• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DAN KEBERMAKNAAN HIDUP PADA REMAJA TUNA DAKSA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DAN KEBERMAKNAAN HIDUP PADA REMAJA TUNA DAKSA"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DAN KEBERMAKNAAN

HIDUP PADA REMAJA TUNA DAKSA

OLEH

AJENG PUSPITA MEGASARI 802012072

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai citivas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ajeng Puspita Megasari

Nim : 802012072

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana

Jenis Karya : Tugas Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hal bebas royalti non-eksklusif (non-exclusive royality freeright) atas karya ilmiah saya berjudul:

HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DAN KEBERMAKNAAN HIDUP PADA REMAJA TUNA DAKSA

Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Salatiga

Dibuat di : Salatiga

PadaTanggal : 31 Mei 2016 Yang menyatakan,

Ajeng Puspita Megasari

Mengetahui, Pembimbing

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ajeng Puspita Megasari

Nim : 802012072

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:

HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DAN KEBERMAKNAAN HIDUP PADA REMAJA TUNA DAKSA

Yang dibimbing oleh:

Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Didalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber aslinya.

Salatiga, 31 Mei 2016 Yang memberi pernyataan,

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DAN KEBERMAKNAAN HIDUP PADA REMAJA TUNA DAKSA

Oleh

Ajeng Puspita Megasari 802012072

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Disetujui pada tanggal 31 Mei 20162015 Oleh:

Pembimbing

Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS

Diketahui Oleh, Disahkan Oleh,

Kaprogdi Dekan

Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS. Prof. Dr. SutartoWijono, MA.

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(7)

HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DAN KEBERMAKNAAN HIDUP

PADA REMAJA TUNA DAKSA

Ajeng Puspita Megasari Christiana Hari Soetjiningsih

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris hubungan penerimaan diri dan kebermaknaan hidup pada remaja tuna daksa. Hipotesis yang diajukan adalah ada korelasi positif antara penerimaan diri dengan kebermaknaan hidup pada remaja tuna daksa. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja tuna daksa BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta sebanyak 42 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan Skala Penerimaan Diri dan Skala Kebermaknaan Hidup. Analisis data menggunakan metode korelasi product moment. Hasil menunjukkan menunjukkan keofisien korelasi sebesar rxy = 0,547 (p<0,05) yang artinya

terdapat hubungan positif penerimaan diri dengan kebermaknaan hidup. Penerimaan diri memberikan sumbangan terhadap kebermaknaan hidup sebesar 54,70 %, sedangkan 45,30 % dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dilibatkan dalam penelitian ini.

(9)

ii

Abstract

This study aims to test empirically the relationship of self-acceptance and meaningfulness of life in adolescents disabled. The hypothesis is a positive correlation between self-acceptance with the meaningfulness of life in adolescents disabled. Subjects in this study were young disabled BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta as many as 42 people. The data collection is done with Self-Acceptance Scale and Scale Significance of Life. Data analysis using product moment correlation. The results showed a correlation of r xy shows keofisien = 0.547 (p <0.05), which means self-acceptance is a positive relationship with the meaningfulness of life. Self-acceptance contribute to the meaningfulness of life amounted to 54.70%, while 45.30% are influenced by other factors not included in this study.

(10)

1

PENDAHULUAN

Pada dasarnya, Tuhan menciptakan manusia sebaik-baiknya sebagai ciptaan-Nya yang paling sempurna dengan anggota tubuh yang lengkap. Anggota tubuh tersebut diharapkan dapat membantu manusia untuk hidup dan melakukan kegiatan sehari-hari. Tentunya, setiap manusia menginginkan hidup normal dan memiliki anggota tubuh yang lengkap seperti manusia pada umumnya. Namun, ada beberapa diantaranya yang memiliki kekurangan fisik atau mengalami cacat fisik. Mereka dikenal dengan sebutan tuna daksa. Istilah tuna daksa berasal dari kata tuna yang artinya kurang dan daksa yang artinya tubuh sehingga dapat dikatakan bahwa tunadaksa adalah cacat tubuh/tuna fisik.

Mangunsong (1998) mengatakan bahwa tuna daksa ini mempunyai pengertian yang luas, namun secara umum dapat dikatakan bahwa tuna daksa atau cacat fisik ini merupakan suatu bentuk ketidakmampuan tubuh atau fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal. Astati (2010) mendefinisikan tuna daksa sebagai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan.

Tingkat gangguan pada tuna daksa sendiri dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu ringan, sedang, dan berat. Kategori ringan adalah seseorang yang memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik namun dapat ditingkatkan melalui terapi. Kategori sedang yaitu seseorang yang memiliki keterbatasan secara motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, sedangkan kategori berat adalah mereka yang memiliki keterbatasan penuh dalam melakukan aktivitas fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik (Septian, 2012).

(11)

2

Menurut Santrock (2003) bahwa remaja yang mempunyai label cacat (tuna daksa) mungkin akan merasa selamanya dianggap sebagai remaja yang terbelakang atau tidak mampu serta ditolak, dan mereka bisa jadi tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang secara penuh. Remaja penyandang tuna daksa mengalami beberapa masalah konsep diri negatif, rendah diri, cemas, dan agresif, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dampak-dampak tersebut tentunya dapat berpengaruh pada tahapan kehidupan remaja selanjutnya.

Somantri (2006) menjelaskan bahwa keterbatasan yang dialami oleh penyandang tuna daksa dapat membuat mereka menarik diri dari pergaulan masyarakat. Hal ini juga dapat menimbulkan masalah pada kehidupan remaja selanjutnya, karena menurut Erikson, remaja harus bereksperimen di lingkungan masyarakat mengenai peran dan ideologi yang berbeda-beda agar dapat mengetahui mana yang paling sesuai dengan dirinya (Schultz & Schultz,1994).

Efek yang ditimbulkan dari tuna daksa dapat berupa penolakan terhadap lingkungan, selalu menyendiri, merasa dikucilkan dan efek yang lainnya. Akibat dari ketunaan yang dialami oleh seseorang maka mereka juga mempunyai keterbatasan dalam melakukan kegiatan sehari hari. Semakin lama anak tuna daksa beristirahat di dalam rumah, maka mereka akan semakin terisolasi dari teman temannya.

Menurut Frankl (2003), seseorang yang memiliki kebermaknaan hidup akan bertanggungjawab mengarahkan hidupnya, memiliki sikap optimis, tetap eksis, dan mampu mengenali potensi serta kekurangan yang dimiliki. Maka penyandang cacat yang memiliki kebermaknaan hidup akan mampu menyelesaikan permasalahan hidupnya secara bertanggungjawab dengan tetap eksis dan optimis serta mempunyai kesempatan untuk mewujudkan keinginan melalui kegiatan-kegiatan yang memberikan

(12)

3

kepuasan hidup dan bebas berbuat kreativitas sesuai dengan minat dan kemampuan individual.

Manusia dalam mencari tujuan hidup, mempunyai suatu kebutuhan yang bersifat unik, spesifik, dan personal, yaitu suatu kebutuhan akan makna hidup. Frankl (2003) mengungkapkan kebermaknaan hidup sebagai keadaan yang menunjukkan sejauhmana seseorang telah mengalami dan menghayati kepentingan keberadaan hidupnya menurut sudut pandang dirinya sendiri. Hal ini berarti bahwa apabila seseorang berhasil dalam makna hidupnya, maka kehidupannya dirasakan penting dan berharga, dengan demikian akan menimbulkan penghayatan bahagia. Makna hidup yang dimaksud merupakan segala sesuatu yang dipandang penting dan berharga, memberikan nilai khusus dan dijadikan tujuan hidup seseorang (Bastaman, 2007).

Menurut Setyaningtyas (2012), faktor yang mempengaruhi kebermaknan hidup adalah penerimaan diri.Hal ini berarti bahwa semakin tinggi seseorang menerima kekurangan dirinya akan meningkatkan kebermaknaan hidup dalam dirinya. Hurlock (2008) mengemukakan bahwa penerimaan diri merupakan kemampuan menerima segala hal yang ada pada diri sendiri baik kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki, sehingga apabila terjadi peristiwa yang kurang menyenangkan maka individu tersebut akan mampu berpikir logis tentang baik buruknya masalah yang terjadi tanpa menimbulkan perasaan, permusuhan, perasaan rendah diri, malu, dan rasa tidak aman.

Sheerer (dalam Setyaningtyas, 2012), mengungkapkan aspek penerimaan diri meliputi; memiliki keyakinan akan kemampuan dan sikap optimis menghadapi kehidupan, berpikir positif terhadap diri sendiri dan tidak menganggap orang lain menolak dirinya yaitu, menganggap dirinya berharga sebagai manusia yang sederajat dengan orang lain, tidak malu dan tidak hanya memperhatikan dirinya, berani memikul

(13)

4

tanggungjawab terhadap perilakunya, berperilaku menggunakan norma, mampu menerima pujian dan celaan secara objektif, tidak menyalahkan diri atas keterbatasan diri ataupun dalam mengingkari kelebihan.

Setyaningtyas (2012), menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kebermaknaan hidup dan penerimaan diri pada lansia yang tinggal di panti wreda. Berdasarkan wawancara dengan staf advokasi BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta menyatakan bahwa pada remaja tunadaksa, ada dari beberapa remaja mereka setelah lulus ada yang merasa betah berada di lingkungan yang sekarang mereka tempati dan tidak mau kembali ke asal mereka, karena mereka takut akan pandangan orang lain terhadapnya, mereka juga bingung akan menyalurkan keahlian mereka yang mereka dapatkan untuk di salurkan diluar sana, mereka juga merasa nyaman dengan lingkungan sosial mereka yang rata-rata mengalami seperti mereka, jadi ketika mereka keluar untuk berinteraksi dengan dunia luar mereka kurang percaya diri akan fisik mereka yang terbatas dan takut akan pandangan orang lain tentang keadaan dirinya dan mereka merasa minder akan diri mereka yang cacat fisik. Terkadang ada pandangan bahwa melakukan sesuatu harus memiliki kondisi tubuh ataupun fisik yang normal dan terkadang hal ini yang menghambat kegiatan mereka.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian, dan adanya penelitian serupa, maka menguatkan keinginan dari peneliti untuk mengetahui hubungan yang penerimaan diri dan kebermaknaan hidup pada remaja tuna daksa?, namun disini peneliti mengambil subjek yang berbeda dengan peneliti sebelumnya, dimana penelitian sebelumnya mengarah membahas pada lansia, namun penulis ingin meneliti tentang remaja tuna daksa.

(14)

5

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

Santrock (2003), mengartikan masa remaja (adolescence) sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Masa remaja merupakan bagian dari fase perkembangan dalam kehidupan seorang individu. Masa yang merupakan periode transisi dari masa anak ke dewasa ini ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, sosial dan berlangsung pada dekade kedua masa kehidupan. Menurut Santrock (2003), remaja adalah anak dalam rentang usia 12 -23 tahun. Berdasarkan batasan yang telah dikemukakan rentang usia remaja sangat bervariasi, akan tetapi awal dari masa remaja relatif sama sedangkan masa berakhirnya masa remaja lebih bervariasi

Tuna daksa

Pengertian Anak tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang mungkin disebabkan oleh adanya penyakit atau kecelakaan dan juga karena congenital dan atau kerusakan otak yang dapat mengakibatkan gangguan gerak, kecerdasan, komunikasi, persepsi dan adaptasi (Sujarwanto, 2004). Tuna daksa ditujukan kepada mereka yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, seperti adanya gangguan koodinasi motorik, tangan sati, kaki satu, tanpa mempunyai kaki atau tangan, dan lainnya (Sujarwanto, 2004).

Mangunsong (1998) mengatakan bahwa tuna daksa ini mempunyai pengertian yang luas, namun secara umum dapat dikatakan bahwa tuna daksa atau cacat fisik ini merupakan suatu bentuk ketidakmampuan tubuh atau fisik untuk menjalankan fungsi

(15)

6

tubuh seperti dalam keadaan normal. Namun secara spesifik tuna daksa ini dapat didefinisikan sebagai bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang, persendian dan syaraf yang disebabkan oleh penyakit, virus, dan kecelakaan baik yang disebabkan terjadi sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah kelahiran. Gangguan itu mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan pribadi (Sujarwanto, 2004)

Kebermaknaan hidup

Frankl (2003) mengungkapkan kebermaknaan hidup sebagai keadaan yang menunjukkan sejauhmana seseorang telah mengalami dan menghayati kepentingan keberadaan hidupnya menurut sudut pandang dirinya sendiri. Orang yang pertama kali mengemukakan gagasan tentang makna hidup (meaning of life) adalah Frank (2003) dengan teorinya yang diberi nama Logoteraphy. Dalam logoterapi, manusia dikatakan pada dasarnya memiliki kebebasan berkehendak (the freedom of will), kehendak untuk bermakna (the will to meaning), serta makna hidup (meaning of life). Menurut Frankl (Schultz, 1991), seseorang yang memiliki kebermaknaan hidup akan bertanggung jawab mengarahkan hidupnya, memiliki sikap optimis, tetap eksis, dan mampu mengenali potensi serta kekurangan yang dimiliki.

Hidup yang bermakna merupakan motivasi bagi individu untuk dapat berguna dan berharga dimata orang lain (Bastaman, 2007), termasuk pada remaja tuna daksa. Namun pada kenyataanya banyak penyandang tuna daksa merasa tidak puas dengan kehidupan yang dijalani karena merasa terhambat melakukan aktivitas atas kekurangan yang dimiliki, dan meskipun memiliki aktivitas perkerjaan yang sesuai dengan

(16)

7

kemampuannya tapi tidak merasa bangga dengan yang dimiliki dikarenakan kurang percaya diri.

Menurut Frankl (2003) karakteristik makna hidup meliputi tiga sifat, yaitu: 1) Makna hidup sifatnya unik dan personal.

Artinya apa yang dianggap berarti bagi seseorang belum tentu berarti bagi orang lain. Bahkan mungkin apa yang dianggap penting dan bermakna pada saat ini oleh seseorang. Belum tentu sama bermaknanya bagi orang itu pada saat yang lain. Dalam hal ini makna hidup seseorang dan apa yang bermakna baginya bersifat khusus, berbeda dengan orang lain, dan mungkin dari waktu ke waktu berubah pula.

2) Makna hidup sifatnya spesifik dan konkrit.

Artinya dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari dan tidak selalu harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan idealis, prestasi-prestasi akademis yang tinggi, atau hasil-hasil filosofis yang kreatif.

3) Makna hidup sifatnya memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan.

Artinya makna hidup seakan-akan menantang (challenging) dan mengundang (inviting) seseorang untuk memenuhinya. Begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, maka seseorang akan terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya pun menjadi lebih rendah.

Aspek-aspek yang digunakan untuk mengukur tinggi-rendahnya makna hidup tersebut, antara lain (Frank, 1959 dalam Crumbaugh, 1987):

1) Tujuan hidup, yaitu sesuatu yang menjadi pilihan, memberi nilai khusus serta dijadikan tujuan dalam hidupnya.

(17)

8

2) Kepuasan hidup, yaitu penilaian seseorang terhadap hidupnya, sejauh mana ia bisa menikmati dan merasakan kepuasan dalam hidup dan aktivitas-aktivitas yang dijalaninya.

3) Kebebasan, yaitu perasaan mampu mengendalikan kebebasan hidupnya secara bertanggung jawab.

4) Sikap terhadap kematian, yaitu bagaimana seseorang berpandangan dan kesiapannya menghadapi kematian. Orang yang memiliki makna hidup akan membekali diri dengan berbuat kebaikan, sehingga dalam memandang kematian akan merasa siap untuk menghadapinya.

5) Pikiran tentang bunuh diri, yaitu bagaimana pemikiran seseorang tentang masalah bunuh diri. Bagi orang yang mempunyai makna hidup akan berusaha menghindari keinginan untuk melakukan bunuh diri atau bahkan tidak pernah memikirkannya.

6) Kepantasan hidup, pandangan seseorang tentang hidupnya, apakah ia merasa bahwa sesuatu yang dialaminya pantas atau tidak.

Penerimaan Diri

Hurlock (2008) mengemukakan bahwa penerimaan diri merupakan kemampuan menerima segala hal yang ada pada diri sendiri baik kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki, sehingga apabila terjadi peristiwa yang kurang menyenangkan maka individu tersebut akan mampu berpikir logis tentang baik buruknya masalah yang terjadi tanpa menimbulkan perasaan rendah diri, malu, dan rasa tidak aman. Sheerer (Crumbaugh, 1987) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah sikap untuk menilai

(18)

9

diri sendiri dan keadaanya secara objektif, menerima segala yang ada pada dirinya termasuk kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahannya.

Karena dengan memiliki penerimaan diri akan dapat mengembangkan diri ke arah gambaran yang sesuai dengan keinginan dan mampu melakukan komitmen dengan hal-hal seperti seperti nilai-nilai yang dianggap penting dan bermakna untuk dipenuhi, sebab setiap individu memiliki tanggung jawab mengembangkan dirinya dan menemukan makna hidupnya.

Skala penerimaan diri menurut Denmark, (1973) terdiri dari 9, yaitu: 1) Nilai-nilai dan standar diri tidak dipengaruhi lingkungan luar

2) Keyakinan dalam menjalani hidup

3) Bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan

4) Mampu menerima kritikan dan saran seobjektif mungkin 5) Tidak menyalahkan diri atas perasaanya terhadap orang lain 6) Menganggap dirinya sama dengan orang lain

7) Tidak ingin orang lain menolaknya dalam kondisi apapun 8) Tidak menganggap dirinya berbeda dari orang lain

9) Tidak rendah diri

Hubungan Antara Penerimaan Diri Dan Kebermaknaan Hidup

Sheerer (dalam Paramita, 2012), ini dapat mempengaruhi pandangan individu menjelaskan bahwa penerimaan diri adalah tunadaksa tentang keberadaan dirinya, sehingga sikap dalam menilai diri dan keadaannya secara akan mempengaruhi penerimaan diri individu objektif, menerima kelebihandan kelemahannya. Sheerer (Cronbach 1963, dalam Wrastari, 2003) sosial sehingga mereka menjadi inferior.

(19)

10

Perasaan menambahkan seseorang yang dapat menerima inferioritas pada individu tunadaksa adalah dirinya adalah jika seseorang tersebut mempunya keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupan, mampu menerima pujian secara objektif, dan tidak menyalahkan diri sendiri.

Menurut Satyaningtyas (2012), melalui observasi dan wawancara pada penyandang cacat fisik di Klaten, Surakarta dan beberapa anggota lembaga penyandang cacat di DIY dapat disimpulkan bahwa masih terdapat penyandang cacat fisik yang belum memiliki rencana jangka panjang sebagai tujuan yang jelas untuk masa depan. Kemudian merasa tidak puas dengan kehidupan yang dijalani karena merasa terhambat melakukan aktivitas atas kekurangan yang dimiliki, dan walaupun mempunyai aktivitas pekerjaan yang sesuai kemampuannya tetapi tidak merasa bangga dengan yang dimilikinya dikarenakan kurang percaya diri. Ketidakpuasan semakin dirasakan apabila dalam kehidupan sosial. Masyarakat umum memandang penyandang cacat fisik tidak mampu melakukan aktivitas secara mandiri karena kekurangan yang dimiliki, sehingga penyandang cacat fisik merasa kurang memiliki kebebasan menentukan sikapnya. Penyandang cacat fisik memandang bahwa hidup dengan keterbatasan fisik yang dimiliki merupakan hal yang kurang pantas dialaminya, karena menganggap bahwa menjalani hidup akan lebih baik apabila tidak memiliki kecacatan fisik. Hal tersebut yang kadang-kadang dapat menjadi pemicu munculnya pikiran untuk menyelesaikan permasalahan hidup dengan mengakhiri hidupnya sendiri.

Kebermaknaan hidup adalah bagian tertinggi dari hierarki kebutuhan yang dalam konsep Abraham Maslow disebut dengan aktualisasi diri. Pada level inilah manusia bekerja benar-benar menemukan keikhlasan dan komitmen. Kebermakanaan hidup dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan untuk menjadi orang yang berguna

(20)

11

bagi orang lain baik itu anak, istri, keluarga dekat, komunitas, negara dan bahkan umat manusia (Frankl , dalam Sulistya,2005).

Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Pengertian mengenai makna hidup menunjukkan bahwa dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi. Mengingat antara makna hidup dan tujuan hidup tidak dapat dipisahkan, maka untuk keperluan praktis pengertian makna hidup dan tujuan hidup dapat disamakan. Makna hidup dan tujuan hidup dalam penggunaan sehari-hari sering disamakan artinya walaupun mengandung konotasi yang berlainan. Makna hidup lebih menunjuk apa yang seharusnya dicapai (Bastaman, 2007).

Makna hidup pada remaja tunadaksa merupakan nilai-nilai yang sangat berarti yang dapat berfungsi sebagai tujuan hidup yang dipenuhinya. Selain itu pada remaja difabel juga harus bisa mengubah sikap dan selalu bersikap positif dalam menyelesaikan semua permasalahan yang sedang mereka hadapi. Setelah mereka bisa menemukan makna hidupnya yang harus mereka kerjakan menjaga komitmen terhadap apa yang sudah diraihnya. Apabila remaja tunadaksa bisa melakukan komponen-komponen yang di jelaskan di atas maka mereka akan menemukan makna dan tujuan dalam hidupnya.

Bentuk aktualisasi dari berbagai potensi kualitas insani yang langsung berkaitan dengan masalah penemuan makna hidup merupakan wujud penerimaan diri. Karena dengan memiliki penerimaan diri akan dapat mengembangkan diri ke arah gambaran yang sesuai dengan keinginan dan mampu melakukan komitmen dengan hal-hal seperti seperti nilai-nilai yang dianggap penting dan bermakna untuk dipenuhi, sebab setiap individu memiliki tanggung jawab mengembangkan dirinya dan menemukan makna

(21)

12

hidupnya. Seseorang akan lebih sulit dalam penerimaan diri dalam menerima keadaanya yang mengalami kekurangan, misalnya kecacatan yang ditunjukkan dengan keterbatasan fungsi intelektual dan perilaku selama masa perkembangan atau sebelum usia 18 tahun. Peneriman ditandai dengan sikap positif, adanya pengakuan atau penghargaan terhadap nilai-nilai individu tetapi menyertakan pengakuan terhadap tingkah lakunya (Chaplin,2000).

Berdasarkan urain tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini adahah Ho : Tidak ada hubungan antara penerimaan diri dengan kebermaknaan hidup Ha : Terdapat hubungan antara penerimaan diri dengan kebermaknaan hidup.

METODOLOGI PENELITIAN Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel penelitian yang digunakan, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penerimaan diri, sedangkan variabel terikat adalah kebermaknaan hidup.

Definisi Operasional

Kebermaknaan hidup adalah keadaan yang menunjukkan sejauhmana seseorang telah mengalami dan menghayati kepentingan keberadaan hidupnya menurut sudut pandang dirinya sendiri. Alat ukur yang digunakan adalah kebermaknaan hidup yang dikemukakan oleh Frank (1959) dalam Crumbaugh, (1987) adalah: tujuan hidup, kepuasan hidup, kebebasan, sikap terhadap kematian, pikiran tentang bunuh diri dan kepantasan hidup.

(22)

13

Penerimaan diri adalah adalah merupakan kemampuan menerima segala hal yang ada pada diri sendiri baik kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki, sehingga apabila terjadi peristiwa yang kurang menyenangkan maka individu tersebut akan mampu berpikir logis tentang baik buruknya masalah yang terjadi tanpa menimbulkan perasaan rendah diri, malu, dan rasa tidak aman.. Prokratinasi akademik menggunakan aspek yang dikemukakan Denmark, (1973), seperti: Nilai-nilai dan standar diri tidak dipengaruhi lingkungan luar, keyakinan dalam menjalani hidup, bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan, mampu menerima kritikan dan saran seobjektif mungkin, tidak menyalahkan diri atas perasaanya terhadap orang lain, menganggap dirinya sama dengan orang lain, tidak ingin orang lain menolaknya dalam kondisi apapun, tidak menganggap dirinya berbeda dari orang lain, tidak rendah diri

Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah responden tuna daksa yang berada di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta yang berjumlah 100 orang. Sampel yang di ambil berjumlah 42 siswa yang terdiri dari 25 remaja laki-laki dan 17 remaja perempuan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan kriteria tertentu, yakni: Cacat dengan kekurangan kondisi fisik (tunadaksa) dan berusia 12-23 tahun (Santrock, 2003) yang berjumlah 42 orang.

Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan memberikn kuesioner kepada remaja tuna daksa yang berada di BBRSBD Prof Dr. Soeharso Surakarta. Sebelum membagikan kuesionernya, peneliti memperkenalkan dirinya terlebih dahulu

(23)

14

setelah itu peneliti membagikan angket pertama yang berada di asrama perempuannya, dan dari guru tersebut memberitahukan untuk ada salah satu siswanya untuk di bacakan. Setelah itu peneliti di minta untuk ke tempat asrama laki-laki, sama seperti di asrama perempuan peneliti sebelumnya memperkenalkan diri dan membagikan angket kepada siswa-siswa di asrama laki-laki.

pengumpulan data adalah suatu cara yang dipakai peneliti untuk memperoleh data yang diselidiki. (Suryabrata, 2004).

Analisis Aitem

Uji Validitas: uji ini untuk mengetahui sejauh mana instrumen yang digunakan sudah memadai untuk mengukur apa yang seharusnya diukur dengan cara meminta pendapat atau penilaian ahli yang berkompeten dengan masalah yang diteliti. Data dikatakan valid jika memiliki Corrected item-total correlation (r hitung) lebih besar 0.3 (Ghozali, 2005).

Hasil uji validitas variabel penerimaaan diri sebanyak 36 item, diperoleh hasil sebanyak 6 item dinyatakan gugur karena memiliki nilai pearson correlation yang lebih kecil dari 0,3, dan sebanyak 30 item dinyatakan mempunyai daya diskriminasi karena memiliki nilai pearson correlation yang lebih besar dari 0,3. Uji validitas kebermaknaan hidup sebanyak 20 item, diperoleh hasil sebanyak 11 item gugur karena memiliki nilai pearson correlation yang lebih kecil dari 0,3, dan sebanyak 9 item dinyatakan mempunyai daya diskriminasi karena memiliki nilai pearson correlation yang lebih besar dari 0,3 (Ghozali, 2005)

Uji realibilitas digunakan untuk menunjuk sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten jika diulangi berapa kali. Instrumen dikatakan reliable bila memiliki

(24)

15

Alpha Cronbach lebih besar dari 0,6. Jika dilihat dari uji reliabilitas, variabel penerimaan diri memiliki nilai alpha 0,898 dan kebermaknaan hidup memiliki nilai 0,830. Kedua variabel tersebut memiliki nilai alpha yang lebih besar dari 0,600 yang artinya data reliable dan dapat dinyatakan ke uji selanjutnya (Ghozali, 2005). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1

Reliabilitas Penerimaan Diri

Cronbach's Alpha N of Items

0,898 30

Tabel 2

Reliabilitas Kebermaknaan Hidup

Cronbach's Alpha N of Items

0,830 9

Teknik Analisa Data

Metode analisis menggunakan uji korelasi untuk melihat hubungan signifikan antara penerimaan diri dan kebermaknaan hidup pada remaja tuna daksa. Analisis data dilakukan bantuan program SPSS 16.0 for windows.

(25)

16

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Profil Responden

Subyek penelitian ini dilakukan di BRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta. Reponden dalam penelitian ini berjumlah 42 orang, dengan laki-laki sebanyak 25 orang dan perempuan 17 orang.

Uji Normalitas

Penelitian ini menggunakan uji normalitas dan linearitas yang bertujuan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data penelitian pada masing masing variabel. Data dari variabel penelitian diuji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov test menggunakan SPSS. Hasil diketahui bahwa variabel penerimaan diri memiliki memiliki koefisien normalitas 0,971 dan kebermaknaan hidup memiliki koefisien normalitas 0,353 yang mana nilai keduannya lebih besar dari 0,05 dengan demikian variabel penerimaan diri dan kebermaknaan hidup memiliki distribusi normal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3 Uji Normalitas Data

Penerimaan Diri

Kebermaknaan Hidup

N 42 42

Normal Parametersa Mean 120.10 49.60

Std. Deviation 11.552 6.971 Most Extreme Differences Absolute .075 .144 Positive .055 .144 Negative -.075 -.064 Kolmogorov-Smirnov Z .489 .930

(26)

17

Uji Linearitas

Untuk uji linearitas menunjukan bahwa ada hubungan penerimaan diri dan kebermaknaan hidup adalah linear, karena dari hasil uji linearitas diperoleh F beda = 0,196 dan nilai signifikansi 0,665 > 0,05. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hubungan penerimaan diri dan kebermaknaan hidup ini menunjukan garis yang sejajar atau linear. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4 Uji Linearitas Data

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Kebermaknaan Hidup * Penerimaan Diri

Between Groups (Combined) 1244.119 28 44.433 .772 .727

Linearity 11.275 1 11.275 .196 .665 Deviation from Linearity 1232.844 27 45.661 .794 .705 Within Groups 748.000 13 57.538 Total 1992.119 41 Analisis Deskriptif 1. Penerimaan Diri

Variabel penerimaan diri akan dibuat sebanyak 3 (tiga) kategori yaitu tinggi, sedang, rendah. Rumus untuk mencari interval yang digunakan untuk menentukan kategori penerimaan diri mempunyai 30 item valid dengan pemberian skor antara 1 sampai 4, sehingga secara hipotetik pembagian skor tertinggi dan terendah yaitu :

Jumlah skor tertinggi 30 x 4 = 120 Jumlah skor terendah 30 x 1 = 30

(27)

18

Interval = Jumlah skor tertinggi – Jumlah skor terendah 3 (tiga) kategori

= 120 - 30 3 = 30

Tabel 4

Kategorisasi Pengukuran Penerimaan Diri

Interval Ketegori Jumlah Siswa Persentase Rata-rata

30 ≤ x ≤ 60 Rendah 0 0,00 %

96,04

60 ≤ x ≤ 90 Sedang 14 33,33 %

90 ≤ x ≤ 120 Tinggi 28 66,67 %

42 100 %

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan penerimaan diri sebagian besar remaja tuna daksa (66,67%) dalam kategori tinggi dan sebesar 33,33 % remaja tuna daksa dalam kategori sedang.

2. Kebermaknaan Hidup

Variabel kebermaknaan hidup akan dibuat sebanyak 3 (tiga) kategori yaitu tinggi, sedang, rendah. Rumus untuk mencari interval yang digunakan untuk menentukan kategori kebermaknaan hidup mempunyai 9 item valid dengan pemberian skor antara 1 sampai 4, sehingga secara hipotetik pembagian skor tertinggi dan terendah yaitu :

(28)

19

Jumlah skor tertinggi 9 x 4 = 36 Jumlah skor terendah 9 x 1 = 9

Interval = Jumlah skor tertinggi – Jumlah skor terendah 3 (tiga) kategori

= 36 - 9 = 9 3

Tabel 5

Kategorisasi Pengukuran Kebermaknaan Hidup

Interval Ketegori Jumlah Siswa Persentase Rata-rata

9 ≤ x ≤ 18 Rendah 16 38,10 %

17,90

18 ≤ x ≤ 27 Sedang 25 59,52 %

27 ≤ x ≤ 36 Tinggi 1 2,38 %

42 100 %

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan kebermaknaan hidup sebagian besar remaja tuna daksa (59,52%) dalam kategori sedang dan sebesar 38,10 % remaja tuna daksa dalam kategori rendah.

Pengujian Hipotesis

Hasil korelasi product moment menunjukan bahwa penerimaan diri memiliki hubungan positif dengan kebermaknaan hidup pada remaja tuna daksa di BRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

(29)

20 Tabel 6 Uji Korelasi Penerimaan Diri Kebermaknaan Hidup Penerimaan Diri Pearson

Correlation 1 .475 Sig. (1-tailed) .000 N 42 42 Kebermaknaan Hidup Pearson Correlation .475 1 Sig. (1-tailed) .000 N 42 42

Tabel di atas dapat dijelaskan bahwa hubungan positif dengan kebermaknaan hidup pada remaja tuna daksa di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta yang ditunjukan dengan nilai signifikansi 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 (5 %) dengan nilai pearson correlation sebesar 0,483. Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi penerimaan diri akan meningkatkan kebermaknaan hidup. Sumbangan efektif penerimaan diri terhadap kebermaknaan hidup sebesar 47,50 %.

Pembahasan

Terdapat hubungan positif hubungan positif dengan kebrmaknaan hidup pada remaja tuna daksa di BRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Setyaningtyas (2012), menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara penerimaan diri dengan kebermaknaan hidup. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi penerimaan diri akan semakin tinggi pula kebermaknaan hidup. Kebermaknaan hidup memiliki nilai yang rendah, hal ini karena responden dalam penelitian ini antara

(30)

21

12 – 23 tahun. Dengan usia tersebut kategori remaja dan anak-anak tidak dipisahkan. Sehingga hasil menjadi rendah karena responden dengan usia anak-anak masih belum dapat mengerti atau memahami makna hidup dibandingkan usia yg sudah remaj, karena adanya cara berpikir.

Diterimanya hipotesis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa penerimaan diri merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kebermaknaan hidup. Bastaman (2007) mengatakan bahwa penerimaan diri sebagai tahap awal agar individu dapat mengembangkan diri dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna merupakan tahap paling penting, maka penerimaan diri akan sulit bagi individu melakukan pengembangan diri.

Sejauhmana keberhasilan individu dalam membentuk tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai yang dilingkupi kehidupannya ditentukan dengan adanya penerimaan diri (Hurlock, 2008). Menurut Frankl (2003), kebermaknaan hidup adalah keadaan yang menunjukkan sejauhmana seseorang telah mengalami dan menghayati kepentingan keberadaan hidupnya menurut sudut pandang dirinya sendiri.

Harlock (2008), menjelaskan bahwa dengan memiliki kesadaran untuk menerima dan memahami diri, maka individu dapat mengenali diri sendiri dan akan mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Menurut Satyaningtyas (2012), menerima keadaan diri berarti menghargai segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri sendiri dan berusaha untuk mengelola kelebihan dan kekurangannya dengan sebaik-baiknya.

Seseorang yang dapat menerima dirinya mempunyai penilaian yang realistik terhadap potensi-potensi yang ada pada dirinya disertai dengan penilaian yang positif akan harga dirinya (Hurlock,2008). Bastaman (2007), mengatakan bahwa karakteristik

(31)

22

yang dimiliki individu dengan penerimaan diri akan dihayati sebagai anugerah, segala yang ada pada diri individu dirasakan sebagai hal yang menyenangkan sehingga individu memiliki keinginan untuk terus dapat menikmati kehidupan. Maka perubahan individu menjadi penyandang cacat fisik karena penyakit, kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja pada masa pertumbuhan dapat diterima oleh penyandang cacat fisik yang memiliki penerimaan diri dengan hati lapang. Hal ini sesuai pendapat Satyaningtyas (2012), bahwa penerimaan diri merupakan sikap yang mencerminkan rasa senang sehubungan dengan kenyataan diri sendiri.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Terdapat hubungan positif hubungan positif dengan kebermaknaan hidup pada remaja tuna daksa di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi penerimaan diri akan semakin tinggi pula kebermaknaan hidup.

Saran

Saran yang dapat penulis berikan adalah :

1. Bagi remaja tuna daksa disarankan bahwa penting memiliki penerimaan diri yang positif untuk dapat mengembangkan potensi-potensi kualitas insani masing-masing dengan cara mematuhi ajaran agama dan beribadah, melakukan aktivitas pekerjaan yang positif, dan bersosialisasi tanpa rasa minder agar tetap eksis meneruskan kehidupan untuk mencapai tujuan-tujuan yang akan datang di dalam hidupnya sehingga tetap yakin bahwa hidup ini sangat berarti.

(32)

23

2. Bagi lembaga yang aktif peduli untuk kesejahteraan kehidupan para peyandang cacat disarankan agar dapat menyelenggarakan program atau kegiatan yang meningkatkan kesadaran para penyandang cacat secara umum dan fisik pada khususnya untuk memiliki penerimaan diri yang positif supaya hidup penyandang tuna daksa tetap bermakna.

3. Bagi peneliti selanjtnya yang memiliki minat tentang penerimaan diri dan kebermaknaan hidup pada tuna daksa disarankan agar meneliti faktor-faktor lain seperti dukungan sosial, keimanan, serta pemenuhan nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan dan nilai-nilai bersikap dan dalam pemilihan umur disarankan untuk mengambil jarak yang tidak terlalu jauh.

(33)

24

Daftar Pustaka

Bastaman. H. D. Logoterapi, (2007). Psikologi Untuk Menemukan Makna Hidup Dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

Chaplin, J.P. (2011). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Crumbaugh, 1987. An Experimental Study In Existentialism: The Psychomel Ric Approach To Frankl's Concept Of Noogenic Neurosis. Construct validity in psychological testa. Psychol. Bull., 1955, 6B, 281-302

Denmark, K. L. (1973). Self-Acceptance and leader Effectiveness. Journal Extensions. Texas A&M University

Frankl, Viktor E. Man (2003). Search For Meaning. Terjemahan Lala Hermawati Dharma. Bandung: Nuansa

Ghozali, Imam.( 2014). Model Persamaan Struktural Konsep dan Aplikasi Dengan Program AMOS 22.0. Semarang : Universitas Diponegoro

Hurlock, E.B..(2008). Psikologi Perkembangan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi kelima, Jakarta: Erlangga.

Mangunsong, F. (1998). Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Depok: LPSP3 UI

Paramita, R. (2012). Pengaruh Penerimaan Diri terhadap Penyesuaian Diri Penderita Lupus. Skripsi Sarjana. Universitas Airlangga Surabaya.

Santrock, J.W. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.

Schultz, D. M. (1991). Psikologi pertumbuhan model-model kepribadian sehat. Yogyakarta : Kanisius.

Septian, A. W., (2012). Penyesuaian Diri pada Remaja Tunadaksa Bawaan. Jurnal Psikologi. Jakarta: Gramaedia

(34)

25

Setyaningtyas, (2012). Penerimaan diri dan kebermaknaan hidup penyandang cacat fisik. Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, Yogyakarta

Somantri. (2006). Psikologi anak luar biasa. Bandung: Rafika Aditama.

Sulistya, W. K. (2005). Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kompetensi Interpersonal pada Perawat RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Wangsa Manggala.

Sujarwanto. (2004). Terapi Okupasi untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Direktoran Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Dit. P2TK dan KPT)

Wrastari, A.T. (2003). Pengaruh Pemberian Pelatihan Neuro Linguistik Programming (NLP) terhadap Peningkatan Penerimaan Diri Penyandang CacatTubuh padaRemaja Penyndang Cacat Tubuh di Pusat Rehabilitasi Panti Sosial Bina Daksa ”Suryatama” Bangil Pasuruan. Skripsi Sarjana tidak diterbitkan. UniversitasAirlangga

Gambar

Tabel 3  Uji Normalitas Data
Tabel 4  Uji Linearitas Data
Tabel  di  atas  dapat  dijelaskan  bahwa  hubungan  positif  dengan  kebermaknaan  hidup  pada  remaja  tuna  daksa  di  BBRSBD  Prof

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis maka diperoleh korelasi yang signifikan antara dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup (r) sebesar 0,296 dengan p= 0,001 dimana p &lt; 0,01, hal

Pengertian makna hidup dalam penelitian ini adalah sesuatu yang dianggap penting dalam hidup seseorang guru SLB, yang mana dengan pekerjaannya yang berat, guru tersebut masih

Hipotesa dalam penelitian ini ialah ada hubungan positif antara makna hidup dengan dukungan sosial pada lansia yang tinggal di panti wreda, yang berarti semakin

Sehingga berakibat mereka mengalami kevakuman eksistensi, yaitu tidak mengetahui apa-apa saja yang harus dilakukan untuk pemenuhan akan makna hidup tersebut, yang kemudian

Untuk menemukan makna hidup yang benar, maka kita perlu merujuk ke rujukan yang dijamin kebenarannya yang tiada lain adalah Al Quran yang merupakan firman Allah Yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan yang positif dan signifikan antara penerimaan diri dengan kebermaknaan hidup pada remaja penyandang tuna

Skripsi ini berjudul “Hubungan Antara Ri ḍ a dengan Makna Hidup pada Penyandang Difabel Tuna Daksa di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Semarang ” yang di

Dapat disimpulkan bahwa penyandang cacat fisik masih kurang menghayati makna hidupnya sehingga kegiatan kurang terarah pada tujuan hidup, tidak puas dengan kehidupan