• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODIFIKASI KOLEKTOR SURYA DENGAN TAMBAHAN PLAT SENG BERCAT HITAM UNTUK MENINGKATKAN SUHU AIR PEMBENIHAN IKAN. Oleh: F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODIFIKASI KOLEKTOR SURYA DENGAN TAMBAHAN PLAT SENG BERCAT HITAM UNTUK MENINGKATKAN SUHU AIR PEMBENIHAN IKAN. Oleh: F"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

MODIFIKASI KOLEKTOR SURYA DENGAN TAMBAHAN

PLAT SENG BERCAT HITAM UNTUK MENINGKATKAN

SUHU AIR PEMBENIHAN IKAN

Oleh:

AGUSTI IRRI SUSANTI

F14051894

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(2)

Judul Skripsi :

Modifikasi Kolektor Surya Dengan Tambahan Plat

Seng Bercat Hitam Untuk Meningkatkan Suhu Air

Pembenihan Ikan

Nama : Agusti Irri Susanti NIM : F14051894

Menyetujui, Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M. Agr.)

NIP. 19600628 198503 1 002

Mengetahui: Ketua Departemen

(Dr. Ir. Desrial, M.Eng)

(3)

Agusti Irri Susanti. F14051894. Modifikasi Kolektor Surya Dengan Tambahan Plat Seng Bercat Hitam Untuk Meningkatkan Suhu Air Pembenihan Ikan. Dibimbing oleh : Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr. 2009.

RINGKASAN

Kualitas air merupakan salah satu parameter keberhasilan dari penggunaan sistem resirkulasi selain tingkat pertumbuhan dan mortalitas ikan yang dibudidayakan. Salah satu parameter kualitas air yang perlu diperhatikan dalam akuakultur yaitu suhu. Suhu air yang optimum akan mendorong enzim-enzim pencernaan dan metabolisme untuk bekerja efektif.

Terjadinya perubahan suhu air yang mendadak akan berdampak kurang baik terhadap ikan, seperti ikan mengalami stress yang dicirikan dengan berenang melonjak-lonjak, mengapung, dan bernapas di permukaan air. Jika kondisi ini berlangsung lama akan berdampak buruk bagi pertumbuhan ikan bahkan kematian. Menurut Rudiyanto (2002), ikan akan mengalami pertumbuhan yang kecil atau tidak ada pertumbuhan di bawah suhu tertentu (20° C), selanjutnya laju pertumbuhan akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu sampai mencapai titik maksimum pada suhu sekitar 30° C dan kemudian menurun kembali atau mungkin menjadi negatif pada suhu letal (suhu diatas 30° C).

Pemanfaatan energi surya untuk meningkatkan suhu udara yang mengalir dalam kolektor surya yang kemudian menjadi sumber panas untuk menghangatkan suhu udara dalam ruang tertutup dan air budidaya ikan pernah dilakukan sebelumnya. Pemanfaatan kolektor surya plat datar pada penelitian sebelumnya yaitu dengan penambahan plat-plat seng yang dicat hitam sebagai absorber untuk memanaskan udara diharapkan mampu menjaga suhu air budidaya lebih baik dari sebelumnya.

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas kolektor surya dengan penambahan plat-plat seng yang dicat hitam untuk menghangatkan udara dalam ruang tertutup yang kemudian digunakan untuk meningkatkan suhu air pembenihan ikan pada sistem resirkulasi akuakultur. Tujuan selanjutnya adalah membandingkan efektivitas kolektor surya dengan plat-plat seng yang dicat hitam dengan kolektor surya pada penelitian sebelumnya.

Ada tiga perlakuan dalam penelitian ini. Perlakuan satu (P1) yaitu kipas tidak dinyalakan sehingga tidak ada sirkulasi udara. Data diambil selama 2 hari dengan interval pengambilan data adalah 15 menit. Perlakuan dua (P2) yaitu kipas dinyalakan 24 jam/hari. Perlakuan dua terdiri dari dua percobaan. Percobaan pertama (P2I) adalah dengan air pembenihan dibiarkan dalam keadaan statis sedangkan percobaan kedua (P2II) dengan air pembenihan yang disirkulasikan. Data perlakuan dua diambil selama 3 hari dengan interval pengambilan data adalah 15 menit. Perlakuan tiga (P3) yaitu dengan pengendalian on-off terhadap

(4)

kipas dari kolektor surya ke ruang pembenihan. Perlakuan tiga juga terdiri dari dua percobaan. Percobaan pertama (P3I) dengan air pembenihan dalam keadaan statis dan percobaan kedua (P3II) dengan air yang disirkulasikan. Data perlakuan tiga tersebut diambil selama 3 hari dengan interval pengambilan data adalah 15 menit.

Perlakuan satu (P1) bertujuan untuk mengetahui suhu dan RH ruang tertutup dan kedua kolektor surya tanpa adanya sirkulasi udara. Suhu udara ruang rata-rata P1 adalah 28.9 °C dengan kelembaban relatif (RH) 67%. Variasi suhu ruang rata-rata adalah 2.7. Suhu lingkungan rata-rata P1 adalah 27.7 °C dengan standar deviasi yang lebih tinggi yaitu 7.9. Suhu rata-rata yang lebih tinggi dan standar deviasi yang lebih tinggi daripada suhu lingkungan menunjukkan bahwa ruang tertutup mampu menyimpan panas sehingga sangat baik untuk meningkatkan suhu air budidaya ikan.

Pada P2I, rata-rata suhu ruang tertutup yang terukur yaitu sebesar 28.3 °C dengan standar deviasi sebesar 2. RH ruang tertutup adalah 81.5%. Suhu air rata-rata pada P2I ini adalah 27.6 °C dengan standar deviasi sebesar 0.6. Sedangkan pada P2II, suhu rata-rata air tersirkulasi adalah 28.8 °C dengan standar deviasi 0.8 dan rata-rata suhu ruang tertutup adalah 29.3 °C dengan RH sebesar 85.1%. Standar deviasi ruang tertutup rata-rata adalah 2.2. Standar deviasi ruang tertutup yang lebih tinggi daripada air pembenihan menunjukkan bahwa suhu ruang lebih fluktuatif daripada suhu air. Hal ini terjadi karena air memiliki massa jenis lebih tinggi daripada udara sehingga air lebih lama bisa menyimpan panas dibandingkan udara.

Pada P3I, rata-rata suhu ruang tertutup yang terukur yaitu sebesar 28.0 °C dengan standar deviasi sebesar 2. RH ruang tertutup adalah 91.5%. Suhu air rata-rata pada P2I ini adalah 27.4 °C dengan standar deviasi sebesar 0.5. Sedangkan pada P3II, suhu rata-rata air tersirkulasi adalah 29.0 °C dengan standar deviasi 0.7 dan rata-rata suhu ruang tertutup adalah 29.7 °C dengan RH sebesar 88.9%. Standar deviasi ruang tertutup rata-rata adalah 1.8. P3II pada penelitian ini sama dengan perlakuan 1 pada penelitian yang dilakukan sebelumnya (Didik Hananto, 2006). Pada penelitian sebelumnya suhu ruang tertutup rata-rata adalah 28.5 °C dengan standar deviasi 1.6 dan suhu air rata-rata yaitu 29.0 °C dengan standar deviasi 0.6.

Suhu air rata-rata P2I lebih tinggi dari P2II. Sedangkan jika dibandingkan dengan P3I, suhu air rata-rata P3I lebih rendah dari P2I maupun P2II. Hal ini dikarenakan oleh faktor cuaca yang buruk pada P3I. P3II memiliki suhu air rata-rata yang paling tinggi dibandingkan P2I, P2II, dan P3I. Suhu air P3II sama dengan suhu air penelitian sebelumnya. Hal ini terjadi karena jumlah air yang harus dihangatkan pada penelitian kali ini lebih besar daripada jumlah air pada penelitian sebelumnya. Jumlah air pada P3II adalah sebanyak 980.85 liter sedangkan pada penelitian sebelumnya jumlah air yang harus dihangatkan hanya sebanyak 200 liter. Hal ini menunjukkan bahwa kolektor surya dengan tambahan plat seng yang dicat hitam sebagai absorber lebih efektif untuk meningkatkan

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Agusti Irri Susanti dan dilahirkan di Manggar pada tanggal 25 Agustus 1988, merupakan anak pertama dari 2 bersaudara, dari pasangan Suharto dan Erni Yulmanita. Pada tahun 1993-1999, penulis sekolah di SDN 02 Manggar. Pada tahun 1999-2002, penulis sekolah di SLTP 02 Manggar. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan sekolah di SMAN 01 Manggar dan lulus tahun 2005.

Pada tahun 2005, penulis melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis melakukan praktek lapang pada tahun 2008 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT), Sukabumi, Jawa Barat dengan judul ”Pemanfaatan Teknologi Akuakultur Di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi”. Pada tahun 2009, penulis melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsinya dengan judul ”Modifikasi Kolektor Surya Dengan Tambahan Plat Seng Bercat Hitam Untuk Meningkatkan Suhu Air Pembenihan Ikan”.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rakhmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Modifikasi Kolektor Surya Dengan Tambahan Plat Seng Bercat Hitam Untuk Meningkatkan Suhu Air Pemenihan Ikan”. Penyusunan usulan penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk melakukan penilitian pada Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini tersusun atas kerjasama dan bimbingan orang-orang yang telah membantu penulis selama penyusunan. Kepada mereka penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya :

1. Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr selaku dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktunya untuk mendidik, memberikan arahan, dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

2. Dr. Satyanto Krido Saptomo, STP. MSi. Selaku dosen penguji skripsi ini yang banyak memberikan masukan dan meluangkan waktu untuk berdiskusi selama pembuatan skripsi.

3. Dr. Ir. I Made Dewa Subrata, M.Agr. Selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan masukan dalam penulisan skripsi.

4. Bapak, Ibu, dan adik, serta keluarga atas doa dan dukungannya.

5. Ahmad Rifqi, Arief Imansyah, serta segenap warga Wageningan yang telah membantu dan memberikan semangat dalam pembuatan skripsi.

6. Isron, Gazhali Fadhil C, Soleh Kurniawan RAC, Ifah Latifah, Sri Citra Y M, serta semua teman-teman TEP 42 atas bantuan, do’a, dan dukungannya. 7. Semua anggota Wisma Nerita yang telah memberikan bantuan dan semangat

(7)

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih bagi mereka yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, dan melanjutkan penelitian ini. Semoga hasil dari penelitian ini dapat dijadikan referensi oleh para pembaca dan dapat meningkatkan produktivitas perikanan Indonesia.

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 PENGARUH SUHU AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN ... 3

2.2 ENERGI SURYA... 4

2.3 KOLEKTOR SURYA ... 4

2.4 RUANG TERTUTUP ... 5

2.5 DESKRIPSI STATISTIKA ... 5

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 7

3.1 WAKTU DAN TEMPAT ... 7

3.2 BAHAN DAN ALAT ... 7

3.3 PROSEDUR PELAKSANAAN ... 10

3.4 TAHAPAN PENELITIAN ... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

4.1 KONVERSI RANGKAIAN PENGUKUR SUHU ... 18

(9)

4.3.2 Perlakuan 2 (P2) ... 25

4.3.3 Perlakuan 3 (P3) ... 33

4.4 KINERJA KONTROL ON-OFF ... 42

4.5 ESTIMASI KEBUTUHAN HEATER ... 44

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

6.1 KESIMPULAN ... 46

6.2 SARAN ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tampak depan kolektor surya ... 7

Gambar 2. Tampak atas kolektor surya ... 8

Gambar 3. Gambar piktorial kolektor surya ... 8

Gambar 4. Bagan sistem sirkulasi air. ... 10

Gambar 5. Penempatan kolektor surya pada atap bangunan ... 11

Gambar 6. Rangakain pengukur tegangan ... 13

Gambar 7. Grafik perbandingan suhu terhadap tegangan (voltage) sensor 1. ... 18

Gambar 8. Grafik perbandingan suhu terhadap tegangan sensor 2. ... 18

Gambar 9. Grafik validasi data sensor NTC 1. ... 19

Gambar 10. Grafik validasi data sensor NTC 2. ... 20

Gambar 11. Grafik suhu kolektor 1 dan 2, suhu lingkungan, serta suhu dan kelembaban relatif (RH) udara ruang tertutup pada P1. ... 21

Gambar 12. Posisi kolektor surya pada atap ruang tertutup. ... 23

Gambar 13. Grafik suhu lingkungan, suhu udara kolektor surya, suhu dan kelembaban relatif (RH) ruang tertutup, serta suhu air pada P2I. .... 26

Gambar 14. Grafik suhu lingkungan, suhu kolektor surya, suhu dan kelembababan relatif udara ruang tertutup, serta suhu air pada P2II. .. ... 30

Gambar 15. Grafik suhu lingkungan, suhu kolektor surya, suhu dan kelembaban ruang tertutup, serta suhu air pada P3I. ... 33

Gambar 16. Grafik suhu lingkungan, suhu kolektor surya, suhu dan kelembaban relatif udara ruang tertutup, serta suhu air pada P3II. ... 37

Gambar 17. Grafik kinerja kontrol on-off pada P3I ... 42

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Analisis statistik suhu udara kolektor satu pada P1. ... 21

Tabel 2. Analisis statistik suhu udara kolektor dua pada P1. ... 22

Tabel 3. Analisis statistik suhu lingkungan pada P1. ... 22

Tabel 4. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P1. ... 22

Tabel 5. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P1. ... 23

Tabel 6. Analisis statistik suhu lingkungan pada P2I... 26

Tabel 7. Analisis statistik suhu udara kolektor surya pada P2I. ... 27

Tabel 8. Analisis statistik suhu air pada P2I. ... 27

Tabel 9. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P2I. ... 27

Tabel 10. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P2I. ... 27

Tabel 11. Analisis statistik suhu lingkungan pada P2II. ... 30

Tabel 12. Analisis statistik suhu udara kolektor surya pada P2II. ... 31

Tabel 13. Analisis statistik suhu air pada P2II... 31

Tabel 14. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P2II. ... 31

Tabel 15. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P2II. ... 31

Tabel 16. Analisis statistik suhu lingkungan pada P3I... 34

Tabel 17. Analisis statistik suhu udara kolektor surya pada P3I. ... 34

Tabel 18. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P3I. ... 34

Tabel 19. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P3I. ... 34

Tabel 20. Analisis statistik suhu air pada P3I. ... 35

Tabel 21. Analisis statistik suhu lingkungan pada P3II. ... 37

Tabel 22. Analisis statistik suhu udara kolektor surya pada P3II. ... 38

Tabel 23. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P3II. ... 38

Tabel 24. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P3II. ... 38

Tabel 25. Analisis statistik suhu air pada P3II... 38

Tabel 26. Perbandingan suhu lingkungan dengan penelitian Didik Hananto (2006). ... 40

Tabel 27. Perbandingan suhu udara ruang dengan penelitian Didik Hananto (2006). ... 41

(12)

Tabel 29. Analisis kontrol on-off pada P3I ... 43 Tabel 30. Analisis kontrol on-off pada P3II. ... 44

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar jenis ikan dan suhu pertumbuhannya ... 51 Lampiran 2. Perhitungan kebutuhan heater ... 56 Lampiran 3. Hasil validasi rangkaian pengukur suhu ... 57

(14)

I.

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sektor akuakultur yang terus berkembang dan menjadi lahan berharga bagi pertumbuhan ekspor membuat produksi akuakultur semakin digalakkan pada dekade ini. Dalam laporan The State of World Aquaculture 2006, FAO menyatakan bahwa 45,5 juta ton (43 %) ikan yang dikonsumsi berasal dari budidaya. Angka tersebut telah menunjukkan lompatan yang luar biasa dibandingkan dengan kondisi tahun 1980 yang hanya 9%. Produksi dunia ikan hasil budidaya serta ikan hasil tangkapan di laut serta perairan umum adalah sekitar 95 juta ton per tahun, dimana 60 % nya dikonsumsi manusia. Fisheries Committee dari FAO (Food and Agriculture Organization) dalam laporan untuk Oktober 2008, menyebutkan bahwa “Permintaan produk akuakultur terus bertumbuh”. Sementara pada dekade 1970an, konsumsi akuakultur hanya 6% dari keseluruhan konsumsi ikan global. Namun saat ini konsumsi produk akuakultur mencapai hampir setengah dari konsumsi ikan dunia. Peningkatan ini diharapkan mencapai 50% sebelum 2010.

Teknologi akuakultur yang digunakan dalam proses pembudidayaan ikan adalah sistem resirkulasi akuakultur. Kualitas air merupakan salah satu parameter keberhasilan dari penggunaan sistem resirkulasi selain tingkat pertumbuhan dan mortalitas ikan yang dibudidayakan. Salah satu parameter kualitas air yang perlu diperhatikan dalam akuakultur yaitu suhu.

Terjadinya perubahan suhu air yang mendadak akan berdampak kurang baik terhadap ikan, seperti ikan mengalami stress dengan berenang melonjak-lonjak, mengapung dan bernapas dipermukaan air. Jika berlangsung lama kondisi ini akan berdampak buruk bagi pertumbuhan ikan bahkan menyebabkan kematian. Kisaran suhu optimal agar ikan dapat tumbuh dengan baik adalah 25-30 °C.

(15)

budidaya ikan pernah dilakukan sebelumnya. Pemanfaatan kolektor surya plat datar penelitian sebelumnya dengan penambahan plat-plat seng yang dicat hitam sebagai absorber untuk memanaskan udara diharapkan mampu meningkatkan dan menjaga kestabilan suhu air pembenihan lebih baik dari sebelumnya.

1.2 TUJUAN

1. Menguji efektivitas kolektor surya dengan penambahan plat-plat seng yang dicat hitam untuk menghangatkan udara pada ruang tertutup yang kemudian meningkatkan suhu air pembenihan ikan.

2. Membandingkan efektivitas kolektor surya dengan plat-plat seng yang dicat hitam dengan kolektor surya pada penelitian sebelumnya.

(16)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENGARUH SUHU AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN

Suhu adalah salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap kesehatan dan kelangsungan hidup ikan. Menurut Rudiyanto (2002), hubungan antara suhu dengan pertumbuhan ikan yaitu adanya pertumbuhan yang kecil atau tidak ada pertumbuhan dibawah suhu tertentu (20° C), selanjutnya laju pertumbuhan akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu sampai mencapai titik maksimum pada suhu sekitar 30° C dan kemudian menurun kembali atau mungkin menjadi negatif pada suhu letal (suhu diatas 30°).

Terjadinya perubahan suhu suhu air yang mendadak akan berdampak kurang baik terhadap ikan. Dampak yang jelas apabila terjadi perubahan suhu dari dingin ke panas yaitu ikan akan mengalami stress dengan berenang melonjak-lonjak, mengapung, dan bernapas dipermukaan air. Hal ini akan mengakibatkan kematian bila berlangsung lama. Sejalan dengan penurunan suhu, nafsu makan ikan akan menurun. Jika penurunan suhu terlalu besar maka ikan akan menghentikan makan.

Ikan merupakan hewan poikilotherm yaitu suhu tubuh mengikuti atau sama dengan suhu lingkungan sehingga metabolisme dan kekebalan tubuh sangat tergantung dari suhu lingkungan. Peningkatan suhu sepanjang toleransi ikan akan meningkatkan metabolisme dan kebutuhan oksigen. Berdasarkan hukum Van’t Hoff, kenaikan suhu sebesar 10 °C akan menyebabkan kecepatan reaksi metabolisme meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan pada kondisi normal.

Suhu air yang optimum akan mendorong enzim-enzim pencernaan dan metabolisme untuk bekerja secara efektif. Enzim metabolisme berpengaruh terhadap proses katabolisme dan anabolisme dalam tubuh ikan. Peningkatan

(17)

pencernaan dan metabolisme yang efektif, akan menghasilkan energi yang optimal untuk pertumbuhan (Musida, 2002).

2.2 ENERGI SURYA

Energi yang dipancarkan oleh sel surya berasal dari proses penggabungan 4 ton massa hidrogen menjadi helium dan menghasilkan energi dengan laju 1020kWh/detik (Abdullah, 1998). Energi surya merupakan sumber berbagai sumber energi. Selain menjadi sumber energi bagi sumber energi lainnya, energi surya sangat berpotensi untuk dimanfaatkan secara langsung sebagai sumber energi alternatif. Energi panas matahari mencapai permukaan bumi dalam bentuk radiasi matahari. Potensi energi surya pada suatu wilayah sangat bergantung pada posisi antara matahari dengan kedudukan wilayah tersebut dipermukaan bumi. Potensi ini akan berubah tiap waktu, tergantung dari kondisi atmosfer, garis lintang, ketinggian tempat, serta musim. Indonesia yang berada dalam wilayah khatulistiwa mempunyai potensi energi surya yang cukup besar sepanjang tahunnya.

Radiasi matahari merupakan radiasi gelombang pendek dengan panjang gelombang 0.3-4 mikrometer. Jumlah panas yng diproduksi matahari yang jatuh diwilayah Indonesia mencapai 0.9×1018 kJ/tahun atau setara dengan 28.35×1018 MW energi listrik (Kamarudin, 1990). Agar dapat memanfaatkan energi radiasi matahari tersebut maka diperlukan suatu perangkat untuk mengumpulkan energi radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi dan mengubahnya menjadi bentuk energi lain yang berguna. Salah satu contoh perangkat tersebut adalah kolektor surya.

2.3 KOLEKTOR SURYA

Kolektor surya merupakan peralatan yang dibutuhkan untuk mengubah energi radiasi matahari ke bentuk energi panas untuk berbagai keperluan, misalnya sebagai pemanas udara. Ada beberapa jenis kolektor surya diantaranya yaitu kolektor surya plat datar, kolektor terkosentrasi, dan kolektor surya tabung hampa.

(18)

Kolektor surya plat datar pada dasarnya merupakan sebuah sistem heat exchanger yang berfungsi sebagai pengumpul panas radiasi matahari dan kemudian memindahkan panas tersebut pada fluida yang mengalir melalui kolektor tersebut. Komponen utama dari kolektor pelat datar adalah penutup transparan, absorber, dan isolator. Penutup transparan berfungsi untuk melewatkan radiasi gelombang pendek dari matahari yang masuk dan mencegah agar radiasi gelombang panjang tidak keluar. Untuk itu lapisan transparan harus terbuat harus terbuat dari bahan yang mempunyai daya tembus (transmisivity) yang tinggi dengan daya serap (absorptivity) dan daya pantul (reflectivity) yang rendah. Keping penyerap panas (absorber) berfungsi untuk menyerap dan mengubah radiasi matahari menjadi energi panas serta sebagai alat pemindah panas ke fluida yang mengalir. Keping penyerap dicat dengan warna hitam buram (tidak mengkilat). Bagian bawah dan samping pengumpul dilapisi dengan bahan yang mempunyai daya hantar panas (conductivity) yang rendah untuk memperkecil kehilangan panas (Kamaruddin Abdullah, 1994 dalam Triyono 1996).

2.4 RUANG TERTUTUP

Ruang tertutup adalah ruang yang didesain khusus sehingga ventilasi atau pertukaran udara ke luar sangat sedikit. Dengan adanya ruang tertutup maka suhu udara didalam ruang akan tetap stabil. Ruang tertutup dapat dibuat secara permanen dengan dinding dan lantai dasar dari tembok (Khairuman dan Sudenda dalam Hermanto, 2004).

2.5 DESKRIPSI STATISTIKA

Mattjik (2002) menyatakan bahwa statistika deskripsi adalah bidang statistika yang membicarakan tentang cara atau metode mengumpulkan, menyederhanakan, dan menyajikan data sehingga bisa memberikan informasi.

(19)

a. Nilai Tengah (Rataan)

Nilai tengah merupakan ukuran pemusatan data menjadi dua kelompok data yang memiliki massa yang sama. Dengan kata lain nilai tengah merupakan nilai keseimbangan massa dari segugusan data. Apabila x1, x2,….,xn adalah suatu anggota populasi terhingga berukuran

N, maka nilai tengah populasinya adalah

= ... (3)

b. Ragam (Variance)

Ukuran penyebaran data yang paling sering digunakan adalah ragam. Ragam merupakan ukuran penyebaran data yang mengukur rata-rata jarak kuadrat semua titik pengamatan terhadap titik pusat (rata-rataan). Apabila x1, x2,….,xn adalah suatu anggota populasi terhingga berukuran

N, maka nilai ragam populasinya adalah

= ( ) ... (4) Ragam suatu contoh dilambangkan dengan s2 merupakan statistik, ragam yang diambil contoh acak dari n sebuah populasi. Maka ragam dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

=( ) ( ) ... (5) c. Standar Deviasi (SD)

Standar deviasi digunakan untuk mengukur sebaran data suhu aktual terhadap suhu set point. Untuk menghitung ragam digunakan kuadrat simpangan, jadi diperoleh satuan yang sama. Agar dapat memperoleh ukuran keragaman yang memiliki satuan sama dengan satuan asalnya maka ragam tersebut diakarkan. Ukuran yang didapat disebut standar deviasi.

= ( ) ... (6)

Standar deviasi dari ragam contoh merupakan akar dari ragam tersebut.

= ( ) ( )

(20)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian ini dilaksanakan pada Agustus-November 2009 di Laboratorium Teknik Tanah dan Air (Wageningan), Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2 BAHAN DAN ALAT

Bahan dan alat yang digunakan pada kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Seperangkat kolektor surya hasil penelitian Didik Hananto (2006) yang diberi tambahan plat seng yang dicat hitam terdiri dari:

• Kolektor surya plat datar berupa bak fiber sebagai penghangat udara sebanyak 2 unit yang dipasang seri dengan dimensi 100 cm × 100 cm × 21 cm, serta inlet dan outlet berdiameter 10.2 cm.

Tutup kolektor surya terbuat dari bahan polycarbonate (Impralon) atau solar tuff flat berukuran 106×106 cm2.

• Plat absorber terbuat dari seng yang dicat hitam dan dipasang tegak lurus dasar kolektor dengan dimensi masing-masing plat 82 cm × 19.8 cm sebanyak 8 buah/kolektor surya.

• Kerangka kolektor surya yang terbuat dari besi siku 5 cm × 5 cm.

(21)

Gambar 2. Tampak atas kolektor surya

Gambar 3. Gambar piktorial kolektor surya

2. Sistem pengukur tegangan (Voltage) • Papan PCB

• Resistor 5K6 sebanyak 2 buah

Sensor Negative Temperature Coeficient (NTC) 10K sebanyak 2 buah

• Potensiometer 5K sebanyak 2 buah • Kabel listrik merah hitam 34 meter • Kapasitor 100 F sebanyak 2 buah Udara

masuk

Udara keluar

(22)

• IC 7805 sebanyak 1 buah • IC 741 sebanyak 2 buah • Baterai 9 volt sebanyak 1 buah 3. Sistem resirkulasi air

• Bak budidaya sebanyak 24 buah dengan volume 28393.8 cm3 (h=29.5cm, d=35cm).

• Bak filtrasi sebanyak 1 buah bervolume 260758.9 cm3(h=59cm, d=75cm) dengan filtasi berupa kerikil kecil

• Bak sedimentasi sebanyak 1 buah bervolume 260758.9 cm3 (h=59cm, d=75cm).

• Bak penampungan air sebanyak 1 buah dengan volume 260758.9 cm3 (h=59cm, d=75cm).

• Pompa air rendam dengan spesifikasi 220-240 volt, 90Watt dan debit 4500 L/H (1.25 L/s).

• Kerangka dudukan bak yang terbuat dari besi siku • Pipa PVC sebagai saluran air

4. Bangunan seluas 4m×6m×3m yang merupakan ruang tertutup sebagai bangsal pembenihan ikan.

5. Pipa pralon 4'' sebagai saluran udara.

6. Kipas 12 volt dengan kecepatan udara 1.123 m3/menit.

7. Alat ukur suhu yang digunakan adalah Logger Thermo Recorder TR72S dan TR71S.

8. Alat ukur tegangan, Voltage Recorder VR-71.

9. Software Auto CAD 2006, Software Voltage Recorder for Window Ver 3.11(E) untuk VR-71 serta Thermo Recorder for Window Ver 4.11(E) untuk TR-72S dan TR-71S.

(23)

3.3 PROSEDUR PELAKSANAAN

3.3.1 Perbaikan Ruangan Pembenihan Ikan

Perbaikan ruangan dilakukan agar ruangan dapat berfungsi maksimal sebagai ruang tertutup untuk pembenihan. Perbaikan yang dilakukan terdiri dari penggantian dek ruangan, seng untuk atap, dan dinding polikarbonat.

3.3.2 Prosedur Instalasi Sistem Resirkulasi Air

Sebelum diisi air, semua bak dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran akibat lama tidak terpakai dan dari sisa kotoran yang masih tertinggal dari penelitian sebelumnya. Selain itu juga dilakukan pengecekan kebocoran terhadap bak dan pipa saluran antar bak. Kemudian dilakukan pemasangan pompa air rendam pada bak sedimentasi serta pemasangan pipa saluran air dari pompa menuju bak penampungan.

Bagan sirkulasi air ditampilkan pada Gambar 4 dibawah ini:

Gambar 4. Bagan sistem sirkulasi air.

3.3.3 Prosedur Instalasi Sistem Penghangat Ruangan 1. Pemasangan kolektor surya

Sebelum pemasangan kolektor surya dengan tambahan plat seng, maka kolektor surya sebelumnya harus dilepaskan dulu dari kerangkanya yang terletak di atap. Sebelum pemasangan perlu diperhatikan letak inlet dan outlet kemudian disesuaikan dengan

Bak Budidaya

Ikan Bak Filtrasi

Bak Sedimentasi Bak

(24)

letak rumah kipas. Kolektor surya dipasang seri dan sesuai letak rangka dengan posisi kolektor surya di dalam rangka.

Alat tersebut akan diletakkan diatas atap seperti pada gambar berikut:

Gambar 5. Penempatan kolektor surya pada atap bangunan

2. Perbaikan instalasi pipa

Pipa yang digunakan sebagai saluran udara input dan output dari kolektor surya adalah pipa PVC 14 inch. Pipa ini menghubungkan dari rumah kipas menuju kolektor surya pertama, dari kolektor surya pertama menuju kolektor surya kedua, dan dari kolektor surya kedua ke ruang tertutup.

Perbaikan instalasi ini adalah untuk memastikan bahwa tidak ada kebocoran udara pada sistem (ruangan, saluran, dan kolektor surya). Perbaikan tersebut berupa pengeleman kembali sambungan pipa yang telah terlepas sebelumnya.

(25)

Pengambilan data ini dilakukan dengan mengkondisikan sensor satu dan dua serta alat ukur suhu Thermo Recorder type TR71S pada suhu yang sama. Caranya adalah dengan memasukkan kedua sensor dan alat ukur suhu ke dalam air bersuhu rendah kemudian air tersebut dipanaskan hingga mencapai suhu tertentu dan didinginkan kembali hingga ke suhu awal. Alat pengukur suhu dan rangkaian pengukur suhu akan mencatat perubahan suhu air tersebut.

2. Pemasangan rangkaian pengukur suhu

Rangkaian pengukur suhu ini berfungsi untuk mengukur suhu udara di dalam kolektor surya dengan output rangkaian berupa tegangan. Sensor yang digunakan untuk mendeteksi perubahan suhu tersebut adalah Negative Temperature Coeficien (NTC). NTC yang digunakan adalah NTC 10K sebanyak 2 buah. NTC bekerja dipengaruhi suhu, jika suhu naik maka hambatan menurun.

Besarnya tegangan keluaran yang berupa V1 dan V2 sangat dipengaruhi oleh besarnya hambatan pada masing-masing NTC yang dipengaruhi oleh suhu. Jika hambatan pada masing-masing NTC turun maka tegangan pada V1 dan V2 akan naik dan begitu sebaliknya.

Power supply yang digunakan pada rangkaian pengukur suhu tersebut adalah berupa baterai 9 Volt. Namun agar input tegangan pada rangkaian tetap stabil maka digunakan rangkaian penstabil tegangan dengan menggunakan IC 7805 dan 2 buah kapasitor 100 F sehingga beda tegangan pada rangkaian pengukur suhu adalah +5 Volt dan 0 Volt. Selain itu pada rangkaian tersebut juga ditambahkan potensiometer 5K sebanyak 2 buah yang masing-masing dipasangkan secara seri dengan resistor 5K6. Berikut adalah gambar rangkaian yang digunakan dalam penelitian ini:

(26)

Gambar 5. Rangkaian pengukur tegangan (Voltage)

Gambar 6. Rangkaian pengukur suhu

In +9V +5V 1 3 2 IC 7805 NTC 10K NTC 10K out out C 100 F C 100 F R2 5K6 R1 5K6 IC 741 IC 741 V1 V2 5k 5k Potensiometer 5k

(27)

Rangkaian pengukur suhu ini diletakkan diatas meja yang penempatannya aman jauh dari air dan lembab. Pada waktu pemasangan kabel dipastikan bahwa kabel sensor terpasang dengan baik. Kabel power suplay rangkaian dihubungkan dengan baterai 9 Volt.

Tegangan dari sensor NTC akan berubah sejalan dengan perubahan suhu. Sensor NTC dipasang di dalam kolektor surya, dimana sensor bisa membaca suhu yang merepresentasikan suhu kolektor surya secara keseluruhan. Suhu yang terbaca oleh rangkaian yang direpresentasikan dalam bentuk tegangan akan disimpan oleh alat ukur tegangan, Voltage Recorder VR71.

3. Pemasangan sensor • Perlakuan 1

Pada perlakuan 1, ada 2 sensor NTC yang akan dipasangkan yaitu sensor 1 dipasang pada outlet kolektor surya 1 dan sensor 2 dipasang pada outlet kolektor surya 2. Penempatan kedua sensor tersebut diharapkan mampu mewakili suhu kedua kolektor tersebut.

• Perlakuan 2

Untuk perlakuan 2 sensor NTC 1 digunakan untuk mengukur suhu lingkungan. Sensor ini diletakkan diantara kolektor surya sedemikian rupa dan terlindung dari sinar matahari langsung. Sensor NTC 2 digunakan untuk mengukur suhu udara udara kolektor surya dan penempatannya adalah pada outlet kolektor surya 2.

• Perlakuan 3

Pada perlakuan 3, sensor NTC 2 pada rangkaian pengukur suhu digunakan untuk kontrol on-off. Sensor tersebut digunakan untuk mengetahui suhu udara kolektor surya. Sedangkan sensor NTC 1 tetap digunakan pada rangkaian pengukur suhu sebagai pengukur suhu lingkungan.

(28)

3.3.5 Prosedur pemasangan kipas

Kipas dipasangkan pada rumah kipas yang berdimensi 12×12 cm2 yang terbuat dari kayu lapis karena kayu merupakan isolator panas yang baik. Rumah kipas digunakan untuk menjaga agar perputaran dan perpindahan panas dari kolektor surya ke udara ruang pembenihan optimal. Kipas yang digunakan memiliki spesifikasi 12 volt DC Nidec TA 450 DC dengan kecepatan udara 1.12 m3/menit.

Kipas yang digunakan adalah kipas DC 12 Volt, sehingga untuk perlakuan 1 dan 2 sebelum disambungkan dengan listrik harus dihubungkan dengan adaptor 12 Volt terlebih dahulu. Sedangkan pada perlakuan 3, kipas dihubungkan dengan kontrol on-off. Kipas dipasang dirumah kipas yang tersedia, kencangkan dengan skrup.

3.3.6 Kontrol on-off.

Kontrol on-off yang digunakan pada penelitian ini adalah kontrol on-off yang pernah digunakan pada penelitian Didik Hananto (2006). Kontrol on-off digunakan untuk mengatur kerja kipas. Kontrol on-off mengunakan 2 sensor NTC 10K yang digunakan untuk mengetahui suhu kolektor surya dan suhu udara ruang tertutup. Pada saat suhu udara kolektor surya lebih tinggi daripada suhu udara ruang tertutup maka kontrol akan berada pada posisi on sehingga kipas akan menyala. Sebaliknya kontrol akan berada pada posisi off ketika suhu udara kolektor surya sama atau lebih rendah dari suhu udara ruang tertutup sehingga kipas akan mati.

3.3.7 Prosedur pengambilan data

Pengambilan data suhu dan kelembapan relatif udara ruang tertutup dilakukan dengan Logger Thermo Recorder tipe TR-72S. Sedangkan data suhu air pembenihan diambil dengan Logger Thermo Recorder TR-71S. Data suhu udara kolektor surya dan lingkungan yang berasal dari rangkaian pengukur suhu akan disimpan oleh Logger

(29)

Window Ver 3.11(E) untuk VR-71 serta Thermo Recorder for Window Ver 4.11(E) untuk TR-72S dan TR-71S.

3.4 TAHAPAN PENELITIAN

1. Pembuatan plat seng berukuran 82 cm × 19.8 cm sebanyak 16 buah dan pemasangannya pada kolektor surya.

2. Pemasangan kolektor surya tersebut pada atap ruang tertutup. 3. Pembuatan dan instalasi rangkaian pengukur suhu.

4. Konversi data rangkaian pengukur suhu. 5. Pengujian kolektor surya.

Penelitian ini dilakukan untuk mengendalikan suhu udara ruang tertutup agar diperoleh suhu air yang optimum. Terdapat 3 perlakuan yang akan diujicobakan yaitu:

1. Perlakuan 1

Pada perlakuan kipas tidak dinyalakan sehingga tidak ada sirkulasi udara. Data yang diambil adalah suhu udara pada kedua kolektor surya, suhu dan kelembaban relatif udara ruang tertutup, serta suhu lingkungan. Data diambil selama 2 hari dengan interval pengambilan data adalah 15 menit.

2. Perlakuan 2

Pada perlakuan ini, kipas dinyalakan 24 jam/hari. Data yang di ambil adalah suhu udara pada kolektor surya, suhu air, suhu dan kelembaban relatif udara ruang tertutup, serta suhu lingkungan. Data diambil selama 3 hari dengan interval pengambilan data adalah 15 menit.

a. Percobaan I (P2I)

Bak pembenihan diisi air dan dibiarkan dalam keadaan statis atau tanpa adanya resirkulasi air.

b. Percobaan II (P2II)

(30)

3. Perlakuan 3

Pada percobaan ini dilakukan pengendalian on-off terhadap kipas. Parameter percobaan yang diukur adalah suhu udara kolektor surya, suhu lingkungan, suhu dan kelembaban relatif udara ruang tertutup, serta suhu air. Data tersebut diambil selama 3 hari dengan interval pengambilan data adalah 15 menit.

a. Percobaan I (P3I)

Bak pembenihan diisi air dan dibiarkan dalam keadaan statis. b. Percobaan II (P3II)

(31)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 KONVERSI RANGKAIAN PENGUKUR SUHU

Rangkaian pengukur suhu ini keluarannya adalah tegangan sehingga dibutuhkan pengambilan data konversi untuk mengetahui bentuk persamaan yang akan digunakan untuk mengkonversi tegangan menjadi suhu. Data suhu diambil dengan menggunakan Logger Thermo Recorder TR71S dan data tegangan diambil dengan Voltage Recorder VR-71. Data konversi diambil setiap 1 menit dengan suhu terendah adalah 18.8 °C dan suhu tertinggi 76.7 °C. Data konversi ditampilkan pada Gambar 6 dan 7 dibawah ini:

Gambar 7. Grafik perbandingan suhu terhadap tegangan (voltage) sensor 1.

Gambar 8. Grafik perbandingan suhu terhadap tegangan sensor 2.

y = 25.17x - 41.13 R² = 0.973 0 50 100 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 suhu (C) tegangan (volt)

Grafik tegangan (chanel 1)

terhadap suhu

y = 23.57x - 35.03 R² = 0.973 0 50 100 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 suhu (C) tegangan (volt)

Grafik tegangan (chanel 2)

terhadap suhu

(32)

Dari Gambar 7 diketahui bahwa untuk sensor 1, persamaan tredline yang digunakan adalah y = 25.17x 41.13 dengan koefisien determinasi (R2) 97.3%. Sedangkan dari Gambar 8, persamaan yang digunakan untuk sensor 2 adalah y = 23.57x – 35.03 dengan koefisien determinasi (R2) 97.3%. Dengan koefisien determinasi yang tinggi yaitu 97.3%, maka kedua persamaan tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi suhu melalui tegangan keluaran dengan tingkat akurasi yang cukup baik. Y dalam persamaan adalah suhu dengan satuan derajat celcius dan x adalah tegangan dalam satuan volt.

4.2 VALIDASI RANGKAIAN PENGUKUR SUHU

Validasi data ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kevalidan persamaan konversi yang telah dihasilkan. Pengambilan data ini dilakukan setiap 5 detik. Data validasi ditampilkan pada grafik berikut.

Gambar 9. Grafik validasi data sensor NTC 1.

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 0 10 20 30 40 50 60 01/09/2010 19:32'25 01/09/201019:46'25 01/09/201020:00'25 01/09/201020:14'25 01/09/201020:28'25 Teg angan (vo lt) Suh u ( °C)

Tanggal dan waktu

(33)

Gambar 10. Grafik validasi data sensor NTC 2.

Dari Gambar 9 dan 10 diketahui bahwa sensor NTC 1 maupun 2 pada rangkaian pengukur suhu akan mencapai nilai kostan pada waktu yang bersamaan dengan alat ukur suhu (Thermo Recorder TR-71S) sehingga dapat disimpulkan bahwa persamaan konversi yang didapat memiliki tingkat kevalidan yang baik.

4.3 HASIL PERLAKUAN 4.3.1 Perlakuan 1 (P1)

Perlakuan 1 (P1) dilakukan pada 20-22 Agustus 2009 dengan interval pengambilan data adalah 15 menit. Pada P1 ini ruangan tertutup tidak mendapat sirkulasi udara dari sistem penghangat kolektor surya. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui suhu dan kelembaban relatif (RH) udara ruang tertutup dan kedua kolektor surya tanpa adanya sirkulasi udara (tidak ada penggunaan kipas). Berikut grafik data pengukuran pada P1: 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 0 10 20 30 40 50 60 01/09/2010 19:32'25 01/09/201019:46'25 01/09/201020:00'25 01/09/201020:14'25 01/09/201020:28'25 Teganga n (vo lt) suhu C)

Tanggal dan waktu

(34)

Gambar 11. Grafik suhu kolektor 1 dan 2, suhu lingkungan, serta suhu dan kelembaban relatif (RH) udara ruang tertutup pada P1.

Hasil analisis statistik data pengkuran pada P1 disajikan pada tabel-tabel berikut:

Tabel 1. Analisis statistik suhu udara kolektor satu pada P1

No Kolektor surya 1 Hari 1 Hari 2 Selama 2 hari

1 Variasi 393.5 425.2 409.4 2 Standar Deviasi 19.8 20.6 20.2 3 Suhu rata-rata (°C) 37.3 36.8 37.1 4 Suhu maksimum (°C) 69.6 71.1 70.4 5 Suhu minimum (°C) 17.0 15.5 16.3 0 10 20 30 40 50 60 70 80 10.0 30.0 50.0 70.0 90.0 110.0 08/20/2009 13:00'00 08/21/2009 01:00'00 08/21/2009 13:00'00 08/22/2009 01:00'00 08/22/2009 13:00'00 Kelemb ab an (%) suh u ( °C)

Tanggal dan waktu

suhu kolektor surya 1 suhu kolektor surya 2 suhu lingkungan suhu ruang tertutup kelembaban ruang

(35)

Tabel 2. Analisis statistik suhu udara kolektor dua pada P1

No Kolektor surya 2 Hari 1 Hari 2 Selama 2 hari

1 Variasi 128.7 143.3 136

2 Standar Deviasi 11.3 12.0 11.7

3 Suhu rata-rata (°C) 31.8 31.2 31.5 4 Suhu maksimum (°C) 53.4 55.7 54.6 5 Suhu minimum (°C) 18.9 17.6 18.3

Tabel 3. Analisis statistik suhu lingkungan pada P1

No Suhu lingkungan Hari 1 Hari 2 Selama 2 hari

1 Variasi 58.5 66.6 62.6

2 Standar Deviasi 7.6 8.2 7.9

3 Suhu rata-rata (°C) 28.1 27.5 27.8 4 Suhu maksimum (°C) 41.0 41.8 41.4 5 Suhu minimum (°C) 18.3 17.0 17.7

Tabel 4. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P1

No Suhu ruang Hari 1 Hari 2 Selama 2 hari

1 Variasi 6.5 7.2 6.9

2 Standar Deviasi 2.6 2.7 2.7

3 Suhu rata-rata (°C) 29.0 28.8 28.9 4 Suhu maksimum (°C) 33.5 33.6 33.6 5 Suhu minimum (°C) 25.4 24.9 25.2

(36)

Tabel 5. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P1 No Kelembaban ruang Hari 1 Hari 2 Selama 2 hari

1 Variasi 75.5 65.2 75.4

2 Standar Deviasi 8.7 8.1 8.4

3 Kelembaban rata-rata (%) 68.1 65.8 67.0 4 Kelembaban maksimum (%) 79.0 77.0 78.0 5 Kelembaban minimum (%) 52.0 49.0 51.0

Secara umum faktor yang mempengaruhi tinggi randahnya suhu kolektor surya adalah radiasi surya dimana sangat berkaitan dengan letak kolektor surya, luas koletor surya, sifat optik kolektor, koefisien kehilangan panas, suhu plat absorber, dan suhu lingkungan, serta banyaknya radiasi surya itu sendiri. Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa suhu udara kolektor surya 1 lebih tinggi daripada suhu udara kolektor surya 2 pada siang hari dan lebih rendah daripada suhu udara kolektor 2 pada malam hari. Hal ini disebabkan oleh letak kedua kolektor surya. Dari Gambar 5 dan 12 diketahui bahwa kolektor surya 1 akan mendapatkan paparan radiasi matahari lebih baik daripada kolektor surya 2 pada pagi hingga siang hari, sedangkan pada waktu hari mulai sore radiasi surya akan mendapat penghalang ketika menyinari kolektor surya 2 karena adanya bangunan.

(37)

Selain radiasi surya, nilai koefisien kehilangan panas (UL) yang

berbeda juga mempengaruhi tinggi rendahnya suhu pada kedua kolektor surya tersebut. Nilai UL kedua kolektor surya yang berbeda sangat

mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sudut kemiringan kolektor surya dan kecepatan angin sehingga dapat diasumsikan nilai UL

kolektor surya 1 lebih tinggi daripada kolektor surya 2. Hal ini juga dibuktikan melalui analisis suhu lingkungan terhadap suhu kedua kolektor surya. Suhu lingkungan akan lebih rendah daripada kolektor surya 2 dan lebih tinggi daripada suhu kolektor surya 1 pada malam hari.

Tabel 1 menunjukkan bahwa suhu udara rata-rata kolektor surya 1 selama 2 hari adalah 37.1 °C dengan standar deviasi yang cukup tinggi yaitu 20.2 dimana suhu maksimum rata-rata yang terjadi yaitu 70.4 °C dan suhu rata-rata minimumnya 16.3 °C. Sedangkan suhu udara rata-rata kolektor 2 (Tabel 2) adalah 31.5 °C dengan standar deviasi 11.7 dimana suhu udara maksimum rata-rata kolektor surya 2 adalah 54.6 °C dan suhu udara rata-rata minimumnya 18.3 °C . Standar deviasi kolektor surya 1 yang lebih tinggi dari kolektor surya 2 menunjukkan bahwa suhu udara pada kolektor surya 1 lebih fluktuatif daripada kolektor surya 2.

Ruang tertutup pada penelitian kali ini diharapkan mampu meningkatkan suhu air pada perlakuan selanjutnya dengan tingkat fluktuasi suhu yang rendah dibandingkan dengan suhu lingkungan. Suhu udara ruang tertutup dipengaruhi oleh suhu eksternal seperti radiasi surya yang mengenai dinding dan atap, konveksi dan konduksi melalui dinding, pintu, jendela dan alas lantai akibat perbedaan suhu, panas karena infiltrasi udara akibat pembukaan pintu dan melalui celah-celah jendela. Sedangkan panas udara akibat adanya ventilasi ditiadakan karena sistem yang tertutup tanpa ventilasi. Dari Gambar 11 serta Tabel 3 dan 4 diketahui bahwa suhu lingkungan akan lebih tinggi daripada suhu udara ruang pada siang hari dengan perbedaannya mencapai rata-rata 7.8 °C. Sedangkan malam hari suhu lingkungan akan lebih rendah daripada suhu udara ruang tertutup. Perbedaan suhunya mencapai rata-rata 7.5 °C lebih rendah dari suhu udara ruang tertutup. Suhu udara rata-rata ruangan tertutup adalah 28.9 °C

(38)

dengan standar deviasi 2.7. Sedangkan untuk lingkungannya memiliki suhu rata-rata 27.7 °C dengan standar deviasi yang lebih tinggi yaitu 7.9. Suhu rata-rata yang lebih tinggi dan standar deviasi yang lebih tinggi daripada suhu lingkungan menunjukkan bahwa ruang tertutup mampu menyimpan panas sehingga sangat baik untuk meningkatkan suhu air budidaya ikan.

Kelembaban relatif (RH) menunjukkan perbandingan antara tekanan aktual uap air terhadap tekanan jenuh uap air. Tekanan jenuh uap air dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu maka tekanan jenuh uap air semakin tinggi sedangkan tekanan aktual uap air pada keadaan tetap sehingga menyebabkan RH semakin rendah dengan meningkatnya suhu dan sebailknya. Pola ini terlihat pada Gambar 11. RH dalam ruang tertutup (Tabel 5) mencapai rata-rata 67% dengan standar deviasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 8.4 dengan kelembaban maksimum sebesar 78% dan kelembaban minimumnya 51%.

4.3.2 Perlakuan 2 (P2) a. Percobaan I (P2I)

Percobaan I pada perlakuan 2 (P2I) ini dilakukan tanpa adanya kontrol on-off pada kipas dan kipas dinyalakan selama 24 jam per hari dan air tidak disirkulasikan. Percobaan dilakukan selama 3 hari berturut-turut (26-29 Agustus 2009) dengan interval data yaitu 15 menit. Data pengukuran suhu udara kolektor surya, suhu lingkungan, suhu dan RH udara ruang tertutup, serta suhu air ditampilkan pada Gambar 13 dibawah ini:

(39)

Gambar 13. Grafik suhu lingkungan, suhu udara kolektor surya, suhu dan kelembaban relatif (RH) ruang tertutup, serta suhu air pada P2I.

Analisis statistik data pengukuran pada percobaan I perlakuan 2 (P2I) diberikan pada tabel-tabel dibawah ini:

Tabel 6. Analisis statistik suhu lingkungan pada P2I

No Suhu lingkungan Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 76.6 79.5 81.2 79.1 2 Standar deviasi 8.7 8.9 9.0 8.9 3 Suhu rata-rata (°C) 30.0 26.9 29.7 28.9 4 Suhu maksimum (°C) 43.9 44.1 44.1 44.0 5 Suhu minimum (°C) 20.6 17.7 19.8 19.4 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0 08/26/2009 10:45'00 08/27/200904:45'00 08/27/200922:45'00 08/28/200916:45'00 08/29/200910:45'00 Ke lemb ab an (%) suhu C)

Tanggal dan waktu

suhu lingkungan suhu kolektor surya

suhu air suhu ruang tertutup

(40)

Tabel 7. Analisis statistik suhu udara kolektor surya pada P2I

No Suhu kolektor surya Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 250.9 236.6 268.5 252.0

2 Standar deviasi 15.8 15.4 16.4 15.9 3 Suhu rata-rata (°C) 36.1 31.4 35.8 34.4 4 Suhu maksimum (°C) 65.5 67.3 67.3 66.7 5 Suhu minimum (°C) 21.4 18.4 20.5 20.1

Tabel 8. Analisis statistik suhu air pada P2I.

No Suhu air Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 0.3 0.7 0.3 0.4

2 Standar deviasi 0.5 0.8 0.6 0.6

3 Suhu rata-rata (°C) 28.1 27.3 27.4 27.6 4 Suhu maksimum (°C) 28.9 28.4 28.2 28.5 5 Suhu minimum (°C) 27.3 26.0 26.4 26.6

Tabel 9. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P2I

No Suhu ruang tertutup Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 3.9 4.4 4.0 4.1

2 Standar deviasi 2.0 2.1 2.0 2.0

3 Suhu rata-rata (°C) 28.9 27.5 28.5 28.3 4 Suhu maksimum (°C) 32.3 32.2 32.0 32.2 5 Suhu minimum (°C) 26.2 24.6 25.6 25.5

Tabel 10. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P2I

No Kelembaban ruang tertutup Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 49.8 25.2 37.9 37.6

2 Standar deviasi 7.1 5.0 6.2 6.1

3 Kelembaban rata-rata (%) 81.9 83.2 79.4 81.5 4 Kelembaban maksimum (%) 91.0 89.0 88.0 89.3

(41)

Gambar 13 diatas memperlihatkan bahwa suhu udara kolektor surya selalu lebih tinggi pada siang maupun malam hari daripada suhu lingkungan. Namun perbedaan suhu antara suhu lingkungan dan suhu udara kolektor surya tidak bergerak secara linear selama 24 jam. Pada siang hari suhu udara kolektor surya akan memiliki perbedaan suhu yang cukup signifikan dengan suhu lingkungan dibanding pada malam hari. Hal ini terjadi karena pada siang hari terjadi efek rumah kaca dalam kolektor surya, dimana gelombang pendek radiasi surya masuk kedalam kolektor surya kemudian mengenai seng dan dinding dalam bak kolektor surya sehingga berubah menjadi gelombang panjang dan terjebak didalamnya. Namun hal ini membuat suhu kolektor surya sangat fluktuatif dibandingkan dengan suhu lingkungan. Hal ini dapat dibuktikan melalui analisis statistik pada Tabel 6 dan 7. Perbedaan antara suhu maksimum terhadap suhu minimum udara rata-rata pada kolektor surya mencapai 46.6 °C dengan standar deviasi rata-rata sebesar 15.9 (Tabel 7). Sedangkan pada suhu lingkungan perbedaan antara suhu maksimum dan suhu minimum rata-rata yang terjadi adalah 24.6 °C dengan standar deviasi rata-rata yang lebih rendah yaitu 8.9 (Tabel 6).

Pada malam hari, suhu udara kolektor surya tetap lebih tinggi daripada suhu lingkungan walaupun perbedaannya tidak signifikan. Aliran udara dari ruang tertutup yang suhunya relatif lebih stabil dan lebih tinggi dari suhu lingkungan membuat suhu kolektor surya yang terukur lebih tinggi dari suhu lingkungan. Perbedaan suhu minimum rata-rata pada lingkungan dan kolektor surya yang terjadi hanya sebesar 0.7 °C. Suhu udara kolektor surya rata-rata adalah sebesar 34.4 °C dan suhu lingkungan rata-rata adalah 28.9 °C.

Selain dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti disebutkan sebelumnya, panas dalam ruang tertutup pada P2I sangat dipengaruhi oleh suhu udara yang berasal dari kolektor surya dan suhu air. Rata-rata suhu udara ruang tertutup pada P2I yang terukur yaitu sebesar 28.3 °C dengan standar deviasi sebesar 2. Jika dibandingkan dengan suhu udara

(42)

ruang tertutup pada P1, dengan suhu lingkungan dan kolektor surya yang lebih rendah dari P2I tapi menghasilkan suhu udara ruang yang lebih tinggi daripada suhu udara ruang tertutup pada P2I. Hal ini mungkin disebabkan oleh suhu udara ruang tertutup pada P2I yang dipengaruhi oleh suhu air, dimana terjadi pindah panas konveksi dan konduksi dari udara ruang tertutup ke air dan sebaliknya. Suhu air rata-rata pada P2I ini adalah 27.6 °C dengan standar deviasi sebesar 0.6 (Tabel 8).

Jika dibandingkan dengan RH ruang pada P1, maka RH rata-rata pada P2I lebih tinggi yaitu sebesar 81.5% dengan RH maksimum rata-rata 89.3% dan RH minimum rata-rata-rata-rata 70.3%. Adanya air untuk budidaya ikan pada P2I adalah faktor yang menyebabkan meningkatnya RH ruang tertutup tersebut.

b. Percobaan II (P2II)

Perbedaan percobaan II dengan Percobaan I perlakuan 2 terletak pada perlakuan airnya dimana pada P2II air yang disirkulasikan. Pengambilan data P2II dilakukan selama 3 hari (3-6 September 2009) dengan interval pengambilan data adalah 15 menit. Hasil pengukuran berupa suhu lingkungan, suhu udara kolektor surya, suhu dan kelembaban relatif udara ruang tertutup, serta suhu air ditampilkan pada Gambar 14.

(43)

Gambar 14. Grafik suhu lingkungan, suhu kolektor surya, suhu dan kelembababan relatif udara ruang tertutup, serta suhu air pada P2II.

Analisis statistik data P2II dapat dilihat pada tabel-tabel dibawah ini: Tabel 11. Analisis statistik suhu lingkungan pada P2II

No Suhu lingkungan Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 86.6 82.3 72.8 80.6 2 Standar deviasi 9.3 9.1 8.5 9.0 3 Suhu rata-rata (°C) 29.7 29.8 30.0 29.8 4 Suhu maksimum (°C) 46.8 46.1 46.6 46.5 5 Suhu minimum (°C) 19.2 19.9 21.1 20.1 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 09/03/2009 15:15'00 09/04/200909:15'00 09/05/200903:15'00 09/05/200921:15'00 09/06/200915:15'00 ke le mbaban (%) suhu C)

Tanggal dan waktu

suhu lingkungan suhu kolektor surya suhu ruang tertutup

(44)

Tabel 12. Analisis statistik suhu udara kolektor surya pada P2II

No Suhu kolektor surya Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 293.4 249.2 256.6 266.4

2 Standar deviasi 17.1 15.8 16.0 16.3 3 Suhu rata-rata (°C) 36.4 35.8 36.8 36.3 4 Suhu maksimum (°C) 68.9 66.8 67.5 67.7 5 Suhu minimum (°C) 20.2 21.1 21.8 21.0

Tabel 13. Analisis statistik suhu air pada P2II

No Suhu air Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 0.7 0.7 0.6 0.7

2 Standar deviasi 0.8 0.8 0.8 0.8 3 Suhu rata-rata (°C) 28.7 28.8 28.8 28.8 4 Suhu maksimum (°C) 29.8 30.0 30.1 30.0 5 Suhu minimum (°C) 27.3 27.5 27.7 27.5

Tabel 14. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P2II

No Suhu ruang tertutup Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 5.2 4.7 4.8 4.9

2 Standar deviasi 2.3 2.2 2.2 2.2 3 Suhu rata-rata (°C) 29.2 29.3 29.4 29.3 4 Suhu maksimum (°C) 33.1 32.9 33.4 33.1 5 Suhu minimum (°C) 25.9 26.2 26.7 26.3

Tabel 15. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P2II

No Kelembaban ruang tertutup Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 89.8 77.9 82.3 83.3

2 Standar deviasi 9.5 8.8 9.1 9.1

3 Kelembaban rata-rata (%) 84.6 84.5 86.3 85.1 4 Kelembaban maksimum (%) 95.0 95.0 99.0 96.3

(45)

Seperti terlihat pada Gambar 13 maupun 14 terlihat bahwa suhu udara ruang selalu lebih fluktuatif daripada suhu air. Hal ini terjadi karena air memiliki massa jenis lebih tinggi daripada udara sehingga air lebih lama bisa menyimpan panas dibandingkan udara. Hal ini terbukti dengan adanya standar deviasi suhu ruang yang lebih tinggi sebesar 1.4 dari pada suhu air pada kondisi air statis (P2I) maupun pada air bersirkulasi (P2II). Menurut Heldman and Singh (1982) dalam Rudiyanto (2002), panas jenis udara pada suhu 27 °C sebesar 1.0067 kJ/kgK dan panas jenis air pada suhu 27 °C sebesar 4.183 kJ/kgK.

Dari analisis statistik air pada Tabel 13 diketahui bahwa suhu rata-rata air tersirkulasi selama 3 hari adalah 28.8 °C dengan standar deviasi 0.8 dan rata-rata suhu udara ruang tertutup (Tabel 14) adalah 29.3 °C dengan standar deviasi 2.2. Jika dibandingkan dengan analisis statistik suhu udara ruang tertutup rata-rata P2I pada Tabel 9, maka suhu udara ruang tertutup rata-rata P2II lebih tinggi 1 °C dengan standar deviasi juga lebih tinggi 0.2. Namun kenaikan suhu udara ruang pada P2II juga diikuti dengan kenaikan suhu air, dimana suhu air P2II lebih tinggi 1.2 °C dengan standar deviasi juga lebih tinggi 0.2 dibanding P2I. Selain suhu udara ruang, kenaikan suhu air pada P2II juga disebabkan oleh adanya perlakuan berupa sirkulasi pada air. Air yang bersirkulasi lebih mudah menyerap panas daripada air yang dikondisikan statis.

Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa RH rata-rata ruang mencapai 85.1% dengan RH maksimum rata-rata yang dicapai adalah 99.3% dan RH minimum rata-ratanya adalah 66.3%. Nilai tersebut lebih fluktuatif daripada RH pada P2I (Tabel 9). Hal ini wajar terjadi mengingat RH sangat dipengaruhi oleh suhu ruang tertutup. Suhu udara ruang tertutup pada P2II yang lebih fluktuatif memberikan efek RH yang lebih fluktuatif juga.

(46)

4.3.3 Perlakuan 3 (P3) a. Percobaan I (P3I)

Percobaan I pada perlakuan 3 (P3I) dilakukan dengan menggunakan kontrol on-off pada kipas dan air dalam keadaan statis. P3I dilakukan selama 3 hari pada 27-30 Oktober 2009 dengan interval data adalah 15 menit. Sebaran suhu lingkungan, suhu udara kolektor surya, suhu dan RH udara ruang tertutup, serta suhu air dapat dilihat pada Gambar 15 dibawah ini.

Gambar 15. Grafik suhu lingkungan, suhu kolektor surya, suhu dan kelembaban ruang tertutup, serta suhu air pada P3I.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0 10/27/2009 12:00'00 10/28/200906:00'00 10/29/200900:00'00 10/29/200918:00'00 10/30/200912:00'00 su hu C)

Tanggal dan waktu

suhu lingkungan suhu kolektor surya suhu ruang tertutup

(47)

Tabel 16. Analisis statistik suhu lingkungan pada P3I

No Suhu lingkungan Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 81.1 75.3 86 80.8

2 Standar deviasi 9 8.7 9.3 9.0

3 Suhu rata-rata (°C) 27.6 27.2 28 27.6 4 Suhu maksimum (°C) 44.1 48 47.6 46.6 5 Suhu minimum (°C) 19.7 20 18.4 19.4

Tabel 17. Analisis statistik suhu udara kolektor surya pada P3I

No Suhu kolektor surya Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 257.3 238.8 272.8 256.3

2 Standar deviasi 16 15.5 16.5 16.0 3 Suhu rata-rata (°C) 32.3 31.6 33.1 32.3 4 Suhu maksimum (°C) 61.7 68.6 68 66.1 5 Suhu minimum (°C) 10.8 18.9 16 15.2

Tabel 18. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P3I

No Suhu ruang tertutup Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 3.4 3.8 4.3 3.8

2 Standar deviasi 1.9 1.9 2.1 2.0 3 Suhu rata-rata (°C) 28.1 27.8 28 28.0 4 Suhu maksimum (°C) 31.5 32.5 32.4 32.1 5 Suhu minimum (°C) 25.7 25.7 25.4 25.6

Tabel 19. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P3I

No Kelembaban ruang tertutup Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 56.4 45.3 52.2 51.3

2 Standar deviasi 7.5 6.7 7.2 7.1

3 Kelembaban rata-rata (%) 92.5 91.8 90.2 91.5 4 Kelembaban maksimum (%) 99 99 97 98.3 5 Kelembaban minimum (%) 77 76 74 75.7

(48)

Tabel 20. Analisis statistik suhu air pada P3I

No Suhu air Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 0.4 0.3 0.3 0.3

2 Standar deviasi 0.6 0.5 0.5 0.5 3 Suhu rata-rata (°C) 27.7 27.4 27.2 27.4 4 Suhu maksimum (°C) 28.5 28.2 28 28.2 5 Suhu minimum (°C) 26.8 26.6 26.4 26.6

Analisis statistik suhu air pada Tabel 20 menunjukkan bahwa suhu air rata-rata pada P3I adalah 27.4 °C dengan standar deviasi 0.5. Suhu tersebut lebih rendah 0.2 °C dibandingkan suhu air pada P2I dengan standar deviasi yang juga lebih rendah 0.1. Sedangkan jika dibandingkan dengan P2II, suhu tersebut lebih rendah 1.4 °C dengan standar deviasi yang lebih rendah 0.3. Rendahnya suhu air pada P3I ini disebabkan oleh rendahnya suhu ruang. Suhu udara ruang tertutup rata-rata (Tabel 18) adalah 28 °C dengan standar deviasi 0.2. Suhu udara ruang tersebut juga lebih rendah daripada suhu udara ruang tertutup pada P2I maupun P2II. Lebih rendah 0.3 °C daripada P2I dan lebih rendah 1.3 °C dari P2II. Adapun RH rata-rata ruang tertutup (Tabel 19) yaitu 91.5% dengan standar deviasi 7.1.

Dari analisis suhu udara kolektor surya pada Tabel 17 diketahui bahwa suhu udara kolektor surya rata-rata adalah 32.3 °C dimana suhu maksimum dan minimum rata-rata yang terjadi berturut-turut adalah 66.1 °C dan 15.2°C sehingga menghasilkan standar deviasi yang sangat tinggi yaitu 16.0. Suhu lingkungan rata-rata pada P3I adalah 27.6 dengan standar deviasi sebesar 9.0. Jika dibandingan dengan P2I dan P2II, maka suhu udara kolektor surya dan suhu lingkungan pada P3I lebih rendah daripada P2I maupun P2II. Suhu udara kolektor surya pada P3I lebih rendah 1.1 °C daripada P2I sedangkan suhu lingkungan lebih rendah 1.3 °C. Namun tidak demikian halnya dengan fluktuasi suhu, analisis data kedua suhu tersebut memberikan nilai standar deviasi yang

(49)

off pada kipas sehingga pada malam hari suhu udara pada kolektor surya akan lebih rendah karena tidak adanya aliran udara dari ruang tertutup.

Jika dibandingkan dengan P2II, suhu udara kolektor surya P3I akan mengalami perbedaan yang lebih signifikan yaitu sebesar 4 °C lebih rendah dengan standar deviasi yang lebih rendah sebanyak 0.3. Hal ini sejalan dengan suhu lingkungannya dimana suhu lingkungan P3I lebih rendah 2.2 °C dengan standar deviasi yang sama dari P2II. Rendahnya suhu-suhu tersebut disebabkan oleh faktor cuaca. Sangat mungkin pada pengambilan data tersebut cuaca sedang mendung atau terjadi hujan.

Analisis ini memperlihatkan bahwa kontrol on-off pada kipas dengan air dalam keadaan statis lebih efektif untuk meningkatkan suhu ruang tertutup. Hal ini terbukti dengan adanya suhu udara kolektor surya dan suhu lingkungan yang lebih rendah 1.1 °C dan 1.3 °C daripada P2I namun mampu membuat suhu udara ruang tertutup dan suhu air lebih rendah hanya sebanyak 0.2 °C untuk suhu air dan 0.3 °C untuk suhu ruang dengan fluktuasi suhu yang lebih rendah dari P2I. Sama halnya dengan P2II, suhu udara kolektor surya dan suhu lingkungan pada P3I berturut-turut lebih rendah 4 °C dan 2.2 °C namun mampu menjaga suhu udara ruang dengan hanya memberikan perbedaan yang lebih rendah 1.4 °C untuk suhu air dan 1.3 °C untuk suhu udara ruang tertutup daripada P2II.

b. Percobaan II (P3II)

Percobaan ini dilakukan dengan memberikan kontrol on-off pada kipas serta air yang disirkulasikan. P3II dilakukan selama 3 hari dari tanggal 31 Oktober - 03 November 2009 dengan interval pengambilan data adalah setiap 15 menit. Suhu lingkungan, suhu kolektor surya, suhu dan kelembaban relatif ruang tertutup, serta suhu air ditampilkan pada Gambar 16 berikut.

(50)

Gambar 16. Grafik suhu lingkungan, suhu kolektor surya, suhu dan kelembaban relatif udara ruang tertutup, serta suhu air pada P3II.

Tabel 21. Analisis statistik suhu lingkungan pada P3II

No Suhu lingkungan Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 91.7 84.9 79.1 85.2 2 Standar deviasi 9.6 9.2 8.9 9.2 3 Suhu rata-rata (°C) 29.4 29.8 28.0 29.1 4 Suhu maksimum (°C) 46.2 48.0 45.8 46.7 5 Suhu minimum (°C) 19.9 21.0 18.9 19.9 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0 10/31/2009 09:00'00 11/01/2009 03:00'00 11/01/2009 21:00'00 11/02/2009 15:00'00 11/03/2009 09:00'00 kelem bab an (%) suhu C)

Tanggal dan waktu

suhu lingkungan suhu kolektor surya suhu ruang tertutup

(51)

Tabel 22. Analisis statistik suhu udara kolektor surya pada P3II

No Suhu kolektor surya Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 290.9 269.3 250.8 270.3

2 Standar deviasi 17.1 16.4 15.8 16.4 3 Suhu rata-rata (°C) 35.6 36.2 33.1 35.0 4 Suhu maksimum (°C) 65.5 68.6 64.8 66.3 5 Suhu minimum (°C) 18.7 20.7 16.9 18.8

Tabel 23. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P3II

No Suhu ruang tertutup Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 5.2 3.9 1.6 3.6

2 Standar deviasi 2.3 2.0 1.2 1.8 3 Suhu rata-rata (°C) 29.7 29.5 30.0 29.7 4 Suhu maksimum (°C) 33.7 33.2 32.5 33.1 5 Suhu minimum (°C) 26.7 27.1 28.3 27.4

Tabel 24. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P3II

No Kelembaban ruang tertutup Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 141.2 98.1 58 99.1

2 Standar deviasi 11.9 9.9 7.6 9.8

3 Kelembaban rata-rata (%) 85.5 89.6 91.5 88.9 4 Kelembaban maksimum (%) 97.0 99.0 99.0 98.3 5 Kelembaban minimum (%) 63.0 72.0 78.0 71.0

Tabel 25. Analisis statistik suhu air pada P3II

No Suhu air Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari

1 Variasi 0.5 0.4 0.5 0.5

2 Standar deviasi 0.7 0.6 0.7 0.7 3 Suhu rata-rata (°C) 29.1 29.1 28.8 29.0 4 Suhu maksimum (°C) 30.2 30.1 29.9 30.1 5 Suhu minimum (°C) 28.0 28.1 27.6 27.9

(52)

Dari analisis statistik data pada Tabel 18 dapat diketahui bahwa rata-rata suhu lingkungan pada saat pengambilan data untuk percobaan P3II adalah 29.1 °C dengan rata-rata standar deviasi adalah 9.2 dimana suhu tertinggi adalah 46.7 °C dan suhu terendah adalah 19.9 °C. Dengan adanya pengaruh suhu lingkungan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya suhu udara kolektor surya, maka dari hasil analisis data pengkuran (Tabel 22) didapatkan suhu udara kolektor surya rata-rata sebesar 35.0 °C dengan standar deviasi yang cukup tinggi yaitu 16.4 dimana suhu maksimum yang terjadi pada kolektor surya adalah 66.3 °C dan suhu minimumnya 18.8 °C. Suhu udara kolektor ini lebih tinggi dibanding suhu udara kolektor surya pada P2I dan P3I namun lebih rendah dibandingkan suhu udara kolektor surya pada P2II dengan standar deviasi yang lebih tinggi dibanding P2I, P2II, maupin P3I.

Pengendalian kipas dengan kontrol on-off menghasilkan suhu udara pada ruang tertutup rata-rata (Tabel 23) adalah 29.7 °C dengan rata-rata standar deviasi 1.8, sedangkan RH ruang tertutup rata-rata hasil pengukuran (Tabel 24) adalah sebesar 88.9% dengan standar deviasi 9.8. Suhu udara ruang tertutup merupakan faktor utama yang mempengaruhi suhu air. Dari hasil analisis data pengukuran (Tabel 25) diketahui bahwa rata-rata suhu air adalah 29.0 °C dengan standar deviasi 0.7 dimana suhu maksimum air yang terjadi yaitu 30.1 °C dan suhu minimumnya 27.9 °C.

Dari perlakuan 1, 2, maupun 3 diketahui bahwa suhu udara pada ruang tertutup maksimum selalu terjadi setelah suhu udara kolektor surya maksimum terjadi. Penyebabnya adalah suhu udara ruang terjadi berdasarkan akumulasi suhu udara dari kolektor surya, sedangkan suhu udara kolektor surya sangat ditentukan oleh tingkat iradiasi yang berubah-ubah dan bersifat sesaat.

(53)

suhu air yang lebih tinggi dibanding P2I, P2II, maupun P3I, walaupun dibandingkan dengan P2II suhu lingkungan dan suhu udara kolektor surya P3II lebih rendah. Suhu air rata-rata P3II adalah 29 °C. Suhu ini sebenarnya belum memenuhi suhu optimal maksimum untuk pembenihan ikan yang umumnya mencapai 30 °C, sehingga perlu dikombinasikan dengan pemanas heater. Namun jika ingin tetap menggunakan air dengan suhu 29 °C tersebut maka ada beberapa jenis ikan yang cocok untuk dibudidayakan yaitu ikan Blue Emperor Tetra (Inpachthys keri), Silver Dollar (Methynnis hypsauchen), dan Bala shark (Balantheocheilosilus melanopterus). Daftar jenis ikan dan pertumbuhan ikan dapat dilihat pada Lampiran 1.

P3II sama dengan perlakuan 1 pada penelitian yang dilakukan sebelumnya (Didik Hananto, 2006). Penelitian tersebut dilakukan pada Juni 2006.

Tabel 26. Perbandingan suhu lingkungan dengan penelitian Didik

Hananto (2006).

No Suhu lingkungan P3II Didik Hananto, 2006

1 Variasi 85.2 15.5

2 Standar deviasi 9.2 3.9

3 Suhu rata-rata (°C) 29.1 28.5

4 Suhu maksimum (°C) 46.7 36.7

5 Suhu minimum (°C) 19.9 23.0

Suhu lingkungan pada P3II lebih tinggi 0.6 °C daripada penelitian sebelumnya. Variasi suhu lingkungan pada P3I yang jauh lebih besar menunjukkan fluktuasi suhu lingkungan yang terjadi pun juga akan lebih besar dari penelitian sebelumnya dengan suhu maksimum yang lebih tinggi dan suhu minimum yang lebih rendah dari penelitian sebelumnya. Seharusnya suhu lingkungan pada P3II lebih rendah daripada suhu lingkungan pada penelitian Didik mengingat waktu pengambilan datanya yang terjadi pada Juni yang merupakan

(54)

salah satu bulan dimana terjadi musim panas di Indonesia sedangkan suhu lingkungan P3II diambil pada musim hujan. Namun hal ini sangat mungkin terjadi karena adanya perbedaan letak penempatan sensor pengukur suhu lingkungan.

Tabel 27. Perbandingan suhu udara ruang dengan penelitian Didik Hananto (2006)

No Suhu ruang tertutup P3II Didik Hananto, 2006

1 Variasi 3.6 2.7

2 Standar deviasi 1.8 1.6

3 Suhu rata-rata (°C) 29.7 28.5

4 Suhu maksimum (°C) 33.1 32

5 Suhu minimum (°C) 27.4 25.2

Jika faktor penggunaan jenis kipas diabaikan dan diasumsikan radiasi surya yang diterima oleh kolektor surya pada penelitian sebelumnya lebih banyak daripada penelitian kali ini. Maka suhu ruang tertutup pada P3II yang lebih tinggi dari penelitian sebelumnya membuktikan bahwa kolektor surya dengan penambahan plat seng sebagai absorber (konduktivitas termal = 116 W/mK) pada penelitian kali ini lebih efektif memanaskan udara daripada kolektor surya pada penelitian sebelumnya. Suhu ruang tertutup P3II lebih tinggi 1.2 °C daripada suhu ruang tertutup penelitian sebelumnya dengan standar deviasi yang lebih tinggi 0.2.

Tabel 28. Perbandingan suhu air dengan penelitian Didik Hananto (2006)

No Suhu air P3II Didik Hananto, 2006

1 Variasi 0.5 0.3

2 Standar deviasi 0.7 0.6

(55)

Suhu air pada P3II memiliki nilai yang sama dengan penelitian sebelumnya, walaupun suhu udara ruang tertutup P3II lebih tinggi daripada suhu udara ruang tertutup penelitian sebelumnya. Hal ini terjadi karena jumlah air yang harus dihangatkan pada penelitian kali ini lebih besar daripada jumlah air pada penelitian sebelumnya. Adapun jumlah air pada P3II adalah sebanyak 980.85 liter sedangkan pada penelitian sebelumnya jumlah air yang harus dihangatkan hanya sebanyak 200 liter.

4.4 KINERJA KONTROL ON-OFF

Kontrol off yang digunakan dalam penelitian ini adalah kontrol on-off yang pernah digunakan dalam penelitian Didik Hananto, 2006. Kontrol ini memakai 2 buah sensor NTC yang dipasang di ruang tertutup dan di outlet kolektor surya kedua. Kontrol on-off ini dijalankan selama 24 jam per hari. Jika suhu udara output kolektor surya lebih tinggi dari suhu udara ruang tertutup maka saklar akan on dan kipas akan menyala. Dan sebaliknya jika suhu udara kolektor surya sama atau lebih rendah dari suhu udara ruang tertutup maka saklar akan off dan kipas akan berhenti. Berikut adalah gambar kinerja kontrol on-off selama pengambilan data pada perlakuan 3 (P3).

Gambar 17. Grafik kinerja kontrol on-off pada P3I

1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2.2 2.4 2.6 2.8 3 0 10 20 30 40 50 60 70 80 10/27/2009 12:00'00 10/28/200906:00'00 10/29/200900:00'00 10/29/200918:00'00 10/30/200912:00'00 on -off suhu C)

Tanggal dan waktu

(56)

Tabel 29. Analisis kontrol on-off pada P3I

Hari

ke-Tanggal dan waktu

Kontrol on-off pada On Kontrol on-off pada Off Waktu Nilai (Volt) waktu Nilai (Volt) 1 10/27/2009, 12:00-10/28/2009,12:00 12:00-16.30 dan 07:30-12:00 2.74-2.855 16:45-07:15 1.276-1.3 2 10/28/2009, 12:00-10/29/2009,12:00 12:00-15:00 dan 07:15-12:00 2.745-2855 15:15-07:00 1.26-1.3 3 10/29/2009, 12:00-10/30/2009,12:00 12:00-17:00 dan 07:00-12:00 2.745-2.855 17:15-06.45 1,277-1.3

Gambar 18. Grafik kinerja kontrol on-off pada P3II.

1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2.2 2.4 2.6 2.8 3 0 10 20 30 40 50 60 70 80 10/31/2009 09:00'00 11/01/2009 03:00'00 11/01/2009 21:00'00 11/02/2009 15:00'00 11/03/2009 09:00'00 on -off suhu C)

Tanggal dan waktu

(57)

Tabel 30. Analisis kontrol on-off pada P3II

Hari

ke-Tanggal dan waktu

Kontrol on-off pada On Kontrol on-off pada Off Waktu Nilai (Volt) waktu Nilai (Volt) 1 10/31/2009, 09:00-11/1/2009,09:00 09:00-16.45 dan 07:30-09:00 2.74-2.845 17:00-07:15 1.28-1.306 2 11/1/2009, 09:00-11/2/2009,09:00 09:00-16:45 dan 07:15-09:00 2.745-2.855 17:00-07:00 1.277-1.3 3 11/02/2009, 09:00-11/03/2009,09:00 09:00-17:00 dan 07:45-09:00 2.745-2.805 17:15-07:30 1,277-1.31

Dari Tabel 26 dan 27 diketahui bahwa kontrol on-off akan menyala atau on pada pagi hingga sore hari dan mati atau off pada sore hari hingga malam hari. Pada Tabel 26, hari ke-2, kontrol on-off hanya menyala hingga 15:00, hal ini dikarenakan cuaca pada sekitar jam 15:00 mendung dan kemudian terjadi hujan. Pada saat kontrol on-off mati atau off maka kipas juga akan mati sehingga menyebabkan sirkulasi udara terhenti dan udara panas terperangkap didalam ruang tertutup. Hal ini menunjukkan bahwa pada malam hari tidak ada radiasi surya dan panas yag cukup untuk memanaskan kolektor surya. Tabel 26 menunjukkan bahwa pada nilai 2.74-2.855 Volt maka kontrol on-off akan menyala atau pada posisis on, sedangkan pada nilai 1.26-1.30 Volt kontrol on-off akan berhenti atau off. Sedangkan dari Tabel 27 pada nilai yang sama dengan Tabel 26 yaitu 2.74-2.855 Volt kontrol on-off akan menyala dan akan off pada nilai 1.277-1.31 Volt.

4.5 ESTIMASI KEBUTUHAN HEATER

Estimasi ini dilakukan untuk memperkecil perbedaan suhu minimum dan maksimum air pembenihan yang terjadi pada P3II sehingga fluktuasi suhu air yang terjadi juga semakin kecil dan pertumbuhan ikan optimal. Dengan adanya penggunaan heater diharapkan perbedaan suhu minimum dan maksimum air pembenihan P3II hanya sebesar 1 °C. Untuk meningkatkan

Gambar

Gambar 2. Tampak atas kolektor surya
Gambar 5. Penempatan kolektor surya pada atap bangunan
Gambar 5. Rangkaian pengukur tegangan (Voltage)
Gambar 7. Grafik perbandingan suhu terhadap tegangan (voltage) sensor 1.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Yang dimaksud dengan pihak lain yang melakukan tugas tertentu adalah pihak lain yang ditunjuk atau disetujui oleh Bank Indonesia untuk melaksanakan tugas-tugas sebagaimana

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

Dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang terkait tentang verifikasi faktual partai politik, dalam putusan ini membahas dari putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam hal ini penulis mengangkat press release yang dikeluarkan oleh Express Group (perusahaan yang menaungi Express Taksi) untuk memberikan pernyataan tentang

Perencanaan tambang mempertimbangkan kajian ekonomis penambangan dan analisa pengoperasian Kapal Keruk yang menerapkan 2 cara yaitu secara manual dimana perhitungan

Bagi Formulir Penjualan Kembali Unit Penyertaan MANDIRI INVESTA DANA OBLIGASI SERI II yang telah dipenuhi sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam

Hal ini menerangkan bahwa seorang konsumen yang mengharapkan keefesienan waktu dan kesederhanaan dalam proses pengambilan keputusannya (atau disebut seorang konsumen dengan

1) Mengisi formulir pemutakhiran yang telah disediakan oleh UPPKH Kabupaten/Kota dengan menyertakan bukti yang terkait dengan perubahan. 2) Melaporkannya ke UPPKH