• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Sumatera Utara

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hidung

2.1.1. Anatomi Hidung

Hidung luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas; struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas, kubah tulang, yang tidak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan (Adams & George, 1997).

Gambar 2.1. Anatomi Hidung Sumber: Frank Netter, 2010

Rongga hidung atau kavum nasi terbentang dari nares di depan sampai ke

apertura nasalis posterior atau koana di belakang, dimana hidung bermuara ke

dalam nasofaring. Vestibulum nasi adalah area di dalam kavum nasi yang terletak di belakang nares. Kavum nasi dibagi menjadi dua bagian, kiri dan kanan oleh septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh kartilago septi nasi, lamina vertikalis tulang etmoidalis, dan vomer (Snell, 2012).

(2)

Universitas Sumatera Utara

Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil lagi ialah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil adalah konka suprema yang biasanya rudimenter. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus (inferior, medius dan superior). Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muarasinus frontal sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid (Soetjipto et al, 2007).

Gambar 2.2. Dinding Lateral Hidung Sumber: Van De Graff, 2008

Crista galli of ethmoid bone

Cribriform plate of ethmoid bone Sella turcica Sphenoidal sinus Sphenoidal bone Basilar part of occipital one

Medial and lateral plate of sphenoid bone

Palatine bone

Maxillla Middle nasal concha

Inferior nasal concha Frontal process of maxilla Lacrimal bone Nasal bone Superior nasal concha Frontal sinus

(3)

Universitas Sumatera Utara

Kompleks Ostiomeatal (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus usinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainasi dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait (Soetjipto, 2007).

Pendarahan Hidung

Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari arteri karotis eksterna). Septum bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang dari arteri maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis superior (cabang dari arteri fasialis) memperdarahi septum bagian anterior mengadakan anastomose membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Little’s area yang merupakan sumber perdarahan pada epistaksis (Lund, 1997).

Gambar 2.3. Vaskularisasi Hidung Sumber: Frank Netter, 2010

(4)

Universitas Sumatera Utara

Persarafan Hidung

Nervus olfaktorius yang berasal dari membrana mucosa olfaktorius berjalan ke atas melalui lamina cribrosa os ethmoidale menuju ke bulbus olfaktorius. Saraf untuk sensasi umum merupakan cabang-cabang nervus ophtalmicus (N. VI) dan nervus maxillaris (N. V2) divisi nevus trigeminus (Snell, 2012).

Aliran Limfe Cavum Nasi

Pembuluh limfe dari vestibulum ke nodi submandibulares. Bagian lain cavum nasi dialirkan limfenya menuju ke nodi cervicales profundi superiores (Snell, 2012 ).

2.1.2. Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:

1. Fungsi respirasi untuk mengatur udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal

2. Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu

3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang 4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi

terhadap trauma dan pelindung panas 5. Refleks nasal (Soetipjo et al, 2007)

(5)

Universitas Sumatera Utara

2.2. Polip Hidung 2.2.1. Definisi

Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, dengan permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Polip hidung bukan merupakan penyakit tersendiri tetapi adalah manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rinitis alergi,dan asma (Nizar & Mangunkusumo, 2001).

Polip hidung adalah penyebab tersering dari sumbatan hidung, dan dapat menyebabkan anosmia. Polip hidung bersifat jinak dan tidak menimbulkan perdarahan. Pada pemeriksaan tampak benjolan keabu-abuan yang timbul pada daerah etmoid dengan konka inferior yang berwarna kemerahan (Bull, 2003).

Polip hidung ialah bentuk selaput lendir yang turun (biasanya akibat radang kronis), licin, berwarna keabu-abuan atau merah muda, dan biasanya bilateral. Walaupun tidak ganas, polip hidung dapat mengganggu dengan banyak keluhan karena cepat berkembang menjadi besar dan cenderung residif (Van den Broek & Feenstra, 2010).

2.2.2. Epidemiologi

Prevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 0,2%-4,3% (Drake Lee, 1997; Ferguson et al, 2006). Polip nasi dapat mengenai semua ras dan frekuensinya meningkat sesuai usia. Polip nasi biasanya terjadi pada rentang usia 30 tahun sampai 60 tahun dimana dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada pria (Kirtsreesakul, 2005; Ferguson et al, 2006; Erbek et al, 2007).

Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1 (Fransina, 2008). Di Amerika Serikat diperkirakan 0,3% penduduk dewasanya menderita polip nasi, sedangkan di Inggris lebih tinggi lagi, yaitu sekitar 0,2-3%. Frekuensi kejadian polip nasi meningkat sesuai dengan umur, dimana mencapai puncaknya pada umur sekitar 50 tahun. Kejadian polip nasi lebih banyak dialami pria dibanding wanita dengan perbandingan 2,2:1. Polip nasi jarang ditemukan pada anak-anak.

(6)

Universitas Sumatera Utara

Anak dengan polip nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya cystic fibrosis karena cystic fibrosis merupakan faktor resiko bagi anak-anak untuk menderita polip (Fransina, 2008).

2.2.3. Etiologi

Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip, yaitu:

1. Adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan sinus 2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor

3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstisial dan edema mukosa hidung Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terisap oleh tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area yang sempit di kompleks ostiomeatal (KOM) di meatus medius. Walaupun demikian polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilateral dan multipel. Polip yang berasal dari sinus maksila (antrum) dapat keluar melalui ostium asesorisnya, masuk ke rongga hidung dan berlanjut ke koana lalu membesar di nasofaring. Polip ini disebut polip koana (polip antrokoana) (Nizar & Mangunkusumo, 2001).

2.2.4. Faktor Risiko

Kondisi-kondisi yang memicu inflamasi kronis dapat meningkatkan risiko terkena polip hidung. Beberapa keadaan yang sering dihubungkan dengan polip hidung adalah:

a.Rhinitis Alergi

Rhinitis alergi adalah radang selaput lendir yang disebabkan oleh proses inflamasi mukosa hidung yang dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas/ alergi tipe 1, dengan gejala hidung gatal, bersin-bersin,

(7)

Universitas Sumatera Utara

rinore encer dan hidung tersumbat yang reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan.

b. Asma

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hipresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama malam hari dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bevariasi dan seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

c. Sinusitis

Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan pembentukan cairan atau kerusakan tulang di bawahnya, terutama pada daerah fossa kanina dan menyebabkan sekret purulen, napas bau dan post nasal drips.

d. Riwayat Keluarga

Ada kemungkinan polip hidung diwariskan pada keluarga yang memilki riwayat polip hidung sebelumnya. Hampir 50% penderita polip hidung memiliki riwayat keluaga yang sama. (Newton, 2008)

2.2.5. Klasifikasi

Polip hidung adalah massa non-neoplasma pada hidung atau mukosa snus yang mengalami edema.

Polip hidung diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: 1. Polip antrokoanal

(8)

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Perbedaan Polip Antrokoanal dan Polip Etmoidal

Polip Antrokoanal Polip Etmoidal

Usia Umumnya pada anak-anak Umumnya pada dewasa Etiologi Infeksi Alergi atau multifaktor

Jumlah Tunggal Jamak

Lateralitas Unilateral Bilateral Asal Sinus maksilari di dekat

ostium

Sinus etmoidal, prosesus uncinate, konka media, dan meatus media

Pertumbuhan Tumbuh ke belakang ke arah koana, bisa melekat pada soft

palate

Paling sering tumbuh di anterior dan pada orifisium eksternal rongga hidung

Bentuk dan Ukuran

Tiga lobus, dengan bagian antral, nasal, dan koanal. Bagian koanal dapat menonjol melewati koana dan mengisi naofaring sehingga terjadi sumbatan

Umumnya kecil dan berbentuk seperti anggur (graape-like

masses)

Rekurensi Jarang, dapat diangkat secara utuh

Sering

Terapi Polipektomi, pengangkatan endoskopis, atau

Caldwell-Luc operation jika terjadi

rekurensi

Polipektomi

Pembedahan endoskopis atau etmoidektomi ( bisa intranasal, ekstranasal, atau transnasal) Sumber: PL Dhingra, 1992

2.2.6. Patogenesis

Pada awalnya ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terjadi di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut,

(9)

Universitas Sumatera Utara

mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip. Polip dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan sumbatan yang mengakibatkan sinusitis, tetapi polip dapat juga timbul akibat iritasi kronis yang disebabkan oleh infeksi hidung dan sinus ( Nizar & Mangunkusumo, 2001).

Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang bertubulensi, teruama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tungkai (Mangunkusumo & Wardani, 2007)

2.2.7. Gejala Klinis

Gejala utama dari polip nasi adalah sumbatan hidung yang terus menerus namun dapat bervariasi tergantung dari lokasi polip. Pasien juga mengeluh keluar ingus encer dan post nasi drip. Anosmia dan hiposmia juga menjadi ciri dari polip nasi. Sakit kepala dan gangguan tidur dapat terjadi pada polip nasi (Drake Lee, 1997; Ferguson et al, 2006).

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior dapat dijumpai massa polipoid, licin, berwarna pucat keabu-abuan yang kebanyakan berasal dari meatus media dan prolaps ke kavum nasi. Polip nasi tidak sensitif terhadap palpasi dan tidak mudah berdarah (Newton, 2008).

(10)

Universitas Sumatera Utara

2.2.8. Penegakan Diagnosa 1. Anamnesis

Keluhan utama penderita polip hidung adalah hidung tersumbat. Rinore mulai yang jernih sampai purulen atau post nasal drips, gangguan penghidu, suara sengau serta rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala (Lund, 1997).

2. Pemeriksaan Fisik

Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan (Mangunkusumo dan Wardani, 2007).

3. Naso-endoskopi

Adanya fasilitas endoskop akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila (Nizar dan Mangunkusumo, 2001).

4. Pemeriksaan Radiologi

Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi (Mangunksumo dan Wadani, 2007).

(11)

Universitas Sumatera Utara

5. Pemeriksaan Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas (gold standard) penegakan diagnosa polip hidung.

Tabel 2.2. Klasifikasi histopatologi Polip Hidung menurut Hellquist HB, 1996

Tipe Klasifikasi

I Eosinophilic edematous type (stroma edematous dengan

eosinofil yang banyak)

II Chronic inflammatory or fibrotic type (mengandung

banyak sel inflamasi terutama limfosit da neutrofil dengan sedikit eosinofil)

III Seromucinous gland type (tipe I + hiperplasia kelenjar

seromucous)

IV Atypical stromal type

Sumber: Kim, 2002

2.2.9. Stadium

Tabel 2.3. Stadium Polip Menurut Mackay & Lund 1997

Kondisi Polip Stadium

Tidak ada polip

Polip terbatas pada meatus media

Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum memenuhi rongga hidung

Polip yang massif (memenuhi rongga hidung)

0 1 2

3 Sumber: Assanasen & Naclerio 2008

2.2.10. Penatalaksanaan

Tujuan Penatalaksanaan Polip Hidung.

1. Eliminasi polip hidung atau mengurangi ukuran polip sebesar mungkin. 2. Membuka kembali jalan nafas melalui hidung.

(12)

Universitas Sumatera Utara

4. Penciuman kembali normal.

5. Mencegah kekambuhan polip hidung.

6. Mencegah komplikasi (Mygind & Lildholdt, 1996).

Penatalaksanaan polip hidung dengan medikamentosa, operasi atau kombinasi. Berdasarkan guideline PERHATI-KL, stadium 1 (menurut Mackay & Lund) dapat diterapi dengan medikamentosa (polipektomi medikamentosa), untuk stadium 2 dapat diterapi medikamentosa atau operasi dan stadium 3 dianjurkan untuk dioperasi (Aouad & Chiu, 2011; PERHATI-KL, 2007).

Tingkat keberhasilan dengan steroid topikal dan sistemik bervariasi. Sekali polip terbentuk, biasanya terapi medis tidak berhasil. Sekarang dianggap bahwa ada penurunan insidensi rekurensi setelah polip nasi diangkat, bila disemprotkan betametason topikal ke dalam hidung, walaupun hal ini masih dalam penelitian. Pengangkatan polip tunggal dapat dilakukan dengan jerat dengan anestesi lokal dan topikal. Angka rekurensi yang membenarkan pembedahan lebih lanjut mendekati 30%. Semua polip nasi harus dikirim untuk pemeriksaan patologi mikroskopik karena kadang-kadang terjadi ‘garden variety’ atau ‘polip alergi’ tidak jinak (Cody, 1993).

Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi lokal, etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional) (Mangunkusumo & Wardani, 2007).

1. Medikamentosa Kortikosteroid

Tujuan penggunaan kortikosteroid adalah untuk mengurangi ukuran dan jumlah polip, membuka jalan nafas melalui hidung, memperbaiki kemampuan menghidu, mengurangi inflamasi, untuk mengurangi intensitas operasi, menunda

(13)

Universitas Sumatera Utara

operasi atau bahkan menghilangkan polip sehingga tidak perlu dioperasi lagi (Bachert, 2011; VLckova et al, 2010).

Kortikosteroid menghambat pelepasan mediator vasoaktif sehingga mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan dan deposit mediator. Kortikosteroid mengurangi amplifikasi reaksi inflamasi dengan mengurangi rekruitmen sel-sel inflamasi dan juga menghambat proliferasi fibroblast dan sintesa matrix protein ekstraselular. Beberapa penderita polip hidung tidak menunjukkan adanya perbaikan dengan steroid. Hal ini mungkin dikarenakan jenis polip yang tidak respon terhadap glukokortikoid seperti cystic fibrosis atau primary ciliary

dyskinesia, yang khas dengan infiltrasi lokal neutrofil bukan eosinofil. Penyebab

lain adalah adanya infeksi purulen sehingga polip tidak respon secara temporer terhadap steroid atau dikarenakan distribusi steroid semprot hidung yang tidak adekuat oleh karena hidung yang dipenuhi massa polip (Mygind & Lildholdt, 1996).

2. Bedah Polipektomi

Polipektomi merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat polip hidung. Polipektomi diindikasikan untuk polip dengan gejala yang tidak terkontrol dan gagal dengan terapi medikamentosa. Kontraindikasi pelaksanaan polipektomi adalah pada pasien dengan penyakit komorbid, seperti penyakit jantung dan paru, gangguan perdarahan, serta diabetes dan asma tidak terkontrol. Meskipun polipektomi dapat meghilangkan polip, namun gejala yang dialami pasien pasca polipektomi bisa beragam (Proimos et al, 2010).

(14)

Universitas Sumatera Utara

da

Gambar 2.4. Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung & Sinus Paranasal Sumber: Perhati (2007)

KELUHAN

Sumbatan hidung dengan 1/> gejala:

Rinore purulen, anosmia/hiposmia, post nasal drips, sakit kepala frontal Tampak massa dengan Rinoskopi/Naso-endoskopi

MASSA POLIP HIDUNG Tentukan stadium

CURIGA KEGANASAN Permukaan berbenjol,

mudah berdarah

JIKA MUNGKIN: Biopsi untuk tentukan tipe polip (Eosinofilik/ Neutrofilik) dan/ lakukan POLIPEKTOMI REDUKSI pada polip stadium 2&3 memperbaiki airway

Biopsi tatalaksana awal

Stad. 2&3 TERAPI BEDAH Stad. 1&2 TERAPI MEDIK Semua stadium Tipe Eosinofilik TERAPI MEDIK Semua stadium Tipe Neutrofilik TERAPI BEDAH PERSIAPAN PRA BEDAH 1. HOST 2. CT-Scan TERAPI MEDIK: 1. Steroid topikal dan atau

2. POLIPEKTOMI MEDIKAMENTOSA (HDST = High Dose Short Term oral steroid, dengan cara

- Deksametason 12 mg (3 hr), 8 mg(3hr), 4mg(3hr) - Methylprednisolon 64mg—10mg(10 hari) - Prednison 1mg/kgBB (10 hari) TERAPI BEDAH -Polipektomi -Etmoidektomi TIDAK ADA PERBAIKAN Tetap/membesar/ mengecil sedikit PERBAIKAN Mengecil cukup banyak PERBAIKAN Hilang

Tidak lanjut dengan steroid topikal

Pemeriksaan berkala sebaiknya dengan NE SEMBUH

Polip Rekuren - Cari faktor alergi

- HDST tidak lebih dari 3-4 tahun

- Kauterasi/ekstraksi polip kecil di polikllinik rawat jalan

- Operasi ulang

Ket. MENENTUKAN STADIUM

1. Polip dalam MM(NE) 2. Polip keluar dari MM 3. Polip memenuhi rongga hidung

(Klasifikasi Lund, 1995) MM = Matus Mediius NE = Naso endoskopi

Gambar

Gambar 2.1. Anatomi Hidung  Sumber: Frank Netter, 2010
Gambar 2.2. Dinding Lateral Hidung  Sumber: Van De Graff, 2008
Gambar 2.3. Vaskularisasi Hidung  Sumber: Frank Netter, 2010
Gambar 2.4. Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung & Sinus Paranasal  Sumber: Perhati (2007)

Referensi

Dokumen terkait

Gambaran klinis yang dapat dilihat adalah mukosa tampak licin mengkilap (tidak ada stippling pada gingiva), pucat, kering, mudah mengalami iritasi dan pembengkakan, mudah

Hipospadia biasanya diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi meatus urethra : (1) anterior atau hipospadia distal (meatus urethra terletak di gland penis), pada

Keputihan yaitu penyakit kelamin yang terjadi pada perempuan dengan ciri-ciri terdapat cairan berwarna putih kekuningan atau putih keabu-abuan pada bagian vagina. Cairan

dengan warna gusi lebih pucat, licin, sakit, dan mudah berdarah. Kurangnya penyangga gigi yang baik membuat gigi mudah goyang. Karena seiring bertambahnya usia membuat kepadatan

Pemeriksaan fisik pada penderita kanker paru bisa tidak dijumpai kelainan jika massa tumornya kecil dan belum menyebar sehingga belum menimbulkan gangguan di tempat lain dan

Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil- kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),

Sedangkan hidung dalam, terbentang dari os internum di anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum hidung merupakan garis tengah

Opasitas yang kecil di kapsul posterior bisa berhubungan dengan sisa hialoid primer sistem vaskular yang menetap (Mittendorf dot), sedangkan pada kapsul anterior