• Tidak ada hasil yang ditemukan

KULAT TIUNG (Hygrocybe sp.) : ALTERNATIF HASIL HUTAN BUKAN KAYU DARI HUTAN KALIMANTAN TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KULAT TIUNG (Hygrocybe sp.) : ALTERNATIF HASIL HUTAN BUKAN KAYU DARI HUTAN KALIMANTAN TENGAH"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

KULAT TIUNG (Hygrocybe sp.) : ALTERNATIF HASIL HUTAN

BUKAN KAYU DARI HUTAN KALIMANTAN TENGAH

Oleh :

Safinah S. Hakim

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru Jl.A. Yani Km. 28,7, Landasan Ulin, Banjarbaru, 70721

E-mail : safinahhakim@gmail.com

ABSTRAK

Hutan memberikan berbagai manfaat bagi manusia, termasuk diantaranya jamur sebagai bahan pangan. Jenis jamur liar konsumsi yang berasal dari hutan salah satunya adalah kulat tiung. Kulat tiung dapat ditemukan di beberapa wilayah Kalimantan Tengah dan dikonsumsi oleh masyarakat lokal. Jamur ini memiliki beberapa nutrisi yang baik serta berpotensi meningkatkan penghasilan masyarakat sekitar hutan. Dalam segi budidaya, kulat tiung ini sulit untuk dibudidayakan karena merupakan jenis ektomikoriza yang memerlukan inang aktif untuk hidup. Oleh karena itu, menjaga kelestarian hutam merupakan alternatif cara yang bisa dilakukan untuk melestarikan produksi kulat tiung.

Kata kunci : budidaya, jamur, ektomikoriza, hasil hutan bukan kayu.

I. PENDAHULUAN

Hutan memberikan manfaat secara ekologis dan juga menyediakan hasil hutan kayu dan juga hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu saat ini sudah sangat beragam antara lain pemanfaatan minyak atsiri, madu, getah, dan juga sebagai sumber pangan alternatif salah satunya adalah jamur. Jamur sudah dikonsumsi oleh manusia sejak kurang lebih 4000 tahun lalu di Mesir (Abdullah & Rusea, 2009). Saat ini konsumsi perkapita jamur di dunia adalah sebesar 4 kg/tahun (Royse, 2014). Negara pengkonsumsi jamur terbesar adalah Amerika Serikat dengan konsumsi jamur sebanyak 30% dari seluruh dunia, dan diikuti oleh Jerman sebesar 17%. Dari berbagai jenis jamur konsumsi yang ada di seluruh dunia, terdapat beberapa jenis jamur yang paling banyak dikonsumsi yakni Jamur kancing (30%), Tiram (27%), jamur Shittake (17%), Jamur Kuping (Ear Mushroom) (6%), Jamur Enoki (Golden Needle) (5%), Jamur Merang (Rice Straw mushroom) (5%) dan jenis lainnya (10%) (FAOSTAT, 2014) .

Selain jamur yang sudah disebutkan di atas, terdapat beberapa jamur yang belum diproduksi secara massal namun sudah dikonsumsi oleh masyarakat lokal suatu daerah tertentu. Wild edible mushroom/ jamur liar edibel merupakan istilah dari jenis-jenis jamur lokal yang belum dikomersialkan namun dikonsumsi oleh masyarakat. Terdapat banyak jenis jamur liar yang sudah dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan konsumsi. Boa, (2004) menyebutkan terdapat kurang lebih 1.100 jenis jamur yang dikonsumsi masyarakat.

(2)

Salah satu contoh jamur liar edibel yang cukup menonjol di Indonesia adalah Kulat Pelawan (Heimiosporus sp). Kulat pelawan merupakan jamur yang hanya ada di daerah Bangka Belitung, yang berasal dari inang pohon Pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.). Kulat pelawan dimanfaatkan untuk jenis menu masakan antara lain Lempah Kuning dan Lempah Darat. Permintaan konsumen yang tinggi menyebabkan harga jamur ini bisa mencapai Rp. 1.500.000/kilogram. Seperti halnya kulat Pelawan yang dinikmati sebagai pangan lokal di wilayah Bangka Belitung, masyarakat di Kalimantan juga biasa memanfaatkan jamur lokal sebagai sumber pangan, salah satunya adalah kulat tiung. Kulat tiung (Hygrocybe sp.) sudah lama dimanfaatkan oleh masyarakat di Kalimantan Tengah sebagai bahan pangan. Beberapa catatan menyebutkan, jenis jamur ini juga sudah dikenal di wilayah Serawak dengan nama Kulat Buah dan dimanfaatkan sebagai pangan

sehari-hari oleh masyarakat (Abdullah & Rusea, 2009)

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui informasi terkait kulat tiung (Hygrocybe sp.) termasuk aspek potensi pengembangannya di Kalimantan Tengah. Selain itu, diharapkan secara tidak langsung makalah ini bisa mendorong sosialisasi jamur kulat tiung yang bisa mendorong kelestarian hutan melalui pemanfaatan hasil hutan bukan kayu berupa jamur pangan. Penulisan makalah ini dilakukan dengan

mengumpulkan data sekunder lalu dianalisis secara deskriptif.

II. DESKRIPSI

Kulat tiung dikenal dengan nama ilmiah Hygrocybe sp. Jamur ini berwarnya oranye kekuningan dan merupakan jenis jamur favorit penduduk lokal di beberapa daerah di Malaysia. Pada daerah lain, jenis jamur ini juga disebut dengan kulat buah (Sarawak) (Abdullah & Rusea, 2009), Kulat Siaw (Chotimah et al., 2013),

dan Kulat lidah tiung. Secara ilmiah, berikut klasifikasi Hygrocybe sp. :

Kingdom : Fungi

Divisi : Basidiomycota

Class : Agariomycetes

Order : Agaricales

Famili : Hygrophoraceae

Fungi yang termasuk dalam ordo Agaricales pada umumnya merupakan jenis-jenis ektomikoriza, namun ditemui juga jenis fungi yang merupakan saprofit dan parasit. Jamur yang tergolong ke dalam famili Hygrophoraceae yang dicirikan dengan warna yang cerah, ukuran tubuh buah kecil hingga sedang, lamella yang berlilin dan tebal (Brundrett et al.,1996). Menurut Boa (2004), Hygrocybe sp. dikategorikan sebagai jamur konsumsi di berbagai negara antara lain Bulgaria, Hong Kong, Laos, Rusia, Meksiko, dan Brazil.

(3)

III. KANDUNGAN NUTRISI

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui jamur merupakan sumber pangan yang baik yang kaya akan nutrisi dan baik bagi kesehatan manusia. Hygrocybe sp. merupakan jamur liar yang sudah lama dikonsumsi oleh masyarakat dan juga diyakini memiliki kandungan nutrisi yang baik. Kian et al. (2007), melaporkan bahwa jenis jamur liar edibel memiliki kandungan nutrisi yang lebih baik dibandingkan dengan jamur yang dibudidayakan. Berikut adalah kandungan nutrisi jamur Hygrocybe sp. dibandingkan dengan jenis-jenis jamur pangan komersil yang dibudidayakan.

Tabel 1. Kandungan zat gizi pada beberapa jenis jamur

Komponen nutrisi Hygrocybe sp. * Jamur tiram Putih Jamur Jamur Merang**

** Shittake ***

Protein (%) 13,35±0,12 10,5-30,4 13,4-17,6 25,9-28,5

Lemak (%) 1,10±0,08 1,7-2,2 4,9-9,0 2,0-2,6

Serat (%) 14,25±0,35 7,5-87 7,3-8,0 9,3-17,4

Karbohidrat (%) 63,41±0,05 56,6 67,5-70,7 2,7-4,8

*Shin et al.,(2007) ** Widyastuti (2015)

Adanya informasi nutrisi tentang jamur kulat tiung di atas membuktikan bahwa kulat tiung merupakan jenis pangan yang bisa mencukupi kebutuhan gizi karena mengandung beberapa nutrisi yang diperlukan tubuh. Berdasarkan Tabel 1, dapat kita lihat bahwa kulat tiung memiliki kadar protein, lemak, serat dan karbohidrat lebih tinggi dibandingkan dengan jamur tiram dan beberapa jamur konsumsi lainnya. Selain itu, Shin et al. (2007) juga menambahkan bahwa kulat tiung juga mengandung beberapa nutrisi mikro yang diperlukan tubuh antara lain K, Na, Mg, Ca, Fe, Zn, Cu, dan Cr.

IV. POTENSI BUDIDAYA KULAT TIUNG

Kulat tiung dimanfaatkan oleh masyarakat untuk konsumsi. Jamur ini dihargai seharga kurang lebih Rp 10.000 hingga Rp 15.000 ribu rupiah per keranjang. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan dengan jamur konsumsi lainnya yakni jamur tiram putih segar dengan kisaran harga sekitar Rp 30.000/kilogram dan jamur kuping kering seharga Rp. 120.000/ perkilogram di wilayah Kalimantan Selatan.

Jamur ini biasanya dijual di sepanjang jalan raya trans Kalimantan oleh masyarakat lokal, termasuk di daerah Kalampangan dan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Jamur ini banyak dijual pada awal-awal musim hujan. Oleh masyarakat, umumnya jamur dimasak dengan cara ditumis. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, jamur ini memiliki rasa yang enak menyerupai jamur merang.

Berdasarkan hasil penelusuran literatur, diketahui jenis jamur Hygrocybe sp. merupakan salah satu jenis jamur ektomikoriza. Beberapa jenis jamur pangan yang dikonsumsi, banyak yang merupakan ektomikoriza. Saat ini, terdapat beberapa jenis ektomikoriza yang banyak dikonsumsi dan memiliki nilai jual yang cukup tinggi (Tabel 2).

(4)

Tabel 2. Daftar ektomikoriza yang banyak dikonsumsi (Alka et al., 2014)

No Jenis Ektomikorza Nama Ilmiah

1 Porcini B. edulis

2 Chanterelle C.cibarius

Cantharellus formosus Cantharellus subalbidus

3 Matsutake T.Matsutake

4 Black Truffle Tuber Malanogaster

5 White Truffle Tuber magnatum

6 Pine mushroom Trichcloma magniverale

7 Caesar Mushroom Amanita caesaria

8 Honshimeji Lyophillum shimeji

9 Burgundy Truffle Tuber uncinatum

10 Oregon White Truffle Tuber gibboum

11 Saffron Milk Cap L.delicious

Diantara daftar yang tercantum di atas, jenis jamur truffle merupakan jenis jamur yang paling terkenal dan bernilai sangat mahal. Beberapa catatan menyebutkan jumlah jamur ini bisa mencapai US $10.200/ kilogram atau setara dengan Rp 132.600.000/kilogram (1 USD = Rp 13.000). Agar bisa tumbuh dan memproduksi tubuh buah, ektomikoriza memerlukan adanya inang aktif yang masih hidup. Hanya sedikit catatan tentang budidaya jamur konsumsi ektomikoriza secara komersial. Salah satunya adalah jamur Matsutake yang memiliki nilai komersil tinggi. Dalam memproduksi jamur Matsutake (Trichloma matsutake), pengolahan silvikultur secara intensif dilakukan antara lain dengan cara pemangkasan tumbuhan bawah, serta pembersihan serasah hutan. Selain itu, adanya dukungan masyarakat dalam pengelolaan hutan juga menentukan produksi jamur Matsutake (Xu dan Ribot, 2004).

Contoh lain budidaya ektomikoriza edibel adalah pada jenis Perigord Black Trruffle dengan menggunakan teknik Talon. Teknik budidaya ini dilakukan dengan mentransplantasikan semai oak pada akar tanaman yang memproduksi truffle. Selain teknik tersebut, ada teknik yang disebut dengan Trufficulture untuk memproduksi jamur truffle. Metode ini dilakukan dengan menginokulasikan jamur truffle pada jenis-jenis inang antara lain English Oak (Quercus robur), Evergreen Oak (Quercus ilex), Cork Oak (Quercus suber), Hazelnut (Corylus avellana), dan Pinus pinea (Alka et al., 2014). Selain itu, kondisi lingkungan yang khusus juga diperhatikan dalam metode ini antara lain temperatur, kelembaban tanah, pH dan nutrisi. Tubuh buah jamur truffle akan muncul pada tahun keempat hingga ke tujuh, dan setelah itu akan bisa dijumpai setiap tahunnya.

Mengacu pada jamur truffle dan jamur matsutake sebagaimana yang dicontohkan di atas, budidaya jenis kulat tiung akan bisa dilakukan dengan intensifikasi pengelolaan hutan dengan beberapa cara antara lain pemeliharaan tegakan, monitoring status nutrisi tanah, serta rekayasa lingkungan sehingga tubuh buah dapat

(5)

paling sesuai. Kedua, permintaan pasar yang rendah dan ketiga yakni harga jual yang rendah. Kondisi ini, menyebabkan sulitnya budidaya jenis jamur ini. Jenis truffle, karena harga jual dan permintaan yang tinggi, maka intensifikasi meskipun dengan biaya operasional yang tinggi tetap dilakukan. Selain itu, tingkat keawetan jamur yang rendah juga berpengaruh pada pemasaran jamur ini.

Promosi kulat tiung sebagi pangan lokal yang sarat nutrisi serta pangan yang mendukung perekonomian lokal ini perlu dilakukan agar bisa mendorong meningkatnya permintaan pasar. Hal ini juga dapat meningkatkan nilai jual terhadap kulat tiung dan masyarakat semakin terdorong memanfaatkan kulat tiung sebagai hasil hutan non-kayu.

V. KULAT TIUNG DAN KELESTARIAN HUTAN

Kelestarian hutan dengan produksi jamur merupakan hal yang saling terkait. Beberapa contoh keterkaitan adanya kelestarian hutan dengan produksi jamur konsumsi dapat dilihat pada kasus jamur Matsutake. Jamur Matsutake merupakan jamur yang banyak dikonsumsi dan banyak digunakan untuk upacara adat sehingga permintaan akan jamur ini tinggi. Sebelum tahun 1980, sangat mudah untuk menemukan jamur Matsutake di wilayah hutan Jepang, namun mulai tahun 1980, jamur ini sudah sulit ditemui. Kondisi ini disebabkan salah satunya oleh kerusakan hutan (Boa, 2004).

Jenis jamur ektomikoriza memerlukan inang aktif (hidup) dan kondisi lingkungan yang mendukung. Kondisi tersebut bisa terwujud dengan menjaga kelestarian hutan yang merupakan habitat tumbuhnya Jamur Kulat Tiung. Dalam hal ini berarti, kulat tiung berhubungan erat dengan kelestarian hutan rawa gambut, yang merupakan habitat tumbuhnya. Namun, harus diperhatikan juga, bahwa perlu ada pembatasan dan pengaturan dalam komersialisasi pemanenan kulat tiung dari dalam hutan, agar kelak jika permintaan kulat tiung tinggi, kelestarian jenis ini bisa tetap terjaga.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Dari segi nutrisi, jamur ini bisa menjadi alternatif pangan yang memberikan banyak nutrisi, bahkan kandungan seratnya cukup tinggi.

2. Sejauh ini, Kulat Tiung belum bisa dibudidayakan, sehingga upaya untuk memperbanyak produksi Kulat Tiung adalah dengan menjaga kelestarian wilayah hutan gambut di sekitar Kalimantan Tengah.

Saran

1. Pendataan tanaman inang Kulat Tiung perlu dilakukan sehingga bisa diketahui jenis-jenis inang dari Kulat Tiung

2. Penelitian tentang kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan Kulat Tiung perlu dilakukan agar ke depannya bisa dilaksanakan rekaya lingkungan untuk budidaya Kulat Tiung 3. Promosi Kulat Tiung kepada masyarakat luas perlu ditingkatkan agar permintaan pasar terhadap

(6)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah F, Rusea G. 2009. Documentation of inherited knowledge on wild edible fungi from Malaysia. Blumea, 54, pp.35–38.

Alka K, Ajit V, Mahendra R. 2014. Edible Ectomycorrhizal Fungi: Cultivation, Conservation and Challenges. In R. Mahendra & V. Ajit, eds. Diversity and Biotechnology of Ectomycorrhizae. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag, pp. 429–453.

Boa E. 2004. Wild edible fungi: A global overview of their use and importance to people. Available at: http:// www.fao.org/docrep/007/y5489e/y5489e00.htm#TopOfPage. Diakses pada 10 Mei 2016.

Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk. 1996. Working with Mycorrhiza in Forestry and Agriculture. ACIAR Monograph.

Chotimah HENC, Kresnatita S, Miranda Y. 2013. Ethnobotanical study and nutrient content of local vegetables consumed in Central Kalimantan , Indonesia. Biodiversitas, 14(2), pp.106–111.

FAOSTAT. 2014. Mushrooms and truffles. http://faostat3.fao.org/. Diakses pada 15 Maret 2016.

Shin CK, Yee CF, Shya LJ, Atong M. 2007. Nutritional Properties of Some Edible Wild Mushroom in Sabah. Journal of Applied Science, 7(15), pp.2216–2221.

Royse, D.J, 2014. a Global Perspective on the High Five : Agaricus , Pleurotus ,. In Proceeding of the 8th International Conference on Mushroom Biology and Mushroom Product (ICMBMP8). pp. 2010–2015. Sumarmi. 2006. Botani dan Tinjauan Gizi Jamur Tiram Putih. Jurnal Inovasi Pertanian 4(2) : 124-130. Xu, J. & Ribot, J., 2004. Decentralisation and accountability in forest management: A case from Yunnan,

Southwest China. The European Journal of Development Research, 16(1), pp.153–173.

Widyastuti N, Tjokrokusumo D, Giarni R. 2015. Potensi beberapa Jamur Basidiomycota sebagai bumbu penyedap alternatif masa depan. Prosiding seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Universitas Trunojoyo Madura. Madura 2-3 September 2015.

(7)

Gambar

Tabel 1. Kandungan zat gizi pada beberapa jenis jamur Komponen nutrisi Hygrocybe sp. * Jamur tiram Putih Jamur
Tabel 2. Daftar ektomikoriza yang banyak dikonsumsi (Alka et al., 2014)

Referensi

Dokumen terkait

Sampel pada penelitian ini adalah jenis jamur kayu makroskopis yang terdapat di kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) K.G.P.A.A Mangkunagoro I, Karanganyar pada

Sasaran teknis penilaian kinerja IUPHHK Hutan Tanaman ialah kegiatan pengelolaan hutan tanaman yang dilakukan oleh Pemegang Izin pada semua tahapan kegiatan perusahaan dalam

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: Karakteristik sifat dasar tiga jenis kayu hasil HTR seperti: jabon (Anthocephalus

Sampel pada penelitian ini adalah jenis jamur kayu makroskopis yang terdapat di kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) K.G.P.A.A Mangkunagoro I, Karanganyar pada

Setelah dilakukan penelitian, inventarisasi dan identifikasi jamur Kawasan Lereng Bagian Timur Gunung Merapi Via Selo Boyolali, dengan interval ketinggian 1800 -

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Hutan Bayur, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, dapat disimpulkan bahwa ditemukan 18 jenis jamur makroskopis anggota kelas

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis tanaman apa saja yang terdapat dalam Hutan Adat Kajang dan untuk mengetahui pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu

N/A PHRL Mitra Wana Binangun Tidak termasuk kedalam Jenis Usaha yang wajib menyusun Dokumen Lingkungan berupa Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya