BAB II
BERBAGAI KAJIAN TENTANG INTERFERENSI, SIKAP BAHASA, DAN BAHASA BATAK TOBA
2.1 Pengantar
Kajian-kajian tentang interferensi terhadap bahasa daerah di Indonesia telah banyak dilakukan. Demikian juga dengan penelitian tentang sikap bahasa dan tentang bahasa Batak Toba.
Dalam kepustakaan, dapat diketahui berbagai kajian tentang interferensi, seperti Abdulhayi, Sulaiman, Sutarna, dan Suharti (1985), Sugiyono (1996), Denes (1994), Sinambela, Martolop (2008), Budiarsa (2006), Rindjin (1979 ), Rusyana (1975 ), dan penelitian lainnya yang menyerupai.
Kajian tentang sikap terhadap bahasa dikemukakan antara lain oleh Kamsiah (2000), Sumarsono (1993), Eva Suliastriana (2003), Baker (1992), Siregar (1985), Aruan (1985), Abdullah (2007), Ma’alip (2008), Siahaan, Rumondang (2000), Sigiro Elisten (2009) dan penelitian lainnya yang menyerupai.
Sementara kajian tentang BT diteliti antara lain oleh Hermanus Neubronner van der Tuuk (1824-1894), Nababan, P.J.W (1966), Silitonga, M (1973), Percival (1981), Sibarani (1994). Selain itu, kajian bahasa BT dalam tingkat skripsi dan tesis jauh lebih banyak jumlahnya seperti ”Adverbia dalam BT ” (Simanjuntak,Lamtio.2005), ”Kedwibahasaan Masyarakat BT di daerah Pariwisata Prapat ” (2003).
Dalam penelitian ini tidak akan dilakukan tinjauan terhadap semua kajian itu. Kajian yang akan ditinjau hanyalah kajian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan di dalam disertasi ini.
2.2 Kajian tentang Interferensi
Penelitian masalah interferensi beberapa bahasa daerah di Indonesia telah dilakukan oleh Budiarsa (2006), Sugiyono (1996), Sinambela (2008), Soewito (1987) , Siregar (1996), dan Rusyana, Yus (1975).
1. Rusyana, Yus (1975)
Penelitian Rusyana dalam disertasi berjudul Interferensi Morfologi pada Penggunaan
Bahasa Indonesia oleh Anak- anak yang Berbahasa Pertama Bahasa Sunda menggunakan
anak-anak sekolah dasar di Jawa Barat sebagai respondennya. Teori yang digunakan adalah teori Weinreich Languages in Contact Untuk memperoleh data interferensi, responden disuruh menuliskan sebuah cerita setelah terlebih dahulu mereka diminta untuk mendengarkan sebuah cerita. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa para responden melakukan interferensi dalam tulisannya pada pembentukan nomina BI maupun verba yang menggunakan afiks.
2.Soewito (1987)
Penelitian disertasi Soewito (1987) berjudul “Berbahasa dalam Situasi Diglosik” membicarakan penggunaan bahasa serta interferensi dalam bahasa pada masyarakat Surakarta yang multilingual dengan menggunakan landasan teori Hymes (1972) yang membahas tentang komponen percakapan yang digunakan dalam interaksi sosial antarpenutur di masyarakat. Temuannya adalah bahwa dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat Surakarta ditentukan oleh faktor-faktor yang sangat menentukan yakni siapa peserta tuturnya, maksud tutur, sarana tutur, dan urutan tutur sesuai dengan nilai sosial budaya masyarakat setempat. Demikian pula penggunaan bahasa atau ragam bahasa oleh masyarakat Surakarta ditentukan oleh
komponen-komponen tutur yang lainnya, seperti situasi tutur, peristiwa tutur, pokok tutur, dan norma tutur sesuai dengan fungsi bahasa sebagai media komunikasi di masyarakat.
3. Siregar, Bahren Umar (1996)
Disertasi Siregar (1996) mengkaji “Pilihan bahasa (language choice) dalam masyarakat bilingual atau multilingual”. Di dalam kajiannya, yang termasuk ranah sosiolinguistik, pilihan bahasa merupakan tipikal perilaku berbahasa dari masyarakat yang bilingual atau multilingual. Bagi masyarakat yang menggunakan lebih dari satu bahasa, bahasa ibu (B1) dan bahasa lain di
luar bahasa ibu (B2) memungkinkan adanya variasi atau keragaman bahasa dari aspek
penggunaannya. Di dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa fenomena berbahasa dari masyarakat yang bilingual melahirkan kemungkinan adanya interferensi bahasa ‘linguistic
interference’ yang dianggap sebagai penyimpangan bahasa sebagai akibat adanya kontak bahasa
(meminjam istilah Weinreich,1958).
4. Sugiyono (1996)
Dalam tesisnya, Sugiyono (1996) meneliti tentang “Stratifikasi Sosial Interferensi Fonetis Bahasa Sunda-Indonesia”. Penelitiannya difokuskan pada bunyi-bunyi frikatif yang terdapat dalam bahasa Indonesia yang mengalami interferensi dari penutur Indonesia - Sunda. Responden yang digunakan adalah penutur bilingual Sunda-Indonesia dengan variabel sosial berdasarkan kelas, usia, dan pemakaian bahasa Sunda - Indonesia. Dalam penjaringan data interferensi digunakan dua cara yaitu pembacaan teks singkat dan daftar kata. Landasan teori yang digunakan dalam penelitiannya adalah teori Weinreich. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa tiga dari empat ciri sosial memiliki korelasi yang kuat terhadap interferensi. Tingkat interferensi terendah
terdapat pada penutur kelompok muda (generasi kedua) yang berpendidikan tinggi yaitu mereka yang frekuensi penggunaan bahasa Indonesia lebih sering daripada bahasa Sunda.
5. Budiarsa, Made (2006)
Dalam disertasinya, Budiarsa (2006) meneliti tentang “Penggunaan Bahasa Dalam Ranah Pariwisata Pada Beberapa Hotel di Bali” yang salah satu fenomena bahasa dalam kontak bahasanya adalah interferensi bahasa. Temuan penelitiannya terhadap interferensi bahasa Indonesia dalam penggunaan bahasa Inggris adalah dalam aspek fonologis mencakup pelafalan konsonan, konsonan kluster, dan penggunaan tekanan kata (stres); pada aspek morfologis mencakup pengulangan kata dasar dan penjamakan, dan pada aspek sintaksis yang mencakup pembentukan kalimat pasif, pembentukan kalimat kala kini, dan pembentukan kalimat kala lampau, sedangkan interferensi penggunaan bahasa Indonesia terdapat hanya pada aspek morfologi dan fonologi. Dalam aspek morfologi, penutur sering menambahkan prefiks atau sufiks bahasa Indonesia dengan menggunakan proses morfologis bahasa Indonesia sehingga membentuk kata-kata gabungan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, seperti
men-training, ter-entry.
6. Sinambela, Martolop (2008)
Sinambela (2008) meneliti tentang “Interferensi Bahasa Indonesia terhadap Bahasa Batak Toba pada Buku Khotbah Impola Ni Jamita”. Dalam penelitian tesisnya tersebut, Sinambela menggunakan teks khotbah tulis dalam bahasa BT yang digunakan oleh para pengkhotbah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) secara serentak di dalam dan di luar negeri. Kajian penelitiannya menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Dari tiga puluh teks khotbah yang dijadikan sebagai sumber data penelitian, diungkapkannya bahwa teks-teks Batak Toba
yang ditulis oleh para pendeta telah disusupi BI disebabkan sifat bilingualitas pemakai bahasa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat dua bentuk interferensi B2 (dalam hal ini
bahasa Indonesia) terhadap B1 (dalam hal ini bahasa Bahasa Toba) yaitu interferensi negatif dan
positif. Bentuk interferensi positif adalah apabila tidak terdapatnya representasi unsur serpihan bahasa Indonesia (BI) di dalam bahasa Batak Toba sehingga hal tersebut dianggap sebagai memperkaya khasanah BT, sedangkan bentuk negatif apabila representasi serpihan BI tersebut terdapat dalam BT.
2.3 Kajian tentang Sikap Bahasa
Beberapa penelitian tentang sikap bahasa dan yang sejenisnya telah dilakukan Sumarsono (1993), Abdullah Kamsiah (2000), Siahaan (2000), Ma’alip Saadiah (2008), dan Sigiro, Elisten (2009).
1. Sumarsono (1993)
Dalam disetasinya berjudul “Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali”, Sumarsono mengkaji tentang penggunaan bahasa Melayu Loloan di Bali. Dikatakan bahwa guyub tutur Melayu Loloan merupakan kelompok minoritas di Bali yang tetap memilih menggunakan bahasa Melayu Loloan daripada bahasa Bali sebagai alat komunikasi di antara mereka pada situasi tertentu. Akan tetapi sikap terhadap bahasa Indonesia terbilang positif terlihat dari telah mendominasinya bahasa Indonesia pada ranah pemerintahan, pendidikan, dan transaksi, dan sudah menjalankan peran sebagai alat komunikasi antar kelompok, yang menggeser peran yang semula dijalankan oleh bahasa Melayu Loloan atau bahasa Bali. Bahasa Indonesia juga sudah sedikit merembes ke ranah keluarga, agama, ketetanggaan, dan kekariban.
2. Abdullah, Kamsiah (2000)
Kamsiah dalam penelitian yang dikembangkan dari penelitian tesisnya meneliti tentang “Sikap, Penguasaan dan Penggunaan Bahasa Melayu di Singapura”. Latar belakang penelitiannya adalah disebabkan situasi bahasa di Singapura yang semakin kompleks akibat terdapatnya penggunaan empat bahasa resmi yaitu Mandarin, Melayu, Tamil, sedangkan bahasa Inggris yang digunakan sebagai bahasa asing untuk mengadakan hubungan sejak zaman penjajahan sejak dua dekade terakhir muncul sebagai bahasa resmi terpenting dalam segala segi kehidupan. Terkait dengan sikap responden terhadap bahasa Melayu dan Inggris, diperoleh data yang menunjukkan bahwa responden bersikap lebih positif terhadap bahasa Inggris daripada terhadap bahasa Melayu. Alasan yang diberikan responden adalah disebabkan oleh kepentingan bahasa itu dalam komunikasi dalam bidang perdagangan, pendidikan, dan dalam mempelajari teknologi dan sains.
3. Siahaan, Rumondang (2000)
Siahaan, dalam tesisnya berjudul ”Kajian Kasus Tentang Tingkat Pemertahanan Bahasa Pada Masyarakat Batak Toba di Medan Berdasarkan Perilaku Pilih Bahasa”, memfokuskan pada tiga interaksi intrakelompok di rumah, arisan keluarga, dan arisan warga etnik Batak Toba berdasarkan analisis ranah Fishman (1972) dan Siregar (1988). Pengumpulan datanya dilakukan dengan teknik angket dengan tiga skala nilai: (1) selalu bahasa Indonesia, (2) campur bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba, (3) selalu bahasa Batak Toba, yang penggunaan bahasa dikelompokkan atas kelompok orangtua dan kelompok anak. Hasil penelitiannya
menggambarkan bahwa masyarakat kelompok orangtua mengacu kepada pola pemertahanan bahasa aktif, sedangkan pada kelompok anak mengacu kepada pola pemertahanan bahasa pasif.
4. Ma’alip, Saadiah (2008)
Penelitian disertasi ”Sikap Bahasa & Identity Bangsa : Suatu Kajian kes Masyarakat Narum di Serawak” oleh Maalip (2008). Penelitian ini dilakukan terhadap masyarakat minoritas Narum yang multilingual dengan bahasa daerah Narum dan bahasa Melayu di Serawak. Hasil penelitiannya berdasarkan kuesioner yang diukur dengan lima dimensi tentang sikap afektif, sikap setia bahasa, sikap terhadap identitas bahasa, pernyataan bersikap politik, dan sikap terhadap pemertahanan bahasa Narum memperlihatkan bahwa penutur bahasa Narum memiliki sikap yang sangat positif, akan tetapi para generasi mudanya banyak yang tidak menguasai bahasa Narum dan lebih menguasai bahasa Melayu Serawak.
5. Sigiro, Elisten (2009)
Penelitian tesis oleh Sigiro berjudul ”Fenomena dan Sikap Penutur Bahasa Simalungun” mengkaji tentang gejala bahasa yang terjadi pada masyarakat di kota Pematang Siantar yang sangat heterogen, khususnya dalam penggunaan bahasa. Keheterogenan masyarakat itu mengakibatkan terdapatnya kecenderungan masyarakat menggunakan lebih dari satu bahasa secara ”bebas” yang pada akhirnya mengubah perilaku bahasa masyarakat penutur, dalam hal ini adalah penutur bahasa Simalungun, dalam pilihan bahasanya (language choice) yang dikhawatirkan akan berlanjut pada pergeseran bahasa (language shift) sehingga pemertahanan bahasa (language maintenance) Simalungun. Hasil Penelitiannya memperlihatkan bahwa dalam penggunaan bahasa terdapat diglosia bocor pada beberapa ranah seperti ranah adat, keluarga,
agama, tetangga, pergaulan, transakasi, pekerjaan, dsb. Akan tetapi pada kedua ranah pendidikan dan pemerintahan memperlihatkan diglosia yang tidak bocor. Selain itu sehubungan dengan sikap bahasa responden digambarkan cenderung negatif terhadap penggunaan bahasa Simalungun bila ditinjau dari segi keindahan, keakraban dan keseharian, akan tetapi berdasarkan indikator kesetujuan dan ketidaksetujuannya, mereka cenderung positif.
2.4 Kajian tentang Bahasa Batak Toba
Sampai saat ini kajian tentang BT telah dilakukan sejak abad 18, baik oleh bangsa Belanda, Jerman maupun oleh orang Batak itu sendiri. Berikut adalah kajian singkat dari beberapa penelitian tentang tatabahasa BT.
1. Herman Van der Tuuk (1849)
Van der Tuuk (1824-1894) seorang peneliti dari Belanda, dikirim ke India Timur oleh Lembaga Alkitab Belanda pada tahun 1849 dan dari tahun 1851 – 1857 melakukan penelitian tentang bahasa Batak Toba dengan mengambil lokasi di Barus Sibolga. Dalam penelitiannya, Van der Tuuk membuat perbandingan bunyi-bunyi bahasa Batak Toba dengan bahasa Batak Mandailing dan bahasa Batak Dairi di samping tata bahasa Batak Toba itu sendiri. Deskripsinya tentang Batak Toba didasarkan pada dialek penutur di Barus Atas. Tatabahasa Batak Toba yang dikajinya benar-benar akurat pada masa itu dan sekarang ini telah mengalami perubahan. Ulasannya tentang morfologi benar-benar menyeluruh. Akan tetapi aspek sintaksis cenderung dikesampingkan dan tidak ditampilkan secara sistematis. Untuk memperoleh data bahasa Batak Toba, Van der Tuuk menggunakan bahasa tulisan dari naskah-naskah tulis dan dari hasil tulisan
penutur-penutur Batak yang dituliskan untuknya dan mereka sekaligus digunakannya sebagai informan.
2. Nababan, P.W.J (1966)
Disertasi Nababan (1966) merupakan usaha untuk mendeskripsikan bahasa Batak Toba secara menyeluruh. Penelitiannya terdiri dari laporan sangat singkat tentang fonologi, yang lebih penuh dengan perlakuan morfofonemik dan sintaksis, dan satu bagian yang terpusat pada morfologi. Di dalam penelitiannya tersebut, Nababan juga menganalisis tatabahasa teks sastra sebagai sampelnya. Tetapi disayangkan bahwa ulasannya tentang banyak fenomena yang mendasar tidak mencukupi dan penyusunan materinya kurang memikat.
3. Silitonga, Mangasa (1973)
Penelitian disertasi Silitonga berjudul Some Rules Ordering Constituents and their
Constraints in Batak. disajikan dengan rangkaian teori murni dan difokuskan pada tiga fenomena
sintaktik yaitu tentang topikalisasi, pembentukan kalimat tanya, dan klausa relatif. Silitonga menggunakan teori tatabahasa generatif-transformasi sebagai kerangka teorinya, tetapi disayangkan penelitiannya tidak menghasilkan konklusi yang kuat. Sementara itu perlu dicatat juga bahwa data-data dialek yang disajikannya kaya dengan kata-kata pinjaman BI.
4. Percival, W.K (1981)
Penelitian Percival (1981) tentang bahasa BT di Medan yang dituangkannya dalam bukunya berjudul A Grammar of The Urbanised of Medan yang juga merupakan revisi disertasinya tahun 1964 menyebutkan bahwa bahasa Batak Toba yang berkembang di kota
Medan setelah terjadinya migrasi yang pesat menyebabkan bahasa Batak Toba memiliki karekteristiknya sendiri. Dalam temuan penelitiannya pada aspek fonologi, antara lain disebutkan bahwa penggunaan semi vokal /w/ cenderung digantikan oleh vokal /u/, misalnya /ualu/ untuk kata /walu/ ’delapan’, /baoa/ dari kata /bawa/ ’laki-laki’. Selain itu, penutur BT Toba di Medan memiliki variasi dalam pelafalan fonem /ns/ yaitu dengan /ss/ atau /cc/. Dalam mengumpulkan data penelitian terhadap BT, Percival menggunakan tiga orang informan penutur BT yang sedang belajar di Yale University dan di University of Kansas.
5. Sibarani, Robert (1994)
Sibarani (1994) dalam disertasinya berjudul “Sintaksis Bahasa Batak Toba” mendekripsikan konjungsi bahasa Batak Toba (BT) dan pemakaiannya dengan tujuan memaparkan jumlah konjungsi BT dan menguraikan peran konjungsi sebagai upaya penghubung unsur-unsur linguistik dan konstruksi yang kompleks. Metode pengumpulan data yang diterapkan adalah metode wawancara, pengamatan, dan metode kepustakaan, sedangkan metode analisis data yang diterapkan adalah metode distribusional dan metode padan. Dalam disertasi ini diperlihatkan bahwa berdasarkan bentuk, konjungsi BT berjumlah 139 buah, berdasarkan fungsi, konjungsi BT berjumlah 146 buah, dan berdasarkan makna, konjungsi BT berjumlah 140 buah. Berdasarkan bentuk, konjungsi BT terdiri atas konjungsi monomorfemis, konjungsi polimorfemis, dan konjungsi korelatif. Berdasarkan fungsi, konjungsi BT terdiri atas konjungsi koordinatif, konjungsi subordinatif, dan konjungsi kohesif. Berdasarkan makna, konjungsi BT terdiri atas konjungsi aditif, konjungsi adversatif, konjungsi klausal, dan konjungsi temporal. Kaidah konjungsi perlu dipahami untuk mengetahui cara menghubungkan unsur-unsur linguistik
dalam membentuk konstruksi yang kompleks dalam pemakaian bahasa. Hal itu juga penting untuk memahami makna hubungan antarunsur-unsur linguistik dalam pemakaian bahasa.
2.5 Simpulan
Dari berbagai penelitian yang telah disebutkan di atas, tampaknya belum satupun kajian tentang interferensi dalam bahasa BT yang dihubungkan dengan sikap bahasa penutur BT berdasarkan variabel sosial seperti jenis kelamin, usia, pemakaian bahasa, dan lamanya tinggal. Padahal untuk mengetahui sikap seseorang terhadap bahasanya sebagai lambang identitas diri, salah satu caranya dapat diketahui melalui perilaku penutur saat bertutur. Sepengetahuan peneliti sampai saat ini, untuk berbagai kajian sosiolinguistik tentang bahasa daerah yang pernah dilakukan di Indonesia, kajian tentang bahasa BT tampaknya belum ada yang menyentuhnya terutama dengan interferensi dalam tuturan penutur BT di Medan. Oleh karena itu, penelitian disertasi ini diberi judul ”Bahasa Batak Toba di Medan: Kajian Interferensi dan Sikap Bahasa”.