• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aceh-Papua: Pelanggaran HAM di tengah Investasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Aceh-Papua: Pelanggaran HAM di tengah Investasi"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

ASASI EDISI JULI- AGUSTUS 2011

www.elsam.or.id

Aceh-Papua:

Pelanggaran HAM

di tengah Investasi

Aceh-Papua:

Pelanggaran HAM

di tengah Investasi

(2)

laporan utama

5 - 12

editorial

04

Mega Proyek MIFEE: Suku Malind Anim

dan Pelanggaran HAM

MIFEE atau

merupakan program pengembangan pangan dan energi yang dikelola secara terpadu di wilayah Merauke, Provinsi Papua.

Dinamika kebijakan ini tampak berhubungan erat

dengan kepentingan Pemerintah untuk meningkatkan pendapatan ekonomi nasional dari meningkatnya permintaan dan harga komoditi pangan dunia.

Merauke Integrated Food and Energi Estate

food estate

Kolom

setiap pengalaman kekerasan meninggalkan sengkarut dalam kehidupan korban yang tak mudah untuk hilang atau bahkan menjadi bagian utuh dari hidup yang terus ditanggungnya,

Menidak pada Kekerasan

Sabtu, 16 April 2011, menjadi sejarah kelam bagi warga Desa Setrojenar, Bulus Pesantren, Kebumen. Beberapa kompi pasukan TNI Angkatan Darat (AD), tanpa didahului dengan negosiasi, langsung menyerang mereka. Tentara mencokok, menembaki, menendang, menyeret, dan menangkapi warga secara sepihak. Aksi brutal itu terjadi di sepanjang jalan menuju Markas Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AD.

Mari Bersama Mengalami Papua

Perbaikan keadaan di Papua hanya mungkin terjadi jika lebih banyak orang non-Papua memperbincangkan dan sekaligus mempertanyakan kerja-kerja aparatur pemerintah di Papua. Tanpa keterlibatan orang non-Papua semakin meneguhkan pandangan dari Papua bahwa orang non-Papua di Indonesia ini terus melupakan mereka dan membiarkan mereka terkurung dalam masalah sendirian.

daerah

13-15

Sabtu Kelabu di Urut Sewu

Dalam RANHAM tahun 2011-2014, Ratifikasi OPCAT direncanakan dilakukan pada 2013. Artinya, Indonesia memiliki dua tahun untuk mempersiapkan diri, baik secara hukum, infrastruktur, serta sumberdaya, agar ketika waktu ratifikasi, seluruh infrastruktur telah siap. Karena Indonesia terikat pada kewajiban mencegah terjadinya penyiksaan dan perlakuan buruk yang dimuat di Konvensi Menentang Penyiksaan, pembentukan mekanisme pencegahan penyiksaan tidak boleh ditunda-tunda dengan sengaja.

nasional

16-17

Menuju Ratifikasi OPCAT

(muridan-papua.blogspot.com)

resensi

22-23

Telah terjadi pergeseran perjuangan di Papua. Awalnya perjuangan hak asasi manusia, selanjutnya menjadi perjuangan politik. Demikian setidaknya menurut Amiruddin Al Rahab (2008), pemerhati Papua yang juga aktivis hak asasi manusia.

monitoring sidang

18-20

Sidang Deden, Sidang Korban

Memahami Papua dengan Perspektif

Politik Hak Asasi Manusia

REDD di Ulu Masen:

Di Mana Masyarakat ditempatkan?

Penetapan Ulu Masen untuk kawasan REDD, tidak menjamin sama sekali bagi wilayah lain di luar kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan REDD yang disepakati. Konsesi untuk pertambangan dan perkebunan tetap diberikan. Demikian juga legalisasi pembukaan kawasan hutan untuk pembangunan infrastruktur dan perumahan. Lantas, dimana posisi REDD sebagai skema global untuk mereduksi pemanasan global? sementara berbagai aktivitas yang meningkatkan pemanasan global terus dilakukan dan dilegalisasi?

Kamis, 28 Juli 2011, menjadi hari antiklimaks persidangan Kasus Cikeusik. Pada hari itu majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Serang memvonis sangat rendah 12 orang pelaku penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, yang menyebabkan tiga orang Ahmadiyah meninggal dunia.

Ade Rostina Sitompul, salah satu sahabat ELSAM meninggalkan kita pada Jumat, 8 Juli 2011. Ibu Ade adalah aktivis yang mempunyai visi ke depan dan selalu bekerja dalam tahapan yang runtut.

biografi

21

Memoar untuk Ibu Ade, Guru dan Sahabat

(3)

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

Redaksional

Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi: Indriaswati Dyah Saptaningrum Redaktur Pelaksana:

Widiyanto Dewan Redaksi:

Widiyanto, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Otto Adi Yulianto, Zainal Abidin, Wahyu Wagiman

Redaktur:

Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyu Wagiman,Wahyudi Djafar, Andi Muttaqien, Ester Rini Pratsnawati, Paijo Sekretaris Redaksi:

Triana Dyah Sirkulasi/Distribusi: Khumaedy

Desain & Tata Letak: alang-alang Penerbit:

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Penerbitan didukung oleh:

Alamat Redaksi:

Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510, Telepon: (021) 7972662, 79192564 Faximile: (021) 79192519 E-mail: office@elsam.or.id, asasi@elsam.or.id Website: www.elsam.or.id.

Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga menerima pengganti biaya cetak dan distribusi berapapun nilainya. Transfer ke rekening

ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar Minggu No. 127.00.0412864-9

w w w . e l s a m . o r . i d

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

Preseden Buruk Hakim Cikeusik

Patut disesalkan ringannya vonis pelaku penyerangan Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten yang menewaskan tiga anggota Jamaah secara mengenaskan.

Hakim gagal menjadi penyambung lidah keadilan tapi terpaku pada tuntutan jaksa. Kita melihat keadilan makin jauh di negeri ini, tersandera kekuasaan yang bar-bar.

Widya-Depok

Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat dikirimkan via email di bawah ini:

asasi@elsam.or.id

surat pembaca

Segenap Pimpinan dan Pengurus Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)

mengucapkan Segenap Pimpinan dan Pengurus Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)

(4)

editorial

Menidak pada Kekerasan

E

LSAM mengawali tahun kerja ini dengan

sebuah catatan penting mengenai rekaman kekerasan yang terjadi selama tahun 2010. Setidaknya terjadi 99 peristiwa yang berhasil direkam yang melibatkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh polisi, 40 tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas. Catatan itu juga merujuk sebanyak 30 kasus penyiksaan yang terjadi dalam proses penyidikan, 32 kasus penganiayaan, dan 16 kasus kekerasan yang melibatkan polisi yang dilaporkan ke KOMNAS HAM. Seperti sebuah gunung es, jumlah tersebut hanyalah pucuknya. Jumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia sesungguhnya sangat mungkin jauh melebihi angka yang berhasil dicatat dan terlaporkan.

Sampai saat ini, narasi yang sama masih terus bermunculan dalam berbagai variasinya, baik variasi pelaku maupun korban. Sehingga meski setiap pengalaman kekerasan meninggalkan sengkarut dalam kehidupan korban yang tak mudah untuk hilang atau bahkan menjadi bagian utuh dari hidup yang terus ditanggungnya, di hadapan publik, narasi yang rutin tergambar dalam deretan angka-angka itu seolah kehilangan sengatnya. Terhenti sebagai deretan statistik yang berubah dari waktu ke waktu.

Meskipun demikian, dibalik angka ini, tersembunyi pekerjaan rumah yang tak kunjung bisa dirampungkan oleh Pemerintah yang mengklaim dirinya sebagai produk reformasi dan demokrasi karena dipilih secara langsung oleh rakyat. Apabila dicermati, narasi kekerasan inilah yang menjadi benang merah dari satu lokalitas di Setrojenar ke lokalitas lain di Papua. Secara jarak dan komunikasi jelas antara Setrojenar di pesisir selatan Kebumen, Jawa Tengah, dengan Papua, tak terhubung. Dipisahkan dengan jarak fisik ribuan kilometer.

Narasi yang sama pula yang meng-hubungkan pengalaman kekinian ini dengan memori seorang Ade Rostina Sitompul atau biasa dipanggil Ibu Ade, yang pergi dengan lembaran ingatan akan ratusan bahkan mungkin ribuan narasi serupa yang mulai dicatat semenjak tragedi kemanusian paruh 1965an, yang sampai saat ini tak juga memperoleh pengakuan dari negara.

Apakah deretan statistik kekerasan itu akan naik atau turun di masa mendatang? Tak ada yang tahu secara pasti. Kita berharap angkanya menurun. Hanya saja melihat kondisi elit-elit yang berkuasa,

yang lebih gemar melakukan transaksi politik, optimisme tampaknya dipaksa tunduk dengan pesimisme. Yang pasti adalah pola dan peristiwa yang sama akan terus terjadi, narasi yang sama dalam bungkus yang berbeda akan terus berulang, sampai kita berhasil berkata tidak dan menarik garis tegas dari praktek yang sama di masa yang lalu. Sebab hanya dengan menarik garis pembatas yang tegas, satu budaya baru yang tidak membiarkan kekerasan tersebut akan dapat dikembangkan.

Sayang masyarakat berhadapan dengan satu pemerintahan yang bebal untuk bisa menangkap suara para korban dan masyarakat yang angka persisnya tak pernah tertulis. Namun meski tak punya angka realitas keberadaan mereka tidaklah dapat disangkal dalam pengalaman keseharian.

Dengan demikian, tak ada cara lain memutus rantai keberlangsungan ini selain menagih Pemerintah untuk berhenti menghindar dari tanggung jawab, mengambil langkah penting untuk menghadapi catatan narasi kekerasan itu dan memulihkan apa yang menjadi hak dari para korban.

Akan selalu ada perbedaan mengenai cara paling tepat untuk menghadapinya, apakah melalui mata tertutup dewi keadilan, ataupun melalui pendekatan keadilan lainnya. Dan tak ada cara lain untuk menagih tanggung jawab pemerintah kecuali masyarakat dan para korban kembali merapatkan barisan untuk bersuara dalam tiap kesempatan dan ruang yang ada untuk merebut kembali haknya. Indriaswati D. Saptaningrum

(5)

laporan utama

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

rencana Pemerintah membentuk badan baru yang khusus menangani Papua dengan pendekatan sosial-politik dan sosial-ekonomi.

Demokratisasi yang ditandai dengan desentralisasi dan liberalisasi politik ternyata makin kencang mendorong kancah politik saat ini bergerak ke puak-puak etnis. Dalam situasi seperti itu, menjadi pemerhati atau m e n j a d i t e r l i b a t d a l a m advokasi tentang persoalan di

s a t u d a e r a h , a k a n s e l a l u mengunda ng pertanyaan yang tak terduga, “Anda orang mana?” Saya mendapat pertanyaan seperti ini berpuluh kali di Papua. Pertanyaan seperti itu biasanya saya jawab dengan senyum, sambil mengucapkan “saya orang Indonesia.”

Sebagai orang Indonesia (WNRI) saya memberanikan diri untuk bergelut dengan masalah-masalah sosial-politik dan HAM di Papua. Saya memberanikan diri karena saya sesungguhnya takut, sebab sahabat-sahabat di Papua selalu melihat saya agen NKRI. Sementara para pejabat Indonesia selalu menyatakan saya bersimpati pada gerakan Papua.

Sesunguhnya saya hanya menjalankan kewajiban sebagai WNRI yang dididik Pancasila dan Konstitusi Indonesia. Melihat kondisi Papua membuat kita tidak sampai hati. Ratusan warga negara ini di sana belum mendapatkan hak-haknya sebagai WNRI di Papua. Artinya sampai saat ini masih ratusan ribu orang rakyat RI ini di Papua yang belum mengalami hidup layak, sebagaimana seharusnya seorang warga Negara.

Padahal Papua telah diberikan Otonomi Khusus oleh Pemerintah sejak tahun 2001 melalui UU No. 21 tahun 2001. Pemerintah Jakarta pun

Puak Etnis dan Masalah Papua

P

ada 5-7 Juli 2011 telah berlangsung sebuah konferensi penting menyangkut masa depan penyelesaian masalah Papua masa mendatang. Acara bertajuk “Konferensi Papua Tanah Damai” itu diadakan di Jayapura, dengan dihadiri sejumlah utusan pemerintah pusat, petinggi militer, pemerhati, tokoh, dan faksi-faksi politik di Papua. Konferensi berhasil menyusun sejumlah indikator bidang politik, hukum, hak asasi manusia, keamanan, ekonomi, dan lingkungan hidup dari konsensus yang disebut “Papua Tanah Damai”.

Masih di acara tersebut, peserta Konferensi dari pelbagai faksi politik di Papua telah menyepakati “Deklarasi Perdamaian”. Mereka menyatakan bahwa dialog merupakan sarana terbaik untuk mencari solusi yang tepat untuk penyelesaian konflik rakyat Papua dengan Pemerintah.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), dalam sambutan pembukaan Konferensi, mengatakan bahwa, “kekerasan tidak bisa menyelesaikan masalah. Sebagai negara demokrasi, cara-cara kekerasan tidak boleh lagi digunakan.” Hal senada juga disampaikan Kepala Staf Daerah Militer (Kasdam) Cenderawasih. Kasdam menegaskan bahwa Papua bukan daerah dalam status darurat militer, melainkan ‘tertib sipil’.

Bila menyimak pandangan dua pejabat tersebut, tampak ada semangat baru untuk menyelesaikan masalah Papua yang telah berlangsung selama empat dekade terakhir ini. Penggunaan cara-cara lama, dengan pendekatan kekerasan dan militer, sudah tidak zamannya lagi dipakai. Apalagi arahan Presiden SBY dalam pertemuan refleksi pada kepada pejabat negara di Bogor, pada 19 April 2011, menyatakan, “kebebasan dan hak asasi manusia sangat dijamin. Kebebasan berserikat dan berkumpul, termasuk ruang bagi protes dan ekspresi politik masyarakat.”

Penyelesaian masalah Papua makin mendapatkan momentumnya sekarang dengan

Mari Bersama Mengalami Papua

Oleh Amiruddin al Rahab

(6)

laporan utama

Tidak ada yang baru di Papua jika kita bicara perbaikan kehidupan rakyat (bukan perbaikan hidup pejabat), yang oleh UU Otsus disebut sebagai “orang asli Papua”. Maka dari itu pantas kita bertanya saat ini, bagaimana mungkin di Indonesia, negara demokrasi yang dipuji oleh banyak kalangan internasional dan diagung-agungkan pula di Jakarta bisa ada situasi seperti di Papua sekarang ini.

Bisa dikatakan, reformasi politik 13 tahun lalu yang ditujukan untuk memperbaiki keadaan di seluruh Indonesia, ternyata tidak berbekas di Papua. Keadaan di Papua masih sama dengan 13 tahun yang lalu itu, dimana atas nama pemberantasan gerakan separatisme, orang-orang bisa terbunuh, masuk penjara dan lain sebagainya. Artinya, selama 13 tahun ini, Pemerintah tidak bisa menemukan pintu masuk bagi upaya penyelesaian masalah di Papua ini. Ini tantangan kita bersama, juga tokoh-tokoh Papua. Harus ada desakan kepada Pemerintah dan tokoh-tokoh Papua untuk mengambil langkah-langkah baru agar sama-sama bisa keluar dari “kubangan separatisme” yang telah menjebak terlalu lama.

Otonomi Khusus a la UU No.21 tahun 2001 tidak memadai lagi untuk mengatasi masalah di Papua. Harus dicarikan formula barunya. Ada dua alasan untuk itu. UU Otsus itu sendiri telah tercabik-cabik oleh sekian banyak peraturan turuanannya, mulai dari Instruksi Presiden (Inpres), Peraturan Pemerintah (PP), Perppu maupun UU serta Putusan MK. , legitimasi politik UU Otsus terus minus, sehingga diperlukan kebijakan yang legitimasinya lebih full. Khususnya legitimasi dari kelompok-kelompok yang selama ini berkonfrontasi dengan Pemerintah. UU Otsus yang minus itu telah pula ditegaskan oleh dua gubernur di Papua serta oleh wakil ketua DPRP.

Jalan keluar yang bisa ditempuh adalah menggelar dialog dengan tokoh-tokoh yang mewakili Papua. Dialog ini tentu ditujukan untuk mencari pintu masuk bagi upaya menyelesaikan m a s a l a h s e c a r a t u n t a s d a n s e k a l i g u s memperbaharui komitmen kedua belah pihak. Dalam dialog itu, tentu perwakilan dari mereka-mereka yang selama ini berkonfrontasi harus menjadi aktor utama yang diajak duduk di meja. Saya menegaskan dialog itu, merupakan jalan untuk mencari kesepakatan-kesepakatan baru yang

Pertama

Kedua

1

mengguyur trilyunan rupiah setiap tahun bagi Papua. Mana mungkin, setelah 10 tahun keadaan tidak membaik? Bagaimana mungkin itu semua terjadi?

Kondisi kelam ini terjadi karena Pemerintah dan kelompok-kelompok politik di Papua sama-sama terjebak dalam “kubangan separatisme”. Artinya, segala tindakan di Papua akan selalu diukur oleh Jakarta dengan “menguntungkan atau merugikan kelompok separatis”. Sementara kelompok-kelompok politik di Papua akan selalu mencurigai apapun inisiatif Pemerintah sebagai upaya “penipuan apa lagi yang dilakukan oleh Pemerintah”.

Karena berada terus-menerus dalam “kubangan” itu, kedua belah pihak tidak pernah bisa membangun saling percaya. Ketiadaan saling percaya itu ada sejak dulu sampai di era Otonomi Khusus ini. Jadi Pemerintah takut menjalankan Otonomi Khusus secara konsisten karena takut dibajak oleh “kelompok separatis”. Sementara orang di Papua selalu melihat Otonomi hanya siasat Jakarta saja. Akibatnya, tidak ada yang produktif yang lahir sebagai perbuatan. Satu-satunya buah dari Otsus sekarang ini adalah “Uang Otsus” yang pada gilirannya uang ini menjadi sumber “perkelahian” di Papua.

KONFERENSI DAMAI PAPUA. Gubernur Papua Barnabas Suebu (kiri) didampingi Kapolda Papua, Irjend Bekto Suprapto (tengah) dan Danrem 172/PWY, Kol Inf. Daniel Ambat (kanan) saat menyampaikan paparan dalam Konferensi Damai Papua di Aula Uncen, Abepura, Jayapura, Papua, Selasa (5/7). Dalam konferensi tersebut diharapkan semua pihak pemangku kepentingan dapat menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di tanah Papua untuk menuju tanah damai.

(7)

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

Perbaikan keadaan di Papua hanya mungkin terjadi jika lebih banyak orang non-Papua m e m p e r b i n c a n g k a n d a n s e k a l i g u s mempertanyakan kerja-kerja aparatur pemerintah di Papua. Tanpa keterlibatan orang non-Papua yang lebih intensif, khususnya kalangan intelektual, akdemisi, politisi dan pemuda serta mahasiswa di luar Papua, maka akan sulit mendorong Pemerintah untuk mengambil langkah maju di Papua. Tanpa k e t e r l i b a t a n o r a n g n o n - P a p u a s e m a k i n meneguhkan pandangan dari Papua bahwa orang non-Papua di Indonesia ini terus melupakan mereka dan membiarkan mereka terkurung dalam masalah sendirian.

Solidaritas dari kita semua yang non-Papua kepada saudara-saudara di Papua sekarang ini menjadi sangat diperlukan. Hanya dengan itu keadaan di Papua bisa diperbarui dan diperbaiki. Dan dialog Pemerintah dengan tokoh-tokoh dari Papua bisa diwujudkan. Seturut dengan itu orang-orang di Papua juga harus bisa membuka diri untuk menerima dan menghargai pandangan dari mereka yang non-Papua.

berguna dalam jangka panjang. Untuk itu diperlukan langkah-langkah baru yang mampu menembus segala halangan yang selama ini ada.

Tentu usulan tersebut akan memunculkan pertanyaan (klasik): siapa dari Papua yang bisa mewakili demikian banyak suku di Papua? Tentu saja Pemerintah tidak berdialog dengan suku-suku, melainkan dengan pemimpin komunitas politik Papua. Oleh karena itu, biarkan tokoh-tokoh di Papua memilih pemimpin mereka. Yang penting adalah Pemerintah menyatakan siap untuk berdilog dengan menunjuk seseorang atau beberapa orang dari Pemerintah untuk memulai memasuki gerbang dialog itu.

Dialog sebagai jalan keluar tentu dengan maksud agar Papua bisa menggapai masa depan yang lebih baik. Artinya, kehebatan Papua lah yang akan dihasilkan dalam dialog itu, bukan kehebohan baru sebagaimana selama ini terjadi. Dalam 13 tahun ini dapat dikatakan, dalam menangani masalah Papua, yang terjadi hanya “Heboh”. Setelah itu diam. Pemerintah seakan seperti orang bagun tidur yang kaget ketika terjadi sesuatu di Papua. Padahal masalah Papua itu bukan terjadi hari ini, melainkan sejak 40 tahun yang lalu. Ingat, Papua menjadi bagian dari Indonesia terlambat 24 tahun (1945 ke 1969). Ini yang perlu kita sama-sama kita sadari sebagai modal membangun Papua ke depan.

2

1. 2.

Lihat , 12 Februari 2010. Lihat buku saya dengan judul

, terbitan Komunitas Bambu.

Kompas

Heboh Papua; Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme

Keterangan

“Mari Kitong Bikin Papua Jadi Tanah Damai” emmanuel-pandega.blogspot.com

(8)

laporan utama

lain: UU No. 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus; UU No. 41 tahun 2009 tentang P e r l i n d u n g a n L a h a n P e r t a n i a n P a n g a n Berkelanjutan; Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yang menetapkan Merauke sebagai kawasan andalan untuk pertanian dan perkebunan; PP No. 18 tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman, yang menjustifikasi perusahaan swasta untuk menguasai lahan di wilayah Papua dapat diberikan dua kali lebih luas atau sama dengan 20.000 hektar (Pasal 18); PP No 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan; PP No. 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar; Inpres No. 10 tahun 2011 tentang Penundaaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut; RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.

Di lapangan Merauke, operator perusahaan aktif melakukan pendekatan dan negosiasi kepada marga pemilik lahan dan lembaga adat setempat untuk meminta restu penggunaan tanah dan hutan adat, melakukan akuisisi lahan dengan cara ‘tipu-tipu’. Pemerintah juga aktif mempromosikan MIFEE dan mengajak investor berinvestasi. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Menteri Pertanian Suswono pada Asean Summit ke-18 tahun 2011 di Jakarta. Dalam kesempatan itu, Menteri Suswono mengundang investor negara Asean untuk berinvestasi

mengembangkan kawasan di Papua.

Hingga saat ini, pemerintah daerah setempat sudah mengeluarkan ijin lokasi maupun surat rekomendasi kepada 46 perusahaan atas lahan seluas lebih dari 1.864.395 hektar. Kemungkinan jumlahnya akan semakin bertambah seiring dengan kemudahan yang ditawarkan pemerintah.

Penduduk Merauke berdasarkan pendataan penduduk asli Papua tahun 2010 berjumlah sebanyak 195.712 jiwa. Sebagian besar diantaranya merupakan penduduk non Papua. Sebesar 61,95% berasal dari luar Pulau Papua, seperti Jawa, Nusa

food estate

MIFEE Datang dari Langit

Mega Proyek MIFEE:

Suku Malind Anim dan Pelanggaran HAM

Oleh Y.L. Franky

(

Direktur PUSAKA

)

M

IFEE atau

merupakan program pengembangan pangan dan energi yang dikelola secara terpadu di wilayah Merauke, Provinsi Papua. Gagasan MIFEE dimulai

dari proyek (MIRE)

yang digagas Bupati Merauke, John Gluba Gebze (JGG), pada tahun 2007. Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008 – 2009, yang meminta Menteri Pertanian mengeluarkan kebijakan

pengembangan di wilayah paling ujung

timur Indonesia itu.

Dinamika kebijakan ini tampak

berhubungan erat dengan kepentingan Pemerintah untuk meningkatkan pendapatan ekonomi nasional dari meningkatnya permintaan dan harga komoditi

pangan dunia. Jadi semata-mata untuk merespon

krisis pangan dunia, apalagi dalihnya untuk memantapkan ketahanan pangan nasional.

Gagasan pengembangan

berbasiskan pada ketersediaan lahan tanaman skala luas (minimal 25 hektar) yang pengelolaannya menggunakan sistem industri agribisnis yang berbasis manajemen dan organisasi modern dengan teknologi dan ilmu pengetahuan modern, serta melibatkan swasta dan modal besar. Kementerian Pertanian mencanangkan luas areal MIFEE seluas 2,5 juta hektar, namun perkembangannya Tim Badan Koordinasi Pemanfaatan Ruang Nasional (BKPRN) merekomendasikan sebesar 1.282.833 ha atau sekitar 30 persen dari luas wilayah Kabupaten Merauke saat ini.

Keterlibatan pihak perusahaan swasta dalam dan luar negeri sangat kental mendominasi proyek MIFEE, hingga mempengaruhi kebijakan Pemerintah yang telah mengeluarkan aturan dan kemudahan

fasilitas moneter, , dan janji menyediakan

tanah luas. Sedangkan urusan modal, teknologi, dan input produksi lainnya diserahkan kepada perusahaan yang mempunyai relasi bisnis dengan perusahaan multinasional dan lembaga-lembaga keuangan international, serta menguasai pasar pangan dan energi dunia.

Kebijakan peraturan yang mendukung MIFEE dan keterlibatan perusahaan swasta, antara

Merauke Integrated Food and Energi Estate

Merauke Integrated Rice Estate

food estate

food estate

food estate

(9)

berkembang merupakan bentuk neokolonialisme yang sangat berbahaya. Laporan FAO (Subandriyo, 2010), percepatan akuisisi lahan tersebut akan menempatkan negara miskin pada posisi rentan menghadapi ancaman krisis pangan. Selain petani akan terusir dari lahannya, dampak kerusakan

ekologi karena pola bakal sangat

merugikan. Pola produksi industri modern yang

dikelola investor ( )

akan berhadap-hadapan dan memaksa terjadinya perubahan dalam hubungan dan corak produksi pertanian Orang Malind Anim yang masih tradisional

( ) dengan

mengandalkan rumah tangga petani dan secara langsung terlibat mengusahakan lahan sendiri untuk menghasilkan makanan sendiri. Pada gilirannya perusahaan dapat mengendalikan dan mengelola semua urusan produksi hingga pemasaran tanaman pangan dan energi untuk kepentingan ekspor.

Dalam grand design MIFEE (Juni 2010) dan Peta Rencana Investasi BKPMD menunjukkan ada 20 perusahaan mengusahakan tanaman tebu dengan luas lahan 762.116 ha, ada enam perusahaan hutan tanaman dengan luas lahan 626.819 ha, ada 10 perusahaan kelapa sawit dengan lahan seluas 389.887 ha dan ada lima perusahaan yang menghasilkan tanaman pangan padi, ubi kayu, jagung, kacang dan sebagainya dengan luas lahan 79.500 ha. Angka ini menunjukkan akuisisi lahan skala luas yang hanya dikuasai segelintir pemilik modal. Jelas sekali proyek ini hanya menguntungkan investor dan dipastikan akan menyingkirkan dan memaksa perubahan corak produksi pangan lokal. Komoditi yang dihasilkan keseluruhannya untuk kepentingan ekspor, seperti kayu serpih, bubuk kertas, minyak sawit dan tebu.

Jika demikian, Orang Malind Anim yang kehidupan dan mata pencahariannya tergantung pada hutan, padang savana, rawa, kali dan sebagainya, akan tersingkir dan terbatas mengakses lahan untuk kegiatan produksi, mereka tidak dapat secara bebas mencari ikan, berburu hewan, tokok sagu dan sebagainya. Mereka juga tidak dapat bekerja dalam perusahaan dengan alasan keterbatasan ketrampilan dan atau hanya diterima sebagai buruh kasar kontrakan. Inilah yang dialami oleh warga Kampung Boepe, Zenergi dan Kaliki di sekitar areal proyek anak perusahaan Medco, PT. Selaras Inti Semesta dan warga Nakias di lokasi perusahaan sawit PT. Dongin Prabhawa. Mereka kehilangan hak atas mata pencaharian, hak atas kehidupan yang memadai, hak atas lingkungan yang sehat dan aman, hak atas pangan karena kehilangan kemampuan untuk memenuhi dan menghasilkan kebutuhan pangan sendiri, serta tindakan diskriminasi dalam memperoleh hak atas pekerjaan.

intensive farming

corporate-based food production

peasant and family based food production

Tenggara, dan Maluku. Sisanya Orang Papua Asli (OPA), sebesar 38,05 persen, yang sering disebut suku Malind Anim.

Sejak awal, mega proyek MIFEE sudah melakukan pelanggaran terhadap hak-hak OPA yang berdiam tersebar di 160 kampung dan 20 distrik. Semestinya, OPA memiliki hak-hak dan kekhususan otoritas yang otonom dan bebas untuk memberikan persetujuan terhadap setiap proyek pembangunan yang berlangsung di tanah Malind Anim dan akan mempengaruhi kehidupan OPA. Hak dan prinsip

(FPIC) untuk m e n e n t u k a n k e b i j a k a n d a n p e l a k s a n a a n pembangunan tertuang dalam Deklarasi PBB tentang Hak Penduduk Asli dan terkandung dalam ketentuan menimbang UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Tetapi dalam prakteknya, Pemerintah mengabaikan ketentuan dan hak-hak tersebut. Demikian pula perusahaan yang cenderung beroperasi tanpa ada persetujuan masyarakat atau melakukan musyawarah dengan cara terpaksa atau tidak bebas, setelah perusahaan menggusur lahan dan hutan.

Bupati baru Merauke, Romanus Mbaraka, dalam Diskusi Meja Bundar MIFEE di Jakarta, pada Juni 2011, mengatakan bahwa “konsep dan kebijakan MIFEE seperti datang dari langit yang tidak diketahui masyarakat Merauke.” Pemerintah pusat merancang dan mengeluarkan kebijakan tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat. Kebanyakan kasus di lapangan, Orang Malind Anim ataupun organisasi informal kelembagaan adat mereka tidak pernah mendapatkan informasi yang lengkap terhadap manfaat dan dampak proyek yang beroperasi di tanah adat OPA. Masyarakat bingung. Mereka tidak pernah membuat kesepakatan dan bahkan menolak kehadiran proyek. Namun perusahaan yang datang dari jauh dan memandang dari tempat yang tinggi, tidak peduli dengan pandangan, norma dan hak-hak masyarakat dan semaunya melakukan penggusuran lahan.

Marga Aluend dari Kampung Sanggase, Okaba, salah satu pemilik lahan di lokasi industri PT. Medco Papua Industri Lestari, bersaksi jika mereka tidak pernah memperoleh informasi dari anak perusahaan Medco Grup tersebut tentang kegiatan industri kayu chip dan bubur kertas. Marga tersebut juga mengatakan tidak pernah ada kesepakatan sewa atas lahan seluas 2.800 ha. Marga Dinaulik di Nakias, tidak menduga perusahaan sawit PT. Dongin Prabhawa menggusur hutan dan tempat keramat mereka, padahal belum ada perundingan. Dalam hal ini, Pemerintah maupun perusahaan telah melanggar hak-hak masyarakat atas pembangunan, hak atas tanah, hak atas informasi dan hak atas kebebasan.

Fenomena akuisisi lahan ( ) yang

massif oleh perusahaan swasta yang terjadi di negara

Free Prior Informed and Consent

land grab

(10)

laporan utama

Kehadiran proyek MIFEE akan diikuti peningkatan arus migrasi penduduk yang berasal dari luar Papua dan daerah sekitar Merauke yang berlangsung secara programatik dan inisatif sendiri untuk menjadi karyawan dan buruh tani perusahaan. Dibayangkan ada lebih dari 4.000.000 jiwa yang akan datang ke Tanah Malind Anim dengan berbagai ragam latar belakang sosial dan budaya. Kebudayaan dominan dari luar dan disokong oleh instrumen budaya ekonomi modern akan menyingkirkan Orang Malind Anim, sehingga dikhawatirkan terjadinya penyingkiran secara paksa terhadap kehidupan sosial budaya dan ekonomi Orang Malind Anim. Pengalaman proyek transmigran dari Jawa di Merauke pada masa lampau dapat dirasakan dan dilihat dampaknya hari ini. Orang Malind Anim masih terpuruk dalam kemiskinan dan ketertinggalan, sebaliknya penduduk yang baru datang dapat dengan cepat mengembangkan kehidupan sosial budaya dan ekonominya.

Saat ini, di lapangan banyak terjadi konflik dan perselisihan antar marga terkait dengan klaim dan pemberian kompensasi hak atas tanaman yang tumbuh dan sewa tanah. Banyak masyarakat Malind Anim di kampung-kampung resah dan melakukan protes secara damai menolak kehadiran proyek MIFEE. Masyarakat takut untuk bersuara dan melakukan aksi-aksi lebih keras karena sering mendengar, menyaksikan dan mengalami langsung tindakan kekerasan aparat dan tudingan separatis. Hak berpendapat dan berkumpul secara bebas untuk membicarakan MIFEE dan soal-soal kerakyatan masih tidak bebas, dibatasi dan dapat dipelintir menjadi isu anti pembangunan, disintegrasi dan mengancam keamanan negara. Hal ini sudah terlihat dalam kasus penahanan dan pemeriksaan aktivis Solidaritas Rakyat Papua Tolak MIFEE (SORPATOM) di Merauke yang melakukan aksi protesnya pada Oktober 2010 dan kasus kekerasan yang dialami oleh warga Kampung Zenegi dan Sanggase.

Pendekatan keamanan dengan cara-cara kekerasan, intimidasi dan teror, tidak akan mampu membungkam suara rakyat. Justru sebaliknya, pendekatan keamanan ini akan menimbulkan kebencian rakyat dan bertentangan dengan konstitusi dan hak moral. Sumber masalahnya yang harus dibereskan, yakni paradigma mega proyek MIFEE yang harus diubah dari pro modal menjadi paradigma pembangunan manusia yang berpihak pada kesejahteraan, keselamatan dan keamanan rakyat, pro pada rakyat

miskin ( ) dan pro pada lingkungan (

), tidak semata-mata mengejar

Pembangunan Orang Malind Anim

pro poor pro environment

p e r t u m b u h a n e k o n o m i ( ) d a n menggemukkan akumulasi modal korporasi.

Dalam konteks hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob), maka pemerintah memiliki tugas dan kewajiban untuk memajukan dan pemenuhan hak atas pangan secara komperehensif, selain itu, Pemerintah wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak Orang Papua Asli untuk mewujudkan kehidupan yang adil, sejahtera dan bermartabat. Kewajiban dimaksudkan adalah kewajiban pemerintah di semua tingkatan untuk tidak menghilangkan satu-satunya sarana penghidupan pangan yang tersedia kepada seseorang, kewajiban menghindari perampasan hak dan melindungi orang-orang dan pola produksi pangan setempat, melindungi jenis tanaman pangan setempat dari perampasan oleh orang lain, tekanan kebijakan dan praktik international yang mengancam merampas sarana penghidupan masyarakat.

Kewajiban Pemerintah untuk melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat atas tanah dan wilayah hidup Orang Malind Anim, mengembangkan d a n m e n y e d i a k a n s i s t e m k e a m a n a n d a n perlindungan dalam praktik pengalihan penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan hak atas tanah. Pemerintah wajib membangun dan memberdayakan Orang Malind Anim dengan menyediakan sarana dan prasarana pengembangan ketrampilan dan pengetahuan pangan dan usaha ekonomi lainnya yang memadai dengan berbasiskan pada ketersediaan sumberdaya dan modal sosial yang dimiliki masyarakat setempat. Memfasilitasi masyarakat dan kelembagaan sosial ekonomi mereka untuk mengakses modal pada lembaga keuangan dan meningkatkan kapasitas pengelolaan dana yang akuntabel.

Tidak kalah pentingnya, adalah perlunya Pemerintah dan aparatus keamanan negara serta warga mengerti, memajukan, menghormati dan melindungi hak-hak dasar Orang Papua Asli, hak atas tanah, hak atas kebebasan berpendapat dan berkumpul, hak untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi, hak untuk menentukan dan memutuskan kebijakan dan pembangunan yang akan berlangsung di atas tanah dan wilayah hidup mereka.

Pembangunan di tanah Malind Anim tanpa didahului dengan perubahan paradigma dan kebijakan yang mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat, niscaya tidak akan langgeng dan sebaliknya menimbulkan konflik terus menerus.

(11)

hubungannya. Hutan yang berisi pepohonan telah dibuktikan secara ilmiah mampu menyerap karbondioksida (CO2). Karena kemampuannya tersebut, maka hutan harus dijaga eksistensinya. Untuk menjaga keberadaan hutan, dibutuhkan biaya. Untuk itu, negara-negara maju atau industri sebagai penghasil Gas Rumah Kaca diharuskan membayar sebagai kompensasi bagi negara-negara pemilik hutan. Karena telah membayar, tentu ada jaminan jika biaya yang telah dikeluarkannya digunakan sesuai dengan peruntukannya.

Artinya, kondisi ini tidak lebih baik dari sebuah transaksi beli kopi di Warung Kopi “Solong”, yang cukup terkenal di Ulee Kareng, Banda Aceh. Pembeli yang memesan kopi dan membayar, harus mendapatkan apa yang dipesannya. Jika tidak, pembeli dapat melakukan tindakan sebagai bentuk

mempertahankan haknya. REDD tidak lebih dari

sebuah transaksi ekonomi (dagang) yang berujung pada untung dan rugi. Sayangnya, pola dagang sangatlah tidak sehat karena telah terang benderang siapa yang akan mendapatkan keuntungan yang akan mengalami kerugian dan bangkrut.

Yang menjadi persoalan, karena transaksi tersebut dipahami sebagai dagang semata, maka menjadi tidak berdampak apa-apa bagi pelestarian hutan secara menyeluruh. Penetapan Ulu Masen untuk kawasan REDD, tidak menjamin sama sekali bagi wilayah lain di luar kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan REDD yang disepakati, dan kenyataannya memang demikian. Konsesi untuk pertambangan dan perkebunan tetap diberikan. Demikian juga legalisasi pembukaan kawasan hutan untuk pembangunan infrastruktur dan perumahan.

Lantas, dimana posisi REDD sebagai skema global untuk mereduksi pemanasan global? sementara berbagai aktivitas yang meningkatkan pemanasan global terus dilakukan dan dilegalisasi?

Aceh merupakan daerah yang menempatkan adat sebagai sebuah sistem yang terstruktur dan bernilai historis. Secara konstitusi, dikuatkan melalui Pasal 98 UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengatur lembaga adat sebagai bagian dari penjabaran perjanjian damai Helsinki. Untuk pengimplementasiannya diatur dalam Qanun No. 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Lembaga Adat Aceh dan Qanun No. 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat.

Tradisi pengelolaan hutan yang arif bijaksana telah dipraktikkan secara turun temurun melalui

lembaga adat (hutan) yang dipimpin oleh

Proses Sepihak Pelaksanaan Percontohan

uteun

P

ak Hasnita, tidak bisa menjelaskan keberadaan Ulu Masen yang kami maksud. Beliau adalah salah satu tokoh masyarakat yang tinggal di Kemukiman Sarah Raya, Aceh Jaya yang berada dalam kawasan Ulu Masen yang sangat terkenal, khususnya bagi pihak yang giat mencermati isu perubahan iklim. Konon, Wilayah Ulu Masen ditetapkan sebagai salah satu wilayah uji coba penerapan

(REDD), sebuah skema mitigasi untuk mereduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Istilah “Ulu Masen” mulai diperkenalkan oleh Flora Fauna International (FFI), sebuah organisasi nonpemerintah yang berbasis di Inggris, pada tahun 2007 atas keputusan komunitas yang diwakili oleh atau kepala masyarakat adat Kabupaten Aceh Jaya pada tahun 2003. Penamaan Ulu Masen diambil dari istilah “Pucok Masen” yang terletak di Kecamatan Sampoiniet Kabupaten Aceh Jaya. Nama Ulu Masen dianggap mampu mewakili satu kawasan ekosistem hutan di bagian utara Provinsi Aceh ini. Sedangkan nama “masen” berasal dari nama sungai yang hulunya berada dalam kawasan hutan tersebut.

Kawasan Ulu Masen luasnya 750.000 hektar berada di lima wilayah administratif Aceh: Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, Pidie Jaya dan Aceh Besar. Terdiri dari 21 kecamatan dan 52 Mukim dengan populasi sebesar 982. 010 orang.

Pemerintah Aceh melakukan kemitraan dengan Carbon Conservation International Pty Ltd dan organisasi lingkungan internasional Flora dan Fauna International (FFI) telah menetapkan Ulu Masen sebagai kawasan uji coba REDD. Diperkirakan bahwa lebih dari 3,3 juta ton kredit karbon akan dihasilkan setiap tahun dari proyek di wilayah sekitar 750.000 hektar tersebut dengan mengurangi 85% dari deforestasi dasar yang ada, 9.500 hektar per tahun. Kemampuan menyerap karbon tersebut diperkirakan dapat menghasilkan dana kompensasi skema REDD sebesar US$ 16,5 juta per tahun atau US$ 432 juta selama 30 tahun mendatang.

Di Indonesia, Pemerintah sudah menyatakan dirinya sebagai pendorong perlawanan terhadap pemanasan global dengan menerapkan program percontohan REDD. Saat ini, berkat bantuan beberapa negara seperti Norwegia, Jerman, Australia dan proyek privat percontohan REDD sudah mulai berjalan di beberapa wilayah yang salah satunya adalah Kalimantan Tengah dan segera menyusul delapan propinsi lainnya.

REDD, dengan atau tanpa “plus”, sekalipun dilahirkan melalui proses panjang penuh dinamika, pada dasarnya sangat simpel melihat pola

Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation

Imum Mukim

2 3

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

laporan utama

REDD di Ulu Masen:

Di Mana Masyarakat ditempatkan?

Oleh Ina Nisrina Has

(Koordinator Program BINGKAI Indonesia)

“Ulu Masen? Itu nama majalah, saya tidak paham artinya, tapi ada Gunung di Sampoiniet namanya Pucok Masen.”1

(12)

laporan utama

Panglima Uteun

imum mukim Panglima Uteun

the United Nations Framework Conference on Climate Change

Carbon Conservation

mukim

(Panglima Hutan). Panglima Uteun merupakan unsur Pemerintahan Mukim yang

bertanggungjawab kepada .

mempunyai peran strategis dalam upaya pengelolaan lingkungan, khususnya dalam hal pemanfaatan hutan dan hasilnya. Khazanah adat budaya ini masih melekat sebagai sebuah kearifan lokal yang masih ada dan harus dipertahankan, terutama pada kemukiman yang wilayahnya berdekatan dengan kawasan hutan.

Menurut Budi Arianto dari Jaringan Kerja Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, dalam pengurusan hutan dilarang memotong pohon tualang, kemuning, keutapang, glumpang, beringin dan lain-lain kayu besar dalam rimba yang dirasa menjadi tempat bersarang lebah. Ini merupakan pantangan umum, yang apabila dilanggar dapat merugikan orang banyak, karena siapa saja boleh mengambil hasil-hasil madu yang bersarang di pohon-pohon besar itu. Dilarang memotong kayu-kayu meudang ara, bunga merbau, dan lain-lain kayu yang besar-besar yang dapat dibuat perahu atau tongkang, kecuali atas seizin dari Kedjroen atau Raja.

Pemerintah Aceh telah menyatakan komitmen untuk menyelamatkan hutan kepada masyarakat internasional dalam konferensi

(UNFCCC), pada 7 Desember 2007.

Kontrak kesepakatan kerjasama penjualan dan pemasaran yang ditandatangani pada tanggal 9 Juli 2008 antara Pemerintah Aceh dan

memberikan wewenang untuk memasarkan dan menjual kredit karbon Ulu Masen atas nama Pemerintah Aceh.

Terdapat sejumlah ketentuan yang bertujuan untuk menjamin perlindungan bagi masyarakat setempat, di antaranya ketentuan untuk memastikan pengembangan mekanisme pembagian pendapatan yang adil dengan orang-orang yang berdampak, mengakui peran lembaga adat sesuai dengan UU No 11/2006 tentang pemerintahan Aceh.

Kita tentu sepakat bahwa masyarakat tempatan atau—yang ditempati sebagai area konsesi—harus menjadi prioritas utama dalam setiap inisiatif pengelolaan hutan. Meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan kapasitas masyarakat menjadi penting dilakukan. Karena masyarakatlah yang akan merasakan dampak langsung dari penerapan REDD pada kawasan Ulu Masen.

Dalam perundingan kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC), pembicaraan terkait penghormatan atas hak masyarakat adat dalam REDD masih terus berlanjut, bahkan hingga menghasilkan deklarasi atas hak masyarakat adat. Namun hingga tiga proses persiapan uji coba berlangsung, informasi tentang apa dan bagaimana REDD belum dipahami secara gamblang oleh masyarakat tempatan.

Lebih ironis masyarakat yang tinggal di kawasan Ulu Masen, seperti Sarah Raya, Sampoiniet, Krueng Sabee dan Aceh Besar, umumnya tidak mengetahui bahwa wilayah yang mereka tempati masuk dalam kawasan yang ditetapkan sebagai wilayah uji coba REDD.

Proses konsultasi publik yang hanya

melibatkan sejumlah tentu saja tidak cukup

mewakili suara masyarakat yang hidup dan bergantung pada kawasan hutan Ulu Masen. Apalagi

4

5

jika konsultasi tersebut hanya dilkukan sebagai “formalitas” untuk memenuhi prasyarat.

Ironisnya dokumen desain proyek REDD Ulu Masen justru semakin menyulitkan posisi masyarakat adat. Disebutkan; “…

renegotiate

Pemerintah, tentu saja punya kuasa lebih dari sekedar mengeluarkan wilayah mukim dari proyek REDD Ulu Masen, mengingat adanya kebijakan publik untuk melakukan pencabutan hak atas tanah demi kepentingan umum dengan telah dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Selain itu, belum diposisikannya secara strategis UU Pemerintahan Aceh dalam pengelolaan hutan di Aceh akan menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Tumpang tindih antar kebijakan terjadi seiring dengan proses penerapan REDD pada Kawasan Ulu Masen.

Demikian juga dengan posisi kelembagaan dan Masyarakat Adat dalam hak pengelolaan kawasan. Permenhut No. 30 tahun 2009 tentang Tata Cara Implementasi REDD justru semakin menyulitkan posisi Pemerintah Aceh dan masyarakat adat. Pasal 3 – 6 Permenhut yang memberikan ruang kepada pemilik HPH dan HGU akan mengalihkan pemanfaat dana kompensasi kepada pemilik izin. Sebaliknya, pada Pasal 7 cukup menyulitkan lembaga adat untuk mendapatkan hak kelola. Selain ketentuan ini masih membutuhkan peraturan lain yang belum jelas kapan diterbitkannya.

Setelah semua proses respon/jawaban dilakukan dan tercapai kesepakatan maka akan dilakukan persetujuan tertulis dari Imuem Mukim sebagai perwakilan masyarakat. Jika tidak tercapai kesepakatan, maka akan dilakukan negosiasi ( ) agar tercapai persetujuan tertulis, jika upaya negosiasi tidak tercapai, maka wilayah mukim tersebut akan dikeluarkan dari wilayah project REDD Ulu Masen.6

REFERENSI

1 Tandan Sawit Edisi III/Mei 2009 2 Majalah Ulu Masen, FFI, tahun 2008 3 Permenhut P.36/Menhut-II/2009 4 Down to Earth No.74, Agustus 2007 5 Jane Dunlop, REDD, Tenure and Local

Communities,IDLO, November 2009

6 Ina Nisrina, Catatan Kritis Implementasi REDD di

Ulu Masen, 2009

Keterangan

1. Wawancara dengan Pak Hasnita, Salah satu tokoh Masyarakat di Kemukiman Sarah Raya, Aceh Jaya, 2010

2. Jane Dunlop, , IDLO, November 2009, hal. 27

3. WALHI Aceh, , 2009. 4. Aceh green 2008

5. Riset dan dokumentasi oleh BINGKAI Indonesia bersama WALHI tahun 2010

6. Design Consent REDD Ulu Masen, Task Force REDD Aceh, Dewa Gumay

RED: Tenure and local communities REDD: Antara harapan dan kenyataan

(13)

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

daerah

T

engah hari ketika sebagian besar warga sedang melepas penat dari terik matahari yang membakar, setelah sepagian bergumul dengan tanaman pertanian, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan suara rentetan tembakan membabibuta. Hari itu, Sabtu, 16 April 2011, menjadi sejarah kelam bagi warga Desa Setrojenar, Bulus Pesantren, Kebumen. Beberapa kompi pasukan TNI Angkatan Darat (AD), tanpa didahului dengan negosiasi, langsung menyerang mereka. Tentara mencokok, menembaki, menendang, menyeret, dan menangkapi warga secara sepihak.Aksi brutal itu terjadi di sepanjang jalan menuju Markas Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AD. Warga yang sedang mengolah sawah pun tak luput dari serangan itu.

Penyerangan yang dilakukan oleh pasukan loreng hijau ini seolah menjadi klimaks dari seluruh rangkaian protes yang dilakukan warga Setro Jenar atas kehadiran tentara di wilayah ini. Di desa yang berdekatan dengan pesisir pantai selatan Jawa ini, puluhan tentara kerap melakukan serangkaian uji coba persenjataan.

Konflik warga melawan tentara ini sudah terjadi bertahun-tahun dan kian meruncing setelah tewasnya lima bocah dari desa Setrojenar pada 22 Maret 1997, akibat ledakan mortir peninggalan pasukan TNI AD usai berlatih. Kekesalan warga terus bertambah dengan tindakan sepihak dari pihak TNI

AD yang melakukan atas lahan-lahan milik

warga.

Warga seringkali kesal dengan pihak TNI AD, yang tidak memberikan ganti rugi semestinya, terhadap tanaman pertanian mereka yang rusak akibat uji coba persenjataan. Lokasi latihan menembak Dislitbang TNI AD sangat dekat dengan areal pertanian warga. Ini yang memicu kemarahan warga, selain tentu saja, karena kematian lima bocah akibat mortar beberapa tahun silam itu.

Kebijakan pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah, juga dianggap turut serta mempengaruhi memanasnya perseteruan antara warga dengan TNI AD. Setidaknya ada tiga kebijakan pemerintah yang terkait, atau bisa disebut menjadi akar bagi meletupnya peristiwa pada 16 April 2011. Kebijakan Pemerintah yang dianggap menjadi latar belakang konflik, adalah:

, proyek pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS), yang menjadi kebijakan pemerintah pusat. Proyek pembangunan ini mengharuskan

claiming

Pertama

Mengurai Pemicu Konflik

pemerintah untuk melakukan pembebasan lahan-lahan pertanian milik warga, yang akan diubah peruntukannya sebagai jalur lintas tersebut.

Menyikapi kebijakan pembangunan JLS, para petani di wilayah ini kemudian membentuk sebuah paguyuban untuk memperjuangkan hak-hak mereka, khususnya terkait dengan ganti rugi atas tanah-tanah pertanian mereka. Paguyuban ini terbentuk pada 6 September 2005, dengan nama Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS). Forum ini menjadi payung besar bagi banyak organisasi petani yang berbasis desa-desa di Urut Sewu.

Permasalahan menjadi kian bertambah ketika TNI secara sembunyi-sembunyi mulai ‘bermain’ untuk mendapatkan uang ganti rugi, dengan alasan pembebasan tanah yang diklaim sebagai kawasan militer. Panglima Kodam IV mengajukan permohonan ganti rugi ‘tanah TNI’ yang terkena tras jalan.

Pihak TNI, dalam sebuah kesempatan sosialisasi, mengklaim bahwa luas lahan yang masuk kawasan latihan militer mencapai 317,48 ha. Padahal luasan ini tidak sesuai dengan Surat Bupati Kebumen No. 590/6774, yang mengatakan bahwa luas kawasan latihan TNI 500 meter ke utara dari batas/tepi air laut, dan memiliki panjang dari sungai Wawar di timur Kebumen (perbatasan Kebumen-Purworejo) dan ke barat sampai sungai Lukulo.

, kebijakan yang dianggap sebagai pemicu konflik adalah rancangan peraturan daerah mengenai rencana tata ruang dan wilayah yang dirumuskan oleh pihak Pemerintah Kabupaten Kebumen, untuk tahun 2007-2027. Raperda ini menjadi polemik, akibat tindakan pihak TNI AD, yang mencoba menyisipkan agenda klaim mereka atas kawasan Urut Sewu sebagai kawasan latihan militer. TNI AD meminta kepada Pemda untuk memperluas kawasan militer (pertahanan keamanan), menjadi 1000 meter dari bibir pantai. Akibat ulah dari TNI dan Pemkab Kebumen, yang dianggap mengklaim secara sepihak, kontan mengundang reaksi masyarakat.

, ketika belum ada titik temu terkait dengan dua persoalan sebelumnya, tiba-tiba muncul rencana pembukaan lokasi penambangan pasir besi di kawasan ini. Awal tahun 2011 Pemerintah Kebumen mengeluarkan Surat Keputusan Bupati No. 660.I/28/2010 tentang persetujuan kelayakan lingkungan rencana penambangan pasir besi oleh PT. Mitra Niagatama Cemerlang (MNC) Jakarta. Melalui surat tersebut, perusahaan dilegalisasi untuk mengeksploitasi pasir besi di kawasan Urut Sewu. Keluarnya surat ijin penambangan ini kian membuat

Kedua

Ketiga

Sabtu Kelabu di Urut Sewu

Oleh Wahyudi Djafar

(14)

warga kuatir, atas nasib tanah-tanah pertanian mereka yang akan segera diakusisi pihak lain.

Bermula dari aksi besar, yang dilakukan warga pada 23 Maret 2011, pemerintah setempat dan aparat keamanan menanggapi dengan menggelar apel gabungan di Mapolres Kebumen, pada 31 Maret 2011. Apel gabungan ini diikuti oleh 275 personel TNI dan 425 personel Polri. Apel dihadiri Kapolres Kebumen, Dandim 0709/Kebumen, Bupati Kebumen, Ketua DPRD, Kepala Kejaksaan Negeri Kebumen, dan Ketua Pengadilan Negeri Kebumen. Apel ini ditujukan secara khusus untuk mengamankan kawasan Urut Sewu, wilayah sepanjang pesisir selatan Kebumen yang merupakan rangkaian Pegunungan Sewu.

Situasi menjadi kian bertambah panas, ketika pihak TNI AD memaksakan untuk tetap melakukan uji coba persenjataan, pada 11 April 2011. Padahal dalam pertemuan beberapa tahun sebelumnya, tepatnya 14 Mei 2009, yang berlangsung di Pendopo Kebumen, Komandan Komando Daerah Militer (Kodim) 0709/Kebumen menyatakan secara lisan dihadapan warga (FPPKS), Bupati Kebumen, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Kebumen, maupun DPRD setempat, bahwa tentara tidak akan melakukan aktivitas latihan dan uji coba persenjataan hingga status tanah di wilayah tersebut jelas. Pada akhir Maret 2011, Bupati Kebumen juga menegaskan hal yang sama.

Mengetahui rencana latihan tentara tersebut, pada 10 April 2011 warga desa Setrojenar dibantu warga dari kawasan sekitar, kemudian memblokir akses jalan menuju Markas Dislitbang TNI AD dan menuju kawasan uji coba persenjataan. Pemblokiran dilanjutkan dengan aksi dan doa bersama di depan Markas Dislitbang TNI AD, pada 11 April 2011. Menyikapi situasi ini, Bupati, Komandan Kodim, Komandan Korem Pamungkas, dan pihak Kepolisian kemudian mengajak warga bernegosiasi. Akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa warga akan membuka blokade yang merintangi akses menuju markas, sedang pihak TNI AD akan menarik seluruh pasukan dari Markas Dislitbang TNI AD.

Pada hari berikutnya ternyata kembali terjadi pergerakan pasukan menuju markas Dislitbang. Beberapa informasi menyebutkan pasukan tersebut b e r a s a l d a r i B a t a l y o n I n f a n t e r i ( Yo n i f ) 403/Wirasadapratista, Kentungan, Yogyakarta, dan Batalyon Arteleri Medan (Armed) Magelang. Setelah terjadi pergerakan pasukan ke markas, pada 15 April 2011, pihak TNI lantas memberitahukan kepada kepala desa setempat bahwa akan ada uji coba persenjataan dan latihan tempur keesokan harinya.

Te p a t p a d a S a b t u , 1 6 A p r i l 2 0 11 , sebagaimana telah direncanakan sebelumnya,

Militer ‘Maha Kuasa’

1

warga melakukan ziarah kubur di makam lima orang anak yang menjadi korban ledakan mortir. Ziarah diikuti kurang lebih 30an orang, termasuk lima perempuan, ibu-ibu dari bocah yang meninggal, dan beberapa anak-anak. Tersiar informasi bahwa pada saat bersamaan, TNI AD sedang melakukan latihan tempur di kawasan Ambal, sebelah timur Bulus Pesantren. Di tengah prosesi ziarah, warga menerima kabar bahwa pihak TNI AD telah membuka blokade yang dibuat warga untuk menutup akses jalan menuju pantai, lokasi yang kerap digunakan untuk latihan tempur TNI AD.

Mendengar informasi ini, segera setelah usai ziarah, warga kemudian membangun kembali blokade-blokade yang telah dibuka paksa oleh pihak TNI AD. Kekesalan warga pun memuncak. Dilandasi emosi tersebut warga lantas melakukan perusakan terhadap sejumlah fasilitas latihan tempur berupa tempat penyimpanan sisa peluru dan menara pantau, yang menurut penuturan warga berdiri di atas tanah warga yang dibuktikan dengan sertifikat hak milik.

Mendekati pukul 14.00 WIB, Sabtu 16 April 2011 itu, sedikitnya 30 pasukan TNI AD, datang dari arah utara menuju ke selatan arah pantai tempat konsentrasi warga. Sepasukan tentara tersebut dalam posisi berbaris dan siap menembak. Kurang lebih 30 orang pasukan TNI AD juga menyusul keluar dari markas Dislitbang, dengan posisi siap tembak pula. Pukul 14.09 WIB terdengar letusan tembakan pertama dari arah pasukan tersebut. Usai terdengar tembakan, pasukan TNI tersebut kemudian menyerang warga yang tengah duduk-duduk di rumah dan warung di tepi jalan menuju Dislitbang. Pasukan TNI memuntahkan tembakan membabibuta, melakukan pemukulan dengan pentungan kayu, popor senapan, dan melayangkan tendangan sepatu lars ke arah warga. Mereka juga meneriakkan kata-kata kasar terhadap warga, seperti ‘ ’, ‘

’, ‘ ’. Selain itu tentara juga berteriak

‘ ’. Anehnya, pada saat

penyerangan ini, beberapa orang anggota polisi berpakaian sipil yang berada di tempat kejadian, tidak melakukan tindakan apapun untuk mencegah kebringasan tentara.

Pasukan TNI AD kemudian bergerak terus ke selatan, menuju kerumunan warga. Pasukan tentara kelompok pertama kemudian bergabung dengan pasukan yang sudah siap di depan markas Dislitbang. Setelah pasukan tersebut bergerak ke selatan, dari arah utara datang kelompok pasukan TNI lainnya sebanyak tiga peleton, yang membawa senapan dan pentungan kayu. Mendengar tembakan dari utara, warga bergerak ke arah utara. Melihat pasukan TNI datang dari utara, dengan senapan yang diarahkan ke warga, serta mengeluarkan tembakan, warga memilih menunggu di tempat. Seperti di utara, tentara juga melakukan perlakuan sama terhadap kerumunan warga yang ada di selatan. Mereka

anjing! mati kau! matikan!

PKI-PKI, matikan!

(15)

menembak, memukul dengan popor senapan, pentungan, tinjuan, dan tendangan sepatu lars. Lontaran kata-kata kasar dan intimidasi juga terus diteriakkan oleh pasukan TNI ini.

Pihak TNI menganggap kekerasan terhadap warga Setrojenar pada pertengahan April lalu, sudah sesuai prosedur. Langkah tersebut dilakukan tentara akibat tindakan warga yang anarkis, yang mengancam keselamatan jiwa anggota TNI dan aset-aset TNI. Namun fakta-fakta yang saya dapatkan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Warga yang tengah mengerjakan sawah dan ladangnya pun tak luput dari serangan. Surip Supangat, Kepala Desa Setrojenar, yang tengah menanam padi, ditembak dua kali di pantatnya. Warga lain lain yang baru pulang dari mencari rumput pun tak lepas dari pukulan popor senapan dan injakan sepatu lars.

Dalam penyerangan yang membabibuta ini, pasukan TNI AD menangkapi enam orang warga. Penangkapan dilakukan dengan cara-cara kasar, tidak manusiawi, dan merendahkan harkat martabat mereka sebagai manusia. Setelah menerima perlakuan kejam, berupa tembakan, tendangan, pukulan, dan intimidasi verbal, enam orang warga ini selanjutnya diikat dengan tali tambang, dan dilemparkan ke truk. Mereka kemudian digelandang tentara menuju Markas Polres Kebumen.

Sebagian besar warga yang ditangkap dalam kondisi yang mengenaskan. Mereka dibawa ke RSUD Kebumen untuk mendapatkan perawatan. Para korban ini dibawa ke rumah sakit masih dalam keadaan tangan terikat. Polisi mengaku tidak berani membuka ikatan tersebut.

Aksi tentara kembali terjadi. Menjelang Magrib, pasukan loreng itu melakukan penyisiran ke rumah-rumah warga. Pasukan TNI AD menangkap empat orang warga lagi dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana perusakan. Cara tentara ini sebenarnya tidak dibenarkan secara hukum mengingat penangkapan merupakan wewenang pihak kepolisian. Warga tersebut bukan gerombolan separatis yang mengancam kedaulatan negara. Namun di Urut Sewu kesewenang-wenangan tentara itu terjadi.

Akibat penyerangan tentara pada Sabtu kelabu itu, sedikitnya 14 orang warga sipil mengalami luka-luka, baik luka tembak maupun luka-luka yang diakibatkan oleh pukulan benda tumpul. Selain itu pasukan TNI AD juga merusak setidaknya 12 sepeda motor milik warga dan merampas beberapa telepon genggam dan kamera foto milik warga.

Dalam proses berikutnya meskipun sejumlah warga menjadi korban tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak TNI AD, namun tidak ada satu pun pasukan TNI AD yang diproses secara hukum. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pomdam IV

Langgengnya Impunitas

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

Diponegoro malah menyebutkan tidak ada pelanggaran apa pun yang dilakukan oleh pasukan TNI AD dalam kasus Kebumen.

Sementara itu, enam orang warga justru tengah menjalani prsoses hukum di Pengadilan Negeri Kebumen dengan tuduhan melakukan perusakan terhadap barang atau orang. Dari pihak warga sebenarnya telah melaporkan tindakan yang dilakukan oleh pihak TNI kepada Polres Kebumen dan Sub Denpom IV/2-2 Purworejo, atas peristiwa kekerasan tanggal 16 April 2011. Menanggapi laporan tersebut, pihak Polres Kebumen kemudian mengalihkan laporan ke Sub Denpom IV/2-2 Purworejo. Namun, Komandan Sub Denpom IV/2-2 Purworejo mengatakan institusinya tidak memiliki kewenangan untuk menjelaskan mengenai proses hukum terhadap sejumlah anggota TNI dimaksud. Dia pun mengalihkan pengaduan warga ke Danpomdam IV/Diponegoro.

Ketiadaan proses hukum terhadap anggota TNI AD yang melakukan tindakan kekerasan terhadap warga memperlihatkan adanya diskriminasi dalam proses hukum. Ada pengingkaran terhadap amanat Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan adanya persamaan di muka hukum, serta hak atas kepastian dan keadilan hukum bagi setiap warganegara. Tertutupnya pihak TNI menanggapi kasus ini dan tiadanya proses hukum yang tegas terhadap para anggota TNI yang melakukan tindak kekerasan, menunjukan belum adanya transparansi dan akuntabilitas di pihak TNI. Hal ini juga menunjukan masih terpeliharanya impunitas TNI dari tindakan hukum apa pun.

Kesimpang-siuran peraturan perundang-undangan juga menjadi alasan bagi TNI untuk menghindari proses hukum. Karenanya ke depan, penting untuk melakukan reformasi menyeluruh terkait dengan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh anggota TNI, khususnya reformasi UU Peradilan Militer.

1. Kesepakatan ini hanya dibuat secara lisan, tanpa ada bukti hitam di atas putih. Hanya ada notulensi dan rekaman pertemuan berikut kesaksian warga yang terlibat dalam pertemuan tersebut.

(16)

Torture

vacuum

High Level Meeting

n a t i o n a l p r e v e n t i v e mechanism

(OPCAT). Indonesia sendiri berkomitmen meratifikasi OPCAT di periode Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2011-2014, setelah gagal memenuhi janjinya untuk meratifikasi pada periode 2004-2009.

Persiapan menuju ratifikasi telah dilakukan lewat serangkaian pertemuan dan pelatihan sejak tahun 2007 hingga 2009. Setelah sempat

selama setahun, pada 23 Juni 2011 kemarin, ELSAM dan United Nations Resident Office dengan d u k u n g a n K e d u t a a n B e s a r S w i s s menyelenggarakan bertajuk “ P e n t i n g n y a P e m a n t a u a n Te m p a t - t e m p a t Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional sesuai dengan OPCAT” di Hotel Borobudur, Jakarta. Workshop ini dihadiri 18 institusi pemerintahan dan negara yang memiliki kewenangan penahanan dan mandat pemantauan, tiga kantor PBB di Jakarta, sebuah kantor PBB regional Asia Tenggara, Komisi Eropa, serta dua organisasi nonpemerintah yang menginisiasi advokasi ratifikasi OPCAT dan pemantauan tempat-tempat penahanan.

Acara ini diharapkan menjadi forum untuk berbagi informasi tentang OPCAT di antara para pemangku kepentingan di tingkat pemerintahan; meninjau bersama-sama sejauhmana implikasi r a t i f i k a s i O P C A T a t a s I n d o n e s i a ; mempertimbangkan implementasi OPCAT di Indonesia setelah ratifikasi, terutama terkait dengan p e m b e n t u k a n m o d e l

(NPM) yang dianggap terbaik untuk Indonesia; membangun konsolidasi praktis di antara lembaga negara yang memiliki kewenangan penahanan; melaksanakan konsensus nasional tahun 2009 mengenai pembentukan mekanisme pemantauan eksternal independen.

Pada umumnya, hampir seluruh peserta yang hadir menyepakati pentingnya mekanisme pemantauan independen dari eksternal lembaga untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan di tempat-tempat penahanan, meskipun sempat terjadi perbedaan pendapat mengenai definisi tempat penahanan. Beberapa institusi di luar sistem peradilan pidana tidak sepakat bahwa institusinya, seperti rumah sakit jiwa atau tempat penampungan TKI dan anak-anak jalanan, dikategorikan sebagai tempat penahanan. Padahal, seluruh tempat untuk merampas kemerdekaan seseorang dapat dikategorikan sebagai tempat penahanan.

6

M

araknya praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang yang terjadi di tempat-tempat penahanan di Indonesia sudah menjadi perhatian luas, bahkan ke tingkat internasional. Hasil survei LBH Jakarta tahun 2008 menunjukkan 83,77% responden mengalami kekerasan di dalam tempat penahanan ketika proses penyidikan . KontraS mencatat ada 28 kasus penyiksaan yang terjadi di antara Juli 2010-Juni 2011.

Kasus kekerasan selama proses investigasi sangat masif terjadi pada kasus-kasus terkait narkotika dan psikotropika. Kekerasan dilakukan oleh aparat biasanya untuk menggali informasi mengenai sindikat pengedar yang diduga terlibat. Misalnya saja kekerasan yang menimpa CL/YFL, perempuan berkewarganegaraan Malaysia yang terlibat kasus penyelundupan heroin dalam jumlah besar. Dia mengalami kekerasan ketika proses penyidikan di BNN sehingga mengalami gangguan THT.

Selain kasus-kasus yang muncul di permukaan, diduga keras banyak kasus-kasus lain yang tidak terdata. Pola relasi kekuasaan yang timpang mengakibatkan korban tidak berani melapor. Praktik kekerasan dan penyimpangan-penyimpangan lainnya di dalam tempat-tempat penahanan yang seakan tertutup dari dunia luar, dipercaya dapat dicegah dengan melakukan kunjungan-kunjungan rutin ke tempat-tempat penahanan. PBB telah membentuk suatu instrumen yang memuat mekanisme pencegahan yang disebut 1 2 3 4 5

Optional Protocol to the Convention Against

nasional

Menuju Ratifikasi OPCAT

Oleh Dina Savaluna

(Koordinator Studi dan Pemantauan Center for Detention Studies)

(17)

1. LBH Jakarta, , (Jakarta: LBH Jakarta, 2008),p.19

2.

3. Center for Detention Studies (1), Laporan Harian: RUTAN Pondok Bambu, 16 Juli 2010, CDS. Doc.

RMD/C/VII/09/Journal/2010, hal.3; Center for Detention Studies (2), Laporan Harian: RUTAN Salemba, 21 Juni 2010, CDS Doc. RMD/C/VI/04/Journal/2010.

4. Center for Detention Studies (3), Laporan Harian: RUTAN Pindok Bambu, 14 Mei 2010, CDS Doc.

RMD/C/V/01/Journal/2010.

5. “What is the OPCAT”, Association for the Prevention of Torture, tersedia di

6. Presiden Indonesia (1), Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2011-2014, Lampiran 1 nomor 3.

Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan

http://www.kontras.org/data/Lap%20Torture%202011.pdf

http://apt.ch/index.php?option=com_k2&view=item&layout=ite m&id=672&Itemid=251&lang=es

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

Kondisi tahanan yang menggantungkan nasibnya kepada pihak penahan membuat tahanan rentan terhadap tindakan sewenang-wenang. Oleh karena itu dibutuhkan adanya mekanisme pemantauan independen sebagai bentuk

. Sebagai instrumen internasional, OPCAT memberikan standar-standar, kerangka serta koridor mekanisme pemantauan yang dipercaya dapat mencegah penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang di tempat-tempat penahanan. Indonesia sendiri telah memulai kerja-kerja p e r s i a p a n r a t i f i k a s i s e j a k 2 0 0 7 d e n g a n mengadakan berbagai pertemuan, pelatihan, termasuk dengan mengundang

, Manfred Nowak di penghujung 2007.

Meskipun dirasakan perlu bagi Indonesia untuk memiliki mekanisme pencegahan penyiksaan seperti yang diatur di dalam OPCAT, ratifikasi suatu instrumen internasional harus dipersiapkan secara matang, agar tidak menjadi macan kertas. Apalagi, instrumen OPCAT memiliki implikasi anggaran untuk melakukan pemantauan ke seluruh Indonesia secara rutin. Sementara, untuk lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan saja, saat ini di Indonesia terdapat lebih dari 400 UPT di seluruh Indonesia. Belum lagi kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, merupakan salah satu tantangan bagi lembaga apapun yang akan melaksanakan fungsi pencegahan nasional untuk melakukan pemantauan.

Dalam RANHAM tahun 2011-2014, Ratifikasi OPCAT direncanakan dilakukan pada 2013. Artinya, Indonesia memiliki dua tahun untuk mempersiapkan diri, baik secara hukum, infrastruktur, serta sumberdaya, agar ketika waktu ratifikasi, seluruh infrastruktur telah siap. Karena Indonesia terikat pada kewajiban mencegah terjadinya penyiksaan dan perlakuan buruk yang dimuat di Konvensi Menentang Penyiksaan, pembentukan mekanisme pencegahan penyiksaan tidak boleh ditunda-tunda dengan sengaja.

check and balance

UN Special Rapporteur on Torture

dok: diolah dari edahkaben.blogdetik.com

Beratnya implikasi ratifikasi OPCAT seharusnya bukan dilihat sebagai faktor penghalang apalagi penunda untuk meratifikasi OPCAT, melainkan untuk memacu seluruh pihak agar segera memprioritaskan persiapan di instansinya masing-masing.

(18)

K

amis, 28 Juli 2011, menjadi hari antiklimaks persidangan Kasus Cikeusik. Pada hari itu majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Serang memvonis sangat rendah 12 orang pelaku penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, yang menyebabkan tiga orang Ahmadiyah meninggal dunia. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa para pelaku bersalah melakukan penghasutan sebagaimana diatur Pasal 160 KUHP; turut serta penyerangan/perkelahian yang mengakibatkan kematian sebagaimana diatur Pasal 358 ayat (2) KUHP, dan karena membawa senjata tajam sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12 tahun 1951.

Sepuluh pelaku di antaranya divonis enam bulan penjara. Dua pelaku lainnya divonis lebih ringan. Idris bin Mahdani diganjar lima bulan 15 hari penjara dan Dani bin Misra yang baru berusia 17 tahun, dihukum tiga bulan penjara. Bila dipotong masa penahanan maka para terpidana tersebut diperkirakan akan menghirup udara bebas pada pertengahan Agustus 2011 ini.

Vonis ringan ini sudah dapat diprediksi tatkala jaksa penuntut umum menuntut mereka dengan tuntutan hukuman yang sangat rendah: antara 5 hingga 7 bulan penjara semata. Padahal untuk Pasal 160 KUHP ancaman maksimalnya adalah 6 (enam) tahun penjara, untuk Pasal 358 ayat (2) KUHP ancaman

maksimal adalah 4 tahun penjara, dan untuk Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12 tahun 1951 ancaman maksimal adalah 10 (sepuluh) tahun penjara. Alhasil banyak pihak menyesalkan rendahnya hukuman yang dijatuhkan terhadap para pelaku penyerangan dan kekerasan terhadap Ahmadiyah ini.

Penyerangan warga Ahmadiyah ini tidak dapat dianggap sebagai peristiwa kriminal biasa yang di dalamnya kebetulan ada unsur penghasutan, pengrusakan, penganiayaan, atau pengeroyokan. Tragedi Cikeusik merupakan kejahatan serius ( s e r i o u s c r i m e s ) m e n y a n g k u t k e b e b a s a n berkeyakinan. Penyerangan terhadap Ahmadiyah sama halnya dengan pelanggaran atas hak asasi manusia yang paling fundamental.

Walaupun timbul korban tewas dari Ahmadiyah, salah seorang dari kelompok ini justru dijadikan terdakwa. Dia adalah Deden Dermawan Sudjana, lelaki 48 tahun, yang bertugas sebagai Penasehat Keamanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Deden sempat terekam dalam sebuah video amatir tentang penyerbuan massa terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, awal Februari silam. Dalam video itu, Deden tampak berbincang dengan polisi sebelum terjadi penyerbuan.

Dalam peristiwa naas tersebut, Deden mengalami luka serius. Pergelangan tangan kanannya hampir putus, kepala atas luka sobek dengan tujuh jahitan. Kaki kirinya terluka akibat sabetan benda tajam. Lengan atas kiri bagian dalam juga mengalami luka sobek akibat peristiwa Cikeusik itu.

Dijadikannya Deden sebagai tersangka patut diduga atas desakan ormas dan partai politik yang m e n o l a k k e h a d i r a n A h m a d i y a h . M e r e k a menganggap penangkapan sejumlah pelaku penyerangan tanpa penangkapan terhadap dari pihak Ahmadiyah merupakan tindakan yang tidak adil oleh Kepolisian. Bila dari kubu penyerang dianggap sebagai pelaku, maka Deden dari Ahmadiyah didakwa jaksa penuntut sebagai penyebar provokasi atau penghasut.

Deden sendiri ditetapkan sebagai tersangka pada 3 Maret 2011. Adalah Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Boy Rafli Amar, yang mengumumkan penetapan Deden sebagai tersangka.

Dalam dakwaan, jaksa mengutip ucapan Deden yang dianggap menghasut jamaah Ahmadiyah lainnya. “Kalau Polisi dan tentara sudah tidak mampu menghadapi massa biar kami saja yang

Korban Yang Menjadi Terdakwa

monitoring sidang

Oleh Andi Muttaqien

(Staf Pelaksana Program Divisi Advokasi Hukum ELSAM)

Sidang Deden, Sidang Korban

Siaran Pers: Ketika Korban dipidana Respon atas Vonis Korban Penyerangan Massa di Cikeusik, Banten (dok: elsam)

(19)

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

menghadapi kelompok massa tersebut dan akan bertahan sampai titik darah penghabisan,” kata Deden seperti dikutip dalam dakwaan yang disangkakan kepadanya.

Ucapan Deden tersebut dianggap memicu reaksi dari Jemaat Ahmadiyah lainnya yang menyanggupi kalimat Deden tersebut dengan mengatakan, “Kami siap Pak!!, Siap...siap, tiap hari kita ...”. Maka terjadilah bentrokan yang sebenarnya tidak seimbang tersebut. Jamaah Ahmadiyah pun tersudut setelah massa merangsek menyerbu ke rumah Suparman, tokoh Ahmadiyah setempat. Rumah rusak parah, sebuah mobil Toyota Innova dan beberapa kendaraan roda dua milik jamaah ikut dibakar massa.

Dalam surat dakwaan No. Reg. Perkara: PDM-24/SRG/05/2011, Kejaksaan Negeri Serang, tertanggal 30 Mei 2011, Deden juga didakwa melawan petugas Kepolisian saat memintanya pergi dari kediaman Suparman. Selain itu, Deden juga dianggap bertanggung jawab atas pemukulan terhadap Idris bin Mahdani, seorang anggota gerombolan penyerang yang berada paling depan saat mendatangi rumah Suparman.

Atas perbuatannya tersebut, Deden didakwa dengan Pasal 160 KUHP dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara; Pasal 212 KUHP dengan ancaman maksimal 1 tahun empat bulan penjara; dan Pasal 351 ayat (1) KUHP dengan ancaman maksimal 2 tahun delapan bulan penjara.

Persidangan terhadap Deden Sudjana dimulai pada Rabu, 8 Juni 2011 dengan pengamanan ketat dari Kepolisian yang dibantu aparat TNI. Deden dikawal Brimob Polda Banten berpakaian lengkap dan senjata laras panjang, serta diantar dengan mobil kendaraan taktis (rantis) milik Brimob Polda Banten. Menurut keterangan Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Banten, AKBP Gunawan Setiadi, polisi mengerahkan 700 personel dari pelbagai kesatuan guna mengamankan sidang perdana Deden.

Dalam persidangan Deden, Jaksa Penuntut Umum telah menghadirkan Saksi sebanyak 11 orang. Termasuk Hasanudin, Kanit Reskrim Polsek Cikeusik, orang yang terlibat dialog dengan Deden sebagaimana terlihat dalam video yang menyebar di dunia maya. Sedangkan dari Penasehat Hukum Deden dari Tim Advokasi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Warga Negara, telah menghadirkan 2 orang saksi dan 3 ahli, yaitu Bambang Widodo Umar (pengamat kepolisian), Ade Armando (ahli komunikasi), dan Nathanael Sumampouw (ahli psikologi).

Ahli: Objek Evakuasi Adalah Penyerang, Bukan Korban

Bambang Widodo Umar dalam penjelasannya di persidangan menyatakan dalam konteks kasus Cikeusik, secara normatif Kepolisian telah mengeluarkan Peraturan Kepolri (Perkap) sebagai

pedoman untuk keamanan ketertiban masyarakat (kamtibmas), yaitu Perkap No. 16 tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa. Sedang untuk menghadapi demo yang dikuatirkan menimbulkan anarkisme, telah ada Perkap yang mengatur implementasi tugas Polisi agar sesuai dengan HAM, yaitu Perkap No. 8 tahun 2009, serta ada Protap K a p o l r i N o . P r o t a p / 1 / X / 2 0 1 0 t e n t a n g Penanggulangan Anarki.

M e n u r u t p e n g a m a t a n B a m b a n g , pengendalian saat peristiwa Cikeusik, laporan khusus (lapsus) dari Intelejen tidak terbaca oleh pimpinan, dan mekanismenya mungkin juga lengah. Inisiatif pimpinan juga untuk menilai tingkat kerawanan di masyarakat.

Kemudian terkait evakuasi, sebagaimana yang dilakukan oleh Iptu. Hasanudin (Kanit Reskrim P o l s e k C i k e u s i k ) t e r h a d a p D e d e n d a n rombongannya, Bambang menyatakan bahwa dalam keppolisian tidak dikenal evakuasi. Jika terpaksa harus evakuasi, maka harus ditentukan syaratnya dan harus dipersiapkan terlebih dahulu. Dalam Protap Penanggulangan Anarki objek yang dievakuasi adalah penyerang bukan korban. Jika terduga korban menolak dievakuasi, maka polisi tetap mempunyai tugas untuk melindungi.

Sementara itu, ahli komunikasi dari Universitas Indonesia, Ade Armando, mengatakan bahwa dialog antara Penasehat Keamanan Nasional Ahmadiyah, Deden, dengan Kanit Reskrim Polsek Cikeusik Iptu Hasanudin adalah hanyalah negosiasi biasa, bukan perintah hukum.

Percakapan antara Deden dan Hasanudin merupakan percakapan formal biasa yang terlihat antara seorang warga negara yang meminta

Deden Sujana (tengah) pimpinan rombongan Jemaah Ahmadiyah dari Jakarta yang bentrok di Cikeusik, Pandeglang, 6 Februari lalu sedang memberi keterangan dalam sidang di Pengadilan Negeri Serang dengan terdakwa Kiai M Munir (kiri), Selasa (31/5)

Referensi

Dokumen terkait

Kepala Bidang Pemberdayaan dan Par timas Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta, Abdul Chair mengatakan, jika dibandingkan dengan periode yang

Tujuan umum penyusunan Rencana Aksi Kegiatan ini adalah menyediakan peta jalan implementasi kegiatan peningkatan pelayanan kefarmasian dengan upaya mendukung

Pemetaan dari data persepsi sensoris dilakukan dengan metode Cluster Analysis untuk menghasilkan dendogram yang menunjukkan hasil klaster antar variabel yang terbentuk

1) Ciri Fisik dan Bahasa.. Ciri lain dari Asimilasi tersebut adalah ciri biologis yang khas misalnya bentuk wajah, hidung, warna kulit yang membedakan dengan

Regenerasi pucuk dari eksplan tunas aksilar mahkota buah nenas dapat dipacu dengan pemberian zat pengatur tumbuh 2,4-D dan BAP ke dalam medium tumbuh,.. Regenerasi

Dari perencanaan ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:  Unit pengolahan yang diperlukan untuk mengolah air banjir di Surabaya menjadi air minum adalah unit

Penelitian ini menggunakan instrumen SGRQ versi Indonesia sebagai alat pengumpul data untuk mengukur kualitas hidup pada pasien yang sedang mengalami kontrol PPOK di

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Tirono dan Ali (2011) yang dilakukan pada tempurung kelapa, dimana semakin meningkatnya suhu dan waktu karbonisasi, rendemen