• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab Dua CATATAN DARI LAPANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab Dua CATATAN DARI LAPANGAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

CATATAN DARI LAPANGAN

Pendahuluan

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yangoleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan (Basrowi & Suwandi, 2008; Riduwan & Kuncoro, Engkos, 2008; Ruslan, 2008; Strauss & Corbin, 2007; Marshall, Catherine & Gretchen, 1989). Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema-tema-tema yang umum dan menafsirkan makna data. (Creswell, 2013:4)1. Penelitian ini menerapkan cara pandang

penelitian yang bergaya induktif, berfokus terhadap makna individual, dan menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan.

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagaimana dirumuskan di atas, maka proses penelitian ini menyandarkan pada paradigma penelitian intepretatif dengan menggunakan metode kualitatif. Pengertian paradigma penelitian interpretatif yang dimaksudkan disini berhubungan dengan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan (dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian) yang didasarkan pada proses pemahaman melalui intepretasi dan pemaknaan dari realitas sosial terkait penelitian ini, yang tentu saja juga melibatkan proses intepretasi dan pemaknaan dari si peneliti (secara subyektif) terhadap hasil pengamatan atau temuan lapangan selama proses penelitian ini,

(2)

sehingga disertasi yang disajikan disini merupakan bahan dasar dari hasil intepretasi dan pemaknaan (Gunawan, 2012; Marshall, Catherine & Gretchen B Rossman, 1989).

Sedangkan maksud paradigma intepretatif adalah bahwa secara epistimologi penulis tidak menganut aliran positivisme, karena memang justru penulis memiliki sifat kritis dan secara ontologis menggunakan aliran konstruksionis, dengan alasan bahwa dari hasil-hasil lapangan, penulis mengkonstruksi data-data lapangan sehingga memunculkan hasil-hasil penelitian.

Dalam penulisan penelitian ini, penulis memasukkan tinjauan pustaka di dalam bab pendahuluan. Dengan posisi ini, pustaka atau literatur berfungsi sebagai dasar teotiris (theoretical foundation) atas masalah penelitian sehingga tinjauan pustaka tidak dibuat dalam bab yang terpisah (Creswell, 2013: 42; Sugiyono, 2009).

Mengapa Komunitas Desa Blimbingsari

Bagi penulis, seorang Bali yang memeluk agama Kristen Protestan, Desa Blimbingsari merupakan desa yang tidak asing. Terlebih lagi penulis bernaung di bawah Gereja Kristen Protestan di Bali yang kerap mengadakan acara-acara rohani di Desa Blimbingsari. Hal ini juga karena sejarah Gereja Kristen Protestan di Bali tidak dapat dilepaskan dari sejarah Desa Blimbingsari.

Desa Blimbingsari terletak di kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali, dengan penduduk mayoritas beragama Kristen Protestan di tengah-tengah masyarakat Bali yang sebagian besar menganut agama Hindu. Warga desa yang merupakan orang-orang Bali asli ini walau telah berpindah agama namun tidak meninggalkan kebudayaan asli mereka. Keunikan desa ini dapat dilihat dari arsitektur gereja yang jika dilihat dari depan nampak seperti sebuah pura. Tata ruang dalam membangun desa pun masih memegang kebudayaan Bali yang kuat.

(3)

Berawal dari sebuah desa pembuangan (meselong) yang miskin yang tidak berpengharapan hingga menjadi salah satu desa di Kabupaten Jembrana yang pada tahun 2011 terpilih dan ditetapkan oleh Gubernur Bali menjadi desa wisata dan berhasil membangun perekonomian Desa Blimbingsari dalam kurun waktu yang cepat. Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian di Desa Blimbingsari untuk melihat bagaimana proses tranformasi ini bisa terjadi serta faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi sehingga tranformasi di Desa Blimbingsari ini bisa terjadi.

Desa Blimbingsari yang terletak sekitar 25 km ke arah barat pusat kota Negara, Jembrana yang merupakan desa Kristen pertama di Bali dengan mayoritas penduduknya yang beragama Kristen (Protestan). Sepintas lalu sepertinya nyaris tidak ada yang berbeda dengan desa tradisional lainnya yang ada di Bali. Dari bentuk bangunan, pakaian, bahasa bahkan nama pendudukpun juga menggunakan nama Bali seperti Putu, Made, Nyoman dan lainnya. Tentu saja karena mereka merupakan orang-orang Bali dan bukan pendatang dari pulau lain. Walaupun telah beralih agama tetap memegang kebudayaan dan mempertahankan indentitas kebaliannya. Bahkan kebudayaan bali tidak hanya diserap dalam arstitektur gedung gereja namun juga nampak dalam setiap hari raya umat kristiani. Dimana ibadah diiringi gamelan Bali dengan pelayanan dalam Bahasa Bali serta penggunaan pakaian adat Bali. Hal inilah yang membuat desa ini menjadi unik dan menarik.

Menuju Lokasi Penelitian

Tidaklah sulit untuk mencapai Desa Blimbingsari yang terletak di sebelah barat pulau Bali ini. Menempuh waktu kira-kira 2,5 jam dari kota Denpasar kita akan sampai di desa ini. Tiba di Desa Blimbingsari ini bagaikan melepaskan kepenatan kota yang hiruk pikuk dengan kesibukan dan kebisingannya. Suasana tenang dan damai desa ini membuat penulis terlena untuk beristirahat sejenak melepaskan lelah setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang.

(4)

Berbekal surat ijin melakukan penelitian dari Program Pasca Sarjana Doktor Studi Pembangunan (PPsDSP) UKSW, penulis menemui Kepala Desa Blimbingsari I Made John Ronny. Kepala desa Blimbingsari menunjukkan penerimaan yang baik dan memudahkan penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Dapat dikatakan bahwa berkat bantuan Bapak Kepala Desa Blimbingsari, penulis dapat melakukan observasi, pengamatan langsung dan wawancara mendalam dengan semua informan.

Namun walau saya memiliki pertemanan dan persahabatan yang baik dengan Kepala Desa Made John Ronny, tetap saja peneliti mengadakan pendekatan dengan orang lain (informan) di luar dia. Seperti aparat desa di bagian kepala urusan (bidang), pemimpin wilayah atau enjungan dan pemimpin gereja serta majelis jemaat. Tidak hanya itu, penulis juga bertemu dengan para pengusaha Blimbingsari dan melakukan pendekatan-pendekatan agar saat proses pengumpulan data lebih lengkap dan bisa menjalin kepercayaan. Awalnya penulis merasa canggung untuk memulai percakapan. Tetapi akhirnya dari perjumpaan dengan para pengusaha tersebut terbuka relasi dan penulis menjadi lebih dekat. Cara agar tidak canggung penulis lakukan dengan makan siang bersama di keluarganya, walau sebenarnya agak malu untuk makan bersama dengan orang yang belum terlalu kita kenal, atau ikut mendengarkan dan diskusi dengan mereka setelah selesai makan.

Penelitian di Desa Blimbingsari

Pilihan wilayah akan memusatkan di Blimbingsari sebagai unit pengamatan, didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut. Pertama, bahwa dari awalnya desa ini adalah desa untuk pembuangan (meselong) yang miskin yang tidak berpengharapan, sampai saat ini menjadi desa Blimbingsari yang terpilih menjadi desa wisata dan makmur di Kabupaten Jembrana, yang mendapat bantuan dana dari Propinsi Bali. Kedua, Desa Blimbingsari terletak di kecamatan Melaya,

(5)

Kabupaten Jembrana, Bali, dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan, walau berada di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas Hindu. Artinya desa ini memiliki keunikan tersendiri yaitu terkenal dengan Desa Kristen (Pasikian Pekraman Kristen), belum pernah ada desa pekraman yang didasari oleh ajaran Kristen di Bali.

Ketiga, Luas tanah sekitar 400 (empat ratus) hektar, yang jumlah

penduduknya sekitar 230 (dua ratus tiga puluh) kepala keluarga diberikan dengan “cuma-cuma” oleh pemerintahan Belanda pada tahun 1931, berhasil membangun ekonomi Desa Blimbingsari dengan luar biasa. Keempat, Warga Blimbingsari memiliki banyak wirausaha yang sukses dalam bidang ternak sapi, ayam, babi dan lele serta hasil-hasil perkebunan seperti kopi, coklat dan kelapa. Kelima, desa ini mau menerapkan nilai-nilai kearifan lokal dalam mendukung pembangunan lokal. Selanjutnya secara detail akan dibahas di bab empat tentang kemajuan Desa Blimbingsari.

Selain pertimbangan metodologis, pemilihan Blimbingsari sebagai unit amatan juga karena alasan praktis. Wilayah Blimbingsari sudah dikenal dengan baik oleh penulis, sehingga akan mempermudah untuk mengorganisir dan mendapatkan data, bertemu informan kunci dan membuat penelitian ini akan lebih mendalam.

Membuka Relasi

Saat kepala desa Blimbingsari memperkenalkan penulis dengan sesepuh desa, disanalah penulis melihat suatu jalan dan lebih memiliki relasi lebih dalam dengan para warga senior, pengusaha (entrepreneur Blimbingsari), seperti peternak ayam, penjual buah kelapa, penjual coklat, peternak sapi, peternak babi, peternak lele, pedagang kelontong, penjual air isi ulang, pemilik sawah, hutan sengon, warung makan dan pemilik guest house/villa. Bahkan penulis bisa bertemu dengan pemanjat kelapa dan pengusaha pembuat gula kelapa yang sangat sederhana.

(6)

Tidak hanya sampai disitu, penulis juga ikut masuk ke ladang, sawah dan perkebunan yang mereka miliki, dan ikut dalam kegiatan dan usaha mereka. Ini menjadi hal yang menarik bagi penulis, yang biasanya penulis hidup di kota yang bergelimangan dengan tamu wisata/tourist dan hidup gemerlapan dengan dunia diskotik serta kemewahan hotel dan restoran. Namun demikian, penulis merasa tertarik dan tertantang untuk melakukan penelitian.

Mendapat Fasilitas Kepala Desa

Transport yang penulis pakai dari kota Denpasar ke Blimbingsari adalah kendaraan pribadi. Jaraknya yang cukup jauh dari Kota Denpasar, membuat letih dan lelah sebelum masuk ke Desa Blimbingsari untuk mengadakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Penulis mengumpulkan data dan melakukan wawancara mendalam serta melakukan dokumentasi semua aktivitas. Setiba di rumah kepala desa, penulis disuguhi kopi, dan teh serta beberapa kue pisang goreng dan nagasari. Setelah menikmati kudapan yang disiapkan, penulis minta ijin untuk berdiskusi dengan Bapak Kepala Desa tentang rencana penelitian dan bertemu sesepuh atau warga senior Blimbingsari (Ibu Ni Wayan Kari, Bapak I Gusti Rata dan Bapak Sunarya), pemerintah desa dinas (Kelian desa, juru arah dan jarannya), Pengurus dan Majelis Gereja Pniel Blimbingsari (Pdt. Ketut Suyaga Ayub dan majelis jemaat GKPB Pniel Blimbingsari) serta komite pariwisata (Pak Sudigda, Murti dan Ibu Cahya Herani A). Tentu semua itu difasilitasi oleh kepala desa. Seperti untuk masuk ke ladang dan sawah serta ke tempat usaha-usaha mereka, penulis menggunakan sepeda motor milik kepala desa, kadang-kadang meminjam motor milik salah satu keluarga kepala desa atau penduduk yang sudah dikenal. Penulis, biasanya tinggal dan berdiam sejenak di rumah kepala desa dan Pdt. Ketut Suyaga Ayub setelah dari observasi dan wawancara, bahkan terkadang langsung diantar ke sumber data (informan) secara mandiri. Karena sudah dekat dengan kepala desa dan tidak jarang penulis makan di rumah Bapak Kepala Desa, Made John Ronny, sambil

(7)

menanyakan tentang perubahan-perubahan Desa Blimbingsari dan jikalau kami merasa kurang lengkap, untuk mengumpulkan data, kami datang lagi ke Pak Kepala Desa dengan membuat janji terlebih dahulu.

Membangun Komunikasi dan Peralatan Penelitian

Sebagai peneliti, penulis harus elegan dan rendah hati agar bisa membangun komunikasi yang efektif dengan para informan. Karena penulis yang membutuhkan data dan informasi, maka sering penulis meminta nomer handphone atau nomer telepon rumah agar bisa menjalin komunikasi. Jikalau penulis mau bertemu untuk mengamati dan meneliti atau mengumpulkan data, bisa lebih cepat prosesnya. Disamping itu juga karena sudah ada rekomendasi dan himbauan dari kepala desa, bahwa penulis akan melakukan penelitian maka biasanya lebih cepat akrab dengan informan. Walaupun begitu, penulis tidak gegabah, artinya tetap membuat surat permohonan kepada Kecamatan Melaya, Kelurahan Desa Blimbingsari yang dibuat oleh PPs-DSP Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), yang isinya untuk memohon ijin untuk meneliti, baik di pemerintahan maupun di gereja. Tanpa ada rasa kepercayaan, bisa saja informasi yang diberikan hanya yang baik-baik saja. Cenderung datar, dan harmonis saja. Ketika rasa percaya timbul dan tumbuh, penulis tidak lagi dianggap orang asing tetapi sudah dianggap seperti orang dalam atau saudara dalam komunitas tersebut. Sehingga berpengaruh untuk pengumpulan data yang ‘apa adanya’ (Creswell, 2007).

Sebelum melakukan kegiatan penelitian, berbagai persiapan sudah dilakukan sejak awal. Kesiapan sangat diperlukan sebelum peneliti mulai masuk lokasi penelitian. Semua kebutuhan terkait secara matang dipersiapkan sehingga tidak mengganggu jalannya penelitian. Kebutuhan terkait itu seperti korespondensi, buku catatan lapangan, pedoman wawancara, kamera, dan voice recorder (perekam suara).

Adapun peralatan yang penulis bawa adalah alat digital voice

(8)

kantong baju yang tidak ribet untuk merekam suara informan (rekaman proses). Hasil rekaman ini setidaknya sangat membantu untuk didengar kembali dan dibuat transkripnya. Rekaman suara dari informan sangat vital, sehingga menghindari catatan yang terlupakan atau yang tidak sempat terakomodasi. Kadang-kadang saking asiknya diskusi penulis tidak sempat mencatat, namun karena ada rekaman, hal ini sangat membantu penulis.

Proses dan Dinamika serta Etika Pengumpulan Data

Lapangan

Setidaknya ada proses utama dalam proses pengumpulan data lapangan yaitu observasi dan wawancara mendalam (Moleong, 2009; Strauss & Corbin, 2007). Proses ini selalu dengan seksama, hati-hati, dan kritis. Tujuan pentingnya melihat reaksi dari objek penelitian: apakah mereka benar-benar sudah menerima penulis dengan kerelaan hati, untuk melakukan proses penelitian dan pengambilan data. Sebelum melakukan proses pengambilan data, langkah yang harus dipersiapkan lebih awal adalah mengecek kembali pedoman wawancara yang telah disusun, disesuaikan dengan tujuan penelitian. Walaupun dalam prosesnya (wawancara) ada indikator-indikator, pertanyaan-pertanyaan lain yang akan muncul (biasanya) untuk ditelusuri dalam wawancara.

Wawancara mendalam (in-depth interview) baru benar-benar terealisasi secara maksimal setelah rasa kepercayaan itu muncul, dengan demikian tidak ada informasi yang ditutup-tutupi atau dirahasiakan, kecuali hal-hal tertentu yang secara etis harus penulis jaga. Saat wawancara mendalam tidak ada alat perekam atau menyibukan diri dengan dokumentasi. Keduanya benar-benar sangat mengganggu jika dilakukan saat wawancara mendalam dan Informan menjadi merasa tidak nyaman. Biasanya pencatatan dilakukan pada malam hari.

(9)

Dari percakapan dengan kepala desa ini terpancar jalan-jalan untuk menemui para sesepuh dan orang-orang kunci sebagai informan yang sangat membantu peneliti, seperti I Gusti Rata sebagai warga senior yang paling lanjut usianya di Blimbingsari, yang nantinya akan memberikan kesaksiannya dan informasi tentang bagaimana orangtuanya berpindah kepercayaan (konversi agama dari Hindu ke Kristen) dan berpindah menuju ke Blimbingsari dari Badung Selatan ke

Alas Cekik, Jembrana, kemudian Pak Pdt. Wayan Sunarya, yang juga

sebagai saksi sejarah yang tahu tentang bagaimana komunitas Blimbingsari menggunakan Bus Sapakira menuju ke Alas Cekik, yang juga mengetahui sejarah awal kehidupan orang-orang Blimbingsari dan membuka lahan baru, kemudian berlanjut ke Bapak Pdt. Suyaga Ayub sebagai kepala rohani GKPB saat itu (Ketua Majelis Jemaat Pniel Blimbingsari), dan penulis kadang-kadang tinggal menetap di rumah bersama Pdt. Ayub dan kadang-kadang di rumah kepala desa untuk mengamati dan melakukan penelitian. Kemudian informan selanjutnya adalah kepala desa-kepala desa tetangga, dan mantan-mantan Kepala Desa Blimbingsari dan mantan pemimpin rohani di Blimbingsari.

Setiap kali melakukan wawancara mendalam penulis selalu mencermati situasi dan kondisi para informan. Hal yang paling mudah adalah dengan mencermati mimik muka jika mimik mukanya cerah, maka ini adalah waktu yang baik dan tepat untuk melakukan wawancara mendalam. Kesabaran sangat diperlukan jika mengahadapi situasi seperti ini.

Hal lain yang terkadang diabaikan adalah pengambilan gambar dan video atau merekam dengan alat perekam. Penulis mengusahakan terlebih dahulu meminta izin dari pihak yang bersangkutan, karena ini adalah etika seorang peneliti.

Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian ada di Desa Blimbingsari di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali (lihat gambar 2.1 Peta Pulau Bali).

(10)

Gambar 2.1. Peta Pulau Bali diambil dari Google earth

Blimbingsari terletak di sebelah tenggara gunung Kelatakan dengan sebutan “Alas Cekik”, dengan ketinggian 698 meter dari permukaan laut, Jembrana. Apa sebenarnya arti dari kata Alas Cekik tersebut? Bapak Made John Rony2 menyebutkan sebagai berikut: Alas artinya

Hutan, dan Cekik artinya Mengerikan. Jadi Blimbingsari ini dulunya adalah Hutan yang mengerikan. Lokasi Blimbingsari berada masuk ke dalam sekitar tujuh kilometer dari jalan besar Melaya-Gilimanuk, dengan jalan beraspal.

Teknik Pengumpulan Data

Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab langsung dengan para informan (warga

2

(11)

/penduduk) baik itu kepala desa, pemimpin rohani, sesepuh komunitas Desa Blimbingsari, beberapa diaspora komunitas Desa Blimbingsari, pengurus dan perangkat desa (LPM, LPD), Kecamatan dan Kelurahan Desa Blimbingsari dan pelayan Jemaat di Gereja Pniel Blimbingsari. Seperti yang dikemukakan oleh Subagyo (1995:34), wawancara merupakan kegiatan pengumpulan data melalui tanya jawab yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada informan. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara mendalam menggunakan pedoman wawancara (interview-guide) dengan para informan yang memahami tentang proses terbentuknya Desa Blimbingsari sampai terjadi transformasi sosial ekonomi Blimbingsari. Koentjaraningrat (1994:129) mengemukakan bahwa wawancara mendalam dalam suatu penelitian bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian mereka itu.

Teknik penentuan informan dilakukan secara purposive, yaitu informan yang mempunyai pengetahuan tentang proses terbentuknya Desa Blimbingsari sampai terjadi transformasi sosial ekonomi Blimbingsari, seperti tiga orang pendeta jemaat (10 tahun terakhir) yang melayani di Desa Blimbingsari, dua orang mantan Kepala Desa Blimbingsari, satu orang Kepala Desa Blimbingsari yang masih aktif, 2 orang sesepuh Desa Blimbingsari yang berumur lebih dari 93 tahun (Ibu Wayan Kari berusia 105 tahun).Bapak Gusti Rata (100 tahun) dan 1 orang sesepuh desa berusia lebih dari 70 tahun (Pdt I Wayan Sunarya, 72 tahun) dimana penulis melakukan wawancara mendalam berkenaan dengan awal mula kedatangan warga ke Blimbingsari dan pergumulan dan tantangan yang dihadapi serta peran kepemimpinan saat itu. Komite Pariwisata (Bapak Mutiyasa, Gede Sudigda dan Ibu Cahaya Herani Ayub). Kepala Desa tetangga Blimbingsari ( Nusa Sari,Candi Kesuma dan Melaya). Beberapa pengusaha Blimbingsari (Bapak Murji, bapak Karyan, Bapak Sukerta, Bapak Suwirya, Bapak Ketut Suyaga Ayub), tujuh tokoh masyarakat Kristen Blimbingsari, tiga orang yang terkena dampak Bom Bali 1, satu orang yang terkena dampak Bom Bali 2, 3 orang komite pariwisata Blimbingsari, satu orang

(12)

Bendesa Adat Blimbingsari, Ketua Bali Tourism Board (BTB), Camat Melaya, dan Bupati Jembrana, Prof. Dr. drg. Gede Winasa.

Penelitian Dokumen

Metode dokumenter adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan buku-buku tentang pendapat teori atau hukum yang berhubungan dengan masalah peneliatian (Margono,1997 : 187).

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode dokumentasi melalui suatu cara pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang ada atau catatan-catatan yang tersimpan, baik itu berupa buku, surat kabar dan lain sebagainya. Penulis juga menggunakan teknik observasi langsung melalui pengamatan dan pencatatan fenomena-fenomena yang tampak mengenai proses transformasi ekonomi Blimbingsari masa kini. Sebagaimana dikemukakan oleh Nawawi (1995:94), teknik ini adalah cara pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian yang pelaksanaannya langsung pada tempat di antara suatu peristiwa, keadaan atau situasi yang sedang terjadi masa kini. Sesuai dengan karakter penelitian kualitatif, maka teknik observasi atau pengamatan sangat penting karena merupakan cara untuk mengamati perilaku masa kini, dan benda-benda yang digunakan atau dihasilkan oleh masyarakat masa kini yang hendak dipahami melalui penelitian .

Demikian juga observasi yang dilakukan penulis untuk memperoleh data tentang berbagai informasi yang menyangkut obyek penelitian, adalah melalui pengamatan secara langsung tentang dampak transformasi ekonomi masa kini, terhadap komunitas Desa Blimbingsari, bagaimana daya tarik kota dan industri pariwisata yang notabene berada di Kuta, Denpasar sehingga komunitas Desa Blimbingsari melakukan perpindahan dari desa ke kota/urbanisasi yang menyebabkan komunitas Desa Blimbingsari menjadi “kehilangan“ warganya (desa sekarat). Serta ingin mengetahui strategi pembangunan

(13)

macam apa yang diterapkan di Desa Blimbingsari dalam menghadapi tantangan globalisasi ini, sehingga masyarakatnya tidak “keluar” atau “pindah” ke kota, dari strategi pembangunan baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Di lapangan, peneliti mengumpulkan data baik yang melalui wawancara dengan pihak-pihak yang memahami komunitas Desa Blimbingsari maupun pengamatan secara langsung. Peneliti melibatkan diri secara sistematis dan tidak mencolok sehingga tercipta suatu interaksi sosial yang intensif antara peneliti dengan masyarakat Desa Blimbingsari.

Trianggulasi

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dengan terbukanya akses untuk melakukan penelitian di Blimbingsari, maka pada tahapan ini penulis mulai menemui informan yang mampu memberikan informasi berdasarkan pedoman wawancara yang telah penulis susun sebelumnya. Pedoman wawancara ini penulis butuhkan sebagai pegangan agar pertanyaan-pertanyaan tetap terfokus pada arah untuk menjawab tujuan penelitian. Di samping itu data lapangan diperoleh juga melaui observasi langsung mengenai beberapa kejadian, fenomena, tindakan dan kenyataan yang teramati di Blimbingsari dan sekelilingnya. Metode ini dipentingkan sebagai bahan triangulasi terhadap data dari hasil wawancara, sehingga menurut Bungin (2007:65-66)3 melalui observasi akhirnya dapat diketahui dengan lebih

valid kejadian yang sebenarnya terjadi di unit amatan dan keterlibatan dari setiap warga Desa Blimbingsari secara lebih objektif.

Dalam teknik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Metode triangulasi berarti penulis menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Bila penulis menggunakan triangulasi, maka sebenarnya penulis

(14)

mengumpulkan data yang sekaligus menguji kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data.

Analisis Data

Studi ini adalah tentang proses transformasi yang bersifat

evolutiv dan longitudinal dan di masa lalu, jadi wawancara dan metode

dokumen adalah sumber utama data untuk research ini. Penulis ingin dan berupaya meningkatkan validity secara deskriptif, interpretatip dan teoritis kepada pembaca, sehingga penulis mewawancarai dua orang sesepuh desa ( Ibu Wayan Kari berumur 105 tahun dan Bapak I Gusti Rata berusia lebih dari 100 tahun). Di samping itu juga penulis menggunakan arsip-dukumen jaman dulu yang tersimpan di gereja atau buku yang berbicara tentang studi ini.

Penulis melakukan wawancara dengan sesepuh desa Ibu Wayan Kari dan Bapak I Gusti Rata yang sudah berusia lebih dari 90 tahun, Pdt. I Wayan Sunarya, Pdt. Ketut Suyaga Ayub. Pemilihan informan ini karena mereka adalah generasi pertama yang terlibat di dalam proses transmigrasi. Walaupun mereka sudah tua pendengarannya masih baik sehingga dapat menjawab pertanyaan penulis yang diajukan dalam Bahasa Bali dan semua pertanyaan ini dapat dimengerti. Kadang-kadang proses wawancara terhenti karena informan sambil/ nyambi bekerja. Wawancara itu tidak berlangsung sekali saja, bahkan sering penulis merasa kurang detail (kekurangan data yang lengkap), penulis mendatangi lagi informan tersebut, dan untuk memperoleh informan berikutnya terkadang penulis meminta rekomendasi dari informan sebelumnya. Metode ini dikenal sebagai Metode Bola Salju (snow boling method). Wawancara ini terjadi seperti bola salju dimana wawancara tersebut secara tidak langsung menyebutkan nama-nama informan yang perlu dan harus di wawancarai yang memiliki keterkaitan/keterhubungan. Misalnya Warga Blimbingsari mayoritas memiliki kebun kelapa dan menjualnya ke pengepul. Dan informan menyebutkan nama warga yang menjadi pengepul terbesar, tentu pengepul ini melakukan aktivitas ekonominya

(15)

seperti apa itu yang informan pertama tidak mengerti, sehingga penulis mencari tahu dimana warga atau pengepul (informan) itu tinggal dan lokasi rumahnya, penulis pergi ke sana dan melakukan wawancara yang penulis tidak bisa langsung melakukan wawancara mendalam dengan informan, karena informan masih membutuhkan waktu untuk membangun kepercayaan. Untuk membangun kepercayaan (trust) tersebut bisa melalui pendekatan informal (Creswell, 2013; Krippendorff, 1991).

Penelitian ini terdiri dari dua fase yaitu fase lama dan yang sekarang. Untuk fase yang lama penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pemanfataan oral history dan studi dokumen. Pada fase masa kini penelitian menggunakan metode observasi dan

interview.

Setelah data terkumpul melaui interview, penulis meneruskan dengan membuat transkrip hasil wawanvcraa berdasarkan wawancara itu. Setelah itu penulis membuat identifikasi tema dari data yang diperoleh dari interview, dan menyusun outline dan penulis akhirnya menulis (Miles dan Huberman,1992:17-19).

Sugiyono (2009) menyatakan bahwa ”yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah teks yang bersifat naratif”. Dengan demikian akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang sudah dipahami tersebut.

Penutup

Penelitian tidak akan pernah berakhir dan berhasil (selesai) ditulis, jika proses pengumpulan data, membaca dan merenung tidak ‘diakhiri’. Karena tidak akan ada habisnya.

Pekerjaan meneliti dan mencari data sangat mengasikkan, dan puas rasanya batin, apalagi bagi seorang akademisi atau dosen yang harus menjalankan tri dharma perguruan tinggi, karena data-data yang

(16)

ada di satu objek penelitian tersebut dengan persoalan penelitian yang berbeda. Oleh karena itu, sebagai peneliti harus berani dan tegas untuk memutuskan berhenti pada titik tersebut.

Gambar

Gambar 2.1. Peta Pulau Bali diambil dari Google earth

Referensi

Dokumen terkait

sistematis menurut aturan tertentu sehingga dapat digunakan sebagai sumber informasi oleh setiap pemakainya[2]. Secara definitif, perpustakaan sekolah adalah perpustakaan

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu catatan observasi, jurnal harian dan hasil evaluasi yang dilakukan sejak awal penelitian ( pre test ) sampai

Namun begitu, kajian ini lebih berminat kepada cadangan yang menyatakan bahawa korelasi antara darjah terkurang harga dengan tahap kecairan saham TAA di pasaran sekunder adalah

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan zona water content dengan metode resistivitas dan memetakan daerah rawan bencana tanah longsor dengan batasan daerah hanya

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Kualitas Pelayanan X1 mempunyai pengaruh positif terhadap Loyalitas Pelanggan Z yang dimediasi oleh: Kepuasan Pelanggan dan

Penentuan informan (key person) dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling yaitu teknik penentuan dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informan yang

Bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Bangkalan Nomor 6 Tahun 2006 tentang Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten

Sebelumnya perseroan juga telah memperoleh fasilitas pinjaman modal kerja tetap dari Bank Mandiri senilai US$ 50 juta atau setara dengan Rp 500 miliar yang merupakan