• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN DAN DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN DAN DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMA."

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

SISWA SMA

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh :

FIKI ALGHADARI 1102623

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG

(2)

SISWA SMA

TESIS

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING

Pembimbing I

Prof. Dr. Utari Sumarmo.

Pembimbing II

Dr. Dadang Juandi, M.Si.

Diketahui oleh

Ketua Jurusan Pendidikan Matematika

Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

(3)

KEMAMPUAN DAN DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMA

Oleh Fiki Alghadari

Sebuah tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Matematika

© Fiki Alghadari, 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Juli 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul ”Pembelajaran

Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis

Matematik Siswa SMA” beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya

sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara

yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku. Atas pernyataan ini, saya

siap menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila di kemudian

hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini,

atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, Juli 2013

Yang Membuat Pernyataan

(5)

Assalamualaikum Wr.Wb

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya, karena atas kehendak-Nyalah Penulis dapat

menyelesaikan tesis yang berjudul “Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis Matematik Siswa SMA”

tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada

Rasulullah Muhammad SAW.

Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh Ujian Sidang Magister Pendidikan Jurusan Matematika FPMIPA UPI.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangannya, oleh

karena itu para pembaca diharapkan menanggapi dan memberikan kritik serta

saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Semoga tesis ini dapat menambah ilmu pengetahuan serta wawasan

khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca. Akhirnya kepada Allah

jugalah penulis mohon taufik hidayah, semoga usaha penulis ini mendapat

manfaat yang baik. Serta mendapat ridho dari Allah SWT. Amin ya rabbal alamin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandung, Juni 2013

(6)

Dalam penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan,

sumbangan pikiran, dan dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih yang

sebesar-besarnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Utari Sumarmo, selaku dosen pembimbing I yang senantiasa

memberikan bimbingan ditengah kesibukannya. Terima kasih atas segala

bentuk bimbingan dan koreksinya sehingga membuat Penulis menjadi lebih

baik lagi.

2. Bapak Dr. Dadang Juandi, M.Si, selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Matematika sekaligus pembimbing II dan pembimbing akademik yang

senantiasa memberikan bimbingan di tengah kesibukannya. Terima kasih atas

segala bentuk bimbingan dan koreksinya sehingga membuat Penulis menjadi

lebih baik lagi.

3. Bapak Drs. Turmudi, M.Ed., M.Sc., Ph.D, selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Matematika SPs UPI.

4. Bapak Juanda serta staf jurusan dan fakultas yang senantiasa memotivasi

mahasiswa dan membantu menyelesaikan setiap urusan administrasi.

5. Bapak Basri, S.Pd, selaku Kepala Sekolah SMAN 2 Tanjungpandan Bangka

Belitung yang telah memberikan izin penelitian untuk penulisan tesis ini.

6. Bapak Suas, S.Pd, selaku guru bidang studi matematika SMAN 2

Tanjungpandan Bangka Belitung yang telah membantu dalam penelitian untuk

keperluan penulisan tesis ini.

7. Bapak Ardianto, S.Pd, selaku guru di SMAN 2 Tanjungpandan Bangka

Belitung yang juga membantu dalam proses izin untuk melakukan penelitian.

8. Seluruh siswa SMAN 2 Tanjungpandan Bangka Belitung yang telah

menerima dengan baik, selama penulis mengadakan penelitian.

9. Ayahanda dan Ibunda tercinta, yang telah memberikan motivasi, dukungan

(7)

11.Semua teman-teman mahasiswa S2 angkatan 2011 di Sekolah Pascasarjana

UPI Program Studi Matematika yang sama-sama berjuang dan memberikan

bantuan, sumbangan pemikiran serta dorongan dan motivasi.

12.Seluruh guru dan dosen yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih

atas seluruh ilmu bermanfaat yang telah diberikan semoga setiap titik ilmu

yang menyebar dari para siswa dan mahasiswanya menjadi titik-titik ilmu

yang lebih banyak dan berlipat sehingga bermanfaat dan menjadi ladang

kebaikan di akhirat nanti.

13.Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak mungkin penulis

sebutkan satu persatu.

Bandung, Juni 2013

(8)

SISWA SMA

Fiki Alghadari (1102623)

ABSTRAK

Latar belakang penelitian ini adalah pentingnya kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis siswa. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan disain kelompok kontrol non-ekivalen menggunakan teknik purposive

sampling. Kelas eksperimen mendapat pembelajaran matematika berbasis masalah

dan kelas kontrol mendapat pembelajaran konvensional. Instrumen yang digunakan berupa tes kemampuan berpikir kritis, dan skala disposisi berpikir kritis. Penelitian ini dilakukan di salah satu sekolah menengah atas. Populasi penelitian ini adalah siswa SMA dengan sampel penelitian adalah siswa kelas X SMA Negeri di Tanjungpandan Bangka Belitung, dengan responden penelitiannya adalah siswa kelas X sebanyak dua kelas, yaitu 23 siswa untuk kelas eksperimen dan 23 siswa untuk kelas kotrol, yang dipilih secara acak dari enam kelas yang ada. Analisis data kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis menggunakan uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapat pembelajaran matematika berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Analisis data skala disposisi berpikir kritis matematis memperlihatkan bahwa peningkatan disposisi berpikir kritis matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran berbasis masalah tidak berbeda dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Hasil uji kontingensi antara kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis menunjukan derajat asosiasi yang sangat rendah, dan uji hipotesis menghasilkan kesimpulan bahwa tidak terdapat asosiasi yang signifikan antara kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah memungkinkan menjadi alternatif untuk implementasik pembelajaran di SMA.

(9)

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C.Tujuan Penelitian... 12

D.Manfaat Penelitian... 13

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 13

F. Hipotesis Penelitian ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Masalah dan Pemecahan-Masalah ... 15

B. Pembelajaran Berbasis-Masalah (PBM) ... 17

C.Konstruktivisme sebagai Landasan PBM ... 23

D.Teori Belajar Bermakna dan PBM ... 26

E. Kemampuan Berpikir Kritis ... 28

F. Disposisi Berpikir Kritis Matematik ... 34

G.Hubungan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 39

H.Penelitian yang Relevan ... 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.Desain Penelitian ... 44

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 45

C.Instrumen Penelitian ... 46

1. Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 46

a. Uji Validitas Tes ... 48

b. Uji Reliabilitas Tes ... 50

c. Uji Tingkat Kesukaran Tes ... 51

d. Uji Daya Pembeda Tes ... 52

2. Skala Disposisi Berpikir kritis Matematik... 54

a. Uji Validitas Skala ... 55

b. Uji Reliabilitas Skala ... 56

3. Lembar Observasi ... 57

D.Analisis Data ... 58

1. Perhitungan Statistik Deskriptif... 58

2. Perhitungan N-Gain ... 58

(10)

6. Uji Asosiasi... 62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian dan Analisis Data ... 65

1. Analisis Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis... 65

a. Uji Normalitas Distribusi ... 67

b. Uji Homogenitas Varians ... 69

c. Uji Perbedaan Rata-rata ... 71

2. Analisis Peningkatan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis . 73 a. Uji Normalitas Distribusi ... 75

b. Uji Homogenitas Varians ... 76

c. Uji Perbedaan Rata-rata ... 78

3. Asosiasi antara Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 80

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 82

1. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis... 82

2. Peningkatan Disposisi Berpikir Kritis ... 86

3. Asosiasi antara Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 88

C.Aktivitas Guru dan Siswa ... 90

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A.Kesimpulan... 83

B. Implikasi ... 94

C.Rekomendasi ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 98

LAMPIRAN-LAMPIRAN LAMPIRAN A: INSTRUMEN PENELITIAN ... 104

LAMPIRAN B: ANALISIS HASIL UJI COBA INSTRUMEN ... 177

LAMPIRAN C: ANALISIS DATA KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS ... 182

(11)

Tabel

3.1 Pedoman Pemberian Skor Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 47

3.2 Interpretasi Koefisien Validitas ... 49

3.3 Hasil Uji Validitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 49

3.4 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas ... 50

3.5 Klasifikasi Koefisien Indeks Kesukaran... 52

3.6 Hasil Analisis Indeks Kesukaran Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 52

3.7 Klasifikasi Koefisien Daya Pembeda ... 53

3.8 Hasil Analisis Daya Pembeda Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 54

3.9 Kriteria Kategori Disposisi Berpikir Kritis ... 55

3.10 Rekapitulasi Hasil Uji Validitas Skala Disposisi Berpikir Kritis ... 55

3.11 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas ... 56

3.12 Kriteria Indeks Gain ... 58

3.13 Klasifikasi Koefisien Kontingensi ... 63

4.1 Rata-rata dan Standar Deviasi Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 65

4.2 Hasil Uji Normalitas Distribusi Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis . 68 4.3 Hasil Uji Homogenitas Varians Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis 70 4.4 Hasil Uji Perbedaan Rata-rata Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 72

4.5 Hasil Uji Normalitas Distribusi N-Gain Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 76

4.6 Hasil Uji Homogenitas Varians N-Gain Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 77

4.7 Hasil Uji Perbedaan Rata-rata N-Gain Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 79

4.8 Kontingensi Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 81

(12)

LAMPIRAN A: INSTRUMEN PENELITIAN

A.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Bahan Ajar ... 104

A.2 Lembar Observasi Proses Pembelajaran Berbasis Masalah ... 147

A.3 Kisi-kisi Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 170

A.4 Tes Kemampuan Berpikir Kritis... 171

A.5 Jawaban Alternatif dan Penilaian Tes Kemampuan Berpikir Kritis... 172

A.6 Kisi-kisi Skala Disposisi Berpikir Kritis Matematik ... 174

A.7 Skala Disposisi Berpikir Kritis Matematik ... 175

LAMPIRAN B: ANALISIS HASIL UJI COBA INSTRUMEN B.1 Validitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 177

B.2 Reliabilitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 178

B.3 Daya Pembeda Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 179

B.4 Indeks Kesukaran Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik ... 179

B.5 Hasil Uji Coba Disposisi Berpikir Kritis Matematik ... 180

B.6 Reliabilitas Disposisi Berpikir Kritis Matematik... 181

LAMPIRAN C: ANALISIS DATA KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS C.1 Skor Pretes, Postes dan N-Gain Kelompok Eksperimen ... 182

C.2 Skor Pretes, Postes dan N-Gain Kelompok Kontrol ... 183

C.3 Statistik Deskriptif Pretes, Postes, dan N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 184

C.4 Uji Normalitas Skor Pretes, Postes, dan N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 185

C.5 Uji Hipotesis Skor Pretes, Postes, dan N-Gain ... 186

LAMPIRAN D: ANALISIS DATA DISPOSISI BERPIKIR KRITIS D.1 Data Preskala dan Posskala Kelas Eksperimen ... 187

D.2 Data Preskala dan Posskala Kelas Kontrol ... 188

D.3 Rekapitulasi Skor Preskala, Posskala dan N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 189

D.4 Statistik Deskriptif Preskala, Posskala dan N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 190

D.5 Uji Normalitas Preskala, Posskala dan N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 191

D.6 Uji Hipotesis Preskala, Posskala dan N-Gain ... 192

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Matematika merupakan mata pelajaran pokok mulai dari sekolah dasar

sampai perguruan tinggi, baik di sekolah yang berbasis agama maupun berbasis

umum. Matematika merupakan suatu disiplin ilmu yang mempunyai kekhususan

dibanding dengan ilmu pengetahuan lain. Untuk mengetahui kekhususan bidang

ilmu ini, haruslah memahami hakikatnya, dan kemampuan belajar yang menjadi

penentu dalam pemahaman. Tanpa memperhatikan faktor penentu tersebut tujuan

belajar menjadi sulit tercapai. Seorang dikatakan belajar bila diasumsikan dalam

diri orang itu ada kegiatan yang mengakibatkan suatu perubahan pada tingkah

lakunya. Perubahan tingkah laku dapat diamati dari seorang melalui penilaian

pada kemampuan masing-masing. Proses belajar-mengajar akan mengakibatkan

perubahan pada tingkah laku. Proses belajar-mengajar juga dipengaruhi oleh

faktor yang akan menentukan keberhasilan siswa.

Menurut teori yang dikemukakan oleh Bruner (Suherman, dkk., 2001),

belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada

konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam materi yang diajarkan.

Jadi belajar merupakan proses untuk menemukan pola dan struktur materi,

kemudian memahami konsep yang termuat dalam pola-pola dan struktur itu.

Konsentrasi siswa pada materi pembelajaran akan membantu mereka

mengembangkan fakta-fakta, selanjutnya dari fakta tersebut siswa menemukan

sendiri pola dan struktur dari konsep-konsep materi.

Matematika merupakan pelajaran yang dapat menumbuhkembangkan

berbagai kemampuan siswa. Kemampuan siswa untuk menemukan struktur

konsep-konsep materi belajar, sehingga dengan kemampuan tersebut siswa akan

mampu untuk berpikir matematis dan meningkatkan kemampuan lainya seperti

yang termuat dalam National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000)

yaitu diantaranya adalah problem solving, reasoning and proof, communication,

(14)

Lebih lanjut, siswa diharapkan memiliki kemampuan matematis seperti

yang termuat dalam permendiknas No.22 tahun 2006, bahwa pelajaran

matematika SMA bertujuan agar: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan

keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara

luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan-masalah; (2) Menggunakan

penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat

generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan

matematika; (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami

masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan

solusi yang diperoleh; (4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,

diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) Memiliki

sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa

ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet

dan percaya diri dalam pemecahan-masalah (Shadiq, 2009).

Secara umum ada dua macam objek yang berkaitan dengan tujuan

pembelajaran matematika, yaitu objek langsung dan objek tidak langsung. Objek

langsung berkaitan dengan fakta, konsep, prinsip, dan skill matematika. Objek

tidak langsung berkaitan dengan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah,

alih belajar (transfer of learning), menyelidiki, kreatif, bersifat kritis, teliti, dan

pengembangan sikap positif lainnya (Krismanto, 2003; Peter, 2012). Sesuai

dengan tujuan tersebut, maka setelah dilakukan proses pembelajaran kepada siswa

diharapkan dapat memahami dan bersifat kritis (berpikir kritis), sehingga dapat

menggunakan kemampuan tersebut dalam menghadapi masalah-masalah

matematis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berpikir kritis merupakan

bagian kemampuan yang penting dalam belajar matematika.

Dalam proses belajar, prinsip harus terlebih dahulu dipilih, sehingga

sewaktu mempelajari matematika dapat berlangsung dengan lancar. Ini berarti

mempelajari matematika haruslah bertahap dan berurutan serta mendasarkan pada

pengalaman belajar yang terdahulu. Untuk mencapai pemahaman belajar, siswa

menempuh sejumlah proses pemodelan, atau penyusunan skema, proses

(15)

formal. Dengan kata lain, belajar matematika didasarkan pada penggunaan dan

penerapan konsep matematis sebelumnya. Menerapkan konsep-konsep matematis

yang telah dipelajari sebelumnya dengan jalan yang terstruktur secara sistematis,

yaitu suatu proses pembelajaran untuk membangun pemahaman baru. Ini

melandaskan pada paham konstruktivisme.

Pembelajaran matematika akan membantu siswa untuk membangun

konsep-konsep matematis dengan kemampuannya sendiri melalui proses

internalisasi sehingga konsep itu terbangun kembali. Tranformasi pengetahuan

yang diperoleh akan membentuk konsep-konsep baru. Dengan demikian

pembelajaran matematika adalah pembelajaran yang membangun pemahaman,

yaitu pemahaman untuk memecahkan/menyelesaikan berbagai masalah-masalah

matematis baik yang rutin maupun yang non-rutin.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyudin (Dahlan, 2003), ditemukan

bahwa siswa kurang memiliki pengetahuan materi prasyarat yang baik, kurang

memiliki kemampuan untuk memahami serta mengenali konsep-konsep dasar

matematika, kurang memiliki kemampuan dan ketelitian dalam menyimak atau

mengenali sebuah persoalan matematika, kurang memiliki kemampuan menyimak

kembali sebuah jawaban yang diperoleh (apakah jawaban itu mungkin/tidak),

kurang memiliki kemampuan bernalar yang logis dalam menyelesaikan persoalan

atau soal-soal matematika.

Lebih lanjut, Sumarmo (2006) mengemukakan bahwa pembelajaran

matematika hendaknya mengutamakan perkembangan daya matematis siswa,

yaitu meliputi: kemampuan menggali konsep matematika, menyusun konjektur

dan nalar secara logis, menyelesaikan soal non-rutin, menyelesaikan masalah,

berkomunikasi secara matematika, dan mengaitkan ide matematika dengan

kegiatan intelektual lainnya.

Sesuai hasil penelitian tersebut, mengindikasikan kelemahan siswa pada

kemampuan matematis, yaitu ditandai dengan adanya kekeliruan pada

penyelesaian masalah matematis. Beberapa ahli menggolongkan jenis kesalahan

yang sering dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal diantaranya; salah dalam

(16)

penggunaan operasi hitung, algoritma yang tidak sempurna, serta mengerjakan

dengan serampangan (Widdiharto, 2008). Semua jenis kesalahan tersebut berawal

dari pemahaman siswa terhadap konsep matematis yang kurang mereka kuasai

saat memecahkan masalah. Padahal dengan mengerjakan soal-soal latihan maka

pemahaman konsep/prinsip akan semakin mantap (Krismanto, 2003). Akan tetapi,

tetap saja menjadi percuma apabila siswa hanya berlatih mengerjakan soal tanpa

memiliki pengetahuan dan pemahaman pada konsep–konsep matematis sebagai

fondasi atau dasar untuk memecahkan masalah.

Siswa mengalami kesulitan memecahkan masalah matematis karena siswa

kurang memahami pelajaran, dan kadang-kadang bahkan seringkali dialami

bahwa konsep yang disampaikan guru tidak sampai kepada pemahaman siswa.

Karena tidak paham pada konsep pelajaran, maka siswa akan tetap terus

mengalami kesulitan dan sampai pada akhirnya mengalami ketinggalan serta

kehilangan informasi ketika pelajaran dilanjutkan pada pembahasan berikutnya.

Padahal pemahaman sangat penting dalam belajar karena pemahaman merupakan

kemampuan syarat untuk siswa berpikir kritis. Berdasarkan temuan dari hasil

penelitian, Bransford, et al. (NCTM, 2000) menyimpulkan bahwa pemahaman

merupakan komponen penting dari kemampuan yang dimiliki siswa.

Dalam diskusi dari hasil penelitian disertasi yang dilakukan oleh Attorps

(2006), menyebutkan bahwa dengan siswa memahami konsep, menggunakan

rumus dan persamaan matematis sebagai alat untuk memecahan masalah, maka

siswa akan mampu mengembangkan pengetahuan dan kemampuan mereka. Jadi,

adanya rumus matematis bukan hanya sebagai penyedia kebutuhan siswa untuk

memecahkan masalah saja, akan tetapi rumus matematis juga digunakan untuk

mengembangkan kemampuan pemahaman pada konsep dasar matematis. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Shadiq (2009), bahwa pemahaman merupakan

kompetensi yang ditunjukkan siswa dalam memahami konsep dan dalam

melakukan prosedur (algoritma) secara luwes, akurat, efisien, dan tepat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mencapai tujuan dan prinsip-prinsip

dalam kegiatan pembelajaran tidak cukup hanya dengan memecahkan masalah

(17)

adanya siswa yang mengalami masalah dalam mencapai indikator keberhasilan

dan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Untuk mengatasi

masalah-masalah tersebut, juga dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan dan

pencapaian tujuan pembelajaran matematika yang diharapkan, tentu banyak cara

yang perlu ditempuh setiap guru mata pelajaran. Salah satu diantaranya yaitu

dengan guru mengajukan masalah kontekstual yang relevan dengan materi yang

akan dipelajari, kemudian siswa memperoleh pemahaman dari pemecahan

masalah yang ditemukan. Teknik pembelajaran seperti ini dinamakan dengan

pembelajaran berbasis masalah.

Penelitian yang dilakukannya Sugandi (2010) menyimpulkan bahwa,

faktor pendekatan pembelajaran lebih berperan daripada faktor tingkat

kemampuan awal siswa, dan peringkat sekolah dalam menghasilkan kemampuan

matematis tingkat tinggi siswa. Pembelajaran berbasis masalah merupakan

pendekatan pembelajaran yang diimplementasikan dalam penelitian tersebut.

Pembelajaran berbasis masalah adalah siswa belajar dari masalah, siswa

menemukan pemecahan masalah, dan siswa memperoleh pemahaman. Siswa

memahami materi belajar melalui konstruksi pengetahuan sendiri sehingga

menjadi belajar bemakna.

Walaupun kemampuan matematis tingkat tinggi tidak setara dengan

kemampuan berpikir kritis, akan tetapi semua komponen berpikir tingkat tinggi

termuat dalam berpikir kritis (Sumarmo, dkk., 2012). Bercermin dari kesimpulan

hasil penelitian Sugandi (2010), jika siswa belajar berdasarkan masalah akan

meningkatkan pemahaman pada materi belajar, maka akan terlihat perbedaan pada

tingkat pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan yang diperoleh akan dipahami

secara mendalam karena PBM mendorong siswa sendiri yang melakukannya

untuk: memperoleh pengetahuan dan pemahaman konsep, mencapai berpikir

kritis, memiliki kemandirian belajar, keterampilan berpartisipasi dalam kerja

kelompok, dan kemampuan pemecahan masalah (Sumarmo, dkk., 2012).

Bukan berarti pembelajaran tradisional atau konvensional tidak mampu

meningkatkan pemahaman dan kemampuan berpikir mereka. Tetapi, akan lebih

(18)

matematika seperti menerapkan pembelajaran berbasis masalah, maka diharapkan

siswa mampu memecahkan masalah nonrutin yang sebelumnya dirasakan sulit.

Masalah yang sulit akan menjadi lebih sederhana dan memudahkan siswa dalam

mengingat kembali, ketika menghadapi masalah yang sama tetapi dalam bentuk

yang berbeda. Dikarenakan masalah yang diajukan dibuat dalam bentuk

kontekstual, maka akan menghadirkan pengalaman bermakna bagi siswa dengan

belajar berlandaskan paham konstruktivisme.

Ketika siswa berusaha memecahkan masalah, dibutuhkan kegigihan dalam

menghadapi dan menyelesaikan masalah dengan gairah dan perhatian yang serius,

tekun dalam mengerjakannya, rasa ingin tahu, dan percaya diri. Fleksibel dalam

menggunakan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, dan mencari metode

penyelesaian alternatif juga tidak kalah penting dalam usaha menemukan

penyelesaian masalah. Semua kebutuhan pereti tersebut dalam usaha memecahkan

masalah merupakan bagian indikator disposisi matematis yang dikemukakan

Polking (Sumarmo, 2011). Lebih lanjut, juga merupakan karakteristik atau ciri

disposisi berpikir kritis yang ditelaah Ennis (Sumarmo, 2011), yaitu mencari

berbagai alternatif, bersikap terbuka, dan bertindak cepat. Dengan demikian,

pentingnya memiliki disposisi matematis sekaligus disposisi berpikir kritis

merupakan keutamaan dalam kehidupan sehari-hari untuk memecahkan masalah

(Saurino, 2008).

Sumarmo, (2011) mendefinisikan disposisi yaitu keinginan, kesadaran,

dedikasi, dan kecenderungan yang kuat pada siswa untuk merefleksi pemikiran

secara fleksibel dalam mengeksplorasi ide-ide matematis untuk menyelesaikan

masalah, serta berperilaku secara positif, sadar, dan teratur. Kilpatrick, et al.

(2001) mengistilahkan sikap ini sebagai productive disposition (sikap disposisi).

Disposisi berpikir kritis adalah penggunaan kemampuan/strategi untuk

meningkatkan kemungkinan hasil yang diinginkan (Halpern, 1998). Dalam hal ini,

matematika sebagai sarana untuk siswa menumbuhkan sikap tersebut. Pentingnya

mengembangkan sikap positif terhadap matematika termuat dalam tujuan

pembelajaran KTSP butir kelima, yaitu memiliki sikap menghargai kegunaan

(19)

mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam

pemecahan-masalah (Dewanti, 2011; Shadiq, 2008; Sumarmo, 2011).

Menyelesaikan masalah dibutuhkan pula kemampuan yang bisa mengatasi

secara efektif situasi sulit, tidak nyaman, bahkan berbahaya. Kemampuan tersebut

merupakan karakter dari siswa itu sendiri. Karakter menuntut kecerdasan otak,

dan indikator kecerdasan otak diantaranya yaitu berilmu, berpikir logis dan kritis

(Dewanti, 2011). Oleh karena bermanfaat supaya siswa mampu dalam

memecahkan masalah-masalah matematis, maka dari itu perlunya dikembangkan

kemampuan berpikir kritis mereka. Selain itu, pentingnya siswa mengembangkan

kemampuan berpikir kritis karena merupakan salah satu objek tidak langsung dari

tujuan pembelajaran matematika (Krismanto, 2003; Peter, 2012).

Pada pembelajaran matematika di kelas, tidak sedikit siswa yang

ditemukan tidak berdaya dalam usaha memecahkan masalah-masalah matematis.

Sebagai contoh, seperti soal-soal pembuktian yaitu khususnya pada materi

identitas trigonometri. Langkah pengerjaan dan penyelesaian untuk soal-soal

pembuktian dilakukan melalui proses analisis dan evaluasi asumsi. Pola

penyelesaian yang dikembangkan matematika seperti dijelaskan di atas,

merupakan kemampuan yang memang membutuhkan dan melibatkan pemikiran

kritis, sistematis, logis (Shadiq, 2004).

Banyaknya masalah-masalah matematis yang memerlukan pemecahan

dengan cara atau teknik baru menuntut adanya kehadiran inovasi pembelajaran.

Pada umumnya pembelajaran matematika di sekolah masih menekankan pada

hafalan dan mencari jawaban dari soal-soal yang sifatnya rutin atau prosedural

(Ibrahim, 2011). Fakta seperti ini memberikan petunjuk untuk segera melakukan

perbaikan atas kelemahan pembelajaran, sehingga pengembangan kemampuan

berpikir kritis sangat mungkin untuk dikembangkan dalam pembelajaran

matematika. Apalagi diwaktu sekarang ini, yaitu pada era global dan era

perdagangan bebas, kemampuan berpikir kritis, kreatif, logis, dan rasional

semakin dibutuhkan (Shadiq, 2004).

Semakin banyak materi pelajaran yang harus dipahami siswa untuk suatu

(20)

pemikiran yang kritis dengan pemahaman konsep yang baik dari materi yang telah

disampaikan guru, maka siswa akan mudah untuk menyelesaikan masalah atau

soal-soal matematika sekalipun disajikan dalam bentuk yang berbeda, sehingga

kemampuan matematis dan hasil belajar siswa juga akan mengalami peningkatan

yang lebih baik.

Hasil belajar seorang atau sekelompok siswa kadang-kadang di bawah

rata-rata bila dibandingkan dengan hasil belajar teman-teman sekelasnya. Hasil

belajar matematika siswa juga dipengaruhi kemampuan berpikir dan pemahaman

matematis siswa terhadap materi pelajaran. Hal seperti inilah yang perlu mendapat

perhatian guru untuk memberikan pembelajaran berbasis masalah kepada siswa.

Seperti yang dikemukakan Peled (2008) bahwa pentingnya pemecahan-masalah

dalam rangka meningkatkan motivasi belajar, meningkatkan kemampuan berpikir

siswa khususnya berpikir kritis, dan juga mengembangkan pemahaman pada

konsep-konsep matematis. Lebih lanjut, siswa diharapkan memiliki sikap positif

dalam memecahkan masalah-masalah matematis (Dewanti, 2011). Berdasarkan

pernyataan tersebut, juga merupakan sebagian dari alasan penelitian, maka

pembelajaran berbasis masalah sangat perlu untuk diterapkan.

Dalam praktek pembelajaran di sekolah yang memakai sistem klasikal,

seluruh siswa dipandang sebagai suatu kelompok besar yang diharapkan dapat

mengembangkan diri dan mencapai tujuan pelajaran secara bersama-sama, dan

dianggap memiliki kemampuan atau potensial yang sama pula. Padahal

kenyataannya siswa itu mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda,

seperti halnya dalam mencapai tujuan pembelajaran, ada siswa yang dapat

menguasai pelajaran secara mudah, namun ada pula siswa yang lambat dalam

menguasai pelajaran dan akan berakibat mengalami hambatan atau kesulitan

dalam memecahkan masalah, kemudian berikutnya akan menghambat pula

terhadap pencapaian tujuan dari proses tujuan belajarnya.

Kesulitan belajar sebagai masalah adalah terletak dalam hal hambatan ini,

yaitu akibat-akibat yang mungkin akan timbul baik terhadap dirinya maupun

lingkungan bila hambatan ini tidak segera diatasi. Oleh karena itu, adanya

(21)

menuntut adanya suatu rencana demi meningkatkan kemampuan dan sikap positif

siswa untuk berprestasi dalam matematika.

Dalam rencana mengatasi kesulitan siswa memecahkan masalah,

meningkatkan mutu pendidikan matematika yang selama ini boleh dikatakan

masih rendah, menimbulkan kebiasaan berpikir untuk mengkritisi, juga untuk

menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika, dapat dilakukan dengan

beberapa cara antara lain menggunakan pendekatan pembelajaran yang sesuai

ataupun memberdayakan kualitas kemampuan guru agar memiliki dasar yang

mantap sehingga dapat mentransfer ilmu dalam mempersiapkan mutu sumber

daya manusia. Melakukan transfer ilmu dengan memodelkan matematika yang

mungkin dari konteks yang ada, dengan cara menghubungkan variabel-variabel

untuk menemukan kembali konsep-konsep matematis terdahulu dan mendapatkan

rumusan (formula) ataupun mendapatkan suatu prosedur merupakan salah satu

contoh teknis dalam melaksanakan pembelajaran.

Sebagai studi literatur, implementasi pemecahan-masalah dalam

kurikulum matematika telah direalisasikan di Singapura sejak tahun 1992.

Singapura telah menjadikan pemecahan-masalah sebagai pusat kerangka

pembelajaran matematika. Hasil positif telah ditunjukan Singapura dengan

konsisten menempati peringkat satu pada penilaian Trends in International

Mathematics and Science Study (TIMSS) selama tiga tahun berturut-turut yaitu

1995, 1999, dan 2003 (Rudder, 2006). TIMSS mengukur kemampuan literasi

matematis, yaitu kemampuan merumuskan, menerapkan dan menafsirkan

matematika dalam berbagai konteks; kemampuan melakukan penalaran secara

matematis dan menggunakan konsep, prosedur, dan fakta untuk menggambarkan,

menjelaskan atau memperkirakan fenomena/kejadian (Wardhani dan Rumiati,

2011). Melihat indikator kemampuan literasi matematis tersebut, maka erat

kaitannya dengan kemampuan berpikir kritis.

Bergulirnya pemecahan-masalah dalam kurikulum matematika maka akan

tergerak dan berkembangnya kemampuan siswa, sehingga pemecahan-masalah

dipandang sangat penting untuk diterapkan sebagai focus kurikulum matematika

(22)

Jaipal-Jamani (2011) bahwa pemecahan-masalah merupakan salah satu

pembaruan yang efektif dalam belajar dan mengajar matematika. Maka,

pemecahan-masalah dalam matematika merupakan kunci untuk menjadikan

pembelajaran menjadi efektif dalam rangka mengatasi kesulitan siswa

menyelesaikan masalah-masalah matematis.

Dalam menjelaskan konsep baru atau membuat kaitan antara materi yang

telah dikuasai siswa dengan bahan yang disajikan dalam pelajaran matematika,

akan membuat siswa siap mental untuk memasuki persoalan-persoalan yang akan

dibicarakan dan juga dapat meningkatkan minat dan prestasi siswa terhadap

materi pelajaran matematika. Sehubungan dengan itu, kegiatan belajar-mengajar

matematika yang terputus-putus dapat mengganggu proses belajar-mengajar ini

berarti proses belajar matematika akan terjadi dengan lancar bila belajar itu sendiri

dilakukan secara kontinu. Dari keterangan ini, maka dapat disimpulkan bahwa

seseorang akan lebih mudah untuk mempelajari sesuatu apabila belajar didasari

pada apa yang telah diketahui sebelumnya karena dalam mempelajari materi

matematika yang baru, pengalaman sebelumnya akan mempengaruhi kelancaran

proses belajar matematika.

Untuk keberhasilan dalam proses belajar-mengajar penting bagi siswa

memiliki pemahaman. Pemahaman merupakan kemampuan menghubungkan

ide-ide matematis dalam berbagai bentuk representasi yang disajikan. Pemahaman

merupakan kemampuan awal untuk mengembangkan berpikir kritis. Dengan

menghubungkan ide-ide matematis tersebut, maka terjadi aktivitas pada otak dan

secara bersamaan pula akan meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya. Lebih

lanjut, hasil penelitian Prabawati (2011) menunjukan bahwa terdapat korelasi

yang positif antara pemahaman matematis dengan kemampuan berpikir kritis

siswa. Artinya, jika kemampuan berpikir kritis siswa meningkat, maka

kemampuan pemahaman siswa juga demikian. Sabandar (2007) juga

mengutarakan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan hasil cerminan dari

pemecahan masalah. Jika disimpulkan, maka penting adanya inovasi pendidikan

yaitu dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan berpikir

(23)

Pada saat sekarang ini terlihat seakan-akan pembelajaran untuk

meningkatkan berpikir kritis matematis siswa masih kurang mendapat perhatian

yang serius. Padahal jika diperhatikan dengan mempertimbangkan konsekuensi

yang timbul akibat ketidakmengertian dalam belajar matematika, maka diperlukan

upaya untuk mengatasi masalah belajar yaitu dengan berpikir kritis. Sesuai

pernyataan Sumarmo (2000) mengatakan agar pembelajaran dapat

memaksimalkan proses dan hasil belajar matematika, guru perlu mendorong siswa

untuk terlibat secara aktif berdiskusi dalam kelompok ataupun berpasangan,

bertanya serta menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, menjelaskan setiap

jawaban yang diberikan, serta mengajukan alasan untuk setiap jawaban yang

diajukan.

Pada kenyataannya, kebutuhan pendidikan masyarakat Indonesia sangatlah

tinggi, siswa sangat membutuhkan pembelajaran yang berkualitas, pembelajaran

yang memberi mereka pengalaman dalam memecahkan masalah. Untuk itu,

pembelajaran berbasis masalah yang guru kembangkan sangat berarti untuk

membantu masing-masing siswa meningkatkan potensi dirinya melalui penemuan

solusi dari masalah-masalah kontekstual yang diajukan. Di samping itu, juga

membantu pihak sekolah dalam rangka menciptakan lulusan pendidikan yang

berkualitas.

Dalam perkembangan menurut pengamatan sementara, tidak sedikit

sekolah menengah yang masih kurang memberi perhatiannya dalam hal

membantu siswa membiasakan untuk berpikir kritis. Padahal, mencapai tingkat

kemampuan ini sangat penting untuk mereka miliki. Bukan karena keterbatasan

pemahaman siswa dalam matematika, akan tetapi guru juga mempunyai peranan

penting dalam menciptakan ide kreatif untuk pengembangan rencana

pembelajaran bermakna dan berkualitas, berlandaskan paham konstruktivisme,

sehingga pencapaian siswa diharapkan menjadi lebih baik karena masalah

diselesaikan secara kooperatif.

Dengan demikian, diperlukan pemikiran kritis dalam upaya meningkatkan

kualitas kemampuan pada materi belajar, disertai sikap positif siswa yang

(24)

juga agar siswa memperoleh tingkat kemampuan pemecahan-masalah untuk

meningkatkan hasil belajar mereka pula. Berdasarkan dari apa yang telah

diuraikan dan sekaligus menjadi pokok permasalahan, maka penelitian ini

direncanakan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi pembelajaran berbasis

masalah jika dilihat pada peningkatan kemampuan dan disposisi berpikir kritis

matematis siswa.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan pokok

permasalahan yang dapat dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian

sebagai berikut :

1. Apakah kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran konvensional?

2. Apakah disposisi berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional?

3. Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan dan disposisi berpikir kritis

matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran berbasis masalah.

4. Bagaimana gambaran aktivitas guru dan siswa pada kelas yang memperoleh

pembelajaran berbasis masalah.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, dan sejalan dengan rumusan masalah yang

telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini dilakukan adalah sebagai

berikut:

1. Mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran konvensional.

2. Mengetahui disposisi berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang memperoleh

(25)

3. Mengetahui asosiasi antara kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis

siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah.

4. Mengetahui gambaran aktivitas guru dan siswa pada kelas yang memperoleh

pembelajaran berbasis masalah.

D. Manfaat Penelitian

Apabila penelitian ini menunjukan hasil yang signifikan¸ maka diharapkan

dapat bermanfaat bagi :

1. Siswa, dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada pembelajaran

matematika sehingga siswa juga akan memiliki kemampuan untuk

memecahkan masalah-masalah matematis.

2. Guru, sebagai saran bahwa pembelajaran berbasis masalah begitu penting bagi

siswa dalam belajar matematika untuk meningkatkan kemampuan berpikir

kritis mereka.

3. Peneliti, dapat memberikan informasi mengenai peningkatan kemampuan

berpikir kritis khususnya pada pembelajaran berbasis masalah.

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Agar tidak terjadi perbedaan pemahaman istilah dalam penelitian ini, maka

ada beberapa istilah mengenai variabel dalam penelitian yang perlu didefinisikan

secara operasional.

1. Pembelajaran berbasis masalah (PBM) adalah pembelajaran dalam kelompok

kecil yang diawali dengan penyajian masalah kontekstual untuk memahamkan

konsep dan mengembangkan kemampuan matematis melalui beberapa

tahapan; (1) mengorientasikan siswa pada masalah, (2) mengorganisasikan

siswa untuk belajar, (3) membimbing pemeriksaan individual atau kelompok,

(4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya, (5) menganalisis dan

mengevaluasi proses pemecahan masalah.

2. Kemampuan berpikir kritis matematis adalah kemampuan; (1) membedakan

antara sesuatu atau data yang relevan dan yang tidak relevan, (2) menarik

pertimbangan yang bernilai, (3) menganalisis dan mengevaluasi asumsi,

(26)

3. Disposisi berpikir kritis matematis adalah kecenderungan untuk bersikap kritis

dalam belajar matematika yang meliputi; (1) bertanya secara jelas dan

beralasan, (2) berusaha memahami dengan baik, (3) menggunakan sumber

yang terpercaya, (4) tetap mengacu/relevan ke masalah pokok, (5) mencari

berbagai alternatif, (6) bersikap terbuka, berani mengambil posisi, bertindak

cepat, (7) memandang sesuatu secara menyeleluruh, (8) memanfaatkan cara

berpikir orang yang kritis, (9) bersikap sensisif terhadap perasaan orang lain.

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan,

maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran

berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran

konvensional.

2. Disposisi berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran

berbasis masalah lebih baik daripada siswa siswa yang memperoleh

pembelajaran konvensional.

3. Terdapat asosiasi antara kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis

(27)

A. Disain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan pendekatan

kuantitatif. Peneliti tidak melakukan pengelompokan ulang subjek secara acak,

kelompok subjek telah terbentuk dengan masing-masing jadwal pelajaran yang

telah ditentukan dari pihak sekolah. Apabila peneliti melakukan random pada

subjek, maka sistem pembelajaran di sekolah juga akan kacau, sehingga peneliti

akan menerima keadaan kelompok seadanya (Ruseffendi, 2010).

Dalam penelitian terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel

terikat. Variabel bebas penelitian adalah pembelajaran berbasis-masalah (PBM),

sedangkan variabel terikatnya yaitu kemampuan berpikir kritis matematis.

Penelitian ini akan melihat sejauh mana PBM dapat meningkatkan kemampuan

berpikir kritis matematis siswa, yaitu dengan membandingkan hasil uji perbedaan

rata-rata skor n-gain yang diperoleh dari nilai pretes dan postes antara kelompok

eksperimen dengan kelompok kontrol.

Kelompok eksperimen adalah kelompok siswa yang memperoleh PBM,

sedangkan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran konvensional (PK).

Untuk mengetahui efektivitas kedua pembelajaran, tes dilakukan dua kali pada

masing-masing kelompok yaitu sebelum proses pembelajaran yang disebut

dengan pretes, dan sesudah proses pembelajaran yang disebut postes. Dengan

demikian, disain penelitian ini adalah disain kelompok kontrol non-ekivalen yaitu

sebagai berikut (Ruseffendi, 2010).

O X O

O O

Keterangan :

O : pretes dan postes kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis.

X1 : pembelajaran berbasis-masalah (PBM).

Untuk mengetahui berhasil tidaknya perlakuan pembelajaran yang

(28)

pretes siswa kelompok PBM, kemudian membandingkan pula dengan hasil postes

yang diperoleh siswa kelompok pembelajaran konvensional (PK). Pretes terlebih

dahulu diberikan sebelum pelaksanaan pembelajaran diimplementasikan pada

masing-masing kelompok, dengan tujuan mengukur pengetahuan awal yang

dimiliki siswa. Postes merupakan penilaian akhir setelah program selesai. Akan

tetapi, ada kemungkinan skor postes lebih baik daripada skor pretes bukan

dikarenakan perlakuan, yaitu karena masalah lain seperti lebih mengenal ciri

karakteristik soal sehingga mudah untuk mengerjakannya.

Karena keterbatasan penulis, maka permasalahan lain yang mempengaruhi

dalam penelitian ini dieliminasikan. Dalam arti, penulis tidak memperhatikan

faktor-faktor tersebut, penulis hanya mengasumsikan bahwa peningkatan

kemampuan dan disposis berpikir kritis matematis siswa dikarenakan efek dari

perlakuan yang diberikan. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis

diketahui dari hasil uji perbedaan rata-rata antara skor kelompok eksperimen dan

kontrol, kemudian membandingkan hasil uji dengan taraf signifikansi yaitu 0,05.

Artinya, peluang diterima secara kebetulan untuk PBM dapat meningkatkan

kemampuan berpikir kritis matematis lebih baik daripada PK kurang dari 5%.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa di satu SMA Negeri di

Tanjungpandan Bangka Belitung tahun pelajaran 2012/2013, yang menjadi

sampel adalah siswa kelas X sebagai subjek penelitian. Sampel penelitian diambil

secara purposive, dikarenakan tidak memungkinkan untuk melakukan

pengelompokan secara random pada siswa-siswa ke dalam kelompok-kelompok

baru, dan terpilih sebanyak dua kelas dari banyaknya kelas yang ada di SMA

Negeri tersebut. Alasan peneliti memilih subjek penelitian dikarenakan :

1. Penetapan siswa SMA kelas X sebagai sampel karena kesesuaian pada materi

belajar yang akan diteliti. Materi belajar matematika yaitu trigonometri pada

semester genap. Oleh karena materi ini baru pertama kali diperkenalkan pada

siswa, sehingga menuntut siswa untuk mampu memahami konsep-konsepnya.

(29)

memberikan kesimpulan dari proses pembuktian pada sub-materi identitas

trigonometri, sehingga akan terjadi proses pengembangan dan peningkatan

pada kemampuan berpikir kritisnya.

2. Pemilihan sekolah yang berada di Tanjungpandan Bangka Belitung dilakukan

karena peneliti mengharapkan kepada siswa di sekolah tersebut untuk

melakukan pengembangan pada pola pikir mereka dalam memecahan masalah

matematis dengan berbagai cara untuk memecahkannya disertai pemahaman

mereka pada materi-materi pelajaran.

3. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa merupakan tantangan dalam

penelitian, karena pembelajaran klasikal (konvensional) hanya menekankan

pada pengerjaan soal berdasarkan contoh saja. Hal ini akan dijadikan landasan

untuk meneliti kemampuan berpikir kritis matematis siswa, yang diasumsikan

mengalami perbedaan peningkatan apabila siswa diberikan PBM.

C. Instrumen Penelitian

Untuk mengumpulkan data kuantitatif yang akan menghasilkan jawaban

dari rumusan dan hipotesis penelitian ini, maka dibuatlah seperangkat instrumen.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa tes kemampuan dan skala

disposisi berpikir kritis matematis.

1. Tes kemampuan berpikir kritis matematis

Tes kemampuan berpikir kritis dibuat dalam bentuk uraian, karena bentuk

uraian cocok untuk mengukur kemampuan berpikir kritis. Tes disusun sesuai

kisi-kisi berdasarkan masing-masing indikator. Sebagian tes hasil modifikasi dari

Syaban (2008). Tes terdiri dari pretes dan postes. Soal pretes dan postes dibuat

relatif sama. Pretes dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal tiap kelompok,

dan digunakan sebagai tolak ukur peningkatan kemampuan sebelum

mengimplementasikan PBM. Postes untuk menilai kemampuan siswa sebagai

efek dari perlakuan penelitian, juga sebagai bentuk peningkatan yang berbeda

secara signifikan atau tidak.

Tes diberikan pada setiap kelompok siswa. Setelah pretes dan postes

(30)

digunakan untuk pedoman penskoran yaitu seperti yang diusulkan Hancock

(Prabawati, 2011) sebagai berikut:

Tabel 3.1

Pedoman Pemberian Skor Tes Kemampuan Berpikir Kritis

Keterangan jawaban Skor

1.Jawaban lengkap dan benar untuk pernyataan yang diberikan.

2.Ilustrasi keterampilan pemecahan masalah, penalaran, dan komunikasinya sempurna.

3.Jika jawaban terbuka, semua jawaban benar.

4.Pekerjaannya ditunjukan atau dijelaskan secara detail. 5.Memuat sedikit kesalahan.

4

1.Jawaban benar untuk masalah yang diberikan.

2.Illustrasi keterampilan pemecahan masalah, penalaran dan komunikasi baik.

3.Jika jawaban terbuka, banyak jawaban yang benar. 4.Pekerjaannya ditunjukkan atau dijelaskan.

5.Memuat beberapa kesalahan dalam penalaran matematis.

3

1.Beberapa jawaban dari pertanyaan tidak lengkap.

2.Illustrasi keterampilan pemecahan masalah, penalaran dan komunikasinya cukup.

3.Kekurangan dalam berpikir tingkat tinggi terlihat jelas. 4.Penyimpulan terlihat tidak akurat.

5.Muncul beberapa keterbatasan dalam pemahaman matematis. 6.Banyak kesalahan dari penalaran matematis yang muncul.

2

1.Muncul masalah dalam meniru ide matematika tetapi tidak dikembangkan.

2.Keterampilan pemecahan masalah, penalaran atau komunikasi kurang. 3.Banyak kesalahan perhitungan yang muncul.

4.Terdapat sedikit pemahaman matematis yang diilustrasikan. 5.Siswa jarang mencoba beberapa hal.

1

1.Keseluruhan jawaban tidak ada atau tidak nampak.

2.Tidak muncul keterampilan pemecahan masalah, penalaran atau komunikasi.

3.Pemahaman matematisnya sama sekali tidak muncul. 4.Terlihat jelas bluffing (mencoba-coba, menebak). 5.Tidak menjawab semua kemungkinan yang diberikan.

0

Tes kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan mengikuti indikator

seperti yang tercantum dalam definisi operasional yang dikemukakan pada bagian

sebelumnya yaitu diantaranya: (1) membedakan antara sesuatu atau data yang

(31)

(3) menganalisis dan mengevaluasi asumsi, (4) membuat deduksi, (5) membuat

generalisasi.

a) Uji Validitas Tes

1) Validitas Isi dan Validitas Muka

Instrumen tes kemampuan berpikir kritis dikonsultasikan pada dosen

pembimbing untuk mengetahui validitas isi dan validitas muka, yaitu berkenaan

dengan ketepatan alat ukur pada materi yang diujikan, tujuan yang ingin dicapai,

kesesuaian antara indikator dan butir soal, serta kejelasan bahasa/redaksional atau

gambar/representasi dalam soal.

2) Validitas Empirik

Tes awal (pretes) dan tes akhir (postes) yang digunakan pada penelitian ini

perlu dilakukan uji validitas. Tes dinyatakan valid apabila mengukur apa yang

semestinya harus diukur. Perhitungan validitas butir soal akan dilakukan dengan

rumus korelasi product moment (Arikunto, 2008; Ruseffendi, 1991) yaitu:

 

X : Nilai masing-masing butir soal.

Y : Nilai total.

Untuk menguji signifikansi setiap koefisien korelasi yang diperoleh,

digunakan uji-t (Sudjana, 2005), dengan adalah jumlah subjek (testee) dan

adalah koefisien korelasi (r ) dengan rumus sebagai berikut: xy

2

menafsirkan koefisen validitas, yaitu: (1) melihat harga dan diinterpretasikan

(32)

sehingga dapat diketahui signifikansinya, jika lebih besar dari nilai t

harga kritis, maka dinyatakan tidak signifikan (tidak valid), dan begitu juga

sebaliknya. Koefisien validitas tiap butir tes dan skala diinterpretasi menurut

kriteria Guilford yang dinyatakan pada Tabel berikut (Arikunto, 2008; Suherman,

2003). Dalam hal ini r diartikan sebagai koefisien validitas. xy

Tabel 3.2

kesimpulan valid atau tidaknya suatu butir tes berdasarkan penafsiran harga

koefisien validitas. Hasil perhitung koefisien validitas beserta interpretasinya

terangkum dalam Tabel 3.3.

Tabel 3.3

Hasil Uji Validitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis

No. Butir Keterangan Interpretasi

Berdasarkan hasil perhitungan uji validitas tes kemampuan berpikir kritis

dalam Tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa semua butir tes kemampuan

(33)

butir soal lebih dari harga . Ujicoba tes kemampuan berpikir kritis ini

dilakukan pada 26 siswa di salah satu sekolah menengah yang berada di kota

Bandung.

b) Uji Reliabilitas Tes

Setelah tes diuji validitas tiap item, kemudian dilanjutkan dengan uji

reliabilitas pada seluruh item tes yang telah dinyatakan valid. Reliabilitas sama

dengan konsistensi atau keajegan. Suatu alat ukur dikatakan reliabel bila alat ukur

tersebut konsisten atau stabil. Artinya, jika instrumen digunakan beberapa kali

untuk mengukur obyek yang sama, maka akan menghasilkan data yang sama pula.

Uji reliabilitas menggunakan rumus Alpha Cronbach (Ruseffendi, 2010).



r11 : reliabilitas instrumen

k : banyak butir soal

Tes yang dinyatakan valid, sebelum digunakan untuk mengukur

kemampuan berpikir kritis siswa kelompok eksperimen dan kontrol dalam

penelitian, maka kembali dikumpulkan untuk diuji reliabilitasnya. Tingkat

reliabilitas dari soal ujicoba didasarkan pada klasifikasi Guilford (Suherman,

2003; Ruseffendi, 1991; Ruseffendi, 2010), yaitu sebagai berikut

(34)

Setelah dilakukan perhitungan, maka diperoleh koefisien reliabilitas tes

kemampuan berpikir kritis sebesar yang berarti soal-soal dalam tes yang

diujicobakan memiliki reliabilitas sedang. Karena nilai koefisien reliabilitas tes

kemampuan berpikir kritis berpikir kritis lebih dari nilai kritisnya, maka tes

tersebut dinyatakan reliabel, dan interpretasinya berada pada klasifikasi sedang.

Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran B.

c) Uji Tingkat Kesukaran Tes

Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu

sukar. Bilangan yang menunjukkan derajat kesukaran suatu butir soal disebut

indeks kesukaran (Difficulty Index) (Suherman, 2003). Indeks kesukaran biasa

disebut juga dengan tingkat kesukaran atau taraf kesukaran, yaitu perbandingan

antara banyaknya siswa yang menjawab benar suatu nomor tes dengan banyaknya

siswa yang menjawab tes nomor tersebut. Skor indeks kesukaran yaitu antara nol

sampai dengan satu. Apabila soal tersebut dinyatakan sukar, maka indeks atau

tingkat kesukarannya semakin mendekati satu. Langkah-langkah menghitung

koefisien indeks kesukaran, dapat dilakukan sebagai berikut (Ruseffendi, 1991):

a. Mengurutkan skor-skor mulai dari yang tertinggi.

b. Pisahkan 27,5% skor tertinggi sebagai kelompok atas dan 27,5% skor terendah

sebagai kelompok bawah.

c. Untuk tiap butir soal dalam tiap kelompok, hitung jumlah skor kelompok atas

disebut SA dan hitung jumlah skor kelompok bawah disebut SB.

Perhitungan koefisien indeks kesukaran untuk soal uraian menggunakan

rumus sebagai berikut (Sumarmo, 2010):

A

S : jumlah skor siswa kelompok bawah suatu butir.

A

(35)

Tingkatan klasifikasi yang banyak digunakan untuk menginterpretasi

koefisien indeks kesukaran hasil perhitungan menurut analisis skor dari jawaban

siswa berdasarkan pembagian kelompok atas dan kelompok bawah, dinyatakan ke

dalam kriteria sebagai berikut (Suherman, 2003)

Tabel 3.5

Klasifikasi Koefisien Indeks Kesukaran

Koefisien Indeks Kesukaran Klasifikasi

IK = 1,00 Soal terlalu mudah

0,70 ≤ IK < 1,00 Soal mudah

0,30 ≤ IK < 0,70 Soal sedang 0,00 < IK < 0,30 Soal sukar

IK = 0,00 Soal sangat sukar

Perhitungan indeks kesukaran dilakukan pada skor kemampuan berpikir

kritis matematis menggunakan aplikasi komputer yaitu software Anates Uraian.

Dari hasil perhitungan indeks kesukaran setiap butir soal diperoleh hasil seperti

tampak pada Tabel 3.6 di bawah. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat

pada lampiran.

Tabel 3.6

Hasil Analisis Indeks Kesukaran Tes Kemampuan Berpikir Kritis

No Butir IK Keterangan

1 Sedang 2 Sedang 3 Sukar 4 Sukar 5 Sangat Sukar 6 Sangat Sukar

d) Uji Daya Pembeda Tes

Daya pembeda adalah kemampuan butir soal untuk membedakan antara

siswa yang pandai atau siswa yang berkemampuan tinggi (kelompok unggul)

dengan siswa yang kurang pandai atau siswa yang berkemampuan rendah

(kelompok asor) (Suherman, 2003). Daya pembeda biasa disebut juga dengan

(36)

dengan skor jawaban untuk seluruh soal. Langkah-langkah yang digunakan untuk

menganalisis koefisien daya pembeda sama persis seperti langkah-langkah untuk

analisis koefisien indeks kesukaran. Beberapa pakar memberikan rumus

perhitungan untuk menganalisis daya pembeda, hasil perhitungan menggunakan

masing-masing rumus yang diberikan pakar-pakar evaluasi hasil belajar akan

menghasilkan penaksiran angka yang sama. Rumus yang digunakan untuk

menghitung koefisien daya pembeda setiap butir soal adalah sebagai berikut

(Sumarmo, 2010):

A B A

J S S

DB 

Keterangan :

DB : Daya pembeda.

A

S : jumlah skor siswa kelompok atas suatu butir.

B

S : jumlah skor siswa kelompok bawah suatu butir.

A

J : jumlah skor ideal suatu butir.

Adapun kriteria pengklasifikasian yang banyak digunakan sebagai

ketentuan untuk menafsirkan koefisien daya pembeda tiap butir soal adalah

sebagai berikut (Suherman, 2003)

Tabel 3.7

Klasifikasi Koefisien Daya Pembeda

Koefisien Daya Pembeda Klasifikasi

0,70 < DB ≤ 1,00 Sangat baik

0,40 < DB ≤ 0,70 Baik

0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup 0,00 < DB ≤ 0,20 Jelek

DB ≤ 0,00 Sangat jelek

Perhitungan analisis daya pembeda tes kemampuan berpikir kritis

matematis dengan menggunakan bantuan software Anates Uraian. Rekapitulasi

hasil analisis daya pembeda tes yang berbentuk soal uraian dapat dilihat pada

Tabel 3.8 di bawah, sedangkan perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada

(37)

Tabel 3.8

Hasil Analisis Daya Pembeda Tes Kemampuan Berpikir Kritis

No Butir DP Keterangan

1 0,428 Baik

2 0,500 Cukup

3 0,476 Baik

4 0,428 Cukup

5 0,214 Cukup

6 0,238 Cukup

2. Skala disposisi berpikir kritis matematis

Skala disposisi berpikir kritis merupakan data yang diperoleh dari hasil

pemberian seperangkat pernyataan tertulis untuk dijawab oleh responden. Tujuan

digunakan yaitu untuk mendapatkan respon siswa pada kegiatan atau pendapat

tentang bagaimana siswa bertanya, memahami, menggunakan sumber belajar,

mencari berbagai alternatif, bersikap terbuka, mengambil posisi dan bertindak

cepat, memberi pandangan terhadap sesuatu, memanfaatkan cara berpikir orang

lain yang kritis, dan sikap sensitif terhadap perasaan orang lain. Skala yang

digunakan terdiri dari 37 item pernyataan, yang merupakan adopsi dan modifikasi

dari skala disposisi berpikir kritis Sumarmo,dkk. (2012).

Skala disposisi berpikir kritis adalah model Likert. Skala Likert disusun

dalam bentuk suatu pernyataan dan diikuti oleh derajat penilaian siswa yang

tersusun secara bertingkat ke dalam empat kategori, yaitu sering sekali (Ss), sering

(Sr), jarang (Jr), dan jarang sekali (Js). Untuk menghindari pernyataan ragu-ragu

siswa pada suatu kegiatan dan pendapat, maka boleh tidak menggunakan kategori

Kd (kadang-kadang) (Arikunto, 2006). Pemberian skor skala diposisi berpikir

kritis yang sering dipakai dalam mentransfer data kuantitatif menjadi data

kualitatif untuk setiap pilihan dari pernyataan positif berturut-turut 4, 3, 2, 1, dan

sebaliknya 1, 2, 3, 4 untuk pernyataan negatif.

Skor ideal digunakan sebagai pertimbangan menentukan kategori disposisi

berpikir kritis. Batas minimal kategori tinggi adalah 70% dari skor ideal, minimal

untuk kategori sedang adalah 56%, dan kurang dari itu adalah kategori rendah

(38)

Tabel 3.9

Kriteria Kategori Disposisi Berpikir Kritis

Skor Kategori

Skor  73 Tinggi 58  Skor  72 Sedang Skor  58 Rendah

Dari skala disposisi berpikir kritis, diperoleh data hasil penyebaran angket

yang berasal dari kelompok eksperimen dan kontrol. Data yang diperoleh tersebut

merupakan derajat pilihan masing-masing siswa terhadap empat kategori

mengenai suatu pernyataan yang memuat indikator disposisi berpikir kritis.

a) Uji Validitas Skala

Sebelum skala digunakan untuk penelitian, perangkat tersebut terlebih

dahulu diuji coba. Setelah uji coba, dilanjutkan dengan tahap analisis data. Data

skala disposisi berpikir kritis dianalisis untuk mengetahui validitas dan reliabilitas

saja. Menurut Sumarmo (2010), butir skala sikap (disposisi berpikir kritis) yang

akan digunakan sebagai instrumen penelitian diseleksi menggunakan seleksi butir

skala sikap dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

1) Menentukan skot tiap subjek

2) Menentukan kelompok tinggi dan kelompok rendah (sekitar 27% - 30%)

3) Menentukan mean skor kelompok tinggi (X ) dan kelompok rendah (T X ). R

4) Menentukan varians kelompok tinggi (ST2) dan kelompok rendah ( 2

R

S ).

5) Menghitung nilai t dengan rumus sebagai berikut:

R

Validitas butir skala diestimasi dengan membandingkan nilai t hitung

dengan nilai . Jika lebih besar dari nilai , maka butir skala sikap

tersebut mempunyai validitas yang baik sehingga dapat digunakan. Dengan

menggunakan taraf signifikansi , dan diperoleh harga

(39)

suatu butir skala berdasarkan penafsiran harga koefisien validitas. Hasil perhitung

koefisien validitas beserta interpretasinya terangkum dalam Tabel 3.10.

Tabel 3.10

Rekapitulasi Hasil Uji Validitas Skala Disposisi Berpikir Kritis

No.

Butir Ket.

No.

Butir Ket.

No.

Butir Ket.

1 TV 14 V 27 V

2 V 15 V 28 V

3 TV 16 TV 29 TV

4 V 17 V 30 TV

5 V 18 V 31 V

6 V 19 TV 32 V

7 V 20 V 33 V

8 V 21 V 34 V

9 V 22 TV 35 V

10 V 23 V 36 V

11 TV 24 TV 37 V

12 V 25 TV

13 V 26 TV

Catatan: V=Valid, dan TV=Tidak Valid

Hasil perhitungan uji validitas butir skala disposisi berpikir kritis diperoleh

26 skala yang valid dari 37 skala yang diujicobakan, berarti ada 11 skala yang

tidak valid. Ujicoba skala disposisi berpikir kritis ini dilakukan pada 25 siswa di

salah satu sekolah menengah yang berada di kota Bandung. Kemudian dengan

skala yang sama dilakukan observasi untuk uji validitas pada 29 siswa di salah

satu sekolah menengah yang berada di kota Tanjungpandan Belitung.

b) Uji Reliabilitas Skala

Setelah dilakukan uji validitas pada tiap item skala maka dilanjutkan

dengan uji reliabilitas pada seluruh item yang telah dinyatakan valid. Reliabilitas

sama dengan konsistensi atau keajegan. Skala dikatakan reliabel bila alat ukur

tersebut konsisten atau stabil. Dengan kata lain, jika instrumen digunakan

beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama, maka akan menghasilkan data

yang sama pula.

Interpretasi koefisien reliabilitas skala yang diujicoba, didasarkan pada

(40)

Tabel 3.11

Skala disposisi berpikir kritis merupakan angket skala sikap model likert.

Sebelum mengetahui dimana klasifikasi reliabilitas dalam kriteria tersebut

berdasarkan koefisiennya, terlebih dahulu menghitung koefisien reliabilitas skala

yang diestimasi dengan teknik paruhan (nomor ganjil dan nomor genap)

menggunakan korelasi product moment. Hasil perhitungan koefisien reliabilitas

skala teknik paruhan dikoreksi menggunakan rumus sebagai berikut (Ruseffendi,

1991; Ruseffendi, 2005; Arikunto 2008).

r : Koefisien reliabilitas instrumen

b

r : Koefisien korelasi belahan ganjil-genap skala

Skala yang akan diukur dalam penelitian ini, dan yang dinyatakan valid,

maka kembali dikumpulkan untuk diuji reliabilitasnya. Setelah dilakukan

perhitungan, maka diperoleh koefisien reliabilitas skala yang diestimasi dengan

teknik paruhan (nomor ganjil dan nomor genap) sebesar , sehingga hasil

koreksi koefisien reliabilitas skala disposisi berpikir kritis teknik paruhan

diketahui sebesar , berarti skala yang diujicoba memiliki nilai reliabilitas

yang termasuk ke dalam klasifikasi sedang.

3. Observasi Aktivitas Guru dan Siswa

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini selain skor kemampuan dan

Gambar

Tabel 3.1 Pedoman Pemberian Skor Tes Kemampuan Berpikir Kritis .........................
Tabel 3.1 Pedoman Pemberian Skor Tes Kemampuan Berpikir Kritis
gambar/representasi dalam soal.
Tabel 3.2 Interpretasi Koefisien Validitas
+7

Referensi

Dokumen terkait

In standard music notation such grace notes are written BEFORE the beat, though they are actually played ON

The low level of knowledge of the mother can affect exclusive breastfeeding, both for working mothers and housewives. Most mothers are busy working reasoned,

yang memiliki kesimpulan bahwa survey menunjukan banyak konsumen yang menyukai kopi yang dijual pada coffee shop yang sudah memiliki nama (kopi produk luar),

Pemohon memahami proses asesmen untuk skema Klaster Pengoperasian Alat Berat Heavy Dump Truck Mechanical ( Loading, Hauling dan Dumping ) yang mencakup persyaratan

Pernyataan utang berikut berasal dari laporan keuangan untuk periode 9 (sembilan) bulan yang berakhir pada 30 September 2017 telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Tanubrata

Pemasangan patok batas sudah sesuai Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional atau PMNA/KaBPN No.3 Tahun 1997 Pasal 22 ayat (1c). Sebelum

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul “ Pengaruh Perbedaan Proporsi Buah

jumlah harta benda yang diperoleh dari setiap TPK. Sifat fleksibelitas pidana PUP yang demikian menyebabkan dapat saja jumlah atau besaran pidana PUP