xi DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DEPAN ... i
PRASYARAT GELAR ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
RINGKASAN ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 9 1.3 Tujuan Penelitian ... 9 1.3.1 Tujuan Umum ... 9 1.3.2 Tujuan Khusus ... 9 1.4 Manfaat Penelitian ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11
2.1 Epidemiologi Kasus PGK dan Anemia pada PGK ... 11
2.2 Etiologi dan Faktor Risiko PGK ... 13
2.2.1 Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi ... 14
xii
2.3 Etiologi dan Patofisiologi Anemia pada PGK ... 19
2.3.1 Peranan Penurunan Kadar Eritropoetin ... 20
2.3.2 Peranan Defisiensi Besi pada Anemia melalui Peningkatan Hepcidin…. ... 22
2.3.3 Peranan Pemendekan Masa Hidup Eritrosit ... 29
2.3.4 Peranan Oksidatif Stress dan Inflamasi Kronis ... 30
2.4. Aplikasi Klinis Retikulosit sebagai Indikator Defisiensi Besi ... 30
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS ... 34
3.1 Kerangka Berpikir ... 34
3.2 Konsep Penelitian ... 35
3.3 Hipotesis Penelitian ... 37
BAB IV METODE PENELITIAN ... 38
4.1 Rancangan Penelitian ... 38
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 38
4.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 38
4.4 Populasi Penelitian ... 38
4.4.1 Populasi Target ... 38
4.4.2 Populasi Terjangkau ... 38
4.5 Sampel Penelitian ... 39
4.5.1 Teknik pengambilan sampel ... 39
4.5.2 Besar sampel ... 39
4.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 40
4.6.1 Kriteria Inklusi ... 40
4.6.2 Kriteria eksklusi ... 40
4.7 Variabel Penelitian ... 40
4.7.1 Identifikasi variabel ... 40
4.7.2 Definisi operasional variabel ... 41
4.8 Bahan dan Instrumen Penelitian ... 43
xiii
4.10 Analisis Data ... 45
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47
5.1 Hasil ... 47
5.1.1 Karakteristik Dasar Sampel ... 47
5.1.2 Hubungan antara Ret-He dan Defisiensi Besi Fungsional ... 51
5.2 Pembahasan ... 54
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 63
6.1 Simpulan ... 63
6.2 Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 64
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Patofisiologi Anemia pada Individu dengan PGK ... 20
Gambar 2.2 Ilustrasi Skematis Pembentukan IL-6 pada PGK ... 25
Gambar 2.3 Regulasi Hepcidin oleh IL-6 pada Kondisi Inflamasi ... 26
Gambar 2.4 Peranan Hepcidin dalam Mengatur Homeostasis Besi ... 27
Gambar 3.1 Kerangkan Konsep Penelitian ... 36
Gambar 4.1 Alur penelitian ... 45
Gambar 5.1 Frekuensi Defisiensi Besi Fungsional dengan Feritin Tinggi dan Sangat Tinggi ... 51
Gambar 5.2 Kurva ROC penentuan Cut Off Point variabel Ret-He terhadap Defisiensi Besi Fungsional ... 53
xv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 5.1 Karakteristik Dasar Sampel ... 49 Tabel 5.2 Frekuensi Karakteristik Sampel berdasarkan ST dan SF ... 50 Tabel 5.3 Frekuensi Defisiensi Besi Fungsional Feritin Tinggi dan
Sangat Tinggi ... 50 Tabel 5.4 Mean Ret-He pada Defisiensi Besi Fungsional Feritin Tinggi
dan Sangat Tinggi ... 51 Tabel 5.5 Hasil Analisis Simple Log Regression hubungan antara Ret-He
dan Defisiensi Besi Fungsional pada penderita PGK
yang menjalani Hemodialisis Reguler ... 52 Tabel 5.6 Perbedaan mean Ret-He pada Defisiensi Besi Fungsional
dengan Feritin Tinggi dan Sangat Tinggi pada penderita PGK yang menjalani Hemodialisis Reguler ... 53 Tabel 5.7 Area Under Curve penentuan cut off point variabel Ret-He
xvi
DAFTAR SINGKATAN
ACE = Angiotensin corventing enzim AGE = Advanced glycation end products AKI = Acute kidney injury
ANA = antinuklear antibodi
ARA = American rheumatism association APOL1 = apolipoprotein L1 gene
BFU-E = Burst forming unit erythroid CFU-E = Colony forming unit erythroid CRP = C-reactive protein
DRIVE = Dialysis Patient’s Respone to IV with Elevated Ferritin EPO = Eritropoeitin
ESRD = end stage renal disease FSC = Forward Scattered Light
GEMM = granulosit eritroid monosit megakariosit GFR = Glomerular filtration rate
GM-CSF = Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
Hb = Hemoglobin
HIF-1 = Hypoxia induced factors 1 IgA = Imunoglobulin A
IGF-1 = Insulin-like growth factor-1 IL-3 = Interleukin-3
IL-4 = Interleukin-4 IL-6 = Interleukin-6 IL-9 = Interleukin-9 IL-11 = Interleukin-11 IMT = Indeks Massa Tubuh JAK-2 = Janus kinase-2
JAK-STAT = Janus kinase signal tranducers and activators transription JSDT = Japanese Society of Dialysis Therapy
xvii
KDOQI = Kidney Disease Outcomes Quality Initiative LEAP-1 = Liver expressed antimicrobial peptide 1 MCH = Mean Corpuscular Hemoglobin
MCHC = Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration MCV = Mean corpuscular volume
MTHFS = Methenyltetrahydrofolate synthetase MYH9 = Myosin heavy chain 9 gene
NKF = National Kidney Foundation PGK = Penyakit ginjal kronik
Pg = Picogram
RAS = Sistem renin angiotensin
Ret-He = Reticulocyte hemoglobin equivalent RNA = Ribonucleic acid
SCF = Stem cell factors SF = serum feritin
SFL = Side fluorescent light
SI = serum iron
SLE = Sistemic lupus erimatosus SSC = Side scattered light ST = saturasi transferin
TCF7L2 = trancription factor 7 like 2 TNF-alfa = Tumor necrosis factor alfa
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Surat Kelaikan Etik ... 71
Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian... 72
Lampiran 3 Informed Concent ... 73
Lampiran 4 Formulir Persetujuan Tertulis ... 75
Lampiran 5 Formulir Pengumpulan Data ... 76
Lampiran 6 Prosedur Pemeriksaan Hemoglobin ... 78
Lampiran 7 Prosedur Pemeriksaan Besi ... 80
Lampiran 8 Prosedur Pemeriksaan TIBC ... 82
Lampiran 9 Prosedur Pemeriksaan Ret-He ... 84
Lampiran 10 Prosedur Pemeriksaan Feritin ... 86
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan permasalahan kesehatan yang dapat mengancam setiap penduduk di dunia. Indonesia yang merupakan negara berkembang menjadikan PGK sebagai salah satu faktor setelah penyakit infeksi yang menjadi penyebab kejadian morbiditas maupun mortalitas. Kejadian PGK di Indonesia yang terus meningkat menjadi beban dalam hal medis, sosial dan ekonomi bagi pasien, keluarga pasien serta pemerintah.
Sampai saat ini kepastian angka insiden maupun angka prevalensi PGK di masyarakat masih sangat sulit didapatkan, dikarenakan pada tahap awal kejadian PGK bersifat asimptomatik, namun beberapa studi epidemiologi memberikan estimasi prevalensi secara global sebesar 10% (Bello dkk., 2010), dengan estimasi sebesar 2,1 juta jiwa menjalani hemodialisis di seluruh dunia (Iseki dan Kohagura, 2010). Pada tahun 2004 di Amerika Serikat ditemukan 399 kasus baru dengan end stage renal disease (ESRD) per satu juta penduduk, dan telah menghabiskan anggaran kesehatan 18,5 miliar dollar amerika yang mencakup sekitar 16,3 miliar dollar amerika dipergunakan untuk membiayai hemodialisis (Nazar dkk., 2014). Di Indonesia berdasarkan data yang dikumpulkan dari 13 pusat hemodialisis yang dimiliki oleh rumah sakit pendidikan, didapatkan peningkatan angka insiden maupun prevalensi dari tahun 2000 sampai dengan 2006. Angka insiden didapatkan sebesar 14,5 per satu juta penduduk di tahun 2000 menjadi 30,7 per satu juta penduduk pada tahun 2006. Angka prevalensi
2
didapatkan sebesar 10,2 per satu juta penduduk di tahun 2000 menjadi 23,4 per satu juta penduduk pada tahun 2006. Biaya kesehatan yang dibayarkan pemerintah untuk melaksanakan hemodialisis pada tahun 2000 sebesar 33 miliar rupiah, biaya ini mengalami peningkatan sebesar tiga kali lipat jika dibandingkan dengan biaya yang dilaporkan tahun 1995 (Prodjosudjadi dan Suharjono, 2009). Anemia merupakan salah satu komplikasi yang terjadi pada seorang penderita PGK, kondisi anemia hampir selalu ditemukan pada ESRD dan umumnya sudah mulai terjadi pada PGK stadium 3 (Iseki dan Kohagura, 2010; PERNEFRI, 2011; Jing dkk., 2012). Anemia menjadi permasalahan utama bagi pasien maupun penyedia layanan kesehatan, dikarenakan kondisi anemia akan meningkatkan angka mortalitas, lama rawat, menurunkan kualitas hidup pasien serta berkontribusi terhadap penurunan fungsi jantung dan peningkatan kejadian pembesaran ventrikel kiri (Zadrasil dan Horak, 2014). Sampai saat ini di Amerika Serikat didapatkan lebih dari 8 juta jiwa pasien PGK dengan anemia, estimasi proporsi sebesar 18% pada PGK stadium 3 dan hampir 60% pada PGK stadium 4-5 dengan kadar hemoglobin (Hb) rata-rata pada ESRD sebesar 9,9 g/dL (Villiant dan Hofmann, 2013). Di Indonesia belum ada data epidemiologi anemia pada PGK yang bersifat nasional. Data Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2010 anemia ditemukan pada 100% pasien baru saat pertamakali menjalani hemodialisis dengan kadar Hb rata–rata sebesar 7,7 g/dL (PERNEFRI, 2011).
Penyakit ginjal kronis dan anemia merupakan dua hal yang sering dikaitkan satu sama lainnya sejak 170 tahun lalu, hal ini pertama kali diungkapkan oleh
3
seorang ilmuwan bernama Richard Bright. Kejadian anemia akan meningkat seiring dengan perjalanan dari perburukan penyakit ginjal (Babitt dan Lin, 2012). Sampai saat ini penyebab utama anemia pada PGK dikaitkan dengan kondisi penurunan produksi eritropoeitin (EPO) (McDougall dan Eckardt, 2010; Bargman dan Skorecki, 2013; Suwitra, 2014), namun terdapat beberapa hal yang juga berperan dalam terjadinya anemia pada PGK seperti: defisiensi besi, kondisi inflamasi kronik yang disertai gangguan utilisasi besi, defisiensi asam folat, kehilangan darah melalui perdarahan saluran cerna, hiperparatiroidisme yang berdampak pada fibrosis sumsum tulang dan kondisi uremik berkepanjangan yang menyebabkan pemendekan masa hidup eritrosit (Bargman dan Skorecki, 2013; Suwitra, 2014).
Defisiensi besi dapat terjadi pada sebagian besar pasien PGK dan penyebab defisiensi besi dikatakan multifaktorial. Beberapa hal yang berkontribusi dalam kejadian defisiensi besi pada seorang dengan PGK adalah penurunan asupan dan terjadinya gangguan dalam penyerapan besi dari makanan, kehilangan darah yang bersifat kronis melalui hemodialisis, kondisi inflamasi kronis dari ESRD dan peningkatan kebutuhan besi pada terapi pemberian EPO (Horl, 2007;Van Buren dkk., 2012; McDougall dan Geisser, 2013; Bullough dan Babitt, 2014). Pasien PGK yang mendapatkan hemodialisis serta terapi EPO akan mengalami dua kondisi defisiensi besi yaitu defisiensi besi absolut yang ditandai dengan menurunnya cadangan besi dalam tubuh dan defisiensi besi fungsional yang ditandai dengan cadangan besi dalam tubuh yang masih normal namun kemampuan eritropoeisis di sumsum tulang menurun akibat terganggunya
4
mobilisasi besi dari cadangan di jaringan (Buttarello dkk., 2010). Defisiensi besi yang terjadi menyebabkan adanya gangguan pada proses eritropoeisis yang berakhir dengan kondisi anemia dan timbulnya resistensi terhadap terapi EPO pada pasien PGK (Buttarello dkk., 2010; Bullough dan Babitt, 2014). Efektifitas terapi EPO yang menurun akibat defisiensi besi membutuhkan suplementasi besi intravena, namun pemberian terapi suplementasi besi intravena sangat berisiko untuk terjadinya morbiditas seperti reaksi anafilaksis, peningkatan risiko infeksi dan kegagalan organ. Sehingga dibutuhkan ketelitian dalam memilih pasien yang memang membutuhkan suplementasi besi intravena (Buttarello dkk., 2010). Anemia yang diakibatkan oleh defisiensi besi akan menunjukkan gambaran penurunan serum iron (SI) dan saturasi transferin (ST) serta peningkatan red cell distribution width dan total iron binding capacity (Bakta, 2006; Horl, 2007).
Terdapat beberapa pemeriksaan status besi yang dipublikasikan sampai saat ini disamping pemeriksaan standar yang digunakan yaitu: hemosiderin sumsum tulang, Zinc protoporfirin, Soluble transferin receptors, Persentase Hypochromic Red Blood Cells dan Reticulocyte Haemoglobin Content (Chr). Pemeriksaan
hemosiderin pada sumsum tulang merupakan pemeriksaan gold standar untuk menentukan kondisi defisiensi besi, pemeriksaan sumsum tulang mampu memberikan informasi tentang cadangan besi sebenarnya. Tetapi pemeriksaan ini memiliki kelemahan dalam hal teknis pemeriksaan yang invasif dan tidak dikerjakan sebagai pemeriksaan rutin dalam prkatek klinis (Barron dkk., 2001). Zinc protoporfirin eritrosit merupakan salah satu teknik pemeriksaan penunjang penilaian status besi dengan menilai kadar zinc dalam eritrosit. Pada kondisi
5
defisiensi besi, kadar besi yang rendah akan digantikan oleh zinc dengan membentuk zinc protoporfirin pada proses eritropoeisis. Pemeriksaan zinc protoporfirin memiliki keuntungan karena tidak dipengaruhi oleh kondisi inflamasi, tetapi memiliki kelemahan bila digunakan untuk menilai status besi pasien dengan hemodialisis karena terjadinya peningkatan semu kadar zinc protoporfirin pada hemodialisis reguler (Labbe dkk., 1999). Soluble transferin receptors (sTfR) merupakan pemeriksaan jumlah reseptor transferin yang
menempel pada eritrosit. Reseptor transferin merupakan rantai polipeptida dengan berat molekul 85 kilodalton yang akan aktif pada sel yang membutuhkan besi. Pemeriksaan sTfR akan memberikan gambaran tentang estimasi kebutuhan sel akan besi, sehingga jumlah sTfR serum akan meningkat pada kondisi defisiensi besi. Keuntungan sTfR dalam menilai status besi adalah tidak dipengaruhi oleh inflamasi jika dibandingkan dengan jenis pemeriksaan status besi konvensional yang digunakan saat ini, tetapi sTfR belum digunakan sebagai pemeriksaan rutin dan masih beragamnya cut off point dari beberapa studi (Braga dkk., 2014). Persentase Hypochromic Red Blood Cells (%HYPO) merupakan salah satu metode pemeriksaan yang mampu menganalisis kadar hemoglobin dari masing-masing sel darah merah secara individual dengan teknik flowcytometri. Pemeriksaan ini memiliki sensitifitas yang lebih baik untuk menilai defisiensi besi jika dibandingkan dengan pemeriksaan konvensional yang melakukan penilaian berdasarkan rata-rata dari total jumlah sel darah merah. Analisis %HYPO yang menggunakan sel darah merah memiliki keterbatasan bila dibandingkan dengan pemeriksaan status besi yang berdasarkan atas retikulosit yang memiliki usia turn
6
over lebih pendek, sehingga kondisi terkini status besi sulit untuk didapatkan
karena turn over sel darah merah yang mencapai 120 hari (MacDougall, 1998). CHr merupakan pemeriksaan analisis retikulosit dengan pewarnaan oxazine-750 untuk menilai kadar hemoglobin yang terkandung sehingga dapat digunakan untuk menilai status besi. CHr tidak dipengaruhi oleh kondisi inflamasi jika dibandingkan dengan pemeriksaan konvensional status besi saat ini. Keterbatasan dari pemeriksaan CHr adalah didapatkan hasil yang lebih rendah pada kondisi hemoglobinopati (Mast dkk., 2007). Panduan klinis praktis yang digunakan untuk menentukan status besi seorang pasien PGK adalah penghitungan ST dan pemeriksaan kadar serum feritin (SF). ST digunakan untuk menghitung kadar besi di sirkulasi yang siap digunakan dalam proses eritropoeisis, sedangkan SF digunakan sebagai alat bantu untuk menilai kadar besi di dalam tubuh (PERNEFRI, 2011; Bullough dan Babitt, 2014). Pada pasien PGK dengan hemodialisis defisiensi besi absolut dinyatakan bila ST <20% dan SF <200 ng/ml, defisiensi besi fungsional dinyatakan bila ST <20% dan SF ≥ 200 ng/ml (Brugnara dkk.,2006; PERNEFRI, 2011).
Penelitian tentang hubungan inflamasi dengan SF pada populasi dengan hemodialisis regular yang dikerjakan tahun 2004, mendapatkan suatu kondisi berupa korelasi positif antara peningkatan SF dengan kondisi inflamasi yang diwakili oleh peningkatan kadar C-reactive protein (CRP) pada kadar SF 200 ng/ml sampai dengan 2000 ng/ml, namun tidak terdapat korelasi pada SF < 200 ng/ml. Studi ini juga menyatakan bahwa pada SF < 200 ng/ml, kadar besi sangat dominan dalam mempengaruhi kadar SF dan menghambat pengaruh inflamasi
7
terhadap SF, pada kadar SF > 200 ng/ml sampai dengan 2000 ng/ml, besi serum dan inflamasi memberikan pengaruh yang sama terhadap peningkatan SF. Pada kadar SF > 2000 ng/ml, kondisi kelebihan besi lebih besar mempengaruhi peningkatan SF (Zadeh dkk., 2004). Studi yang melibatkan 789 pasien dengan hemodialisis regular didapatkan hasil berupa peningkatan CRP dua kali lipat lebih besar pada kelompok SF > 500 ng/ml dibandingkan dengan kelompok dengan SF < 500 ng/ml, berdasarkan hasil tersebut disimpulkan bahwa kadar SF yang tinggi pada pasien dengan hemodialisis reguler ditentukan oleh faktor bukan besi yaitu kondisi inflamasi, sehingga kondisi peningkatan SF > 500 ng/ml disertai dengan ST < 25% tidak dapat dianggap sebagai kondisi kelebihan besi (Rambod dkk., 2008). Penggunaan ST dan SF sebagai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi fungsional memiliki keterbatasan, SF juga merupakan salah satu reaktan fase akut sehingga intepretasi terhadap nilai SF pada situasi inflamasi akan sangat sulit (Bullough dan Babitt, 2014).
Sampai saat ini batas kadar SF untuk menentukan batas pemberian terapi besi intravena belum menemukan keseragaman. Sebuah studi menyatakan bahwa pemberian terapi besi sebaiknya dihentikan pada kadar SF > 500 ng/ml dikarenakan tingginya risiko terbentuknya radikal bebas bila dibandingkan dengan manfaat yang didapatkan (Fishbane, 2008). Sedangkan rekomendasi KDOQI menyatakan bahwa pemberian terapi besi intravena pada kadar feritin diatas 500 ng/ml tidak mutlak harus dihentikan namun masih dapat diberikan dengan berdasar pada kepada kondisi klinis dan respon terhadap pemberian EPO pada masing-masing kasus yang dihadapi (Dukkipati dan Zadeh,2007). Sementara itu
8
hasil berbeda juga didapatkan pada pedoman terapi besi pada PGK yang dikeluarkan oleh persatuan ahli dialisis di jepang (JSDT) menyatakan bahwa terapi besi intravena masih dapat diberikan sampai dengan SF 800 ng/ml dan ST < 50% (Tsubakihara dkk.,2010). DRIVE Study mendapatkan hasil yang sedikit berbeda dalam hal manfaat yang didapatkan pada pemberian terapi besi intravena, studi mendapatkan kesimpulan bahwa pemberian terapi besi masih memberikan manfaat pada kadar SF sangat tinggi yaitu 500 – 1200 ng/ml (Hung dan Tarng,2014). Perbedaan yang dihasilkan dari berbagai penelitian tentang SF menyisakan permasalahan berupa tidak adanya kesepakatan tentang cut of point SF untuk menentukan status iron overload dan defisiensi besi pada penderita PGK (Zadeh dkk.,2006).
Retikulosit merupakan sel darah merah termuda yang tidak berinti dan berasal dari pematangan normoblast yang dilepaskan oleh sumsum tulang ke dalam sirkulasi darah , retikulosit beredar dalam sirkulasi selama satu sampai dua hari sebelum menjadi sel darah merah dewasa dengan melepas sisa RNA (Bakta dkk., 2006; Suega dan Bakta, 2010; Karagulle dkk., 2013). Pemeriksaan retikulosit mendapat perhatian yang penting setelah ditemukannya pemeriksaaan dengan alat yang lebih canggih dengan pewarnaan spesifik untuk RNA. Hasil pemeriksaan ini jauh lebih tepat dan akurat walaupun pada kosentrasi retikulosit yang rendah (Suega dan Bakta, 2010). Saat ini pemeriksaan kadar hemoglobin dalam retikulosit terdiri dari dua jenis pemeriksaan yaitu: Chr dan Reticulocyte hemoglobin equivalent (Ret-He). Masing-masing pemeriksaan dihasilkan dari alat
9
oxazine 750 dan larutan buffer N-Tetradecyl-N,N-dimethyl-3-ammonio-1-propane
sulfonate 0.023 mmol/L, sedangkan Ret-He dihasilkan dari mesin analisis
Sysmex-XN Series dengan pewarnaan polymethine, kedua jenis pemeriksaan ini
menggunakan metode flowcytometri melalui laser semiconductor dan menghasilkan satuan yang sama yaitu picogram (pg) (Ho, 2008; Szigeti dkk., 2014), Ret-He memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pemeriksaan status besi konvensional diantaranya adalah tidak dipengaruhi oleh inflamasi, kondisi uremik dan mampu memberikan informasi mengenai estimasi terkini ketersediaan besi fungsional pasien. Beberapa studi menunjukkan pemeriksaan Ret-He memberikan manfaat dalam diagnosis defisiensi besi dan menilai respon keberhasilan terapi EPO (Ho, 2008; Urrechaga dkk., 2013).
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan nilai Ret-He dan defisiensi besi fungsional pada penderita PGK yang menjalani hemodialisis reguler?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara nilai Ret-He dan status defisiensi besi fungsional pada penderita PGK yang menjalani hemodialisis reguler.
1.3.2 Tujuan Khusus
1 Mengetahui seberapa besar hubungan nilai Ret-He dan defisiensi besi fungsional pada penderita PGK yang menjalani hemodialisis reguler.
10
2 Mengetahui seberapa besar perbedaan nilai Ret-He pada kondisi feritin tinggi dan sangat tinggi pada penderita PGK yang menjalani hemodialisis reguler dengan defisiensi besi fungsional.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan: dapat diketahui adanya hubungan nilai Ret-He dan defisiensi besi fungsional pada penderita PGK yang menjalani hemodialisis reguler.
2. Manfaat praktis: dengan mengetahui hubungan antara nilai Ret-He dan defisiensi besi fungsional, maka pemeriksaan Ret-He dapat digunakan sebagai penanda untuk membantu memprediksi status besi pada penderita PGK yang menjalani hemodialisis reguler.