• Tidak ada hasil yang ditemukan

Negeri Jepang dikenal juga dengan nama Negeri Matahari Terbit. Disebut. demikian karena letaknya yang berada di bagian paling timur benua Asia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Negeri Jepang dikenal juga dengan nama Negeri Matahari Terbit. Disebut. demikian karena letaknya yang berada di bagian paling timur benua Asia."

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

I.I LATAR BELAKANG

Negeri Jepang dikenal juga dengan nama “Negeri Matahari Terbit”. Disebut demikian karena letaknya yang berada di bagian paling timur benua Asia. Secara geografi Jepang terletak di 34°43’40” - 34°43’23” Lintang Utara dan 137°26’04” - 137°27’21” Bujur Timur (gambar 1.1). Terpisah dari Benua Asia namun tetap bertetangga dengan Korea, Cina, Rusia, dan Taiwan. Sebagai negara kepulauan yang terpisah dari benua Asia yang sangat luas, Jepang membentuk peradaban dengan karakternya yang khas.

Gambar 1.1 Letak geografis Kota Futagawa di dalam peta dunia. (sumber : digambar-ulang dari World Map outline www.nationsonline.org dan Google Earth Japan,

2001)

Dengan karakter topografis kepulauan yang bergunung-gunung yang dilalui oleh jalur sabuk api (ring of fire) dunia dan kondisi iklim subtropis di belahan bumi bagian utara yang terbagi menjadi 4 musim, Jepang merupakan sebuah negara

(2)

I.2 dengan kondisi alam yang keras dan sulit ditakhlukkan oleh manusia1. Namun demikian, Jepang berhasil membuka 25 % wilayah daratannya yang sebagian besar berada di pesisir untuk dihuni dan berkembang menjadi kota-kota pelabuhan yang ramai.

Hari ini, wilayah administrasi Negara Jepang telah berkembang mencakup 5 pulau utama serta beberapa ratus pulau kecil di sekitarnya. Namun embrio lahirnya peradaban Jepang bermula dari- dan berpusat di- Pulau Honshu, sehingga pulau ini menjadi pusat perkembangan peradaban masyarakat Jepang dari awal sampai dengan hari ini.

Peradaban Jepang sendiri dapat ditelusuri jauh ke belakang mulai dari abad III-IV (disebutkan dalam sejarah sebagai (①Jaman Yamato). Oleh Mason dan Caiger (1997) dijabarkan secara rinci bahwa peradaban Jepang bermula dari Jaman Yamato. Jepang telah membentuk sebuah masyarakat kepulauan yang dipimpin oleh seorang Pendeta Agung yang dipercaya sebagai titisan Dewa. Peradaban yang berkembang pada Jaman Yamato ini merupakan peradaban murni Jepang. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika hubungan dengan Cina di Benua Asia mulai terjadi pada abad VI, Jepang dengan cepat menyerap pengaruh dari Cina tersebut dan mengadopsinya menjadi peradaban Jepang baru yang mencapai puncaknya ketika ibukota dibangun di wilayah Nara dengan mengikuti model kota Chang’an di Cina yang merupakan ibukota Dinasti Tang (disebut ②Jaman Nara). Periode adaptasi Cina ini mencapai puncaknya pada ③Jaman Heian dengan dipindahkannya istana Kaisar ke Kota Kyoto yang lebih dekat dengan jalur sungai sehingga memungkinkan Kyoto sebagai ibukota dan pusat perdagangan tumbuh menjadi kota yang megah pada jamannya. Pada

1 Kondisi alam Jepang ini secara rutin disebutkan dalam berbagai sumber, antara lain dalam

(3)

I.3 periode peralihan berikutnya, wujud peradaban Jepang berubah lagi ketika melewati masa perang sipil yang panjang selama kurang lebih 100 tahun, yang dikenal dengan Jaman Sengoku jidai / Jaman Perang Sipil. Pada Jaman “Perang Seratus Tahun” ini, golongan samurailah (para daimyō dan shogun termasuk di dalamnya) yang mendominasi perkembangan dan perubahan di dalam negeri tersebut. Perang Sipil berakhir ketika Shogun Tokugawa Ieyasu berhasil menguasai negeri yang sedang berkecamuk ini, dan menjinakkan kekuasaan tuan tanah-tuan tanah daerah (daimyō) dengan politik sanderanya (sankin kōtai). Jaman negeri yang damai ini disebut ④Jaman Edo. Jaman ini merupakan jaman puncak kejayaan Negeri Jepang, ditandai oleh pemerintahan tangan besi Dinasti Tokugawa selama 2 (dua) abad yang membawa Jepang ke dalam masa kemakmuran dan keteraturan, penutupan negeri dari hubungan dengan luar/orang asing, pengaturan golongan bangsawan dan samurai dengan sangat ketat, sementara rakyat biasa mulai mendapatkan kesempatannya untuk hidup dengan layak (yang kemudian melahirkan kaum perantau dari desa ke ibukota Edo yang disebut sebagai “masyarakat kota”). Sebagai akibatnya kota-kota tumbuh dengan pesatnya, termasuk juga kota-kota-kota-kota persinggahan (shukubamachi) di Jalur Tokaido yang sambung-menyambung di sepanjang pesisir Timur Pulau Honshu. Ketika dunia memasuki jaman modern yang didominasi oleh perkembangan teknologi dan mesin-mesin industri, serta ekspansi bangsa Eropa sampai ke pelosok dunia di bagian Timur, termasuk Cina dan Jepang, pada pertengahan abad XIX akhirnya Jepang membuka kembali hubungannya dengan dunia luar (dikenal sebagai Restorasi Meiji / Jaman Meiji). Pada jaman ini, Jepang berubah dari “Jepang Tradisional” menjadi “Jepang Modern”. Namun setelah melewati periode Perang Dunia II yang memberi

(4)

I.4 pelajaran yang sangat berharga, Jepang merubah seluruh sikap dan kebijakan pemerintahannya yang digunakan sampai hari ini, yang kita kenal sebagai “Jepang hari ini” (kronologi perpindahan ibukota secara geografi dapat dicermati dari gambar 1.2 dibawah ini).

Gambar 1.2 Perpindahan ibukota dari jaman ke jaman. Peradaban Jepang pertama tumbuh di daerah ①Dataran Yamato, yaitu daerah sekitar kota

Osaka sekarang. Kemudian pindah ke ②Nara yang dibangun menyerupai ibukota Chang’an di Cina dan pindah beberapa kali di sekitar daerah Nara mengikuti perpindahan istana kaisar, terakhir

pindah ke ③ ibukota Heiankyo (= Kyoto) yang memiliki posisi dan ukuran paling ideal. Ketika Shogun Tokugawa Ieyasu berkuasa ibukota baru dan terakhir dibangun di ④ dataran Kanto dan

menjadi ibukota Edo (sekarang telah berkembang menjadi kota Metropolis Tokyo). ( sumber : “History of Japan”, Mason & Caiger,1997 )

Shukubamachi yang menjadi fokus penelitian tesis ini merupakan bagian dari perkembangan kota di Jaman Edo (1603-1868). Jaman yang diawali oleh pemindahan ibukota dari Kyoto ke Edo (sekarang Tokyo) yang dilakukan oleh Tokugawa Ieyasu setelah menaklukkan kekuatan para daimyō daerah dan

(5)

I.5 menjadi shōgun sebagai figur kekuasaan kembar yang menyeimbangkan dan memperkuat kedudukan Tenno (kaisar Jepang) sebagai penguasa asli tanah Negeri Jepang. Atas perintah dari Shogun Tokugawa Ieyasu, ibukota baru dibangun di dataran Kanto yang masih kosong dan memiliki lokasi yang lebih strategis untuk menjangkau seluruh wilayah Pulau Honshu dari Utara sampai Selatan dalam segi keamanan, jalur akses darat maupun lautnya. Ibukota baru ini dinamakan Edo, oleh karena itu Jaman ini dikenal pula sebagai Jaman Edo (Gordon, 2008). Kota Edo ini, di kemudian hari akan lebih dikenal dengan nama Tokyo, yang merupakan ibukota resmi Negara Jepang hari ini.

Pada Jaman Edo ini keseimbangan negeri diatur di antara Ibukota Kyoto, dimana Tenno (kaisar) berdiam, dan Ibukota Edo, dimana Shōgun (panglima tertinggi) sebagai wakil Tenno (kaisar) mengatur negeri (Mason & Caiger, 1997). Hubungan di antara keduanya menciptakan Jalur Tōkaidō yang di kemudian hari menjadi tulang punggung infrastruktur Jepang yang paling penting. Dari jalur inilah kota-kota transit (post town) yang disebut shukubamachi tumbuh dan berkembang penuh kemakmuran (Gordon, 2008).

Kata “shukubamachi” secara harafiah dapat diartikan sebagai kota persinggahan atau kota transit, dimana tersedia penginapan untuk bermalam, toko-toko perbekalan dan fasilitas lainnya yang menunjang kebutuhan para pengunjung yang singgah sementara untuk bermalam. Shukubamachi pada awal mulanya merupakan kota-kota yang tumbuh akibat penerapan politik sankin kōtai (kebijakan kediaman berkala antara daerah asal dan ibukota yang diberlakukan kepada golongan samurai dan bangsawan) selama masa pemerintahan Dinasti Tokugawa mulai awal abad XVII (gambar 1.3). Kota-kota shukubamachi ini tumbuh sambung-menyambung di sepanjang pesisir pantai timur Pulau Honshu,

(6)

I.6 di sepanjang jalur jalan yang menghubungkan ibukota lama di Kyoto dan ibukota baru di Edo (nama lama kota Tokyo). Jalur jalan penghubung kedua ibukota ini disebut sebagai Jalur Tokaido (atau dapat diartikan “Jalan Laut Timur” atau “Jalan Pesisir Timur”) (Vaporis, 1994).

Gambar 1.3 Gambaran rombongan daimyō (penguasa daerah) yang melewati jalur Tōkaidō. (sumber : Guidebook Toyohashi City Futagawa-juku Honjin Museum (Toyohashi-shi Futagawa-juku

Honjin Shiryoukan), 1992)

Jalur Tokaido yang semula merupakan jalur politik, dalam perkembangan selanjutnya menjadi jalur perdagangan dan industri yang ramai, dan menjadi jalur utama yang menghantarkan denyut nadi kemajuan perekonomian nasional Jepang dari kota-kota pelabuhannya yang ramai sampai ke pelosok-pelosok desa terpencil.

Pada jaman ketika kendaraan dan angkutan masih mengandalkan tenaga manusia dan binatang, Jalur Tokaido adalah salah satu jalur Jalan Negara yang paling nyaman, paling pendek dan paling aman dibandingkan dengan jalan lainnya (seperti misalnya Jalur Nakasendo yang harus melewati daerah pegunungan, dengan jalan terjal berbatu-batu dan hutan lebat melewati bagian

(7)

I.7 tengah Pulau Honshu dan tentunya memakan waktu perjalanan yang lebih lama) (perbandingan ke dua jalur tersebut dapat dilihat pada gambar 1.4). Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila Jalur Tokaido menjadi embrio jalur penghubung dan transportasi nasional di Jepang hari ini. Di dalam jalur Tokaido, dari Edo sampai Kyoto, ini terdapat 53 titik pemberhentian yang menjadi kota persinggahan, salah satunya adalah kota Futagawa (kota persinggahan ke 33 dari ibukota Edo).

Gambar 1.4 Gambaran perbedaan kondisi/suasana jalur ① Tokaido - yang melewati pesisir Timur

Pulau Honshu; dan ② Nakasendo - yang lewati pegunungan di bagian tengah Pulau Honshu. (sumber : gambar ukiyoe dari www.hiroshige.org.uk dan olah foto udara google earth, 2000)

(8)

I.8 Kota Futagawa sekarang merupakan bagian dari wilayah prefektur Aichi. Ibukota pemerintahan daerah Prefektur Aichi berada di Nagoya, dimana rumah utama Keluarga Klan Tokugawa yang berkuasa berasal. Hal ini memberi dampak terhadap daerah sekitarnya yang dapat berkembang pesat dengan melayani kebutuhan keluarga shogun, termasuk di antaranya adalah Kota Futagawa. Selain itu, lokasi Kota Futagawa bertetangga dengan Benteng Yoshida (sekarang Toyohashi) yang memberikan perlindungan dan jaminan keamanan yang lebih kuat sehingga Kota Futagawa dapat tumbuh dengan cepat.

Walaupun jalur Tokaido sudah ada sejak Jaman Nara di abad VII ketika wilayah administrasi Jepang masih terbagi menjadi 8 propinsi (sekarang menjadi 47 prefektur), namun perkembangannya yang paling signifikan baru terjadi 10 abad kemudian, pada masa pemerintahan dinasti Tokugawa (Jaman Edo). Pada Jaman Edo (1603-1868), Jalur Tokaido mengalami pertumbuhan pesat dan menjadi koridor keamanan dan perdagangan Jepang dalam skala nasional.

Mulanya, shukubamachi merupakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah Tokugawa sebagai tempat penginapan bagi para daimyō daerah yang sedang menjalankan kebijakan sankin kōtai (kewajiban para daimyō dan bangsawan untuk melakukan perjalanan ke ibukota Edo secara berkala), disamping sebagai pos pemantau dan kurir negara (Traganou, 2004). Oleh karena itu, semua kota persinggahan ini memiliki rumah penginapan elit yang disebut honjin, dan ton’yaba yang merupakan pos estafet petugas pemantau situasi di daerah untuk dilaporkan kepada pemerintah Tokugawa di ibukota Edo. Pengelola kedua pos tersebut (honjin dan ton’yaba), memiliki hak resmi untuk menarik pajak dari rakyat guna membiayai kebutuhan pemeliharaan Fasilitas Negara tersebut (Vaporis, 1994). Selain kedua Fasilitas Negara tersebut,

(9)

I.9 kemajuan dan kemakmuran sebuah shukubamachi ditandai oleh banyak shouka (kantor dagang) yang membuka usahanya di kota tersebut. Shouka ini merupakan sebuah kantor yang mengurusi kegiatan perdagangan terutama distribusi barang dari daerah lain, serta menampung hasil produksi daerah setempat untuk dibarterkan. Hatago, yang merupakan fasilitas penginapan komersial untuk rakyat biasa seringkali menawarkan fasilitas tambahan seperti pemandian umum dan kedai tempat makan yang menarik pendatang untuk singgah di kota itu. Dapat dikatakan bahwa ramainya sebuah kota ditentukan oleh keramaian kegiatan yang terjadi di shouka dan hatago tersebut (Vaporis, 1994).

Seiring dengan perjalanan waktu, Bangsa Jepang di Jaman Meiji (1868) pada akhirnya membuka diri kepada hubungan dengan luar dan mulai menerima modernisasi barat. Peradaban modern, dengan teknologi dan industri massalnya mulai dikenal di Jepang. Kereta api dan mobil mulai digunakan menggantikan kereta kuda dan tandu. Perubahan ini berdampak langsung kepada kota-kota persinggahan di Jalur Tokaido tersebut. (1) Oleh karena waktu di perjalanan menjadi lebih singkat dengan menggunakan kereta api, kebutuhan untuk tempat bermalam dan persinggahan semakin berkurang. (2) Oleh karena kebijakan sankin kōtai tidak berlaku lagi, maka fasilitas honjin dan ton’yaba kehilangan manfaat dan penghasilannya. Hal ini mengakibatkan menurunnya keramaian dan kemakmuran kota-kota shukubamachi di sepanjang jalur Tokaido dan jalur-jalur jalan lainnya. Lambat laun kota-kota persinggahan ini kehilangan peran istimewanya (Gordon, 2008). Beberapa kota dapat bertahan menghadapi perubahan jaman. Seperti misalnya kota-kota persinggahan yang memiliki stasiun pemberhentian kereta api masih dapat bertahan dengan kegiatan industri

(10)

I.10 kecil serta distribusi produk hasil pertanian yang dibawa lewat angkutan kereta. Namun kereta api yang menyediakan angkutan barang tidak berlangsung lama. Pasca Perang Dunia II moda transportasi kereta api pada akhirnya hanya diperuntukkan bagi mobilisasi manusia saja. Sementara kegiatan industri dan perdagangan dipusatkan di kota-kota pelabuhan seperti Tokyo, Yokohama, Osaka, Nagoya dan Kobe, dengan fasilitas infrastruktur jalan raya baru yang bebas hambatan, sehingga banyak dari kota-kota persinggahan ini kehilangan peranannya di dalam peta perkembangan kota-kota baru yang lebih modern (Traganou, 2004).

Pada tahap perubahan selanjutnya (yang masih berlangsung sampai sekarang) arus mobilisasi di jalur-jalur kereta api ini digantikan oleh jalan raya (highway) yang dapat diakses dengan lebih leluasa dan menjangkau wilayah-wilayah terpencil yang sulit dijangkau oleh kereta api. Jalur-jalur highway ini menggeser orientasi dan arus kegiatan berdagang yang dulu personal dan menciptakan hubungan sosial antar manusia (cenderung berorientasi ke dalam di sepanjang Jalan Tokaido Lama) sekarang arus kegiatan bergeser ke Jalan Tokaido Baru (Tokaido Highway) dengan skala kegiatan yang lebih besar dan berorientasi pada hasil industri dan kecepatan produksi (efesiensi kerja mesin dan sirkulasi barang) yang dalam perkembangan cenderung menyebar/meluas ke luar. Apabila diamati, sekarang ini terdapat 3 (tiga) macam jalur Tokaido (gambar 1.5), yaitu :

1. Jalan Tokaido Lama, yang lebih dikenal orang Jepang sekarang sebagai kyu-Tōkaidō (kyū artinya ‘yang dulu’ / ‘yang lama’),

2. Jalan Tokaido Baru dinamakan Tokaido Highway (Jalan Raya Bebas Hambatan Tokaido) atau di Jepang lebih dikenal dengan sebutan

(11)

I.11 kokudō ichigo (Jalan Raya Negara nomer 1), yang menampung arus kendaraan dan angkutan barang-barang komoditas industri skala nasional, dan

3. Jalur kereta Tokaido yang dikelola oleh Japan Railways, merupakan jalur rel kereta penumpang dengan trayek terjauh Tokyo sampai ke Osaka.

Gambar 1.5 Jalur Tokaido Lama, Jalur rel kereta, Jalan Bebas Hambatan Tokaido Baru (Tokaido Highway)

(sumber : citra satelit google earth 2012 & foto survey 2010)

Pada akhirnya Kota Lama Futagawa (yang dilalui oleh Jalur Tokaido Lama) kehilangan denyut nadinya sebagai koridor ekonomi dan pertumbuhan kota serta ciri khasnya sebagai tipe kota shukubamachi. Hari ini Kota Futagawa adalah daerah permukiman sub-urban modern dari kota besar tetangga seperti Toyohashi, Toyota dan Nagoya yang bergerak dalam usaha industri dan produksi massal terutama industri otomotif. Jumlah warga penghuni Kota Futagawa

(12)

I.12 semakin berkurang akibat migrasi penduduk ke kota tetangganya yang menawarkan lapangan pekerjaan yang lebih terjamin. Permukiman di Kota Futagawa sekarang tidak jauh berbeda wajahnya dengan daerah permukiman kota kecil lainnya di Jepang.

Gambar 1.6 Kota-kota di sekitar Futagawa yang berpengaruh kuat terhadap perkembangan kota Futagawa. Nagoya sebagai ibukota prefektur dan pusat industri dan pelabuhan dagang.

Toyohashi (dulu dikenal sebagai “Kota Benteng Yoshida”) yang sekarang menjadi pintu

penghubung antara Nagoya dengan kota-kota kecil di bagian selatan Prefektur Aichi. Dan Kota

Baru Toyota dimana kantor pusat perusahaan otomotif Toyota berlokasi. (sumber : digambar ulang dari google earth 2012 dan database Prefektur Aichi 2010)

Akibat daya tarik kegiatan yang lebih kuat dari kota-kota lain di sekitarnya (seperti Toyohashi, Toyota dan Nagoya yang merupakan pusat industri dan perdagangan) pertumbuhan Kota Futagawa menjadi terabaikan dan sepi. Jumlah penduduk semakin berkurang akibat perpindahan penduduk ke kota lain yang menawarkan pekerjaan yang lebih baik. Kegiatan komersial menjadi sepi akibat jumlah penduduk, sebagai pelaku kegiatan, menjadi semakin sedikit. Kesejahteraan kota pun menurun akibat sepinya kegiatan ekonomi yang bertahan di kota tersebut. Pada akhirnya, hal ini mempengaruhi kondisi kota sehingga menjadi kurang terpelihara dan cenderung ditinggalkan.

(13)

I.13 Untuk menghidupkan kembali kondisi kota agar dapat layak untuk dihuni kembali, berbagai upaya perbaikan kota telah dilakukan, termasuk di dalamnya adalah pelestarian dan peremajaan bagian-bagian kota yang bersejarah. Untuk mendukung upaya tersebut penelitian ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk mencari bentuk ruang kota di masa depan yang dapat mencerminkan status dan identitasnya sebagai bekas kota persinggahan di Jalur Tōkaidō. Oleh karena itu, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana bentuk asli kota tersebut pada masa kejayaannya di Jaman Edo serta perubahan-perubahan yang dapat ditemukan pada ruang kota yang sekarang ada untuk menentukan bentuk ruang kota yang baru yang lebih sesuai dengan masa sekarang dan yang akan datang.

I.II PERUMUSAN MASALAH

Stagnansi perkembangan Kota Futagawa hari ini merupakan akibat yang terjadi dari bergesernya konsentrasi kegiatan serta arus pergerakan yang semula berada di sepanjang Jalan Tokaido Lama, sekarang pindah ke bagian utara (Jalan Raya Futagawa / Futagawa Bypass) dan selatan (Jalan Raya Tokaido Baru / Tokaido Highway) kota. Pusat Kota Futagawa yang dulu berada di Jalan Tokaido Lama, berfungsi ganda sebagai pusat kegiatan perekonomian kota. Sekarang pusat kegiatan ekonomi berpindah ke Jalan Raya Futagawa dan Tokaido Baru yang terletak di luar pusat Kota Futagawa. Hal ini memberi dampak kepada terciptanya dua titik pusat baru, yaitu pusat kota yang tetap berada di Jalan Tokaido Lama dengan rangkaian bangunan bersejarahnya, dan arus kegiatan ekonomi dan komersial yang berskala nasional di koridor jalan Futagawa Bypass dan Tokaido Highway. Keberadaan 2 (dua) titik pusat baru ini secara langsung berdampak pada perubahan bentuk ruang kotanya, terutama

(14)

I.14 ruang kota di sepanjang Jalan Tokaido Lama, sebagai pusat kota, dengan ruang kota yang sudah terbentuk dari Jaman sebelumnya. Hal tersebut menyakibatkan terjadinya pemisahan arus kegiatan ekonomi-komersial dan kegiatan hunian yang masih bertahan di dalam kawasan Tokaido Lama. Secara lebih rinci, perubahan bentuk ruang kotanya dapat dilihat dari perubahan tata sirkulasi, tata ruang-massa, dan zonasi ruang fungsinya.

Dilihat dari segi sirkulasi dan aksesibiltas kawasan, pergeseran arus pergerakan yang semula terkonsentrasi di Jalan Tokaido Lama, sekarang berpindah ke Jalan Raya Futagawa Bypass dan Jalan Raya Tokaido Baru, menyebabkan konsentrasi kegiatan bergeser ke 2 (dua) Jalan Raya antar kota yang lebih dominan ini. Jalan Tokaido Lama di penggal Kota Futagawa yang dulu dikenal sebagai distrik-koridor ekonomi dan perdagangan kota, saat ini telah berubah menjadi distrik permukiman yang tenang dan cenderung sepi. Namun demikian, akibat dari keberadaan 2 (dua) Jalan Raya baru yang ramai arusnya ini, Jalan Tokaido Lama sering menjadi jalan pintas yang dimanfaatkan ketika arus di Jalan Raya tersebut sedang memuncak kepadatannya. Kendaraan-kendaraan limpahan dari arus di Futagawa Bypass maupun Tokaido Highway ini, seringkali membahayakan keselamatan para pengguna Jalan Tokaido Lama yang bergerak dengan kecepatan yang relatif lebih lambat2, sementara pada kenyataannya, ruang jalan yang tersedia di Jalan Tokaido Lama tidak terlalu besar ( ± 6 meter, termasuk pedestrian way di tepi kiri kanan jalan).

Dari segi pola penataan massa bangunan dan ruang jalan yang tercipta, massa-massa bangunan baru memiliki pola penataan yang berbeda dengan massa-massa bengunan lama. Massa bangunan baru cenderung berdiri tunggal

2 Hal ini menjadi permasalahan yang serius dan sering digarisbawahi dalam dokumen-dokumen

(15)

I.15 dengan ekspresi bangunan masif dan memiliki orientasi massa radial yang dapat ditangkap oleh mata dari segala arah. Sebaliknya massa bangunan lama yang lebih tradisional bersifat mengisi ruang kosong di koridor kota lama dengan orientasi bangunan menghadap ke Jalan Tokaido Lama. Ekspresi bangunan yang keluar pun lebih menyatu dengan massa-massa bangunan di sekitarnya dan memiliki bukaan yang lebar, yang mengundang orang untuk datang.

Dari segi zonasi ruang fungsinya, massa bangunan di sepanjang Jalan Tokaido Lama yang semula diprioritaskan pada fungsi-fungsi komersial dan jasa, yang khusus diperuntukkan bagi kota-kota persinggahan (artinya pelayanan yang diprioritaskan kepada kebutuhan para pendatang). Sekarang kegiatan komersial kota tidak seramai dulu, lebih dominan fungsi huniannya, dengan fungsi komersial-jasa yang melayani kebutuhan penghuni lokal.

Dari 3 aspek ruang fisik kota yang dapat ditemukan di Kota Futagawa, dapat dilihat beberapa dampak negatif dari pesatnya perkembangan modernisasi di Jepang yang menjadi akar masalah yang menghambat pertumbuhan Kota Futagawa. Namun demikian, tidak luput pula dapat ditemukan nilai-nilai positif dari kemajuan modernisasi ini yang dapat dimanfaatkan untuk menentukan arah perkembangan Kota Futagawa yang lebih baik dan adaptable di masa yang akan datang.

I.III PERTANYAAN PENELITIAN

Dari uraian permasalahan kota Futagawa yang telah dijabarkan pada bagian “Rumusan Masalah” diatas, dapat dirumuskan sebuah kerangka umum yang terdiri dari tiga pertanyaan kunci yang akan mengarahkan jalannya penelitian.

(16)

I.16 (1) Bagaimana bentukan fisik awal “ruang kota” Futagawa pada Jaman

Pra-Modern Edo, dan sekarang (pada jaman modern)?

(2) Perubahan bentuk fisik “ruang kota” apa, yang dapat ditemukan di ruang kota Futagawa?

(3) Bagaimana arahan desain ruang kota yang sesuai dengan perkembangan Futagawa ke depan?

I.IV TUJUAN & SASARAN PENELITIAN

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perubahan terhadap bentuk fisik maupun spasial sebuah kawasan bekas pos persinggahan di Jepang pada Jaman Edo dan menemukan pola tata ruang yang sesuai dengan pertumbuhan kota Futagawa di masa depan tanpa menghilangkan ciri khas kotanya yang unik sebagai bekas shukubamachi (kota persinggahan di Jepang), justru sebaliknya menjadi faktor yang menonjol dalam arahan desain di masa mendatang.

Sementara sasaran dari jalannya penelitian ini adalah menemukan perubahan apa saja yang terjadi pada elemen ruang kota, bentuk konfigurasi dan fungsi kegiatan kotanya dan mengetahui apakah perubahan yang terjadi yang mempengaruhi pertumbuhan kota tersebut. Yang kemudian akan ditindaklanjuti dengan usulan / rekomendasi arahan desain berdasarkan temuan tersebut di atas.

Lingkup penelitian dilihat dari dua periode waktu yaitu periode ‘dulu’ dan periode ‘sekarang’. Layer ‘dulu’ mewakili periode awal mula terbentukya kota Futagawa pada Jaman Edo sebagai kota persinggahan antara tahun 1603 sampai 1868. Kemudian dibandingkan dengan layer ‘sekarang’ yaitu masa kini,

(17)

I.17 yang mengambil periode ketika stagnansi pertumbuhan kota diisi oleh usaha-usaha usaha-usaha-usaha-usaha perbaikan dan peremajaan kota yang masih terus berlangsung sampai hari ini (Jaman Heisei). Periode masa kini yang diambil dari data tahun 2010, pada waktu survey lapangan dilakukan.

I.V MANFAAT PENELITIAN

Dengan mengetahui proses perubahan bentuk kota yang terjadi di Jepang, terutama dari kota-kota kecil yang masih memiliki karakter “jepang-tradisional”nya yang khas, seperti juga kota-kota tradisional di Indonesia, diharapkan kita juga dapat menemukan cara bagaimana mempertahankan karakter identitas kota-kota tersebut, dengan ciri khasnya masing-masing, tanpa mengabaikan pengaruh kuat dari arus modernitas yang cenderung memberikan bentuk ruang yang universal dan seragam.

Oleh karena itu, dengan segala daya dan upaya yang pernah dan akan terjadi di kota-kota tua seperti Futagawa (dan juga kota-kota di Indonesia), dalam proses pencarian kembali identitasnya yang khas & unik, maka kita diharapkan tidak hanya mampu membaca gejala-gejala yang terjadi dalam proses pertumbuhannya. Akan tetapi juga dapat memberikan respon yang tepat terhadap perubahan-perubahan yang terjadi sehingga pertumbuhan kota menjadi sebuah respon balik terhadap kebutuhan masyarakat penghuninya tanpa mengabaikan jati diri yang sudah melekat kuat sebagai image kota itu sendiri.

Dengan bertambahnya kekayaan pengetahuan kita tentang perubahan fisik kota, akan membuka kesadaran dan kepekaan kita bahwa hidup-matinya sebuah kota dapat dibaca secara visual dari proses perubahan tata ruang dan perubahan arus kegiatan kota tersebut. Dengan mempelajari gejala-gejala perubahan

(18)

kota-I.18 kota tua ini maka pengetahuan modern kita saat ini menjadi mungkin untuk digunakan sebagai alat pengurai permasalahan ruang kota dewasa ini yang selalu berbenturan dengan siklus regenerasi ruang kota, dan kemudian pada langkah selanjutnya menemukan bentukan baru yang lebih segar dari esensi lama yang sudah mengakar dan menjadi bagian dari kota tersebut.

Diharapkan penelitian ini tidak hanya menghasilkan temuan-temuan pola perubahan bentuk yang akan dimanfaatkan untuk mengembalikan kebaikan bentuk fisik tata ruang kota yang statis, tetapi lebih jauh untuk mendorong kembali pergerakan dinamis kegiatan di Jalan Tokaido Lama yang merupakan kawasan inti Kota Futagawa dari jaman dahulu hingga hari ini dengan alternatif pengembangan jaringan sirkulasi yang aksesibel, serta arahan desain simpul-simpul kegiatan yang menjadi gerbang masuk kota yang ramah dan mengundang.

Kota di jepang mungkin dianggap lebih maju daripada kota-kota di Indonesia. Akan tetapi, permasalahan tentang degenerasi kota merupakan sebuah gejala yang universal yang dapat terjadi dimana saja. Melihat masalah yang terjadi di Jepang saat ini, apabila kota-kota di Indonesia masih mengandalkan proses pertumbuhan kota yang berpusat di kota-kota besar saja maka di masa mendatang kita akan menghadapi masalah yang serupa dengan yang kini terjadi di Jepang. Sebelum hal ini terjadi, diharapkan kita dapat melihat permasalahan yang sedang dialami pada kota-kota di jepang dan mencermati gejala-gajala permasalahan tersebut agar dapat menemukan pemecahan yang lebih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di masing-masing tempat dan juga dapat belajar dari keputusan-keputusan terbaik yang telah dibuat oleh Jepang sehingga kota-kota itu mencapai masa jayanya.

(19)

I.19 I.VI KEASLIAN PENELITIAN

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan Futagawa dapat ditemukan dalam studi arsitektur dan perancangan di Jepang. Namun studi mengenai tata ruang kota sebagai bagian terpadu dari arsitektur bangunan individual masih perlu dikaji sebelum menentukan arah kebijakan perkembangan dan pembangunan Kota Futagawa di abad XXI ini.

Berikut ini akan dijabarkan ringkasan dari studi-studi yang pernah dilakukan mengenai sejarah, arsitektur dan perancangan bangunan di Kota Futagawa, sebelum pada akhirnya penelitian ini menfokuskan diri kepada studi perubahan tata ruang kota Futagawa.

No. Peneliti Judul Lokus Fokus

1. Onogi Shigekatsu, 1984

A Study of Historical Stage in Tokai District: Town Planning Method and Old Houses in Futagawa (in japanese)

Futagawa Lama ( jalur Tokaido)

Perencanaan kota dengan metode historis & studi tipologi bangunan lama. 2. Onogi Shigekatsu, 1991 A Study of Historical Stage in Tokai District: History of Houses in Honjin of Futagawa stage on Tokaido (in Japanese) Rumah-rumah tua di kawasan Futagawa-juku Penelusuran sejarah rumah-rumah lama di kota persinggahan. 3. Matsumoto Koichi, 2007 A Study on Townscape Design Planning with Residents Participation in Futagawa District, Toyohashi City. (in Japanese) Distrik Futagawa Perencanaan dan Perancangan Kota dengan metode partisipasi masyarakat.

(20)

I.20

2013 Kota Persinggahan

(shukubamachi), Kota

Futagawa, Perfektur Aichi, Jepang

dan tata ruang Kota Futagawa di antara Jalan Tōkaidō Highway dan Futagawa Bypass. dan perubahan fisik ruang kota berupa: elemen, konfigurasi dan fungsi ruang kota.

Table 1.1 Tabel keaslian penelitian tesis (sumber : katalog perpustakaan TUT, 2010)

I.VII SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan ini, sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

1. BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang sejarah kota-kota persinggahan di sepanjang Tokaido dan perkembangannya sampai hari ini, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan sasaran penelitian, Manfaat dari penelitian ini, keaslian karya, dan sistematika penulisannya.

2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab Tinjauan Pustaka akan dibahas tinjauan teori dari berbagai sumber mengenai pengertian ruang kota, elemen-elemen pembentuk ruang kota, konfigurasi ruang kota, fungsi ruang kota, serta perubahan ruang kota.

3. BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini membahas jenis metode penlitian yang digunakan, metode untuk analisis data, lingkup dan batasan penelitian, penentuan lokasi penelitian, dan tahapan proses pelaksanaan penelitian.

(21)

I.21 Bab ini menjabarkan mengenai gambaran umum dan latar belakang sejarah dan perkembangan kota di Jepang, gambaran mengenai jalur Tokaido dan kota shukubamachi, serta gambaran umum mengenai kondisi lokasi penelitian di kota persinggahan Futagawa.

5. BAB V HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memaparkan hasil identifikasi dan temuan-temuan yang ada di lapangan dengan menggunakan metode penelitian yang telah disepakati. Hasil temuan tersebut akan dirangkum pada bagian terakhir pembahasan sebagai bagian penutup dari analisis data.

6. BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pada bab 6 ini, kesimpulan akhir dari hasil analisis pada bab sebelumnya akan digunakan sebagai data hipotetik untuk membingkai konsep dan keluaran arahan desain yang merupakan proses terakhir dari jalannya penelitian ini. Dimulai dari Konsep Pengendalian Rencana, Konsep Pengembangan Kawasan, sampai alternatif rancangan konkritnya yang diuraikan dalam Arahan Desain Gerbang, Simpul dan Koridor kawasan Kota Futagawa.

Gambar

Gambar 1.1  Letak geografis Kota Futagawa di dalam peta dunia.
Gambar 1.2  Perpindahan ibukota dari jaman ke jaman.
Gambar 1.3  Gambaran rombongan d aimyō (penguasa daerah) yang melewati jalur Tōkaidō.
Gambar 1.4  Gambaran perbedaan kondisi/suasana jalur  ① Tokaido - yang melewati pesisir Timur
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pembuatan gula tumbu dengan metode fosfatasi pada semua perlakuan dalam penelitian ini menghasilkan kadar sukrosa yang tidak berbeda secara nyata dan berada

Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak program pembinaan usaha kecil menengah subsektor perikanan di wilayah pesisir terhadap peningkatan

Berdasarkan stadium HIV/AIDS pada anak yang diklasifikasikan menurut penyakit yang secara klinis berhubungan dengan HIV, masing-masing stadium memiliki infeksi

Sistem informasi akuntansi memproses sebuah data dan transaksi untuk memberikan informasi yang dibutuhkan bagi pengguna untuk merencanakan, mengendalikan dan mengoperasikan

Aplikasi sukses beserta SO Data akan diberikan kepada bagian Dataentry dan Televalidasi untuk dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan customer menyetujui aplikasi

Dari Gambar 2 di atas, terlihat bahwa konsentrasi CMC 0,2% dan 0,3% yang ditambahkan pada minuman probiotik sari buah nanas dapat menurunkan total asam laktat secara gemaris

Perumusan masalah yang dibahas dalam penelitian tugas akhir ini yaitu bagaimana menjadwalkan pekerja operation ground handling Gapura Angkasa yang optimal dengan