• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nyamuk Aedes Aegypti

Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. Selain dengue, Ae aegypti juga merupakan pembawa virus demam kuning (yellow fever) dan chikungunya. Penyebaran jenis ini sangat luas, meliputi hampir semua daerah tropis di seluruh dunia. Aedes aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk memproduksi telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan. Jenis ini menyenangi area yang gelap dan benda-benda berwarna hitam atau merah.

Adapun klasifikasi nyamuk Aedes adalah sebagai berikut: Kerajaan : Animalia

Filum : Arthropoda Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Familia : Culicidae Sub familia : Culicinae

Genus : Aedes

Species : Ae. aegypti 20

1. Morfologi

a. Aedes Aegypti dewasa

Nyamuk Ae. aegypti Secara visual memperlihatkan pola sisik yang bersambungan di sepanjang penyebarannya mulai dari bentuk yang paling pucat sampai bentuk paling gelap, yang terkait dengan perbedaan perilakunya. Hal ini

(2)

menjadi dasar yang penting dalam memahami bionomi nyamuk setempat sebagai landasan dalam pengendaliannya.15

Ae. aegypti bentuk domestik lebih pucat dan hitam kecoklatan. Distribusi spesies ini terutama di daerah pantai Afrika dan tersebar luas di daerah Asia selatan dan daerah beriklim panas, termasuk Amerika Serikat bagian selatan. Di Afrika spesies ini menjadi tidak tergantung pada hujan, berkembang pada tandon air buatan tanpa terpengaruh musim.16

Nyamuk Ae. aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan sub tropis yang banyak ditemui di bagian bumi 350 LU dan 350 LS. 7 Nyamuk Ae. aegypti dewasa berukuran lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan, kaki dan sayapnya. Nyamuk Ae. aegypti seperti juga nyamuk lainnya mengalami metamorfosis sempurna.15

Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Ae aegypti 13

Morfologi nyamuk dewasa Ae. aegypti hampir mirip dengan nyamuk Ae. albopictus. Perbedaan morfologis antara kedua jenis nyamuk yang memang sepintas lalu sama ini, memang hanya akan terlihat jelas ketika diamati dengan kaca pembesar (loupe) atau mikroskop. Yang membedakan antara nyamuk Ae. aegypti dengan nyamuk lain terutama Ae. albopictus adalah pada nyamuk Ae. aegypti terdapat garis putih keperakan yang tajam di bagian punggungnya (dorsal toraks) dan garis putih keperakan lainnya yang berbentuk kecapi di kepalanya, sedangkan nyamuk Ae. albopictus merupakan jenis nyamuk Aedes yang paling sering ditemui di negara-negara asia tenggara. 16

Aedes aegypti dewasa memiliki pola bentuk toraks yang jelas dengan warna hitam, putih, keperakan atau kuning. Pada kaki terdapatcincin hitam dan putih. Ae. aegypti memiliki ciri khas warna putih keperakan berbentuk lira (lengkung) pada

(3)

kedua sisi skutum (punggung). Susunan vena sayap sempit dan hampir seluruhnya hitam, kecuali bagian pangkal sayap. Seluruh segemen abdomen berwarna belang hitam putih,membentuk pola tertentu, dan pada betina ujung abdomen membentuk titik(meruncing).17

b. Telur

Telur Ae. aegypti berwarna hitam, berbentuk ovoid yang meruncing dan selalu diletakkan satu per satu. Percobaan yang hati-hati menunjukkan bahwa cangkang telur memiliki pola mosaik tertentu. Telur diletakkan pada sesuatu di atas garis air, pada dinding tempat air seperti gentong, lubang batu dan lubang pohon.17 Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ± 2 hari setelah telur terendam air. Telur di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu -20C sampai 420C. Dan bila tempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat.16

c. Larva

Larva Ae. aegypti memiliki sifon yang pendek, dan hanya ada sepasang sisir subventral yang jaraknya tidak lebih dari ¼ bagian dari pangkal sifon. Ciri-ciri tambahan yang membedakan larva Ae. aegypti dengan genus lain adalah sekurang-kurangnya ada tiga pasang setae pada sirip ventral, antenna tidak melekat penuh dan tidak ada setae yang besar pada toraks. Ciri ini dapat membedakan larva Ae. aegypti dari kebanyakan genus culicine, kecuali Haemagogus dari Amerika selatan.Larva bergerak aktif, mengambil oksigen dari permukaan air dan makanan pada dasar tempat perindukan (bottom feeder). 17 Larva memerlukan empat tahap perkembangan yang disebut instar. Jangka waktu perkembangan larva tergantung pada suhu, ketersediaan makanan, dan kepadatan jentik dalam kontainer. Sedangkan pada suhu rendah, dibutuhkan beberapa minggu. Habitat larva yang alami jarang ditemukan, tetapi sering ditemukan pada lubang pohon, ketiak daun dan tempurung kelapa.30 Stadium larva biasanya berlangsung 6-8 hari kemudian larva berubah menjadi pupa.16

(4)

Gambar 2.2 Larva Aedes aegypti 13

d. Pupa

Stadium pupa merupakan fase akhir siklus nyamuk dalam lingkungan air. Stadium ini membutuhkan waktu sekitar 2-4 hari pada suhu optimum atau lebih panjang pada suhu rendah. Fase ini adalah periode waktu tidak makan dan sedikit gerak. Pupa biasanya mengapung pada permukaan air disudut atau tepi tempat perindukan.16 Setelah itu pupa tumbuh menjadi nyamuk dewasa jantan atau betina. Biasanya nyamuk jantan muncul / keluar lebih dahulu, walaupun pada akhirnya perbandingan jantan – betina (sex ratio) yang keluar dari kelompok telur yang sama, yaitu 1 : 1.15

2. Siklus Hidup

Nyamuk genus Ae. aegypti, memiliki siklus hidup sempurna (holometabola). Siklus hidup terdiri dari empat stadium, yaitu telur – larva – pupa – dewasa. Stadium telur hingga pupa berada di lingkungan air, sedangkan stadium dewasa berada di lingkungan udara. Dalam kondisi lingkungan yang optimum, seluruh siklus hidup ditempuh dalam waktu sekitar 7 – 9 hari, dengan perincian 1 – 2 hari stadium telur, 3 - 4 hari stadium larva, 2 hari stadium pupa. Dalam kondisi temperatur yang rendah siklus hidup menjadi lebih panjang.18,19 Siklus gonotropik dimulai sejak menghisap darah untuk perkembangan telur hingga meletakkan telur di tempat perindukan.18 Siklus hidup Aedes dari telur hingga dewasa dapat berlangsung cepat, kirakira 7 hari, tetapi pada umumnya 10 – 12 hari; di daerah beriklim sedang, siklus hidup dapat mencapai beberapa minggu atau bulan. 17,20,21

(5)

Gambar 2.3 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti 15

Tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti yang utama adalah tempat-tempat penampungan air di dalam atau sekitar rumah atau di tempat-tempat umum yang biasanya tidak melebihi jarak 500 m dari rumah. Tempat perindukan nyamuk ini berupa genangan air yang tertampung disuatu tempat atau wadah, nyamuk ini tidak dapat berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah. Tempat perindukan nyamuk ini biasanya terlindung dari pancaran langsung sinar matahari dan mengandung air bersih dengan pengertian clear water bukan clean water.16

Telur dapat bertahan beberapa bulan dan menetas bila tergenang air. Semua spesies yang berada di daerah dingin mempertahan hidup pada periode ini dalam stadium telur. Ae. aegypti khususnya, berkembang biak pada lingkungan domestik. Habitat yang disukai adalah tempat penampungan air di dalam dan di luar rumah, talang, ketiak daun, pangkal potongan bambu, serta tandon temporer seperti gentong, drum, ban bekas, kaleng bekas, botol, dan pot tanaman. Semua habitat ini mengandung air yang relatif bersih.(17,22,23) Pada beberapa daerah, Ae. aegypti juga berkembang biak pada lubang batu dan lubang pohon. 17

Nyamuk Ae. aegypti berkembang biak pada kontainer temporer tetapi lebih suka pada kontainer alamiah di hutan-hutan, seperti lubang pohon, ketiak daun, lubang batu dan batok kelapa, serta berkembang biak lebih sering di luar rumah di kebun dan jarang ditemukan di dalam rumah pada kontainer buatan seperti gentong dan ban mobil.17,22 Spesies ini memiliki telur yang dapat bertahan pada kondisi kering tetapi tetap hidup. Telur-telur diletakkan pada ban-ban mobil di daerah Asia dan terbawa ke berbagai daerah melalui aktifitas ekspor- impor. 17

Nyamuk Ae. aegypti betina menghisap darah untuk mematangkan telurnya.20 Waktu mencari makan (menghisap darah) adalah pada pagi atau petang hari.17 Kebanyakan spesies menggigit dan beristirahat di luar rumah tetapi di kota-kota daerah tropis, Ae. aegypti berkembang biak, menghisap darah dan beristirahat di dalam dan sekitar rumah.22

(6)

Ada pula yang menemukan Aedes menghisap darah di dalam rumah dan beristirahat sebelum dan sesudah makan di luar rumah.17

3. Distribusi

Nyamuk Ae aegypti tersebar luas di wilayah tropis dan subtropis Asia Tenggara, terutama di perkotaan. Penyebarannya ke daerah pedesaan dikaitkan dengan pembangunan sistem persediaan air bersih dan perbaikan sarana transportasi. Ae. aegypti merupakan vektor perkotaan dan populasinya secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan kebiasaan penyimpanan air. Negara-negara dengan curah hujan lebih dari 200 cm per tahun, populasi Ae. aegypti lebih stabil, dan ditemukan di daerah perkotaan, pinggiran kota, dan pedesaan. Kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia, Myanmar, dan Thailand, menyebabkan kepadatan nyamuk lebih tinggi di pinggiran kota daripada di perkotaan. Urbanisasi juga meningkatkan jumlah habitat yang sesuai untuk Ae. aegypti. Kota-kota yang banyak ditumbuhi tanaman, baik Ae. aegypti maupun Ae. albopictus ditemukan.20

Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 m, maksimal 100 m. Namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan nyamuk ini dapat berpindah lebih jauh lagi.16 Penyebaran nyamuk Ae. aegypti dewasa dipengaruhi oleh sejumlah faktor termasuk keberadaan tempat berkembangbiak dan kebutuhan akan darah sebagai makanannya, tetapi biasanya radius penyebaran nyamuk Ae. aegypti tidak melebihi jarak 100 m dari tempat perindukannya.35

Ae. aegypti dapat ditemukan pada ketinggian antara 0 – 1000 m di atas permukaan laut. Ketinggian yang rendah (< 500 m) memiliki tingikat kepadatan populasi yang sedang sampai berat, sedangkan di daerah pegunungan (>500m) kepadatan populasi rendah. Batas ketinggian penyebaran Ae. aegypti di kawasan Asia Tenggara berkisar 1000 – 1500 m, sedangkan di Kolombia mencapai 2200 m di atas permukaan laut.20

4. Ekologi dan Bionomi

Nyamuk betina meletakkan telurnya pada beberapa sarang dalam satu kali siklus gonotropik.19 Siklus gonotropik adalah siklus reproduksi dari menghisap darah, mencerna darah, pematangan telur dan perilaku bertelur. Biasanya nyamuk betina mencari darah

(7)

pada siang hari jarang sekali pada malam hari, aktifitas menghisap darah biasanya mulai pagi sampai petang hari, dengan puncak aktifitas menggigit antara pukul 09.00 – 10.00 dan 16.00-17.00. Tidak seperti nyamuk lain, nyamuk Ae. aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah beberapa orang secara bergantian dalam waktu yang singkat (mutiple biter), sehingga nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit DBD.16 Nyamuk Ae. aegypti betina menyukai darah manusia daripada darah binatang atau bersifat antropofilix, darah diperlukan proteinnya untuk mematangkan telur agar jika dibuahi oleh sperma nyamuk jantan dapat menetas. Nyamuk Ae. aegypti jantan menghisap cairan tumbuhan manusia atau sari bunga sebagai makanannya.25

Nyamuk betina parous (kenyang darah) yang telah melengkapi satu atau lebih siklus gonotropik dan memiliki peluang lebih besar terinfeksi parasit daripada nyamuk betina yang baru pertama kali menghisap darah (nulliparous).20 Darah yang dihisap, seberapa pun banyaknya, menimbulkan kematangan telur. Nyamuk menghisap mulai menunjukkan suatu penurunan aktifitas pencarian host dalam 30 jam, maksimum 48 – 72 jam. Mekanisme ini melibatkan sel-sel neurosekretori dari otak, ovarium, lemak tubuh, dan substansi kelenjar aksesori jantan yang telah dipindahkan ke betina yang dikawini. Dalam 8 – 12 jam setelah pencernaan darah, ovarium Ae. aegypti menghasilkan suatu faktor yang menimbulkan aktivasi lemak tubuh dan melepaskan neuropeptida, Aedes Head Peptide I, dari sel neurosekretori otak dan ganglia abdominalis. Betina gravid kurang merespon atraktan bila reseptor sensori mereka gagal untuk mengenalinya. Setelah bertelur, pencarian host dimulai kembali bilamana sinyal sistem saraf dari ovarium memberi tanda bahwa ovarium tidak lagi berisi telur.25

Hasil mekanisme ini adalah gambaran siklus gonotropik spesies, kombinasi dari menghisap darah dan perkembangan telur. Hal ini diasumsikan bahwa selama siklus gonotropik, nyamuk hanya sekali menghisap darah pada awal siklus. Siklus gonotropik, walaupun merupakan gambaran kasar, tetapi menjadi alat yang sangat berguna untuk memperkirakan frekuensi menghisap darah dari populasi vektor; gradasi umur individu dengan melihat dilatasi ovariola yang terjadi setelah telur keluar dari ovarium, dapat untuk menentukan jumlah siklus individu yang telah terjadi. Masalah yang terjadi dalam konsep ini adalah bahwa banyak model matematik dari penyakitpenyakit tular vektor secara keliru mengasumsikan bahwa hanya satu peristiwa menghisap darah terjadi dalam

(8)

setiap siklus gonotropik. Kenyataannya sering dilaporkan terjadi berkali-kali menghisap darah dalam satu siklus dan penularan patogen dalam berkali-kali gigitan dan menghisap darah juga telah didemonstrasikan. Menghisap darah berkali-kali dapat secara signifikan meningkatkan potensi vektor dari suatu populasi dengan meningkatkan peluang untuk memperoleh dan menularkan parasit. Salahsatu faktor adalah perilaku pertahanan host, yang mengganggu nyamuk menghisap darah dan membatasi jumlah darah yang dihisap.25

Setelah telur dikeluarkan terjadi perkembangan embrio. Dalam keadaan hangat dan lembab perkembangan embrio berakhir dalam 48 jam dan telur siap mengalami kekeringan dalam waktu yang lama. Sebagian besar telur akan menetas bila terkena genangan air. Kemampuan telur bertahan dalam kekeringan membantu mempertahankan kelangsungan spesies dalam kondisi iklim buruk.20

Perkembangan larva setelah keluar dari telur ada empat tahap. Lama perkembangan tiap-tiap tahap dipengaruhi tergantung pada suhu, makanan, dan kepadatan larva di tempat perindukan. Pada kondisi optimum, waktu sejak penetasan hingga menjadi nyamuk dewasa berlangsung sekitar 7 hari, termasuk 2 hari untuk masa pupa. Dalam temperatur yang rendah proses ini menjadi lebih panjang (beberapa minggu). Sarang telur Ae aegypti paling banyak ditemukan di negara-negara Asia Tenggara adalah pada tandon air rumah tangga buatan manusia. Jenisnya beragam mencakup semua wadah yang ada di sekitar perkotaan (rumah tangga, lokasi pembangunan, pabrik) seperti kendi air, pot bunga, vas bunga, bak mandi semen, ban, kaleng, ember, cangkir plastik, aki bekas, pipa pembuangan, dan perangkap semut. Habitat alamiah jarang ditemukan, tetapi dapat mencakup lubang pohon, pangkal daun, dan tempurung kelapa. Daerah yang panas dan kering, tanki air di atas dan di bawah tanah, serta septic tank bisa menjadi habitat utama larva. Daerah yang kekurangan air, penyimpanan air untuk kebutuhan rumah tangga menambah jumlah habitat larva. Nyamuk Ae. aegypti dewasa kawin segera setelah keluar dari pupa, dan nyamuk betina akan menghisap darah dalam 24 – 36 jam.20 Pada spesies Ae. aegypti dan Ae. albopictus, nyamuk jantan terbang membentuk tanda pengenal. Bila nyamuk betina memasuki tanda tersebut, nyamuk jantan mengenali frekuensi getaran sayap nyamuk betina dan posisinya melalui antena pulmose. Getaran sayap nyamuk betina berkisar antara 150 – 600 Hz, tergantung temperatur dan ukuran sayap, atau 100 – 250 Hz lebih rendah daripada suara sayap nyamuk jantan. Nyamuk jantan mendekati

(9)

betina dan kawin. Perilaku kawin berkisar 12 detik hingga beberapa menit di udara atau pada tumbuh - tumbuhan.19

Nyamuk Ae. aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup hanya 8 hari.26 Namun umur nyamuk betina di alam dapat mencapai 2-3 bulan.16 Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih panjang, resiko penyebaran virus juga semakin besar.26 Nyamuk betina mendapatkan virus saat menghisap darah viremia 1 – 2 hari sebelum awitan sakit dan hingga 5 hari demam. Selanjutnya, virus mengalami masa inkubasi ekstrinsik selama 10 – 12 hari (7 – 12 hari), virus akan bergerak ke seluruh tubuh, termasuk kelenjar ludah nyamuk. Masa inkubasi ini lebih pendek pada temperatur yang tinggi. Nyamuk infeksius ini siap menyuntikkan virus bersama ludah pada saat menghisap darah. 7

Nyamuk dewasa jantan dan betina pada kebanyakan spesies secara teratur menghisap gula pada tumbuhan sepanjang hidupnya, tetapi hanya nyamuk betina yang menghisap darah vertebrata. Kebutuhan air diperoleh dari permukaan benda yang lembab seperti menghisap gula dan darah. Penelitian lapangan menunjukkan bahwa beberapa spesies terbang dipandu dalam penglihatan dengan gambaran visual spesifik secara mendatar atau mengikuti gambaran pohon yang berdiri. Bila mendeteksi sumber gula atau darah, nyamuk terbang mendekati tempat tersebut. Sumber zat gula atau darah diketahui melalui bau/aroma yang dikeluarkan.27

Setelah telur menetas nyamuk segera menghisap zat gula. Nyamuk betina biasanya mulai mengenali stimulus dari host. Zat gula diperlukan jantan dan betina sepanjang hidupnya, termasuk antara dan selama siklus gonotropik. Nyamuk betina mengenali host vertebrata dalam 1 – 3 hari. Host vertebrata termasuk mamalia, burung, reptil, amfibia, dan ikan-amfibia. Perilaku mengenali host melalui penggunaan aroma kimia yang dikeluarkan host vertebrata. Carbon dioksida, asam laktat, dan octenol merupakan atraktan yang dikenali dengan sangat baik. Sekresi kulit lain juga hal penting karena aroma dari host hidup selalu lebih memiliki dayatarik daripada kombinasi dari bahan-bahan kimia tersebut dalam keadaan panas dan lembab. Asam lemak yang dihasilkan dari flora normal kulit merupakan atraktan yang efektif. Aroma ini efektif sampai jarak 7 – 30 meter, tetapi dapat mencapai 60 meter untuk beberapa spesies.26 Pandangan juga penting dalam mengenali host, khususnya pada spesies yang aktif pada siang hari, pada

(10)

lingkungan terbuka, dan pada jarak sedang atau dekat. Benda yang gelap, kontras atau bergerak, juga menarik perhatian. Nyamuk betina mendekati host potensial pada jarak 1 – 2 meter. Petanda kimia dan visual masih merupakan hal yang penting, tetapi pancaran panas dan kelembaban di sekitar tubuh host juga berperan. Aroma tubuh, CO2, panas, dan kelembaban dikenali dengan sensilia pada antena dan palpus. Jika stimulus dari host dapat diterima dengan baik, nyamuk betina mendekat dan hinggap pada tubuh host, khususnya kepala atau kaki. Saat hinggap, nyamuk betina melakukan 4 fase perilaku, yaitu eksplorasi, penetrasi dan pencarian pembuluh darah, menghisap, dan melepaskan. Beberapa detik setelah hinggap nyamuk diam, lalu mulai gerakan eksplorasi pada permukaan kulit dengan belalainya. Jika host tidak cocok dalam beberapa saat nyamuk tidak jadi menghisap darah dan terbang. Bila host cocok, nyamuk menentukan titik yang mudah dilubangi, dengan bantuan panas, kelembaban dan faktor kimia kulit. Nyamuk dapat menghisap darah dari berbagai permukaan kulit, termasuk kulit katak yang lembab dan kulit reptil yang keras, dan burung. Setelah lubang dibuat, ludah mengalir dari ujung hipofaring, mengandung antihemostatik yaitu enzym apyrase.26

B. Metode pengendalian vector

Pengendalian adalah suatu usaha untuk mengekang suatu hal dengan pengaturan sumber daya, agar tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan cara membandingkan antara usaha dengan suatu standar tertentu yang telah ditetapkan. Tujuan pengendalian vektor adalah menurunkan kepadatan vektor pada tingkat yang tidak membahayakan kesehatan.

Ada beberapa prinsip yang tepat dalam usaha mencegah DBD yaitu:

a. Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus DBD

b. Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremi sembuh secara spontan.

c. Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran, yaitu sekolah dan rumah sakit, termasuk pula daerah penyangga di sekitarnya.

(11)

Cara pengendalian DBD yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan memberantas nyamuk penularnya, karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi belum ada. Pada dasarnya pengendalian vektor DBD dapat dilakukan dengan 4 cara

1. Pengendalian lingkungan

Pengendalian lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan, sehingga tidak kondusif sebagai habitat perkembangbiakan nyamuk seperti menguras, menutup dan mengubur serta diikuti dengan memelihara ikan predator dan menabur larvasida, disamping melakukan penghambatan dalam pertumbuhan vector seperti menjaga kebersihan lingkungan rumah serta mengurangi tempat-tempat yang gelap dan lembab di lingkungan tempat tinggal.

Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana prasaranan penyediaan air, vegetasi dan musim sangat berpengaruh pada tersedianya habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes sebagai nyamuk pemukiman yang mempunyai habitat utama di container buatan di daerah lingkungan pemukiman. 28

2. Pengendalian secara biologis.

Pengendalian vector secara biologi dilakukan dengan menggunakan agent biologi seperti : predator/ pemangsa, parasite dan bakteri. Jenis predator yang digunakan yaitu ikan pemakan jentik seperti Bacillus Thuringensis (BTI) digunakan sebagai pembunuh jentik nyamuk atau larvasida yang tidak mengganggu lingkungan. BTI mempunyai keunggulan yaitu dapat menghancurkan jentik nyamuk tanpa menyerang predator. Formula BTI cenderung cepat mengendap didasar wadah, karena itu dianjurkan pemakaiannya berulangkali.28

3. Pengendalian secara kimia.

Pengendalian vector dengan cara kimia yaitu dengan menggunakan insektisida. Sasaran insektisida berupa stadium dewasa maupun stadium pra dewasa. Insektisida merupakan racun yang bersifat toksik, oleh sebab itu penggunaannya harus mempertimbangkan dampak lingkungan dan organisme yang bukan sasaran termasuk mamalia. Di dalam pelaksanaannya penentuan jenis insektisida, dosis dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vector. Aplikasi insektisida yang berulang di satuan ekosistim akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga sasaran. Variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat

(12)

resistensi nyamuk terhadap suatu pestisida. Variabel-variabel tersebut antara lain konsentrasi pestisida, frekuensi penyemprotan dan luas penyemprotan. Fenomena resistensi itu, dapat dijelaskan dengan teori evolusi yaitu ketika suatu lokasi dilakukan penyemprotan pestisida, nyamuk yang peka akan mati, sebaliknya yang ada tidak peka akan tetap melangsungkan hidupnya.35

Penggunaan bahan kimia untuk pengendalian vector harus mempertimbangkan kerentanan terhadap pestisida yang digunakan, bias diterima masyarakat, aman terhadap manusia dan organisme lainnya, stabilitas dan aktivitas pestisida, dan keahlian petugas dalam penggunaan pestisida. Misalnya :

a. Larvasida (Abatisasi)

Pemberantasan jentik dengan bahan kimia kita kenal dengan istilah abatisasi. Larvasida yang digunakan adalah temephos. Formulasi temephos (abate 1%) yang digunakan yaitu granula (sand granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gram temephos (kurang dari 1 sendok makan rata) untuk 100 liter air. Abatisasi dengan temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan, khususnya didalam gentong tanah liat dengan pola pemakaian normal. Abate SG 1 % diketahui sebagai larvasidasi WHO untuk dipergunakan sebagai pembunuh jentik nyamuk yang hidup pada persediaan air minum penduduk, sehingga kegiatannya sering disebut abatisasi. Tujuan abatisasi adalah untuk menekan kepadatan vector serendah-rendahnya secara serentak dalam jangka waktu yang lebih lama, agar transmisi virus dengue selama waktu tersebut dapat diturunkan.sedang fungsi abatisasi bias sebagai pendukung kegiatan fogging yang dilakukan secara bersama-sama, juga sebagai usaha mencegah letusan atau meningkatnya penderita DBD.40

4. Pengendalian terpadu.

Langkah ini tidak lain merupakan aplikasi dari ketiga cara yang dilakukan secara tepat/terpadu dan kerja sama lintas program maupun lintas sektoral dan peran serta masyarakat.28

C. Insektisida Organofosfat

Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik di antara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Pada penelitian ditemukan komponen yang

(13)

protein terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap manusia seperti malathion, tetapi masih sangat toksik terhadap insekta.

Pestisida yang termasuk ke dalam golongan organofosfat antara lain : Azinophosmethyl, Chloryfos, Demeton Methyl, Dichlorovos, Dimethoat, Disulfoton, Ethion, Palathion, Malathion, Parathion, Diazinon, Chlorpyrifos, Temephos.46

D. Malathion

Malathion temasuk kelompok insektisida organofosfat yang berarti berikatan irreversible dengan enzim kolinesterase pada system saraf serangga. Akibatnya, otot tubuh serangga mengalami kejang, kemudian lumpuh, dan akhirnya mati. Malathion digunakan dengan cara pengasapan (fogging). Dosis yang dipakai adalah 5% yaitu campuran antara malathion dan solar sebesar 1:19. Malathion adalah bahan teknis pestisida yang dapat diemulsikan untuk mengendalikan nyamuk di dalam dan di luar ruangan.34 Ciri khas malathion adalah mempunyai kemampuan melumpuhkan serangga dengan cepat, toksisitasnya terhadap mamalia relative rendah, dan terhadap vertebrata kurang stabil, korosif, berbau, dan memiliki rantai karbon yang pendek. Juga bekerja sebagai racun perut, sebagai racun kontak (contact poison) dan racun inhasi. Insektisida organofosfat merupakan racun yang bekerja dengan cara menghambat kolinestrase (ChE) yang mengakibatkan serangga sasaran mengalami kelumpuhan dan akhirnya mati.35

Kelebihan insektisida malathion adalah : efektif mengendalikan nyamuk Ae. aegypti, hemat, dosis yang rendah, beraroma lembut dan relatif tidak berbahaya kepada operator, memiliki toksisitas rendah terhadap mamalia, murah diaplikasikan dengan cold fogging / pengkabutan, thermal fogging / pengasapan.42

Adapaun spesifikasi Malathion adalah sebagai berikut: 1. Nama Dagang : Malathion

2. Golongan : Organofosfat

(14)

4. Kandungan bahan aktif : Malathion 95% 5. Dosis aplikasi : 50 ml/liter solar 6. No.Reg Komisi Pestisida : RL – 1246/ I - 2002/ T 7. Sifat fisik : Cairan jernih

8. Warna : Kecoklatan

9. Aplikasi : Thermal Fogging, Cold Fogging 10. Serangga sasaran : A. Aegypti, Culex sp., Anopheles sp.

E. Resistensi

Resistensi adalah kemampuan serangga (nyamuk) untuk bertahan hidup terhadap pengaruh insektisida yang biasanya mematikan. Dengan kata lain, hama mengembangkan resistensi terhadap bahan kimia melalui seleksi alam sehingga kebanyakan organisme yang bertahan hidup dan meneruskan genetik / keturunannya.42 Resistensi bawaan adalah sifat resisten yang diturunkan dari induknya yang sudah resisten, sedangkan resistensi didapat adalah kemampuan serangga untuk menyesuaikan diri terhadap pengaruh insektisida melalui berbagai mekanisme sehingga tidak mati dan dapat membentuk populasi yang resisten.

Mekanisme resitensi bawaan dibedakan atas resitensi fisiologik dan resitensi perilaku. Resistensi fisiologik bawaan terjadi karena faktor – faktor daya absorbsi serangga sangat lambat dan tidak menyebabkan kematian, kemampuan menyimpan insektisida dalam jaringan yang tidak vital, daya ekskresi sangat cepat sehingga insektisida tidak sampai mempengaruhi tubuh, ada mekanisme detoksifikasi oleh enzim sehingga serangga tidak mati. Resistensi perilaku bawaan terjadi karena faktor - faktor perubahan habitat yang kemudian dipertahankan oleh generasi berikutnya sehingga terhindar dari pengaruh insektisida dan sifat menghindar dari pengaruh insektisida yang dikenali.

Hasil telaah sistematik tentang resistensi insektisida pada nyamuk menunjukkan bahwa aspek-aspek penting dari enzim ini seperti subtra spesifik, struktur, fungsi, lokasi dan regulasinya belum terpecahkan 36

F. Resistensi Nyamuk Aedes aegypti Terhadap Insektisida

Resistensi larva dan nyamuk Ae. aegypti terjadi pada insektisida temefos dan malathion. Temefos adalah larvasida yang paling banyak digunakan untuk membunuh larva

(15)

Ae. aegypti. Penggunaan temefos sudah dipakai sejak tahun 1976. Empat tahun kemudian yakni 1980, temefos 1% (abate) ditetapkan sebagai bagian dari progam pemberantasan massal Aedes aegypti di Indonesia. Jadi bisa dikatakan, temefos sudah digunakan hampir 30 tahun. Bukan tidak mungkin penggunaan dalam waktu lama memicu resistensi. Larva Ae. aegypti dikatakan resisten apabila LC (Lethal Concentration) 99 24 jam melebihi 0,02 mg/l temefos 1%. Laporan resistensi larva Aedes aegypti terhadap temefos sudah ditemukan di beberapa negara seperti Brazil, Bolivia, Argentina, Venezuela, Kuba, French Polynesia, Karibia, dan Thailand. 35

Bertolak belakang dengan temuan di negara-negara tersebut, bahwa larva Ae. aegypti dari 5 kelurahan di Banjarmasin Utara masih rentan terhadap temefos 1%. LC99 24 jam jauh lebih rendah dari 0,02 mg/l. Namun demikian, sudah mulai terlihat adanya indikasi penurunan kerentanan larva terhadap temefos. Hal itu mengimplikasikan perlunya evaluasi berkala terhadap keefektivitasan temefos di kemudian hari. Hasil itu dimuat dalam Bioscientiae 2006. 35

Uji kerentanan Ae. aegypti terhadap malathion pada lokasi yang tidak pernah, pernah, dan sering difogging dengan konsentrasi pengujian adalah 0,04%, 1%, dan 5%. Pada konsentrasi malathion 0,04%, tingkat kematian 100% nyamuk pada lokasi yang tidak pernah dan sering terpapar malathion terjadi pada menit ke-15 dan ke-20. Selanjutnya, pada konsentrasi malathion 1%, tingkat kematian 100% pada lokasi yang tidak pernah dan pernah adalah menit ke-10 dan ke-15. Dari kedua konsentrasi itu, statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna tingkat kematian 100% antara ketiga lokasi sampel nyamuk tersebut (p>0,05).35

Terakhir, pada konsentrasi malathion 5% perbedaan tingkat kematian baru terlihat. Pada menit ke-5 setelah dipapari konsentrasi malathion 5%, seluruh nyamuk yang berasal dari lokasi tidak pernah difogging mati; sedangkan nyamuk yang mati dari lokasi pernah dan sering difogging hanya 71,3% dan 65,1%. Setelah mencapai menit ke-10, barulah semua nyamuk dari lokasi pernah difogging mati. Sementara itu, seluruh nyamuk dari lokasi sering difogging baru mati setelah menit ke-15.35

Di sisi lain, Ae. aegypti masih rentan 100% terhadap fenitrothion 1% dan malathion 0,8%. Pada deltamethrin 0,05%, tingkat kematian Aedesaegypti mencapai 82,7%, dan pada chypermethrin 0,75% hanya 34,8%. Selain itu, WHO 1996 melaporkan, di banyak negara

(16)

nyamuk Culex telah resisten terhadap insektisida golongan organofosfat, karbamat, dan piretroid. Salah satu penjelasan mengapa nyamuk Culex banyak mengalami resistensi adalah adanya kemungkinan tempat perindukan (breeding places) Culex terpapar/terkontaminasi oleh insektisida yang digunakan saat fogging untuk membasmi Aedesaegypti.

Ada beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat resistensi nyamuk terhadap suatu pestisida. Variabel-variabel tersebut antara lain konsentrasi pestisida, frekuensi penyemprotan, dan luas penyemprotan pestisida. Fenomena resistensi itu, lanjutnya, dapat dijelaskan dengan teori evolusi. Ketika suatu lokasi dilakukan penyemprotan pestisida, nyamuk yang peka akan mati, sebaliknya yang tidak peka akan tetap melangsungkan hidupnya. Paparan pestisida yang terus menerus menyebabkan nyamuk beradaptasi sehingga jumlah nyamuk yang kebal bertambah banyak. Apalagi, nyamuk yang kebal tersebut dapat membawa sifat resistensinya ke keturunannya. Tak berhenti sampai disitu, nyamuk yang sudah kebal terhadap satu jenis pestisida tertentu akan terus mengembangkan diri agar bisa kebal terhadap jenis pestisida yang lain.35

G. Penentuan / Uji Resistensi

Untuk menentukan resistensi nyamuk Ae. aegypti ada dua cara, yaitu secara konvensional menggunakan uji bio assay / susceptibility standar WHO dan uji biokimia / uji enzimatis dengan metode Lee.

1. Uji bio assay (impragnated paper)

Uji bioassay untuk menentukan kerentanan nyamuk Ae. aegypti terhadap insktisida sipermetrin dalam bentuk impragnated paper dengan konsentrasi 0,08% yang dibuat oleh WHO. Uji dilakukan dengan menggunakan WHO susceptibility test kit yang berbentuk tabung..

Tingkat resistensi nyamuk dihitung berdasarkan rata-rata kematian nyamuk dari empat kali pengulangan. Ada tiga kriteria kerentanan, yaitu :

1) Rentan, bila rata-rata kematian nyamuk sebesar 95-100%. Artinya nyamuk yang diuji masih bisa diberantas dengan insektisida dalam dosis anjuran.

2) Perlu verifikasi atau toleran bila rata-rata kematian nyamuk sebesar 80-95%. Artinya insektisida masih bisa digunakan tetapi harus ada peningkatan dosis.

(17)

digunakan dan harus diganti dengan jenis insektisida yang lain.37 2. Uji bio kimia dengan metode Lee

Jentik nyamuk instar IV awal digerus secara individual untuk dibuat homogenat dan dilarutkan dengan 0,5 ml larutan phosphat buffer saline (PBS) 0,02 M, pH = 7. Homogenat kemudian dipindahkan ke dalam microplate menggunakan micropipette sebanyak 50 µl bahan substrat α naftil asetat dalam aceton (6 g/l) dicampur dengan 50 ml buffer phosphate (0,02 M; pH=7) dan dibiarkan selama 60 detik. Selanjutnya pada setiap microplate ditambahkan 50 µl bahan coupling reagent berupa 150 mg garam Fast blue B (o-dianisidine, tetrazotized; sigma) dalam 15 ml akuades dan 35 ml aquous (5%;w/v) sodium dodecyl sulphate (Sigma). Segera setelah reaksi berlangsung 10 menit, warna merah yang mula mula timbul berangsur-angsur berubah menjadi biru. Reaksi dihentikan dengan penambahan 50 µl asam asetat 10% ke dalam tiap-tiap microplate yang berisi homogenat. Intensitas warna akhir produk reaksi menggambarkan aktivitas enzim esterase nonspesifik dan tingkatannya dapat dibedakan secara visual. Aktivitas enzim secara kuantitatif kemudian dibaca dengan Elisa reader pada panjang gelombang 450 nm.38

H. Kerangka Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka yang dipaparkan, dapat disusun kerangka teori sebagai berikut : Frekuensi Fogging Jumlah zat masuk Pajanan Insektisida Resistensi Insektisida Rumah tangga Insektisida pertanian Kepekaan Saraf Perubahan Perilaku Penebalan Kutikula Perubahan Metabolik Perubahan sifat target Jumlah zat direduksi Kecepatan menghindar

(18)

I. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut :

J. Hipotesis

Sesuai dengan tujuan penelitian maka dapat dirumuskan suatu hipotesis yaitu

1. Ada perbedaan resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap Malathion dimasing-masing Kelurahan.

2. Ada perbedaan resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap frekuensi fogging .

Variabel bebas

Frekuensi Fogging

Variabel Terikat Resistensi nyamuk Ae. Aegypti terhadap

Gambar

Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Ae aegypti  13

Referensi

Dokumen terkait

(reliabilitas) menempati dimensi yang dinilai kurang baik oleh pemohon IMB rumah tinggal karena kecermatan dalam pemeriksaan berkas permohonan IMB rumah tinggal

Hipotesis keempat yang diajukan adalah untuk siswa yang tidak diberi peringatan (CS), nilai maksimum fungsi informasi butir jawaban siswa yang diberi bentuk soal pilihan

Setelah data diperoleh, maka langkah berikutnya adalah mengolah data dengan menggunakan Metode Rancangan Acak Lengkap dan kemudian akan dilakukan analisis ANOVA

Hasil penelitian juga menunjukkan pada penilaian kerusakan otonom pada responden baik kaki kanan maupun kaki kiri lebih banyak mengalami kerusakan otonom multipel

Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotik yang diresepkan (baik itu antibiotik sistemik maupun lokal). Keefektifan alat pendengaran tergantung pada

Apabila surat peringatan ini tidak diindahkan dalam 3 (tiga) kali berturut-turut masing-masing selama 7 (tujuh) hari kerja, maka akan dikenakan sanksi penertiban berupa

Variabel Produk Domestik Regional Bruto yang digambarkan PDRB atas dasar harga berlaku dalam puluhan ribu pada masing-masing kabupaten di D.I.Yogyakarta memiliki

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeteksi cacat bantalan bola lintasan luar pada fan industri berbasis classifier SVM menggunakan input parameter statistik