• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEKANISME PERAMBATAN GELOMBANG DETONASI CAMPURAN GAS HIDROGEN-OKSIGEN DENGAN DILUENT ARGON DI BELAKANG PLAT DENGAN ORIFICE GANDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEKANISME PERAMBATAN GELOMBANG DETONASI CAMPURAN GAS HIDROGEN-OKSIGEN DENGAN DILUENT ARGON DI BELAKANG PLAT DENGAN ORIFICE GANDA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

MEKANISME PERAMBATAN GELOMBANG DETONASI CAMPURAN GAS HIDROGEN-OKSIGEN DENGAN DILUENT ARGON DI BELAKANG PLAT DENGAN

ORIFICE GANDA

Jayan Sentanuhady, Teofilus Hartono, dan Rizqi Fitri Naryanto Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

J1. Graflka No.2, Yogyakarta 55281 E-mail : jayan@ugm.ac.id

Intisari

Gelombang detonasi adalah gelombang reaksi pembakaran yang merambat pada kecepatan supersonic. Fenomena gelombang detonasi yang telah gagal akibat proses difraksi yang dapat tereinisiasi kembali menjadi gelombang detonasi adalah hal yang menarik untuk dipahami berkaitan dengan safety dari gas hidrogen. Penelitian ini bertujuan untuk memahami mekanisme kegagalan dan reinisiasi gelombang detonasi di belakang plat dengan orifice ganda.

Eksperimen ini menggunakan pipa uji detonasi dengan panjang 6 meter yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu 1 meter untuk bagian driver dan 5 meter untuk bagian driven. Sedangkan model uji adalah plat alumunium dengan tebal 10 mm dan dengan orifice ganda yang berdiameter 7 mm dan jarak antar orifice 14 mm dipasang di bagian driven pada jarak 5 meter dari ignition point. Bahan bakar yang digunakan pada penelitian ini adalah campuran hidrogen dan oksigen pada tekanan awal 100 kPa untuk bagian driver serta campuran hidrogen-udara dengan diluent argon pada tekanan awal 20 – 100 kPa untuk bagian driven. Tiga mekanisme perambatan gelombang di belakang model yang dapat diobservasi dari penelitian ini, yaitu (1) detonation quenching, terjadi pada tekanan rendah karena sel detonasi yang terbentuk pada celah orifice ganda kurang dari 2.6 λ;.(2) reinitiation detonation, terjadi ketika sel detonasi yang terbentuk pada orifice ganda antara 2.6 λ sampai 4.3 λ. Sedangkan yang ketiga adalah (3) detonation transmition, terjadi apabila sel detonasi yang terbentuk di dalam model lebih dari 4.3λ sehingga dapat melewati orifices tanpa melalui kegagalan detonation.

Kata kunci: detonasi, deflagrasi, reinisiasi Pendahuluan

Sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden no 5 tahun 2006 diketahui bahwa peningkatan pemanfaatan bahan bakar gas sebagai sumber energi primer sesuai dengan sasaran kebijakan bauran energi nasional adalah 30,6 % ditahun 2025 dibanding pemakaian saat ini yang masih sekitar 28,57 %. Target ini terkait dengan pengurangan konsumsi energi primer minyak bumi dari 51,66 % saat ini menjadi hanya sekitar 20 % ditahun 2025 (Kebijakan Energi Nasional, Peraturan Presiden no 5 tahun 2006). Melalui regulasi tersebut di atas menunjukkan bahwa pada masa mendatang pemakaian bahan bakar gas akan semakin meningkat, oleh karena itu persiapan akan keamanan pada sistem perpipaannya juga harus diperhatikan.

Penggunaan gas hidrogen sebagai bahan bakar akan sangat banyak diaplikasikan karena sifat gas ini yang memiliki potensial energi yang tinggi dan hasil pembakarannya yang bersih karena menghasilkan uap air. Namun demikian hidrogen adalah jenis bahan bakar yang sangat reaktif dan mudah terbakar apabila bercampur dengan udara sehingga dapat memicu terjadinya detonasi karena mempunyai batas konsentrasi mampu bakarnya sangat luas yaitu 5-75% (College of The Dessert), sehingga jika terdapat kebocoran sedikit akan sangat berbahaya dan berpotensi menimbulkan ledakan yang hebat.

Pada fenomena detonasi, shock front akan berimpit dengan reaction front dengan jarak dibawah 1 µs, sehingga pengendalian detonasi dengan teknik mekanikal seperti pegas dan katup sudah tidak efektif lagi. Oleh karena itu perlu diobservasi teknik lainnya sebagai tindakan preventif untuk meminimalisir

(2)

TRTP | 13

Gambar 1. Skema pipa uji detonasi horizontal, panjang total L = 6000 mm dan diameter dalam Ø = 50 mm. M odel celah sempit berada di antara P2 dan P3. Soot track record dipasang di upstream dan downstream model celah sempit. terjadinya kecelakaan kerja yang diakibatkan karena detonasi pada sistem perpipaan untuk industri yang menggunakan bahan bakar yang reaktif. Pada intinya, teknik untuk menggagalkan detonasi ini adalah dengan cara mengendalikan perambatan shock wave dan reaction wave. Pengendalian ini dapat dilakukan dengan mendifraksikan gelombang detonasi, saat terdifraksi laju ekspansi produk pembakaran lebih cepat dari pada laju pelepasan energi gelombang reaksi sehingga membuat terjadinya proses kegagalan gelombang detonasi yaitu kondisi dimana shock front dan reaction front terpisah.

Penelitian tentang teknik untuk menggagalkan detonasi dengan fenomena difraksi ini telah banyak dilakukan antara lain Ciccarelli dan Boccio (1998) menggunakan orifis, Hayashi et al (2004) menggunakan nosel konvergen-difergen, Sentanuhady et al (2006) menggunakan double slit plate, Obara et al (2008) menggunakan slit plate, dan Tri et al (2010) menggunakan narrow gap (celah sempit). Akan tetapi pemahaman proses difraksi dan reinisiasi dengan variasi bahan bakar yang menggunakan diluent argon sangat menarik untuk dipelajari karena pada kenyataan argon sangat sering digunakan sebagai salah satu media untuk menggendalikan proses pembakaran. Berdasar penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Sentanuhady (2008) bahwa penambahan gas argon sebagai diluent dapat mengurangi tingkat reaktivitas suatu reaksi, maka dalam penelitian ini gas argon sebagai diluent juga ditambahkan pada campuran bahan bakar oxyhidrogen. Karakteristik perambatan gelombang pada campuran oxyhidrogen dengan diluent argon pada model orifice ganda inilah yang akan dijadikan referensi baru sebagai teknik untuk menggagalkan detonasi.

Penelitian ini menggunakan model dengan orifice ganda untuk mendifraksikan gelombang detonasi, akan tetapi shock wave yang masih merambat dibelakang model dapat menyebabkan gelombang detonasi tereinisiasi kembali. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami fenomena difraksi dari gelombang detonasi yang melalui model double orifice dan juga mekanisme reinisiasi yang mungkin terjadi di belakang model. Sehingga pemahaman fenomena dan karakteristik reinisiasi tersebut dapat dipakai sebagai acuan dalam hal mendesain alat-alat safety untuk peralatan yang digunakan dalam industri yang menggunakan hidrogen.

(3)

Gambar 2. M odel double orifice yang dipasang di antara P2 dan P3 di dalam test tube. Tabel 2. Parameter kondisi eksperimen

Metodologi

Gambar 1 Menunjukkan skema pipa uji detonasi horizontal dan alat-alat pendukung lainnya. Pipa uji detonasi memiliki panjang total 6000 mm dan diameter dalam 50 mm dibagi dalam 2 bagian yaitu driver tube dan test tube (driven tube). Driver tube berfungsi menciptakan energi inisiasi untuk mempercepat terbangkitnya detonasi pada test tube. Gelombang detonasi akan merambat sepanjang test tube melalui model double orifice dan menuju ke dump tank. Sensor pressure transducer dipasang di upstream (P1 dan P2) dan downstream (P3 dan P4) dari model double orifice, untuk mendapatkan tekanan shock wave yang merambat sepanjang pipa uji detonasi. Untuk mendeteksi proses pembakaran (reaction front), empat sensor ion probe dipasang pada posisi berlawanan secara radial dengan posisi sensor tekanan. Sensor tekanan dan sensor ionisasi dihubungkan dengan amplifier dan digital data recorder, kemudian datanya diolah dan divisualisasikan di komputer.

Gambar 2 merupakan model double orifice terbuat dari material aluminium yang dipasang di dalam test tube di posisi antara P2 dan P3. Dimensi dan bentuk sepeti terilihat pada gambar 2.

Proses pengisian campuran bahan bakar gas ke dalam pipa uji dikontrol oleh sensor tekanan digital sehingga didapatkan keakuratan tekanan awal. Busi dan koil otomotif digunakan sebagai sumber energi untuk mengawali penyalaan di dalam driver tube. Flow field dari proses pembakaran di daerah upstream dan downstream dari model celah sempit direkam dengan teknik soot track record untuk mendapatkan gambaran sel detonasi, sehingga mekanisme reinisiasi gelombang detonasi di belakang model (downstream) dapat dipahami. Bahan bakar yang digunakan dalam penelitian ini adalah premixed stoikiometri hidrogen dan oksigen untuk bagian driver pada tekanan 100 kPa dan campuran hidrogen oksigen dengan diluant argon pada tekanan awal mulai 20 – 100 kPa yang digunakan untuk bahan bakar pada bagian driven. Sebelum dilakukan uji detonasi, campuran bahan bakar tersebut disimpan selama 12 jam untuk menjadi homogenitas yang lebih baik. Karena komposisi dan tekanan awal gas berbeda antara bagian driver dengan bagian driven berbada maka antara kedua bagian tersebut dipisahkan dengan mylar film. Detail bahan bakar, tekanan awal dari penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.

(4)

TRTP | 13

Gambar 3 Profil gelombang reaksi dan tekanan gelombang kejut pada kondisi (a) Reinitiation detonation oleh interaksi

gelombang kejut dengan dinding pipa (shock by wall). (b) Reinitiation detonation oleh proses DDT.(c) Detonation transmition. (d) Detonation Quenching. DW merupakan detonation wave, DflW merupakan deflagration wave dan RS

merupakan reflected shock

b a

c d

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisa yang didapat lewat pengamatan data rekaman tekanan gelombang kejut, ionisasi api, maka karakter perambatan gelombang detonasi di belakang model plat dengan orifice ganda dapat diklasifikasikan menjadi 3 pola rambatan yaitu reinitiation detonation, detonation tranmition, dan detonation quenching.Masing-masing pola rambatan gelombang detonasi di belakang model plat dengan orifice ganda akan dijelaskan melalui gambar 3 berikut ini

Gambar 3 menunjukkan profil tekanan gelombang kejut dan kedatangan api dari gelombang reaksi untuk setiap pola rambatan di daerah upstream dan downstream dari pipa uji detonasi pada kondisi eksperimen dengan variasi tekanan yang berbeda. Sumbu ordinat merupakan pembagian tekanan gelombang kejut dengan tekanan awal campuran bahan bakar hidrogen dan oksidiser oksigen (p/po),

sedangkan sumbu absis merupakan waktu perambatan gelombang pembakaran dimulai dari busi memercikkan api dan kedatangan gelombang pembakaran yang dihitung mulai dari posisi model plat dengan orifice ganda (gambar 3a – 3d).

Jelas terlihat pada gambar 3a, reinitiation detonation terjadi oleh interaksi gelombang kejut dengan dinding pipa bagian dalam yang terjadi pada kondisi eksperimen tekanan awal campuran Po = 80

kPa. Gelombang detonasi yang stabil merambat di daerah upstream dari pipa uji model plat dengan orifice ganda diawali dari sensor P1 hingga sensor P2, dengan ditandai adanya kenaikan tekanan gelombang kejut bersamaan dengan turunnya sinyal ionisasi dan masing-masing sensor tekanan mendeteksi besar tekanan puncak gelombang kejut (von newman spike pressure) yang relatif konstan mencapai 20 kali tekanan awal (1600 kPa), dimana tekanan ini sedikit dibawah tekanan teoritis CJ detonasi, PCJ = 1488 kPa. Pada daerah downstream setelah melewati celah lubang plat dengan orifice

ganda, gelombang detonasi mengalami perlambatan perambatan pembakaran, gelombang detonasi terdifraksi menjadi gelombang deflagrasi karena panas dari gelombang tertransfer ke model uji dan mengakibatkan turunnya tekanan dan juga kecepatan gelombang, namun kemudian tereinisiasi kembali

(5)

Gambar 4 Hasil pengamatan soot track record di belakang plat dengan orifice ganda pada kondisi Reinitiation

melalui interaksi gelombang kejut dengan dinding pipa bagian sehingga menghasilkan hot spot (local explotion) dan mengkompresi reaktan sehingga menyebabkan naiknya temperatur reaktan dan membuat laju reaksi pembakaran semakin cepat dan pada akhirnya mengakselerasi perambatan pembakaran sehingga gelombang reaksi mampu mengejar gelombang kejut sehingga tercipta reinisiasi detonasi dengan ditandai terbentuknya sel detonasi yang sangat kecil yang dimulai dari dekat dinding pipa menuju ke tengah soot track record seperti terlihat pada gambar 4.

Reinitiation detonation karena proses DDT terlihat pada gambar 3b yang terjadi pada kondisi eksperimen pada tekanan awal Po = 70 kPa. Setelah melalui celah lubang plat dengan orifice ganda,

gelombang detonasi ter-quenching menjadi gelombang deflagrasi oleh adanya difraksi disebabkan oleh adanya heat losses dan tidak langsung tereinisiasi oleh interaksi gelombang kejut dengan dinding pipa melainkan tereinisiasi melalui proses DDT (deflagration to detonation transition) pada jarak antara posisi sensor P3 dan P4. Kenaikan tekanan sensor P3 tidak bersamaan dengan turunnya sinyal ionisasi dan besar kenaikan tekanan hanya 12 kali tekanan awal (840 kPa) dimana tekanan ini jauh lebih kecil dari tekanan teoritis CJ detonasi, PCJ = 1293 kPa sehingga perambatan pembakaran dikategorikan sebagai

gelombang deflagrasi. Namun gelombang deflagrasi ini berkecenderungan mempercepat dari posisi ke posisi dan akhirnya melalui proses DDT menjadi gelombang detonasi dengan ditandai adanya deteksi naiknya tekanan di sensor P4 bersamaan dengan turunnya sinyal ionisasi dan besar puncak tekanan mencapai 19 kali tekanan awal (1330 kPa) dimana jauh lebih besar dari tekanan CJ detonasi PCJ.

Gambar 3c menunjukkan detonation tranmition pada kondisi eksperimen dengan tekanan awal Po = 100 kPa. Setelah melalui celah lubang model uji plat dengan orifice ganda, gelombang detonasi

melewati double orifices tanpa terdifraksi, hal ini dibuktikan dari terbentiknya gelombang detonasi dengan jarak yang sangat dekat dengan model/ sebelum melewati P3 yaitu 110 mm dari permukaan celah lubang model uji plat dengan orifice ganda, sehingga mengakibatkan sensor tekanan P3 dan P4 mendeteksi adanya perambatan gelombang detonasi yang sudah stabil dengan ditandai kenaikan tekana n bersamaan dengan turunnya sinyal ionisasi dan besar tekanan puncak gelombang kejut relatif konstan (von newman spike pressure) mencapai 17 kali tekanan awal dimana tekanan ini mendekati tekanan CJ detonasi PCJ = 1868 kPa.

Fenomena terakhir adalah detonation quenching pada kondisi eksperimen dengan tekanan awal Po = 20 kPa yang ditunjukkan pada gambar 3d. Setelah melalui model uji plat dengan orifice ganda,

gelombang detonasi terdifraksi dan ter-quenching menjadi gelombang deflagrasi namun gelombang detonasi ini tidak segera ter-reinisiasi Besar tekanan puncak gelombang kejut hanya berkisar 5 kali tekanan awal (100 kPa) dimana nilai ini jauh di bawah tekanan CJ detonasi PCJ = 354 kPa, sehingga

perambatan gelombang pembakaran di kategorikan sebagai gelombang deflagrasi

Berdasarkan grafik pada gambar 5 dapat kita lihat bahwa batas kritis sel detonasi yaitu 13 kali sel detonasi, dc=13λ (Ciccarelli dan Boccio, 1998) tidak lagi relevan, karena pada campuran oksihidrogen

dengan diluent argon sudah mulai terjadi detonation reinitiation ketika sel detonasi yang terbentuk pada celah orifice berjumlah 2.67 λ pada tekanan awal 50 kPa, dan mulai terjadi detonation transmition ketika sel yang melewati celah orifice berjumlah 4.3 λ pada tekanan awal 90kPa. Apabila sel detonasi yang melewati celah orifice lebih dari 2.6 λ, baik campuran hidrogen maupun campuran oksigen-hidrogen yang menggunakan diluent argon pasti terjadi detonation reinitiation di bagian downstream

(6)

TRTP | 13

Gambar 5 Hubungan antara banyaknya sel detonasi yang melewati celah (w/ λ) terhadap variasi tekanan awal Po

.

Namun pada campuran oksigen-hidrogen apabila sel detonasi yang melewati celah lebih dari 1 λ sudah terjadi reinisiasi detonasi pada downstream( Naryanto, 2010). Argon yang berperan sebagai inert gas, tidak ikut bereaksi, namun sebagian panas yang dihasilkan oleh reaksi tertransfer ke molekul argon. Sehingga panas yang seharusnya bisa digunakan untuk mereinisiasi detonasi berkurang dan mengakibatkan kereaktifan dari campuran ini menurun jika dibandingkan dengan campuran oksigen-hidrogen tanpa diluent argon

Kesimpulan

Mekanisme perambatan gelombang detonasi yang melewati plat dengan orifice ganda dapat diklasifikasikan diobservasi dan diklasifikasikan menjadi tiga pola perambatan yaitu:

1) Reinitiation detonation, merupakan proses tereinisiasinya gelombang detonasi akibat adanya interaksi gelombang kejut dengan dinding pipa bagian dalam dan oleh adanya interaksi gelombang kejut melalui proses Detonation Deflagration Transition (DDT).

2) Detonation transmition, merupakan proses perambatan gelombang detonasi tanpa melalui proses detonation quenching, ditandai adanya jarak reinisiasi detonasi (Dri) yang sangat dekat dengan model uji.

3) Detonation quenching, merupakan proses perubahan gelombang detonasi menjadi gelombang deflagrasi, dan tidak mampu tereinisiasi kembali menjadi gelombang detonasi.

Daftar Pustaka

1. Ciccarelli, G., Boccio, J.L., (1998): Detonation wave propagation through a single orifice plate in a circular tube. In: Proceedings of Twentyseventh Symposium (International) (Combustion, Comb. Inst.pp. 2233–2239.

2. Hayashi, K. Jotaki, H., Misawa, J., and Sato, H., (2004): Detonation propagation structure in converging-diverging nozzle. Symposium on Interdisciplinary Shock Wave Research. Sendai, Japan. 3. Sentanuhady, J., Obara, T., Tsukada, Y., Ohyagi, S. (2006): Re-initiation processes of detonationwave

behind slit-plate—influence of initial test gas pressure – (in Japanese). Trans. Jpn. Soc. Mech. Eng. Ser.B72, 3158–3165.

4. Sentanuhady, J., Naryanto, R., (2010): Mekanisme PerambatanGelombang Detonasi di Belakang Plat dengan Orifice Ganda. Tesis, Jurusan Teknik Mesin dan Industri Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Gambar

Gambar  1. Skema  pipa uji detonasi horizontal, panjang  total L = 6000 mm dan diameter  dalam  Ø = 50 mm
Gambar  3  Profil gelombang  reaksi dan tekanan gelombang  kejut pada kondisi (a) Reinitiation  detonation  oleh interaksi  gelombang  kejut dengan  dinding  pipa (shock by wall)
Gambar  4  Hasil pengamatan  soot track record  di belakang  plat dengan  orifice  ganda  pada kondisi  Reinitiation
Gambar  5 Hubungan  antara banyaknya sel detonasi yang melewati  celah  (w/ λ) terhadap variasi  tekanan awal P o

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan harga kayu bulat diduga memiliki hubungan negatif dengan produksi kayu lapis, karena semakin tinggi harga bahan baku akan menyebabkan produksi kayu

Analisis yang pertama yang digunakan untuk menjawab permasalahan pertama adalah analisis persentase dimana untuk mengetahui profil konsumen atau para pelanggan

Studi Lancet (2008) menemukan bahwa intervensi spesifik hanya mendukung 20% upaya pencegahan/penurunan stunting, sementara intervensi sensitif berkontribusi hingga

Penelitian ini menggunakan metode Research and Development (R & D) mengacu pada Borg dan Gall (1983) yang dimodifikasi menjadi sembilan tahapan yaitu: 1) penelitian

Rini

Administrasi Negara Kebijakan Publik, Good Governance dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.. Saya sangat salut dan bangga kepada penulisnya, karena buku

Dapat juga dikemukakan bahwa layanan ini bertujuan untuk membimbing seluruh siswa agar (a) memiliki kemampuan untuk merumuskan tujuan, perencanaan, atau pengelolaan

Etika normatif merupakan norma-norma yang menuntun manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk sesuai dengan kaidah yang berlaku di masyarakat...