; (1) mengorientasikan siswa pada masalah, (2) mengorganisasikan
siswa untuk belajar, (3) membimbing pemeriksaan individual atau kelompok,
(4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya, (5) menganalisis dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah.
2. Kemampuan berpikir kritis matematis adalah kemampuan; (1) membedakan
antara sesuatu atau data yang relevan dan yang tidak relevan, (2) menarik
pertimbangan yang bernilai, (3) menganalisis dan mengevaluasi asumsi,
3. Disposisi berpikir kritis matematis adalah kecenderungan untuk bersikap kritis
dalam belajar matematika yang meliputi; (1) bertanya secara jelas dan
beralasan, (2) berusaha memahami dengan baik, (3) menggunakan sumber
yang terpercaya, (4) tetap mengacu/relevan ke masalah pokok, (5) mencari
berbagai alternatif, (6) bersikap terbuka, berani mengambil posisi, bertindak
cepat, (7) memandang sesuatu secara menyeleluruh, (8) memanfaatkan cara
berpikir orang yang kritis, (9) bersikap sensisif terhadap perasaan orang lain.
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan,
maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran
berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional.
2. Disposisi berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran
berbasis masalah lebih baik daripada siswa siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional.
3. Terdapat asosiasi antara kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis
A. Disain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan pendekatan
kuantitatif. Peneliti tidak melakukan pengelompokan ulang subjek secara acak,
kelompok subjek telah terbentuk dengan masing-masing jadwal pelajaran yang
telah ditentukan dari pihak sekolah. Apabila peneliti melakukan random pada
subjek, maka sistem pembelajaran di sekolah juga akan kacau, sehingga peneliti
akan menerima keadaan kelompok seadanya (Ruseffendi, 2010).
Dalam penelitian terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel
terikat. Variabel bebas penelitian adalah pembelajaran berbasis-masalah (PBM),
sedangkan variabel terikatnya yaitu kemampuan berpikir kritis matematis.
Penelitian ini akan melihat sejauh mana PBM dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis matematis siswa, yaitu dengan membandingkan hasil uji perbedaan
rata-rata skor n-gain yang diperoleh dari nilai pretes dan postes antara kelompok
eksperimen dengan kelompok kontrol.
Kelompok eksperimen adalah kelompok siswa yang memperoleh PBM,
sedangkan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran konvensional (PK).
Untuk mengetahui efektivitas kedua pembelajaran, tes dilakukan dua kali pada
masing-masing kelompok yaitu sebelum proses pembelajaran yang disebut
dengan pretes, dan sesudah proses pembelajaran yang disebut postes. Dengan
demikian, disain penelitian ini adalah disain kelompok kontrol non-ekivalen yaitu
sebagai berikut (Ruseffendi, 2010).
O X O
O O
Keterangan :
O : pretes dan postes kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis.
X1 : pembelajaran berbasis-masalah (PBM).
Untuk mengetahui berhasil tidaknya perlakuan pembelajaran yang
pretes siswa kelompok PBM, kemudian membandingkan pula dengan hasil postes
yang diperoleh siswa kelompok pembelajaran konvensional (PK). Pretes terlebih
dahulu diberikan sebelum pelaksanaan pembelajaran diimplementasikan pada
masing-masing kelompok, dengan tujuan mengukur pengetahuan awal yang
dimiliki siswa. Postes merupakan penilaian akhir setelah program selesai. Akan
tetapi, ada kemungkinan skor postes lebih baik daripada skor pretes bukan
dikarenakan perlakuan, yaitu karena masalah lain seperti lebih mengenal ciri
karakteristik soal sehingga mudah untuk mengerjakannya.
Karena keterbatasan penulis, maka permasalahan lain yang mempengaruhi
dalam penelitian ini dieliminasikan. Dalam arti, penulis tidak memperhatikan
faktor-faktor tersebut, penulis hanya mengasumsikan bahwa peningkatan
kemampuan dan disposis berpikir kritis matematis siswa dikarenakan efek dari
perlakuan yang diberikan. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis
diketahui dari hasil uji perbedaan rata-rata antara skor kelompok eksperimen dan
kontrol, kemudian membandingkan hasil uji dengan taraf signifikansi yaitu 0,05.
Artinya, peluang diterima secara kebetulan untuk PBM dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis matematis lebih baik daripada PK kurang dari 5%.
B. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa di satu SMA Negeri di
Tanjungpandan Bangka Belitung tahun pelajaran 2012/2013, yang menjadi
sampel adalah siswa kelas X sebagai subjek penelitian. Sampel penelitian diambil
secara purposive, dikarenakan tidak memungkinkan untuk melakukan
pengelompokan secara random pada siswa-siswa ke dalam kelompok-kelompok
baru, dan terpilih sebanyak dua kelas dari banyaknya kelas yang ada di SMA
Negeri tersebut. Alasan peneliti memilih subjek penelitian dikarenakan :
1. Penetapan siswa SMA kelas X sebagai sampel karena kesesuaian pada materi
belajar yang akan diteliti. Materi belajar matematika yaitu trigonometri pada
semester genap. Oleh karena materi ini baru pertama kali diperkenalkan pada
siswa, sehingga menuntut siswa untuk mampu memahami konsep-konsepnya.
memberikan kesimpulan dari proses pembuktian pada sub-materi identitas
trigonometri, sehingga akan terjadi proses pengembangan dan peningkatan
pada kemampuan berpikir kritisnya.
2. Pemilihan sekolah yang berada di Tanjungpandan Bangka Belitung dilakukan
karena peneliti mengharapkan kepada siswa di sekolah tersebut untuk
melakukan pengembangan pada pola pikir mereka dalam memecahan masalah
matematis dengan berbagai cara untuk memecahkannya disertai pemahaman
mereka pada materi-materi pelajaran.
3. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa merupakan tantangan dalam
penelitian, karena pembelajaran klasikal (konvensional) hanya menekankan
pada pengerjaan soal berdasarkan contoh saja. Hal ini akan dijadikan landasan
untuk meneliti kemampuan berpikir kritis matematis siswa, yang diasumsikan
mengalami perbedaan peningkatan apabila siswa diberikan PBM.
C. Instrumen Penelitian
Untuk mengumpulkan data kuantitatif yang akan menghasilkan jawaban
dari rumusan dan hipotesis penelitian ini, maka dibuatlah seperangkat instrumen.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa tes kemampuan dan skala
disposisi berpikir kritis matematis.
1. Tes kemampuan berpikir kritis matematis
Tes kemampuan berpikir kritis dibuat dalam bentuk uraian, karena bentuk
uraian cocok untuk mengukur kemampuan berpikir kritis. Tes disusun sesuai
kisi-kisi berdasarkan masing-masing indikator. Sebagian tes hasil modifikasi dari
Syaban (2008). Tes terdiri dari pretes dan postes. Soal pretes dan postes dibuat
relatif sama. Pretes dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal tiap kelompok,
dan digunakan sebagai tolak ukur peningkatan kemampuan sebelum
mengimplementasikan PBM. Postes untuk menilai kemampuan siswa sebagai
efek dari perlakuan penelitian, juga sebagai bentuk peningkatan yang berbeda
secara signifikan atau tidak.
Tes diberikan pada setiap kelompok siswa. Setelah pretes dan postes
digunakan untuk pedoman penskoran yaitu seperti yang diusulkan Hancock
(Prabawati, 2011) sebagai berikut:
Tabel 3.1
Pedoman Pemberian Skor Tes Kemampuan Berpikir Kritis
Keterangan jawaban Skor
1.Jawaban lengkap dan benar untuk pernyataan yang diberikan.
2.Ilustrasi keterampilan pemecahan masalah, penalaran, dan komunikasinya sempurna.
3.Jika jawaban terbuka, semua jawaban benar.
4.Pekerjaannya ditunjukan atau dijelaskan secara detail. 5.Memuat sedikit kesalahan.
4
1.Jawaban benar untuk masalah yang diberikan.
2.Illustrasi keterampilan pemecahan masalah, penalaran dan komunikasi baik.
3.Jika jawaban terbuka, banyak jawaban yang benar. 4.Pekerjaannya ditunjukkan atau dijelaskan.
5.Memuat beberapa kesalahan dalam penalaran matematis.
3
1.Beberapa jawaban dari pertanyaan tidak lengkap.
2.Illustrasi keterampilan pemecahan masalah, penalaran dan komunikasinya cukup.
3.Kekurangan dalam berpikir tingkat tinggi terlihat jelas. 4.Penyimpulan terlihat tidak akurat.
5.Muncul beberapa keterbatasan dalam pemahaman matematis. 6.Banyak kesalahan dari penalaran matematis yang muncul.
2
1.Muncul masalah dalam meniru ide matematika tetapi tidak dikembangkan.
2.Keterampilan pemecahan masalah, penalaran atau komunikasi kurang. 3.Banyak kesalahan perhitungan yang muncul.
4.Terdapat sedikit pemahaman matematis yang diilustrasikan. 5.Siswa jarang mencoba beberapa hal.
1
1.Keseluruhan jawaban tidak ada atau tidak nampak.
2.Tidak muncul keterampilan pemecahan masalah, penalaran atau komunikasi.
3.Pemahaman matematisnya sama sekali tidak muncul. 4.Terlihat jelas bluffing (mencoba-coba, menebak). 5.Tidak menjawab semua kemungkinan yang diberikan.
0
Tes kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan mengikuti indikator
seperti yang tercantum dalam definisi operasional yang dikemukakan pada bagian
sebelumnya yaitu diantaranya: (1) membedakan antara sesuatu atau data yang
(3) menganalisis dan mengevaluasi asumsi, (4) membuat deduksi, (5) membuat
generalisasi.
a) Uji Validitas Tes
1) Validitas Isi dan Validitas Muka
Instrumen tes kemampuan berpikir kritis dikonsultasikan pada dosen
pembimbing untuk mengetahui validitas isi dan validitas muka, yaitu berkenaan
dengan ketepatan alat ukur pada materi yang diujikan, tujuan yang ingin dicapai,
kesesuaian antara indikator dan butir soal, serta kejelasan bahasa/redaksional atau
gambar/representasi dalam soal.
2) Validitas Empirik
Tes awal (pretes) dan tes akhir (postes) yang digunakan pada penelitian ini
perlu dilakukan uji validitas. Tes dinyatakan valid apabila mengukur apa yang
semestinya harus diukur. Perhitungan validitas butir soal akan dilakukan dengan
rumus korelasi product moment (Arikunto, 2008; Ruseffendi, 1991) yaitu:
X : Nilai masing-masing butir soal.
Y : Nilai total.
Untuk menguji signifikansi setiap koefisien korelasi yang diperoleh,
digunakan uji-t (Sudjana, 2005), dengan adalah jumlah subjek (testee) dan
adalah koefisien korelasi (r ) dengan rumus sebagai berikut: xy
2
menafsirkan koefisen validitas, yaitu: (1) melihat harga dan diinterpretasikan
sehingga dapat diketahui signifikansinya, jika lebih besar dari nilai t
harga kritis, maka dinyatakan tidak signifikan (tidak valid), dan begitu juga
sebaliknya. Koefisien validitas tiap butir tes dan skala diinterpretasi menurut
kriteria Guilford yang dinyatakan pada Tabel berikut (Arikunto, 2008; Suherman,
2003). Dalam hal ini r diartikan sebagai koefisien validitas. xy
Tabel 3.2
kesimpulan valid atau tidaknya suatu butir tes berdasarkan penafsiran harga
koefisien validitas. Hasil perhitung koefisien validitas beserta interpretasinya
terangkum dalam Tabel 3.3.
Tabel 3.3
Hasil Uji Validitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis
No. Butir Keterangan Interpretasi
Berdasarkan hasil perhitungan uji validitas tes kemampuan berpikir kritis
dalam Tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa semua butir tes kemampuan
butir soal lebih dari harga . Ujicoba tes kemampuan berpikir kritis ini
dilakukan pada 26 siswa di salah satu sekolah menengah yang berada di kota
Bandung.
b) Uji Reliabilitas Tes
Setelah tes diuji validitas tiap item, kemudian dilanjutkan dengan uji
reliabilitas pada seluruh item tes yang telah dinyatakan valid. Reliabilitas sama
dengan konsistensi atau keajegan. Suatu alat ukur dikatakan reliabel bila alat ukur
tersebut konsisten atau stabil. Artinya, jika instrumen digunakan beberapa kali
untuk mengukur obyek yang sama, maka akan menghasilkan data yang sama pula.
Uji reliabilitas menggunakan rumus Alpha Cronbach (Ruseffendi, 2010).
r11 : reliabilitas instrumen
k : banyak butir soal
Tes yang dinyatakan valid, sebelum digunakan untuk mengukur
kemampuan berpikir kritis siswa kelompok eksperimen dan kontrol dalam
penelitian, maka kembali dikumpulkan untuk diuji reliabilitasnya. Tingkat
reliabilitas dari soal ujicoba didasarkan pada klasifikasi Guilford (Suherman,
2003; Ruseffendi, 1991; Ruseffendi, 2010), yaitu sebagai berikut
Setelah dilakukan perhitungan, maka diperoleh koefisien reliabilitas tes
kemampuan berpikir kritis sebesar yang berarti soal-soal dalam tes yang
diujicobakan memiliki reliabilitas sedang. Karena nilai koefisien reliabilitas tes
kemampuan berpikir kritis berpikir kritis lebih dari nilai kritisnya, maka tes
tersebut dinyatakan reliabel, dan interpretasinya berada pada klasifikasi sedang.
Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran B.
c) Uji Tingkat Kesukaran Tes
Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu
sukar. Bilangan yang menunjukkan derajat kesukaran suatu butir soal disebut
indeks kesukaran (Difficulty Index) (Suherman, 2003). Indeks kesukaran biasa
disebut juga dengan tingkat kesukaran atau taraf kesukaran, yaitu perbandingan
antara banyaknya siswa yang menjawab benar suatu nomor tes dengan banyaknya
siswa yang menjawab tes nomor tersebut. Skor indeks kesukaran yaitu antara nol
sampai dengan satu. Apabila soal tersebut dinyatakan sukar, maka indeks atau
tingkat kesukarannya semakin mendekati satu. Langkah-langkah menghitung
koefisien indeks kesukaran, dapat dilakukan sebagai berikut (Ruseffendi, 1991):
a. Mengurutkan skor-skor mulai dari yang tertinggi.
b. Pisahkan 27,5% skor tertinggi sebagai kelompok atas dan 27,5% skor terendah
sebagai kelompok bawah.
c. Untuk tiap butir soal dalam tiap kelompok, hitung jumlah skor kelompok atas
disebut SA dan hitung jumlah skor kelompok bawah disebut SB.
Perhitungan koefisien indeks kesukaran untuk soal uraian menggunakan
rumus sebagai berikut (Sumarmo, 2010):
A
S : jumlah skor siswa kelompok bawah suatu butir.
A
Tingkatan klasifikasi yang banyak digunakan untuk menginterpretasi
koefisien indeks kesukaran hasil perhitungan menurut analisis skor dari jawaban
siswa berdasarkan pembagian kelompok atas dan kelompok bawah, dinyatakan ke
dalam kriteria sebagai berikut (Suherman, 2003)
Tabel 3.5
Klasifikasi Koefisien Indeks Kesukaran
Koefisien Indeks Kesukaran Klasifikasi
IK = 1,00 Soal terlalu mudah
0,70 ≤ IK < 1,00 Soal mudah
0,30 ≤ IK < 0,70 Soal sedang 0,00 < IK < 0,30 Soal sukar
IK = 0,00 Soal sangat sukar
Perhitungan indeks kesukaran dilakukan pada skor kemampuan berpikir
kritis matematis menggunakan aplikasi komputer yaitu software Anates Uraian.
Dari hasil perhitungan indeks kesukaran setiap butir soal diperoleh hasil seperti
tampak pada Tabel 3.6 di bawah. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat
pada lampiran.
Tabel 3.6
Hasil Analisis Indeks Kesukaran Tes Kemampuan Berpikir Kritis
No Butir IK Keterangan
1 Sedang 2 Sedang 3 Sukar 4 Sukar 5 Sangat Sukar 6 Sangat Sukar
d) Uji Daya Pembeda Tes
Daya pembeda adalah kemampuan butir soal untuk membedakan antara
siswa yang pandai atau siswa yang berkemampuan tinggi (kelompok unggul)
dengan siswa yang kurang pandai atau siswa yang berkemampuan rendah
(kelompok asor) (Suherman, 2003). Daya pembeda biasa disebut juga dengan
dengan skor jawaban untuk seluruh soal. Langkah-langkah yang digunakan untuk
menganalisis koefisien daya pembeda sama persis seperti langkah-langkah untuk
analisis koefisien indeks kesukaran. Beberapa pakar memberikan rumus
perhitungan untuk menganalisis daya pembeda, hasil perhitungan menggunakan
masing-masing rumus yang diberikan pakar-pakar evaluasi hasil belajar akan
menghasilkan penaksiran angka yang sama. Rumus yang digunakan untuk
menghitung koefisien daya pembeda setiap butir soal adalah sebagai berikut
(Sumarmo, 2010):
A B A
J S S
DB
Keterangan :
DB : Daya pembeda.
A
S : jumlah skor siswa kelompok atas suatu butir.
B
S : jumlah skor siswa kelompok bawah suatu butir.
A
J : jumlah skor ideal suatu butir.
Adapun kriteria pengklasifikasian yang banyak digunakan sebagai
ketentuan untuk menafsirkan koefisien daya pembeda tiap butir soal adalah
sebagai berikut (Suherman, 2003)
Tabel 3.7
Klasifikasi Koefisien Daya Pembeda
Koefisien Daya Pembeda Klasifikasi
0,70 < DB ≤ 1,00 Sangat baik
0,40 < DB ≤ 0,70 Baik
0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup 0,00 < DB ≤ 0,20 Jelek
DB ≤ 0,00 Sangat jelek
Perhitungan analisis daya pembeda tes kemampuan berpikir kritis
matematis dengan menggunakan bantuan software Anates Uraian. Rekapitulasi
hasil analisis daya pembeda tes yang berbentuk soal uraian dapat dilihat pada
Tabel 3.8 di bawah, sedangkan perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 3.8
Hasil Analisis Daya Pembeda Tes Kemampuan Berpikir Kritis
No Butir DP Keterangan
1 0,428 Baik
2 0,500 Cukup
3 0,476 Baik
4 0,428 Cukup
5 0,214 Cukup
6 0,238 Cukup
2. Skala disposisi berpikir kritis matematis
Skala disposisi berpikir kritis merupakan data yang diperoleh dari hasil
pemberian seperangkat pernyataan tertulis untuk dijawab oleh responden. Tujuan
digunakan yaitu untuk mendapatkan respon siswa pada kegiatan atau pendapat
tentang bagaimana siswa bertanya, memahami, menggunakan sumber belajar,
mencari berbagai alternatif, bersikap terbuka, mengambil posisi dan bertindak
cepat, memberi pandangan terhadap sesuatu, memanfaatkan cara berpikir orang
lain yang kritis, dan sikap sensitif terhadap perasaan orang lain. Skala yang
digunakan terdiri dari 37 item pernyataan, yang merupakan adopsi dan modifikasi
dari skala disposisi berpikir kritis Sumarmo,dkk. (2012).
Skala disposisi berpikir kritis adalah model Likert. Skala Likert disusun
dalam bentuk suatu pernyataan dan diikuti oleh derajat penilaian siswa yang
tersusun secara bertingkat ke dalam empat kategori, yaitu sering sekali (Ss), sering
(Sr), jarang (Jr), dan jarang sekali (Js). Untuk menghindari pernyataan ragu-ragu
siswa pada suatu kegiatan dan pendapat, maka boleh tidak menggunakan kategori
Kd (kadang-kadang) (Arikunto, 2006). Pemberian skor skala diposisi berpikir
kritis yang sering dipakai dalam mentransfer data kuantitatif menjadi data
kualitatif untuk setiap pilihan dari pernyataan positif berturut-turut 4, 3, 2, 1, dan
sebaliknya 1, 2, 3, 4 untuk pernyataan negatif.
Skor ideal digunakan sebagai pertimbangan menentukan kategori disposisi
berpikir kritis. Batas minimal kategori tinggi adalah 70% dari skor ideal, minimal
untuk kategori sedang adalah 56%, dan kurang dari itu adalah kategori rendah
Tabel 3.9
Kriteria Kategori Disposisi Berpikir Kritis
Skor Kategori
Skor 73 Tinggi 58 Skor 72 Sedang Skor 58 Rendah
Dari skala disposisi berpikir kritis, diperoleh data hasil penyebaran angket
yang berasal dari kelompok eksperimen dan kontrol. Data yang diperoleh tersebut
merupakan derajat pilihan masing-masing siswa terhadap empat kategori
mengenai suatu pernyataan yang memuat indikator disposisi berpikir kritis.
a) Uji Validitas Skala
Sebelum skala digunakan untuk penelitian, perangkat tersebut terlebih
dahulu diuji coba. Setelah uji coba, dilanjutkan dengan tahap analisis data. Data
skala disposisi berpikir kritis dianalisis untuk mengetahui validitas dan reliabilitas
saja. Menurut Sumarmo (2010), butir skala sikap (disposisi berpikir kritis) yang
akan digunakan sebagai instrumen penelitian diseleksi menggunakan seleksi butir
skala sikap dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1) Menentukan skot tiap subjek
2) Menentukan kelompok tinggi dan kelompok rendah (sekitar 27% - 30%)
3) Menentukan mean skor kelompok tinggi (X ) dan kelompok rendah (T X ). R
4) Menentukan varians kelompok tinggi (ST2) dan kelompok rendah ( 2
R
S ).
5) Menghitung nilai t dengan rumus sebagai berikut:
R
Validitas butir skala diestimasi dengan membandingkan nilai t hitung
dengan nilai . Jika lebih besar dari nilai , maka butir skala sikap
tersebut mempunyai validitas yang baik sehingga dapat digunakan. Dengan
menggunakan taraf signifikansi , dan diperoleh harga
suatu butir skala berdasarkan penafsiran harga koefisien validitas. Hasil perhitung
koefisien validitas beserta interpretasinya terangkum dalam Tabel 3.10.
Tabel 3.10
Rekapitulasi Hasil Uji Validitas Skala Disposisi Berpikir Kritis
No.
Butir Ket.
No.
Butir Ket.
No.
Butir Ket.
1 TV 14 V 27 V
2 V 15 V 28 V
3 TV 16 TV 29 TV
4 V 17 V 30 TV
5 V 18 V 31 V
6 V 19 TV 32 V
7 V 20 V 33 V
8 V 21 V 34 V
9 V 22 TV 35 V
10 V 23 V 36 V
11 TV 24 TV 37 V
12 V 25 TV
13 V 26 TV
Catatan: V=Valid, dan TV=Tidak Valid
Hasil perhitungan uji validitas butir skala disposisi berpikir kritis diperoleh
26 skala yang valid dari 37 skala yang diujicobakan, berarti ada 11 skala yang
tidak valid. Ujicoba skala disposisi berpikir kritis ini dilakukan pada 25 siswa di
salah satu sekolah menengah yang berada di kota Bandung. Kemudian dengan
skala yang sama dilakukan observasi untuk uji validitas pada 29 siswa di salah
satu sekolah menengah yang berada di kota Tanjungpandan Belitung.
b) Uji Reliabilitas Skala
Setelah dilakukan uji validitas pada tiap item skala maka dilanjutkan
dengan uji reliabilitas pada seluruh item yang telah dinyatakan valid. Reliabilitas
sama dengan konsistensi atau keajegan. Skala dikatakan reliabel bila alat ukur
tersebut konsisten atau stabil. Dengan kata lain, jika instrumen digunakan
beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama, maka akan menghasilkan data
yang sama pula.
Interpretasi koefisien reliabilitas skala yang diujicoba, didasarkan pada
Tabel 3.11
Skala disposisi berpikir kritis merupakan angket skala sikap model likert.
Sebelum mengetahui dimana klasifikasi reliabilitas dalam kriteria tersebut
berdasarkan koefisiennya, terlebih dahulu menghitung koefisien reliabilitas skala
yang diestimasi dengan teknik paruhan (nomor ganjil dan nomor genap)
menggunakan korelasi product moment. Hasil perhitungan koefisien reliabilitas
skala teknik paruhan dikoreksi menggunakan rumus sebagai berikut (Ruseffendi,
1991; Ruseffendi, 2005; Arikunto 2008).
r : Koefisien reliabilitas instrumen
b
r : Koefisien korelasi belahan ganjil-genap skala
Skala yang akan diukur dalam penelitian ini, dan yang dinyatakan valid,
maka kembali dikumpulkan untuk diuji reliabilitasnya. Setelah dilakukan
perhitungan, maka diperoleh koefisien reliabilitas skala yang diestimasi dengan
teknik paruhan (nomor ganjil dan nomor genap) sebesar , sehingga hasil
koreksi koefisien reliabilitas skala disposisi berpikir kritis teknik paruhan
diketahui sebesar , berarti skala yang diujicoba memiliki nilai reliabilitas
yang termasuk ke dalam klasifikasi sedang.
3. Observasi Aktivitas Guru dan Siswa
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini selain skor kemampuan dan