• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. Hasil dan Pembahasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. Hasil dan Pembahasan"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

IV. Hasil dan Pembahasan

4.1. Media Perendam Rumput Laut

Rumput laut atau algae merupakan bagian terbesar dari tanaman laut. Tanaman ini yang juga dikenal dengan nama seaweed adalah tanaman tingkat rendah yang tidak memiliki perbedaan susunan kerangka seperti akar, batang dan daun. Bentuk tanaman ini sebenarnya merupakan bentuk thallus dan tumbuh tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia.

Beberapa bahan pemutih/pemucat umumnya digunakan untuk memucatkan rumput laut. Pada penelitian ini bahan pemucat yang digunakan sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan (food grade) dan sedikit mungkin menggunakan bahan kimia. Jenis media yang digunakan untuk memucatkan rumput laut adalah air tawar, larutan tepung beras 5 % dan larutan kapur tohor 0,5 %. Air tawar merupakan media perendam alami dan hampir tidak ada dampak yang ditimbulkan. Beberapa pigmen rumput laut dapat terpecah dan larut dalam air tawar. Tepung beras dengan kandungan pati yang tinggi diharapkan dapat menghilangkan bau amis dan memberikan warna yang bersih pada rumput laut. Larutan kapur tohor 0,5 % adalah bahan kimia yang digunakan untuk menghilangkan pigmen warna pada rumput laut. Menurut Angka dan Suhartono (2000), untuk mendapatkan rumput laut yang tidak berwarna (cenderung putih bersih) dapat dilakukan proses pemucatan yaitu perendaman dalam larutan pemutih/pemucat. Larutan pemucat yang digunakan adalah larutan kaporit (Ca(OCl)2) 0,25 %, larutan kapur tohor (CaO) 0,50 % atau Natrium hipoklorit

(Na(OCl)) 0,25%. Penggunaan bahan pemucat yang mengandung senyawa khlorin (Cl2, Ca(OCl)2 dan Na(OCl)) telah lama digunakan di Indonesia. Prosedur

ini masih disetujui oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO/WHO) dan negara importir seperti Amerika Serikat dan Jepang. Namun di Uni Eropa (UE) penggunaan senyawa khlorin untuk desinfektan dan produk perikanan sudah tidak diperkenankan, sesuai ketentuan Council Directive No. 80/778/EEC karena dinilai bersifat karsinogenik yang berbahaya bagi kesehatan manusia (BPPMHP, 2005). Kapur tohor merupakan bahan yang bersifat reaktif dengan air. Reaksi CaO dengan air membentuk Ca(OH)2 merupakan reaksi eksoterm yang akan

(2)

melepaskan kalor dan menghasilkan bahan yang berbentuk serbuk putih (Chang dan Tikkanen, 1988). Perlakuan perendaman yang diberikan pada penelitian ini berbeda untuk masing-masing rumput laut tetapi tetap menggunakan media yang sama. Melalui proses perendaman akan didapatkan rumput laut yang memiliki kenampakan (warna) putih, tidak berbau dan tekstur yang padat, sehingga tepung rumput laut yang dihasilkan siap diolah menjadi produk lanjutan yang memiliki nilai tambah (value added product). Lembar penilaian (score sheet) untuk masing-masing jenis rumput laut ada dalam Lampiran 2, 3 dan 4.

4.1.1. Media Perendam Rumput Laut Eucheuma cottonii

Bahan baku rumput laut yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput laut kering tawar yang dibeli dari petani rumput laut di kepulauan seribu. Rumput laut ini sebelumnya sudah mengalami perlakuan sehingga didapat rumput laut kering tawar dengan warna kuning pucat (Gambar 7 b).

(a) (b)

Gambar 7. RL Eucheuma cottonii kering asin (a) dan setelah fermentasi (b).

Selanjutnya dilakukan perlakuan penelitian yaitu untuk mendapatkan rumput laut yang memiliki kenampakan (warna) putih, tidak berbau amis, tekstur yang tidak lembek. Media perendam yang digunakan yaitu air tawar selama 9 jam (perlakuan A), larutan tepung beras 5 % selama 9 jam (perlakuan B) dan air tawar 9 jam kemudian larutan kapur tohor 0,5 % selama 10 menit (perlakuan C). Rata-rata penilaian panelis terhadap rumput laut hasil perendaman disajikan pada Tabel 12.

(3)

Tabel 12. Nilai rata-rata RL Eucheuma cottonii dalam media perendam Media Perendam Parameter Nilai Deskripsi Air tawar Kenampakan

Bau Tekstur

7,0

6,5 7,3

Bersih, kurang transparan, warna putih kekuningan tidak merata, agak cemerlang.

Segar, sedikit agak amis

Thalus padat, agak liat, agak mudah patah

Tepung Beras Kenampakan Bau

Tekstur

6,2 4,6 6,7

Bersih, tidak transparan, warna putih kekuningan, agak kusam

Kurang segar, sedikit bau tambahan Thalus agak lunak, agak mudah patah

Air tawar 9 jam, Kapur tohor 0,5 % 10 menit Kenampakan Bau Tekstur 7,3 3,4 7,2

Bersih, kurang transparan, warna putih kekuningan tidak merata, agak cemerlang.

Kurang segar, sedikit bau tambahan Thalus padat, agak liat, agak mudah patah

Hasil analisis ragam memberikan hasil berbeda nyata terhadap kenampakan rumput laut. Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan A tidak berbeda nyata dengan perlakuan C, tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda dengan perlakuan B (Lampiran 5). Kenampakan yang paling baik adalah pada perlakuan C tetapi masih dalam nilai yang sama pada lembar penilaian (Tabel 12) dengan rumput laut perlakuan A.

Hasil analisis ragam bau rumput laut memberikan hasil berbeda nyata terhadap semua media perendam (Lampiran 6). Uji lanjut yang dilakukan menyatakan masing-masing perlakuan berbeda nyata, nilai tertinggi ada pada rumput laut perlakuan A. Pada perlakuan A bau amis masih ada walaupun hanya sedikit, sedangkan pada perlakuan B dan C tercium bau tambahan yang kurang enak, hal ini kemungkinan karena adanya residu tepung beras dan kapur tohor yang terserap oleh thallus-thallus rumput laut.

Hasil analisis tekstur rumput laut hasil perendaman menunjukkan adanya beda nyata (Lampiran 7). Uji lanjut menyatakan perlakuan A tidak berbeda dengan perlakuan C tetapi keduanya berbeda dengan perlakuan B. Nilai tertinggi

(4)

ada pada rumput laut perlakuan A, tetapi perlakuan A dan C berada pada kisaran nilai yang sama pada lembaran nilai (Tabel 12).

Berdasarkan nilai pada lembar penilaian (Tabel 12), maka perlakuan A merupakan perlakuan yang terbaik (Gambar 8), sehingga perlakuan yang akan dilanjutkan untuk penelitian tahap berikutnya adalah perlakuan A. Selanjutnya dilakukan analisa terhadap kandungan nutrisinya. Nilai kadar air rumput laut perlakuan A adalah 93,1 %, selengkapnya tersaji pada Tabel 13.

Tabel 13. Komposisi kimia RL Eucheuma cottonii (perlakuan A)

Komponen Jumlah Kadar abu (%, bk)

Kadar lemak (%, bk) Kadar protein (%, bk) Karbohidrat (%, bk) Serat pangan larut (%, bb) Serat pangan tidak larut (%, bb) Serat pangan total (%, bb) Iodium (ug/g, bk) 18 3,39 0,43 75,36 5,75 3,87 9,62 38,94

Gambar 8. RL Eucheuma cottonii hasil perendaman terbaik (perlakuan A).

4.1.2. Media Perendam Rumput Laut Glacilaria sp

Rumput laut jenis Glacilaria sp yang digunakan pada penelitian ini didapatkan dari petani rumput laut di Kepulauan Seribu. Rumput laut yang dibeli dalam keadaan kering asin, artinya untuk rumput laut jenis ini tidak ada perlakuan yang diberikan setelah panen (Gambar 9b). Setelah panen rumput laut hanya dicuci saja untuk menghilangkan kotoran ataupun lumpur yang terbawa saat

(5)

panen, kemudian dijemur sampai kering. Bentuk thallusnya yang kecil menyebabkan banyak lumpur dan kotoran yang terbawa saat panen sehingga pencucian harus dilakukan sampai benar-benar bersih. Rumput laut kering masih memiliki warna ungu kemerahan yang merupakan ciri rumput laut merah (Gambar 9a).

Rumput laut Glacilaria sp mempunyai pigmen hijau kemerahan. Warna ini disebabkan oleh klorofil, karoten dan biliprotein. Senyawa biliprotein berada dalam bentuk fikosianin dan fikoritrin (Goodwin, 1974). Pada penelitian ini proses pemucatan dilakukan dengan perlakuan perendaman, yaitu dalam air tawar 9 jam (perlakuan D), larutan tepung beras 9 jam (perlakuan E), dan air tawar 2 jam kemudian larutan kapur tohor 0,5 % selama 10 menit dan dikeringkan (perlakuan F). Penggunaan selanjutnya rumput laut direndam kembali dalam air tawar selama 7 jam untuk menghilangkan dan menetralkan bau kapur.

(a) (b) Gambar 9. RL Glacilaria sp segar (a) dan kering asin (b)

Pigmen warna pada rumput laut Glacilaria sp sangat kuat sehingga tidak dapat larut dalam air tawar maupun larutan tepung beras. Perendaman dalam larutan kapur tohor 0,5 % selama 10 menit dapat melunturkan pigmen merah keunguan pada rumput laut tetapi pigmen hijau masih kuat, sehingga dilakukan penjemuran untuk menghilangkan warna hijau, setelah kering warna yang dihasilkan adalah krem pucat (Gambar 10). Rata-rata penilaian panelis terhadap rumput laut hasil perendaman disajikan pada Tabel 14.

(6)

Gambar 10. RL Glacilaria sp hasil perendaman terbaik (perlakuan F).

Tabel 14. Nilai rata-rata RL Glacilaria sp dalam media perendam Media perendaman Parameter Nilai Deskripsi Air tawar Kenampakan

Bau Tekstur

5,2

4,9 6,7

Kurang bersih, tidak transparan, warna ungu kehijauan, agak kusam

Kurang segar, amis cukup dominan

Thalus padat, agak liat, agak mudah patah

Tepung Beras Kenampakan

Bau Tekstur

5,5

5,2 6,8

Bersih, tidak transparan, warna putih ungu kehijauan, tidak merata, agak kusam

Kurang segar, amis cukup dominan

Thalus padat, agak liat, agak mudah patah

Air tawar 2 jam Kapur tohor 0,5 % 10 menit,

keringkan, rendam air tawar 7 jam

Kenampakan Bau Tekstur 7,8 6,1 7,0

Bersih, transparan, warna putih krem tidak merata, cemerlang Segar, sedikit agak amis

Thalus padat, agak liat, agak mudah patah

Hasil analisis ragam terhadap kenampakan rumput laut memberikan hasil berbeda nyata (Lampiran 8). Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan F berbeda nyata dengan perlakuan D dan E, sedangkan perlakuan D tidak berbeda dengan perlakuan E. Perlakuan F merupakan perlakuan terbaik yang memberikan nilai kenampakan 7,8 pada lembar penilaian (Tabel 14). Senyawa yang menyebabkan warna secara umum merupakan komponen organik yang memiliki ikatan rangkap

(7)

berganti-ganti. Dekolorisasi dapat dilakukan dengan menghancurkan satu atau lebih ikatan ganda dalam sistem konyugasi dengan reaksi adisi pada ikatan ganda atau hasil pemutusannya. Kapur tohor yang digunakan pada perendaman mengakibatkan terpecahnya komponen penyusun warna, dan proses penjemuran diduga menyempurnakan pemucatan. Eskin et.al (1971) menyatakan bahwa pengoksidasian lebih lanjut diduga akan menghasilkan pemecahan cincin isosiklik pada klorofil secara sempurna. Pemotongan dapat berlangsung secara cepat yang menghasilkan sejumlah besar kehilangan warna dan senyawa yang mempunyai berat molekul rendah. Sejalan dengan penurunan jumlah klorofil, kandungan karotenpun akan menurun.

Analisis ragam bau rumput laut memberikan hasil berbeda nyata terhadap perlakuan media perendam (Lampiran 9). Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan F berbeda dengan perlakuan D dan E, sedangkan perlakuan D dan E tidak berbeda. Bau amis yang masih menyengat merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan, karena untuk penggunaan selanjutnya dapat mempengaruhi produk yang dihasilkan. Produk dengan bau yang kurang disukai akan mempengaruhi selera makan.

Hasil analisis ragam terhadap tekstur rumput laut memberikan hasil tidak berbeda antara 3 perlakuan media perendam (Lampiran 10). Rumput laut memiliki thalus padat (tidak mudah hancur), agak liat dan agak mudah patah. Berdasarkan hasil analisis tersebut, rumput laut dengan perlakuan F memiliki nilai yang paling baik. Selanjutnya dilakukan analisis sifat kimia meliputi proksimat, karbohidrat, kadar serat dan iodium. Kadar air rumput laut hasil perendaman adalah 89,91 %, komposisi kimia lainnya dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Komposisi kimia RL Glacilaria sp (perlakuan F)

Komponen Jumlah Kadar abu (%, bk)

Kadar lemak (%, bk) Kadar protein (%, bk) Karbohidrat (%, bk) Serat pangan larut (%, bb) Serat pangan tidak larut (%, bb) Serat pangan total (%, bb) Iodium (ug/g, bk) 8,09 11,05 0,31 79,08 5,83 3,93 9,76 29,94

(8)

4.1.3. Media Perendam Rumput Laut Sargassum sp

Rumput laut Sargassum sp diperoleh dari perairan Binuangeun (Kabupaten Lebak, Propinsi Banten). Rumput laut coklat ini dibeli dari petani rumput laut dalam keadaan kering asin, artinya setelah panen rumput laut dicuci dengan air tawar berkali-kali hingga bersih, setelah itu ditiriskan dan dijemur sampai kering (Gambar 11b).

Pada tahap selanjutnya dilakukan perendaman dan pemucatan untuk mendapatkan rumput laut yang siap diolah menjadi tepung rumput laut. Perendaman dilakukan dalam beberapa jenis media, yaitu air tawar 9 jam (perlakuan G), larutan tepung beras 9 jam (perlakuan H), air tawar 9 jam kemudian larutan kapur tohor 0,5 % selama 10 menit (perlakuan I). Tabel 16 menunjukkan nilai rata-rata Sargassum sp untuk masing-masing media perendam.

(a) (b) Gambar 11. RL Sargassum sp segar (a) dan kering (b).

Hasil analisis ragam kenampakan rumput laut menunjukkan berbeda nyata terhadap perlakuan yang diberikan. Uji lanjut yang diperoleh menyatakan bahwa masing-masing perlakuan berbeda nyata (Lampiran 11). Nilai kenampakan paling tinggi ada pada rumput laut yang direndam dalam air tawar selama 9 jam (perlakuan G) (Gambar 12). Perlakuan yang diberikan pada rumput laut coklat ini tidak menghasilkan rumput laut dengan kenampakan (warna) putih, tetapi tetap dengan warna aslinya yaitu coklat. Berbeda dengan pigmen algae merah, pigmen algae coklat tidak mudah terhidrolisis sehingga tidak terjadi pemucatan saat perendaman. Pada perendaman dengan kapur tohor terjadi perubahan warna yang

(9)

semakin gelap (coklat tua) dari warna aslinya (coklat muda cemerlang). Perendaman dengan larutan tepung beras memberikan warna yang agak redup (kusam). Rumput laut coklat berbeda dari jenis rumput laut lainnya dalam hal kandungan pigmen dan kimianya. Menurut Indriani dan Suminarsih (2003), Sargassum sp mengandung pigmen klorofil a dan c, beta karotin, violasantin dan fukosantin, pirenoid dan filakoid (lembaran fotosintesis). Yunizal (2004) menyatakan bahwa keberadaan pigmen fukosantin pada rumput laut coklat menutupi pigmen lainnya dan memberikan warna coklat yang sangat dominan. Tabel 16. Nilai rata-rata RL Sargassum sp dalam media perendam

Media perendaman Parameter Nilai Deskripsi Air tawar Kenampakan

Bau Tekstur

7,8 6,8 7,2

Bersih, coklat muda tidak merata, cemerlang

Segar, bau spesifik jenis

Thalus padat, agak liat, agak mudah patah

Tepung Beras Kenampakan Bau

Tekstur

6,2 6,0 7,0

Bersih, coklat tua, tidak merata, agak kusam

Segar, sedikit agak amis

Thalus padat, agak liat, agak mudah patah

Air tawar 9 jam Kapur tohor 0,5 % 10 menit Kenampakan Bau Tekstur 5,7 3,6 7,2

Bersih, coklat tua, tidak merata, agak kusam

Kurang segar, sedikit bau tambahan

Thalus padat, agak liat, agak mudah patah

Analisis ragam bau rumput laut memberikan hasil berbeda nyata. Uji lanjut menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan media perendam berbeda nyata (Lampiran 12). Nilai paling baik adalah rumput laut dengan media perendam air tawar selama 9 jam (perlakuan G), kemudian perlakuan H selanjutnya adalah perlakuan I. Bau yang khas (seperti bau daun teh) masih tercium terutama pada perlakuan G. Pada perlakuan H dan I ada tercium bau lain seperti bau tepung dan bau kapur. Analisis ragam terhadap tekstur memberikan hasil tidak berbeda nyata (lampiran 13). Ketiga perlakuan memiliki tekstur yang cenderung sama yaitu thallus padat, agak liat dan agak mudah patah. Berdasarkan data yang didapat

(10)

(Tabel 16) maka untuk tahap selanjutnya rumput laut dengan media perendam air tawar selama 9 jam akan dilanjutkan menjadi tepung rumput laut..

Gambar 12. RL Sargassum sp hasil perendaman terbaik (perlakuan G).

Komposisi kimia rumput laut coklat sangat bervariasi, tergantung pada jenis (spesies), masa perkembangannya dan kondisi tempat tumbuhnya. Kadar air rumput laut hasil perendaman adalah 88,88 %, komposisi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Komposisi kimia RL Sargassum sp (perlakuan G)

Komponen Jumlah Kadar abu (%, bk)

Kadar lemak (%, bk) Kadar protein (%, bk) Karbohidrat (%, bk) Serat pangan larut (%, bb) Serat pangan tidak larut (%, bb) Serat pangan total (%, bb) Iodium (ug/g, bk) 16,03 9,26 0,45 74,28 7,33 4,46 11,79 26,95

(11)

4.2. Sifat fisik-kimia Tepung Rumput Laut

Penelitian tahap 2 bertujuan untuk mengkaji sifat fisik-kimia tepung rumput laut. Masing-masing jenis rumput laut hasil perendaman terbaik selanjutnya diproses menjadi tepung rumput laut. Tahapan yang dilakukan adalah pencucian, perendaman, penghancuran, pengeringan, penepungan dan pengayakan. Rumput laut Eucheuma cottonii, Sargassum sp, dan Glacilaria sp kering dicuci dan dibersihkan dengan air mengalir, untuk menghilangkan kotoran dan benda asing yang masih menempel pada rumput laut. Selanjutnya direndam dalam media perendam yang terbaik untuk masing-masing jenis rumput laut hasil dari penelitian tahap 1 dan ditirisksn. Tahap berikut adalah penghancuran menggunakan grinder, kemudian pengeringan rumput laut dengan oven. Suhu pengeringan yang diberikan adalah 50 oC dan 70 oC. Selama pengeringan dilakukan pengadukan agar proses pengeringan berlangsung sempurna. Pemilihan suhu pengering didasarkan pada suhu yang terlalu tinggi dapat merusak komposisi kimia dan unsur penting yang dikandung rumput laut, sedangkan suhu yang rendah akan memerlukan waktu yang lama sehingga kemungkinan akan terjadi reaksi mailard (browning). Selanjutnya tahap penepungan (penggilingan). Alat penepung yang digunakan pada penelitian ini adalah alat penepung modifikasi selanjutnya dihaluskan dengan blender kering. Tahap terakhir yaitu pengayakan dengan saringan berukuran 48 dan dimasukkan dalam wadah tertutup selanjutnya dianalisis sifat fisiko-kimianya. Tepung rumput laut Eucheuma cottonii, Glacilaria sp, dan Sargassum sp dapat dilihat pada Gambar 13..

Analisis yang dilakukan pada masing-masing jenis tepung rumput laut yaitu analisis Rendemen, pH, viskositas, kelarutan, titik jendal, titik leleh, kadar air, kadar abu, kadar protein, karbohidrat, kandungan serat pangan (serat pangan larut /SDF, serat pangan tak larut /IDF dan total serat pangan/TDF), iodium dan organoleptik (score sheet) meliputi kenampakan, bau dan tekstur.

(12)

TRL Eucheuma cottonii TRL Glacilaria sp TRL Sargassum sp Gambar 13. Tiga Jenis Tepung Rumput Laut.

4.2.1. Rendemen

Rendemen merupakan prosentase antara produk akhir (tepung rumput laut) dengan produk awal (rumput laut hasil perendaman). Untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk, salah satu parameter yang dapat digunakan adalah rendemen. Semakin tinggi rendeman suatu produk maka nilai ekonomisnya akan meningkat.

Gambar 14 menyajikan rendemen yang dihasilkan pada penelitian ini. Salah satu tahap yang menentukan dalam pengolahan tepung rumput laut adalah pada proses penepungan. Proses penepungan memerlukan mesin penepung yang mampu menggerus (menghaluskan) thallus kering rumput laut. Kandungan serat yang tinggi dan kadar air yang rendah menyebabkan thallus sangat liat dan sukar dihancurkan. Kendala yang dihadapi pada penelitian ini yaitu peralatan penepungan yang kurang memadai. Proses penepungan dilanjutkan dengan alat

(13)

blender kering tetapi tidak dapat mencapai hasil yang maksimal karena tidak semua rumput laut kering habis dihancurkan. Hal ini karena pemblenderan yang berulang-ulang dapat merusak komposisi kimia dari tepung rumput laut. Menurut Voigt (1995), pemilihan jenis peralatan penghalus atau penggilingan tergantung dari jumlah material dan sifat-sifat fisiknya (kekerasan, elastisitas, kerapuhan, lengket dan sebagainya), ukuran awal dari bahan yang digiling serta ukuran produk yang diinginkan.

Gambar 14. Rendemen Tepung Rumput Laut (%).

Berdasarkan data yang dihasilkan, analisis ragam yang dilakukan menyatakan untuk rendemen tepung rumput laut Eucheuma cottonii berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 14). Hasil terbaik adalah pada perlakuan suhu 70 oC dengan rendemen sebesar 8,33 % sedangkan pada suhu pengeringan 50 oC adalah 8,01 %. Analisis terhadap rendemen tepung rumput laut Glacilaria sp menyatakan tidak berbeda nyata (Lampiran 15), sedangkan untuk rendemen tepung rumput laut Sargassum sp berbeda sangat nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan. Suhu pengeringan yang terbaik yaitu 70 oC dengan hasil rendemen sebanyak 7,94 % (Lampiran 16).

4.2.2. pH

Pengukuran nilai pH 3 jenis tepung rumput laut pada penelitian ini adalah antara 6,45 sampai 7,74 (Gambar 15). Menurut Gaman dan Sherrington (1992),

8,01 7,94 7,14 8,33 8,12 7,94 6,4 6,6 6,8 7 7,2 7,4 7,6 7,8 8 8,2 8,4 8,6

Eucheuma Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut

Ren d em en ( % ) Suhu 50 oC Suhu 70 oC

(14)

jika konsentrasi ion hydrogen bertambah maka pH nya akan turun. Pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dapat dikontrol dengan cara menurunkan pH pangan. pH juga dapat digunakan sebagai indikator perubahan warna pada bahan pangan.

Gambar 15. pH Tepung Rumput Laut.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan tidak berbeda nyata terhadap pH tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp (Lampiran 17 dan 18), tetapi berbeda nyata terhadap pH tepung rumput laut Sargassum sp (Lampiran 19). Berdasarkan tingkat keasaman, ketiga jenis tepung rumput laut ini termasuk pada pangan berasam rendah (pH > 4,5).

4.2.3. Viskositas

Viskositas adalah pengukuran daya tahan/hambatan suatu larutan untuk mengalir. Meskipun molekul-molekul dalam larutan berada dalam pergerakan acak yang konstan, tetapi kecepatannya pada arah tertentu bernilai nol, kecuali jika diberikan suatu gaya yang menyebabkan suatu larutan dapat mengalir. Gaya yang cukup besar yang diperlukan untuk dapat membuat suatu larutan mengalir pada kecepatan tertentu berhubungan dengan viskositas suatu larutan. Aliran terjadi pada saat molekul suatu larutan saling menyalip satu sama lain dengan kecepatan tertentu serta pada bidang tertentu pula (Toledo, 1991).

Uji viskositas dilakukan pada konsentrasi tepung 5 % dan suhu 50 oC, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini.

7,11 7,13 7,74 6,45 7,57 7,22 5,5 6 6,5 7 7,5 8

E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut

pH

(15)

Tabel 18. Viskositas Tepung Rumput Laut (centipoises) pada konsentrasi 5 % suhu 50 oC

Tepung rumput laut Suhu pengeringan 50 oC Suhu pengeringan 70 oC

Eucheuma cottonii 5080,36 4970,40

Glacilaria sp 18,58 20,89

Sargassum sp 0,997 3,42

Berdasarkan data hasil penelitian, analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa untuk viskositas tepung rumput laut Eucheuma cottonii berbeda nyata antara dua perlakuan suhu pengeringan. Hasil pengukuran yang diperoleh menyatakan perlakuan yang terbaik adalah pengeringan pada suhu 50 oC, dengan nilai viskositas 5080,36 cps (Lampiran 20). Eucheuma cottonii adalah salah satu jenis algae merah yang menghasilkan karagenan. Viskositas karagenen dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu konsentrasi, temperatur, tingkat dispersi, kandungan sulfat, inti elektrik, keberadaan elektrolit dan non elektrolit, teknik perlakuan, serta tipe dan berat molekul karagenan. Viskositas larutan karagenan akan menurun dengan adanya peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi karagenan. Untuk menghindari terjadinya degradasi karagenan akibat pemanasan, maka diusahakan agar polimer hidrokoloid lebih stabil dengan cara pengaturan pH (Towle, 1973). Menurut Guiseley et.al. (1980) untuk menghindari terjadinya degradsi maka pemanasan dapat dilakukan pada atau mendekati kondisi yang mempunyai kestabilan optimum yaitu pada pH 9. Pada penelitian ini nilai viskositas tepung dengan suhu pengeringan 70 oC lebih rendah daripada viskositas tepung yang dikeringkan pada suhu 50 oC. Hal ini kemungkinan disebabkan perlakuan suhu pengeringan yang berbeda dan pH tepung yang dihasilkan. pH tepung rumput laut yang dikeringkan pada suhu 70 oC adalah 6,45 sedangkan pada suhu 50 oC adalah 7,11, sehingga adanya perbedaan nilai viskositas kemungkinan disebabkan oleh pengaruh kadar air dan pH tepung.

Analisis ragam terhadap viskositas tepung rumput laut Glacilaria sp menunjukkan hasil tidak berbeda nyata antara dua perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 21). Glacilaria sp disebut juga sebagai agarose karena merupakan algae penghasil agar-agar. Menurut Furia (1980) dalam Suwandi et.al. (2002), besarnya viskositas larutan agar-agar bervariasi menurut suhu dan pH, tetapi

(16)

mendekati konstan pada selang pH 4,5 sampai 9,0. Winarno (1990) menambahkan bahwa dalam kisaran pH tersebut, larutan dengan konsentrasi 1 % dan 5 % pada suhu 45 oC mempunyai viskositas antara 2 – 10 centipoise. Viskositas tepung rumput laut Glacilaria sp pada penelitian ini adalah 18,58 dan 20,89 cps pada suhu 50 oC dan 70 oC. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya asal bahan baku yang berbeda, umur panen, maupun alat uji yang digunakan.

Untuk tepung rumput laut Sargassum sp, hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan berbeda nyata terhadap viskositasnya. Nilai tertinggi ditunjukkan pada perlakuan suhu pengeringan 70 oC yaitu 3,42 cps (Lampiran 22). Tepung ini berbeda dengan 2 jenis tepung lainnya. Tepung rumput laut Sargassum sp yang dikeringkan pada suhu 70 oC membentuk larutan yang lebih homogen daripada tepung yang dikeringkan pada suhu 50 oC. Tepung yang dikeringkan pada suhu 50 oC, tidak membentuk larutan homogen, ada 2 lapisan yang terbentuk yaitu cairan yang berwarna coklat dan endapan tepung hal ini terlihat dari rendahnya nilai viskositasnya.

Tepung rumput laut Sargassum sp berbeda dengan 2 jenis tepung lainnya. Tepung Sargassum sp tidak menghasilkan larutan yang homogen dan mengental pada konsentrasi 5 % suhu 50 oC. Kekentalan dan kemampuan tepung rumput laut membentuk larutan yang homogen akan mempengaruhi produk lanjutan yang akan diproduksi, misalnya minuman berserat. Hal ini karena diharapkan tepung rumput laut akan larut sempurna dalam air.

4.2.4. Titik Jendal dan Titik Leleh.

Titik jendal dan titik leleh yang diamati pada penelitian ini untuk mengetahui kemampuan pembentukan gel tepung rumput laut. Menurut Gliksman (1969), proses pembentukan gel bersifat reversible, artinya gel mencair pada pemanasan dan cairan membentuk gel kembali pada pendinginan. Fardiaz (1989) menyatakan pembentukan gel adalah suatu fenomena atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini dapat menangkap atau mengimobolisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku.

(17)

Uji titik jendal dan titik leleh yang dilakukan terhadap 3 jenis tepung rumput laut yang dikeringkan pada suhu 50 oCdan 70 oC, memberikan hasil yaitu hanya tepung rumput laut Eucheuma cottonii yang dapat membentuk gel. Tepung rumput laut Eucheuma cottonii yang dikeringkan pada suhu 50 oC memiliki titik jendal 34 oC dan titik leleh 75 oC. Sedangkan Eucheuma cottonii yang dikeringkan pada suhu 70 oC memiliki titik jendal 32 oC dan titik leleh 70 oC. Semakin tinggi titik jendal maka semakin tinggi pula titik lelehnya. Eucheuma cottonii adalah rumput laut penghasil karagenan yang mempunyai kemampuan membentuk gel yang tinggi. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hydrocolloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya (Fardiaz, 1989). Pembentukan gel ini terjadi diperkirakan karena terbentuknya struktur doble helix. Pada saat larutan dalam keadaan panas, rantai polimer membentuk formasi koil secara acak. Pada saat pendinginan, formasi berubah menjadi doble helix membentuk ikatan silang seperti jala atau jaring secara kontinyu. Pada pendinginan selanjutnya polimer saling berikatan membentuk gel yang kuat.

Berbeda dengan tepung rumput laut Eucheuma cottonii, tepung rumput laut Glacilaria sp tidak dapat menjendal tetapi membentuk larutan kental yang homogen, walaupun hasil ekstraksi dari Glacilaria adalah agarosa yang merupakan senyawa hydrocolloid dengan kemampuan membentuk gel yang tinggi. Tidak terbentuknya gel pada tepung rumput laut Glacilaria sp kemungkinan suhu pemanasan yang kurang, sehingga tidak terbentuk formasi koil acak yang akan membentuk struktur doble helix yang mengikat rantai molekul menjadi bentuk jaringan 3 dimensi atau gel setelah pendinginan.

Tepung rumput laut Sargassum sp juga tidak dapat membentuk gel sehingga tidak dihasilkan titik jendal dan titik leleh. Butir–butir tepung rumput laut terlihat terpisah dengan air sehingga larutan tidak homogen. Warna tepung rumput laut terhidrolisis dalam air sehingga larutan berwarna coklat seperti warna tepungnya.

4.2.5. Kelarutan

Data hasil pengukuran kelarutan 3 jenis tepung rumput laut disajikan pada Gambar 16.

(18)

Gambar 16. Kelarutan Tepung Rumput Laut (%).

Berdasarkan data tersebut, kelarutan yang paling tinggi ada pada tepung rumput laut Eucheuma cottonii yang dikeringkan pada suhu 70 oC yaitu 36,8 % dan paling rendah adalah tepung rumput laut Glacilaria sp pada pengeringan 50

o

C yaitu 15,03 %. Menurut Vogel (1978) kelarutan adalah jumlah zat yang dapat dilarutkan dalam pelarutnya. Kelarutan tergantung pada suhu, tekanan, konsentrasi bahan-bahan lain dalam larutan dan komposisi kelarutannya, serta sifat dan konsentrasi zat-zat lain, terutama ion-ion dalam campuran tersebut. Muchtadi et.al. (1993) menyatakan pelarut yang baik adalah air. Air melarutkan berbagai senyawa organik yang mempunyai gugus karboksil atau asam amino yang cenderung berionisasi oleh interaksinya dengan air.

Hasil analisis ragam kelarutan tepung rumput laut Eucheuma cottonii menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata terhadap suhu pengeringan. Dari hasil pengukuran yang diperoleh menyatakan bahwa perlakuan pengeringan pada suhu 70 oC adalah yang terbaik nilai kelarutannya (Lampiran 23). Demikian juga untuk kelarutan tepung rumput laut Glacilaria sp, analisis sidik ragam menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (Lampiran 24). Perlakuan suhu pengeringan 70 oC adalah yang terbaik nilai kelarutannya dibanding nilai perlakuan pengeringan pada suhu 50 oC. Analisis ragam kelarutan tepung rumput laut Sargassum sp juga menyatakan perbedaan yang sangat nyata. Tepung dengan suhu pengeringan 50 oC memiliki nilai kelarutan yang lebih tinggi (Lampiran 25).

27,6 15,03 26,96 36,8 18,01 18,21 0 5 10 15 20 25 30 35 40

E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut

K e la ru ta n (% ) Suhu 50 oC Suhu 70 oC

(19)

Menurut Suardi (2002), kelarutan dalam air dipengaruhi oleh jenis komponen kimia karbohidrat penyusunnya. Semakin tinggi kandungan polisakarida khususnya polisakarida bukan pati dari bahan maka semakin rendah kelarutannya dalam air dan sebaliknya. Hal ini karena polisakarida bukan pati sulit mengalami hidrolisis dalam air. Bahan makanan yang memiliki kelarutan tinggi akan memiliki kecernaan yang tinggi pula.

4.2.6. Kadar air

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi kenampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut (Winarno, 1997). Jenis tepung rumput laut Eucheuma cottonii dengan suhu pengeringan 50 oC memiliki kadar air tertinggi, sedangkan kadar air terendah ada pada jenis tepung rumput laut Sargassum sp pada suhu pengeringan 50oC . Hasil pengamatan kadar air 3 jenis tepung rumput laut yang dikeringkan pada suhu berbeda disajikan pada Gambar 17.

Gambar 17. Kadar Air Tepung Rumput Laut (%).

Berdasarkan analisis sidik ragam, suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap kadar air tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp (Lampiran 26 dan 27). Untuk tepung rumput laut Sargassum sp, analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan berbeda sangat nyata terhadap kadar

12,88 11,72 10,82 12,34 11,9 11,65 9,5 10 10,5 11 11,5 12 12,5 13 13,5

E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut

Ka d a r Ai r (% ) Suhu 50 oC Suhu 70 oC

(20)

airnya (Lampiran 28), tepung dengan suhu pengeringan 70 oC memiliki kadar air yang lebih tinggi.

Kandungan air dalam tepung rumput laut berpengaruh terhadap daya simpannya. Semakin tinggi kandungan air tepung rumput laut maka akan semakin mudah terserang mikroba selama penyimpanan. Menurut SNI 01-2802-1995 untuk produk Agar-agar tepung, syarat mutu kadar air maksimal adalah 17 %. Sedangkan SNI 01-3451-1994 untuk produk tapioka, menyatakan bahwa syarat kadar air yang harus dipenuhi untuk semua tingkat mutu (I, II, III) adalah maksimal 15 % dan untuk tepung terigu kadar air maksimal yang ditetapkan adalah 12 %. Kadar air ke 3 jenis tepung rumput laut yang didapatkan pada penelitian ini berada pada kisaran 10,82 % sampai 12,88 %, artinya tidak melebihi persyaratan mutu kadar air komoditas agar-agar tepung dan tepung tapioka yang sudah ditetapkan walaupun masih diatas kadar air tepung terigu.

4.2.7. Kadar Abu

Kadar abu ke 3 jenis tepung rumput laut dapat dilihat pada Gambar 18. Kadar abu tertinggi ada pada tepung rumput laut Sargassum sp dengan suhu pengeringan 50 oC (15,83 %). Sedangkan tepung rumput laut dengan kadar abu terendah adalah Glacilaria sp dengan suhu pengeringan 70 oC (5,7 %).

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kadar abu ke 3 tepung rumput laut tersebut tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 29, 30 dan 31). Menurut Winarno (1997), rumput laut kaya akan mineral dimana unsur mineral dikenal juga sebagai kadar abu. Sehingga bila kadar abu tepung rumput laut semakin tinggi maka kadar mineral yang terkandung didalamnya juga tinggi. Tepung rumput laut Glacilaria sp memiliki kadar abu yang paling rendah, hal ini kemungkinan karena banyak mineral yang rusak dan hilang selama proses perlakuan baik pada saat pemucatan maupun pengeringan.

(21)

Gambar 18. Kadar Abu Tepung Rumput Laut (%).

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kadar abu ke 3 tepung rumput laut tersebut tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 29, 30 dan 31). Menurut Winarno (1997), rumput laut kaya akan mineral dimana unsur mineral dikenal juga sebagai kadar abu. Sehingga bila kadar abu tepung rumput laut semakin tinggi maka kadar mineral yang terkandung didalamnya juga tinggi. Tepung rumput laut Glacilaria sp memiliki kadar abu yang paling rendah, hal ini kemungkinan karena banyak mineral yang rusak dan hilang selama proses perlakuan baik pada saat pemucatan maupun pengeringan.

4.2.8. Kadar Protein

Kandungan protein setiap rumput laut berbeda, tergantung jenis dan daerah tumbuhnya. Beberapa rumput laut dengan jenis yang sama juga kadang berbeda kandungan proteinnya. Hal ini disebabkan keadaan perairan tempat tumbuhnya dan bibit rumput laut yang ditanam. Beberapa penelitian menyatakan bahwa rumput laut memiliki kandungan nitrogen yang tinggi, namun masih belum jelas mengenai daya larut dan daya cerna kandungan nitrogen tersebut. Kisaran kadar protein yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu 3,13 % – 10,51 % (Gambar 19).

14,18 6,32 15,83 14,27 5,7 15,58 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp

Jenis Tepung Rumput Laut

K a da r A bu (% ) Suhu 50 oC Suhu 70 oC

(22)

Gambar 19. Kadar Protein Tepung Rumput Laut (%).

Kadar protein tepung rumput laut jenis Eucheuma cottonii pada suhu pengeringan 50 oCdan 70 oC berturut-turut adalah 3,39 % dan 3,13 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar protein tidak beda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 32). Kadar protein yang dihasilkan pada penelitian ini lebih kecil dibanding hasil yang dilaporkan oleh beberapa peneliti. Hal ini disebabkan penggunaan bahan baku yang berbeda. Penelitian sebelumnya menggunakan bahan baku segar yang baru dipanen sedangkan pada penelitian ini digunakan bahan baku yang sudah mengalami proses pemucatan dan perendaman. Selama proses perendaman, kemungkinan terjadi hidrolisa protein yang larut air sehingga akan menurunkan kandungan proteinnya.

Tepung rumput laut jenis Glacilaria sp memiliki kadar protein 10,51 % pada suhu pengeringan 50 oCdan 8,9 % pada suhu pengeringan 70 oC. Analisis ragam dengan selang kepercayaan 95 % menunjukkan hasil berbeda sangat nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan. Tepung dengan suhu pengeringan 50 oC mempunyai nilai yang lebih tinggi (Lampiran 33). Desrosier dan Desrosier (1977) dan Winarno (1997) menyatakan protein dapat terdenaturasi oleh proses pemanasan sehingga akan merubah susunan molekulnya, hal ini dapat menurunkan kandungan proteinnya. Hal ini sejalan dengan kadar air tepung rumput laut Glacilaria sp yang dikeringkan pada suhu 50 oC yang lebih rendah dari kadar air tepung rumput laut Glacilaria sp pada suhu pengeringan 70 oC.

3,39 10,51 8,8 3,13 8,9 8,85 0 2 4 6 8 10 12

E. Cottonii Glacilaria sp Sargassum sp

Jenis Tepung Rumput Laut

K a da r P rot e in ( % ) Suhu 50 oC Suhu 70 oC

(23)

Desrosier dan Desrosier (1977) menyebutkan bahan pangan yang mengalami pengeringan akan kehilangan air, hal ini dapat menyebabkan naiknya kadar protein.

Kadar protein tepung rumput laut jenis Sargassum sp pada suhu pengeringan yang berbeda yaitu 8,80 % dan 8,85 %. Berdasarkan hasil analisis ragam yang dilakukan tidak berbeda antara ke 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 34). Penelitian yang dilakukan oleh Chan et.al (1997), menyatakan bahwa pengeringan Sargassum hemiphyllum dengan oven bersuhu 60 oC mempunyai kadar protein 9,76 % dan kadar air 7,60%. Sedangkan Primahartini (2005) melaporkan kadar protein tepung rumput laut Sargassum sp yang dipanen dari Lampung Selatan adalah 5,77 % dan kadar air 15,59 %. Perbedaan ini disebabkan sumber bahan baku dan perlakuan yang diberikan berbeda sehingga hasil yang didapat juga berbeda.

4.2.9. Kadar Karbohidrat

Kisaran nilai kadar karbohidrat yang didapat pada penelitian ini adalah 64,21% - 73,78% (Gambar 20). Winarno (1990) menyebutkan komponen utama dari rumput laut yang dapat digunakan sebagai bahan pangan adalah karbohidrat, akan tetapi karena kandungan karbohidrat sebagian besar terdiri dari senyawa gumi, maka hanya sebagian kecil saja dari kandungan karbohidrat tersebut yang dapat diserap dalam pencernaan manusia.

Gambar 20. Kadar Karbohidrat Tepung Rumput Laut (%). 68,25 73,67 64,21 68,16 73,78 67,2 58 60 62 64 66 68 70 72 74 76

E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp

Jenis Tepung Rumput Laut

K a da r K a rbohi d ra t ( % ) Suhu 50 oC Suhu 70 oC

(24)

Analisis ragam yang dilakukan berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar karbohidrat untuk tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilara sp tidak beda nyata (Lampiran 35 dan 36). Artinya perlakuan suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap kadar karbohidrat tepung. Untuk tepung rumput laut Sargassum sp menunjukkan beda sangat nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 37), tepung dengan suhu pengeringan 50 oC memiliki kadar karbohidrat yang lebih tinggi.

4.2.10. Kadar Serat Pangan

Serat pangan merupakan senyawa yang inert secara gizi, hal ini didasarkan bahwa senyawa tersebut tidak dapat dicerna serta hasil fermentasinya tidak dapat digunakan oleh tubuh dan dikenal mempunyai efek sebagai pencahar perut. Serat pangan merupakan salah satu komponen penyusun karbohidrat dimana pada rumput laut komponen terbesar dari karbohidrat adalah senyawa gumi (komponen serat pangan). Hasil analisa kadar serat pangan total 3 jenis tepung rumput laut pada penelitian ini berada pada kisaran 81,75 - 84,88 %. Kadar serat pangan larut antara 24,99 - 75, 18 %. Kadar serat pangan tidak larut antara 9,70 - 57,62 %. Hasil analisa selengkapnya disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Kadar Serat Pangan Larut (SDF), Kadar Serat Pangan Tak Larut (IDF) dan Kadar Serat Pangan Total (TDF) dari Eucheuma cottonii, Glacilaria sp dan Sargassum sp pada suhu pengeringan yang 50 oC dan 70 oC

Jenis Suhu pengeringan 50 oC Suhu pengeringan 70 oC

TRL SDF(%) IDF (%) TDF(%) SDF(%) IDF(%) TDF(%)

E. cottonii 75,18 9,70 84,88 72,19 11,23 83,42

Glacilaria sp 60,86 22,48 83,34 62,95 20,67 83,62

Sargassum sp 25,89 55,86 81,75 24,99 57,62 82,61

Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95 % menyatakan bahwa untuk jenis tepung rumput laut Eucheuma cottonii, perlakuan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap kadar serat pangan tidak larut. Nilai yang lebih tinggi ada pada perlakuan suhu pengeringan 70 oC yaitu 11,23 % (Lampiran 38).

(25)

Sedangkan untuk kadar serat pangan larut dan serat pangan total tidak berbeda nyata pada 2 suhu pengeringan (Lampiran 39 dan 40).

Analisis ragam terhadap tepung rumput laut Glacilaria sp menunjukkan hasil bahwa kadar serat pangan tidak larut berbeda nyata terhadap 2 suhu pengeringan, tetapi tidak berbeda nyata pada kadar serat pangan larut dan serat pangan total (Lampiran 41, 42 dan 43).

Tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp, yang termasuk jenis alga merah (Rhodophyceae), mempunyai kadar serat pangan larut (SDF) lebih tinggi dari pada kadar serat pangan tak larutnya (IDF). Anonymousc (2000) menyatakan bahwa jenis rumput laut merah dan hijau mengandung kadar serat pangan larut (SDF) sebesar 51 % - 56 % dari kadar serat pangan total. Lahaye (1991) melaporkan bahwa kadar serat dari beberapa rumput laut berkisar antara 25 – 75 % (bk) dan sebagian besar seratnya terdiri dari serat pangan larut, yaitu 51 – 85 %. Akan tetapi kandungan serat pangan ini sangat tergantung dari species dan tempat hidup dari rumput laut tersebut. Pada penelitian ini kandungan serat pangan larut tepung rumput laut Eucheuma cottonii pada suhu pengeringan 50 oC dan 70 oC berturut-turut adalah 86,53 % dan 88,57 % dari kadar serat pangan total. Sedangkan tepung rumput laut Glacilaria sp, kandungan serat pangan larutnya yaitu 73,03 % dan 75,24 % dari kadar serat pangan total. Artinya kandungan serat pangan larut tepung rumput laut jenis alga merah yang ada di Kepulauan Seribu cukup tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber serat yang potensial. Penelitian yang dilakukan Goni et.al., (2000) menyatakan bahwa Nori algae (rumput laut jenis alga merah) yang mengandung serat pangan larut yang tinggi kemungkinan dapat mengubah respon glycemic pada kesehatan, dimana roti yang ditambahkan Nori alga memberikan hasil yang lebih baik daripada roti tanpa Nori alga. Sedangkan Escrig dan Muniz (2000) dan Herpandi (2005) menyatakan bahwa serat rumput laut terutama serat pangan larut mempunyai efek hipokolesterolemik, dimana semakin tinggi akan semakin baik dan telah terbukti dapat menurunkan kadar kolesterol dan tekanan darah dibanding sumber serat lainnya.

Analisis ragam terhadap tepung rumput laut Sargassum sp menunjukkan hasil tidak berbeda nyata terhadap kadar serat pangan larut, serat pangan tidak

(26)

larut dan serat pangan total (Lampiran 44, 45 dan 46). Artinya perbedaan suhu pengeringan tidak mempengaruhi kandungan serat pada tepung rumput laut Sargassum sp. Berbeda dengan tepung rumput laut dari alga merah, jenis tepung rumput laut coklat (Phaeophyceae) yaitu Sargassum sp, mempunyai kadar serat pangan larut (SDF) yang lebih rendah daripada kadar serat pangan tak larutnya (IDF). Jika dilihat dari kandungan serat pangan bahan baku hasil perendaman, terjadi kenaikan pada kadar serat pangan tak larutnya, hal ini kemungkinan terjadi karena total padatan menjadi lebih tinggi akibat penguraian pati menjadi serat pangan tak larut. Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chan et.al (1997), yaitu menghasilkan tepung Sargassum hemiphyllum dengan kadar serat pangan larut yang lebih rendah (9,91 %) daripada kadar serat pangan tak larutnya (45,0 %), yang dikeringkan di oven bersuhu 60 oC.

4.2.11. Iodium

Salah satu trace element yang penting pada rumput laut adalah iodium. Kandungan iodium tumbuhan laut berkisar antara 0,7 – 4,5 g/kg. Jika dibandingkan dengan tumbuhan darat, kandungan iodium rumput laut sekitar 2.400 sampai 155.000 kali lebih banyak (Rai, 1996). Kebutuhan iodium dipengaruhi oleh pertumbuhan, berat tubuh, jenis kelamin, usia, gizi, iklim dan penyakit. Kecukupan iodium perhari untuk anak umur 0 - 12 tahun adalah 90 - 120 ug/hari, untuk laki-laki dan perempuan umur 13 – 60 tahun ke atas adalah 150 ug/hari, sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui mendapat tambahan 50 ug/hari (AKG, 2004). Pada penelitian ini, kadar iodium berada pada kisaran 4,55 – 11,27 ug/g, data lengkap tersaji pada Gambar 21. Jika setiap 1 gram tepung rumput laut mengandung iodium sebesar 4,55 – 11,27 ug, maka diasumsikan setiap 1 gram tepung rumput laut akan menyumbang iodium untuk kebutuhan tubuh sebesar + 5 – 12 % untuk anak umur 0 – 12 tahun dan 3 – 7 % untuk perempuan dan laki-laki umur 13 – 60 tahun. Sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui sekitar 2 – 5 % dari kebutuhan tubuh akan iodium menurut Angka Kebutuhan Gizi..

Analisis ragam menunjukkan hasil bahwa suhu pengeringan berpengaruh terhadap kadar iodium ketiga jenis tepung rumput laut (Lampiran 47, 48, 49).

(27)

Dari hasil pengamatan, data menunjukkan suhu pengeringan 70 oC memiliki kadar iodium yang lebih tinggi pada ketiga jenis tepung tersebut. Hal ini disebabkan waktu pengeringan yang berbeda. Pengeringan dengan suhu 70 oC memerlukan waktu yang lebih pendek daripada suhu 50 oC, sehingga walaupun suhu pengeringan lebih tinggi tetapi penurunan kadar iodium lebih kecil.

Gambar 21. Kadar Iodium Tepung Rumput Laut (ug/g).

Jika dibandingkan dengan kadar iodium bahan baku hasil perendaman terdapat penurunan kadar iodium pada ketiga jenis tepung rumput laut tersebut. Hal ini terjadi karena pelakuan yang diberikan selama pengolahan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kehilangan iodium diantaranya adalah tingkat keasaman, air dan pemanasan. Penelitian yang dilakukan Magdalena (1996) menyatakan semakin meningkatnya tingkat keasaman, suhu dan waktu pemasakan, kecenderungan tingkat kehilangan iodium pada sayur matang akan semakin meningkat. Selama penelitian ini, pemanasan yang diberikan selama pengeringan berkisar antara 50 oC dan 70 oC, tetapi selama proses penepungan terjadi juga proses pemanasan akibat mesin penepung sehingga terjadi penurunan kadar iodium yang cukup besar.

6,01 9,84 4,55 6,79 11,27 4,77 0 2 4 6 8 10 12

E. Cottonii Glacilaria sp Sargassum sp

Jenis Tepung Rumput Laut

K a da r I odi um ( ug/ g) Suhu 50 °C Suhu 70 °C

(28)

4.2.12. Organoleptik

Penilaian organoleptik merupakan salah satu ukuran penerimaan atau standar kelayakan suatu produk. Berdasarkan uraian (deskripsi) terhadap kenampakan, bau dan tekstur tepung rumput laut dari 3 jenis rumput laut, maka disusun satu lembar penilaian (score sheet) untuk masing-masing jenis tepung rumput laut. Lembar penilaian ini akan menjadi acuan dalam penilaian tepung rumput laut (Lampiran 50, 51, 52). Angka (score) yang terdapat pada lembar penilaian adalah 1 sampai 9. Penilaian dilakukan oleh 20 orang panelis.

a. Kenampakan

Kenampakan suatu produk akan menentukan ketertarikan konsumen terhadap produk tersebut. Penilaian kenampakan meliputi warna dan kondisi tepung. Winarno (1997) menyatakan bahwa penilaian suatu produk didahului secara visual oleh warna produk. Melalui sifat warna, panelis dapat memberikan penilaian baik mengenai kualitas maupun kesukaan terhadap suatu jenis makanan. Makanan dengan kualitas yang baik belum tentu disukai jika memiliki warna yang tidak disukai.

Penilaian panelis terhadap kenampakan tepung Eucheuma cottonii bervariasi antara nilai 6 sampai 8. Rata-rata nilai kenampakan dan deskripsi pada lembar penilaian dapat dilihat pada Tabel 19. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan berbeda nyata terhadap kenampakan tepung (Lampiran 53). Suhu pengeringan 70 oC memberikan kenampakan yang lebih baik daripada suhu pengeringan 50 oC. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu pengeringan yang lebih singkat pada suhu 70 oC sehingga tidak terjadi proses pemanasan yang terlalu lama, dimana dapat menyebabkan warna agak krem.

Untuk tepung rumput laut Glacilaria sp, hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap kenampakannya (Lampiran 54). Walaupun tidak berbeda antara 2 perlakuan suhu tetapi pada lembar penilaian tepung dengan suhu pengeringan 50 oC nilainya 6 (pembulatan ke bawah) dan tepung dengan suhu pengeringan 70 oC nilainya 7 (pembulatan ke atas) seperti terlihat pada Tabel 19. Artinya tepung rumput laut Glacilaria sp dengan suhu pengeringan 70 oC memiliki yang nilai lebih tinggi.

(29)

Nilai kenampakan tepung rumput laut Sargassum sp berada pada kisaran 5 sampai 7, nilai rata-rata yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 20. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan tidak berbeda nyata terhadap kenampakannya. Pada lembar penilaian tepung ini masuk dalam nilai 6 tetapi tepung dengan suhu pengeringan 70 oC memiliki kenampakan yang lebih baik (Lampiran 55).

Tabel 20. Nilai rata-rata Uji Kenampakan Tepung Rumput Laut Jenis TRL Suhu pengeringan Nilai Deskripsi E. cottonii 50 oC 70 oC 6,4 7,2

Bersih, putih krem, ada butir hitam, agak kusam

Bersih, agak putih, ada sedikit butir hitam, agak cemerlang

Glacilaria sp 50 oC

70 oC

6,3 6,6

Bersih, kehijauan, agak kusam

Bersih, krem kehijauan, agak cemerlang

Sargassum sp 50 oC 70 oC

6,2 6,4

Bersih, coklat tua, agak kusam

Bersih, coklat agak buram, agak cemerlang

b. Bau

Uji bau suatu produk sangat berkaitan dengan indera penghidu, karena indera penghidu sangat sensitif terhadap bau (aroma). Bau tepung rumput laut ikut menentukan kesukaan konsumen terhadap produk yang akan dihasilkan. Bau amis yang merupakan bau khas tumbuhan laut merupakan salah satu kendala dalam pengolahan produk lanjutan. Hasil uji terhadap bau 3 jenis tepung rumput laut berkisar pada nilai 5 sampai 7. Nilai rata-rata uji bau untuk ke 3 jenis tepung rumput laut disajikan pada Tabel 21.

Hasil analisis ragam menyatakan bahwa suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap bau ketiga jenis tepung rumput laut (Lampiran 56, 57, 58). Pada lembar penilaian, Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp memiliki nilai 6 (pembulatan) sedangkan Sargassum sp memiliki nilai 5 (pembulatan).

(30)

Tabel 21. Nilai rata-rata Uji Bau Tepung Rumput Laut Jenis TRL Suhu pengeringan Nilai Deskripsi E. cottonii 50 oC 70 oC 6,2 6,2

Bau sedikit agak amis Bau sedikit agak amis Glacilaria sp 50 oC

70 oC

5,6 5,7

Bau sedikit agak amis Bau sedikit agak amis

Sargassum sp 50 oC

70 oC

5,4 5,4

Bau amis cukup dominant Bau amis cukup dominant

c. Tekstur

Butiran rumput laut kering sangat liat dan keras, hal ini kemungkinan karena kandungan seratnya yang tinggi. Oleh karena itu proses penepungan sangat menentukan kehalusan tepung rumput laut yang dihasilkan. Kehalusan tepung ikut menentukan tekstur tepung rumput laut, semakin halus maka tekstur akan semakin lembut. Kehalusan tekstur untuk produk minuman akan menentukan daya larutnya. Pada penelitian ini tepung rumput laut lolos pada saringan ukuran 48. Nilai uji tekstur berada pada kisaran 6 sampai 8. Nilai rata-rata uji tekstur dapat dilihat pada Tabel 22. Analisis ragam terhadap tekstur 3 jenis tepung rumput laut menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan. Artinya suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap tekstur tepung rumput laut (Lampiran 59, 60,61).

(31)

Tabel 22. Nilai rata-rata Uji Tekstur Tepung Rumput Laut Jenis TRL Suhu pengeringan Nilai Deskripsi E. cottonii 50 oC 70 oC 7,5 7,6

Halus, agak lembut Halus, agak lembut Glacilaria sp 50 oC

70 oC

6,4 6,5

Agak kasar, butiran terasa Agak halus

Sargassum sp 50 oC

70 oC

6,3 6,5

Agak kasar, butiran terasa Agak halus

4.3. Tepung Rumput Laut

Rumput laut, kualitasnya di pengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, musim, kadar garam, gerakan air dan zat hara. Cahaya, suhu, pH dan unsur hara akan berpengaruh terhadap berlangsungnya fotosintesa. Fotosintesa merupakan proses perubahan zat anorganik menjadi zat organik, sehingga faktor-faktor tersebut di atas secara tidak langsung akan menentukan kandungan protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat rumput laut (Kadi et al. 1988). Menurut Winarno (1990), komposisi kimia rumput laut bervariasi tergantung pada spesies, tempat tumbuh dan musim. Vegetable gum yang dikandungnya merupakan senyawa karbohidrat yang banyak mengandung selulosa dan hemiselulosa yang tidak dapat dicerna seluruhnya oleh enzim dalam tubuh, sehingga dapat menjadi makanan diet dengan sedikit kalori.

Kandungan serat dan iodium pada rumput laut, merupakan senyawa penting yang diharapkan manfaatnya. Beberapa peneliti telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insiden timbulnya berbagai macam penyakit diantaranya kanker usus besar, penyakit kardiovaskuler dan kegemukan (obesitas). Berdasarkan hasil penelitian ini, perlakuan suhu pengeringan yang berbeda terhadap 3 jenis tepung rumput laut yaitu Eucheuma cottonii, Glacilaria sp dan Sargassum sp, secara umum tidak terlalu berpengaruh terhadap kandungan gizi rumput laut terutama kadar seratnya. Kadar serat larut pada tepung rumput

(32)

laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp lebih tinggi daripada serat tak larutnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lahaye (1991), maka kadar serat larut rumput laut yang ada di Kepulauan Seribu ini cukup tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai sumber serat yang dibutuhkan oleh tubuh. Besarnya peranan serat pangan bagi kesehatan manusia menjadikan produk ini semakin banyak dimanfaatkan, baik secara langsung maupun sebagai pencampur berbagai jenis makanan, minuman dan produk diet pelangsing tubuh (Le Marie, 1985).

Eucheuma cottonii merupakan rumput laut yang sangat luas penggunaannya baik langsung maupun berupa makanan dan minuman olahan. Berbagai cara pengolahan telah dilakukan untuk memanfaatkan tepung rumput laut ini, diantaranya adalah dengan mengolah menjadi makanan kering (crakers), makanan semi basah (dodol, selai), maupun jajanan pasar (kue putu, donat, cente manis). Beberapa industri rumah tangga telah berhasil mengolah dan memasarkan produk yang terbuat dari rumput laut ini. Rasa yang enak dan mudah cara mengolahnya merupakan hal yang menguntungkan. Untuk jenis rumput laut Glacilaria sp, pada umumnya dilakukan ekstraksi terlebih dahulu untuk menghasilkan agar, baik berbentuk batangan, lembaran (agar kertas) ataupun bubuk. Pemanfaatan secara langsung atau olahan berbentuk makanan atau minuman jarang dilakukan. Pemanfaatan rumput laut jenis Sargassum sp, biasanya dilakukan sebagai bahan tambahan makanan jajanan (kue) atau diekstrak untuk menghasilkan alginat yang luas penggunaannya. Penelitian yang dilakukan Darmawan et.al. (2004) terhadap kandungan omega 3 dan iodium tepung Sargassum sp menyebutkan pada konsentrasi 5 % berpengaruh nyata terhadap kadar iodium kue keik dan pada konsentrasi 2 % berpengaruh nyata terhadap kadar omega 3 kue keik.

Pengolahan lanjutan dari tepung rumput laut pada penelitian ini adalah untuk minuman berserat. Kandungan serat pangan yang tinggi terutama serat pangan larut, diharapkan dapat menjadi sumber serat pada minuman ini. Selain kandungan serat dan iodium, penilaian organoleptik sangat menentukan dalam pemilihan jenis tepung yang akan digunakan. Kondisi tepung yang akan digunakan diharapkan memiliki kriteria warna putih cemerlang, tidak berbau, dan tekstur halus. Tepung yang berwarna putih akan mudah dalam pengolahan warna yang diinginkan. Warna yang diberikan akan terserap sempurna. Warna akan

(33)

menambah daya tarik dan kesukaan konsumen terhadap produk minuman ini. Bau (aroma) suatu produk, baik makanan dan minuman akan mempengaruhi minat/kesukaan konsumen. Bau yang diharapkan pada tepung rumput laut ini adalah netral, dengan demikian tidak akan tercium bau amis yang dapat mengganggu selera. Tekstur tepung pada penelitian ini berada pada kondisi yang halus sedang. Tekstur yang sangat halus dan lembut akan memudahkan dalam penggunaan. Pada penelitian ini, ke 3 jenis tepung rumput laut memiliki kehalusan yang berbeda walaupun lolos pada saringan yang sama. Hal ini karena kondisi thallus pada masing-masing rumput laut berbeda dan mesin penepung yang digunakan tidak bekerja maksimal.

Berdasarkan analisa yang dilakukan, baik sifat fisik-kimia, maka jenis tepung rumput laut yang akan digunakan dalam penelitian selanjutnya adalah Eucheuma cottonii dengan perlakuan suhu pengeringan 70 oC dan Glacilaria sp dengan perlakuan pengeringan 70 oC. Dengan demikian diharapkan sumber serat akan terpenuhi dari tepung rumput laut Eucheuma cottonii sedangkan kandungan iodium diharapkan terpenuhi dari tepung rumput laut Glacilaria sp. Data hasil pengamatan masing-masing jenis tepung rumput laut selengkapnya disajikan pada Tabel 23, 24 dan 25.

(34)

Tabel 23. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Eucheuma cottonii

Komponen Suhu pengeringan 50oC Suhu pengeringan 70oC

Rendemen (% ) 8,01 8,33 Ph 7,11 6,45 Titik jendal (oC) 34 32 Titik leleh (oC) 75 70 Viskositas (cps) 5080,36 4970,40 Kelarutan (%) 27,6 36,8 Kadar air (%) 12,88 12,34 Kadar abu (%) 14,18 14,27 Kadar protein (%) 3,39 3,13 Kadar karbohidrat (%) - Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%)

68,25 75,18 9,70 84,88 68,16 72,19 11,23 83,42 Iodium (ug/g) 6,01 6,79

Tabel 24. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Glacilaria sp

Komponen Suhu pengeringan 50 oC Suhu pengeringan 70 oC

Rendemen (% ) 7,94 8,12 pH 7,13 7,57 Titik jendal (oC) - - Titik leleh (oC) - - Viskositas (cps) 18,58 20,89 Kelarutan (%) 15,03 18,01 Kadar air (%) 11,72 11,90 Kadar abu (%) 6,32 5,70 Kadar protein (%) 10,51 8,9 Kadar karbohidrat (%) - Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%)

73,67 60,68 22,48 83,34 73,78 62,95 20,67 83,62 Iodium (ug/g) 9,84 11,27

(35)

Tabel 25. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Sargassum sp

Komponen Suhu pengeringan 50oC Suhu pengeringan 70oC

Rendemen (% ) 7,14 7,94 pH 7,74 7,22 Titik jendal (oC) - - Titik leleh (oC) - - Viskositas (cps) 0,997 3,42 Kelarutan (%) 26,96 18,21 Kadar air (%) 10,82 11,65 Kadar abu (%) 15,83 15,58 Kadar protein (%) 8,80 8,85 Kadar karbohidrat (%) - Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%)

64,21 25,89 55,86 81,75 67,2 24,99 57,62 82,61 Iodium (ug/g) 4,55 4,77

(36)

4.2. Sifat fisik-kimia Tepung Rumput Laut

Penelitian tahap 2 bertujuan untuk mengkaji sifat fisik-kimia tepung rumput laut. Masing-masing jenis rumput laut hasil perendaman terbaik selanjutnya diproses menjadi tepung rumput laut. Tahapan yang dilakukan adalah pencucian, perendaman, penghancuran, pengeringan, penepungan dan pengayakan. Rumput laut Eucheuma cottonii, Sargassum sp, dan Glacilaria sp kering dicuci dan dibersihkan dengan air mengalir, untuk menghilangkan kotoran dan benda asing yang masih menempel pada rumput laut. Selanjutnya direndam dalam media perendam yang terbaik untuk masing-masing jenis rumput laut hasil dari penelitian tahap 1 dan ditirisksn. Tahap berikut adalah penghancuran menggunakan grinder, kemudian pengeringan rumput laut dengan oven. Suhu pengeringan yang diberikan adalah 50 oC dan 70 oC. Selama pengeringan dilakukan pengadukan agar proses pengeringan berlangsung sempurna. Pemilihan suhu pengering didasarkan pada suhu yang terlalu tinggi dapat merusak komposisi kimia dan unsur penting yang dikandung rumput laut, sedangkan suhu yang rendah akan memerlukan waktu yang lama sehingga kemungkinan akan terjadi reaksi mailard (browning). Selanjutnya tahap penepungan (penggilingan). Alat penepung yang digunakan pada penelitian ini adalah alat penepung modifikasi selanjutnya dihaluskan dengan blender kering. Tahap terakhir yaitu pengayakan dengan saringan berukuran 48 dan dimasukkan dalam wadah tertutup selanjutnya dianalisis sifat fisiko-kimianya. Tepung rumput laut Eucheuma cottonii, Glacilaria sp, dan Sargassum sp dapat dilihat pada Gambar 13..

Analisis yang dilakukan pada masing-masing jenis tepung rumput laut yaitu analisis Rendemen, pH, viskositas, kelarutan, titik jendal, titik leleh, kadar air, kadar abu, kadar protein, karbohidrat, kandungan serat pangan (serat pangan larut /SDF, serat pangan tak larut /IDF dan total serat pangan/TDF), iodium dan organoleptik (score sheet) meliputi kenampakan, bau dan tekstur.

(37)

TRL Eucheuma cottonii TRL Glacilaria sp TRL Sargassum sp Gambar 13. Tiga Jenis Tepung Rumput Laut.

4.2.1. Rendemen

Rendemen merupakan prosentase antara produk akhir (tepung rumput laut) dengan produk awal (rumput laut hasil perendaman). Untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk, salah satu parameter yang dapat digunakan adalah rendemen. Semakin tinggi rendeman suatu produk maka nilai ekonomisnya akan meningkat.

Gambar 14 menyajikan rendemen yang dihasilkan pada penelitian ini. Salah satu tahap yang menentukan dalam pengolahan tepung rumput laut adalah pada proses penepungan. Proses penepungan memerlukan mesin penepung yang mampu menggerus (menghaluskan) thallus kering rumput laut. Kandungan serat yang tinggi dan kadar air yang rendah menyebabkan thallus sangat liat dan sukar dihancurkan. Kendala yang dihadapi pada penelitian ini yaitu peralatan penepungan yang kurang memadai. Proses penepungan dilanjutkan dengan alat

(38)

blender kering tetapi tidak dapat mencapai hasil yang maksimal karena tidak semua rumput laut kering habis dihancurkan. Hal ini karena pemblenderan yang berulang-ulang dapat merusak komposisi kimia dari tepung rumput laut. Menurut Voigt (1995), pemilihan jenis peralatan penghalus atau penggilingan tergantung dari jumlah material dan sifat-sifat fisiknya (kekerasan, elastisitas, kerapuhan, lengket dan sebagainya), ukuran awal dari bahan yang digiling serta ukuran produk yang diinginkan.

Gambar 14. Rendemen Tepung Rumput Laut (%).

Berdasarkan data yang dihasilkan, analisis ragam yang dilakukan menyatakan untuk rendemen tepung rumput laut Eucheuma cottonii berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 14). Hasil terbaik adalah pada perlakuan suhu 70 oC dengan rendemen sebesar 8,33 % sedangkan pada suhu pengeringan 50 oC adalah 8,01 %. Analisis terhadap rendemen tepung rumput laut Glacilaria sp menyatakan tidak berbeda nyata (Lampiran 15), sedangkan untuk rendemen tepung rumput laut Sargassum sp berbeda sangat nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan. Suhu pengeringan yang terbaik yaitu 70 oC dengan hasil rendemen sebanyak 7,94 % (Lampiran 16).

4.2.2. pH

Pengukuran nilai pH 3 jenis tepung rumput laut pada penelitian ini adalah antara 6,45 sampai 7,74 (Gambar 15). Menurut Gaman dan Sherrington (1992),

8,01 7,94 7,14 8,33 8,12 7,94 6,4 6,6 6,8 7 7,2 7,4 7,6 7,8 8 8,2 8,4 8,6

Eucheuma Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut

Ren d em en ( % ) Suhu 50 oC Suhu 70 oC

(39)

jika konsentrasi ion hydrogen bertambah maka pH nya akan turun. Pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dapat dikontrol dengan cara menurunkan pH pangan. pH juga dapat digunakan sebagai indikator perubahan warna pada bahan pangan.

Gambar 15. pH Tepung Rumput Laut.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan tidak berbeda nyata terhadap pH tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp (Lampiran 17 dan 18), tetapi berbeda nyata terhadap pH tepung rumput laut Sargassum sp (Lampiran 19). Berdasarkan tingkat keasaman, ketiga jenis tepung rumput laut ini termasuk pada pangan berasam rendah (pH > 4,5).

4.2.3. Viskositas

Viskositas adalah pengukuran daya tahan/hambatan suatu larutan untuk mengalir. Meskipun molekul-molekul dalam larutan berada dalam pergerakan acak yang konstan, tetapi kecepatannya pada arah tertentu bernilai nol, kecuali jika diberikan suatu gaya yang menyebabkan suatu larutan dapat mengalir. Gaya yang cukup besar yang diperlukan untuk dapat membuat suatu larutan mengalir pada kecepatan tertentu berhubungan dengan viskositas suatu larutan. Aliran terjadi pada saat molekul suatu larutan saling menyalip satu sama lain dengan kecepatan tertentu serta pada bidang tertentu pula (Toledo, 1991).

Uji viskositas dilakukan pada konsentrasi tepung 5 % dan suhu 50 oC, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini.

7,11 7,13 7,74 6,45 7,57 7,22 5,5 6 6,5 7 7,5 8

E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut

pH

(40)

Tabel 18. Viskositas Tepung Rumput Laut (centipoises) pada konsentrasi 5 % suhu 50 oC

Tepung rumput laut Suhu pengeringan 50 oC Suhu pengeringan 70 oC

Eucheuma cottonii 5080,36 4970,40

Glacilaria sp 18,58 20,89

Sargassum sp 0,997 3,42

Berdasarkan data hasil penelitian, analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa untuk viskositas tepung rumput laut Eucheuma cottonii berbeda nyata antara dua perlakuan suhu pengeringan. Hasil pengukuran yang diperoleh menyatakan perlakuan yang terbaik adalah pengeringan pada suhu 50 oC, dengan nilai viskositas 5080,36 cps (Lampiran 20). Eucheuma cottonii adalah salah satu jenis algae merah yang menghasilkan karagenan. Viskositas karagenen dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu konsentrasi, temperatur, tingkat dispersi, kandungan sulfat, inti elektrik, keberadaan elektrolit dan non elektrolit, teknik perlakuan, serta tipe dan berat molekul karagenan. Viskositas larutan karagenan akan menurun dengan adanya peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi karagenan. Untuk menghindari terjadinya degradasi karagenan akibat pemanasan, maka diusahakan agar polimer hidrokoloid lebih stabil dengan cara pengaturan pH (Towle, 1973). Menurut Guiseley et.al. (1980) untuk menghindari terjadinya degradsi maka pemanasan dapat dilakukan pada atau mendekati kondisi yang mempunyai kestabilan optimum yaitu pada pH 9. Pada penelitian ini nilai viskositas tepung dengan suhu pengeringan 70 oC lebih rendah daripada viskositas tepung yang dikeringkan pada suhu 50 oC. Hal ini kemungkinan disebabkan perlakuan suhu pengeringan yang berbeda dan pH tepung yang dihasilkan. pH tepung rumput laut yang dikeringkan pada suhu 70 oC adalah 6,45 sedangkan pada suhu 50 oC adalah 7,11, sehingga adanya perbedaan nilai viskositas kemungkinan disebabkan oleh pengaruh kadar air dan pH tepung.

Analisis ragam terhadap viskositas tepung rumput laut Glacilaria sp menunjukkan hasil tidak berbeda nyata antara dua perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 21). Glacilaria sp disebut juga sebagai agarose karena merupakan algae penghasil agar-agar. Menurut Furia (1980) dalam Suwandi et.al. (2002), besarnya viskositas larutan agar-agar bervariasi menurut suhu dan pH, tetapi

(41)

mendekati konstan pada selang pH 4,5 sampai 9,0. Winarno (1990) menambahkan bahwa dalam kisaran pH tersebut, larutan dengan konsentrasi 1 % dan 5 % pada suhu 45 oC mempunyai viskositas antara 2 – 10 centipoise. Viskositas tepung rumput laut Glacilaria sp pada penelitian ini adalah 18,58 dan 20,89 cps pada suhu 50 oC dan 70 oC. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya asal bahan baku yang berbeda, umur panen, maupun alat uji yang digunakan.

Untuk tepung rumput laut Sargassum sp, hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan berbeda nyata terhadap viskositasnya. Nilai tertinggi ditunjukkan pada perlakuan suhu pengeringan 70 oC yaitu 3,42 cps (Lampiran 22). Tepung ini berbeda dengan 2 jenis tepung lainnya. Tepung rumput laut Sargassum sp yang dikeringkan pada suhu 70 oC membentuk larutan yang lebih homogen daripada tepung yang dikeringkan pada suhu 50 oC. Tepung yang dikeringkan pada suhu 50 oC, tidak membentuk larutan homogen, ada 2 lapisan yang terbentuk yaitu cairan yang berwarna coklat dan endapan tepung hal ini terlihat dari rendahnya nilai viskositasnya.

Tepung rumput laut Sargassum sp berbeda dengan 2 jenis tepung lainnya. Tepung Sargassum sp tidak menghasilkan larutan yang homogen dan mengental pada konsentrasi 5 % suhu 50 oC. Kekentalan dan kemampuan tepung rumput laut membentuk larutan yang homogen akan mempengaruhi produk lanjutan yang akan diproduksi, misalnya minuman berserat. Hal ini karena diharapkan tepung rumput laut akan larut sempurna dalam air.

4.2.4. Titik Jendal dan Titik Leleh.

Titik jendal dan titik leleh yang diamati pada penelitian ini untuk mengetahui kemampuan pembentukan gel tepung rumput laut. Menurut Gliksman (1969), proses pembentukan gel bersifat reversible, artinya gel mencair pada pemanasan dan cairan membentuk gel kembali pada pendinginan. Fardiaz (1989) menyatakan pembentukan gel adalah suatu fenomena atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini dapat menangkap atau mengimobolisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku.

Referensi

Dokumen terkait

tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh indikator keyakinan terhadap kemampuan belajar matematika yang dimiliki siswa, rasa ingin mencoba mengerjakan soal-soal matematika,

Listwise deletion based on all variables in the procedure...

Based on the simulation results, it is concluded that the tangential beam port is feasible enough for the proposed of PGNAA application with the neutron beam at the beam port

a) Kegiatan belajar lebih menarik dan tidak membosankan siswa sehingga motivasi belajar akan meningkat. b) Hakikat belajar akan lebih bermakna karena siswa dihadapkan situasi

Pada komposisi ini introduksinya dimainkan dalam tempo yang sedang dan sustenuto, masuk ke bagian ouverturenya tempo menjadi cepat dan megah diikuti dengan perubahan

Penelitian ini dilakukan berdasarkan atas pentingnya mengetahui bagaimana para ayah memaknai perannya sebagai bapak rumah tangga (Stay-At-Home Dad ). Jika penelitian

Pada gambar 10 dan 11 dapat dilihat hasil pengambilan gambar oleh robot yang dikontrol dari jarak jauh, pada gambar 10 walaupun intensitas pencahayaan disekitar

Pada tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa semua jenis FMA yang diaplikasikan menghasilkan infeksi akar yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol namun tidak terdapat