• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN MASALAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PEMBAHASAN MASALAH"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PEMBAHASAN MASALAH

1. Konsep Dasar Autisme 1.1 Pengertian Autisme

Autisme berasal dari kata Auto yang berarti sendiri, autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner, sekalipun ini sudah ada sejak berabad-abad yang lampau (Handoyo, 2004 : 12).

Autisme adalah suatu istilah atau nama yang digunakan untuk menggambarkan perilaku yang aneh atau ganjil dan keterlambatan sosial, dan komunikasi yang berat (Kirk dan Gallagher, 1986 : 427).

Autisme merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial dan fungsi afek, komunikasi verbal (bahasa) dan non verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi (Lumbantobing, 2001). Dewasa ini terdapat kecenderungan peningkatan kasus-kasus autisme pada anak (autisme infantile). Umumnya keluhan utama yang disampaikan oleh orang tua adalah keterlambatan bicara, perilaku aneh dan acuh tak acuh, atau cemas apakah anaknya tuli. Autisme sendiri sesungguhnya suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis gangguan

(2)

perkembangan pervasive yang ditandai dengan hubungan hendaya timbal balik sosial, penyimpangan komunikasi, pola perilaku yang terbatas dan stereotipik. Fungsi abnormal ini sudah harus nampak pada umur 3 tahun. Lebih dari dua pertiga penderita gangguan autisme menderita retardasi mental, tetapi hal ini tidak mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis (Newson dkk,1998).Dari beberapa kali penelitian yang telah dilakukan, ternyata diduga bahwa penyebab utama autisme adalah gangguan perkembangan pada bagian otak tertentu yaitu amigdala, hipokampus, serebelum dan lobus temporalis. Tingkat kerusakan otak akibat gangguan perkembangan tersebut akan memberikan efek pada individu sesuai dengan derajat kerusakan otak itu sendiri. Efek yang timbul akan sangat mempengaruhi sekali terhadap tingkah laku individu dan pembentukan tingkah laku itu (Hartono,1998).

Autisme termasuk kasus yang jarang, biasanya identifikasinya melalui pemeriksaan yang teliti di rumah sakit, dokter atau sekolah khusus. Prevalensi autisme didapatkan sekitar 2-5/10.000 anak di bawah umur 12 tahun. Jika dimasukkan retardasi mental berat ditambah dengan gangguan autisme maka angkanya dapat mencapai 20/10.000 anak. Penelitian epidemiologi di Amerika utara, Asia dan Eropa memperkirakan prevalensi antara 2-13/10.000 anak (Rapin,2001; Lumbantobing,2001; Aeni dkk,2001). Pada umumnya gangguan autisme mulai sebelum 36 bulan, tetapi mungkin tidak

(3)

diperhatikan oleh orang tua, tergantung kewaspadaan orang tua dan beratnya gangguan. Gangguan autisme lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan, yaitu 3-5 kali lebih sering. Tetapi anak perempuan yang mengalami gangguan autisme cenderung lebih berat dan mempunyai riwayat keluarga dengan gangguan kognitif dibanding anak laki-laki.

Penyebab yang pasti dari autisme tidak diketahui, yang pasti hal ini bukan disebabkan oleh pola asuh yang salah. Penelitian terbaru menitikberatkan pada kelainan biologis dan neurologis di otak termasuk ketidakseimbangan biokimia, faktor genetik dan gangguan kekebalan. Beberapa kasus mungkin berhubungan dengan infeksi virus (rubella congenital atau cytomegalic inclusion disease), fenilketonuria (suatu kekurangan enzim yang sifatnya diturunkan) dan sindroma X yang rapuh (kesalahan kromosom). (www.medicastore.com).

Sedangkan menurut www. smartschool.com, penyebab utama dari autisme belum diketahui dengan pasti autisme diduga disebabkan oleh gangguan neurobiologis pada susunan syaraf pusat meliputi faktor genetik, gangguan pertumbuhan sel otak pada janin, gangguan pencernaan, keracunan logam berat dan gangguan auto-imun.

Autisme adalah suatu kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir ataupun masa balita yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal, hal ini mengakibatkan

(4)

anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan termasuk dalam dunia repetitif, aktifitas, dan minat yang obsesof (Baron-Cohen, 1993).

1.2 Karakteristik Autisme

Menurut Power (1989), karakteristik anak autistik adalah adanya 6 gejala / gangguan, yaitu dalam bidang :

(1) Interaksi sosial

- Tidak tertarik untuk bermain bersama teman - Lebih suka menyendiri

- Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan

- Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan, misalnya bila ingin meminta minum

(2) Komunikasi (bicara, bahasa, dan komunikasi)

- Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada - Senang meniru atau membeo (ekolalia)

- Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tapi kemudian sirna

- Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya - Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa

yang tidak dapat dimengerti orang lain

(5)

- Bila senang meniru, dapat hafal betul kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa mengerti artinya.

- Sebagian dari anak ini tidak berbicara (nonverbal) atau sedikit berbicara (kurang verbal) sampai usia dewasa. (3) Pola bermain

- Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya

- Senang akan benda-benda yang berputar seperti kipas angin, roda sepeda, gasing.

- Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik atau rodanya diputar-putar.

- Tidak kreatif, tidak imajinatif.

- Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa kemana-mana.

(4) Gangguan sensoris

- Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga - Sering menggunakan indera pencium dan perasanya,

seperti senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.

- Dapat sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.

- Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut. (5) Perkembangan terlambat atau tidak normal

(6)

- Perkembangan tidak sesuai seperti pada anak normal, khususnya dalam keterampilan sosial, komunikasi dan kognisi.

- Dapat mempunyai perkembangan yang normal pada awalnya, kemudian menurun atau bahkan sirna, misalnya pernah dapat bicara kemudian hilang.

(6) Penampakan gejala

- Gejala diatas dapat mulai nampak sejak lahir atau saat masih kecil. Biasanya sebelum usia 3 tahun gejala sudah ada.

- Pada beberapa anak sekitar umur 5-6 tahun, gejala tampak agak berkurang.

Gejala yang juga sering tampak adalah dalam bidang : 1. Perilaku

- Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan mata ke pesawat TV, lari/berjalan bolak-balik, melakukan gerakan yang diulang-ulang.

- Tidak suka pada perubahan

- Dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong. 2. Emosi

(7)

- Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa alasan.

- Tempertantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau dibering keinginannya.

- Kadang suka menyerang dan merusak

- Kadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri.

- Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.

Tetapi tidak semua gejala diatas ada pada anak autisme. Gejala dapat beraneka ragam sehingga tampak bahwa tidak ada anak autisme yang benar-benar sama dalam semua tingkah lakunya.

Untuk mendiagnosis gangguan anak autisme, terdapat beberapa kriteria yang perlu kita ketahui dan pahami, baik ditinjau dari definisi secara edukasional maupun secara medis. Dalam DSM-IV, autisme ditempatkan di bawah kategori gangguan perkembangan pervasif antara retardasi mental dan gangguan perkembangan spesifik. Sedangkan penegakkan diagnosis hanya dapat dilakukan oleh seorang ahli yang cukup berpengalaman, seperti psikologis klinis, dokter spesialis perkembangan anak, psikiater anak atau neorologis khusus autisme dan gangguan perkembangan, apakah seorang anak menderita autisme atau tidak, digunakan standar international tentang autisme. ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV

(8)

(Diagnostic and Statistical Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk autisme Infantil yang isinya sama, yang saat ini dipakai di seluruh dunia. Kriteria tersebut adalah :

a) Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2) dan (3) seperti di bawah ini, dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3).

(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik, minimal harus ada 2 dari gejala di bawah ini :

a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang tertuju.

b. Tak bisa bermain dengan teman sebaya.

c. Tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal

balik.

(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi, minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini :

a. Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal.

b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi

(9)

c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang

d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru

(3) Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala-gejala di bawah ini :

a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan

b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya

c. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda.

b) Sebelum umur 3 tahun, tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang :

a. Interaksi sosial b. Bicara dan berbahasa

c. Cara bermain yang kurang variatif

Bukan disebabkan oleh sindroma rett atau gangguan disintegratif masa kanak.

(10)

2. Metode Applied Behavioral Analysis (ABA) Lovaas

Dalam tatalaksana gangguan autisme, terapi perilaku merupakan tatalaksana yang paling penting. Metode yang digunakan adalah metode Lovaas. Metode Lovaas adalah metode modifikasi tingkah laku yang disebut dengan Applied Behavioral Analysis (ABA). ABA juga sering disebut sebagai Behavioral Intervention atau Behavioral Modification. Dasar pemikirannya, perilaku yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan bisa dikontrol atau dibentuk dengan system reward dan punishment. Pemberian reward akan meningkatkan frekuensi munculnya perilaku yang diinginkan, sedangkan punishment akan menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang tidak diinginkan (Nakita, 2002).

Dari kepustakaan beberapa tahun yang lalu, jumlah penyandang autisme diperkirakan mencapai 15-20 per 10.000 kelahiran. Data terakhir menunjukkan peningkatan, yaitu sekitar 60 per 10.000 kelahiran atau 1 : 250 anak. Dari hasil penelitian diketahui bahwa dengan intervensi dini intensif berdasarkan prinsip Applied Behavior Analys (ABA), penyandang autisme dapat mencapai suatu tingkat yang dulu dikira mustahil, mereka dapat "sembuh" (dalam tanda petik). Penyandang autisme dikatakan "sembuh" bila mereka berhasil masuk ke dalam mainstreaming, yaitu mereka dapat masuk dan mengikuti sekolah biasa/reguler, dapat berkembang dan hidup mandiri di masyarakat.

Dari Tatalaksana Perilaku (ABA) atau yang dikenal juga sebagai Metode Lovaas, metode ini sedemikian sistematik, terstruktur, dan terukur.

(11)

Metode ini mempunyai tahapan-tahapan yang jelas, sehingga bila dipelajari dengan baik maka dapat dilakukan oleh para profesional dengan hasil yang sama (bila memenuhi standar-standar yang ditentukan). Tatalaksana Perilaku (ABA/Metode Lovaas) mengajarkan/melatih penyandang autisme menguasai kemampuan yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Metode ini memecah aktivitas-aktivitas kompleks menjadi bagian kecil-kecil. Bagian-bagian kecil ini kemudian diajarkan/dilatih secara one-on-one (satu terapis untuk satu anak) secara sistematik, terstruktur dan terukur, secara berulang-ulang. Setelah bagian-bagian/konsep-konsep ini dikuasai, kemudian digabung-gabungkan menjadi aktivitas yang kompleks. Tatalaksana Perilaku tidak hanya mengajarkan berbagai aktivitas, tetapi yang terpenting lagi adalah "mengajarkan anak bagaimana caranya belajar", untuk kemudian menggeneralisasikannya pada berbagai hal yang berbeda (subyek, obyek, instruksi, respons, tempat, dan waktu). Setelah berbagai aktivitas dikuasai, anak mulai dimasukkan ke kelompok kecil dengan tehnik bayangan/shadowing, dan akhirnya pada kelompok besar. Dan generalisasi yang terpenting adalah di sekolah dan/atau di masyarakat.

2.1 Konsep Dasar Applied Behavioral Analysis (ABA)

Dasar metode ABA adalah semua tingkah laku dipelajari, baik yang sederhana, seperti kontak mata atau duduk, sampai yang kompleks, misalnya interaksi sosial dan kemampuan memahami sudut pandang orang lain. Tingkah laku kompleks ini dapat dipelajari dengan

(12)

memecah menjadi komponen-komponen atau kemampuan-kemampuan persyaratan yang lebih sederhana, yang kemudian diajarkan kepada anak. Untuk membantu anak belajar, harus diketahui hal apa saja yang dapat meningkatkan kemungkinan anak untuk menunjukkan respon seperti yang diinginkan, yang dikenal dengan sebutan reinforcer (penguat). Reinforce positif akan meningkatkan kemungkinan munculnya tingkah laku yang diinginkan (desirable behavioral). Sebaliknya, reinforcer negative meningkatkan kemungkinan tidak munculnya tingkah laku yang tidak diinginkan (undesirable behavioral). Reinforcer positif berupa akses ke barang atau hal-hal yang disukai anak, sedangakan reinforcer negative adalah penghilangan hal-hal yang menyenangkan dari didi anak (Lovaas dkk,1987; Nakita,2001).

2.2 Tujuan Applied Behavioral Analysis (ABA)

Membuat kegiatan belajar menjadi aktifivitas yang kreatif dan menyenangkan bagi anak. Mengajarkan kepada anak agar mampu membedakan atau mendiskriminasikan stimulus-stimulus yang berbeda. Tanpa kemampuan ini, anak tidak sanggup merespon secara tepat.

2.3 Metode Pengajaran Applied Behavioral Analysis (ABA)

Metode pengajaran yang digunakan adalah DTT (Discrete Trial Training) yaitu metode yang berstruktur menuruti pola tertentu dan

(13)

bisa ditentukan awal dan akhirnya. DTT terdiri dari instruktur, prompt, respon, konsekuensi dan interval waktu antara instruksi yang satu dengan instruksi yang lain. Masalah pada minat yang terbatas dan berulang-ulang, misalnya minat berlebihan pada suatu benda, tidak mau dirubah rutinitasnya, terpukau/terpaku pada bagian-bagian benda, stimulasi diri seperti jalan, berjinjit, berputar-putar, memutar-mutar benda, senang melihat benda, berputar, mengepak-ngepakkan kedua tangan.

a. Shaping – suatu proses dimana secara bertahap kita memodifikasi perilaku anak sesuai dengan yang kita kehendaki. Shaping biasanya dilakukan dengan menyesuaikan persyaratan sebelum reinforcement diberikan. Contohnya, jika anak belajar mengucapkan suatu kata, pada awalnya anak akan diminta untuk memegang bendanya sebelum mendapatkan benda tsb. Kemudian, kita minta anak menirukan suara awal, suku kata dan akhirnya keseluruhan kata.

b. Prompting – bantuan yang diberikan oleh instruktur supaya anak dapat memberikan respond yang benar. Salah satu perbedaan pokok antara kebanyakan ABA tradisional dan model VBA adalah penggunaan “errorless learning” pada model VB sedangkan pada model ABA tradisional menggunakan prosedur “tidak, tidak, prompt”.

(14)

c. Fading – Ini adalah bagian yang paling kritikal dari mengajari anak, jangan sampai anak menjadi tergantung pada prompt. Bentuk prompt apapun harus berangsur-angsur dikurangi sesuai dengan kemampuan anak.

d. Chaining – pada dasarnya chaining berarti bahwa skills dipecah-pecah menjadi unit terkecil/termudah dan diajarkan sedikit demi sedikit. Chaining ada 2 macam – forward atau backward – yang dipakai untuk mengajarkan suatu skill baru.

e. Differential Reinforcement – reinforcement adalah bagian yang paling penting dari pengajaran! Reinforcement adalah memberikan respon terhadap perilaku anak dan respon tersebut dapat meningkatkan perilaku tsb. Differential artinya bahwa reinforcement tingkatnya berbeda-beda tergantung dari respond anak. Tugas yang lebih sulit diberi reinforcer yang lebih ketimbang tugas yang mudah. Reinforcer ini harus diganti-ganti secara sistematik supaya anak mau memberikan respond yang sesuai dalam berbagai kondisi.

2.4 Kemampuan Dasar Applied Behavioral Analysis (ABA)

Berbagai kemampuan yang diajarkan melalui program ABA dapat dibedakan menjadi enam kemampuan dasar, yaitu :

(15)

a. Kemampuan memperhatikan (Attending Skill)

Pada program ini terdapat dua prosedur. Pertama melatih anak untuk bisa memfokuskan pandangan mata pada orang yang ada di depannya atau disebut dengan kontak mata. Yang kedua melatih anak untuk memperhatikan keadaan atau objek yang ada di sekelilingnya. (Lovaas dkk,1996).

b. Kemampuan menirukan (Imitation Skill)

Pada kemampuan imitasi anak diajarkan untuk meniru gerakan motorik kasar dan halus. Selanjutnya, urutan gerakan, meniru gambar sederhana atau meniru tindakan yang disertai bunyi-bunyian (Lovaas dkk,1996; Hardiono & Nakita,2002). c. Bahasa reseptif

Melatih anak agar mempunyai kemampuan mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan nada suara dan akhirnya mengerti kata-kata (Hardiono,2002).

d. Bahasa ekspresif

Melatih kemampuan anak untuk mengutarakan pikirannya, dimulai dari komunikasi preverbal (sebelum anak dapat bicara), komunikasi dengan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan akhirnya dengan menggunakan kata-kata atau komunikasi verbal (Hardiono,2002)

(16)

e. Kemampuan praakademis

Melatih anak untuk dapat bermain dengan benar, memberikan permainan yang mengajarkan anak tentang emosi, hubungan ketidakteraturan (irregularities), dan stimulus-stimulus di lingkungannya seperti bunyi-bunyian serta melatih anak untuk mengembangkan imajinasinya lewat media seni seperti menggambar benda-benda yangada di sekitarnya (Lovaas dkk,1996).

f. Kemampuan mengurus diri sendiri (Self Help Skill)

Program ini bertujuan untuk melatih anak agar bisa memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Pertama anak dilatih untuk bisa makan sendiri, umumnya pada anak yang normal dia dapat mempelajarinya dengan mudah. Tetapi untuk penderita autisme ini membutuhkan waktu yang lama dan bertahap. Yang kedua anak dilatih untuk bisa buang air kecil atau yang disebut toilet training. Kemudian tahapan selanjutnya adalah dressing, brushing or combing hair and tooth brushing. Pelatihan ini dilakukan secara pelan-pelan dan bertahap (Azrin & Fox, 1971)

3. Pengembangan Kemampuan Komunikasi Anak Autis Dengan Metode Lovaas

Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu berusaha untuk berkomunikasi dengan sesamanya untuk mengungkapkan perasaan,

(17)

keinginan, dan pikiran masing-masing, meskipun demikian tidak semua manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya secara sempurna. Orang yang tidak dapat berkomunikasi dengan sempurna disebut mengalami gangguan komunikasi.

Menurut Abdurahman (1994 : 153) mengemukakan komunikasi adalah pengiriman pesan atau informasi dari komunikator (orang yang mengirim pesan) kepada komunikan (orang yang menerima pesan). Dalam komunikasi informasi akan terjadi interaksi antara dua orang atau lebih.

Sedangkan itu, komunikasi berkembang melalui 4 tahapan : a) The Own Agenda Stage

- Anak masih suka main sendiri, tidak tertarik pada orang sekitar

- Anak belum tahu bahwa komunikasi dapat mempengaruhi orang lain

- Untuk mengetahui keinginannya kita perhatikan gerak tubuh dan ekspresi wajah

- Anak ambil sendiri benda-benda yang diinginkannya. b) The Requester Stage

- Mulai menyadari tingkah lakunya dapat mempengaruhi orang lain.

- Bila menginginkan sesuatu akan menarik tangan kita dan mengarahkannya ke benda yang diinginkan

(18)

- Mampu mengulangi kata-kata/suara tapi bukan untuk komunikasi tapi untuk menenangkan diri

- Bisa mengikuti perintah sederhana tapi belum konsisten c) The Early Communication Stage

- Anak menyadai bahwa ia bisa menggunakan satu bentuk komunikasi tertentu secara konsisten pada situasi khusus. - Inisiatf komunikasi masih terbatas pada pemenuhan

kebutuhannya

- Mulai memahami isyarat visual / gambar komunikasi dan memahami kalimat sederhana yang kita ucapkan

- Anak mulai memanggil nama. Menunjuk sesuatu yang diinginkannya, melakukan kontak mata untuk menarik perhatian  berarti anak siap melakukan komunikasi 2 arah.

d) The Partner Stage - Fase paling efektif

- Bila kemampuan bicara baik, ia mampu melakukan percakapan sederhana

- Dapat menceritakan pengalaman, keinginan, dan mengekspresikan pengalaman

- Tapi biasanya anak masih terpaku pada kalimat-kalimat yang telah dihafalkan dan sulit menemukan topik pembicaraan yang tepat pada situasi baru

(19)

- Anak yang mengalami kesulitan untuk bicara, komunikasi dapat dengan rangkaian gambar atau menyusun kartu-kartu bertulisan.

Anak yang mengalami autisme sulit melakukan kontak mata sehingga memberikan kesan tak peduli terhadap orang lain di sekitarnya. Kontak mata yang lama membantu anak-anak dalam memperoleh lebih banyak informasi bahasa, yaitu melalui ekspresi wajah dan gerakan-gerakan tubuh atau syarat-syarat. Kelainan utama anak autistik adalah dalam hal komunikasi verbal. Ada 4 komponen dalam komunikasi verbal, yaitu :

1. Suara 2. Artikulasi

3. Kelancaran bicara 4. Kemampuan berbahasa

Setiap individu autis memiliki ciri khas yang berbeda-beda, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kaitannya dengan kegiatan belajar mengajar, pada umumnya mereka memiliki ciri khas sebagai berikut :

CIRI YANG DAPAT MEMBANTU

CIRI YANG DAPAT MENJADI KENDALA

√ Daya ingat baik, dapat mengingat informasi

√ Mudah memahami dan

√ Sulit memahami instruksi yang disampaikan secara verbal dan merupakan

(20)

mengingat berbagai hal yang ia lihat atau ia pegang

√ Mudah memahami berbagai hal yang ia alami

√ Dapat ditingkatkan

pemahamannya, bahkan sebagian besar di antara mereka tidak terganggu daya tangkapnya

√ Dapat diarahkan, dapat dibantu aktualisasi potensi

rangkaian

√ Sulit melakukan dua hal sekaligus, karena berfikir secara mono (tunggal) √ Proses berfikir visual lebih

lambat daripada proses berfikir ’biasa’ sehingga perlu jeda sebelum berespons

√ Ketakutan

berlebihan/irrasional akan sesuatu

√ Fiksasi akan sesuatu, berfikir kaku

√ Sulit persepsi irama (ritme) √ Sulit berdialog dan

berkomunikasi

√ Sulit pahami aturan-aturan sosial

Dalam pembelajarannya menggunakan multi teknik pengajaran, sesuai dengan kaidah-kaidah pengajaran dan pembelajaran Lovaas (1981),

(21)

menuturkan untuk mendapatkan hasil yang optimal bila penanganan dilakukan :

o Sejak usia dini (sebelum usia 3 tahun)

o Secara intensif (sekitar 40 jam seminggu) selama sekitar 2 tahun non stop

o Dilakukan dimanapun anak berada secara konsisten

o Anak tidak mengalami gangguan lain yang dapat menghambat

o Terapis dan orang tua menerima keadaan anak apa adanya Untuk itu dalam mengimplemantasikan kemampuan berkomunikasi bagi anak autisme di sekolah diperlukan satu assesmen terlebih dahulu. Untuk itu penulis menyusun instrumen assesmen komunikasi bagi pengembangan kemampuan berkomunikasi bagi anak autisme digambarkan dalam instrumen berikut pada lampiran makalah ini. Keterampilan yang kompleks tidak diajarkan sebelum anak menguasai prasyaratnya.

Jika assesmen mengenai latar belakang telah selesai dilanjutkan pada tahapan selanjutnya melalui tahapan-tahapan yang ada di metode ABA yaitu (1) megklasifikasi perilaku bahasa anak autisme, (2) Mengevaluasi Respon Anak Terhadap Lingkungan, (3) Mengajarkan Komunikasi Anak Autisme dengan Bermain

Pembelajaran yang sesuai dengan tahapan metode ABA dimulai dari meminta sesuatu atau keinginan untuk memiliki sesuatu tanpa harus ditanya “Mau apa?”. Contohnya:

(22)

- Bolehkah aku minta kue? - Mama mana?

Tahapan selanjutnya adalah mengikuti petunjuk atau mematuhi permintaan orang lain atau receptive. Contohnya:

- Pegang boneka Dora (anak memegang boneka)

- Buang ini ke tempat sampah (anak melakukan yg diperintahkan)

- Apa yang bunyinya “tuit jes… jes” (anak memegang kereta api)

Tahapan selanjutnya yaitu melabel atau memberi nama item, aksi atau apapun yang ada/tampak atau Tact . Tact yang murni tidak ada kaitannya dengan adanya keinginan akan item tsb.

Contohnya:

“Apa ini namanya?” (anak menyebutkan nama item) “Bagaimana rasanya bulu kucing?” (anak berkata “halus”) “Apa yang kamu lihat?” (anak berkata “burung)

Selanjutnya adalah Intraverbal , sebuah respon atas apa yang dikatakan orang yang berkaitan dengan suatu item, aksi atau sesuatu yang bersifat menjawab pertanyaan atau melakukan percakapan.

- Apa yang bunyinya meong? (anak menjawab “kucing”)

- Apa yang kamu lakukan di sekolah tadi? (anak menjawab “aku mewarna gambar kucing”)

(23)

Terakhir adalah menirukan/mengulangi persis apa yang dikatakan orang lain

- Apakah kamu mau keluar? (anak berkata “Apakah kamu mau keluar?”)

- Ibu berkata “mobil” (anak menirukan “mobil”)

Dua hal yang paling penting untuk diingat dalam mengajarkan anak untuk meminta/MAND-ing dengan menggunakan berbagai bentuk komunikasi (vocal, gambar, bahasa isyarat) adalah:

a. Anak harus benar-benar menginginkan item tersebut.

b. Anak harus dapat merespond stimuli yang kita pakai untuk mengajarkan dia untuk meminta

c. mengajarkan bahasa isyarat harus menggunakan teknik prompting dan prompt fading agar anak tidak frustrasi.

d. Pakailah benda yang dapat dibagi kecil-kecil (kue dicuil kecil dll) untuk permintaan pertama agar kita punya banyak kesempatan untuk melatih anak meminta berulang-ulang. e. Jika benda yang diinginkan anak tidak dapat dibagi/pecah ke

bagian yang lebih kecil, maka sangat penting untuk mengajarkan anak menyerahkan reinforcer agar kita bisa mengulang.

f. Untuk melakukan hal di atas, mintalah ke anak benda tsb. ketika si anak memegangnya, jika anak tidak mau memberikan, ambillah dan langsung kembalikan. Jika anak

(24)

mulai berteriak, menangis atau menunjukkan perilaku negatif lainnya ketika benda tsb. diambil, berpalinglah, abaikan atau gunakan prosedur berhitung sampai si anak berhenti menunjukkan perilaku tsb. Kemudian, prompt isyarat untuk meminta dan berikan benda tsb. ke anak. Teruskan sampai si anak mau memberikan benda ke anda atas permintaan. Segera setelah anak mau memberikan atas permintaan, berikan reinforcer.

3.1 Komponen-komponen Metode Lovaas Dalam Pembelajaran 3.1.1. Tujuan

Bahwa setiap anak memiliki irama perkembangan yang berbeda antara anak yang satu dengan yang lainnya. Untuk itu pelayanan dan program pendidikan kepada anak tentunya tidak dapat disamakan, demikian halnya dengan pelayanan pendidikan pada anak autisme. Salah satu program pembelajaran untuk anak autisme adalah dengan program IEP (Individualized Education Program) atau program pendidikan individual. Hal ini dapat dilakukan dengan satu guru satu murid atau satu guru beberapa murid dengan program yang berbeda-beda. Dengan demikian, masing-masing murid dilayani sesuai dengan kebutuhan sendiri-sendiri.

(25)

Hari-hari pertama dari pelatihan mungkin merupakan hasil pertama, mereka diminta untuk duduk dan mengikuti lebih satu atau dua menit. Biasanya anak akan bereaksi melawan, berusaha dan mencoba untuk meninggalkan ruangan, menangis, mengamuk dan mereka mungkin menunjukkan agresi (penyerangan) serta melukai diri (self injury).

Tujuan dibuatnya program pembelajaran adalah agar materi yang diberikan kepada anak didik dapat tersampaikan dengan baik dan sistematis, terpola / terprogram, sehingga sebagai guru akan bisa mengevaluasi seberapa tingkat keberhasilan / kekurangan setelah kegiatan belajar mengajar dilaksanakan.

3.1.2. Materi Program

- Kemampuan untuk memperhatikan (mendengarkan instruksi)

- Meniru (tiru / tirukan)

- Memasangkan (belajar lingkungan)

- Identifikasi (memegang, memanggil, menunjuk) - Ekspresi (Apa? Siapa?)

(26)

3.1.3. Metode

Sebenarnya ragam metode pembelajaran cukup banyak jumlahnya, dan dalam penggunaan metode tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik anak. Oleh karena itu, dalam metode pembelajaran ini penulis menggunakan metode Lovaas yang berdasarkan “Behaviour Modification” atau “Discrete Trial Training”. Menurut Gitaman (1997:61) dalam buku Mirza Maulana, bahwa :

Metode Behaviour Modification atau Discrete Trial Training menggunakan urutan A-B-C. A atau Antecedent (pra kegiatan) adalah pemberian instruksi, misalnya pertanyaan, perintah, atau visual. Berikan waktu tiga atau lima detik untuk si anak memberikan respon. Dalam memberikan instruksi perhatikan bahwa si anak ada dalam keadaan siap (duduk, diam, tangan ke bawah) suara atau instruksi tidak diulang. Untuk permulaan, gunakanlah kata perintah B atau Behaviour (perilaku) yaitu respon anak. Respon yang diharapkan haruslah jelas dan anak haruslah memberi respon dalam tiga detik. C atau Consequence (konsekuensi atau akibat), konsekuensi haruslah seketika berupa reinforcement atau tidak.

(27)

Untuk respon yang benar :

A – bila instruksi yang diberikan yaitu “tepuk tangan”, B – anak menepuk tangannya,

C – guru berkata “Bagus” sebagai imbalan positif.

Untuk respon yang salah :

A – bila instruksi yang diberikan yaitu “tepuk tangan”, B – anak melambaikan tangannya,

C – guru berkata “Tidak”.

Untuk tidak ada respon :

A – bila instruksi yang diberikan yaitu “tepuk tangan”, B – anak tidak melakukan apa-apa,

C – guru berkata “Lihat” atau “Dengar” (Promt atau Bantuan)

3.1.4. Evaluasi

Anak bisa / tidak bisa mengidentifikasi prilaku Beberapa gaya penilaian :

a. Menerapkan nilai sesuai respon anak setiap trial; tepat, tepat dengan bantuan, tidak tepat / salah, tidak ada respon. b. Menerapkan dalam bentuk promt.

(28)

3.2 Implementasi Pembelajaran Komunikasi Anak Autisme Dengan Metode Lovaas

Untuk membantu menentukan jenis mainan apa yang disukai anak, kita harus melihat reaksi anak terhadap stimulasi dan perilaku self-stim anak. Hal yang paling penting untuk diingat adalah setiap kali kita memperkenalkan aktivitas atau mainan baru, kita harus memasangkannya (pairing) dengan reinforcement. Misalnya jika anak senang dipeluk erat-erat, pasangkan ini dengan kegiatan membaca buku. Jika dia senang melihat benda2 yang berputar, pilih mainan atau aktivitas yang berputar. Jika anak suka suara2 lucu, gunakanlah ketika bermain dengan anak, jika suka musik, bernyanyilah dan seterusnya. Salah satu kesalahan terbesar yang sering kita lakukan adalah ketika bermain dengan anak, kita mengajukan banyak pertanyaan. Ini bukan bermain, tetapi mengetes anak dan anak tidak akan menyukainya.

a. Memulai Bermain

Dalam memberikan pembelajaran komunikasi dengan bermain yang menjadi tahapan dari permainan ini adalah : 1) Bangun antisipasi: ulangi kata2 atau urutan gerakan yang

sama berulang-ulang, kemudian hentikan sejenak. Mis. Cilukba.Katakan ciluk…ba….. Ciluk…ba. Ketika anak mulai memberikan atensi, tersenyum dan memberikan kontak mata, berhentilah sebelum mengatakan …. “Ba!”,

(29)

anak akan mengatakan “Ba!” atau mencoba membuka selimut dari kepala anda.

2) Lakukan sesuatu yang tidak terduga: ulangi suatu aktivitas dengan cara yang sama, kemudian tiba-tiba ubahlah.

3) Tirukan apa yang dilakukan anak kemudian buatlah permainan.

4) Interupsi permainan anak dengan cara yang menyenangkan 5) Pasangkan kata2/suara dengan apa yang sedang dilakukan

anak. Mis. ketika anak sedang menggambar.. Katakan… gambar..gambar, bundar..bundar, atas.. Bawah (apapun yang menjelaskan apa yang dilakukan anak).

6) Gunakan ekspresi muka dan gerakan badan yang dilebih-lebihkan untuk menarik perhatian anak.

7) Ciptakan arti. Dengarkan ocehan/suara anak, jika anak sedang menggambar membuat suara yang mirip dengan suatu kata, misalnya “bulan”, cepat ambil pensil/spidol dan gambar “bulan” seakan-akan anak menyuruh anda menggambar bulan.

8) Perkenalkan karakter-2 yang berlainan, misalnya sponge bob, elmo dan lain-lain.

(30)

Setiap anak berbeda, jadi kita harus memperhatikan dengan seksama untuk memutuskan kapan untuk menambahkan “demand” pada aktivitas. Setelah anak dapat meminta mainan atau aktifitas, kita dapat menambahkan apa yang harus dia minta sebelum mendapatkan hasil akhirnya. Misalnya, setelah anak dapat secara konsisten meminta main dengan bola, taruh bola pada wadah tembus pandang, dan ajarkan dia untuk meminta membuka wadahnya. Berikutnya kita dapat mengajarkan dia untuk minta menggelindingkan, melambungkan atau melemparkan.

Tahapan yang perlu diperhatikan adalah Jangan meningkatkan tuntutan ke anak terlalu cepat sehingga anak tidak mau berpartisipasi dalam permainan lagi. Beberapa anak mempunyai sedikit sekali aktifitas/mainan yang disukai dan susah menerima permainan baru. Jika demikian, biarkan anak melihat Anda bermain dengan mainan baru tersebut dulu sambil anak makan atau minum jus kesukaannya (pairing). Jika anak mulai tersenyum dan meraih mainan, maka berarti anak mulai siap bermain dengan mainan yang baru tsb.

Pada saat sesi belajar sambil bermain, seringkali secara tidak sadar kita memberi banyak pertanyaan. Hal ini harus dihindari, sebaliknya beri contoh untuk melabel, mintalah respon reseptif dan lakukan banyak “problem solving” selama bermain,

(31)

misalnya ketika bermain dengan boneka teletubbies, pura-pura si Tinky winky sakit, beri anak pilihan sebaiknya dibawa ke dokter atau ke taman dan lain-lain.

Media bermain yang dapat diajdikan media komunikasi bagi anak autisme yaitu : Linear movement toys (stimulasi visual), Alat-alat menggambar/mewarna, Alat-alat untuk memukul, menangkap – sendok kayu, drum stick, jaring, serta Benda-benda yang bergerak atau dapat digerakkan secara linear – pasir/beras/biji dituang ke cangkir, kereta api, mobil-mobil an dan lain-lain.

Dalam menentukan materi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut Kelebihan dan kekurangan anak, Kemampuan anak dalam mengolah materi, Reaksi anak terhadap jumlah jenis materi, Prasarat untuk masing-masing jenis materi dan Kemungkinan menggunakan aspek pengajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Materi dipilih seyogyanya memiliki nilai fungsi dalam kehidupannya dan memiliki nilai aplikatif.

Anak dengan hambatan komunikasi biasanya mencari cara lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan/dibutuhkan, cara yang paling sering dilakukan adalah dengan merengek, menangis sampai tantrum (perilaku negative). Bila timbul perilaku negative maka:

1. Jangan pernah memberikan anak akses untuk mendapatkan reinforcer (apa yang diinginkan) dengan perilaku negatif.

(32)

2. Mengabaikan tantrum dapat meningkatkan tantrum sementara waktu, namun jangan sampai menyerah pada perilaku tantrum anak

3. Tetap tenang, setelah anak mereda, gunakan gambar, tanda atau tunjukkan benda-benda untuk mengetahui apa yang diinginkan anak.

Hal yang penting dari perilaku negative adalah kita harus belajar dari perilaku tersebut. Jika si anak tantrum, maka berarti prosedur pengajaran harus disesuaikan. Lihat pada reinforcernya, densitas dari reinforcer, dan tingkat kesulitan tugas yang diajarkan ke anak untuk menentukan apa yang harus disesuaikan kembali.

3.3 Program Pembelajaran

3.3.1 Aspek Kegiatan Belajar Mengajar

Agar dalam program pembelajaran anak autisme lebih berhasil, teraah dan berjalan dengan lancar, maka sebagai guru harus memperhatikan aspek-aspek yang turut mempengaruhi dalam kegiatan belajar mengajar, antara lain :

a. Pembelajaran Yang Menarik

Pertahankan pembelajaran yang menarik, berikan pujian yang konstan untuk tetap tinggal di kursi, dan campur tuntutan tugas dengan aktivitas bermain. Mulai dengan membuat sesuatu jam belajar singkat (lima sampai

(33)

sepuluh menit) dan istirahat dengan waktu yang sama panjangnya. Pada awalnya, selama istirahat kita membiarkan anak untuk mengerjakan apa yang mereka inginkan, tetapi nantinya waktu istirahat juga sebaiknya dijadikan bagian latihan dengan sejumlah instruksi.

b. Ruangan Kelas

Pilih yang sunyi untuk instruksi yang bebas dari distruksi (pengalihan perhatian), sediakan tiga kursi seukuran anak (satu untuk guru, satu untuk asisten, satu untuk anak)

c. Kontak Mata

Kontak mata merupakan keberhasilan dari program pembelajaran, krena anak tidak mungkin belajar bila dia tidak memandang dan berperhatian kepada guru. Meningkatkan kontak mata dapat dilakukan dengan cara :

Bangkitkan kontak mata anak dengan memberi perintah “Lihat” bersamaan dengan menempatkan benda-benda yang menarik perhatiannya setinggi mata terapis. Benda-benda tersebut meliputi berbagai jenis barang yang ingin kita berikan yang memang merupakan benda yang disukai oleh anak; guru secara cepat mengambil

(34)

mendahului anak dan ditempatkan setinggi mata guru sambil menyatakan “Lihat” sebelum anak menoleh, sebab guru sedang melatih kontak mata.

Hal yang perlu diperhatikan adalah yakinkan bahwa anak melihat mata guru, tidak hanya pada benda yang dipegangnya, benda dipegang sedekat-dekatnya ke mata guru, dan jauhkan jaraknya dengan mata anak (sekitar satu atau dua meter). Setelah dilakukan berulang-ulang selama beberapa hari, maka yakin bahwa anak sudah melakukan kontak mata dengan guru, maka saatnya untuk melakukan peningkatan lamanya kontak mata.

Menurut Sutadi (1997 : 27) menyatakan bahwa “kontak mata dinyatakan baik sekali bila dapat dipertahankan selama lima detik”. Yang perlu dipersiapkan dalam pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas antara lain sebuah meja untuk bahan-bahan instruksi dan imbalan dan jaga bahan-bahan imbalan di luar jangkauan anak, serta yang perlu dipersiapkan yaitu rencana pelajaran yang berhubungan terhadap tugas yang diajarkan, juga lembar penilaian untuk memonitor kemajuan.

Mulai setiap waktu belajar dengan langsung meletakkan dua kursi berhadap-hadapan anak dan guru.

(35)

Mungkin perlu untuk merangkumkan tungkai pada kursi anak untuk mencegahnya melarikan diri. Ketika anak mulai patuh, pindahkan meja lebih dekat ke kursi, akhirnya guru dan anak akan duduk bersebrangan di sisi meja. Selanjutnya mulai untuk memperkenalkan bahan-bahan tambahan untuk pelatihan.

d. Instruksi

Instruksi yang diberikan singkat, jelas, konsisten, dan hanya diberikan sekali (jangan diulang-ulang misalnya “masukkan, masukkan, ayo masukkan”).

Singkat, yaitu sedapatnya instruksi hanya terdiri dari satu kata saja, misalnya : “tiru”, “lihat”, “peragakan”, “tunjuk”, “buka”, dan sebagainya dengan promt (bantuan / arahan).

Instruksi diberikan dengan suara yang neutral (cukup keras, tegas, tetapi bukan membentak).

e. Prompt (Bantuan / Dorongan / Arahan)

Beberapa anak memerlukan tambahan bantuan untuk melakukan keterampilan atau perilaku yang diinginkan.

Contoh, jika instruksi “ambil bola !” diberikan dan anak tidak merespon, guru dapat melakukan prompt untuk

(36)

mendapatkan respon dengan secara fisik menggerakkan tangan anak ketika memberikan instruksi “ambil bola !”.

f. Reinforcement (Penguatan)

Terdapat beberapa jenis penguatan yaitu berupa imbalan. Hal yang paling penting untuk diingat adalah bahwa mereka harus individual. Ciri umum imbalan adalah benda-benda atau aktifitas-aktifitas yang positif seperli makan, pelukan, ciuman, pujian, dan sebagainya. Imbalan bukan merupakan apa yang orang lain rasakan kualitas positifnya, tetapi dengan itu dapat meningkatkan perilaku anak. Maka berbagai benda dan aktifitas, walau tidak umum, mungkin merupakan imbalan terhadap individu tersebut. Guru sebaiknya melakukan suatu evaluasi imbalan, mungkin perlu mengerjakan lebih sering jika anak sukar dimotivasi. Pujian adalah yang paling alamiah, menyenangkan dan universal.

3.3.2 Pelaksanaan Pembelajaran

- Program pembelajaran untuk anak autisme adalah dengan program pendidikan individual, dalam arti satu guru satu murid. Mengingat pada umumnya anak autis kurang dapat memusatkan perhatian, kurang bisa konsentrasi / mudah beralih pada obyek lain, maka perlu suatu penanganan

(37)

yang khusus. Metode pembelajaran yang cocok adalah metode Lovaas yang berdasarkan Behavior Modification (Modifikasi tingkah laku). Behavior Modification (Modifikasi tingkah laku) adalah suatu pendekatan sistematik tertentu untuk merubah tingkah laku dan mengajar keterampilan-keterampilan baru. Metode ini menekankan sehingga anak akan lebih suka melakukan hal-hal yang membawa kepada akibat yang tidak menyenangkan.

Anak diberikan reinforcement (penguat) apabila bertingkah laku yang baik. Biasanya pada awal pembelajaran diperlukan suatu prompt (dengan / tanpa prompt) diikuti dengan reinforcement.

- Pelaksanaan program pembelajaran untuk anak autisme akan lebih terarah dan berhasil, sebagai guru (pengajar) harus memperhatikan aspek-aspek yaitu : pembelajaran yang menarik, buat kontak mata dengan anak, instruksi harus singkat dan jelas, kepada anak mungkin juga perlu diberikan bantuan / dorongan / arahan dan sebagai penguat pada respon yang benar diberikan suatu hadiah / pujian.

(38)

3.3.3 Mengevaluasi Respon Anak Terhadap Lingkungan

Setelah anak mampu meminta, melabel item di lingkungannya. Lovaas mengistilahkan FFCs – singkatan dari Features, Functions dan Classes. FFCs diajarkan agar anak dapat belajar hubungan antara kata-kata yang telah diketahui. Features adalah bagian dari item atau deskripsi item. Function adalah aksi yg terkait dengan itemnya, dan Classes adalah kelompok dari item tsb.

Contoh : Pisang

Features : Kuning, dikupas, panjang Function : Dimakan, dikupas

Class : Buah-buahan, makanan, sesuatu yang kita makan Pada fase awal pengajaran FFCs, respon dari anak adalah: menunjuk, memegang, menyebutkan nama item ketika FFC dikatakan. Setelah kira-kira 20 item berbeda telah diajarkan, maka ajarkan kebalikannya.

Kuning Dikupas

Pisang

Panjang Dimakan

Tiap-tiap anak responnya berbeda terhadap input sensori. Memahami pola respon tiap anak terhadap stimulasi

(39)

dapat membantu orangtua dan guru untuk menentukan mainan atau aktivitas apa yang dinikmati anak, serta jenis stimulasi yang boleh dan tidak boleh digunakan untuk mengajar atau me-reinforce anak. Buatlah observasi terhadap berbagai stimulasi seperti:

- Suara

- Stimulasi Visual

- Gerakan, Sentuhan dan Kesadaran akan posisi tubuh (vestibular)

- Pengecap - Penciuman

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil perbandingan dengan program THAL dan Kuljian, hasil perhitungan kode komputer PresTHa-C untuk temperatur pendingin, kelongsong, dan temperatur pusat

Pada bagian ini dibahas mengenai konsep tentang derivatif parsial, diferensiasi total, derivatif total, dan derivatif total parsial, dan derivatif fungsi implisit untuk

a) Quiters (mereka yang berhenti). Tak diragukan lagi, ada banyak orang yang memilih untuk keluar menghindari kewajiban, mundur dari usahanya. Mereka ini disebut dengan

Bentuk-bentuk bangunan di Indonesia pada umumnya merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya Hindu dengan unsur budaya Indonesia asli. Bangunan yang megah

Beberapa hal yang dihasilkan dari penelitian ini adalah teridentifikasinya aspek-aspek yang berpengaruh dalam penentuan lokasi kampung budaya, yaitu keberadaan adat

Dari hasil pengklasifikasian pada Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa metode K-Nearest Neighbor bekerja lebih baik dibandingkan dengan Naïve Bayes untuk kasus data status kerja

• Jangan biarkan kabel jaringan listrik bersentuhan atau mendekati pintu peralatan atau ditempatkan di rongga bawah peralatan, terutama saat beroperasi atau pintu peralatan

Penerapan virtual laboratory histologi sistem sirkulasi efektif untuk meningkatkan pemahaman keterampilan proses sains pada mahasiswa ditunjukkan dengan nilai