• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBERMAKNAAN HIDUP PENYANDANG DISABILITAS FISIK YANG BERWIRAUSAHA : Penelitian Fenomenologi Pada Tiga Orang Penyandang Disabilitas Fisik yang Berwirausaha di Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEBERMAKNAAN HIDUP PENYANDANG DISABILITAS FISIK YANG BERWIRAUSAHA : Penelitian Fenomenologi Pada Tiga Orang Penyandang Disabilitas Fisik yang Berwirausaha di Kota Bandung."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

KEBERMAKNAAN HIDUP PENYANDANG DISABILITAS FISIK YANG

BERWIRAUSAHA

(Penelitian Fenomenologi Pada Tiga Orang Penyandang Disabilitas Fisik yang Berwirausaha di Kota Bandung)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi pada Jurusan Psikologi

Oleh:

Dewi Novianti

0901520

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2013

(2)

KEBERMAKNAAN HIDUP PENYANDANG DISABILITAS FISIK YANG BERWIRAUSAHA

(Penelitian Fenomenologi Pada Tiga Orang Penyandang Disabilitas Fisik yang Berwirausaha di Kota Bandung)

Oleh:

Dewi Novianti

NIM. 0901520

Sebuah Skripsi Yang Diajukan Untuk Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Pada Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan

© Dewi Novianti

Universitas Pendidikan Indonesia

September 2013

Hak cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian,

(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

NOVIANTI, DEWI (0901520). KEBERMAKNAAN HIDUP PENYANDANG DISABILITAS FISIK YANG BERWIRAUSAHA (Penelitian Fenomenologi Pada

Tiga Orang Penyandang Disabilitas Fisik yang Berwirausaha di Kota Bandung). Bandung: UPI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna hidup pada penyandang disabilitas fisik yang berwirausaha. Penelitian dilakukan pada tiga subjek yang merupakan penyandang disabilitas fisik akibat kecelakaan dan penyakit. Informasi dari subjek didapatkan dengan menggunakan pendekatan fenomenologi melalui wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data yang utama. Penelitian ini menggunakan teori Logoterapi dari Viktor E. Frankl. Makna hidup adalah sesuatu yang dianggap penting dan dijadikan sebagai tujuan hidup seseorang. Makna hidup bersifat objektif pada manusia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa subjek memaknai kebebasan berkehendak, hasrat hidup bermakna dan makna hidup melalui pengalaman yang berbeda. Selain itu, makna hidup pada ketiga subjek didapatkan dari tiga sumber nilai yaitu: (1) nilai-nilai kreatif, yang berarti subjek mampu menunjukkan daya cipta akan sesuatu, kerja, dan melakukan tugas-tugas dalam hidupnya, (2) nilai-nilai pengalaman, yang berarti subjek menghayati makna dari sesuatu atau seseorang yang berharga bagi mereka, (3) nilai-nilai bersikap, yang berarti subjek dapat menerima penderitaan dalam hidup mereka dengan postif. Melalui penemuan makna hidup ketiga subjek telah mengetahui tujuan hidup mereka dengan jelas sehingga mampu bangkit dari penderitaan dan tidak putus asa dalam mejalani kehidupannya sebagai seorang penyandang disabilitas disabilitas fisik.

(6)

ABSTRACT

NOVIANTI, DEWI. (0901520). THE MEANINGFULL LIFE OF AN ENTREPRENEUR WITH PHYSICAL DISABILITY (Phenomenology Research on

Three Entrepreneurs with Physical Disability in Bandung City). Bandung: UPI.

This study aims to gain insight about the meaning of life on entrepreneur with physical disability. The research was conducted on three subjects who become physically disabled cause an accident and disease. The information disclosed by the subject using the phenomenological method with in-dept interviews, observation, and documentation as the primary data collection techniques. This study uses the Logotheraphy theory by Viktor E. Frankl. The meaning of life is considered something of value and be objective of the humans. The results showed that the subjects have the different experience about the freedom of will, the will to meaning, and the meaning of life. Furthermore, the meaning of life has been found by subjects from these three sources: (1) creative value, which means subject be able to create something, work, and perform their tasks in life, (2) experiential values, which means subject learnt the meaning of something or someone who was precious for them, (3) attitudinal values, which means subject can accept his/her suffering in life in a possitive way. Three subjects in this research have clearly known their purpose in life by found the meaning of life. They can face their suffering and living as the people with physical disability without any distraught feeling.

(7)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN NASKAH ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR BAGAN ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Logoterapi ... 10

B. Proses Penemuan Makna Hidup... 14

C. Sumber-sumber Penemuan Makna Hidup ... 16

D. Disabilitas Fisik ... 18

E. Kewirausahaan ... 27

F. Penelitian Sebelumnya ... 35

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 38

B. Subjek Penelitian ... 40

C. Instrumen Penelitian... 42

D. Teknik Pengumpulan Data ... 42

(8)

F. Teknik Keabsahan Data ... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Data Profil Subjek ... 48 B. Hasil Penelitian ... 61 C. Pembahasan ... 128

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 142 B. Saran ... 144

DAFTAR PUSTAKA ... 145

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Pengertian makna hidup menyiratkan bahwa di dalamnya terkandung tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan

dipenuhi. Menemukan makna hidup dan menetapkan tujuan hidup merupakan upaya untuk mengembangkan hidup yang bermakna (Bastaman, 2007). Makna bersifat khas dan unik bagi setiap individu. Frankl (1969) menegaskan bahwa makna kehidupan berbeda dari individu yang satu dengan individu yang lain, bahkan dari momen yang satu dengan momen yang lain.

Steger, et al. (2008) menuliskan pencarian makna merupakan kekuatan motivasi yang utama pada manusia. Pencarian makna hidup seharusnya bersifat alamiah, menjadi bagian yang sehat dari kehidupan. Pencarian ini menghimbau orang-orang untuk senantiasa mencari kesempatan-kesempatan dan tantangan-tantangan dalam hidup serta membangkitkan hasrat mereka untuk mengerti dan mengatur pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam hidup.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa pemahaman akan pengalaman turut berkontribusi dalam proses pencarian makna hidup seseorang. Setiap manusia memiliki pengalaman yang bersifat subjektif dalam hidup, tidak terkecuali bagi individu penyandang disabilitas fisik. Menurut Psarra & Kleftaras (2013) menjalani hidup sebagai seorang penyandang disabilitas fisik tidak hanya memberikan kesempatan kepada individu untuk menyikapi hidup tetapi juga untuk dapat menemukan makna dari pengalamannya tersebut. Hal ini sejalan

(10)

2

bermacam-macam nilai, salah satunya disebut sebagai nilai-nilai pengalaman (experiential).

Menjadi seorang individu penyandang disabilitas fisik bukanlah hal yang mudah untuk dijalani karena pada dasarnya setiap manusia berharap dapat memiliki anggota tubuh yang lengkap. Penyandang disabilitas fisik dengan struktur tubuh yang berbeda dari manusia pada umumnya menciptakan cara yang berbeda pula dalam memaksimalkan fungsi tubuhnya. Tanpa fungsi tubuh yang lengkap, manusia kehilangan sensasi-sensasi atomistik yang membentuk

pemaknaan dalam relasi manusia dengan dunianya. Sensasi yang muncul pada saat manusia yang telah terlahir memiliki struktur tubuh dan fungsi yang lengkap jauh berbeda dengan manusia yang terlahir penyandang disabilitas fisik (Widiasari, 2012).

Gordon & Benishel (dalam Psarra & Kleftaras, 2013) memberikan penjelasan yang lebih spesifik bahwa seorang penyandang disabilitas fisik mengalami kehilangan banyak komponen identitasnya, seperti kehilangan kemandirian, integritas tubuh dan mobilitas, serta perannya berkaitan dengan pekerjaan maupun hubungan sosialnya.

(11)

3

Feist & Feist (dalam Tentama, 2010) mengatakan bahwa kekurangan yang terdapat pada salah satu bagian tubuh individu dapat mempengaruhi individu tersebut secara keseluruhan. Hal ini disebabkan penyandang disabilitas fisik bila dibandingkan dengan jenis disabilitas yang lain lebih mudah diketahui karena tampak secara jelas dan penderita disabilitas fisik pun menyadari hal tersebut.

Efendi (2006) juga menuliskan individu yang mengalami tunadaksa akan menimbulkan perasaan frustrasi dan harga diri yang rendah. Depresi merupakan salah satu jenis gangguan psikologis yang sering muncul pada penyandang disabilitas fisik (Psarra & Kleftaras, 2013). Ketika individu penyandang

disabilitas fisik tidak memiliki makna, tujuan atau misi di dalam hidup dan malah bersikap apatis, jenuh akan disabilitas fisik mereka, maka akan semakin sulit pula mereka menerima serta menyesuaikan diri dengan disabilitas yang diderita.

Oleh sebab itu penemuan makna hidup merupakan hal yang penting untuk dimiliki oleh individu penyandang disabilitas fisik karena menurut Bastaman (2007) jika individu berhasil menemukan makna hidupnya, maka ia akan

Multipel 7%

Tunadaksa 34%

Tunanetra 16% Tunarungu

10% Tunawicara

7% Tunarungu

Tunawicara 3%

Mental 9%

Keterbelakangan Mental

14%

(12)

4

merasakan bahwa kehidupannya sangatlah berarti dan berharga sehingga pada akhirnya akan menimbulkan pengahayatan bahagia sebagai akibat sampingannya.

Penyandang disabilitas fisik merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki hak asasi sebagai seorang manusia. Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas fisik, pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan

yang mengatur pelindungan terhadap penyandang disabilitas fisik. Salah satunya adalah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2006 tentang penyelenggaraan perlindungan penyandang cacat.

Berdasarkan peraturan daerah tersebut, yang dimaksud dengan penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik, dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental serta penyandang cacat fisik dan mental.

Bagi penyandang disabilitas fisik, salah satu hambatan yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari sangat terasa dalam bidang pekerjaan. Persepsi dalam benak orang-orang yang menganggap rendah penyandang disabilitas diantaranya adalah bahwa kekurangan atau ketidaksempurnaan yang mereka alami itu menyebabkannya tidak bisa maju atau berkarya. Penyadang disabilitas fisik dipandang tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk memegang suatu jabatan, lebih banyak merepotkan, dan menambah pengeluaran perusahaan karena harus menyediakan akomodasi atau fasilitas khusus jika dibandingkan dengan karyawan lainnya (Sulastri, 2006).

(13)

5

disabilitas membuat kalangan berkebutuhan khusus ini dianggap merepotkan sehingga keberterimaan di dunia industri masih sangat minim (pikiran-rakyat.com, 2012). Dalam republika.com, Mardiani (2012) mengutip pernyataan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, yang mengatakan jumlah perusahaan di Indonesia yang mempekerjakan penyandang disabilitas masih minim. Padahal, sudah ada undang-undang ketenagakerjaan yang mengatur pekerja yang mengalami disabilitas.

Undang-undang ketenagakerjaan yang dimaksud adalah UU Penyandang

Cacat No.4 Tahun 1997 tentang kuota 1% bagi pekerja penyandang disabilitas, dan Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, meliputi kesamaan kesempatan, rehabilitasi, pemberian bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial yang dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab bersama dari pemerintah, masyarakat, keluarga, dan penyandang cacat sendiri.

Meskipun sudah ada aturan yang jelas mengenai ketenagakerjaan tersebut, penyandang disabilitas fisik masih merasa kesulitan untuk memperoleh kesempatan kerja. Industri-industri besar umumnya mencari karyawan yang sehat secara jasmani maupun rohani agar karyawan tersebut diharapkan mampu mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baiknya. Hal tersebut tentu menjadi hambatan tersendiri bagi individu penyandang disabilitas fisik untuk mengembangkan diri di dunia kerja karena keterbatasan fisik yang dimilikinya. Selain soal kualitas SDM, penyediaan fasilitas yang aksesibel bagi penyandang disabilitas fisik di tempat kerja menjadi pertimbangan penting bagi perusahaan untuk menerimanya sebagai pekerja.

Faktor psikologis dari dalam diri penyandang disabilitas fisik sendiri turut mempengaruhi keputusan mereka untuk bekerja. Penelitian Martini (2012)

(14)

6

melakukan suatu kegiatan yang produktif. Terkait dengan masih minimnya kesempatan penyandang disabilitas fisik berkiprah sebagai karyawan di dunia industri, wirausaha menjadi salah satu alternatif pekerjaan yang dapat ditempuh oleh para penyandang disabilitas fisik.

Dalam situs majalahdiffa.com yang merupakan media disabilitas Indonesia, dapat ditemukan berbagai artikel mengenai penyandang disabilitas fisik yang sukses menjadi seorang wirausaha, diantaranya Prasethyo (2013) yang menuliskan artikel mengenai bisnis konveksi tunanetra di Bandung dan Yovinus (2012)

tentang usaha keripik singkong seorang tunadaksa di Surabaya. Dari pemberitaan tersebut, dapat diketahui bahwa individu penyandang disabilitas fisik juga mampu mandiri dengan bekerja untuk dapat melanjutkan kehidupan walaupun dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Turmusani (2011) yaitu kemampuan untuk bekerja dan berpenghasilan merupakan ciri kedewasaan seseorang yang ditandai oleh adanya tanggung jawab dan kemandirian.

Porter et al. (2002) berpendapat bahwa terdapat empat alasan yang menyebabkan seseorang bekerja, yaitu pertama karena bekerja merupakan sarana bagi manusia untuk saling bertukar ide atau gagasan, yang kedua karena bekerja secara umum memenuhi beberapa fungsi sosial antara lain tempat bekerja memberikan kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang baru dan membina persahabatan. Alasan ketiga adalah dengan bekerja seseorang mendapatkan status atau kedudukan dalam masyarakat serta alasan yang terakhir dengan bekerja seseorang mendapatkan identitas, harga diri, aktualisasi diri, dan makna hidup.

Pendapat tersebut berhubungan dengan teori Frankl (2008) yang menyebutkan ada tiga cara yang bisa ditempuh manusia untuk menemukan makna hidup: pertama melalui pekerjaan atau perbuatan, kedua dengan mengalami sesuatu atau

(15)

7

disabilitas fisik yang juga memiliki kesempatan untuk mampu berkarya dan bekerja sesuai dengan keahliannya.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Kebermaknaan Hidup Penyandang Disabilitas fisik yang Berwirausaha (Penelitian Fenomenologi Pada Tiga Orang Penyandang Disabilitas Fisik yang Berwirausaha)”. Pemilihan individu penyandang disabilitas fisik yang berwirausaha sebagai subjek pada penelitian ini didasari oleh kemampuan penyandang disabilitas fisik untuk bangkit dari penderitaan

sehingga dapat memiliki usaha sendiri di samping masih adanya stigma negatif masyarakat yang kerap diterima oleh individu penyandang disabilitas fisik seperti yang telah peneliti uraikan sebelumnya. Hal tersebut menjadi ketertarikan tersendiri bagi peneliti untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang kehidupan seorang penyandang disabilitas fisik, khususnya tentang makna hidup mereka.

B. Fokus Penelitian

(16)

8

C. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran kebermaknaan hidup pada penyandang disabilitas fisik yang berwirausaha?

2. Penelitian ini akan meneliti dan mengungkap proses penemuan makna hidup penyandang disabilitas fisik yang berwirausaha melalui sumber-sumber makna hidup yaitu:

a. Bagaimana penyandang disabilitas fisik yang berwirausaha menghayati

nilai-nilai kreatif (creative value)?

b. Bagaimana penyandang disabilitas fisik yang berwirausaha menghayati nilai-nilai pengalaman (experiential value)?

c. Bagaimana penyandang disabilitas fisik yang berwirausaha menghayati nilai-nilai besikap (attitudinal value)?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui gambaran kebermaknaan hidup penyandang disabilitas fisik yang berwirausaha.

2. Mengetahui proses penemuan makna hidup penyandang disabilitas fisik yang berwirausaha melalui penghayatan terhadap nilai-nilai kreatif (creative value), nilai-nilai pengalaman (experiential value), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal value).

E. Manfaat Penelitian

Bila tujuan penelitian dapat tercapai, maka hasil penelitian akan memiliki manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

(17)

9

kebermaknaan hidup penyandang disabilitas fisik, serta dapat menjadi bahan kajian yang bermanfaat bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai salah satu upaya peneliti dalam menyampaikan aspirasi serta sosialisasi fenomena penyandang disabilitas fisik di bidang kewirausahaan sehingga dapat lebih memahami mengenai tujuan penelitian ini. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi individu penyandang disabilitas fisik lainnya agar

(18)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif atau naturalistik karena dilakukan pada kondisi yang alamiah. Sugiyono (2013) mengemukakan bahwa metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah

sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.

Obyek alamiah yang dimaksud oleh Sugiyono (2013) adalah obyek yang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti sehingga kondisi pada saat peneliti memasuki obyek, setelah berada di obyek dan setelah keluar dari obyek relatif tidak berubah. Jadi selama melakukan penelitian mengenai kebermaknaan hidup penyandang disabilitas yang berwirausaha ini peneliti sama sekali tidak mengatur kondisi tempat penelitian berlangsung maupun melakukan manipulasi terhadap variabel.

Metode kualitatif menurut Creswell (1998) adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden dan melakukan studi pada situasi yang alami. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2007) menyebutkan metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

(19)

39

tentang pandangan tentang kehidupan dari orang yang berbeda-beda. Pemikiran ini didasari pula oleh kenyataan bahwa makna yang ada dalam setiap orang berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk mengungkap kenyataan yang ada dalam diri orang yang unik itu menggunakan alat lain kecuali manusia sebagai instrumen.

Dengan menggunakan metode kualitatif ini, realitas atau fenomena mengenai kebermaknaan hidup pada penyandang disabilitas fisik yang berwirausaha akan dipandang sebagai suatu hasil konstruksi pemikiran yang

dinamis dan penuh makna. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Sugiyono (2013) yang menyebutkan bahwa realitas dalam metode penelitian kualitatif merupakan konstruksi dari pemahaman terhadap semua data dan maknanya.

Berdasarkan teori Frankl (1969) yang menyebutkan bahwa tidak ada makna hidup yang bersifat umum atau sama antara manusia melainkan makna unik yang berasal dari situasi-situasi individual, maka ketika peneliti melakukan penelitian mengenai kebermaknaan hidup penyandang disabilitas fisik ini digunakan pendekatan fenomenologi. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Moleong (2007) yaitu peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada pada situasi tertentu.

Fenomenologi tidak memungkiri bahwa seorang peneliti tidak dapat dilepaskan dari prasangka atau asumsi-asumsinya. Namun di sisi lain, fenomenologi memiliki ciri khas, yaitu gejala yang hendak diselidiki haruslah berupa gejala yang “murni” atau “asli” (Abidin, 2007). Artinya, gejala tersebut jangan dicampurbaurkan dengan gejala lain yang tidak berhubungan, atau diintervensi oleh interpretasi-interpretasi lain yang berasal dari kebudayaan, kepercayaan, atau bahkan dari teori-teori dalam ilmu

pengetahuan yang telah kita miliki sebelumnya.

(20)

40

Dalam Kuswarno (2009) disebutkan bahwa fenomenologi bertujuan untuk mengetahui dunia dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung dan berkaitan dengan sifat-sifat alami pengalaman manusia, dan makna yang dilekatkan padanya. Obyek kajian dari fenomenologi adalah sebuah kesadaran dari pengalaman (awareness of experience), yaitu keadaan yang memberikan sudut pandang pengalaman dari orang pertama.

Jadi dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, peneliti berusaha untuk menggali nilai-nilai dalam pengalaman dan kehidupan seorang

penyandang disabilitas fisik yang berwirausaha berkaitan dengan pencarian makna hidupnya.

B. Subjek Penelitian

Tujuan dari pemilihan subjek penelitian dalam penelitian fenomenologi adalah untuk mendapatkan subjek yang mengalami fenomena sesuai dengen fokus penelitian yang telah ditentukan oleh peneliti (Sandelowski, 1986).

Penelitian ini dilakukan di kota Bandung. Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, maka subjek penelitian dikhususkan pada penyandang disabilitas fisik yang bekerja sebagai wirausaha. Jumlah subjek penelitian ditentukan sebanyak tiga orang. Jumlah tersebut menurut peneliti sudah cukup sesuai dengan pendapat Dukes (dalam Creswell, 1998) yang merekomendasikan penelitian fenomenologi menggunakan tiga hingga sepuluh subjek.

Adapun kriteria subjek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penyandang disabilitas yang bergelut di bidang kewirausahaan, baik yang

menghasilkan produk maupun jasa.

2. Subjek harus memiliki rekan kerja dalam menjalankan usahanya tersebut, dengan kata lain tidak bekerja sendirian.

(21)

41

akibat penyakit yang menyebabkan terganggunya mobilitas individu yang bersangkutan.

4. Subjek adalah individu dewasa. Pemilihan individu dewasa sebagai subjek penelitian ini karena salah satu ciri khas yang terdapat pada individu dewasa adalah keinginan dan perjuangannya untuk merasakan makna serta tujuan hidup (Corey, 1999). Oleh sebab itu, peneliti menjadikan penyandang disabilitas fisik yang telah memasuki usia dewasa sebagai subjek penelitian.

Penemuan subjek juga menggunakan teknik snowball atau chain sampling yang menurut Patton (1990) dilakukan dengan cara bertanya pada sejumlah orang mengenai orang lain yang dianggap memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian. Dari beberapa orang yang ditanya, diambil nama yang paling sering disebutkan dan memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Proses penemuan subjek dengan menggunakan teknik snowball dalam penelitian ini dijelaskan dalam bentuk bagan sebagai berikut:

Keterangan: A : Subjek Satu B : Subjek Dua C : Subjek Tiga Informasi dari media massa (surat kabar dan internet) A C B Sumber Tiga C Sumber Satu Sumber Dua Sumber Empat B D B E B F C H C C I C Sumber Lima

(22)

42

C. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Peneliti menjadi human instrument yang berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber daya, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan. Peneliti sebagai instrumen perlu “divalidasi” seberapa jauh kesiapannya dalam melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan (Sugiyono, 2013).

Proses validasi ini dilakukan melalui evaluasi diri sejauh mana pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori dan wawasan terhadap bidang yang akan diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan. Moleong (2007) juga menegaskan peran peneliti dalam metode penelitian kualitatif cukup rumit, yaitu sebagai instrumen dalam metode penelitian kualitatif yang merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis penafsiran data, dan pada akhirnya menjadi pelapor hasil penelitian. Jadi dalam penelitian ini peneliti akan terjun ke lapangan sendiri, dari pengumpulan data, analisis, hingga membuat kesimpulan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Sugiyono (2013) menyebutkan dalam penelitian kualitatif pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan (participant observation), wawancara mendalam (in depth interview) dan dokumentasi. Berdasarkan teori tersebut, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Wawancara mendalam (in depth interview)

(23)

43

menemukan permasalahan secara lebih terbuka, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya (Sugiyono, 2013). 2. Observasi

Menurut Sugiyono (2013), melalui observasi peneliti dapat belajar tentang perilaku dan makna dari perilaku tersebut. Jenis observasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah observasi partisipatif pasif (passive participation) yang berarti bahwa peneliti datang ke tempat subjek melakukan kegiatan yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan

tersebut. 3. Dokumen

Hasil penelitian dari observasi atau wawancara akan lebih kredibel atau dapat dipercaya jika didukung oleh sejarah pribadi kehidupan di masa kecil, di sekolah, di tempat kerja, di masyarakat, dan autobiografi (Sugiyono, 2013). Dalam penelitian ini, dokumen yang digunakan untuk mendukung data hasil wawancara adalah berupa artikel di media massa mengenai subjek satu dan dua, serta foto-foto pribadi pada subjek tiga. Subjek satu dan dua pada penelitian ini telah beberapa kali diliput oleh media massa seperti surat kabar, majalah, dan televisi sehingga peneliti memanfaatkan dokumentasi tersebut untuk mengumpulkan data penelitian setelah wawancara.

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan teori dari Creswell (1998). Dalam bukunya yang berjudul Qualitative Inquiry and Research Design; Choosing Among Five Traditions, Creswell mengemukakan teknik analisis data untuk penelitian fenomenologi sebagai

berikut:

(24)

44

peneliti sehingga fokus pada analisis data ini akan langsung terhadap subjek penelitian ini.

2. Kembangkan sebuah daftar pernyataan-pernyataan penting dari subjek. Peneliti kemudian menemukan pernyataan yang berasal dari data wawancara atau sumber data lainnya mengenai bagaimana subjek mengalami suatu topik, buat daftar dari pernyataan-pernyataan penting tersebut. Proses ini disebut horizonalizing data dan selanjutnya peneliti kembangkan daftar pernyataan dengan tidak melakukan pengulangan atau

tumpang tindih pernyataan.

3. Ambil pernyataan-pernyataan penting dari proses horizonalizing kemudian gabungkan pernyataan-pernyataan tersebut ke dalam unit-unit bermakna, disebut “meaning unit”.

4. Peneliti kemudian menuliskan sebuah deskripsi tentang “apa” yang subjek penelitian alami terhadap fenomena. Proses ini disebut “textural description”, yaitu peneliti menuliskan sebuah penjelasan teks tentang pengalaman apa yang dialami oleh subjek. Contoh verbatimnya juga dimasukan ke dalam proses ini.

5. Selanjutnya, peneliti mendeskripsikan “bagaimana” pengalaman tersebut dapat terjadi. Tahap ini disebut “structural description”. Peneliti merefleksikan latar dan keadaan yang mana fenomena tersebut dialami oleh subjek. Sebagai contoh, Creswell menyebutkan suatu penelitian fenomenologi mengenai perilaku merokok pada anak SMA. Pada penelitian yang dilakukan oleh Creswell dan beberapa koleganya tersebut, ia menyajikan sebuah “structural description” tentang di mana fenomena merokok yang dikaji dalam penelitiannya itu timbul, seperti misalnya di tempat parkir, di luar sekolah, di loker-loker murid, di lokasi terpencil

sekitar sekolah, dan sebagainya.

(25)

45

dari penelitian fenomenologi. Tahap ini berbentuk sebuah paragraf panjang yang memberitahu pembaca “apa” pengalaman subjek dengan fenomena tersebut dan “bagaimana” mereka mengalaminya.

[image:25.595.117.519.252.698.2]

Secara lebih singkat, teknik analisis data pada penelitian fenomenologi disajikan oleh Cresswel (1998) dalam bentuk tabel di bawah ini:

Tabel 3.1 Teknik Analisis Data Fenomenologi Creswell (1998)

Analisis dan Representasi Data Penelitian Fenomenologi

Pengelolaan data Membuat dan mengorganisasikan berkas atau catatan-catan untuk data penelitian.

Membaca dan mengingat data Membaca teks, membuat batasan-batasan catatan, dan membuat bentuk kode-kode inisial.

Menggambarkan data  Gambarkan pengalaman pribadi melalui epoche.

 Gambarkan esensi dari fenomena

tersebut.

Klasifikasi data  Mengembangkan

pernyataan-pernyataan penting dari subjek  Mengembangkan sebuah deskripsi

struktural (structural description), “bagaimana” fenomena dialami oleh subjek.

 Mengembangkan esensi

(26)

46

F. Teknik Keabsahan Data

Setiap penelitian membutuhkan uji keabsahan untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya. Dalam penelitian kuantitatif, untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel yang diuji validitas dan reliabilitasnya adalah

instrumen penelitiannya, sedangkan dalam penelitian kualitatif, yang diuji adalah datanya. Oleh karena itu, Susan Staick (dalam Sugiyono, 2013)

menyatakan bahwa penelitian kuantitatif lebih menekankan pada aspek reliabilitas, sedangkan penelitian kualitatif lebih pada aspek validitas.

Pada penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Tetapi perlu diketahui bahwa kebenaran realitas data menurut penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal, tetapi jamak dan tergantung pada konstruksi manusia, dibentuk dalam diri seorang sebagai hasil proses mental tiap indivdiu dengan berbagai latar belakangnya (Sugiyono, 2013). Jadi pengertian reliabilitas pada penelitian kualitatif berbeda dengan kuantitatif karena realitas selalu berubah sehingga tidak ada yang konsisten dan berulang seperti semula.

Sugiyono (2013) juga mengemukakan beberapa cara untuk melakukan uji kredibilitas data, diantarnya perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman, analisis kasus negatif, dan member check.

Dalam penelitian ini pengujian kredibilitas data penelitian dilakukan dengan cara:

1. Triangulasi

Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai

(27)

47

digunakan triangulasi sumber sebagai teknik keabsahan data. Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Misalnya, dalam penelitian ini peneliti ingin menguji kredibilitas data tentang aspek creative value yang berhubungan dengan pekerjaan subjek, maka pengumpulan dan pengujian data yang telah diperoleh dilakukan ke rekan-rekan kerja subjek. Demikian pula untuk aspek lainnya, dilakukan uji keabsahan data menggunakan cara triangulasi sumber.

2. Member check

Member check adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data dengan tujuan agar informasi yang diperoleh dan akan digunakan dalam penulisan laporan sesuai dengan apa yang dimaksud sumber data atau informan (Sugiyono, 2013). Dengan melakukan member check, peneliti dapat mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data.

(28)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dalam logoterapi, manusia dipandang memiliki kebebasan berkehendak (the freedom of will), hasrat hidup bermakna (the will to meaning), dan makna hidup (the meaning of life). Ketiga landasaran filosofis logoterapi tersebut dapat mengantarkan manusia pada taraf kehidupan bermakna.

Berikut ini gambaran kebermaknaan hidup pada masing-masing subjek: 1. Subjek satu (IS) telah mampu memandang kehidupannya saat ini

dengan pemaknaan yang lebih positif dibandingkan dengan kehidupan sebelum menjadi penyandang disabilitas fisik. Nilai-nilai kreatif (creative value) dihayati subjek melalui pekerjaan sebagai seorang pembuat kaki palsu sehingga mampu merasakan hidup yang lebih bermanfaat karena dapat membantu sesama penyandang disabilitas fisik. Nilai-nilai pengalaman (experiential value) dihayati subjek dari dukungan keluarga dan masyarakat sehingga subjek mampu bangkit dari musibah yang dihadapainya. Nilai-nilai bersikap (attitudinal value) dihayati subjek melalui kemampuan mengambil sikap positif terhadap peristiwa negatif dalam hidup yaitu dengan memandang peristiwa kecelakaan yang dialami sebagai takdir Tuhan yang tidak dapat diubah. Kehendak untuk memiliki kehidupan yang bermakna menjadi motivasi bagi subjek IS senantiasa berusaha melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat lagi bagi dirinya dan orang lain.

2. Subjek dua (YS) yang sempat merasakan penderitaan akibat pandangan negatif dari orang tua kini menjalani kehidupannya dengan lebih

(29)

143

bermakna yang dimilikinya. Dengan berwirausaha, subjek YS menghayati nilai-nilai kreatif (creative value) sehingga merasa kepercayaan dirinya meningkat, dihargai banyak orang, dan dapat menjadi contoh untuk anak-anaknya melalui pekerjaan. Keikutsertaan subjek dua di beberapa organisasi penyandang disabilitas juga mampu memberikan manfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. Nilai-nilai pengalaman (experiential value) dihayati melalui keyakinan subjek akan kebesaran Tuhan memberikan semangat untuk tidak putus aja

dalam menjalani hidup. Nilai-nilai bersikap (attitudinal value) dihayati subjek dengan memilih sikap menerima kepergian suami tanpa larut dalam kesedihan sehingga mampu bangkit dari keterpurukan ekonomi untuk menghidupi kedua anaknya.

3. Subjek tiga (ZJ) menemukan kebermaknaan hidupnya melalui rasa syukur terhadap nikmat Tuhan yang telah diberikan kepadanya dalam bentuk kehadiran seorang istri dan anak. Subjek ZJ ingin memiliki kehidupan yang lebih bermakna tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga anaknya. Nilai-nilai kreatif (creative value) dihayati subjek ZJ melalui pekerjaannya di bidang wirausaha dan hobinya di bidang musik dan fotografi. Nilai-nilai pengalaman (experiential value) dihayati subjek dengan merasakan cinta kasih dari istri dan keluarganya serta hubungan sosial dengan sesama penyandang disabilitas fisik di organisasi yang diikutinya. Melalui penghayatan nilai-nilai bersikap (attitudinal value), subjek ZJ mampu menyikapi penderitaan dengan menciptakan pikiran positif sehingga tidak mudah tertekan dengan keadaan yang tidak menyenangkan. Subjek ZJ saat ini berusaha menjalani kehidupan yang hanya dimiliki satu kali ini dengan apa

adanya tanpa harus menyesali keadaan diri dan mengisi kehidupannya dengan kegiatan yang bermanfaat.

(30)

144

inilah yang membuat subjek tidak bosan dan tidak putus asa hidup sebagai seorang penyandang disabilitas fisik.

B. Saran

1. Bagi peneliti selanjutnya yang menggunakan tema serupa, disarankan agar melakukan proses pengumpulan data dan analisis yang lebih mendalam serta dilakukan secara berulang-ulang sehingga dapat memahami secara menyeluruh pemahaman fenomenologis subjek.

2. Bagi masing-masing subjek, peneliti memberikan saran sebagai berikut:

a. Subjek satu, agar tidak bosan untuk mencari inspirasi lagi dalam hidup sehingga diharapkan mampu menghasilkan hasil karya-karya inovatif lainnya melalui kemampuan kreatif yang dimiliki subjek. b. Subjek dua, agar mengembangkan potensinya di dunia bisnis

sehingga diharapkan gagasannya untuk memberikan hunian yang aksesibel bagi penyandang disabilitas dapat diwujudkan menjadi sesuatu yang nyata dan dapat dinikmati oleh orang lain.

c. subjek tiga, agar tidak memaksakan diri melakukan suatu hal yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Sebaiknya subjek tiga berpikir panjang terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.

3. Bagi masyarakat, hendaknya tidak memberikan paradigma negatif terhadap individu penyandang disabilitas fisik dan melakukan diskriminasi dalam bentuk apapun karena pada dasarnya penyandang disabilitas fisik sama seperti manusia lain yang patut dihormati hak-haknya.

4. Bagi pemerintah, disarankan untuk membentuk suatu mekanisme pengawasan yang berkaitan dengan implementasi kuota 1 % bagi penyandang disabilitas demi terpenuhinya kesamaan kesempatan di

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. (2007). Analisis Eksistensial: Sebuah Pendekatan Alternatif untuk Psikologi dan Psikiatri. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Adinda, T. (2010). Menggugat Kebijakan dan Pengadaan Fasilitas Umum Untuk Difabel. Jurnal Perempuan: Mencari Ruang Untuk Difabel. 65, 77-88.

Alma, B. (2001). Kewirausahaan. Bandung: CV Alfabeta.

Anoraga, P. (2009). Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.

Anthikad, J. (2007). Psychology for Graduate Nurses (General and Educational Psychology). New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher.

Astamoen, M.P. (2008). Entrepreneurship Dalam Perspektif Kondisi Bangsa Indonesia. Bandung: Alfabeta.

Astati. (2010). Karakteristik dan Pendidikan Anak Tunadaksa dan Tunalaras. Bandung: PLB FIP UPI.

Atkinson, et.al. (1996). Introduction to Psychology: Pengantar Psikologi Jilid Dua. Jakarta: Interaksa.

Bastaman, H.D. (2005). Integrasi Psikologi dengan Islam. Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil.

Bastaman, H.D. (2007). Logoterapi: psikologi untuk menemukan makna hidup dan meraih hidup bermakna. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Bastaman, H.D. (1996). Meraih hidup bermakna: Kisah pribadi dengan pengalaman tragis. Jakarta: Paramadina.

(32)

146

Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Kesejahteraan Sosial: tidak diterbitkan.

Black, H & Kenyon, G. (2007). “Soul Pain: The Meaning of Suffering in Later Life”. Canadian Journal on Aging. (26), 2, 163-165.

Bruyère, S et al. (2005). The International Classification of Functioning, Disability and Health: Contemporary Literature Overview. Educational Publishing Foundation: Originally published in Rehabilitation Psychology, a publication of the American Psychological Association.

Corey, G. (1999). Teori dan praktek : Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Rafika Aditama.

Creswell, J. W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design; Choosing Among Five Traditions. The United States of America: Sage Publications, Inc.

Efendi, M. (2006). Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara.

Frankl, V. (2008). Optimisme di Tengah Tragedi: Analisis Logoterapi. Bandung: Nuansa.

Frankl, V. (1967). Psychotherapy and Existentialism: Selected Papers on Logotherapy. New York: Simon & Schuster, Inc.

Frankl, V. (1969). The Will to Meaning: Foundations and Applicastions of Logotherapy. Plume Books: USA.

Hasan, A. (2008). Pengantar Psikologi Kesehatan Islami. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Hendro. (2011). Dasar-dasar Kewirausahaan. Jakarta: Erlangga.

(33)

147

Kazarian, S. & Evans, D. (2001). Handbook of Cultural Health Psychology. London: Academic Press.

Klerk, JJ, Boshoff, A.B & Van Wyk, R. (2006). “Spirituality in Practice: Relationships Between Meaning in life, Commitment and Motivation”. Journal of Management, Spirituality & Religion. 3, (4), 319-347.

Koeswara, E. (1987). Psikologi eksistensial, suatu pengantar. Bandung: Rosda Offset.

Komalasari, G. (1995). Kecemasan Menghadapi Pensiun (Studi mengenai hubungan Antara Makna Hidup, Dukungan Sosial, dan Sikap Dengan Kecemasan Menghadapi Pensiun Pada Pegawai Negeri Sipil di DKI Jakarta). Thesis memeroleh Gelar Magister Psikologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Komardjaja, I. (2010). “Perempuan Penyandang Cacat dan Lingkungan Binaan yang Penuh Hambatan.” Jurnal Perempuan: Mencari Ruang Untuk Difabel. 65, 31-42.

Kuper, A & Kuper, J. (2008). Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

Kuswarno, E. (2009). Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjajaran.

Laverty, S. (2003). “Hermeneutic Phenomenology and Phenomenology: A comparison Historicaland Methodological Considerations”. International Journal of Qualitative Methods. 2, (3), 1-29.

(34)

148

Mardiani, D. (2012). Perusahaan Yang Pekerjakan Penyandang Cacat Masih

Minim. [Online] Tersedia dalam:

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/12/09/mergy2-perusahaan-yang-pekerjakan-penyandang-cacat-masih-minim [10 Desember 2012].

Marjuki, Dr. ____. “Penyandang Cacat Berdasarkan Klasifikasi International Classification of Functioning for Disability and Health (ICF)”.

Makalah Kabadiklit Kesos: Departemen Sosial Republik Indonesia.

Masduqi, B.F. (2010). “Kecacatan: Dari Tragedi Personal Menuju Gerakan Sosial”. Jurnal Perempuan: Mencari Ruang Untuk Difabel. 65, 17-29.

Misiak, H & Sexton, V. (2005). Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan Humanistik: Suatu Survei Historis. Bandung: PT. Refika Aditama.

Miyahara, M & Piek, J. (2006). “Self-esteem of children and adolescents with Physical Disabilities: Quantitative Evidence from Meta-Analysis”. Journal of Development and Physical Disabilites. 18, (3), 219-233.

Moleong, L. J. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

___________. (2013). Berbagi Peluang: Tantangan Warga Berkebutuhan Khusus di Metropolitan. National Geography Indonesia. Vol.2.

Patton, M. (1990). Qualitative Evaluation and Research Methods. Beverly Hills, CA: Sage.

(35)

149

__________. (2012). Akses Penyandang Cacat ke Dunia Industri Masih Sangat Minim. Pikiran Rakyat [Online] Tersedia dalam: http://www.pikiran-rakyat.com/node/196166 [2 Oktober 2012].

Porter, L. et al. (2002). Motivation and Work Behavior. 7th ed. New York: McGraw-Hill/Irwin

Prasethyo, B. (2013). Bisnis Konveksi Tunanetra yang Sigap. [Online] Tersedia dalam: http://majalahdiffa.com/index.php/wirausaha/230-bisnis-konveksi-tunanetra-yang-sigap [25 April 2013].

Psarra, E & Kleftaras, G. (2013). “Adaptation to Physical Disabilities: The Role of Meaning in Lufe and Depression”. The European Journal of Counselling Psychology. 2, (1), 79-99.

Puspasari, D. & Alfian, I. (2012). “Makna Hidup Penyandang Cacat Fisik Postnatal karena kecelakaan”. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. 1, (2), 151-157.

Putri, S. (2010). “Gambaran Makna Hidup Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang”. Inquiry: Jurnal Ilmiah Psikologi.

3, (1) 1-19.

Sandelowski, M. (1986). “The Problem of Rigor in Qualitative Research”. Journal of Science. (8), 3, 27-37.

Santrock, J. W. (2002), Life-span development: Perkembangan masa hidup (Jilid 2). Jakarta: Erlangga.

Seligman, M. E. P. (2002). Authentic Happiness. Bandung: Mizan Media Utama.

Semium, Y. (2010). Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Kanisius.

Silvia, V. (2010). Aku Pasti Bisa. Surabaya: PT Kawan Pustaka.

(36)

150

Steger, K. et al. (2008). “Understanding the Search for Meaning in Life: Personality, Cognitive Style, and the Dynamic Between Seeking and Experiencing Meaning”. Journal of Personality. 76, (2) 199-228.

Sugiyono. (2013). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.

Sulastri. (2006). Kinerja Karyawan Tunarungu (Studi Kasus Terhadap Karyawan di McDonald’s Buah Batu. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan.

Suryana. (2003). Kewirausahaan: Pedoman Praktis, Kiat, dan Proses Menuju Sukses. Jakarta: Salemba Empat.

Suryawan, Y & Bayu, K. (2003). Kewirausahaan: Pendekatan Karakteristik Wirausahawan Sukses. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sundberg et.al. (2007). Clinical Psychology: Evolving Theory, Practice, and Research. New Jersey: Prentice Hall

Taylor, S. et al. (2012). Psikologi Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Tentama, F. (2010). “Berpikir Positif dan Penerimaan Diri Pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh Akibat Kecelakaan”. Jurmal Humanitas. 7, (1), 66-75.

Turmusani, M. (2001). Work and Adulthood: Economic Survival in the Majority World. United Kingdom: Cambridge University Press

_________. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. [Online] Tersedia dalam: http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/UU_4_1 997.pdf [7Oktober 2012].

(37)

151

Skripsi Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia: tidak ditebitkan.

Yovinus. (2012). Keripik Singkong Tunadaksa Isnawati. [Online] Tersedia dalam: http://majalahdiffa.com/index.php/wirausaha?start=12 [25 April 2013].

Zulifiana, U. (2013). Menjanda pasca kematian pasangan hidup. Jurnal Psikologi

Gambar

Tabel 3.1 Teknik Analisis Data Fenomenologi Creswell (1998)

Referensi

Dokumen terkait

Motivasi ekstrinsik adalah hal atau keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar, pujian dan hadiah, peraturan/tata

monitoring dan hasil evaluasi yang hanya dapat diakses oleh administrator dapat dilihat pada gambar 5 dan 6. Pada sistem ini juga terdapat peta wilayah

Implikasi dasarnya, pusat zakat mesti memastikan bahawa bantuan modal yang disediakan kepada asnaf adalah sekurang-kurangnya pada tahap minimum yang membolehkan keperluan

Untuk mendapatkan keputusan yang optimal dalam penyelesaian masalah dengan menggunakan linear programming, langkah pertama yang harus dilakukan

Jenis data dalam penelitian ini adalah wawancara yang berupa data kualitatif yaitu data yang berbentuk kata-kata atau pernyataan- pernyataan verbal, berupa opini,

T ahukah kamu bahwa di tengah-tengah masyarakat banyak terjadi perbedaan pendapat dan permasalahan yang harus dipecahkan bersama? Kita tidak bisa membayangkan, misalnya, di

Bedengan-bedengan lainnya, yaitu tanah yang diberi pupuk kandang + bokasi pupuk kandang sapi (formula A), bedengan kompos campuran limbah organik tanpa kascing dan lumpur

Dragutina Parčića , Rasprave instituta za hrvatski jezik i jezikoslovlje, god. Tragom Parčićeva glagoljskoga Misala , Zadarska smotra, br. Pavletić Helena, Frazemi u