• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 124/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 86/PUU-XII/2014 PERIHAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 124/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 86/PUU-XII/2014 PERIHAL"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

--- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 34/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 43/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 59/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 65/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 86/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 123/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 124/PUU-XII/2014

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2008

TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH [PASAL 29 AYAT (1) DAN PASAL 3],

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH [PASAL 40, PASAL 150 AYAT (1) DAN PASAL 151 AYAT (2)],

PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA [PASAL 78 DAN PASAL 79], PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG

PELAYARAN,

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA [PASAL 2 HURUF A, HURUF I, HURUF J, PASAL 6, PASAL 58, PASAL 67, DAN PASAL 129 AYAT (2)], PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN

RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH [PASAL 327 AYAT (2) DAN AYAT (3)],

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN

PERWAKILAN RAKYAT DAERAH [PASAL 327 AYAT (1) HURUF A] TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

PENGUCAPAN PUTUSAN JAKARTA,

(2)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

--- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 34/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 43/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 59/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 65/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 86/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 123/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 124/PUU-XII/2014 PERIHAL

- Pengujian Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 3] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

- Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Pasal 40, Pasal 150 ayat (1), dan Pasal 151 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

- Pengujian Kitab Undang Hukum Pidana [Pasal 78 dan Pasal 79] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

- Pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

- Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara [Pasal 2 huruf a, huruf i, huruf j, Pasal 6, Pasal 58, Pasal 67, dan Pasal 129 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

- Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakya Daerah [Pasal 327 ayat (2) dan ayat (3)]

- Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Pasal 327 ayat (1) huruf a]

PEMOHON

1. Erwin Erfian Rifkinanda (Pemohon Perkara Nomor 34/PUU-XII/2014)

2. Koramen Haulian, Dolfijn Max Lawalata, Sampe Hotlan Sitorus (Pemohon Perkara Nomor 43/PUU-XII/2014)

3. Duhuaro Zega, Aroziduhu Zega, Arosokhi Zega (Pemohon Perkara Nomor 59/PUU-XII/2014) 4. Musa, Yuyun Wahyudi, Hasanudin Farid, dkk (Pemohon Perkara Nomor 65/PUU-XII/2014) 5. Forum Perjuangan Honorer Indonesia (FPHI) (Pemohon Perkara Nomor 86/PUU-XII/2014) 6. Jimmy Wilbaldus Sianto, Yucundianus Lepa, dan Jefri Unbanunaek (Pemohon Perkara Nomor

123/PUU-XII/2014)

7. Mohamad Sangaji, Veri Yonnevil, Wibi Andrino, dan Muannas (Pemohon Perkara Nomor 124/PUU-XII/2014)

(3)

ACARA

Pengucapan Putusan

Kamis, 22 Januari 2015, Pukul 14.26-15.58 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Arief Hidayat (Ketua)

2) Anwar Usman (Anggota)

3) Patrialis Akbar (Anggota)

4) Muhammad Alim (Anggota)

5) I Dewa Gede Palguna (Anggota)

6) Wahiduddin Adams (Anggota)

7) Maria Farida Indrati (Anggota)

8) Suhartoyo (Anggota)

Fadzlun Budi SN Panitera Pengganti

Rizki Amalia Panitera Pengganti

Rizki Amalia Panitera Pengganti

Yunita Ramadhani Panitera Pengganti

Dewi Nurul Savitri Panitera Pengganti

Rizki Amalia Panitera Pengganti

(4)

Pihak yang Hadir:

A. Pemohon Perkara Nomor 43/PUU-XII/2014: 1. Koramen Haulian

2. Dolfijn Max Lawalata 3. Sampe Hotlan Sitorus

B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 43/PUU-XII/2014: 1. Ivonne J.V. Purba

2. Sergius Mitakda

C. Pemohon Perkara Nomor 59/PUU-XII/2014: 1. Arosokhi Zega

2. Aronasehi Zega

D. Pemohon Perkara Nomor 65/PUU-XII/2014: 1. Musa

2. M. Agustian Ardianto

E. Pemohon Perkara Nomor 86/PUU-XII/2014: 1. Arif Kusuma Yuliansyah (FPHI)

2. Marsono

F. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 86/PUU-XII/2014: 1. Rochmadi Sularsono

2. Ramdan Alamsyah

G. Pemohon Perkara Nomor 124/PUU-XII/2014: 1. Wibi Andrino

2. Muannas

H. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 124/PUU-XII/2014: 1. Regginaldo Sultan I. PEMERINTAH: 1. Budijono 2. Tri Rahmanto J. DPR: 1. Dwi Frihartomo

(5)

1. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara ... maaf, saya ulangi. Sidang dalam Pengucapan Putusan Perkara Nomor 34/PUU-XII/2014, Nomor 43/PUU-34/PUU-XII/2014, Nomor 59/PUU-34/PUU-XII/2014, Nomor 65/PUU-XII/2014, Nomor 86/PUU-XII/2014, Nomor 123/PUU-XII/2014, dan Nomor 124/PUU-XII/2014, dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum.

Saya cek dulu kehadirannya, Pemohon Nomor 34/PUU-XII/2014, hadir? Tidak hadir. Pemohon Nomor 43/PUU-XII/2014? Hadir, ya. Tolong dinyalakan supaya terekam.

2. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR

43/PUU-XII/2014: IVONNE J.V. PURBA Nomor 43, hadir.

3. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Nomor 43, hadir ya. Nomor 59/PUU-XII/2014?

4. PEMOHON PERKARA NOMOR 59/PUU-XII/2014: AROSOKHI

ZEGA

Hadir.

5. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih. Perkara Nomor 65/PUU-XII/2014? Hadir, ya?

6. PEMOHON PERKARA NOMOR 65/PUU-XII/2014: MUSA

Hadir.

7. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Kemudian Nomor 86/PUU-XII/2014?

SIDANG DIBUKA PUKUL 14.26 WIB

(6)

8. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 86/PUU-XII/2014: ROCHMADI SULARSONO

Nomor 86/PUU-XII/2014, hadir.

9. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih. Pemohon Nomor 123/PUU-XII/2014? Tidak hadir. Pemohon Nomor 124/PUU-XII/2014?

10. PEMOHON PERKARA NOMOR 124/PUU-XII/2014: WIBI ANDRINO

Hadir, Yang Mulia. 11. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, DPR ada yang mewakili? 12. DPR: DWI FRIHARTOMO

Hadir, Yang Mulia. 13. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Hadir. Pemerintah yang mewakili presiden? 14. PEMERINTAH: BUDIJONO

Hadir, Yang Mulia. 15. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Hadir. Baik, kita mulai pembacaan Putusan Nomor 34/PUU-XII/2014 terlebih dahulu.

PUTUSAN

NOMOR 34/PUU-XII/2014

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

(7)

[1.2] Nama :Erwin Erfian Rifkinnanda Pekerjaan :Pedagang

Alamat :Jalan Mesjid Bendungan Nomor 5 RT 004/RW 007 Cawang Jakarta Timur

Selanjutnya disebut sebagai --- Pemohon; [1.3] Membaca permohonan Pemohon;

Mendengar keterangan Pemohon; Memeriksa bukti-bukti Pemohon.

16. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI

PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437, selanjutnya disebut UU 32/2004) yang menyatakan, “Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD” terhadap Pasal 23, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang masing-masing menyatakan:

1. Pasal 23, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat”;

2. Pasal 28C ayat (2), “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memeperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”;

3. Pasal 28E ayat (2), “Setiap orang berhak atas kebebasan

berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”; 4. Pasal 28H ayat (4), “ Setiap orang berhak mempunyai hak milik

pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”;

5. Pasal 28I ayat (1), “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar

(8)

hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”;

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disingkat UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) UU 32/2004 terhadap UUD 1945 yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

[3.5] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden” dalam melakukan pengujian atas suatu undang-undang. Dengan kata lain, Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum dan permohonan a quo cukup jelas, Mahkamah akan memutus perkara a quo tanpa mendengar keterangan dan/atau meminta

(9)

risalah rapat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden; [3.6] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan kedudukan

hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan mengenai permohonan Pemohon, sebagai berikut:

[3.7] Menimbang bahwa dalam permohonannya, Pemohon pada pokoknya mendalilkan:

a. Pemilihan kepala daerah berlangsung dengan biaya yang tidak sedikit, mencapai puluhan bahkan ratusan milyar, sehingga diprediksi bahwa negara menanggung biaya penyelenggaraan keseluruhan Pilkada hingga 20 trilyun (Bukti P-4). Dana yang telah dikeluarkan oleh negara untuk memilih kepala daerah menjadi mubazir dan tidak memiliki manfaat untuk kemakmuran rakyat, apabila kemudian kepala daerah yang telah terpilih oleh rakyat dalam Pilkada yang berbiaya banyak tersebut kemudian di tengah jalan begitu saja dapat berhenti untuk memenuhi rasa haus kekuasaan untuk meraih jabatan yang lebih tinggi bagi kepentingan diri sendiri dan partai; b. Dengan berlakunya Pasal 29 ayat (1) UU 32/2004 yang

memungkinkan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti dan meninggalkan kewajiban dan tugas yang telah diamanahkan oleh rakyat pemilih, demi mengejar ambisi pribadi dirinya (bukti P-9 dan P-10) dan kelompok partainya semata, dengan demikian keinginan dan harapan rakyat pemilih untuk memajukan diri demi memajukan bangsa dan negaranya melalui program kerja pemerintah daerah yang dilakukan pimpinan daerahnya menjadi tidak sepenuhnya terlaksana karena kepala daerahnya tidak ada;

c. Pemohon yang memiliki hak pilih seperti yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia berkeyakinan bahwa hak pilih adalah hak yang merupakan hak milik pribadi dan berdasarkan UUD 1945 tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, namun kepala daerah yang bermaksud mengundurkan diri padahal telah dipilih oleh rakyat secara langsung menyampaikan pengunduran dirinya kepada DPRD, seharusnya kepala daerah berkewajiban menyampaikan niat pengunduran diri tersebut langsung kepada rakyatnya melalui mekanisme referendum atau penentuan pendapat rakyat, karena hak pilih rakyat adalah hak milik pribadi. Siapapun yang dipilih oleh rakyat maka harus menyelesaikan tugasnya secara sempurna terkecuali dengan alasan yang tidak terhindarkan (force majeure) atau alasan yang merupakan hal yang tak terelakan

(10)

(act of God), tetapi tentunya tidak dengan alasan berhenti untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi dengan meninggalkan begitu saja rakyat para pemilih;

[3.8] Menimbang bahwa dengan mempertimbangkan dalil-dalil permohonan Pemohon tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak jelas maksud dan tujuannya. Di satu sisi Pemohon menginginkan agar siapapun yang dipilih oleh rakyat menjadi kepala daerah harus menyelesaikan tugasnya secara sempurna terkecuali dengan alasan yang tidak terhindarkan (force majeure) atau alasan yang merupakan hal yang tak terelakkan (act of God) dan tidak berhenti dengan alasan untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi dengan meninggalkan begitu saja rakyat para pemilih. Namun di sisi lain sebagaimana tersebut di dalam sebagian posita dan petitum permohonannya, Pemohon menginginkan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) UU 32/2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, seandainya sebagian dalil Pemohon tersebut benar dan permohonan dikabulkan oleh Mahkamah dengan menyatakan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) UU 32/2004 bertentangan dengan UUD 1945, justru hal yang diinginkan oleh Pemohon terkait mekanisme pemberhentian kepala daerah menjadi tidak ada norma yang mengaturnya, sehingga dengan demikian menurut Mahkamah, antara posita dengan petitum permohonan Pemohon tidak sejalan;

Selain itu, Pemohon juga tidak menjelaskan secara rinci mengenai kerugian konstitusional Pemohon akibat berlakunya Undang-Undang a quo. Padahal Mahkamah dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan telah memberikan nasihat mengenai hal tersebut supaya permohonan Pemohon menjadi jelas serta lengkap dan untuk itu Pemohon telah diberikan tenggang waktu sebagaimana mestinya, akan tetapi permohonan Pemohon tetap seperti diuraikan di atas, yakni kabur, tidak jelas, dan tidak lengkap;

[3.9] Menimbang bahwa Mahkamah telah memanggil Pemohon secara sah dan patut untuk hadir dalam persidangan tanggal 28 April 2014 berdasarkan Surat Panitera Mahkamah Konstitusi Nomor 421.34/PAN.MK/4/2014, tanggal 24 April 2014 perihal Panggilan Sidang, namun ternyata Pemohon tidak hadir untuk menyampaikan perbaikan permohonannya;

[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon a quo kabur, sehingga tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30 huruf a dan Pasal 31 ayat (1) UU MK.

(11)

Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) dan pokok permohonan Pemohon;

17. KETUA: ARIEF HIDAYAT

KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; [4.2] Permohonan Pemohon kabur atau tidak jelas;

[4.3] Kedudukan hukum (legal standing) dan pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 5076);

AMAR PUTUSAN Mengadili,

Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva, sebagai Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Aswanto, Anwar Usman, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal enam bulan Mei tahun dua ribu empat belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh dua bulan Januari tahun dua ribu lima belas, selesai diucapkan pukul 14.40 WIB, oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat, sebagai Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman,

(12)

Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Fadzlun Budi SN sebagai Panitera Pengganti, dihadiri Presiden atau yang mewakili dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, tanpa dihadiri oleh Pemohon.

PUTUSAN

NOMOR 43/PUU-XII/2014

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh:

[1.2] 1. Nama : Koramen Haulian Sirait

Pekerjaan : Dosen

Alamat :Gang Beringin II/246, RT/RW 003/010, Malaka Jaya, Duren Sawit, Jakarta Timur Sebagai --- Pemohon I; 2. Nama : Dolfijn Max Lawalata

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jalan Jaksa Nomor 5, RT/RW 001/005, Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat

Sebagai --- Pemohon II;

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 2 April 2014 memberi kuasa kepada Ivonne J.V.Purba, S.H., advokat yang berkantor pada kantor advokat Emeoni, Jalan Cempaka Warna Nomor 30 RT 03/RW 04, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai --- Para Pemohon; [1.3] Membaca permohonan para Pemohon;

Mendengar keterangan para Pemohon; Memeriksa bukti-bukti para Pemohon;

(13)

18. HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN

Pendapat Mahkamah

[3.13] Menimbang bahwa, menurut Mahkamah, posita permohonan para Pemohon bertentangan satu sama lain. Di satu sisi para Pemohon menguraikan bahwa proses input data dan proses rekapitulasi penghitungan suara melalui sistem informasi harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan seperti dinyatakan dalam Pasal 173 ayat (1) UU 8/2012 dan Pasal 248 UU 42/2008. Namun di sisi lain, para Pemohon menguraikan bahwa pembentukan Pasal 173 ayat (1) UU 8/2012 dan Pasal 248 UU 42/2008 tidak jelas rumusannya sehingga tidak memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan. Selain itu, antara posita dengan petitum permohonan para Pemohon tidak konsisten satu sama lain. Dalam posita para Pemohon memohon pengujian formil atas Pasal 173 UU 8/2012 dan Pasal 248 UU 42/2008, namun dalam petitum para Pemohon tidak memohon putusan terkait pengujian formil dimaksud. Di samping itu, pengujian formil bukan menyangkut pasal dalam Undang melainkan berkenaan dengan pembentukan Undang yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang berdasarkan UUD 1945;

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon a quo kabur atau tidak jelas.

19. KETUA: ARIEF HIDAYAT

KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;

[4.3] Permohonan para Pemohon kabur atau tidak jelas.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

(14)

tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

AMAR PUTUSAN Mengadili,

Menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Muhammad Alim, Aswanto, Patrialis Akbar, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal lima belas, bulan Juli, tahun dua ribu empat belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh dua, bulan Januari, tahun dua ribu lima belas, selesai diucapkan pukul 14.44 WIB, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Rizki Amalia sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

PUTUSAN

NOMOR 59/PUU-XII/2014

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh:

[1.2] 1. Nama : Duhuaro Zega Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Kampung Lawira RT/RW 02/01, Dusun I, Desa Hilisaloo, Kecamatan Sitoluori,

(15)

Kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara

Sebagai --- Pemohon I; 2. Nama : Aroziduhu Zega

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Kampung Lawira RT/RW 02/01, Dusun I, Desa Hilisaloo, Kecamatan Sitoluori,

Kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara

Sebagai --- Pemohon II; 3. Nama : Arosokhi Zega

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Kampung Lawira RT/RW 02/01, Dusun I, Desa Hilisaloo, Kecamatan Sitoluori, Kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara

Sebagai --- Pemohon III; 4. Nama : Aronasokhi Zega

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Kampung Lawira RT/RW 02/01, Dusun I, Desa Hilisaloo, Kecamatan Sitoluori,

Kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara

Sebagai --- Pemohon IV; 5. Nama : Arozatulo Zega

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Kampung Lawira RT/RW 02/01, Dusun I, Desa Hilisaloo, Kecamatan Sitoluori,

Kabupaten Nias Utara Provinsi Sumatera Utara

Sebagai --- Pemohon V; Selanjutnya Selanjutnya disebut sebagai --- Para Pemohon [1.3] Membaca permohonan para Pemohon;

Mendengar keterangan para Pemohon; Memeriksa bukti-bukti para Pemohon; 20. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 78 dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

(16)

Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209, selanjutnya disebut UU 8/1981), yang masing-masing menyatakan:

Pasal 78

(1) Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan.

(2) Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.

Pasal 79

Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945, yang masing-masing menyatakan:

Pasal 27 ayat (1)

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya

Pasal 28D ayat (1)

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;

Pasal 28G ayat (1)

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi

Pasal 28H ayat (2)

Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan

Pasal 28I ayat (2)

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:

(17)

b. kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo;

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;

[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 78 dan Pasal 79 UU 8/1981 terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

[3.5] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai permohonan para Pemohon, Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden”, karena pasal tersebut menggunakan kata “dapat” maka Mahkamah tidak harus mendengar keterangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden dalam melakukan pengujian atas suatu Undang-Undang. Dengan kata lain Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum dalam permohonan a quo sudah jelas, maka Mahkamah memandang tidak ada urgensi dan relevansi untuk meminta keterangan dan/atau risalah rapat dari Majelis

(18)

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, sehingga Mahkamah langsung mempertimbangkan dan kemudian memutus permohonan a quo tanpa meminta keterangan dari lembaga-lembaga negara dimaksud;

[3.6] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan mengenai permohonan para Pemohon sebagai berikut:

[3.6.1]Bahwa para Pemohon mengajukan pengujian konstitusionalitas frasa “daluwarsa” dalam Pasal 78 dan Pasal 79 UU 8/1981 terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Para Pemohon menguraikan dalam posita bahwa bunyi dari Pasal 78 dan Pasal 79 UU 8/1981 adalah sebagai berikut:

“Bahwa norma yang terdapat dalam Pasal 78 BAB VIII Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [sic!], bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menganut prinsip kepastian hukum, sehingga kepastian hukum yang berkeadilan melarang terjadinya diskriminasi untuk melakukan pengabdian bagi bangsa dan Negara Indonesia. Norma yang terdapat dalam Pasal 78 ayat (1), Kewenangan menuntut pidana hapus kerena daluwarsa: poin 1 menyebutkan, mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun; poin 2 menyebutkan, Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; poin 3 menyebutkan, Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun sesudah dua belas tahun; poin 4 menyebutkan, Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun. Dan ayat (2), Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurang menjadi sepertiga.

... Pasal 79 BAB VIII Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [sic!], Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut: poin 1 menyebutkan, Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan; poin 2 menyebutkan, Mengenai kejahatan dalam pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan

(19)

atau meninggal dunia; poin 3 menyebutkan, Mengenai pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengan pasal 558a, tenggang dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran pelanggaran itu, menurut aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus pindah ke kantor panitera suatu pengadilan, dipindah ke kantor tersebut, ...” [3.6.2]Bahwa selanjutnya dalam petitum permohonan, para Pemohon, antara lain, memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 78 dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76) khususnya frasa “daluwarsa” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD RI Tahun 1945;

[3.7] Menimbang bahwa terhadap dalil dalam posita dan petitum tersebut di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon telah salah mencantumkan Undang-Undang yang dimaksudkan untuk dimohonkan pengujiannya kepada Mahkamah. Pasal 78 dan Pasal 79 UU 8/1981 masing-masing menyatakan:

Pasal 78

(1)Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan.

(2) Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.

Pasal 79

Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Adapun permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 78 dan Pasal 79 sebagaimana dalil permohonan para Pemohon dalam paragraf [3.6.1] dan paragraf [3.6.2] adalah pasal-pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209). Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon adalah kabur atau tidak jelas;

[3.8] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon kabur atau tidak jelas maka Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan lebih lanjut tentang kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dan pokok permohonan;

(20)

21. KETUA: ARIEF HIDAYAT

KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; [4.2] Permohonan para Pemohon kabur atau tidak jelas;

[4.3] Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

AMAR PUTUSAN Mengadili,

Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Muhammad Alim, Aswanto, Patrialis Akbar, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota pada hari Rabu, tanggal tiga bulan September, tahun dua ribu empat belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh dua bulan Januari tahun dua ribu lima belas, selesai diucapkan pukul 14.58 WIB, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo, masing-masing

(21)

sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Rizki Amalia sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

PUTUSAN

NOMOR 65/PUU-XII/2014

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] Nama : Musa

Pekerjaan : Wiraswasta/Koordinator LSM FORKOT Gresik Alamat : Desa Bedanten RT 08/03 Bungah, Gresik.

sebagai --- Pemohon I;

Nama : Yuyun Wahyudi

Pekerjaan : Sekretaris FORKOT Gresik

Alamat : Desa Mojo Asem RT 03/03 Bunggah, Gresik

sebagai --- Pemohon II;

Nama : Hasanudin Farid

Pekerjaan : Anggota FORKOT Gresik

Alamat : Desa Cerme Lor RT 02/03 Cerme, Gresik

sebagai --- Pemohon III;

Nama : Al Ushudi

Pekerjaan : Anggota FORKOT Gresik

Alamat : Desa Pundut Terate RT 13/03 Benjeng, Gresik

sebagai --- Pemohon IV;

Nama : Arif Riduwan

Pekerjaan : Anggota FORKOT Gresik

Alamat : Jalan Gubernur Suryo XI-A Tlogopojok, Gresik

sebagai --- Pemohon V;

Nama : Mohammad Agustian Ardianto Pekerjaan : Anggota FORKOT Gresik

Alamat : Desa Lasem RT 01/03 Sedayu, Gresik

sebagai --- Pemohon VI;

(22)

Selanjutnya disebut sebagai --- Para Pemohon; [1.3] Membaca permohonan para Pemohon;

Mendengar keterangan para Pemohon;

Memeriksa bukti-bukti tertulis para Pemohon; 22. HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR

PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 72 ayat (1), Pasal 77, Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 111 ayat (1), Pasal 197, dan Pasal 207 ayat (3) Undang Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849, selanjutnya disebut UU 17/2008) terhadap Pasal 18 ayat (5), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal berikut:

a. kewenangan Mahkamah mengadili permohonan a quo;

b.kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo.

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada

(23)

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Undang-Undang, in casu UU 17/2008, terhadap UUD 1945, oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya

(24)

potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa dalam permohonannya para Pemohon mendalilkan bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon VI sebagai badan hukum privat, Forum Kota (FORKOT) Gresik, yang telah terdaftar pada Kementerian Dalam Negeri melalui Kantor Kesatuan Bangsa Politik Dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Gresik Nomor 280/258/437.77/2010, tanggal 30 April 2010 (vide bukti P-3). Para Pemohon pada pokoknya mendalilkan sebagai berikut:

- Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU 17/2008 telah mengakibatkan partisipasi masyarakat menjadi terabaikan karena terjadi sentralisasi kebijakan dan kewenangan yang menghilangkan potensi pendapatan daerah sektor kepelabuhanan;

- Bahwa Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) UU 17/2008 mengakibatkan setiap usulan program kesejahteraan dan penataan lingkungan sekitar pelabuhan dalam perencanaan pembangunan tidak dapat dilakukan dan tidak terakomodasi karena segala kebijakan menyangkut penataan sekitar pelabuhan menjadi kewenangan otoritas pelabuhan secara mutlak. Hal ini menjadi hambatan bagi para Pemohon khususnya dan masyarakat Gresik pada umumnya dalam mendapatkan hak-haknya dari program Pemerintah Kabupaten Gresik untuk mensejahterakan masyarakat karena terancam akan kehilangan pendapatan asli daerah (PAD) di sektor kepelabuhanan. Di samping itu juga menghambat pelayanan jasa kepelabuhanan yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Gresik;

- Bahwa Pasal 72 ayat (1) UU 17/2008 yang mengatur bahwa lokasi pelabuhan ditetapkan oleh Menteri bertentangan dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 yang menentukan bahwa Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya. Adapun Penjelasan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa perizinan lokasi pelabuhan di wilayah laut 4 mil oleh Bupati/Walikota, untuk lokasi pelabuhan di wilayah laut 4 sampai dengan 12 mil

(25)

oleh Gubenur, dan untuk lokasi pelabuhan di wilayah laut 12 mil ke atas oleh Menteri;

- Bahwa Pasal 77 UU 17/2008 yang mengatur penetapan wilayah tertentu di daratan atau di perairan dapat ditetapkan oleh Menteri menjadi lokasi yang berfungsi sebagai pelabuhan, bertentangan dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 yang menetapkan bahwa Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya;

- Bahwa Pasal 111 ayat (1) UU 17/2008 yang mengatur bahwa kegiatan pelabuhan untuk menunjang kelancaran perdagangan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dilakukan oleh pelabuhan utama, hal ini akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi komoditas ekspor barang-barang Indonesia yang berasal dari kabupaten/kota yang mempunyai pelabuhan laut tersendiri;

- Bahwa Pasal 197 UU 17/2008 mengatur bahwa untuk kepentingan keselamatan dan keamanan pelayaran, desain dan pekerjaan pengerukan alur pelayaran dan kolam pelabuhan serta reklamasi wajib mendapatkan izin pemerintah, bertentangan dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 yang menetapkan bahwa Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya;

- Bahwa Pasal 207 ayat (3) UU 17/2008 mengatur bahwa Syahbandar diangkat oleh Menteri, hal ini bertentangan dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 yang menetapkan bahwa Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya.

[3.8] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mencermati dengan saksama, pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon pada pokoknya berkaitan dengan kewenangan dalam mengatur hal-hal terkait kepelabuhanan, didalilkan oleh para Pemohon akan berpengaruh pada pendapatan asli daerah. Menurut Mahkamah hal demikian terkait erat dengan kepentingan daerah, in casu, Kota Gresik.

Mengenai kewenangan untuk mewakili kepentingan daerah di dalam dan di luar pengadilan, Mahkamah terlebih dahulu perlu mengutip Putusan Nomor 47/PUU-XI/2012, bertanggal 21 Februari 2013, dalam paragraf [3.13], yang antara lain, mempertimbangkan, “Menimbang bahwa selain itu, karena yang ditetapkan dalam pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon adalah soal batas wilayah daerah yang berkaitan erat dengan kepentingan daerah terutama menyangkut PAD, maka berdasarkan ketentuan Pasal 25 hururf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua

(26)

Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844), yang menyatakan, “Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang: ... f. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, maka para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena dua alasan yaitu: pertama, sejauh menyangkut PAD, para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional sebagaimana dipertimbangkan di atas, dan: kedua, sejauh menyangkut hak mewakili kepentingan daerah para Pemohon bukan kepala daerah dan tidak mendapat kuasa hukum yang sah dari kepala daerah yang bersangkutan”.

Dalam putusan-putusan selanjutnya, yaitu Putusan Nomor 61/PUU-XII/2014, Putusan Nomor 70/PUU-XII/2014, dan Putusan Nomor 71/PUU-XII/2014, ketiganya bertanggal 6 November 2014, Mahkamah menegaskan pendiriannya bahwa yang memiliki kewenangan mewakili daerah di dalam dan di luar pengadilan adalah pemerintahan daerah dalam hal ini kepala daerah dan DPRD. Mahkamah menegaskan kembali bahwa Pasal 65 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 23/2014) tetap mempertahankan substansi ketentuan Pasal 25 huruf f UU 32/2004 juncto UU 12/2008 yang mengatur tugas dan kewenangan kepala daerah untuk mewakili daerahnya, di dalam dan di luar pengadilan;

Oleh karena itu, berdasarkan putusan-putusan Mahkamah terdahulu, dan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK, menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia maupun sebagai anggota organisasi FORKOT Gresik tidak dapat mewakili kepentingan daerah di hadapan Mahkamah tanpa adanya surat kuasa yang sah dari pemerintahan daerah. Adapun pihak yang berwenang mewakili kepentingan daerah adalah pemerintahan daerah. Lagipula para Pemohon juga tidak menjelaskan kedudukan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI apakah mewakili FORKOT Gresik dalam kedudukannya sebagai koordinator, sekretaris dan anggota organisasi, atau sebagai perseorangan warga masyarakat Gresik yang merupakan anggota organisasi FORKOT Gresik. Selain itu Mahkamah juga tidak menemukan adanya kerugian konstitusional baik faktual maupun potensial yang akan dialami oleh para Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon;

(27)

[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon;

23. KETUA: ARIEF HIDAYAT

KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;

[4.3] Pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh tujuh Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, Muhammad Alim, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, dan Aswanto, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal enam belas bulan September tahun dua ribu empat belas,

(28)

yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh dua bulan Januari tahun dua ribu lima belas, selesai diucapkan pukul 15.13 WIB, oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Yunita Rhamadani sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon, Presiden/yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat/yang mewakili.

PUTUSAN Nomor 86/PUU-XII/2014

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] 1. Nama : Rochmadi Sularsono, Psi. Tempat, tanggal

lahir : Malang, 22 Januari 1963

Alamat : Jalan Sembodro II/10, Purbosuman, Ponorogo

2. Nama : Marsono

Tempat, tanggal

lahir : Ponorogo, 3 November 1983 3. 4. 5. 6. Alamat Nama Tempat, tanggal lahir Alamat Nama Tempat, tanggal lahir Alamat Nama Tempat, tanggal lahir Alamat Nama : : : : : : : : : : : Jalan Onggolono, RT. 05 RW. 02, Desa Golan Sukorejo, Ponorogo Kholid Hanafi

Ponorogo, 14 Juni 1977

Dukuh Tenggang RT. 01 RW. 04 Desa Ngrupit, Jenangan, Ponorogo Arif Kusuma Yuliansyah

Ponorogo, 27 Juli 1977

Dusun Tamansari, Desa Sambit Kecamatan Sambit, Ponorogo

Haryuni

Ponorogo, 19 Februari 1978

Jalan Srikandi RT. 03 RW. 01, Gandu Mlarak, Ponorogo

(29)

7. Tempat, tanggal lahir, Alamat Nama Tempat, tanggal lahir Alamat : : : : : Ponorogo, 8 Februari 1990

Jalan Bataro Katong 40, Ponorogo Indah Puspitaningrum

Nganjuk, 25 Juli 1981

Perum Kertosari Indah Blok N, Nomor 9 RT. 01 RW. 02, Kertosaro Babadan, Ponorogo

Selanjutnya disebut sebagai---Para Pemohon; [1.3] Membaca permohonan para Pemohon;

Mendengar keterangan para Pemohon; Memeriksa bukti-bukti para Pemohon; 24. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS

PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 6, Pasal 18 ayat (1), Pasal 20 ayat (3), Pasal 58 ayat (3), Pasal 67, Pasal 75 ayat (5) dan ayat (6), Pasal 96 ayat (2), Pasal 105 ayat (1) huruf e, Pasal 109, Pasal 118, Pasal 120, Pasal 129 ayat (2), Pasal 136, dan Pasal 139 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494, selanjutnya disebut UU ASN) terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28J ayat (2), Pasal 30 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo dan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan mengenai kewenangan Mahkamah mengadili permohonan a quo , sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

(30)

Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disingkat UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disingkat UU Kekuasaan Kehakiman), salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 6, Pasal 18 ayat (1), Pasal 20 ayat (3), Pasal 58 ayat (3), Pasal 67, Pasal 75 ayat (5) dan ayat (6), Pasal 96 ayat (2), Pasal 105 ayat (1) huruf e, Pasal 109, Pasal 118, Pasal 120, Pasal 129 ayat (2), Pasal 136, dan Pasal 139 UU ASN terhadap UUD 1945 yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga Mahkamah berwenang untuk mengadili perkara a quo;

[3.5] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permohonan para Pemohon, Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden” dalam melakukan pengujian atas suatu Undang-Undang. Dengan kata lain, Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum dan permohonan a quo telah jelas, Mahkamah memandang tidak ada urgensi dan relevansinya untuk meminta keterangan dan/atau risalah rapat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, sehingga Mahkamah langsung memutus permohonan a quo; [3.6] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan kedudukan

hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan mengenai permohonan para Pemohon, sebagai berikut.

[3.7] Menimbang bahwa dalam permohonannya, para Pemohon mendalilkan:

1. Hak konstitusional para Pemohon yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dirugikan yang disebabkan sumpah dan janji

(31)

PNS yang ada pada Pasal 65 ayat (2) UU ASN bagian sumpah dan janji PNS, terutama frasa “Negara dan Pemerintah” serta kalimat “mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku”;

2. Para Pemohon mendalilkan sengketa Undang-Undang, yakni: a. Pencabutan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (selanjutnya disebut UU 43/1999) dan implikasi hukumnya. Dalam konteks ini, para Pemohon mempermasalahkan hal-hal sebagai berikut:

1) Pasal 137 UU ASN mencabut ketentuan Bab V Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mulai Pasal 129 sampai dengan Pasal 135 dan peraturan pelaksanaannya;

2) Pasal 16 ayat (1) UU 43/1999 membatasi pengangkatan pegawai negeri sipil secara langsung oleh Pemerintah;

3. UU 43/1999 tidak mengatur secara khusus manajemen pegawai tidak tetap;

4. Pencabutan UU 43/1999 pada UU ASN menciptakan ketidakrunutan aturan hukum, khususnya menyangkut anggota TNI dan POLRI, serta ketidakadilan bagi pegawai tidak tetap;

b. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (selanjutnya disebut UU 14/2005) serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut UU 20/2003) dan problematikanya. Dalam konteks ini, para Pemohon mempermasalahkan hal-hal sebagai berikut:

1) Pasal 41 ayat (1) UU 20/2003 mengatur pendidik dan tenaga kependidikan yang bisa bekerja lintas daerah yang ternyata dalam penjelasannya “dapat bekerja dimana pun dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Penggunaan kata “memperhatikan” memiliki kekaburan makna dalam konteks pemenuhan prinsip kepastian hukum apakah cukup diperhatikan atau harus dipatuhi;

2) Tidak ada satu ayat pun dalam Pasal 42 UU 20/2003 yang menerangkan kualifikasi minimum tenaga kependidikan serta syarat lain yang perlu dan relevan berkaitan dengan manajemen kepegawaian tenaga pendidik dan kependidikan;

(32)

c. Tenaga Kesehatan dan Undang-Undangnya:

Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU 36/2009) menyatakan, “Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang.” Namun menurut para Pemohon, tenaga kesehatan yang diatur dengan Undang-Undang hanyalah profesi kedokteran, sementara tenaga kesehatan lainnya khususnya yang bekerja pada sarana kesehatan milik pemerintah dan pemerintah daerah paling tinggi diatur dalam Peraturan Pemerintah;

d. Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (selanjutnya disebut UU 25/2009) berkaitan dengan UU 20/2003 serta UU 14/2005 dan UU 36/2009 serta Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU 44/2009):

Menurut para Pemohon, pengangkatan tenaga tidak tetap baik pada rumah sakit (Pemerintah dan/atau Pemda) maupun pada sarana kesehatan milik pemerintah menjadi benar bilamana sesuai dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan dan UU 44/2009 tentang Rumah Sakit dan tidak bertentangan dengan PP 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP 43/2005 masih terdapat perkenan [sic!] mengangkat tenaga kesehatan yang dinyatakan masih berlaku dan pada PP 56/2012 tidak ada ketentuan yang mencabutnya

e. Peraturan Pemerintah khusus dan implikasinya. Dalam konteks ini, para Pemohon mempermasalahkan hal-hal sebagai berikut:

1) PP 48/2005 merugikan setiap individu honorer yang terdaftar secara resmi setelah tanggal penentuan tersebut (hari Senin, tanggal 3 Januari 2005) hingga 11 November 2005 bila mengacu pada tanggal penerbitan PP 48/2005. Hal ini menimbulkan masalah adanya tenaga yang kerja honorer yang diangkat sebelum berlakunya PP 48/2005;

2) PP 43/2007 tentang Perubahan Atas PP 48/2005 tidak juga mengatur bagi kepentingan sebagian tenaga honorer non kategori, bahkan menimbulkan diskriminasi, seperti yang tertera pada Pasal 3 ayat (2) huruf b “masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 (satu) tahun secara terus-menerus”. Namun PP ini memperkenankan pengangkatan tenaga kesehatan tertentu (dokter dan bidan) sebagai tenaga honorer;

(33)

3) PP 56/2012 tentang Perubahan Kedua PP 48/2005 semakin membebani karena tidak menjelaskan nasib tenaga honorer;

f. Tenaga kesehatan dokter sudah diatur dalam Undang-Undang, namun tenaga kesehatan lainnya seperti psikolog, petugas farmasi, perawat, bidan, elektromedis, sanitarian belum diatur. Sementara, pasal yang ada dalam UU ASN membingungkan bila membandingkan Pasal 18 ayat (1) s.d. ayat (3) dan Pasal 131 huruf f UU ASN, terutama frasa “fungsional umum setara dengan jabatan pelaksana”;

5. Kepastian hukum baik dalam kapasitas sebagai PNS atau PPPK tidak akan bisa terwujud karena terdapat pertentangan ayat dalam UU ASN [lihat Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU ASN], terutama pada ayat (2) jabatan tertentu dapat diisi dengan prajurit TNI dan anggota Kepolisian RI hanya pada instansi pusat, bandingkan dengan Pasal 109 ayat (2) yang ternyata membenarkan pada instansi Pemerintah, tetapi pada bagian (pasal/ayat) yang diatur hanya Pejabat Pimpinan Tinggi (tanpa dibagi utama, madya, dan pratama);

6. Perlakuan diskriminatif dan mengusik keadilan tampak pada UU ASN terutama bila membandingkan antara Pasal 77 ayat (5) terutama kata “sanksi” dan dijabarkan pada Pasal 77 ayat (6) terutama frasa “...Penilaian kinerjanya tidak memenuhi target kinerja dikenakan sanksi administrasi sampai pemberhentian”;

7. Bagian keempat UU ASN mulai Pasal 93 s.d. Pasal 107 merupakan mimpi buruk bagi pegawai honorer non-kategori karena dengan UU ASN nasib belum terwadahi dan menghadapi badai berupa pengaturan PPPK yang ada sebelum nasib tenaga honorer non-kategori dipastikan, sehingga tidak dapat mencerminkan kepastian hukum dan kelanjutan kariernya, karena perlakuan yang ada pada UU ASN yang beranggapan seolah-olah pelamar PPPK berpengalaman nol tahun;

[3.8] Menimbang bahwa dalam posita permohonan, para Pemohon mempermasalahkan pasal-pasal UU ASN, yaitu Pasal 6, Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 58 ayat (3), Pasal 65 ayat (2), Pasal 67, Pasal 77 ayat (5) dan ayat (6), Pasal 93 sampai dengan Pasal 107, Pasal 109 ayat (2), Pasal 118, Pasal 129 ayat (2), Pasal 131, Pasal 136, Pasal 137, serta Pasal 139, yang menurut para Pemohon dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

[3.9] Menimbang bahwa selanjutnya dalam petitum permohonan, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan bahwa

(34)

Pasal 6, Pasal 18 ayat (1), Pasal 20 ayat (3), Pasal 58 ayat (3), Pasal 67, Pasal 75 ayat (5) dan ayat (6), Pasal 96 ayat (2), Pasal 105 ayat (1) huruf e, Pasal 109, Pasal 118, Pasal 120, Pasal 129 ayat (2), Pasal 136, dan Pasal 139 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28J ayat (2), Pasal 30 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 34 ayat (2) UUD 1945;

[3.10] Menimbang bahwa setelah mencermati permohonan para Pemohon, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak fokus menguraikan dengan jelas dan terperinci permohonannya karena para Pemohon justru mendalilkan sengketa antara berbagai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yakni UU 43/1999 (Undang-Undang yang telah dinyatakan dicabut oleh UU ASN), UU 14/2005, UU 20/2003, UU 36/2009, UU 25/2009, PP 48/2005, PP 43/2007, dan PP 56/2012. Semestinya para Pemohon memaparkan secara detail pasal-pasal UU ASN yang dimohonkan pengujian dengan mengemukakan alasan yang jelas dan argumentasi hukum bahwa pasal UU ASN yang dimohonkan pengujian dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, sengketa peraturan perundang-undangan yang didalilkan para Pemohon tidaklah tepat karena hal tersebut justru terkait dengan hal yang berhubungan dengan materi muatan sinkronisasi atau harmonisasi peraturan perundang-undangan yang bukan merupakan kewenangan Mahkamah;

Selain itu, para Pemohon juga salah mendalilkan ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU ASN karena Pasal 65 ayat (2) UU ASN sesungguhnya menyatakan, “Calon PNS yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat menjadi PNS oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Dengan demikian, ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU ASN bukanlah mengenai sumpah dan janji PNS sebagaimana yang didalilkan para Pemohon;

[3.11] Menimbang bahwa, menurut Mahkamah, antara posita dan petitum permohonan para Pemohon terdapat pertentangan satu sama lain. Di satu sisi, dalam posita permohonan, para Pemohon mempermasalahkan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 65 ayat (2), Pasal 77 ayat (5) dan ayat (6), Pasal 93 sampai dengan Pasal 107, Pasal 131, serta Pasal 137 UU ASN. Namun demikian, para Pemohon tidak menyebutkan pasal-pasal yang dipermasalahkan tersebut dalam petitumnya, kecuali Pasal 105 ayat (1) huruf e UU ASN. Sementara di sisi lain, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar ketentuan Pasal 75 ayat (5) dan ayat (6), serta Pasal 120 UU ASN dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tetapi para Pemohon tidak

Referensi

Dokumen terkait

5.3.2 Vsebina Evropskega kodeksa policijske etike Evropski kodeks temelji na vrsti različnih priporočil in resolucij, sicer pa obsega področje organizacije policije, izbora

Satu-satunya pendekatan terhadap perempuan dalam pembangunan yang melihat semua aspek kehidupan perempuan dan semua kerja yang dilakukan perempuan kerja

Hal lain yang menjelaskan bahwa Sang Buddha mengkonsumsi daging dijelaskan dalam Anguttara Nikaya 5.44 yang menceritakan tentang seorang umat awam, Ugga, yang

Grafik rerata skor panelis terhadap kecepatan larut tablet effervescent wortel Hasil uji Friedman menujukkan bahwa perlakuan penambahan natrium bikarbonat dan asam sitrat

Pada diagram use case terdapat 2 actor yang digambarkan, yaitu : user dan admin dimana pada actor pertama yaitu user dapat mengakses website secara online dan

Berdasarkan hasil analisis petrografi dari conto sayatan tipis (thin section), maka litologi penyusun batuan sumur SR-1 terdiri dari lava berjenis Andesit dan Tufa yang

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan sesuai atau tidaknya butir soal tes membaca bahasa

Soal selidik dibina (lihat lampiran 1) untuk kajian yang akan diisi sendiri oleh responden merangkumi perkara penting yang berkaitan iaitu status sosioekonomi, persepsi terhadap