• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTER HUKUM PERDATA DALAM FUNGSI PERBANKAN MELALUI HUBUNGAN ANTARA BANK DENGAN NASABAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTER HUKUM PERDATA DALAM FUNGSI PERBANKAN MELALUI HUBUNGAN ANTARA BANK DENGAN NASABAH"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTER HUKUM PERDATA DALAM FUNGSI

PERBANKAN MELALUI HUBUNGAN ANTARA

BANK DENGAN NASABAH

Pidato Pengukuhan

Jabatan Guru Besar Tetap

dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum,

diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara

Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 2 September 2006

Oleh:

TAN KAMELLO

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Yang terhormat,

Bapak Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Bapak Ketua dan Bapak/Ibu Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Sumatera Utara,

Bapak Ketua dan Bapak/Ibu Anggota Senat Akademik Universitas Sumatera Utara,

Bapak Ketua dan Anggota Dewan Guru Besar Universitas Sumatera Utara, Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara,

Bapak/Ibu para Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara,

Para Dekan, para Ketua Lembaga dan Unit Kerja, para Dosen dan Pegawai di lingkungan Universitas Sumatera Utara,

Bapak/Ibu para pejabat sipil dan militer, tokoh masyarakat, alim ulama, tokoh pemuda, dan para cendikiawan yang hadir di tempat ini,

Ibunda yang saya muliakan beserta keluarga, teman sejawat, mahasiswa, dan para undangan yang hadir di ruangan yang berbahagia ini.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sebelum saya menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar, marilah kita sama-sama mengucapkan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga pada pagi hari ini kita dapat berkumpul pada upacara pengukuhan ini. Selanjutnya selawat dan salam disampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW dan keluarga beserta para sahabatnya sekalian, semoga kita mendapat syafaat di akhirat nanti.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 58123/A2.7/KP/2005 tanggal 31 Oktober 2005, maka terhitung tanggal 1 November 2005 saya telah diangkat sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Kepada pemerintah Indonesia, khususnya Menteri Pendidikan Nasional, saya ucapkan terima kasih atas kepercayaan dan kehormatan yang dilimpahkan kepada saya, dengan pengangkatan saya dalam jabatan akademik tertinggi pada Universitas Sumatera Utara. Semoga Allah memberikan kekuatan lahir dan batin serta petunjuk kepada saya dalam melaksanakan tugas mulia untuk mencerdaskan dan mencerahkan ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum perdata khususnya pada anak bangsa ini.

(3)

Hadirin yang saya hormati,

Atas rida Allah, izinkan saya membacakan di hadapan Bapak/Ibu dan para hadirin sekalian pidato ilmiah yang berjudul:

KARAKTER HUKUM PERDATA DALAM FUNGSI PERBANKAN MELALUI HUBUNGAN ANTARA BANK DENGAN NASABAH

PENGANTAR

Salah satu pilar pembangunan ekonomi Indonesia terletak pada industri perbankan. Pengakuan secara yuridis formal mengenai eksistensi perbankan sudah berlangsung lebih kurang 39 tahun sejak dilahirkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan.1

Dalam undang-undang tersebut tidak dijumpai pernyataan yang tegas mengenai fungsi perbankan Indonesia. Sesuai dengan dinamika perekonomian nasional dan internasional diikuti perubahan budaya yang bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks dan meluas, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 perlu disusun kembali dengan mengadakan pembaharuan pada tataran idealistik hukum sehingga mampu menyahuti realistik hukum. Pembaharuan diawali dengan adanya indikasi perubahan di bidang perbankan sejak tahun 1983 yang diikuti dengan kebijakan baru di bidang moneter dan perbankan yang dikenal dengan tahap awal deregulasi. Kebijakan selanjutnya diikuti dengan Paket Juni (Pakjun) 1983, disusul dengan Paket Oktober (Pakto) 1988, Pakjun 1990, Paket Februari 1991, dan mencapai puncaknya pada tahun 1992 dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.2

Melalui undang-undang ini dinyatakan bahwa perbankan memiliki fungsi utama sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.3 Fungsi

1 Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 didasarkan kepada pemikiran dan jiwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XVIII/MPRS/1966 yang menginginkan perlunya penilaian kembali terhadap Tata Perbankan. Pengaturan Tata Perbankan dilandasi kepada hal-hal sebagai berikut: pertama, tata perbankan harus merupakan suatu kesatuan sistem yang menjamin adanya kesatuan pimpinan dalam mengatur seluruh perbankan di Indonesia serta mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan moneter pemerintah di bidang perbankan; kedua, memobilisasikan dan memper-kembangkan seluruh potensi yang bergerak di bidang perbankan berdasarkan asas-asas demokrasi ekonomi; ketiga, membimbing dan memanfaatkan segala potensi tersebut bagi kepentingan perbaikan ekonomi rakyat. Lihat konsiderans bagian Menimbang dan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967.

2 Tan Kamello, Himpunan Undang-Undang Perbankan, Medan, Fakultas Hukum USU, 2000, h. ii.

3 Lihat Konsiderans bagian Menimbang huruf b dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.

(4)

perbankan tersebut pada era reformasi tetap dikukuhkan dan tidak mengalami perubahan sebagaimana terlihat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.4 Dengan fungsi perbankan yang demikian maka kehadiran

bank di dalam masyarakat sebagai badan usaha memiliki arti yuridis dan peran yang sangat strategis dalam proses pembangunan nasional.

Dalam agenda pembangunan nasional tahun 2004 – 2009 secara politis dikatakan bahwa kondisi perbankan dan lembaga keuangan lainnya belum mantap. Lemahnya pengaturan dan pengawasan terhadap produk perbankan dan keuangan yang semakin bervariasi dan kompleks, serta dalam mengantisipasi globalisasi perdagangan jasa dan inovasi teknologi informasi, telah meningkatkan arus transaksi keuangan masuk dan keluar Indonesia.5 Pernyataan politik hukum6 ini pada tataran landasan teknis

operasional menghendaki adanya perubahan Undang-Undang Perbankan di masa yang akan datang. Beberapa hal yang harus disikapi adalah dengan meletakkan asas hukum (rechtsbeginsel, principle of law) perbankan yang sesuai dengan cita-cita masyarakat terkini dengan tetap mempertahankan eksistensi prinsip kepercayaan dan kehati-hatian (prudential banking) dalam menjalankan usaha bank. Selain itu, pengelolaan bank harus didasarkan kepada asas-asas tata pengelolaan perusahaan yang baik (good

corporate governance).

Pada saat ini pelaksanaan fungsi perbankan terlihat dari pengaturan usaha bank yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perbankan.7 Usaha bank yang

4 Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, maka terdapat pengelompokan: pertama, beberapa pasal yang mengalami perubahan yaitu Pasal 1, Pasal 6 huruf m, Pasal 7 huruf c, Pasal 8, Pasal 11 ayat (1) dan (3), Pasal 12, Pasal 13 huruf c, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 22, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), Pasal 29, Pasal 31, Pasal 33, Pasal 37, Pasal 40, Pasal 41 ayat (1), Pasal 42, Pasal 46 ayat (1), Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51ayat (1), Pasal 52 dan Pasal 55; kedua, beberapa pasal yang dicabut yaitu Pasal 6 huruf k, Pasal 17 dan Pasal 32; ketiga, beberapa pasal yang ditambah yaitu Pasal 12 A, Pasal 31 A, Pasal 37 A, Pasal 37 B, Pasal 41 A, Pasal 42 A, Pasal 44 A, Pasal 47 A, Pasal 50 A, dan Pasal 59 A.

5 Lihat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009, Bab 24 tentang Pemantapan Stabilitas Ekonomi Makro.

6 Politik hukum yang dimaksudkan adalah aktivitas memilih suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dengan keharusan untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Lihat Satjipto Rahardjo,

Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986, h. 334. Dalam kaitannya dengan politik hukum

perbankan adalah bagaimana arahan dari kehendak pelaku politik yang memiliki beraneka kepentingan hukum untuk mewujudkan tujuan negara, dan dalam hal yang kongkret politik hukum merupakan alat untuk merespons persoalan perbankan melalui pembuatan undang-undang dalam rangka mencapai tujuan negara. Bandingkan Sunaryati Hartono, Politik

Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991, h. 1.

7 Lihat Pasal 6 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang mengatur Usaha Bank Umum dan Usaha Bank Perkreditan Rakyat.

(5)

dimaksud tidak bersifat limitatif melainkan enumeratif,8 sehingga memungkinkan

hubungan antara bank dengan nasabahnya untuk melakukan perjanjian yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.9 Dalam arti yuridis, fungsi perbankan sebagai penghimpun dan

penyalur dana masyarakat merupakan esensi perjanjian yang meliputi 2 (dua) hal yaitu menghimpun dana dari masyarakat, disebut sebagai perjanjian simpanan, dan menyalurkan dana ke masyarakat, disebut sebagai perjanjian kredit bank.10 Kedua bentuk perjanjian tersebut akan dilihat dalam

perspektif hukum perdata yang mencakup hukum perjanjian pada satu sisi dan hukum benda pada sisi lainnya khususnya hukum jaminan.

Istilah Hubungan Hukum sebagai Perjanjian

Membicarakan perjanjian, tidak dapat dilepaskan dari KUH Perdata. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian dirumuskan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.11 Kata “perjanjian” adalah terjemahan dari overeenkomst,12

yang merupakan salah satu sumber dari perikatan (verbintenis).13 Substansi

dari perjanjian dalam pasal tersebut adalah perbuatan (handeling). Kata “perbuatan” telah dikritik oleh para ahli hukum14 dengan alasan kurang

8 Ketentuan ini tidak berlaku bagi Usaha Bank Perkreditan Rakyat, bahkan dinyatakan secara tegas dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 adanya larangan-larangan bagi bank tersebut.

9 Lihat Pasal 1337 KUH Perdata.

10 Perjanjian simpanan dan perjanjian kredit bank pada bank konvensional berbeda dengan perjanjian simpanan dan perjanjian pembiayaan pada bank syariah. Perbedaan ini terletak pada filsafat yang dianut dari kedua sistem bank yang bersangkutan. Bank syariah tidak menggunakan sistem bunga, sedangkan bank konvensional memakai sistem bunga dalam kegiatan usahanya. Di samping itu, terdapat perbedaan pada aspek operasional, sosial, dan organisasinya. Lihat Tim BPHN, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pengaturan

Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: 2003, h. 32 – 40. Sebenarnya istilah bank

konvensional kurang tepat jika hendak dipersandingkan atau diperlawankan dengan bank syariah. Lebih tepat dipakai frase “bank non-syariah”. Seolah-olah bank konvensional itu kuno, kolot, dan tidak membawa perubahan. Kenyataan yuridis dalam ius constitutum, figur-figur hukum yang lahir dari produk bank non-syariah lebih besar frekuensinya dibandingkan dengan bank syariah.

11Dalam bahasa Belanda pasal tersebut berbunyi “Eene overeenkomst is eene

handeling waarbij een of meer personen zich jegens een of meer andere verbinden”.

Bandingkan Section 1 of the American Law Institute’s Second of the Law of Contract, kontrak dirumuskan “a promise or set of promises for the breach of which the law gives a remedy, or

the performance of which the la ini some way recognizes as a duty”. Lihat J.Beatson, Anson’s Law of Contract, New York: Oxford University Press, 2002, h. 2.

12 Kata ini identik dengan “contract”. A contract is a legally enforceable agreement,

express or implied. An agreement is a meeting of the mind. Lihat Robert W.Emerson, Business Law, United States Barron’s Educational Series Inc., 2004, h. 75 – 76.

13 Pasal 1234 B.W berbunyi “Alle verbindtenissen ontstaan of uit overeenkomst, of uit

de wet”.

14 Lihat Sri Soedewi Masjchun Sofwan, 1980, h. 1; Mariam Darus Badrulzaman, 1983, h. 89; Abdulkadir Muhammad, 1982, h. 78.

(6)

memuaskan, tidak lengkap, dan sangat luas. Seharusnya perjanjian adalah perbuatan hukum (rechtshandeling). Perubahan rumusan ini dapat dilihat dari pandangan Franken dan Rutten.15

Franken merumuskan perjanjian adalah perbuatan hukum yang bersisi banyak antara dua pihak atau lebih untuk mengadakan perikatan. Rutten mengatakan perjanjian adalah satu perbuatan hukum untuk mencapai persesuaian kehendak dengan tujuan menimbulkan akibat hukum tertentu. Dengan penambahan kata hukum (recht)16 membawa perubahan arti

bahwa tidak semua perbuatan termasuk dalam pengertian perjanjian.

Dalam perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan hukum melainkan merupakan hubungan hukum (rechtsverhouding). Pandangan ini dikemukakan oleh van Dunne yang mengatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum merupakan teori klasik,17 atau teori konvensional.

Communis Opinio Doctorum selama ini memahami arti perjanjian adalah

satu perbuatan hukum yang bersisi dua (een tweezijdige rechtshandeling) yaitu perbuatan penawaran (aanbod, offer),18 dan penerimaan (aanvaarding,

acceptance).19 Seharusnya perjanjian adalah dua perbuatan hukum yang

masing-masing bersisi satu (twee eenzijdige rechthandeling) yaitu penawaran dan penerimaan yang didasarkan kepada kata sepakat antara dua orang atau lebih yang saling berhubungan untuk menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolg). Konsep ini melahirkan arti perjanjian adalah hubungan hukum. Inilah alasan hukum (legal reasoning) yang dipergunakan mengapa esensi perjanjian yang dimaksudkan adalah sebagai hubungan hukum antara nasabah dengan debitor.

Agar suatu perjanjian sah menurut hukum diperlukan 4 (empat) persyaratan sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang

15 Sudikno Mertokusumo, Catatan Kapita Selekta Hukum Perjanjian, Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang, Yogyakarta, 1992, h. 15.

16 Istilah hukum disebut juga law (Inggris), Gesetz (Jerman), loi (Perancis), zakon (Rusia), ley (Spanyol), atau hok (Yahudi), lihat George P.Fletcher, Basic Concepts of Legal

Thought, New York: Oxford University Press, 1996, h. 28.

17 Ibid., h. 16.

18 An offer is intimation, by words or conduct, of a willingness to enter a legally binding

contract. J.Beatson, op. cit., h. 32.

19 Acceptance of an offer is the expression, by words or conduct, of assent to the terms

of the offer in the manner prescribed or indicated by the offeror. Offer and Acceptance must correspond. ibid., h. 37.

(7)

halal. Persyaratan yang demikian juga dikenal dalamsetiap sistem hukum, misalnya Inggris, Perancis, dan Jerman.20

Hukum Perbankan sebagai Sub Sistem Hukum Perdata

Jika hukum perbankan diartikan dengan Undang-Undang Perbankan, maka diperoleh batasan bahwa hukum perbankan adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur segala hal yang menyangkut tentang bank, baik kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan usaha bank. Namun jika dilihat dalam perspektif sistem sebagai entitas, maka hukum perbankan diartikan sebagai kumpulan peraturan hukum yang merupakan satu kesatuan yang masing-masing unsurnya berkaitan satu sama lain dan bekerja sama secara aktif untuk mencapai tujuan keseluruhan dari hukum perbankan. Unsur sistem hukum perbankan yang dimaksudkan adalah peraturan hukum (norma), asas-asas hukum, dan pengertian-pengertian hukum yang terdapat di dalamnya. Unsur hukum tersebut dibangun di atas tertib hukum, sehingga terdapat keharmonisan di dalam atau di luarnya, dan dapat dihindarkan adanya tumpang tindih (overlapping) di antara unsur-unsur yuridis tersebut. Kalau terjadi konflik mengenai persoalan perbankan, maka solusinya adalah melalui asas hukum yang terdapat dalam sistem hukum perbankan itu sendiri.

Kalau Undang-Undang Perbankan ingin diubah, maka pembangunan sistem hukum perbankan harus dilakukan dengan cara: pertama, membangun kesadaran publik; kedua, mempersiapkan subtansi hukum, ketiga, melakukan sosialisasi hukum kepada semua stakeholder; keempat, mempersiapkan aparatur hukum (struktur hukum); kelima, menyediakan sarana dan prasarana hukum; keenam, melaksanakan hukum; ketujuh, menciptakan kultur hukum; kedelapan, melakukan kontrol hukum; dan

kesembilan, melahirkan kristalisasi hukum (nilai hukum).

Eksistensi Undang-Undang Perbankan harus dilihat sebagai subsistem dalam hukum yang lebih luas meliputi hukum publik (hukum pidana dan hukum administratif21) dan hukum perdata.22 Tulisan ini lebih banyak

20 Selanjutnya lihat P.D.V.Marsh, Comparative Contract Law England, France, Germany, England: Gower Publishing, 1996, h. 41.

21Menurut Romli sebelum sanksi keperdataan dan pidana diterapkan, tindakan administratif dalam UU Perbankan merupakan tindakan pencegahan yang bersifat sementara.

22 Hukum Perdata dalam pengertian luas meliputi hukum yang terkodifikasi yaitu KUH Perdata dan KUH Dagang. Bahkan semua peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan hukum orang-perseorangan yang bukan hukum terkodifikasi antara lain bidang hukum keluarga (UU Perkawinan), hukum benda (UUPA sebagai bagian dari hukum benda), hukum bisnis (UU Perlindungan Konsumen, UU Monopoli, UU Hak Cipta, UU Paten, UU Merek,

(8)

memusatkan perhatian fungsi perbankan sebagai salah satu norma hukum yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari hukum perdata. Sebagai subsistem hukum perdata, fungsi perbankan melalui hubungan hukum antara bank dengan nasabah tunduk pada pengaturan hukum perdata. Hubungan hukum tersebut dapat dikualifikasikan dalam 2 (dua) bentuk.

Pertama, hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan23

disebut perjanjian simpanan. Kedua, hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitor disebut perjanjian kredit bank. Kedua bentuk hubungan hukum tersebut sangat erat kaitannya dengan jaminan sebagai unsur pengaman. Dalam bentuk hubungan hukum yang pertama, dana yang disimpan oleh nasabah penyimpan harus dapat dijamin keamanannya oleh bank. Bentuk jaminan untuk melindungi dana nasabah penyimpan diatur dalam Lembaga Penjaminan Simpanan, sedangkan bentuk jaminan untuk melindungi bank sebagai pemberi kredit adalah lembaga jaminan kebendaan dan jaminan perorangan.

Yang kurang mendapat perhatian selama ini adalah bagaimana hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan nasabah debitor? Hubungan tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai hubungan hukum melainkan hubungan moral. Sebagai hubungan moral, maka pertanggungjawabannya lebih tinggi di mata hukum. Moral menjadi sumber dan sekaligus jembatan etis dalam tonggak hukum perbankan. Dengan demikian, dalam pelaksanaan fungsi perbankan terdapat 2 (dua) hubungan hukum dan 1 (satu) hubungan moral yang dapat digambarkan sebagai sebuah segi tiga sama sisi sebagai berikut:

Bank

Hubungan Hukum Hubungan Hukum

Nasabah Nasabah

Debitor Hubungan Moral Penyimpan

UU Desain Industri, UU Perseroan Terbatas, UU BUMN, UU Hak Tanggungan, UU Jaminan Fidusia, dll.) dan hukum waris. Pembagian hukum perdata (private law) dan hukum publik (public law) serta perbedaannya lebih lanjut lihat David Kelly, cs., Business Law, London: Cavendish Publishing Limited, 2002, h. 6.

23 Dalam Pasal 1 angka 17 UU Perbankan disebutkan bahwa Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 5 disebutkan pengertian simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

(9)

Berdasarkan bangunan hukum dan moral tersebut, maka seorang nasabah debitor yang telah memperoleh pinjaman kredit dari bank pada hakikatnya bukan saja bertanggung jawab terhadap bank sebagai pemberi kredit, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral terhadap nasabah penyimpan dana. Di sini terletak makna yang harus diinsafi oleh para nasabah debitor sehingga penggunaan dana secara benar dan tepat dalam bentuk-bentuk yang produktif memiliki peran dan memberikan andil dalam pembangunan sektor ekonomi serta dapat meningkatkan taraf hidup rakyat. Kegagalan pengelolaan dana pinjaman kredit secara langsung dapat merugikan bank yang bersangkutan dan secara tidak langsung24 dapat pula merugikan

kepentingan nasabah penyimpan.

Pengalaman krisis ekonomi25 beberapa tahun yang lalu ketika terjadinya

bank collapse, nasabah penyimpan tidak memperoleh perlindungan hukum (rechtsbescherming, legal protection) yang sempurna karena pembentuk Undang-Undang Perbankan sebelumnya tidak mengaturnya sehingga tidak terdapat adanya kepastian hukum.26 Dengan perkataan lain, hak perdata

nasabah penyimpan kurang mendapat pengaturan hukum yang memadai. Keadaan dari peristiwa hukum (rechtsfeit) tersebut menimbulkan persoalan tersendiri dalam bidang hukum perdata. Solusi hukum yang dilakukan oleh pemerintah pada waktu itu adalah dengan mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998, yang berisikan penjaminan pembayaran kepada nasabah penyimpan dana yaitu para deposan. Lahirnya Surat Keputusan Presiden tersebut bukan berarti tidak menimbulkan masalah hukum. Kritik hukum yang muncul dan mendasar adalah mengapa pemerintah harus menanggung beban dari perbuatan hukum para bankir dengan menetapkan

24 Hubungan tak langsung dapat saja dipergunakan oleh nasabah penyimpan sebagai alasan untuk menuntut nasabah debitor dan bank telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak bersikap hati-hati menggunakan dana sehingga merugikan nasabah penyimpan. Model tuntutan ini dapat dilakukan dengan cara class action.

25 Krisis ekonomi, lazim juga disebut sebagai krisis moneter, yang dialami negara Asia Timur termasuk Indonesia telah menyebabkan kemerosotan ekonomi yang mendalam dan disertasi dengan penurunan kegiatan di pasar kredit secara drastis baik dari permintaan maupun dari sisi penawaran. Lihat S. Sundari Arie, Transaksi Kredit dalam Majalah Hukum

Nasional, Jakarta: BPHN, 2002, h. 47; Krisis ekonomi berakibat pada perubahan ekonomi

dan perubahan hukum. Lihat Neil K. Komesar, Law’s Limit, The Rule of Law and Demand of

Rights, USA: Cambrigde University Press, 2001, h. 180 – 182; Menurut B. Arief Sidharta,

krisis ekonomi yang dimulai dengan krisis hukum yang mencapai titik nadir pada tahun 1997 yang menyebabkan kehidupan rakyat menjadi sangat terpuruk, mengakibatkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah (kekuasaan politik) dengan seluruh aparatnya dan terhadap hukum. Lihat Pusat Penelitian Perkembangan Hukum, Jurnal Hukum, Nomor Perdana: 1-1999, Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, h. 13 – 1.

26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tidak mengatur bagaimana caranya bank dapat menjamin uang masyarakat yang disimpan pada bank apabila bank yang bersangkutan dilikuidasi.

(10)

jumlah maksimum pembayaran yang diberikan kepada nasabah penyimpan.27

Dalam tataran normatif, pemerintah tidak seharusnya memberikan jaminan dengan beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara karena lembaga yang lebih berhak adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Surat Keputusan Presiden tersebut lebih bernuansa sebagai produk kebijakan (policy)28 dalam ranah

politik dan bukan sebagai bagian dari rangkaian hukum perdata. Oleh karena itu sifatnya hanya sementara. Seharusnya pertanggungjawaban bank dan nasabah (debitor dan penyimpan) diselesaikan dalam kerangka sistem hukum perdata.

Asas-Asas Hukum Perjanjian Menguasai Hukum Perbankan

Sistem hukum29 perjanjian dibangun berdasarkan asas-asas hukum.30

Mariam Darus mengemukakan bahwa sistem hukum merupakan kumpulan asas-asas hukum yang terpadu di atas mana dibangun tertib hukum.31

Pandangan ini menunjukkan arti sistem hukum dari segi substantif. Dilihat dari segi substantif, asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran mendasar

27Pemerintah menjamin pembayaran kembali uang nasabah penyimpan sebesar maksimum Rp 20 juta, dan tidak menjelaskan rasio hukum mengenai jumlah pembayaran di atas angka tersebut. Lihat Surat Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998.

28 Kebijakan di sini diartikan sebagai suatu tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah publik dan menjaga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan, sehingga gejolak masyarakat dapat diatasi untuk tujuan tidak terjadi kekacauan sosial. Baca William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000, h. 109 – 112; M. Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 2002, h. 97 – 102.

29 Teori sistem merupakan aliran yang paling penting dalam positivisme hukum, yang intinya bahwa hukum adalah suatu stelsel dari aturan yang berkaitan satu sama lain secara organis, secara piramida dari norma-norma yang terbentuk secara hierarki. Lihat N.E Algra dan K.Van Duyvendijk, Mula Hukum, Jakarta: Binacipta, 1983, h. 139; We have already

defined law as a system of rules imposed by the state or by those having authority which give rise to sanctions or penalties when the rules are not complied with. Lihat Mary Collins, As Level Law, London: Cavendish Publishing Limited, 2000, h. 14; The rule of recognition of a legal system, according to Hart,s Concept of Law, determines which other rules in the system are valid as law. Lihat Roger Cotterreli, The Politics of Jurisprudence, (London:

Butterworths, 1989), h. 100; Mengenai pengertian sistem, William A Schrode dan Voich menjelaskan bahwa: the term “system” has two important connotations. The first is the

notion of system as an entity or thing which has particular order or structural arrangement of its parts. The second is the notion of system as a plan, methode, device, or procedure for accomplishing something. Lihat Tatang Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Jakarta: Rajawali,

1986, h. 4.

30 Menurut Henry Campbell Black, principle is a fundamental truth or doctrine, as of

law, a comprehensive rule or doctrine which furnishes a basis or origin for others. Lihat

Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary, Definitions of The Terms and Phrases of

American and English Jurisprudence Ancient and Modern, St.Paul Minn: West Publishing Co.,

1991, 828. Makna asas yang dikemukakan oleh Black ini masih dalam taraf memberikan arahan bagi ilmu hukum mengenai esensi asas hukum yakni suatu kebenaran yang mendasar untuk pembentukan peraturan hukum yang menyeluruh.

31 Lihat Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Benda Nasional, Bandung: Alumni, 1990, h. 15.

(11)

tentang kebenaran (waarheid, truth) untuk menopang norma hukum dan menjadi elemen yuridis dari suatu sistem hukum perjanjian. Di depan, di dalam, dan di belakang pasal-pasal dari hukum perjanjian terletak cita-cita hukum dari pembentuk hukum perjanjian. Jika norma hukum perjanjian bekerja tanpa memperhatikan asas hukumnya,32 maka norma hukum itu

akan kehilangan jati diri dan semakin memberikan percepatan bagi runtuhnya norma hukum tersebut.33

Hubungan antara norma dan asas hukum perjanjian sedemikian erat seperti bangunan rumah dengan tiang-tiang sebagai penopangnya. Asas hukum perjanjian merupakan landasan tempat melahirkan norma hukum, sebagai rohani hukum, sebagai tempat menganyam sistem hukum perjanjian, sebagai pedoman kerja bagi hakim, dan pelaksana hukum lainnya. Secara substantif filosofis, asas hukum perjanjian menjadi cita-cita hukum dan secara ajektif memberikan arah dan patokan untuk bekerja menyelesaikan peristiwa hukum perjanjian yang kongkret dalam masyarakat. Suatu norma hukum perjanjian yang baik harus memuat rumusan pasal yang pasti (lex

certa), jelas (concise) dan tidak membingungkan (unambiguous).34 Oleh

karena itu, tidak dapat diterima secara utuh cita-cita hukum dari paham liberal35 sebelum dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan hukum

kepribadian bangsa kita (nilai-nilai yang sesuai dengan pandangan hidup yaitu Pancasila). Hal ini menunjuk betapa pentingnya kedudukan dan peranan asas hukum perjanjian dalam suatu sistem hukum perbankan. Berikut ini dapat dikemukakan sejumlah asas hukum dalam sistem hukum perjanjian yaitu asas konsensualisme, asas kepastian hukum, asas kepercayaan, asas moral, asas kebebasan berkontrak, asas persamaan, asas keseimbangan, asas kepatutan, asas kebiasaan, asas perlindungan bagi golongan lemah, asas kekuatan mengikat, dan asas itikad baik.

Dari sejumlah asas tersebut, terdapat 3 (tiga) asas yang merupakan tonggak hukum perjanjian dalam sistem hukum perbankan yang meliputi asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, dan asas kekuatan mengikat.

32 Lazim juga disebut sebagai tatanan hukum internal dari substansi hukum. Substansi hukum adalah elemen dari sistem hukum. lihat B.Arief Sidharta, loc. cit, h. 14.

33Norma hukum adalah obyek ilmu hukum. The object of legal sicience is to

understand the way in which law works. Lihat Michael Doherty (ed.), Jurisprudence: The Philosophy of Law, London: Old Bailey Press, 2001, h. 94.

34 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Jakarta: Prenada Medan, 2006, h. 17.

35 Liberal individualism, sometimes known as classical liberalism or liberal rationalism.

We call a social order, and this includes economic, legal and political phenomena. Lihat

Norman Bary, An Introduction to Modern Political Theory, New York: St Martin’s Press Inc., 2000, h. 11.

(12)

Asas konsensualisme dilahirkan pada saat momentum awal perjanjian terjadi yaitu pada detik para pihak mencapai puncak kesepakatannya. Ketika para pihak menentukan hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang menjadi substansi perjanjian, maka para pihak memasuki ruang asas kebebasan berkontrak. Dalam asas ini para pihak dapat menentukan bentuk dan isi dengan bebas sepanjang dapat dipertanggungjawabkan melalui karakter hukum kepribadian bangsa, bukan karakter hukum liberal. Tekanan dari salah satu pihak melalui posisi inequality of bargaining power dapat mengakibatkan prestasi perjanjian tidak seimbang, dan hal ini melanggar asas iustum pretium. Perjanjian yang demikian menjadi cacat dan akibatnya dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable).36 Persetujuan secara timbal balik

terhadap bentuk dan isi perjanjian ditandai dengan adanya pembubuhan tanda tangan atau yang dapat dipersamakan dengan itu. Tanda tangan yang diberikan menjadi pengakuan kehendak yang sah terhadap isi perjanjian. Akibatnya perjanjian tersebut mengikat bagi kedua belah pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik (te geode trouw, in good faith).

Selain itu, dalam hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitor terdapat sejumlah asas-asas dalam bidang hukum jaminan. Secara garis besar, hukum jaminan terbagi dalam 2 (dua) kelompok yaitu hukum jaminan kebendaan (zakelijke zekerheidsrecht), dan hukum jaminan perorangan (persoonlijke zekerheidsrecht).37 Hukum jaminan kebendaan

adalah sub sistem dari hukum benda yang mengandung sejumlah asas hak kebendaan (real right), sedangkan hukum jaminan perorangan merupakan sub sistem dari hukum perjanjian yang mengandung asas pribadi (personal

right).38 Dengan demikian hukum jaminan yang obyeknya terdiri dari benda

adalah sub sistem dari sistem hukum benda yang mengandung sejumlah asas hukum kebendaan yaitu asas absolut, droit de suite, asas assesor,

36 Cacat kehendak meliputi 4 (empat) hal yaitu kekhilafan, paksaan, penipuan, dan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigeheden, undue influence). Yang terakhir ini tidak diatur dalam Pasal 1321 KUH Perdata dan merupakan perkembangan hukum perjanjian. Penyalahgunaan keadaan dapat dijadikan dasar untuk melumpuhkan perjanjian sehubungan dengan keunggulan ekonomis. Hal ini dapat dilihat dari kasus Bovag II, putusan HR tanggal 11 Januari 1957; kasus Buma/Brinkmann, putusan HR tanggal 24 Mei 1968; kasus Weduwenpensioen, putusan HR tanggal 29 April 1972; kasus Brandwijk/Bouwbureau Brandwijk BV, putusan HR tanggal 2 November 1979. Lihat J.M. van Dunne dan Gr. van der Burght, Penyalahgunaan Keadaan (penerjemah: Sudikno Mertokusumo), Dewan Kerja sama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, Medan, 1987, h. 31 – 51. Dalam hukum anglo saxon, menurut David Kelly cs. dikatakan bahwa “the effect of undue

influence is to make a contract voidable, but delay may bar the right to avoid the agreement”. op. cit., h. 176.

37 Lihat Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok

Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1980, h. 43; Kartono, Hak-Hak Jaminan Kredit, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977, h. 5; R. Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 1982, h. 25.

(13)

asas assesi, asas pemisahan horizontal, asas spesifikasi, asas terbuka, dan asas mudah dieksekusi.

Hukum jaminan kebendaan dalam tataran hukum positif meliputi hukum jaminan kebendaan yang diatur dalam KUH Perdata yaitu gadai (pand)39

dan hipotek40, sedangkan yang berada di luar KUH Perdata adalah Hak

Tanggungan41 dan Jaminan Fidusia.42 Dengan demikian, masih terdapat

asas-asas hukum jaminan kebendaan yang bersifat khusus sesuai dengan jenis jaminannya.

Hukum jaminan perorangan meliputi jaminan perorangan (personal

guarantee) dan jaminan perusahaan (corporate guarantee). Di samping itu

dikenal secara khusus jaminan pemerintah (government guarantee).

Hubungan Hukum antara Bank dengan Nasabah Debitor

Dalam Undang-Undang Perbankan yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, sedangkan yang dikatakan sebagai nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, meliputi nasabah debitor dan nasabah penyimpan. Nasabah debitor adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian dengan nasabah yang bersangkutan.

39 Lihat karakter hukum (rechtskarakter) jaminan gadai yang diatur dalam Pasal 1150 s.d. 1160 KUH Perdata. Bandingkan dengan karakter hukum gadai pada Perusahaan Umum Pegadaian dan Gadai dalam hukum adat.

40 Lihat karakter hukum jaminan hipotek yang diatur dalam Pasal 1162 s.d. 1232 KUH Perdata jo Pasal 314 KUH Dagang. Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, hipotek hanya berlaku untuk kapal laut. Hipotek atas pesawat terbang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992.

41 Baca lebih lanjut Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996; St. Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Bandung: Alumni, 1999.

42 Baca Yurisprudensi Fiduciaire Eigendoms Overdracht (FEO) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. Bagaimana peranan hakim dalam sumbangannya bagi pembentukan Undang-Undang Jaminan Fidusia. Apakah hukum sang hakim diambil alih oleh pembentuk undang-undang atau hukum sang hakim dibiarkan sedemikian rupa. Oliver Wendell Holmes mengatakan bahwa “the law is what the courts will do. It is not a system of abstract

(14)

Yang menjadi fokus disampaikan pada hari ini adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit bank bukan nasabah yang memperoleh fasilitas pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.43

Perjanjian kredit bank sampai saat ini selalu menarik perhatian publik dan menjadi isu pembicaraan baik di kalangan teoritikus maupun praktisi hukum. Hal ini karena belum dirasakan adanya kepastian, apakah bentuk dan isi perjanjian kredit bank tersebut termasuk dalam ruang lingkup perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata atau bukan, apakah sifat perjanjiannya dapat dikategorikan sebagai perjanjian berdimensi publik, sehingga negara dapat campur tangan ke dalamnya khususnya perjanjian-perjanjian kredit yang terjadi di lingkungan bank pemerintah.

Hadirin yang saya hormati,

Jika ditelusuri pasal demi pasal dalam Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang Perikatan pada umumnya dan Perjanjian Khusus, tidak dijumpai istilah kredit.44 Dalam kehidupan sehari-hari, kata kredit selalu diidentikkan

dengan utang atau pinjaman apakah berupa uang atau barang. Orang yang memperoleh kredit adalah orang yang mendapat kepercayaan45 dari orang

lain atau bank yang telah memberikan pinjaman untuk jangka waktu tertentu dan pihak yang meminjam akan mengembalikan utangnya sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Dalam praktik bisnis, pengembalian utang diikuti dengan bunga atau imbalan tertentu.

Berbeda dengan pengertian kredit dalam pandangan hukum, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 memberikan rumusan “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank

43Hubungan antara nasabah yang memperoleh fasilitas pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sudah lama dikenal dalam masyarakat Islam, namun baru mendapat pengakuan dan dipopulerkan secara yuridis formal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai perubahan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992. Dalam undang-undang tersebut diperkenalkan istilah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Selanjutnya figur pembiayaan berdasarkan prinsip syariah semakin hari berkembang ke arah yang semarak dan digemari oleh masyarakat.

44 Secara etimologi istilah kredit berasal dari bahasa Latin “credere”, bahasa Belanda “vertrouwen”, bahasa Inggris “believe” atau “trust of confidence”, yang berarti kepercayaan. Kata “credere” atau “creditum” berasal dari kata “credo” berarti mempercayakan. Lihat K. Prent, cm, dkk., Kamus Latin-Indonesia, Semarang: Yayasan Kanisius, 1969, h. 102.

45 Mengapa orang dipercayai? Secara moral, orang tersebut memiliki tingkah laku dan kepribadian yang baik; secara ekonomi, orang tersebut mampu untuk membayar utangnya; secara yuridis, orang tersebut bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajibannya.

(15)

dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Molenaar mengatakan kredit adalah “het verrichten van een prestatie in ruil

voor een uit gestelde tegen prestatie” (artinya memberikan prestasi untuk

ditukar dengan imbalan prestasi setelah jangka waktu tertentu). Jonhson mengatakan “credit is the power to obtain goods or service by giving a

promise to pay money (or goods) on demand or at a specified date in the future.”46

Rumusan Molenaar lebih menekankan kepada aspek perikatan (verbintenis) yaitu kredit sebagai obyek perikatan. Hal ini terlihat dalam Pasal 1234 B.W47

yang berbunyi “Zij strekken om iets te geven, te doen, of niet te doen”.48

Jadi obyek perikatan atau disebut juga prestasi ada 3 (tiga) jenis yaitu memberikan sesuatu (iets te geven), berbuat sesuatu (iets te doen), dan tidak berbuat sesuatu (iets niet te doen). Pengertian yang diberikan oleh Molenaar masih bersifat umum, belum menunjukkan adanya hal-hal khusus dari kredit itu sendiri termasuk ke dalam jenis prestasi yang mana. Menurut hemat penulis, kredit bank termasuk dalam jenis prestasi berbuat sesuatu.49

Rumusan yang lebih spesifik dapat dilihat dari Undang-Undang Perbankan dengan menitikberatkan bahwa kredit merupakan suatu perjanjian antara bank dengan nasabah debitor. Di sini secara jelas subyek hukumnya telah ditentukan dan perjanjian tersebut lahir dari kesepakatan pinjam meminjam. Momentum yuridis yang melatarbelakangi hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitor adalah asas konsensualisme, yang tercermin dalam Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata bahwa kata sepakat merupakan salah satu syarat subyektif untuk melahirkan perjanjian,

46 Lihat Tan Kamello, Tanah Belum Bersertifikat sebagai Jaminan Kredit dalam Praktik

Bank Di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, Medan: Tesis, Fakultas Pascasarjana UGM,

Program KPK UGM-USU, 1992, h. 16. Bandingkan Henry Campbell Black mengartikan “credit

is the ability of business or person to borrow money, or obtain goods on time, in consequence of the favorable opinon held by the particular lender as to solvency and past history of reliability.” Black’s Law Dictionary (St. Paul. Minn: West Publishing Co., 1991,

h. 255.

47 Pasal 1234 KUH Perdata berbunyi “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Lihat terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosdibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1981, h. 291.

48 E.M.L. Engelbrecht, De Wetboeken Wetten en Verordiningen Benevens de Grondwet

van 1945 van de Republiek Indonesie, Leiden: AW Sijthoff’s Uitgevers Maatschappij NV,

1960, h. 353.

49 Prestasi berbuat sesuatu diatur dalam Pasal 1235 KUH Perdata berbunyi “Tiap-tiap perikatan berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga”.

(16)

sedangkan uang atau yang dipersamakan dengan itu merupakan obyek perjanjian yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1320 angka 4 jo Pasal 1337 KUH Perdata.

Persoalan hukum lainnya, apakah kata kredit dalam Undang-Undang Perbankan dapat diidentikkan dengan kata pinjam meminjam atau pinjam mengganti dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Dalam rumusan kredit yang tercantum pada Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kata pinjam meminjam merupakan elemen yang dikhususkan terjadi pada hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitor, sehingga maknanya lebih sempit dari pengertian kredit.

Arti yuridis dari pinjam meminjam atau pinjam mengganti sebagai terjemahan dari verbruikleening dalam Pasal 1754 B.W adalah: “Verbruikleening is eene overeenkomst, waarbij de eene partij aan de

andere eene zekere hoeveelheid van verbruikbare zaken afgeeft, onder voorwaarde dat de laatst gemelde haar even zo veel van gelijke soort en hoedanigheid terug geve.”50

(Pinjam meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula).51

Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa sifat perjanjian, salah satunya adalah perjanjian konsensuil perjanjian riil. Suatu perjanjian dikatakan bersifat konsensuil apabila perjanjian itu sudah tercipta dengan kata sepakat saja, sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang menghendaki di samping kata sepakat masih diperlukan suatu perbuatan nyata yaitu penyerahan barang yang menjadi obyeknya.

Sifat hukum dari perjanjian pinjam meminjam atau pinjam mengganti adalah konsensuil dan riil. Hal ini dapat dibuktikan dengan rumusan pada awal kalimat “persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain”. Pada prinsipnya yang terjadi baru kesepakatan untuk memberikan sesuatu kepada pihak lain, sedangkan penyerahannya belum terjadi. Secara teoretis, antara terciptanya kesepakatan dengan

50 W.A. Engelbrecht, op. cit., h. 426.

(17)

terjadinya penyerahan (levering) dapat dipisahkan. Dapat saja terjadi penyerahan barang dilakukan belakangan.

Bagaimana komentar ahli hukum?

Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa peminjaman uang lazimnya dianggap sebagai suatu persetujuan yang bersifat “reel”, tidak “consensueel”.52

Mariam Darus mengatakan bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan yang bersifat konsensuil sedangkan penyerah uangnya bersifat riil. Dalam aspek konsensuil dan riil perjanjian kredit memiliki identitas sendiri dengan sifat-sifat umum sebagai berikut:53 pertama,

merupakan perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst) dari perjanjian penyerahan uang; kedua, perjanjian kredit bersifat konsensuil; ketiga, perjanjian penyerahan uangnya bersifat riil; keempat, perjanjian kredit termasuk dalam jenis perjanjian standar; kelima, perjanjian kredit banyak dicampuri pemerintah; keenam, perjanjian kredit lazimnya dibuat secara rekening koran; ketujuh, perjanjian kredit harus mengandung perjanjian jaminan; kedelapan, perjanjian kredit dalam aspek riil adalah perjanjian sepihak; kesembilan, perjanjian kredit dalam aspek konsensuil adalah perjanjian timbal balik.

Asser-Kleyn mengatakan bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan dari perjanjian pinjam uang. Windscheid mengemukakan bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian dengan syarat tangguh (condition

potestative). Felt berpendapat bahwa perjanjian pinjam mengganti adalah

bersifat riil. Perjanjian kredit baru lahir pada saat dilakukannya realisasi kredit. Konsekuensinya, perjanjian kredit bersifat riil. Goudeket mengatakan bahwa perjanjian kredit yang di dalamnya terdapat perjanjian pinjam uang adalah perjanjian yang bersifat konsensuil.54

Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa perjanjian kredit tidak identik dengan perjanjian pinjam uang dalam KUH Perdata. Ada ciri khusus dari perjanjian kredit yang membedakannya dari perjanjian pinjam uang biasa. Ciri khusus tersebut adalah: ada beberapa bank yang memuat dalam perjanjian kreditnya klausul yang dinamakan condition precedent yakni peristiwa atau kejadian yang harus dipenuhi atau terjadi terlebih dahulu setelah perjanjian ditandatangani oleh para pihak sebelum penerima kredit

52 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Bandung: Sumur, 1981, h. 137.

53 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: Alumni, 1996, h. 179. 54 Ibid., h. 26 – 28.

(18)

dapat menggunakan kreditnya. Perjanjian kredit yang mengandung

condition precedent adalah perjanjian konsensuil dan bukan perjanjian riil,

sedangkan perjanjian kredit yang tidak memuat condition precedent dikatakan perjanjian riil.55

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ajaran tentang sifat perjanjian kredit bank terbagi atas 3 (tiga) yaitu: pertama, ajaran yang mengatakan perjanjian kredit bank dan perjanjian pinjam uang merupakan satu perjanjian yang bersifat konsensuil-obligatoir; kedua, ajaran yang mengatakan perjanjian kredit bank dan perjanjian pinjam uang merupakan dua perjanjian yang bersifat konsensuil dan riil; ketiga, ajaran yang mengatakan perjanjian kredit bank merupakan perjanjian dengan syarat tangguh.

Pandangan penulis mengenai hal ini adalah bahwa perjanjian kredit bank adalah suatu proses perjanjian untuk mendapatkan peminjaman uang yang didahului dengan mengadakan permufakatan dan diakhiri dengan penyerahan. Momentum terjadinya 2 (dua) hubungan hukum tersebut berbeda. Perjanjian kredit lahir pada saat ditandatangani formulir perjanjian kredit bank, yang memiliki sifat konsensuil-obligatoir, sedangkan penyerahan uang (levering) menyusul kemudian setelah ada pernyataan dari bank bahwa nasabah debitor dibolehkan mengambil uang (pinjaman), yang sifatnya riil. Jadi, antara permufakatan dengan penyerahan uang terdapat waktu tunggu yang menangguhkan untuk kesempurnaan perjanjian kredit bank seperti yang diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata tentang perikatan bersyarat dan Pasal 1263 KUH Perdata tentang perikatan dengan syarat tangguh. Dalam Pasal 1253 KUH Perdata ditentukan syaratnya adalah peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, sedangkan dalam Pasal 1263 KUH Perdata, pemenuhan perikatan hanya dapat dituntut oleh kreditor apabila syarat tangguh itu telah terpenuhi. Selama syarat itu belum terpenuhi, maka kewajiban berprestasi oleh debitor belum lagi ada, walaupun hubungan hukum antara para pihak tetap ada.56

Dilihat dari jenis perjanjian, perjanjian kredit bank merupakan perjanjian timbal balik, artinya jika pihak bank dan nasabah debitor tidak memenuhi isi perjanjian maka salah satu pihak dapat menuntut pihak lainnya sesuai dengan jenis prestasinya. Penyerahan uang dalam perjanjian kredit bank merupakan perjanjian sepihak, artinya jika pihak tidak merealisasikan

55 St.Remy Sjahdeini, Beberapa Masalah Hukum di Sekitar Perjanjian Kredit Bank, Simposium Perbankan, Medan, 1990, h. 10.

56 Lihat Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Aditya Bhakti, 2001, h. 36 – 41.

(19)

pinjaman uang maka nasabah debitor tidak dapat menuntut bank dengan alasan ingkar janji, demikian juga sebaliknya kalau nasabah debitor tidak mau mengambil pinjaman uang setelah diberitahukan oleh bank maka bank tidak dapat menuntut nasabah debitor. Secara yuridis normatif, perjanjian kredit bank yang sudah disepakati menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolg) yang mengikat dan harus dijalankan dengan itikad baik. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUH Perdata. Dilihat dari aspek jenis perjanjian lainnya, perjanjian kredit bank tergolong dalam jenis perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst,

innominaat contracten). Hal ini didasarkan pada Pasal 1319 KUH Perdata,

sedangkan perjanjian pinjam mengganti merupakan perjanjian bernama. Dilihat dari bentuk perjanjian, KUH Perdata hanya menentukan pedoman umum bahwa perjanjian harus dibuat dengan kata sepakat kedua belah pihak. Kata sepakat tersebut dapat berbentuk isyarat, lisan, dan tertulis. Dalam bentuk tertulis, perjanjian dapat dilakukan dengan akta di bawah tangan dan akta otentik. Dalam praktik bank, bentuk perjanjian kredit dapat dibuat dengan akta di bawah tangan dan akta otentik (akta notaris). Kedua bentuk perjanjian kredit tersebut dibuat dalam bentuk perjanjian baku, yaitu suatu perjanjian yang sebelumnya telah dipersiapkan isi atau klausul-klausulnya oleh bank dalam suatu formulir tercetak.57 Dalam bentuk

perjanjian kredit yang demikian, pada hakikatnya kehendak yang sebenarnya belum terwujud dalam perjanjian kredit. Kehendak nasabah debitor hanya diberikan secara formal disebabkan adanya ketergantungan akan kebutuhan kredit. Di sinilah letaknya kedudukan nasabah debitor menjadi lemah secara yuridis-ekonomis dan kurang menguntungkan. Dengan kekuasaan ekonomi yang lemah, nasabah debitor tidak mempunyai pilihan lain dan terpaksa untuk menerima persyaratan perjanjian yang disodorkan kepadanya.58 Menurut Ruitinga, kekuasaan ekonomis itu terdiri

dari 2 (dua) unsur yaitu, pertama, terdapatnya kebutuhan bagi salah satu pihak untuk bertransaksi; kedua, kekuatan posisi ekonomis dari pihak lainnya.59 J.M. van Dunne dan Gr. van der Burght mengatakan bahwa

kedudukan ekonomis yang lebih kuat ini sering tampak pada perjanjian-perjanjian baku.60 Dilihat dari sisi perlindungan hukum konsumen,

57 Lihat St. Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang

Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir

Indonesia, 1993, h. 182.

58 Wahyono Hardjo, Masalah Kedudukan Pihak yang Lemah Secara Ekonomis dalam

Perjanjian, Himpunan Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Perdata Tahun 1982/1983

dan 1983/1984, Jakarta: BPHN, 1985, h. 139. 59 Disitir oleh Wahyono Hardjo, ibid., h. 140.

(20)

perjanjian baku yang ditetapkan bank sebagai pelaku usaha, maka klausul yang diperlakukan terhadap debitor (nasabah debitor) dalam perjanjian tersebut adalah batal demi hukum (nietig, null and void).61 Mengapa

pembentuk undang-undang menyatakan batal demi hukum, bukan dapat dibatalkan (vernietigbaar)? Ada alasan untuk membenarkan hal tersebut antara lain: pertama, norma hukumnya dinyatakan sebagai imperatif, dan

kedua, isinya tidak dibenarkan oleh undang-undang. Berbeda halnya dalam

pandangan teori hukum perjanjian, apabila salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan untuk menyatakan kehendaknya karena ada faktor penyalahgunaan keadaan seperti keungulan ekonomis, maka perjanjian itu cacat subyektif dan akibat hukumnya dapat dibatalkan.

Hadirin yang saya hormati,

Perkembangan hukum perbankan khususnya bagi bank-bank pemerintah yang menyalurkan kredit pada akhir-akhir ini selalu dikaitkan dengan tindak pidana korupsi. Bank pemerintah memiliki status Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.62 Campur tangan negara terhadap bank

terjadi antara lain ketika nasabah debitor yang memperoleh fasilitas kredit mengalami kemacetan. Di kalangan ahli hukum masih berbeda pendapat tentang apakah kredit macet termasuk dalam ruang lingkup perdata atau pidana? Kalangan penegak hukum khususnya pihak kejaksaan beranggapan bahwa negara telah dirugikan akibat kesalahan para pengurus bank, sehingga harus diminta pertanggungjawabannya secara pidana.63 Anggapan

61 Lihat Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

62 Pasal 1 jo Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

63 Lihat kasus-kasus kredit macet yang dibawa ke pengadilan, antara lain kasus Bank Mandiri. Direktur utamanya dituntut oleh jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang mendalilkan perbuatan tersebut dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi karena negara telah dirugikan. Putusan hakim adalah membebaskan terdakwa. Baca Putusan PN Jakarta Selatan No. 2068/Pid.B/2005/PN, tanggal 20 Februari 2006. Hal menarik untuk dicermati mengenai delik korupsi adalah pengujian beberapa pasal dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimohonkan oleh Ir.Dawud Djatmiko melalui kuasanya Abdul Razak Djaelani, S.H, dkk. kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam salah satu pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006 dikatakan bahwa dengan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam melindungi hak seseorang, hubungan kata “dapat” dengan “merugikan keuangan negara” tergambarkan dalam 2 (dua) hubungan yang ekstrem: (1) nyata-nyata merugikan negara atau (2) kemungkinan dapat menimbulkan kerugian. Hal yang terakhir ini lebih dekat dengan maksud mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formal. Putusannya mengatakan bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak

(21)

tersebut didasarkan kepada pemahaman yang berasal dari modal bank yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Secara perdata, jika dicermati makna yuridis dari “kekayaan negara yang dipisahkan”, berarti bahwa negara seharusnya tidak dibenarkan mencampuri pengelolaan korporasi yang dilakukan oleh pengurus bank pemerintah tersebut. Apabila terjadi kelalaian yang dilakukan pengurus dan mengakibatkan kerugian bagi bank yang bersangkutan, maka pertanggungjawaban dapat dimintakan secara perdata bukan pidana kecuali Rapat Umum Pemegang Saham menentukan lain. Berbeda jika frase tersebut berbunyi “kekayaan negara yang disisihkan”.64 Dalam hal ini, negara masih diperkenankan untuk

melakukan campur tangan terhadap pengelolaan korporasi dari usaha bank, dan aturan tentang tindak pidana korupsi dapat diterapkan.

Dari pandangan hukum perdata, ketika negara memisahkan modalnya untuk dikelola oleh pengurus bank, maka pertanggungjawaban secara yuridis beralih kepada korporasi. Dalam hukum korporasi, kepengurusan BUMN dilakukan oleh direksi yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan tersebut untuk kepentingan dan tujuan BUMN. Dalam melaksanakan tugas tersebut, direksi berpegang kepada prinsip Good

Corporate Governance. Tugas direksi diawasi oleh komisaris. Jika direksi

melakukan kesalahan baik karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) maupun karena wanprestasi yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan atau pihak ketiga, maka direksi akan mempertanggungjawabkan perbuatan hukumnya secara perdata dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Masalah internal dalam perusahaan tidak dapat diintervensi oleh pihak eksternal (pihak kepolisian dan kejaksaan), kecuali hasil keputusan RUPS menghendaki hal tersebut. Kepada pemegang saham minoritas yang dirugikan dapat mempergunakan haknya untuk

Pidana Korupsi sepanjang frase yang berbunyi “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal maupun dalam arti material, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana “bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa konsep melawan hukum material yang merujuk kepada kepatutan, kehati-hatian, dan kecermatan sebagai suatu norma keadilan merupakan ukuran yang tidak pasti, sehingga tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Persoalan hukum akan muncul jika putusan Mahkamah Agung yang memeriksa perkara korupsi berpendirian lain mengenai penerapan Pasal 2 tersebut.

64 Frase hukum ini digunakan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 yang berbunyi “bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak dan benda-benda, baik yang dimiliki oleh negara maupun swasta nasional atau swasta asing yang berdomisili di Indonesia, yang disisihkan atau disediakan (kursif: penulis) guna menjalankan sesuatu usaha sepanjang modal tersebut tidak diatur oleh ketentuan-ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing”.

(22)

menuntut secara perdata ke Pengadilan Negeri.65 Pelaporan atas perbuatan

pidana yang dilakukan direksi atau komisaris dapat diajukan secara pribadi kepada aparat penegak hukum.66

Hubungan Hukum antara Bank dengan Nasabah Penyimpan

Dalam arti sederhana, setiap orang yang menyimpan uangnya di bank disebut nasabah penyimpan. Dalam arti yuridis, nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.67 Yang

dimaksud dengan simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.68

Sebelumnya telah dikatakan bahwa perjanjian bank dengan nasabah penyimpan disebut perjanjian simpanan. Dalam hukum perdata, figur perjanjian simpanan akan menjadi persoalan hukum tersendiri karena tidak terdapat kejelasan mengenai pengaturan dan identitas hukumnya.

Jika dicermati obyek perjanjian simpanan berupa giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, maka tidak ditemukan baik dalam KUH Perdata maupun dalam KUH Dagang. Namun sebagai perjanjian, terdapat ketentuan umum dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang berbunyi “Semua persetujuan, baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu”.69

Sebelum menentukan termasuk ke dalam jenis perjanjian apakah perjanjian simpanan itu, dapat dikemukakan beberapa pasal yang ada hubungannya dengan perjanjian simpanan. Misalnya perjanjian penitipan (bewaargeving). Dalam Pasal 1694 KUH Perdata dikatakan bahwa “Penitipan adalah terjadi, apabila seorang menerima sesuatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujudnya

65 Lihat Pasal 85 dan Pasal 98 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995. 66 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

67 Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 68 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

69 Dalam bahasa Belanda pasal tersebut berbunyi “Alle overeenkomsten, het zij dezelve

eene eigene benaming hebben, het dij dezelve onder gene bijzondere benaming bekend zijn, zijn onderworpen aan algemeene regelen, welke het onderwerp van dezen en van den vorige title uitmaken”.

(23)

asal”.70 Dari segi sifatnya, perjanjian penitipan adalah bersifat riil. Sifat ini

terdapat juga pada perjanjian simpanan, seperti deposito atau tabungan. Namun terdapat perbedaan di antara keduanya yaitu pada perjanjian penitipan, barang yang dititipkan akan disimpan dan dikembalikan seperti wujud semula serta tidak dibebani bunga. Tidak demikian dalam perjanjian simpanan, pihak bank menetapkan persyaratan umum tertentu dalam rekening deposito atau rekening tabungan antara lain pihak penerima simpanan (bank) dapat mempergunakan uang si penyimpan dan dalam waktu tertentu bank akan memberikan bunga. Selain itu, Undang-Undang Perbankan secara tegas membedakan antara simpanan dan penitipan. Yang dimaksud dengan penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak antara bank umum dengan penitip, dengan ketentuan bank umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut.71 Perjanjian penitipan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan

juga tidak memberikan ketegasan apakah tunduk pada aturan KUH Perdata, namun dalam praktiknya selalu mempergunakan KUH Perdata.72 Menurut R.

Subekti, perjanjian simpanan (deposito) pada hakikatnya adalah suatu perjanjian pinjam uang dengan bunga.73

Ketentuan lain yang dapat dijadikan dasar hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan adalah Perjanjian Pemberian Kuasa (Lastgeving). Dalam Pasal 1792 KUH Perdata dikatakan bahwa “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seseorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.74 Apakah dapat dikatakan bahwa nasabah penyimpan

memberikan kuasa kepada bank ketika menandatangani rekening deposito atau rekening tabungan atau rekening koran. Staub yang disitir oleh G. de Grooth mengatakan bahwa perjanjian rekening koran adalah novasi75,

sedangkan Mariam Darus berkesimpulan bahwa secara expressis verbis,

70 Dalam bahasa Belanda pasal tersebut berbunyi “Bewaargeving heeft plaats, wanneer

men het goed van een ander aannement, onder der voorwaarde van het zelve te bewaren en innatura terug te geven”.

71 Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 72 Lebih lanjut baca Remy Sjahdeini, op. cit., h. 132 – 134. 73 Subekti, op. cit., h. 112.

74 Dalam bahasa Belanda pasal tersebut berbunyi “Lastgeving is eene overeenkomst,

waarbij iemand aan eenen anderen de magt geeft, en deze aanneemt, om eene zaak voor den lastgever, in dezelfs naam, te verrigten”.

75 Novatie diterjemahkan pembaharuan utang. Dalam Pasal 1413 s.d. 1424 KUH Perdata tidak ditemukan pengertian novasi. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa novasi adalah pergantian perikatan lama dengan perikatan baru. Dalam Pasal 1413 dapat diketahui adanya 2 (dua) jenis novasi yaitu novasi obyektif dan novasi subyektif. Staub tidak menentukan lebih lanjut, apakah perjanjian rekening koran termasuk dalam novasi obyektif atau subyektif.

(24)

perjanjian rekening koran di dalam Undang-Undang Perbankan merupakan perjanjian pemberian kuasa.76

Menurut penulis, perjanjian simpanan tidak identik dengan perjanjian penitipan dan juga tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian pemberian kuasa. Perjanjian simpanan memiliki identitas sebagai perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst, innominaat conracten)77 dengan

ciri-ciri sebagai berikut: pertama, perjanjian simpanan bersifat riil, artinya lahirnya perjanjian tidak cukup diperlukan kesepakatan saja tetapi nasabah penyimpan harus menyerahkan uang kepada bank untuk disimpan; kedua, uang yang telah diserahkan menjadi milik bank dan penggunaannya menjadi wewenang penuh dari bank; ketiga, hubungan hukumnya adalah bank berkedudukan sebagai debitor dan nasabah penyimpan berkedudukan sebagai kreditor; keempat, bank bukanlah sebagai peminjam uang dari nasabah penyimpan; kelima, nasabah penyimpan bukan sebagai penitip uang pada bank; keenam, bank akan mengembalikan simpanan nasabah dengan kontraprestasi berupa pemberian bunga.

Hukum Jaminan dalam Perjanjian Kredit Bank dan Perjanjian Simpanan

Pentingnya jaminan dalam perjanjian kredit bank adalah sebagai salah satu sarana perlindungan hukum bagi keamanan bank dalam mengatasi risiko, yaitu agar terdapat suatu kepastian bahwa nasabah debitor akan melunasi pinjamannya. Dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, bank melakukan penilaian atas jaminan (collateral)78 sebelum memberikan

kredit kepada nasabah debitor dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian. 79 Ada 2 (dua) masalah hukum yang harus dicermati yaitu, pertama,

bagaimana kalau nasabah debitor tidak memberikan jaminan yang cukup;

76 Lihat Mariam Darus Badrulzaman, op. cit., h. 51.

77 Legal reasoning untuk perjanjian tidak bernama tercantum dalam Pasal 1319 KUH Perdata.

78 Collateral is the proverty subject to a security interest, and includes accounts and

chattel paper which have been sold. Lihat Steven Emanuel, Secured Transaction, Larchmont

NY: Harvard Law School, 1976, h. 5.

79 Di Australia, ada 3 (tiga) prinsip dasar dalam peminjaman uang di bank yaitu prinsip pengamanan (safety), prinsip keserasian (suitability), dan prinsip keuntungan (profitability). Lihat W.S.Weerasooria, Banking Law and Financial System in Australia, Australia: Butterworths, 1993, h. 554.

(25)

kedua, bagaimana pula kalau bank kurang hati-hati mengucurkan kreditnya

sehingga mengakibatkan kerugian. Di Amerika, terhadap persoalan pertama, perbuatan hukum dari nasabah debitor dapat dikategorikan sebagai penipuan.80 Untuk persoalan kedua, perbuatan hukum yang

dilakukan bank telah melanggar kepatutan dan jantungnya hukum perbankan sehingga dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Kerangka hukum jaminan dalam KUH Perdata diatur dalam Buku II (Hukum Benda), Bab ke-19, Bagian Kesatu, Pasal 1131 yang berbunyi “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Selanjutnya Pasal 1132 berbunyi “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.81

Dalam Pasal 1131 KUH Perdata terjemahan R. Subekti dan Tjitrosudibio tersebut di atas, kata “tanggungan” adalah terjemahan dari “aansprakelijk”. Sebenarnya yang lebih tepat dipakai bukan tanggungan melainkan tanggung jawab atau tanggung gugat,82 Demikian juga kata “waarborg”

seharusnya diterjemahkan sebagai penjamin atau penanggung bukan jaminan. 83 Adakalanya kata “borg”84 dapat diartikan sebagai agunan yang

sama maknanya dengan jaminan.85 Jadi “borg” tidak sama maknanya

dengan “waarborg”.

80 Putusan Pengadilan dalam FDIC v. W.R. Grace Co., 877. Fed 2d 614 (7th Cir. 1989) menyatakan bahwa debitor dinyatakan telah melakukan kecurangan (fraud) karena tidak memberitahukan kepada kreditor bahwa jaminan yang diberikannya tidak cukup. Lihat Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, h. 6.

81Dalam bahasa Belanda Pasal 1131 tersebut berbunyi “Alle de roerende en

onroerende goederen van den schuldenaar, zoo wel tegenwoordige als toekomstige, zijn voor deszelfs persoonlijke verbintenissen aansprakelijke”. Pasal 1132 berbunyi “Die goedern strekken tot gemeenschappelijken waarborg voor zijne schuldeischers; delzelver opbrengst wordt onder hen, pondspondsgelijk, naar evenredigheid van eens eiders inschuld, verdeeld, ten ware er tusschen de schuldeischers wettige redenen van voorrang mogten bestaan”.

82 Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999), h. 6.

83 Ibid., h. 524. 84 Ibid., h. 69.

85 Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, h. 11 dan 348. Istilah “jaminan” dijumpai dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 yang diartikan harus bersifat kebendaan (zakelijk), yang mempunyai akibat kebendaan yang dinamakan hak preferensi (droit de

Referensi

Dokumen terkait

dengan baik dan benar termasuk pada kategori baik dengan skor 4, (c) kemampuan siswa dalam menguraikan kalimat menjadi kata, kata menjadi suku kata, suku kata

Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dnegan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang

tersebut merupakan suatu sistem nilai yang baru ( value system ). Sebagai suatu value system yang baru memerlukan suatu proses perwujudannya antara lain melalui proses

Wajib bagi wanita/ istri untuk taat kepada suaminya dalam perkara yang ia perintahkan dalam batasan kemampuannya, karena hal ini termasuk keutamaan yang Allah berikan kepada kaum

Data yang dianalisis menggunaan model regresi Linear berganda yaitu suatu analisis untuk mengetahui masing-masing variable bebas (X) yang terdiri dari variable Jumlah Wajib Pajak,

Dalam model adaptasi keperawatan, manusia dijelaskan sebagai suatu sistem yang hidup, terbuka dan adaptif yang dapat mengalami kekuatan dan zat dengan

Penulis mengucapkan puji syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Kerangka Penerapan Hasil Analisis Pengaruh Kompensasi, Iklim Kerja, dan Karakteristik Pekerjaan terhadap Kepuasan Kerja Karyawan pada