• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Topik diskusi mengenai bayi yang diduga sebagai korban akibat malpraktek.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Topik diskusi mengenai bayi yang diduga sebagai korban akibat malpraktek."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Diskusi kelompok kami berlangsung dua jam setiap sesinya, dimana terdapat satu sesi untuk satu kasus. Diskusi ini dilaksanakan pada hari Kamis, 28 April 2011 pukul 12.00 sampai 13.50 WIB. Peserta diskusi berjumlah 16 orang dan diskusi dipimpin oleh seorang ketua kelompok, yaitu Kamarudin Rizal dan didampingi oleh seorang sekretaris, yaitu L.Pt. Liana

Topik diskusi mengenai bayi yang diduga sebagai korban akibat malpraktek. Saat diskusi, semua peserta hadir tepat waktu. Suasana diskusi kami berjalan cukup baik.

(2)

BAB II LAPORAN KASUS

Seorang pasien bayi dibawa orang tuanya datang ke tempat praktek dokter A, seorang dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter obsgin B sewaktu melahirkan, dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. Baik dokter B maupun C tidak pernah mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit attau cedera sewaktu lahir dan dirawat disana. Sepuluh hari pasca lahir orang tua bayi menemukan benjolan di pundak kanan bayi.

Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai penunjangnya, pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah terbentuk kalus. Kepada dokter A, mereka meninta kepastian apakah benar terjadi patah tulang klavikula, dan kapan kira-kira terjadinya. Bila benar bahwa patah tulang tersebut terjadi sewaktu kelahiran, mereka akan menuntut dokter B karena telah mengakibatkan patah tulang dan C karena telah lalai tidak dapat mendiagnosisnya. Mereka juga menduga bahwa dokter C kurang kompeten sehingga sebaiknya ia merawat anaknya ke dokter A saja. Dokter A berpikir apa yang sebaiknya ia katakan.

(3)

ANALISIS KASUS

Ø Etika Kedokteran

Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap dan perbuatan seseorang indivudu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk dan benar salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya.

Terdapat 2 teori etika yang banyak dianut orang, yaitu : 1. Deontologi

yang mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari berbuatan itu sendiri (I Kant).

2. Teleologi

yang mengajarkan untuk melihat baik-buruk tindakan dengan melihat hasil dari tindakan tersebut atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills).

Beauchamp and Childress (1994) manguraikan bahwa untuk tercapainya suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules dibawahnya.

Keempat prinsip etika kedokteran tersebut adalah : 1. Prinsip Otonomi

yaitu prinsip moral yang menghormati hak_hak pasien, terutama hak-hak otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang melahirkan informed consent.

(4)

2. Prinsip Beneficence

yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan untuk kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar dari sisi buruknya (muradhat). 3. Prinsip Non-Maleficience

yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “above all do no harm”. 4. Prinsip Justice

yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).

Rules derivat dari etika Kedokteran adalah

1. Veracity berbicara jujur, benar dan terbuka 2. Privacy menghormati hak privasi pasien 3. Confidentiality menjaga kerahasiaan pasien 4. Fidelity loyalitas dan promise keeping

ØHubungan Dokter-Pasien

Paternalistik

Berdasarkan dari prinsip Beneficence dimana semua keputusan dokter mengabaikan otonomi dari pasien

(5)

Hubungan antara dokter dan pasien yang saling menghargai

Virtue Based Ethics

Hubungan tumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga tidak ada satupun ketentuan yang ditentukan pada permulaan dapat menentukan masa depan. Baik dokter maupun pasien harus tetap berdiaalog untuk menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan pasien. Tentu saja komunikasi yang baik tersebut membutuhkan prinsip-prinsip moral di atas, termasuk informed consent yang berasal dari prinsip otonomi.

Ø Hubungan Kesejawatan

KODEKI yang terkait dengan hubungan kesejawatan terdiri dari pasal-pasal sebagai berikut :

7b. Seorang dokter harus bersikap jujur dalam perhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.

7c. Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.

10. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

(6)

15. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur etis.

Ø Dampak hukum yang mungkin timbul dari keputusan dokter :

Hukum yang mungkin akan dikenakan dapat berasal dari tindakan yang disengaja (intentional), tindakan kelalaian (negligence) ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidak-kompetenan yang tidak beralasan dari dokter yang bersangkutan. Hukum-hukum adalah sebagai berikut :

1) Pasal 1365 KUH Perdata : tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

2) Pasal 1366 KUH Perdata : setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatiannya.

3) Pasal 1371 KUH Perdata : Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan.

4) Pasal 58 Undang-Undang no 36 tahun 2009:

(1)Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

(7)

(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5) Pasal 360 KUHP:

(1) Barang siapa Karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun

6) Pasal 361 KUHP:

Jika kejahatan yang di terangkan dalam bab ini dilakukan dalam mejalankan suatu jabatan atau pecarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat cabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusan di umumkan.

7) Pasal 267 KUHP :

(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberi surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

ØKesimpulan :

· Dari hasil pemeriksaan ditemukan fraktur klavikula kanan yang sudah terbentuk kalus, yang kemungkinan bisa saja disebabkan karena si anak terjatuh, atau karena hal lain.

(8)

· Dokter A bisa melakukan terapi terhadap pasien setelah melakukan diagnosis..

· Dan kalau memang keluarga pasien mencurigai perbuatan si dokter B dan ingin menuntut kerugian, maka dokter A bisa menjelaskan prosedur penuntutan sesuai Undang-Undang dan sesuai hak pasien karena kita tidak bias menilai dokter lain salah atau tidak Karen itu akan diputuskan dalam siding kodeki.

(9)

BAB III PEMBAHASAN

Bioetika

Bioetika adalah salah satu cabnag dari etik normative. Bioetik dan biomedical ethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek kedokteran dan atau penelitian di bidang biomedis.

Etika kedokteran

Didalam menentukan tindakan dibidang kesehatan atau kedokteran, selain mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar, keputusan hendaknya juga mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar diatas, terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.

Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap dan atau perbuatan sesorang individu atau intitusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut oleh orang adalah teori deontolog dan teleologi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, deontologi mengajarakan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri (I Kant), sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasilnya atau akibatnya (D Hume, J Benetham, JS Mills). Deontology lebih mendasarkan kepada ajaran agama , tradisi, dan budaya, sedangkan teleology lebih kearah penalaran dan pembenaran kepada azas manfaat.

Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai kesuatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah moral dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral tersebut adalah:

(10)

1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent.

2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi burknya (mudharat).

3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “above all do no harm”.

4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice). Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien), dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).

Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas yang harus dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan klinis, profesi kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct).

Kelalaian medik

Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan

(11)

oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.

Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves the physician’s failure

to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.”

WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek. “An injury occurring in the course of medical

treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability”.

Unsur-unsur kelalaian

Sebagaimana diuraikan di atas, di dalam suatu layanan medik dikenal gugatan ganti kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian medik. Suatu perbuatan atau tindakan medis disebut sebagai kelalaian apabila memenuhi empat unsur di bawah ini.

1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dasar dari adanya kewajiban ini adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety yang optimum.

(12)

2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. Dengan melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam menilai kewajiban dalam bentuk suatu standar pelayanan tertentu, haruslah kita tentukan terlebih dahulu tentang kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana. Suatu standar pelayanan umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal yang harus diberikan atau disediakan (das sein), namun kadang-kadang suatu standar juga melukiskan apa yang sebaiknya dilakukan atau disediakan (das sollen). Kedua uraian standar tersebut harus hati-hati diinterpretasikan. Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan yang “normal” sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan “What is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any other in an identical situation”.

3. Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. Jadi, unsur kerugian ini sangat berhubungan erat dengan unsur hubungan sebab-akibatnya. Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan kerugian immateriel. Kerugian yang materiel sifatnya dapat berupa kerugian yang nyata dan kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan. Kerugian yang nyata adalah “real cost” atau biaya yang dikeluarkan untuk perawatan / pengobatan penyakit atau cedera yang diakibatkan, baik yang telah dikeluarkan sampai saat gugatan diajukan maupun biaya yang masih akan dikeluarkan untuk perawatan / pemulihan. Kerugian juga dapat berupa kerugian akibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of opportunity). Kerugian lain yang lebih sulit dihitung adalah kerugian immateriel sebagai akibat dari sakit atau cacat atau kematian seseorang.

4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.

(13)

5. Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya ke-empat unsur di atas, dan apabila salah satu saja diantaranya tidak dapat dibuktikan maka gugatan tersebut dapat dinilai tidak cukup bukti.

Etika Kedokteran Indonesia dan Penanganan Pelanggaran Etika di Indonesia

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.

Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.

Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.

Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari (a) semakin tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif, (b) semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari luasnya arus informasi, (c) komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan

(14)

sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna, dan (d) provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.

Etik Profesi Kedokteran

Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter.

World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.

Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.

Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).

(15)

Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.

IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).

Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya” akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.

(16)

BAB IV

PENUTUP DAN UCAPAN TERIMAKASIH

Dengan, mengucap syukur atas ke hadirat Allah S.W.T., makalah ini dapat diselesaikan tanpa halangan yang berarti dan tepat waktu oleh penulis. Makalah ini merupakan hasil diskusi keenam kelompok 1 modul forensik Fakultas Kedokteran Trisakti.

Terimakasih kepada para dosen pengajar, tutor serta pihak-pihak lain yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini. Tak lupa kami juga ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak terkait lainnya, yang membantu tersusunnya makalah ini.

Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya, dan juga, kami mohon maaf apabila ada kekurangan dalam makalah ini, baik dari cara penyajiannya maupun isi dari makalah kami.

(17)

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto A, Widiatmaka W; Ilmu Kedokteran Forensik;, Bagian Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Edisi 1, Jakarta, 1997

2. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD; Bioetik dan Hukum Kedokteran; Bagian Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;Cetakan ke-2, Jakarta, 2005 3. Wiradharma D; Etika Profesi Medis; Penerbit Universitas Tisakti,Cetakan ke-3, Jakarta,

2005

4. Bertens K, Pengantar Bioetika; Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995; p 17-19

5. Unsur Kelalaian Medik. Available at

http://www.freewebs.com/kelalaianmedik/unsurkelalaian.htm. Accesssed on May 1st 2009

6. Kelalaian Medik. Available at http://www.freewebs.com/kelalaianmedik/ . Accessed on May 1st 2009

Referensi

Dokumen terkait

Baik Fleming dan Bond merupakan lulusan dari sekolah yang sama, memiliki makanan kesukaan yang sama (telur dadar dan minum kopi), memilikikegemaran yang sama

Dari beberapa pengertian mengenai anggaran sektor publik yang telah dikemukakan oleh para ahli, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa anggaran adalah tindakan

Himpunan semua polinom atas aljabar max- plus yang dilengkapi dengan operasi penjumlahan polinomial merupakan semi grup komutatif dengan elemen netral, sedangkan dengan operasi

Oleh karena belum mempunyai kcsanggupan untuk mem- buat rumah yang cukup baik m~a untuk sementnra mereka membuat gubuk di tempat-tcmpat tcrtentu yaitu di atas

Sedangkan dalam proses pengembangan Multimedia Pembelajarannya, peneliti menggunakan model prototype. Model Prototype adalah metode proses pembuatan sistem yang dibuat

Hasil pengukuran sebanyak 18 seri aliran untuk distribusi kecepatan dan distribusi konsentrasi sedimen suspensi menunjukkan bahwa kecepatan terbesar terjadi pada

Perilaku herding dapat terjadi pada saat suatu perusahaan atau sekelompok perusahaan dalam industri yang sama harus mengambil keputusan dengan berbagai jenis

Melihat carta dan / atau tayangan tentang peredaran darah manusia Mendata contoh penyakit yang berhubungan dengan sistem peredaran darah yang biasa dijumlai dalam