Modul ke: Fakultas Program Studi Program Pasca Sarjana Magister Teknik Elektro Hamzah Hilal
Metodologi Penelitian
FORMULASI MODEL10.1 KONSEP
Secara garis besar dan untuk jelasnya, langkah‐langkah konsep formulasi model dapat diilustrasikan pada gambar 10.1. Masalah Sistem:- Latar belakang masalah - Identifikasi masalah - Pembatasan Masalah - Definisi Masalah Pemahaman Sistem: (System Approach) - Elemen - Relasi - Atribut Model Konseptual (Conceptual Design) Variabel Model - Identifikasi Variabel - Klarifikasi Variabel - Definisi operasional Variabel Formulasi Model
- Fungsi dan Relasi
Variabel - Ukuran Perfomansi Sistem - Model Formal ASUMSI Gambar 10.1. Tahap-tahap konsep formulasi model
Masalah sistem
Masalah sistem adalah masalah dengan latar belakang tertentu,
sudah dikenali (diidentifikasi) dengan baik dan diketahui batasan‐
batasannya serta dirumuskan dengan pernyataan‐pernyataan
interogatif.
Melalui pendekatan sistem, eksistensi sistem dan lingkungannya
dapat dipahami dengan diketahuinya elemen‐elemen sistem,
relasi antarelemen, dan atribut dari masing‐masing elemen dan
relasi. Lingkungan sistem merupakan kumpulan obyek di luar
batasan (boundaries) sistem yang mempengaruhi (dipengaruhi)
sistem.
Setelah sistemnya teridentifikasi dengan baik, kemudian dibuat
konseptual model yang akan dibangun. Model konseptual ini
berisikan ciri‐ciri utama sistem yang penting terhadap
pemecahan masalah.
10.2. SISTEM ASUMSI
Setiap pihak yang berkepentingan dalam pemodelan (analis,
pengambil keputusan, dan pemakai) mempunyai keinginan‐
keinginan yang berbeda yang kerap kali berbenturan dengan
hasil‐hasil yang dicapai oleh model. Mereka mempunyai kerangka
berpikir sendiri‐sendiri, misalnya mengenai penyesuaian praktis
terhadap situasi‐situasi dalam pemecahan masalah, maka asumsi
yang hampir bersifat umum (universal) dapat muncul yaitu
berupa pertimbangan‐pertimbangan akal sehat (common sense)
yang tepat dan memenuhi kebutuhan.
Dalam hal ini asumsi merupakan pikiran‐pikiran dasar yang
digunakan sebagai titik tolak atau alasan dalam menjelaskan
suatu fenomena dan diyakini kebenarannya.
Keyakinan terhadap kebenaran mencakup tiga sifat yaitu:
sesuatu yang disadari, berarti relevan dengan hakikat masalah mengurangi keraguan, berarti didasari oleh pengenalan teori yang memadai ditindaklanjuti, berarti memberikan arah tindakan yang menyatukan status saat ini dengan status yang dikehendaki. Penggunaan asumsi ini juga bemakna bahwa suatu fenomena
yang sama bisa dijelaskan secara berbeda, tergantung pada
susunan asumsi‐asumsinya.
Asumsi dapat didefinisikan sebagai suatu pernyataan yang harus
diterima keberadaannya dan bukan merupakan obyek untuk dites
kebenarannya secara langsung.
Pemodelan matematis umumnya menerapkan aturan‐aturan
formal dan bilamana pemikiran umum yang logis itu diterapkan
dalam sistem nyata, maka mau tidak mau mengharuskan adanya
perlakukan khusus (asumsi) yang kadang‐kadang diterima begitu
saja.
Asumsi mencakup asumsi umum dan asumsi khusus. Proses
ilmiah memerlukan asumsi‐asumsi umum tentang realitas dan
bagaimana bisa memahami realitas tersebut.
Asumsi-asumsi umum tersebut antara lain:
Ada sesuatu terjadi di luar kita. Kita mempunyai kemampuan untuk
memahami dan mengatasi sesuatu itu, melalui penggunaan metode ilmiah untuk memandang dan menilai kejadian-kejadian seakan-akan kita tidak tergantung pada mereka.
Setiap realitas memiliki keberaturan yang dapat dipahami. Setiap
proses dalam kehidupan mempunyai kaitan yang teratur dengan proses yang lain.
Gejala-gejala sistem timbul secara berurut, dan hubungan antar
mereka timbul karena bekerjanya hukum-hukum alam, dan bukan karena sesuai dengan keinginan tertentu, atau terjadi dengan begitu saja tanpa alasan. Artinya ada hubungan yang bersifat sebab-akibat (kausal) antara berbagai proses dalam kehidupan. Bila hubungan-hubungan kausal antara gejala tersebut dapat dimengerti, maka ia dapat diperkirakan dan dikendalikan.
Adalah tidak penting untuk mengetahui cara timbul dan tujuan akhir dari seluruh seri kejadian‐kejadian kehidupan, artinya ilmu pengetahuan dapat dikembangkan terlepas dari pertimbangan‐ pertimbangan metafisik. Tidak seorangpun yang dapat menjelaskan segala seri kejadian sesuatu (fakta, obyek, proses) dengan tuntas dan benar, oleh karena itu diperbolehkan adanya pengabaian‐pengabaian. Tidak ada sesuatu pun yang terbukti dengan sendirinya (self‐evident). Kita menjelaskan sesuatu berdasarkan pada pengetahuan dan pengalaman sebelumnya. Suatu ilmu tidak dibuktikan dari benar tidaknya, tetapi kegagalannya dalam menjelaskan sesuatu kejadian anomali. Pengetahuan diturunkan dari hasil kumulatif pengalaman dan penelitian. Hal ini menyebabkan setiap pengetahuan selalu terbuka pada pandangan dan formula yang baru.
Di samping asumsi umum, dikenal pula asumsi spesifik yang erat
kaitannya dengan teori/model yang dikembangkan.
Asumsi tersebut dalam pengembangan teori/model merupakan suatu tuntutan yang tidak bisa ditinggalkan karena asumsi tersebut mencerminkan lingkup (scope) teori/model, latar belakang dan perilaku masalah, di mana teori/model dikembangkan. Hal ini bisa saja terdiri atas beberapa pola pikir dalam penetapan asumsi mengenai apa yang menjadi masalah sebenarnya, asumsi pendekatan sistem, asumsi tentang formulasi model, asumsi solusi model, dan asumsi tentang implementasi model. Asumsi memberikan landasan yang kuat mengenai keberadaan
masalah, dasar pemikiran, dan sumber perumusan hipotesis.
Analis harus benar‐benar mengenal asumsi yang digunakan
dalam pengembangan modelnya, karena dengan memakai
asumsi yang berbeda akan memberikan perbedaan pada konsep
pemikiran atau pola pikir (konsepsi awal yang ditetapkan tentang
realitas yang digunakan).
Dalam mengembangkan asumsi harus diperhatikan
beberapa hal:
Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis (a). Asumsi harus disimpulkan dari "keadaan sebagaimana adanya" bukan "bagaimana keadaan yang seharusnya". Contohnya adalah asumsi kegiatan ekonomis yaitu bahwa manusia yang berperan adalah manusia "yang mencari keuntungan sebesar‐besarnya", maka itu sajalah yang dijadikan sebagai pegangan, tak usah ditambah dengan sebaiknya begini atau seharusnya begitu (b). Asumsi yang pertama (a) adalah asumsi yang mendasari telaah
ilmiah sedangkan asumsi kedua (b) adalah asumsi yang
mendasari telaah moral
Dalam praktek, pemodelan akhirnya tiba pada pengujian apakah
model benar‐benar mewakili sistemnya atau tidak, di sini
pertimbangan‐pertimbangan akal sehat (asumsi) kembali lagi
menjadi fokus utama untuk diselidiki lebih lanjut, yang dapat
menyebabkan timbulnya perumusan dan penemuan baru.
Dengan demikian patut diperiksa apakah asumsi yang telah
dikembangkan handal atau tidak, kemudian memperhatikan
perkembangannya dan bila perlu memperbaharuinya.
Ini tidak gampang mengingat asumsi bersumber pada
pengalaman dan teori‐teori yang relevan dengan pemecahan
masalah, dan terkadang terperangkap (pitfalls) dalam pola pikir
analis.
Bila asumsi yang dipakai salah, maka keputusan yang diambil
niscaya akan meleset juga dari sasaran, oleh karena itu tidak
cukup hanya memperhatikan asumsi yang benar, namum asumsi
yang salah juga patut diperiksa.
Sistem asumsi yang dikembangkan dapat diterima bila
memenuhi persyaratan berikut:
Adanya konsistensi (taat azas). Sistem asumsi yang terdiri atas preposisi‐ preposisi (himpunan pernyataan‐pernyataan tentang anggapan kita terhadap sistem) perlu dijaga konsistensinya. Artinya, tidak ada preposisi yang bertentangan atau saling menegasikan preposisi lainnya, sebaliknya preposis‐preposisi yang ada harus saling mendukung. Adanya relevansi. Sistem asumsi yang dikembangkan, yang terdiri atas preposisi‐preposisi harus memiliki relevansi yang jelas terhadap obyeknya. Preposisi yang dibuat benar‐benar mencerminkan sistem nyatanya dan bukan menerangkan real word yang berbeda (lainnya). Adanya independensi. Setiap preposisi dalam sistem asumsi sebaiknya menyatakan pandangannya terhadap suatu realita secara unik dan tidak terikat satu dengan yang lainnya. Artinya, tidak diperkenankan adanya suatu preposisi yang merupakan himpunan bagian dari preposisi lainnya. Jadi tidak perlu diperumit lagi, bila suatu preposisi sudah dinyatakan. Adanya Ekuivalensi. Sistem asumsi yang dikembangkan dapat dibandingkan dengan asumsi teori/model lainnya. Bila asumsi A ekuivalen dengan asumsi B, maka dapat dikatakan bahwa teori A setara dengan teori B. Seringkali sulit untuk memeriksa asumsi‐asumsi yang mendasari
suatu masalah yang tidak tersusun dengan baik (ill‐structure),
misalnya pada masalah‐masalah kebijakan (policy) di mana
analis, pengambil kebijakan, dan pelaku‐pelaku lain tidak
sepaham bagaimana merumuskan masalah.
Karena itu diperlukan kriteria pokok untuk menilai kecukupan
perumusan masalah yaitu apakah konflik asumsi mengenai
situasi problematis telah dimunculkan, dipertentangkan, dan
secara kreatif dicari sintesanya.
Teknik yang bertujuan menciptakan sintesis kreatif atas asumsi‐
asumsi yang bertentangan mengenai masalah yang tidak
tersusun (masalah kebijakan) ini disebut analisis asumsi.
Analisis asumsi membantu kita menemukenali jebakan‐jebakan
dalam pemodelan dan bilamana mungkin untuk
menghindarinya
Menurut seorang pakar analisis kebijakan publik, Dunn (1981),
analisis asumsi dibuat untuk mengatasi empat kelemahan pokok
khususnya dalam analisis kebijakan.
Analisis kebijakan selalu didasarkan pada asumsi pengambil keputusan tunggal dengan nilai‐nilai yang dapat dikemukakan dengan jelas dan dapat dipenuhi dalam jangka waktu tertentu. Analisis kebijakan seringkali gagal mempertimbangkan secara sistematis dan eksplisit pandangan‐pandangan yang berbeda secara mencolok pada sifat masalah dan potensi pemecahannya. Kebanyakan analisis kebijakan diselenggarakan di dalam organisasi yang bersifat menutup diri, sehingga sulit atau tidak mungkin untuk mempertimbangkan pelbagai perumusan masalah yang berbeda; dan Kriteria yang digunakan untuk menaksir kecukupan masalah dan pemecahannya lebih sering menghadapi karakteristik‐karakteristik permukaan (misalnya, konsistensi logika), daripada asumsi dasar yang melatarbelakangi konseptualisasi masalah. Analisis asumsi meliputi penggunaan lima prosedur yang
berturut‐turut dengan tahapan berikut.
Identifikasi pelaku. Pada tahap pertama ini dilakukan identifikasi, klasifikasi, dan prioritas para pelaku kebijakan, yaitu orang‐orang atau kelompok‐ kelompok yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perumusan dan pemecahan masalah. Pemunculan asumsi. Pada tahap kedua ini, analis bekerja dengan mundur ke belakang dari pemecahan masalah yang diusulkan kepada satuan satuan data terpilih yang mendukung dan mendasari asumsi. Setiap orang atau kelompok mencetuskan asumsi (berdasarkan data) secara eksplisit atau implisit yang melatarbelakangi usulan pemecahan masalah. Dengan membuat daftar semua asumsi, maka dapat ditemukenali spesifikasi masalah ke arah mana usulan pemecahan dialamatkan. Pembenturan asumsi. Pada tahap ketiga analis membandingkan dan menilai semua satuan‐satuan usulan dan asumsi‐asumsi yang mendasarinya. Tahap ini dilakukan dengan memperbandingkan secara sistematis asumsi dan asumsi tandingan yang berbeda secara mencolok satu dengan yang lainnya. Selama proses ini setiap asumsi yang telah diidentifikasi terlebih dahulu dipertentangkan dengan asumsi tandingan. Jika asumsi tandingan tidak masuk akal, ia disingkirkan dari pertimbangan selanjutnya; jika asumsi tandingan tersebut masuk akal, ia diuji untuk menentukan apakah ia dapat dijadikan dasar dalam menyusun konseptualisasi masalah dan pemecahan baru. Pengelompokan asumsi. Jika tahap penentangan asumsi telah lengkap, maka dilakukan pengumpulan aneka ragam pemecahan masalah yang ditawarkan dan telah dimunculkan pada tahap sebelumnya. Di sini asumsi‐asumsi dirundingkan dan diprioritaskan sesuai dengan kepastian dan tingkat kepentingannya bagi pelaku kebijakan. Hanya asumsi‐asumsi yang penting dan pasti saja yang dikumpulkan. Tujuan akhirnya adalah menciptakan dasar asumsi yang dapat diterima yang sedapat mungkin disetujui oleh banyak pelaku kebijakan. Sintesis asumsi. Tahap akhir adalah penciptaan pemecahan masalah yang bersifat gabungan dan sintesis. Gabungan satuan asumsi yang dapat diterima dapat menjadi dasar dalam menciptakan konseptualisasi masalah yang baru. Jika isu di sekitar konseptualisasi masalah ini dan potensi pemecahan masalah sudah sampai di tahap ini, kebanyakan konflik di antara para pelaku dapat dihilangkan. Akibatnya, aktivitas para pelaku kebijakan dapat menjadi kooperatif dan secara keseluruhan produktif.
Analisis asumsi dapat digunakan pada pengambilan
keputusan di tingkat bisnis dalam bidang pemasaran,
produksi, keuangan, strategi, dan personalia.
Metode ini cocok dengan masalah yang tidak tersusun
dengan baik dan mampu mengusulkan pemecahan yang
memadai.
Analisis asumsi juga membantu untuk menghindari
kesalahan perumusan masalah, yaitu memecahkan
masalah yang dirumuskan dengan salah karena
menghendaki pemecahan yang benar.
10.3. PENDEKATAN SISTEM
Konsep sistem merupakan suatu konsep yang umum atau
universal.
Konsep sistem ini sangat luas sekali penggunaannya dan meliputi
berbagai disiplin ilmu, sehingga timbul berbagai pendapat dalam
menafsirkannya.
Banyak penulis yang memberikan pengertian yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Disini sistem didefinisikan sebagai suatu
kumpulan objek yang saling berkaitan dan saling bergantungan
secara tetap (reguler) untuk mencapai tujuan bersama pada suatu
lingkungan yang kompleks.
Ciri suatu sistem ditandai dengan elemen‐elemen pembentuknya.
Tetapi, sebenarnya suatu sistem lebih dari sekedar penjumlahan
elemen‐elemennya.
Seseorang berbicara tentang sistem bila elemen‐elemen tersebut
berhubungan satu dengan yang lainnya (lihat gambar‐gambar
berikut).
Elemen‐elemen suatu sistem selalu mempunyai ciri kualitas.
Kualitas ini disebut atribut‐atribut (ukuran, berat, harga, warna,
...) atau atribut (8 cm, 68 kg, 100 rupiah, biru, ...). Kebanyakan
hubungan atau relasi antarelemen terletak pada atributnya,
bukan pada elemennya.
Banyak terdapat kasus, di mana elemen‐elemen yang berbeda
dapat digabung dalam suatu himpunan atau kelompok elemen
(lihat gambar 10.2.b). Hal ini berlaku bila hubungan antar elemen‐
elemen tersebut memiliki atribut yang sama, walaupun nilai
atributnya berbeda. Oleh karena itu, atribut‐atribut diasosiasikan
dengan kelompok‐kelompok elemen, sedangkan nilai‐nilai atribut
diasosiasikan dengan suatu elemen tunggal.
a. Elemen-elemen(lingkaran, bujur sangkar, heksagon)
b. Sama seperti (a), elemen-elemen digabung dalam kelompok (lingkaran besar);
Bila elemen‐elemen telah digantikan oleh himpunan elemen,
hubungan antar elemen tunggal dapat juga digantikan oleh
hubungan antar himpunan; atau kelompck (lihat gambar 10.2.c).
Hubungan antar himpunan hanya berlaku untuk atribut‐atribut
tertentu, sedangkan hubungan antar elemen‐elemen tunggal
ditunjukkan oleh nilai‐nilai atribut.
Namun bila elemen‐elemen pembentuk himpunan sudah
demikian kompleksnya, maka kita berkaitan dengan entiti
kompleks dan himpunan entiti kompleks. Kelompok entiti
kompleks dan atributnya membawa informasi tentang hubungan
antar kelompok elemen (lihat gambar 10.2.d).
c. Sama seperti (b), elemen secara simbolis diwakili oleh kelompoknya,
d. Sama seperti (c), hubungan antar kelompok ditentukan oleh kelompok entiti yang kompleks (elips)
Kelompok entiti yang kompleks dan atributnya dapat membawa
data hubungan antar kelompok elemen. Dalam hal ini, hubungan
tersebut hendaknya dinyatakan secara eksplisit dalam suatu
pernyataan relasi atau hubungan.
Ciri sistem yang telah dibahas tadi, berangkat dari perspektif
informasional, yakni konsep Elemen‐Relasi‐Atribut (ERA). Dengan
demikian dapat disebutkan bahwa suatu sistem memiliki ciriciri
berikut:
Entiti, objek sistem yang menjadi pokok perhatian. Atribut, sifat yang dimiliki oleh entiti. Aktivitas, proses yang menyebabkan perubahan dalam sistem, yang dapat mengubah atribut, bahkan entiti. Status, keadaan entiti dan aktivitas pada saat tertentu, atau kumpulan variabel yang penting untuk menggambarkan sistem pada sembarang waktu, tergantung pada tujuan studi sistemnya. Kejadian, peristiwa sesaat yang dapat mengubah variabel status sistem. Pernyataan sistem yang lengkap mencakup kelima ciri di atas.
Istilah endogenus digunakan untuk menggambarkan aktivitas
dan kejadian yang terjadi di dalam sistem, dan istilah
eksogenous digunakan untuk menggambarkan aktivitas dan
kejadian di lingkungan yang mempengaruhi sistem.
Endogenus melihat sistem dari subsistem‐subsistem yang
berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu.
Eksogenous melihat pengertian sistem dari suprasistem yakni
unsur‐unsur lingkungan yang kompleks, termasuk juga
hierarki yang terbentuk.
Contoh komponen sistem dapat dilihat pada tabel 10.1. Hanya
sebagian kecil ciri‐ciri yang ditampilkan. Daftar yang lengkap
dapat dikembangkan bila tujuan studi diketahui, kemudian
mencari berbagai aspek sistem yang relevan dengan tujuan
studi.
Sistem Entiti Atribut Aktivitas Kejadian Variabel Status Bank Kereta Cepat Produksi Komunikasi Persediaan Pelanggan Penumpang Mesin Pesan atau berita Gedung Pemeriksaan rekening Asal, tujuan Kecepatan, kapasitas, tingkat kerusakan Jauhnya, tujuan Kapasitas Melakukan deposito Perjalanan Pengelasan, pengecapan Pengiriman Pengambilan Kedatangan, Kepergian Tiba di stasiun, tiba di tujuan Kerusakan Sampai di tujuan Permintaan
Jumlah teller yang sibuk, Jumlah pelanggan yang menunggu
Jumlah penumpang yang menunggu di tiap stasiun; jumlah penumpang yang transit
Status mesin (sibuk, nganggur, untuk dikirim)
Jumlah pesan yang menunggu untuk dikirim
Level persediaan, pesanan yang belum dipenuhi
Setiap sistem antara lain seperti contoh yang tertera pada tabel
sebelumnya secara implisit memiliki karakteristik umum berikut:
Definisi sitem menunjukkan bahwa sistem paling sedikt terdiri atas dua elemen penyusunannya dan elemen‐elemen tersebut saling berhubungan membentuk suatu kesatuan atau holisme. Sistem tidak hanya sekedar penjumlahan dari bagian‐bagiannya, ia harus dipandang sebagai keseluruhan. Sistem mampu memberikan efek kombinasi yang lebih besar dari efek gabungan semata dari elemen‐ elemen pembentuknya. Efek kombinasi ini disebut sinergi. Dengan demikian, sistem itu sendiri baru dapat diterangkan dengan menunjukkannya secara keseluruhan atau totalitas. Keseluruhan ini menyebabkan timbulnya tindakan gabungan atau sinergi. Jadi, sinergi adalah perwujudan dimana unsur‐unsur yang dipadukan menghasilkan suatu hasil yang lebih besar dari pada jumlah hasil masing‐masing unsur yang terlibat. Sistem terbuka melakukan pertukaran informasi, energi, bahan, dengan lingkungannya. Keterkaitan dinamis antara sistem dan lingkungan sering digambarkan dalam hubungan input‐transformasi‐output. Sistem menerima bermacam‐macam masukan dari lingkungan, kemudian mengolahnya dengan cara tertentu dan menghasilkan keluaran untuk lingkungan. Agar sistem terbuka dapat terus hidup atau berlangsung, sedikit‐dikitnya ia harus menerima lebih banyak input dari lingkungan untuk mengimbangi outputnya ditambah dengan energi dan bahan yang dipakai selama aktivitas sistem itu. Kondisi stabil atau mantap atau seimbang ini disebut homoestatis dinamis. Konsep homoestatis berasal dari proses biologis dimana tubuh kita menerima temperatur tetap ketika menghadapi lingkungan yang berubah. Sedangkan konsep dinamis muncul dari ide bahwa keadaan mantap itu terus menerus bergerak. Sistem mempunyai batas‐batas (boundary spanning) yang menangani transaksi antara sistem dengan lingkungannya. Seringkali batas‐batas ini kabur terutama pada sistem terbuka.
Entrofi negatif sistem, dimana sistem dipengaruhi oleh kekuatan entrofi yang bertambah terus sampai seluruh sistem tidak berfungsi lagi. Konsep entrofi berasal dari sistem fisika tertutup yang menunjukkan derajat ketidakteraturan sistem. Kecenderungan pada maksimum entrofi merupakan gerakan menuju kekacauan, kekurangan sumber transformasi, dan kemudian mati. Pada sistem terbuka, entrofi dapat diberhentikan dan bahkan dapat diubah ke dalam entrofi negatif, yakni suatu proses sistem yang lebih lengkap dan sanggup untuk mengambil dan mengolah sumber‐ sumber dari lingkungan. Pada sistem tertutup, lambat laun harus dicapai keadaan seimbang dengan entrofi maksimum (mati) atau dis‐sitem. Sedangkan pada sistem terbuka mungkin saja dicapai keseimbangan dinamis melalui aliran masuk material, energi, dan informasi secara terus menerus. Infirmasi tentang keluaran atau proses sistem adalah umpan balik bagi masukan sistem. Input informatif ini berfungsi untuk memberitahu apakah sistem benar‐benar mencapai keadaan mantap atau diambang kehancuran. Umpan balik memungkinkan untuk menyebabkan perubahan dalam proses transformasi dan/atau keluaran berikutnya dalam usaha mencari keseimbangan dinamis (homoestatis), pertumbuhan (growth), atau peluruhan (decay).
Suatu sistem adalah gabungan dari susbsistem tingkatan yang lebih bawah dan juga merupakan bagian dari supra sistem tingkatan yang lebih tinggi. Artinya terdapat hierarki dari elemen‐ elemen sistem. Subsistem pembentuk sistem mempunyai nilai dan tujuan yang berbeda. Hal ini menyebabkan perbedaan perilaku sistem dalam upaya mencapai tujuan majemuk, dimana sasaran akhirnya adalah homoestatis dinamis atau keadaan mantap. Hasil atau sasaran tertentu dapat dicapai melalui keadaan awal yang berbeda dan cara yang berbeda. Konsep ini dikenal dengan nama equifinality (kesamaan hasil akhir). Dengan demikian sistem dapat mencapai tujuan, dengan masukan yang berbeda dan dengan kegiatan internal yang berbeda.