• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keywords: community, women, batik craft. Alumni S2 Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora, UGM Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keywords: community, women, batik craft. Alumni S2 Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora, UGM Yogyakarta."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Wanita Kauman Pengrajin Batik Kesultanan Yogyakarta 1900 – 1930

Lailatul Huda1 Abstract

Abstract: Community women in historical Yogyakarta kauman very interesting. In the complex lives of their social sides in which the statuses, classes or factions, they are the wives of the Yogyakarta pamethakan king courtiers, who is also a batik craftsmen.

With the progress and development of batik that extends either from the process or use, at first only for the royal family and the process was only done by the daughters of the palace, the people closest to the domicile of the wife of the palace courtiers pamethakan kauman also make batik as conducted by the court daughters make batik craft fine.

With the progress and development of batik that extends either from the process or use, at first only for the royal family and the process was only done by the daughters of the palace, the people closest to the domicile of the wife of the palace courtiers pamethakan kauman also make batik as conducted by the court daughters make batik craft fine.

Keywords: community, women, batik craft

1

Penulis adalah dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya. Alumni S2 Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora, UGM Yogyakarta.

Komunitas wanita kauman Yogyakarta dalam historisnya sangat menarik. Secara kompleks kehidupan mereka sisi-sisi sosial di dalamnya status-status, kelas-kelas atau golongan-golongan, mereka adalah kelompok para istri abdi dalem pamethakan Kesultanan Yogyakarta. Mereka berdomisili di kampung Kauman, letaknya paling dekat dengan keraton yang menentukan sebagai pengrajin batik. Oleh sebab itu masyarakat distrik Kauman sejak tahun 1900-1930 mempunyai sumber penghasilan baik dari hasil gaji sebagai pegawai keraton jabatan pamethakan dan hasil dari kerajinan batik. Status sebagai abdi dalem pamethakan menjadikan mereka terpandang dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Dalam pada itu para istri mereka adalah pengrajin batik lebih lanjut mereka sebagai pedagang dan pengusaha kaya kebutuhan mereka tercukupi. Mereka melakukan ibadah haji sehingga membentuk komunitas santri bertempat di sekitar Masjid Gedhe, selaku ulama dan mengurusi keorganisasian masjid. Di samping itu mereka dalam kategori priyayi dari kelompok pegawai keraton jabatan abdi

(2)

dalem pamethakan. Sungguh pada dasarnya kehidupan mereka lebih baik di atas kehidupan orang orang cilik kebanyakan.

Kampung Kauman dikenal oleh kebanyakan orang sebagaimana di tempat yang lain seperti Kauman di Demak atau di Surakarta penuh dengan nilai-nilai sejarah. Dalam hal ini kita ketahui keberadaan Kampung Kauman Yogyakarta, di samping Masjid Gedhe atau Masjid Agung serta alun-alun utara adalah miniatur Keraton Kesultanan Yogyakarta. Keberadaannya berawal dari peristiwa terjadinya Kerajaan Mataram di bagi menjadi dua dalam Perjanjian Gianti pada tanggal 13 Pebruari 1755 yang ditanda tangani oleh Gubernur Nicollas Hartigh atas nama Gubernur Jendral Jaqob Mossel. Bahwa negara Mataram separuh menjadi Kerajaan Surakarta, separuh lagi menjadi hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Mangkubumi diakui menjadi raja atas separuh daerah pedalaman Kerajaan Jawa dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I, dengan daerah kekuasaannya yaitu Mataram (Yogyakarta).

Pangeran Mangkubumi sebagai raja yang pertama dengan mendirikan Yogyakarta sebagai Ibukota Kesultanan pada tahun

1755 di samping juga mendirikan istana (keraton). Dan secara resmi pada tahun 1756 ditetapkannnya hari jadi kota Yogyakarta atau lengkapnya Ngayogyakarta Hadiningrat. Perkampungan-perkampungan yang lain berikutnya dibangun pada tahun 1778 dimaksudkan sebagai tempat tinggal hamba-hamba istana termasuk abdi dalem atau pegawai keraton dan kerabatnya. Perkampungan-perkampungan tersebut diberi nama sesuai dengan profesi mereka. Misalnya Kampung Pajeksan tempat tinggalnya para jaksa. Kampung Gandekan tempat tinggalnya para pesuruh istana atau gandek. Kampug Dagen tempat tinggalnya tukang kayu atau undagi. Kampung Jelagran tempat tinggalnya pengrajin batu atau jlaga. Kampung Kumendanan tempat tinggalnya para kumandan. Kampung Wirobrajan tempat tinggalnya golongan prajurit Wirobrotjo dan seterusnya2. Dalam hal ini Kampung Kauman sebagaimana dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo sejarawan Indonesia. Bahwa kauman merupakan tempat tinggalnya kaum yang beriman. Mereka adalah

2

Darmosugito, Kota Yogyakarta 200 tahun 7 Oktober 1756 – 7 Oktober 1956, Panitia Peringatan Kota Yogyakarta 200 Tahun, hlm. 22.

(3)

para haji atau tempatnya para haji (kajen). Lebih lanjut dilihat dari asal-usul dan arti kata kauman yaitu berasal dari kata “pa – kaum – an” pa = tempat, kaum dari kata qoimuddin (penegak agama). Jadi kauman adalah tempat para penegak agama/para ulama dan para santri, mereka bertempat tinggal di sekitar Masjid Gedhe.

Lain halnya dengan Pijper yang juga mengemukakan bahwa perkampungan kauman terletak di belakannya Masjid Besar Sultan. Terdiri dari jalan-jalan sempit dan tembok-tembok putih. Tanahnya sebagai tanah gaduh sultan yang dihadiahkan kepada para abdi dalem keraton selaku pegawai atau pejabat-pejabat keagamaan3. Dengan dibangunnya Masjid Gedhe, Sri Sultan Hamengkubuwono I sangat aktif beribadah dan meletakkan para ulama pilihan dari pelbagai daerah untuk ditugaskan dalam organisasi keagamaan atau kemasjidan. Oleh sebab itu berdirinya kampung kauman sepanjang sejarahnya sungguh tidak dapat dipisahkan keberadaannya dengan keraton serta Masjid Keraton

3 Pijper, Fragmenta Islamica Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di

Indonesia Awal Abad XX, Terjemahan Tudjimah, (Jakarta : UI.PRESS, 1987), hlm. 1.

Kesultanan Yogyakarta. Perkampungan kauman yang terletak di belakang Masjid Gedhe termasuk dalam wilayah kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan di selatan Malioboro, dan di utara Keraton Yogyakarta. Adapun batasan-batasannya adalah di sebelah utara dibatasi oleh Jalan K.H.A Dahlan, di sebelah timur dibatasi dengan batasan Jalan Perkapalan dan Trikora. Di sebelah barat dibatasi oleh Jalan Nyai Ahmad Dahlan atau dulu dikenal dengan Jalan Gerjen.

Kampung Kauman luasnya ± 192.000 m2, penduduknya sangat padat dapat dilihat dari rumah-rumah yang dibangun, antar rumah yang satu dengan yang lain dapat dikatakan tidak ada jarak. Bahkan tidak jarang yang berbagi tembok atau saling menempel. Padatnya penduduk juga dapat dilihat dari banyaknya penduduk yang bertempat tinggal di luar benteng keraton yogyakarta jumlahnya ± 1.123.024 jiwa. Sudah barang tentu di dalamnya adalah penduduk kauman.

Adapun penghasilan penduduk Kauman berasal dari gaji pegawai pamethakan keraton, konon dikatakan gaji setiap bulannya ± 7 gulden. Untuk meningkatkan hasil pendapatannya,

(4)

para istrsi mereka mengerjakan kerajinan batik. Sebagai pengrajin batik kedepannya mereka menjadi pengusaha, mereka tinggal di rumah yang besar, yang dibangunnya menunjukkan pada tempat-tempat home industri.

Pada umumnya pengrajin batik selalu dihubungkan dengan garis keturunan. Sebagaimana membatik yang dilakukan oleh putri-putri keraton dan merupakan tradisi yang turun temurun sebagai warisan nenek moyang. Dalam pada itu membantik merupakan kegiatan spiritual yang membutuhkan konsentrasi, kesabaran dan pembersihan pikiran melalui do’a-do’a. pada ornamen-ornamen batik yang menunjukkan kedudukan dan nilai-nilai simbolik berhubungan erat dengan latar belakang pembuatan penggunaan dan kekuatan mistik. Di samping proses-proses kreatif yang dihubungkan dengan pandangan hidup dan tradisi-tradisi yang berlaku di keraton. Penataan warnanya pun merupakan peleburan estetika, filosofi hidup dan kealamiahan lingkungan keraton.

Membatik yang mereka lakukan identik dengan menghias kain dengan tangan dan menggunakan canting. Dengan metode ini

yakni metode tradisional lebih menunjukkan pada karakter wanita yang halus, lembut, penuh kesabaran, teliti dan hati-hati. Merupakan bagian dari female traits yaitu bagian dari sifat kaum perempuan. Oleh sebab itu hasil dari produk kerajinan batik mereka adalah batik tulis halus berkualitas tinggi. Pengerjaannya membutuhkan waktu ± 2-3 bulan.

Batik keraton mempunyai ciri khas tersendiri yang mencerminkan pengaruh Hindu Jawa. Hal ini pada masa Majapahit sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan dan kepercayaan orang-orang Jawa. Jelasnya hasil kerajinan batik keraton yang melukiskan desain semen yang mempersembahkan fenomena yang membangkitkan minat pada batik keraton.

Ornamen-ornamen prinsip seperti burung garuda dan kapaltaru adalah elemen-elemen mitologi Hindu Jawa, sedangkan pelengkapnya adalah taru yang merupakan elemen jawa asli, dan gaya ornamen-ornamen dalam bentuk tidak hidup adalah hasil dari sentuhan Islam karena bentuk yang sangat jelas dari manusia dan hewan dalam karya seni diharamkan. Oleh sebab itu batik keraton merupakan seni dan nilai-nilai kultural yang tinggi

(5)

bahkan sebagai seni keraton yang sangat popular. Lebih lanjut abad 19 keraton dikenal dengan peradabannya yang tinggi dan sudah barang tentu keraton memiliki berbagai warisan budaya, di dalamnya budaya batik tulis halus.4

Sesungguhnya kerajinan membatik sesuai dari asal kata mbatik itu sendiri yaitu dari rangkaian kata “mbat” dalam bahasa Jawa diartikan sebagai ngembat atau melempar berkali-kali, sedangkan “tik” yang berasal dari kata titik. Dengan demikian membatik berarti, melempar titik yang banyak dan berkali-kali pada kain yang lama kelamaan menjadi garis. Lebih lanjut Kueswadji mengatakan membatik itu berarti membuat titik pada kain dengan menggunakan peralatan canting dan sebagai bahannya adalah malam (wax).5 Oleh sebab pembuatan batik tulis memakan waktu yang lama butuh kesabaran dan ketelitian sehingga harga batik tulis itu mahal. Hasil batik tulis keraton hanya digunakan kebutuhan pribadi dan kerajaan sebagai pakaian

4

http://staff.undip.ac.id/sastra/maziyah/2009/07/23/korelasi_antara_proses _produksi_batik.

5 Koninklijk Institut Voar Taal Land en Volhenkunde (KTTLV),

Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda di Bidang Perekonomian. (Jakarta: Perwakilan KTILV, 1987), hlm. 58.

resmi. Sejak masa colonial penggunaannya hanya untuk kebutuhan pribadi dan kerajaan sebagai pakaian resmi. Hal ini pada masa kolonial penggunaannya diatur dengan besluiten (surat-surat keputusan). Jenis pakaian resmi diantaranya dodotan dan kanigaran.

Dodotan adalah kain batik yang panjangnya 2-3 meter lebih pakaian kebesaran priyayi bagi bupati yang bergelar pangeran dan adipati. Kain dodot ini bermotif batik parangrusak blenggen (= bertepi benang mas). Bagi bupati bergelar tumenggung kain dodotnya bermotif udanliris blenggen, dan bagi priyayi lainnya motif batik sembarangan asal dasarnya hitam (= latar ireng) dan bukan parangrusak atau udanliris. Adapun kanigaran merupakan pakaian kebesaran priyayi dengan memakai nyampng atau bebed. Pakain kanigaran ini dipakai pada upacara-upacara atau pertemuan biasa6. Dengan kemajuan dan perkembangan batik yang meluas baik dari pengerjaannya atau penggunaannya, pada mulanya hanya untuk keluarga keraton dan

6 Sartono Kartodirdjo, a. Sudewo, Suhardjo Hatmosuprobo,

Perkembangan Peradaban Priyayi, Cetakan Kedua, (Yogyakarta : Gadjah Mada Universiti Press, 1993), hlm. 40-41.

(6)

pengerjaannya pun hanya dilakukan oleh putri-putri keraton, maka penduduk yang domisilinya paling dekat dengan keraton yakni para istri abdi dalem pamethakan kauman juga membuat kerajinan batik sebagaimana yang dilakukan oleh putri-putri keraton yaitu membuat kerajinan batik tulis halus. Hasil produksi batik istri para abdi dalem yaitu batik kauman bermotif pakem, hal ini menunjukkan bentuk seni batik yang berasal dari keraton, kainnya dari sutra alam. Produk batik kauman ini sebagai produk batik unggulan. Keahlian-keahlian membatik ini sungguh bekal-bekal yang diberikan oleh keraton. Batik kampung kauman lebih lanjut semakin banyak pemesannya sehingga usaha kerajinan meningkat ke arah pengusaha yang dikerjakan oleh banyak tenaga kerja. Pada tahun 1900 pendapatan pengusaha-pengusaha batik tersebut meningkat dan terdapat pengusaha yang terkenal kaya yaitu Nyai H. Soleh.7 Kemajuan batik kauman ini hingga mencapai puncaknya pada tahun 1922 dan kauman mendapat julukan “Jaman Batik”. Hal ini sebelumnya bermunculan pengusaha-pengusaha batik sejak tahun 1910. Mereka menampung hasil kerajinan penduduk hingga berkembang

mendirikan perusahaan-perusahaan dan membutuhkan tenaga pekerja di Kauman didapatkan 20 hingga 30 an home industri. Dilengkapi suasana situs-situs bangunan bersejarah. Bangunan rumah joglo, limasan, dan perpaduan arsitektur jawa dan kolonial. Dengan bangunan-bangunan yang besar memungkinkan para pekerja dari luar daerah seperti Bantul, Sleman, Wates dan lain-lain untuk tinggal di dalamnya mereka sebagai buruh batik. Senada dalam hal ini Pde Kat mengemukakan bahwa jumlah perusahaan di desa-desa dekat Yogyakarta terdapat 169, di Kauman terdapat 26, di tempat yang lain di Tugu terdapat 32 perusahaan.

Dalam kehidupan umumnya wanita yang dikenal cenderung pasif tenyata pada para istri abdi dalem pemetakan mampu mengaktualisasikan kebudayaan tinggi dengan kerajinan batik tulis halus. Pengerjaannya dengan menggunakan canting dan lebih lanjut dikembangkannya dengan menggunakan cap atau mengecap yakni membuat batik cap-capan. Hasil produksinya dipasarkan di pasar-pasaran umum seperti di Pasar Bringhardjo, Pasar Ngasem atau di Malioboro dan sebagainya. Dengan

(7)

kerajinan batik Kauman ini, justru batik mengalami kemajuan pesat sehingga Yogyakarta dikenal dengan kota batik.

Sehubungan dengan penjelasan diatas sungguh para istri abdi dalem kauman menunjukkan peranannya yang sangat besar dalam menentukan budaya batik lebih lanjut mendukung perekonomian keluarga. Kepala keluarga sebagai pegawai keraton menjadikan terpandang dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat. Dengan kedua profesi yakni pegawai pemetakan oleh suami dan pengrajin batik oleh para istri pemetakan profesi mereka saling dukung-mendukung. Selaku pegawai pemetakan para suami mendapat kepercayaan dari pemerintah sehingga memudahkan istri-istri mereka untuk memperoleh bahan-bahan batik. Pengerjaannya diturun-temurunkan pada keluarga-keluarganya yang berada di Kauman. Sebagaimana keluarga H. Mokh dan Bu Nganisa terkenal dengan Batik Handel. Agaknya dengan kesuksesan usaha dagang mereka mendukung kehidupan mereka secara ekonomis. Dalam hal ini sangat berpengaruh dalam hidup mereka bahkan secara psikis dapat menggembirakan. Gaya kehidupan mereka dengan

rumahnya yang lebih baik dan besar atau luas sehingga memungkinkan para pekerja untuk bermalam di dalamnya. Konon tidak kurang dari 40 para wanita pekerja yang didatangkan dari daerah Bantul. Di samping itu kekayaan mereka sebagian juga digunakan untuk biaya pendidikan putra-putranya. Diantara putra-putranya yaitu H. Jili kelahiran 1908 selain sekolah I Welandi (Sekolah Londo) di pagi hari, sore harinya sekolah di madrasah K.H. Ahmad Dahlan. Di samping itu juga keluarga Kyai Haji Fadhil ayahnya Siti Walidah, istri K.H. Ahmad Dahlan usaha kerajinan batik menjadi pekerjaan yang diturun-temurunkan sehingga tidak menutup kemungkinan K.H. Ahmad Dahlan selaku menantunya menjadi pedagang yang sukses. Lebih lanjut pada keluarga “Istinaroh” istri Haifan Hilal yaitu cucu dari K.H. Ahmad Dahlan dengan Nyai H. Ahmad Dahlan. Ibu dari Haifan Hilal yaitu Ngaisah Hilal putrinya K.H. Ahmad Dahlan dengan Nyai H. Ahmad Dahlan. jelasnya Ngaisah Hilal mempunyai anak yaitu Wahbana, Haifan Hilal dan Maisarah Hilal. Dalam hal ini usaha dagang mereka selain diturunkan dari ibu dan nenek mereka, tampak mereka mampu melakukan sendiri

(8)

dalam membuat sket pada pola-pola pengerjaan batik tulis. Di samping itu memodifikasinya, hal ini erat hubungannya dengan inspirasi dan sudah ada dasarnya (bakatnya). Dalam pada itu menurut Bu Istinaroh pekerjaan membatik ada beberapa hal yang harus diperhatikan serta melalui beberapa tahapan. Setelah disediakan mori (kain putih) terlebih dahulu, kemudian ia mulai membatik dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Membuat pola pada kain mori atau kain putih, yaitu dengan menseket gambar untuk motif batik dengan memodifikasi gambar sesuai dengan kreatif yang ada. Hal itu erat hubungannya dengan inspirasi dank arena ia sudah ada bakatnya.

2. Setelah kain putih atau mori dipola sebagaimana pada langkah peratma : kemudian dibatik pakai lilin.

3. Setelah dibatik dengan lilin pada langkah kedua diatas, kemudian diwedel, yaitu diberi warna biru pakai nilai.

4. Ngepyok, yaitu membersihkan dan menghilangkan lilin sampai bersih.

5. Setelah dingepyok bersih, kemudian digeranit, yaitu dibatik lagi untuk yang kedua kalinya.

6. Berikutnya dibironi, yaitu cecek-cecek warna putih ditutupi lagi dengan malam.

7. Setelah selesai dibironi, berikutnya disoga, yaitu pemberian warna coklat.

8. Dingepyok lagi untuk dihilangkan lilinya tersebut; sehingga hasil terakhir kain batik tersebut berwarna coklat. Adapun sewaktu mensoga dapat menurut warna sesuai dengan selera sehingga batik tersebut hasilnya dapat pula berwarna kuning jambon, ungu dan sebagainya, sesuai dengan selera masing-masing atau menurut yang dikehendaki. Dalam hal ini sesuai dengan warna coklat di waktu mensoga, maka hasil kain batiknya pun berwarna coklat.7

Dengan majunya usaha dagang batik yang dikelola hingga Istinaroh tersebut menyerap tenaga banyak orang ± 24 orang.

7

(9)

Hasil usaha dagang tersebut memungkinkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari begitu pula untuk membayar upah buruh para pekerja. Lebih daripada itu sebagian juga untuk biaya pendidikan. Dari kesuksesan hasil usaha dagang maka dapat mendukung keberhasilan pendidikannya sehingga sampai saat ini menjadikan beliau profesinya menjadi guru. Membatik untuk masa-masa selanjutnya sebagai usaha sampingan belaka, tetapi tidak ditinggalkan begitu saja. Meski demikian hal ini konon dapat ditekuni kembali setelah masa-masa pensiun nanti.

Adapun pemasaran hasil usahanya dapat kita lihat pada dangannya yang dikirim sampai ke luar negeri yaitu Singapura bahkan sampai negeri Belanda. Hal yang menarik di sini memungkinkan sekali melalui sistem perkawinan antara Maisarah Hilal kakak dari Haifan Hilal, yang menikah dengan H. Abubakar yaitu orang Singapura. Oleh karena dagangan Istinaroh tersebut dibawanya sampai ke Singapura; maka batik dagangannya tidak menutup kemungkinan dijual sampai negeri Singapura bahkan sampai negeri Belanda. Hal ini disebakan karena Wahbana kakak Haifan Hilal putra Ngaisah menikah dengan orang Belanda, dan

tidak segan-segan apabila ke negeri Belanda ia membawa batik dagangannya sehingga sampai di luar negeri yaitu di Belanda tersebut.

Pembuatan batik oleh Bu Istinaroh prosesnya tidak jauh berbeda dengan proses pembuatan batik yang dilakukan oleh perempuan kebanyakan di Kampung Kauman. Mereka mengerjakan dengan proses awalnya dimulai dari pemilihan kain sebagai bahan dasarnya. Beberapa jenis kain yang dapat digunakan untuk membatik adalah mori, katun, sutra asli maupun sutra tiruan. Bahan lain yang harus dipersiapkan adalah canting, lilin batik (malam), dan pewarna. Canting merupakan alat khusus yang digunakan untuk membatik, yaitu untuk melukiskan cairan lilin atau malam yang digunakan untuk membentuk motif batik. Bentuk canting terdiri dari tiga bagian, pertama gagang atau tangkai, yang digunakan untuk memegang pada saat membatik; kedua, nyamplung, yaitu badan canting yang digunakan sebagai wadah malam ketika kita membatik; dan ketiga adalah cucuk atau carat, yaitu ujung canting yang berlubang tempat mengalirnya malam ketika kita membatik. Dilihat dari fungsinya canting ada

(10)

dua macam, yaitu canting rengrengan, untuk membuat batikan sesuai dengan pola dan canting isen, yang digunakan untuk mengisi pola atau rengrengan yang dibuat sebelumnya.

Malam yang digunakan untuk membatik bermacam-macam jenisnya, seperti malam carikan, malam tembokan, malam remukan, dan malam biron. Masing-masing jenis malam tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Adapun zat pewarna tradisional yang digunakan adalah zat pewarna alam. Zat pewarna alam diperoleh dari berbagai macam tumbuhan, misalnya dari buah, akar, daun, bahkan dari kulit pohon tertentu yang menghasilkan warna sesuai yang diinginkan. Warna soga berasal dari kulit soga jambal (peltophorum fenigenum), kulit pohon tinggi (ceriops candelleana arm) dan kayu tangeran (cundrama javanensis). Warna biru tua berasal dari daun nila (indigofera). Adapun bahan pembantu warna lain adalah sari pohon sari kuning dan kembang kesuma.

Tahap pembuatan batik dimulai dengan pencucian kain agar kotoran atau lem yang membuat kaku kain (kanji) larut dalam air. Pencucian ini dilakukan berulang-ulang dengan air

bersih. Pekerjaan ini disebut dengan ngethél, dan dikerjakan oleh laki-laki

Tahap kedua dilakukan pengemplongan atau ngloyor, dengan tujuan agar kain menjadi pulen, tidak terlalu kaku dan tidak terlalu lemas. Sebelum dikemplong, kain dikloyor dulu, yaitu pengolahan kain lebih lanjut agar sisa-sisa kotoran dan kanji betul-betul hilang. Pada proses ini diperlukan adanya beberapa larutan seperti larutan asam, minyak jarak, minyak nyamplung, dan masih banyak lagi lainnya. Kain yang sudah dibersihkan tersebut direnam, kemudian direbus dengan minyak jarak, kecuali kain dengan bahan dasar sutra, selama lima menit. Setelah itu, kemudian kain direndam dengan air dingin dan diremas-remas. Proses selanjutnya adalah dikemplong dalam keadaan lembab. Cara mengerjakannya adalah dengan menggulung dan melipat kain kemudian diletakkan di atas kayu. Kain tersebut kemudian dipukuli dengan martil dari kayu. Tujuan pengemplongan adalah agar serat kain lemas, sehingga mempermudah penempelan malam pada kain. Setelah pengemplongan, kain kemudian

(11)

dikeringkan dan siap untuk diproses selanjutnya. Pengemplongan biasanya dilakukan oleh wanita.

Pekerjaan selanjutnya adalah nglowong, yaitu pembuatan motif dengan menggunakan canting atau cap. Gambar dasarnya dibuat dengan menggunakan pensil, setelah itu baru diberi lilin (ngengreng) untuk bahan yang lebih baik. Nglowong ini dapat dikatan membatik kerangka. Pekerjaan selanjutnya adalah memberi isen-isen pada pola yang sudah di klowong. Isen-isen, selanjutnya adalah nerusi, yaitu membatik pada bagian belakang kain dengan mengikuti pola pemalaman pertama pada tembusannya. Pekerjaan selanjutnya adalah proses penembokan atau nembok, yaitu pemalaman pada pola yang diinginkan tetap berwarna putih. Nembok juga dilakukan pada sisi depan maupun belakang. Pemalaman yang terakhir adalah nonyok. Jika latar yang akan diberi malam luas, kita dapat menggunakan kuas untuk mempercepat proses nonyok. Bentuk-bentuk kerajinan batik sebagaimana yang diterangkan di atas di kampong Kauman juga terdapat kerajinan yang lain seperti kerajinan border halus,

kerudung setrimin atau kebayak dan kerajinan tenun pada awal tahun 1930.8

Kelangsungan hidup masyarakat Kauman secara ekonomi dari usaha dagang batik sekalipun mengalami kemerosotan suatu misal, status mereka tetap eksis. Disebabkan profesi mereka didukung dari sisi pendidikan yang mampu menjadi sebagai penggantinya. Mereka memperoleh dari hasil mengajar sebagai guru atau sebagai dosen dan lain-lain. Hal ini dalam pandangan sosiolog

A. Sorokin mengemukakan dalam kehidupan setiap masyarakat terdapat lapisan-lapisan masyarakat yakni lapisan atas bagi mereka yang sangat banyak memiliki sesuatu yang berharga dan sebaliknya lapisan masyarakat bawah yaitu mereka yang hanya sedikit sekali atau bahkan tidak memiliki sesuatu yang berharga.

Sehubungan dalam hal ini kampung Kauman ditentukan oleh tempatnya yang terletak di tengah-tengah kota Yogyakarta.

8 Koninklijk Institut Voar Taal Land en Volhenkunde (KTTLV),

Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda di Bidang Perekonomian. (Jakarta: Perwakilan KTILV, 1987), hlm. 58.

(12)

Bahkan Kauman merupakan satu-satunya kampung yang tertua di kota Yogyakarta sangat menentukan stratifikasi mereka yang berbeda dengan stratifikasi masyarakat di pedesaan umumnya. Pada dasarnya stratifikasi masyarakat pedesaan mereka secara ekonomis bertumpu dari hasil pertanian. Sawah, tanah, ladang, dll merupakan kebutuhan petani. Dalam kehidupan status social masyarakat pedesaan lapisan masyarakat kelas atas yaitu penduduk asli yang memiliki sawah, ladang dan rumah yang bagus menurut pandangan orang setempat dan mereka dianggap sebagai orang kaya, derajat mereka tinggi dan mempunyai pengaruh yang kuat dalam kelompok masyarakat. Sebaliknya masyarakat kelas bawah yaitu kelompok petani kecil yang dibedakan menjadi dua: kelompok petani yang tidak memiliki sawah dan pekarangan, tetapi mempunyai rumah yang dibangun diatas tanah milik orang lain dan kelompok petani yang tidak memiliki sawah, pekarangan dan tempat tinggal sendiri hanya menumpang di tempat orang lain. Kelompok masyarakat kelas bawah di pedasaan, gaya hidup rumah mereka dari bambu perabotan rumah tangga seperti tempat tidur dari bambu, alat-alat

dapur juga dari bambu. Sebagaimana kita ketahui kukusan (bahasa jawa, alat untuk menanak nasi), irus (alat untuk mengaduk sayur), enthong (alat untuk mengambil nasi), wakul (tempat untuk nasi), dan banyak lagi alat yang lainnya terbuat dari bambu.9 Adapun kelompok petani biasa selain berpenghidupan dari hasil tani mereka juga berdagang sehingga menjadi kaya. Dengan kekayaan (weath) yang ada, mengakibatkan mereka mempunyai prestise, mereka mampu menunaikan ibadah haji. Sebutan haji di pedesaan pada saat itu cukup terhormat dan mempunyai nilai tersendiri. Dengan demikian di mata masyarakat mereka mempunyai tingkat derajat yang tinggi. Lebih lanjut mereka termasuk kelompok elit di desa.10

9 Tentang kelompok petani dan gaya hidup mereka selanjutnya lihat,

Djoko Suryo, “Kemiskinan Abab XIX Masa Kolonial dalam Inovasi, No.7, Tahun IV, (Yogyakarta : Jurnal Universitas Muhammadiyah, 1990), hlm. 5

10 Tentang kedudukan kelompok petani biasa selanjutnya lihat, Djoko

Suryo, “Sebuah Observasi dari Beberapa Pedesaan daerah Pekalongan”, dalam Buletin Fakultas Sastra dan Kebudayaan, No. 5 1977, (Yogyakarta : Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1977), hlm. 97.

(13)

Berkenaan dengan komunitas penduduk Kauman di tengah-tengah perkotaan adalah mereka kelompok masyarakat yang bertempat tinggal sesuai dengan profesi, jabatan dan status kedudukan mereka. Umumnya masyarakat perkotaan kebanyakan adalah para Pangrah Praja (Binen Lands Bistuur) dengan Bupati pada puncak hirarki birokrasi yang disusun kemudian oleh pati wedana asisten wedana dan juru tulis. Dengan profesi dan jabatan mereka itu, kehidupan perekonomian mereka yang baik tampak pada gaya kehidupan menunjukkan pada gaya kehidupan yang tersendiri. Pada rumah mereka, makanan, gaya hidup mereka, dan lain sebagainya. Menurut pandangan Abdurrahman Surjomiharjo melihat pelapisan masyarakat Yogyakarta yang erat hubungannya dengan kedudukan keraton. Hal ini digambarkan dengan bentuk kerucut yaitu lapisan paling atas adalah sultan, lapisan kedua terdiri dari kerabat atau sentana dalem, lapisan ketiga adalah mereka yang bekerja pada administrasi kesultanan pemerintahan yang disebut abdi dalem atau kaum priyayi, dan keempat adalah golongan wong cilik yang disebut sebagai rakyat jelata, baik

penduduk kota maupun yang di pedesaan.11 Lain halnya dengan Selo Sumarjan yang memandang masyarakat Yogyakarta bagi penduduk asli, kelompok-kelompok mereka terdiri atas kelas kaum bangsawan, priyayi dan orang-orang biasa.12 Lebih lanjut Robert Van Niel mengemukakan bahwa golongan priyayi pada sekitar tahun 1900 mereka adalah kelompok golongan elit yaitu siapa saja yang berdiri di atas rakyat jelata, yang dalam beberapa hal, memimpin, memberi pengaruh, mengatur dan menuntun masyarakat. Di samping itu administrator, pegawai pemerintahan dan orang-orang berpendidikan dan berkedudukan lebih baik, mereka juga adalah kategori priyayi. Lebih lanjut dalam hal ini Geertz mengemukakan bahwa kelompok priyayi didasarkan pada kepegawaian atau pemerintahan. Sedangkan kelompok santri dalam pandangannya didasarkan atas ketaatan mereka dalam beribadah. Mereka erat hubungannya dengan usaha dagang. Sebagaimana para santri di Kauman mereka adalah pengusaha

11 Abdurrahman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta 1830-1930 Suatu

Tinjauan Historis Perkembangan Sosial. Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1988, hlm. 39.

(14)

dagang batik. Disamping mereka sebagai pegawai keraton jabatan abdi dalem pametakan dan sudah barang tentu mereka juga para santri.

Untuk kategori priyayi dibedakan menurut tingkat kepangkatannya yaitu terdiri dari priyayi gedhe dan priyayi cilik dalam pada itu antara priyayi yang berasal dari keturunan raja serta yang bukan dari keturunan raja yang disebut priyayi cilik. Priyayi gedhe dari keluarga raja disebut juga priyayi luhur. Stratifikasi masyarakat demikian itu ditentukan oleh banyak aspek kehidupan aspek ekonomi, pendidikan, status, kelas-kelas dan gelar-gelar kebangsawanan, gelar jabatan utamanya dalam stratifikasi masyarakat Yogyakarta pusat kerajaan. Dalam kepangkatan priyayi-priyayi tampak pada cara-cara berpakaian dalam upacara resmi. Pakaian kebesaran dalam upacara tersebut disertai dengan pengiring yang membawa seperangkat alat upacara untuk menambah kemegahan sifat kepriyayiannya.13 Adapun nama gelar disesuaikan dengan nama jabatannya, misalnya gelar atau jabatan para pejabat pemerintah Kabupaten

13 Sartono Kartodirdjo, op. cit., hlm. 26

Kulon Progo Hadiningrat, sedangkan Selanagara dapat diidentifikasikan dengan pejabat bupati di Sleman. Oleh sebab itu bila mana nama depannya Praja, Puger, Raden, Diningrat, Kusuma menunjukkan ciri khas seorang priyayi. Adapun gelar priyayi yang berasal dari rakyat kebanyakan adalah gelar “mas” di depan gelar jabatannya seperti Mas Tumenggung dan Mas Ngabei. Untuk menyesuaikan dan melestarikan ciri-ciri kepriyayiannya yang sudah melembaga dalam lapisan masyarakat maka kepangkatan priyayi yang berasal bukan dari keturunan bangsawan tetapi mereka adalah professional seperti dokter, buruh, kehewanan maka mereka diberi gelar priyayi didepannya yaitu priyayi dokter, priyayi buruh, priyayi kehewanan, dst. Hal ini disesuaikan priyayi tradisional yaitu pangrah raja, penerus priyayi lama besrta adapt istiadatnya. Pada gelar-gelar bangsawan hal ini dapat pula menentukan identitas kebangsawanannya yaitu gelar sultan, gelar bagi raja dan merupakan gelar tertinggi di samping itu menunjukkan kedudukan yang tertinggi dalam kelas kebangsawanan.

(15)

Sesudah raja, kedudukan sebagai anak raja yaitu dengan gelar Raden Mas. bagi anak laki-laki dan bagi anak perempuan bergelar Raden Ajeng. Mereka yang belum kawin diberi sebutan didepannya dengan sebutan bendara sehingga menjadi bendara Raden Mas atau Raden Ajeng. Apabila mereka telah berkeluarga bagi anak laki-laki berganti nama menjadi pangeran dan bagi anak perempuan bergelar menjadi Raden Ayu.

Sesuai dengan jabatan yang tertinggi pada pemerintahan yang biasanya berasal dari keturunan raja tidak mustahil anak raja yang bergelar pangeran berada pada posisi tertinggi sebagai pengganti ayahnya. Gelar sebagi status anak raja adalah pangeran putra yaitu sebagai gelar kebangsawanan putra laki-laki raja dan pangeran sentana adalah gelar yang diberikan kerabat raja yang menjabat dalam pemerintahan tertinggi oleh karena itu kedudukan mereka juga disebut sebagai Bupati Nayaka. Pangeran

Sengkan adalah gelar yang dipakai Bupati Nayaka yang berasal bukan dari kerabat dan keluarga raja.14

Stratifikasi priyayi Yogyakarta yang asli lebih berkiblat pada Yogyakarta sentries dalam pandangan dan tingkah laku hal ini ditandai dengan unsure tunggu perintah sultan. Dan sudah mendarah daging. Karenanya pandangan dan tingkah laku mereka agaknya kaku tidak bebas dan luwes. Lebih lanjut masyarakat Yogyakarta erat hubungannya dengan budaya feodal dalam pada itu kelompok mereka dapat dibedakan dalam empat tingkatan kelompok raja-raja, kepala-kepala provinsi, kepala-kepala orang desa. Lain halnya dengan kampung Kauman yang merupakan komponen miniatur keraton pusat kerajaan kesultanan Yogyakarta. Maka stratifikasi masyarakat di dalamnya tampak lebih spesifik. Hal ini sebagai status fungsionaris keagamaan kesultanan, jabatan abdi dalem pametakan keraton sudah barang tentu jabatan-jabatan atau gelar yang disandang membedakan status mereka selaku abdi dalem pametakan dengan msayarakat

14 Tentang status priyayi dan bangsawan sesuai dengan identifikasi pada

gelar, rumah, kedudukan mereka, selanjutnya lihat, Sartono Kartodiharjo, op. cit., hlm. 48-50.

(16)

kebanyakan. Diantara jabatan-jabatan mereka sebagai pegawai pemetakan yaitu Ketib, Penghulu, Mordin, Marbot, Na’ib, Suranata, dsb.15 Selaku pametakan bertugas dalam urusan keagamaan kesultanan, mengurusi keorganisasian kemasjidan. Secara langsung dipimpin oleh penghulu. Untuk lebih jelasnya berikut ini dipaparkan struktur kemasjidan tampak pada bagan di bawah ini.

Untuk urusan keagamaan kesultanan Yoyagakarta dibentuklah lembaga kepengulon yang merupakan bagian pengulu juga berfungsi sebagai penasihat dewan daerah. Kantor Kepenguluan Yoyagakarta disebut Kawedanan Pangulon. Adapun tugas dan wewenang kawedangan pengulon yang

15

Ahmad Adabi Darban, Sejarah Kauman Yogyakarta tahun 1900-1950, 1980. hlm. 27

dipimpin oleh pengulu meliputi segala urusan administrasi bidang keagamaan yaitu urusan agama secara umum diantaranya pernikahan, talak, rujuk, juru kunci makam. Adapun abdi dalem pametakan yang berada di dalam keratn (suronata dan punakawan kanji/kaji selosinan); na’ib; hukum dalem (peradilan agama dan kemasjidan).

Penghulu erat hubungannya dengan sejarah kauman Yogyakarta yang mempunyai fungsi bidang kemasjidan keraton kesultanan Yogyakarta khususnya organisasi Masjid Agung Yogyakarta yang secara langsung dipimpinnya oleh penghulu. Pejabat dalam organisasi Masjid Agung ini terdiri dari orang-orang ahli agama Islam. Sebagaimana tampak bagan di atas, maka ketib dikepalai langsung oleh penghulu berjumlah sembilan orang dengan nama-nama ketib sbb: ketib anom, ketib iman, ketib cendana. Adapun Modin berjumlah lima orang dikepalai oleh seorang lurah modin. Dengan tugasnya menurut pembagian tugas berdasarkan sholat wajib lima waktu secara berjamaah di Masjid Agung Yogyakarta. Sedangkan merbot berjumlah sepuluh orang yang dikepalai Lurah Merbot. Merbot tidak diberikan nama-nama Pengulu

MODIN

(17)

khusus di samping itu Barjamaah berjumalah empat puluh orang dikepalai oleh lurah Barjamaah. Jumlah empat puluh orang itu merupakan syarat syahnya jamaah Jum’at menurut faham ajaran agama Islam yang dianut pada waktu itu.

Kepengurusan masjid sebagaimana di atas mempunyai tugas-tugasnya diantaranya yaitu ketib anom wakil penghulu berhak menjadi penghulu apabila penghulu wafat. Ketip anom dan ketib tengah mmpunyai kepegawaian yang sama yaitu panewu sepuh, bertugas sebagai imam dan khotib di Masjid Agung. Para ketib lainnya bertugas menjadi khotib setiap sholat jum’at dan tugas mengajar agama dalam pengajian. Mereka mempunyai golongan kepegawaian yaitu penewu anom. Para modin asal kata dari mu’adzin artinya juru adzan panggilan untuk orang sholat. Jumlah modin di Masjid Agung ada lima orang dikepalai oleh lurah modin. Golongan kepegawaian mereka adalah jajar sepuh. Barjamaah dari kata jamaah artinya orang yang ditugaskan untuk mendirikan sholat jamaah dalam rangka menunaikan sholat Jum’at. Adapun merbot berasal dari kata merbud artinya ialah orang yang terikat di dalam masjid. Merbot

bertugas sebagai juru bersih masjid dan mengelolah fisik masjid diantaranya menyediakan air, menyediakan tikar dan tambal sulam. Kepala merbot ialah lurah merbot, para merbot berjumlah sepuluh orang golongan kepegawaian mereka adalah jajar anom.

Dalam mendukung dan menopang kedudukannya yang lebih tinggi dari orang yang lain, selain ditentukan oleh berbagai aspek sosial sebagaimana dijelaskan di atas, aspek sosial yang lain tampak pada satus dengan menyebutkan nama seseorang tanpa sebutan seperti sebutan bagus, lara atau lara, dan raden, ndoro, masroro, dll. Hal ini sampai sekarang bisa kita saksikan dan merupakan panggilan yang akrab di masyarakat kauman. Hal ini disebabkan pada adat jawa tidaklah sopan menyebutkan nama seseorang tanpa sebutan lebih lanjut sebutan itu digunakan untuk menghormat seseorang. Bahkan hubungan pertalian antara masyarakat kauman yang akrab dengan diwujudkan adanya hubungan pertalian darah lebih lanjut masyarakat kauman itu satu sama lainnya masih ada ikatan kekeluargaan. Secara antropologis dalam masyarakat kauman dilaksanakan dengan perkawinan endogamy yaitu perkawinan dengan orang dari kampung sendiri

(18)

dan tidak mencari jodoh dari luar kampung kauman. Oleh sebab itu masyarakat kauman menjadi masyarakat karena hubungan pertalian darah.

Stratifikasi sosial masyarakat kauman suatu lukisan yang digambarkan pada konteks masyarakat abdi dalem pametakan tidak menutup kemungkinan komposisinya terdiri atas dua golongan yaitu penduduk yang berasal dari keturunan abdi dalem dan mereka adalah pengusaha batik merupakan penduduk asli dan penduduk dari luar kauman yang menetap.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang dilakukan, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang dapat digunakan untuk mengetahui hubungan antara peningkatan pembelajaran bermakna

siswa yang lain. Kegiatan tersebut diulang terus sampai diperoleh jawaban yang benar. Selanjutnya guru meminta siswa untuk membuat gambar yang menunjukkan bilangan. Dengan

Berdasarkan data PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) tersebut tercatat jumlah muslim etnik Tionghoa pada Kecamatan Telukbetung Selatan Bandar Lampung lebih

Menimbang, bahwa Pembanding semula Penggugat dalam memori bandingnya pada pokoknya menolak pertimbangan Hakim Tingkat Pertama yang menyatakan: Dalam Pokok Perkara

Dengan melihat kemajuan perusahaan ini yang tidak terlepas dari kerja keras para karyawannya maka pemberian insentif bagi karyawan sebaiknya perlu dilakukan sehingga para karyawan

Metode pelaksanaan Kegiatan Program Kemitraan Masyarakat di Dusun Mangelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto ini lebih ditujukan kepada pemecahan

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui apakah motivasi kerja berpengaruh terhadap prestasi kerja 2) untuk mengetahui apakah kepuasan kerja berpengaruh

3HQHOLWLDQ LQL PHQJHPEDQJNDQ PHWRGH NXDQWLWDWLI XQWXN PHQHQWXNDQ SHQHQWXDQ KDUJD OXNLVDQ EHUGDVDUNDQ LQWDQJLEOH IDFWRUV DQWDUD ODLQ SDQHO UHNRPHQGDWRU MXPODK SDPHUDQ WDKXQ ODKLU