• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PEJANTAN SAPI BALI BERDASARKAN SIFAT PERTUMBUHAN MENGGUNAKAN METODE ANIMAL MODEL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI PEJANTAN SAPI BALI BERDASARKAN SIFAT PERTUMBUHAN MENGGUNAKAN METODE ANIMAL MODEL"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PEJANTAN SAPI BALI BERDASARKAN

SIFAT PERTUMBUHAN MENGGUNAKAN

METODE ANIMAL MODEL

(Evaluation of Bali Cattle Bull Based on Animal Model Method)

ANDOYO SUPRIYANTONO1,L.HAKIM2,SUYADI2danISMUDIONO3

1Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua, Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari 2Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Jl. Veteran Dinoyo, Malang

3Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Jl. Mulyorejo, Surabaya 60115

ABSTRACT

Bali Cattle is one of Indonesian germplasm. The cattle has many advantages for development in the tropics. The purpose of the study was to evaluate Bali cattle bulls in P3Bali based on animal models method. Data used was comprised of 428 weaning weight data, yearling weight and body weight gain derived from 28 males. Prediction of components of genetic and environment variance and co-variance, and heritability were obtained from data nalysis using VCE 4.2. Breeding value was estimated on the traits of production: weaning weight, yearling weight and body weight gain using PEST. The heritability of weaning weight, yearling weight and body weight gain was 0.09 ± 0.15, 0.27 ± 0.13, 0.47 ± 0.15, respectively. The straw coded number 4 is the best bull with relative breeding value of 33.227 kg.

Key Words: Bali Cattle, Animal Model, Evaluation, Production Traits

ABSTRAK

Sapi Bali merupakan salah satu plasma nutfah Indonesia. Sapi ini mempunyai banyak kelebihan untuk dikembangkan di daerah tropis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pejantan-pejantan sapi Bali yang berada di P3Bali berdasarkan metode animal model. Data yang digunakan meliputi data bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan sebanyak 428 data yang berasal dari 28 pejantan. Pendugaan komponen ragam dan peragam genetika dan lingkungan, dan nilai heritabilitas diperoleh dengan menggunakan paket program VCE 4.2. Estimasi nilai pemuliaan dilakukan terhadap karakter produksi: bobot sapih, bobot setahun, dan pertambahan bobot badan dengan menggunakan paket program PEST. Nilai heritabilitas bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan berturut-turut adalah 0,09 ± 0,15, 0,27

± 0,13, dan 0,47 ± 0,15. Pejantan semen beku dengan kode pejantan no.4 merupakan pejantan terbaik dengan nilai pemuliaan relatif 33,227 kg.

Kata Kunci: Sapi Bali, Animal Model, Evaluasi, Karakter Produksi

PENDAHULUAN

Permintaan daging di Indonesia setiap tahunnya meningkat sebesar 6 – 8% terutama di daerah yang padat penduduknya seperti pulau Jawa. Pemenuhan daging dalam negeri sebagian dipasok oleh sapi-sapi lokal antara lain sapi Bali, sapi Ongole, sapi Madura dan beberapa bangsa sapi lain. Menurut data statistik peternakan Indonesia (DITJENNAK,

2009), populasi sapi Bali menempati jumlah

terbanyak (26,92 persen) dibandingkan dengan bangsa sapi lain, itu berarti kontribusi sapi Bali dalam memenuhi kebutuhan daging sangat berarti.

Kinerja pertumbuhan sapi Bali selama ini menjadi perhatian utama terutama pada karakter produksi (peningkatan bobot badan, bobot lahir dan bobot sapih) dan reproduksi

(service per conception, calving rate dan

calving interval). Beberapa hasil penelitian

(2)

conception sebesar 1,8 – 2,00 (MASTIKA, 2002), calving rate 64 – 78% (BAMUALIM dan

WIRDAHAYATI, 2002), produksi sperma 2,6 x 109 per hari (MCCOOL, 1992). Pertambahan bobot badan dengan pakan yang baik dapat mencapai 0,7 kg/hari (jantan dewasa) dan 0,6 kg/hari (betina dewasa), persentase karkas berkisar antara 51,5 – 59,8%, dengan persentase tulang kurang dari 15 persen dan dagingnya berkadar lemak rendah (PANE, 1991).

Potensi-potensi tersebut mendorong Pemerintah untuk melestarikan dan mengembangkan sumber daya genetik sapi Bali di kawasan sumber bibit ternak dengan membentuk Proyek Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali (P3Bali) yang didirikan pada tahun 1976, yang sejak tahun 2006 berubah menjadi BPTU Sapi Bali. P3Bali mengemban misi memperbaiki mutu sapi Bali dan menghasilkan pejantan unggul yang dapat dipakai sebagai sumber semen beku. Seleksi pejantan sapi Bali dilakukan melalui

performance test dan uji progeny secara

konvensional.

Metode untuk mengevaluasi pejantan banyak tersedia dan sudah banyak dilakukan terutama untuk mengevaluasi pejantan sapi perah yang banyak tersebar di beberapa negara (MALTECCA et al., 2004; LECLERCet al., 2005;

LECLERC et al., 2006) maupun dalam satu negara (NORMAN et al., 2005; SUN et al., 2009). Untuk sapi potong, terutama sapi Bali sangat sedikit informasi yang tersedia mengenai metode evaluasi pejantan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pejantan-pejantan sapi Bali yang berada di P3Bali berdasarkan metode animal model.

MATERI DAN METODE

Data yang digunakan untuk mengevaluasi pejantan sapi Bali meliputi data bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan sebanyak 428 data yang berasal dari 28 pejantan. Data dikumpulkan sejak tahun 1994 hingga tahun 2004. Data bobot sapih diperoleh dari pedet-pedet yang disapih pada umur 186 – 220 hari baik jantan maupun betina, kemudian pada umur 360 – 310 hari sapi ditimbang kembali untuk memperoleh data bobot setahun. Data pertambahan bobot badan

diperoleh dengan mengurangkan antara bobot setahun dan bobot sapih.

Pendugaan komponen ragam dan peragam genetika dan lingkungan, dan nilai heritabilitas diperoleh dengan menggunakan paket program VCE 4.2 (GROENEVELD, 1998). Pengaruh tetap

untuk bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan adalah curah hujan, umur pengukuran dan tahun kelahiran, sedangkan pengaruh acak untuk semua karakter adalah ternak.

Secara umum model statistik untuk animal

model adalah sebagai berikut:

Y = Xb + Zu + e

Y: vektor pengamatan berukuran n × 1

B: vektor dari pengaruh tetap yang berukuran

p × l

U: vektor dari pengaruh acak yang berukuran

q × l yang memiliki matriks ragam peragam G yang merupakan vektor nilai pemuliaan yang dievaluasi

X: matriks yang diketahui yang menyatakan pengaruh tetap (b)

Z: matriks yang diketahui yang menyatakan pengaruh acak (u)

E: vektor acak yang tak dapat diamati ber-ukuran n × l dengan matriks ragam peragam R

Data dianalisis sesuai dengan estimasi masing-masing. Analisis data diperlukan untuk mengestimasi nilai heritabilitas dan nilai pemuliaan. Penaksiran heritabilitas untuk semua sifat dilakukan dengan menggunakan rumus heritabilitas: P a 2 2

s

s

s2

a: ragam genetik aditif

s2

P: ragam phenotip

Penyelesaian estimasi heritabilitas tersebut dilakukan dengan menggunakan program VCE 4.2 (GROENEVELD, 1998).

Estimasi NP dilakukan pada individu itu sendiri, pejantan dan induk yang menurunkan individu tersebut. Estimasi NP dilakukan terhadap karakter bobot sapih, bobot setahun, dan pertambahan bobot badan. Estimasi NP setiap karakter dilakukan dengan menggunakan paket program PEST dengan memasukkan nilai-nilai ragam genetik (vg) dan ragam

(3)

lingkungan (ve) dari karakter yang sama.

Nilai-nilai tersebut diperoleh dari output program VCE 4.2

HASIL DAN PEMBAHASAN Estimasi nilai heritabilitas bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan Tabel 1.

Nilai heritabilitas yang tinggi menunjukkan lebih eratnya korelasi antara nilai fenotip dan nilai pemuliaan suatu sifat. Hasil penelitian JAN (2000) di Instalasi Populasi Dasar (IPD) dengan metode PATERNAL HALF-SIB dan

SUKMASARI et al. (2002) di lokasi Pulukan dengan menggunakan perangkat lunak VCE pada karakter bobot sapih dan bobot setahun sapi Bali memperoleh nilai heritabilitas sebesar 0,44 ± 0,09 dan 0,23 ± 0,02 untuk bobot sapih; 0,10 ± 0,05 dan 0,38 ± 0,02 untuk bobot setahun. Pada bangsa sapi Angus nilai heritabilitas bobot sapih sangat beragam, berkisar 0,20 – 0,66 (KAPSet al., 2000).

Adanya perbedaan nilai heritabilitas ini disebabkan karena perbedaan populasi yang mempunyai lingkungan yang heterogen sehingga mengurangi nilai heritabilitas dan frekuensi gen yang juga berbeda (MACNEILet al., 2000), di samping itu perbedaan metode analisis sehingga menyebabkan perbedaan keakuratan (KEALEY et al., 2006). Pengaruh metode analisis akan menyangkut ragam genetik yang turut dianalisis, sedangkan ragam lingkungan dialami oleh individu selama hidupnya atau sampai individu tersebut diamati. Nilai heritabilitas tergantung pada besarnya komponen-komponen ragam yang menyusunnya, apabila ada perubahan pada komponen ragam maka akan mempengaruhi nilai heritabilitas karena heritabilitas adalah bagian dari keragaman total dari suatu sifat yang disebabkan oleh pengaruh genetik (WARWICK et al., 1990). Ditambahkan oleh DAVIS dan SIMMEN (2006) perbedaan nilai

heritabilitas bisa disebabkan karena pengaruh

sampling.

Nilai heritabilitas bobot sapih penelitian ini lebih rendah dari yang diharapkan bahkan simpangan baku nya lebih besar daripada nilai heritabilitasnya. Animal model yang digunakan tidak dapat memperoleh nilai heritabilitas sesuai yang diharapkan yaitu 0,30 – 0,55.

Maternal effect yang coba dimasukkan dalam

model juga tidak menunjukkan hasil yang baik. Beberapa pencilan data bobot sapih yang dibuang juga tidak membantu dalam peningkatan nilai heritabilitas. Nilai heritabilitas yang rendah diduga disebabkan sebaran data yang tidak normal. Model yang digunakan mensyaratkan adanya suatu sebaran data yang normal sebelum dilakukan analisis dengan menggunakan animal model. KEALEY

et al. (2006) menyatakan bahwa rendahnya

estimasi keragaman genetik mengindikasikan adanya pengaruh lingkungan. Penyebab lain rendahnya nilai heritabilitas adalah sedikitnya jumlah data yang digunakan untuk menduga nilai heritabilitas bobot sapih yaitu sebanyak 428 data. Hasil ini sesuai dengan REVERTERet al. (2000) bahwa semua estimasi parameter genetik mempunyai standar error yang tinggi disebabkan oleh jumlah data yang terbatas.

REVERTER (1998) membandingkan metode-metode penaksiran parameter genetik menggunakan data simulasi dengan level heritabilitas yang berbeda dan mendapatkan bahwa heritabilitas yang lebih tinggi berhubungan dengan keakuratan nilai pemuliaan yang lebih tinggi. Keakuratan nilai pemuliaan untuk suatu sifat dengan level heritabilitas rendah dapat diperbaiki menggunakan multiple trait model termasuk sifat-sifat berkorelasi yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi (SUN et al., 2010).

Nilai pemuliaan pejantan-pejantan yang dievaluasi berdasarkan metode animal model

disajikan pada Tabel 2, yang dapat diringkas seperti pada Gambar 1, Gambar 2, Gambar 3 dan Gambar 4.

Tabel 1. Heritabilitas (diagonal) dan korelasi genetik (di atas diagonal)

Karakter Bobot sapih Bobot setahun PBB

Bobot sapih 0,09 ± 0,15 0,314 0,182

Bobot setahun 0,27 ± 0,13 0,809

(4)

Tabel 2. Evaluasi pemuliaan pejantan berdasarkan nilai pemuliaan bobot sapi, bobot setahun dan pertambahan bobot badan berdasarkan metode Animal Model

Kode pejantan Nomor pejantan NP bobot sapih NP bobot setahun NP PBB NP kumulatif Ranking 1. 1 8,564 9,874 2,672 21,11 4 2. 2 -11,235 -2,934 -5,529 -19,698 26 3. 3 -11,743 9,461 5,436 3,154 12 4. 4 1,728 20,748 10,751 33,227 1 5. 5 4,725 -13,566 -3,708 -12,549 24 6. 6 -2,635 -1,312 3,568 -0,379 15 7. 7 3,029 -2,878 -3,709 -3,558 19 8. 8 4,073 2,184 -0,71 5,547 9 9. 9 -4,618 -0,82 1,99 -3,448 18 10. 10 -3,633 2,51 2,288 1,165 13 11. 11 7,242 -3,599 0,346 3,989 11 12. 72698 -7,606 -4,106 -1,191 -12,903 25 13. 73091 -3,251 -7,826 2,908 -8,169 22 14. 73491 1,825 8,439 -0,817 9,447 7 15. 73688 -2 -15,844 -5,618 -23,462 27 16. 73996 12,164 -0,383 -0,912 10,869 6 17. 74591 5,085 -1,568 -2,903 0,614 14 18. 75994 -8,41 9,793 6,659 8,042 8 19. 77789 4,649 8,905 8,476 22,03 3 20. 79792 8,151 15,680 6,303 30,134 2 21. 105293 7,517 9,583 1,928 19,028 5 22. 110296 3,519 0,056 0,420 3,995 10 23. 309293 -9,093 3,813 2,395 -2,885 17 24. 329293 -1,244 -3,02 -0,807 -5,071 21 25. 333494 2,291 -12,532 1,281 -8,960 23 26. 401899 -4,009 1,896 -1,825 -3,938 20 27. 417291 0,951 -1,857 -0,301 -1,207 16 28. 417292 -9,882 -28,319 -25,483 -63,684 28

Urutan pejantan terbaik berdasarkan nilai pemuliaan bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan ternyata menempatkan pejantan alami lebih banyak daripada pejantan IB. Pejantan dengan kode nomor 1 – 11 merupakan mani beku yang berasal dari dari BIB Singosari. Gambar 1 menunjukkan bahwa dari 28 ekor pejantan yang diuji, 53,57% diantaranya mempunyai nilai pemuliaan bobot sapih positif dan sisanya mempunyai nilai pemuliaan bobot sapih

negatif. Dari 28 ekor pejantan yang diuji, 11 ekor merupakan pejantan yang memproduksi mani beku yang berasal dari BIB Singosari tetapi hanya 54,54% (6 ekor) yang mempunyai nilai pemuliaan bobot sapih positif.

Pada karakter bobot setahun, dari 28 ekor pejantan yang diuji 42,86% mempunyai nilai pemuliaan positif. Jumlah pejantan yang memproduksi mani beku sebanyak 11 ekor dengan nilai pemuliaan positif hanya 18,18% (dua ekor).

(5)

-10 -5 0 5 10 15 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 N il a i P e m u li a a n

Gambar 1.Nilai pemuliaan bobot sapih

-20 -10 0 10 20 30 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 N il a i P e m u li a a n

Gambar 2. Nilai pemuliaan bobot setahun

-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 Kode Pejantan N il a i Pe m u li a a n

(6)

-80 -60 -40 -20 0 20 40 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 Kode Pe jantan N il a i P e m u li a a n Series1

Gambar 4. Nilai Pemuliaan kumulatif bobot badan

Nilai pemuliaan pertambahan bobot badan dari pejantan-pejantan yang diuji, sebanyak 53,57% mempunyai nilai pemuliaan positif, 46,67% diantaranya merupakan pejantan IB. Sedikitnya pejantan IB yang masuk dalam sepuluh terbaik mengindikasikan bahwa pejantan lokal yang digunakan sudah beradaptasi dengan baik pada lingkungan tropis sehingga dapat mengekspresikan kemampuan genetiknya dengan baik. Walaupun diketahui bahwa pejantan IB memiliki keunggulan secara genetik karena memang sudah teruji sebelumnya namun ternyata dari hasil evaluasi ternyata pejantan lokal masih lebih baik.

Urutan nilai pemuliaan kumulatif tertinggi adalah pejantan dengan kode nomor 4 dengan nilai pemuliaan relatif sebesar 33,227, ini berarti bahwa apabila pejantan nomor 4 dikawinkan dengan induk secara acak maka rataan keunggulan bobot sapih anak-anaknya akan menunjukkan keunggulan sekitar 16,6135 dari populasinya, karena keunggulan pejantan akan diturunkan sebanyak setengah dari nilai pemuliaan (HARDJOSUBROTO, 1994).

Metode animal model telah teruji dengan baik untuk mengevaluasi pejantan terutama untuk sapi perah. Hasil penelitian SUN et al.

(2009) yang membandingkan metode sire

model dan animal model menyimpulkan bahwa

metode animal model jauh lebih baik dalam evaluasi genetik sifat-sifat fertilitas pada populasi DANISH HOLSTEIN. Reliabilitas nilai pemuliaan untuk animal model juga lebih baik jika dibandingkan dengan sire model, meningkat dari 0,21 untuk sire model menjadi 0,27 untuk animal model (SUN et al., 2009).

Namun demikian sire model saat ini banyak digunakan untuk evaluasi genetik sifat-sifat fertilitas di banyak negara (INTERBULL, 2009).

Pemanfaatan sire model didasarkan pada kelebihan metode ini yaitu perhitungan lebih sederhana dan mempunyai prediksi yang baik di bawah kondisi tidak terdapat hubungan genetik antara pejantan dan induk, antara induk dan induk dan perkawinan terjadi secara acak (SCHAEFFER, 1983). Sementara itu, keuntungan

animal model antara lain model ini

memungkinkan penggunaan catatan sapi betina secara langsung untuk memprediksi nilai pemuliaannya sementara pada sire model

catatan sapi betina hanya digunakan sebagai catatan keturunan dan nilai pemuliaannya diperoleh melalui saudaranya (SUN et al., 2009).

Evaluasi pejantan dengan menggunakan banyak informasi dari keturunannya akan meningkatkan keakuratan. POWELL et al.

(2000) menunjukkan bahwa informasi tambahan dari keturunan betina yang berlokasi di negara lain memperbaiki kemampuan evaluasi pejantan untuk memprediksi hasil keturunan yang akan datang.

Seekor pejantan apabila digunakan sebagai pemacek secara alami mempunyai keterbatasan antara lain karena umur. Selanjutnya apabila dilihat dari umur, maka pejantan yang masuk dalam kategori sepuluh besar semuanya sudah tua. Pemanfaatan pejantan-pejantan non IB yang masuk dalam sepuluh besar hendaknya mulai dipikirkan lagi, sebaiknya pejantan -pejantan yang dimaksud dimanfaatkan semennya untuk tujuan IB.

(7)

KESIMPULAN

Metode animal model dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengevaluasi pejantan sapi Bali berdasarkan nilai pemuliaan dari karakter bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan. Berdasarkan hasil evaluasi, pejantan IB masih merupakan pejantan terbaik walaupun dalam urutan 10 besar pejantan alami juga masuk dalam kategori baik.

DAFTAR PUSTAKA

BAMUALIM, A. and R.B. WIRDAHAYATI. 2002. Nutrition and management strategies to improve Bali cattle productivity in Nusa Tenggara. Working Papers: Bali Cattle Workshop. Bali, 4 – 7 February 2002. DAVIS, M.E. and R.C.M. SIMMEN. 2006. Genetic

parameter estimates for serum insulin-like growth factor I concentrations, and body weight and weight gains in Angus beef cattle divergently selected for serum insulin-like growth factor I concentration. J. Anim. Sci. 84: 2299 – 2308.

DITJENNAK. 2009. BPS Peternakan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta. GROENEVELD,E. 1998. VCE 4.2 Programme, User’s

Guide and Manual Version 1.1. Institut Furr Tierzuch Und Tierverhalten, FAL, Mariensee. HARDJOSUBROTO,W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan

Ternak di Lapangan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

INTERBULL. 2009. National GES Information. http://www-interbull.slu.se/

national_ges_info2/framesida-ges.htm. Akses 22 Januari 2009.

JAN, R. 2000. Penampilan Sapi Bali di Wilayah Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali di Daerah Tingkat I Bali. Tesis, Program Pascasarjana-Universitas Gajah Mada , Yogyakarta.

KAPS, M., W.O. HERRING and W.R. LAMBERSON. 2000. Genetic and environmental parameter for traits derived from the brody growth curve and their relationships with weaning weight in Angus cattle. J. Anim. Sci. 78: 1436 – 1442.

KEALEY, C.G.,M.D. MACNEIL, M.W. TESS, T.W. GEARY and R.A. BELLOW. 2006. Genetic parameter estimates for scrotal circumference and semen characteristics of Line 1 Hereford bulls. J. Anim. Sci. 84: 283 – 290.

LECLERC, H.,S.MINERY, I. DELAUNAY,T.DRUET, W.F. FIKSE and V. DUCROCQ. 2006. Estimation of genetic correlations among countries in international dairy sire evaluations with structural models. J. Dairy Sci. 89: 1792 – 1803.

LECLERC, H.,W.F.FIKSE, and V.DUCROCQ. 2005. Principal components and factorial approaches for estimating genetic correlations in international sire evaluation. J. Dairy Sci. 88: 3306 – 3315.

MACNEIL M.D.,J.J.URICK and G.DECOUDU. 2000. Characteristics of line 1 Hereford females resulting from selection by independent culling levels for below average birth weight and high yearling weight or by mass selection for high yearling Weight. J. Anim. Sci. 78: 2292 – 2298.

MALTECCA,C.A.BAGNATO and K.A.WEIGEL. 2004. Comparison of International Dairy Sire Evaluations from Meta Analysis of National Estimated Breeding Values and Direct Analysis of Individual Animal Performance Records. J. Dairy Sci. 87: 2599 – 2605. MASTIKA,I.M. 2002. Feeding strategies to improve

the production performance and meat quality of Bali cattle (Bos sondaicus). Working Papers: Bali Cattle Workshop. Bali, 4 – 7 February 2002.

MCCOOL, C. 1992. Buffalo and Bali cattle-exploiting their reproductive behaviour and physiology. Tropic. Anim. Health Prod. 24, 165 – 172.

NORMAN,H.D.,P.M.VAN RADEN,R.L.POWELL,J.R. WRIGHT and W.R. VERBOORT. 2005. Effectiveness of National and Regional Sire Evaluations in predicting future daughter milk yield. J. Dairy Sci. 88: 812 – 826.

PANE,I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali. Ujung Pandang, 2 – 3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, pp. 50 – 69.

(8)

POWELL,R.L.,H.D.NORMAN and G.BANOS. 2000. Improving Prediction of National Evaluations by Use of Data from Other Countries. J. Dairy Sci. 83: 368.

REVERTER, A. 1998. Empirical evidence of the optimality of method R estimates. In Book of Abstract, Proc. 6th World Congr. Genet. Appl. Livest. Prod., Armidale, Australia. Commun. No. 25533.

REVERTER,A., D.J.JOHNSTON, H.U.GRASER,M.L. WOLCOTT and W.H. UPTON. 2000. Genetic analyses of live animal ultrasound and abattoir carcass traits in Australian Angus and Hereford cattle. J. Anim. Sci. 78: 1786 – 1795. SCHAEFFER,L.R. 1983. Effectiveness of model for cow evaluation intraherd. J. Dairy Sci. 66: 874 – 880.

SUKMASARI,A.H.,R.R.NOOR,H.MARTOJO, dan C. TALIB. 2002. Pendugaan nilai pemuliaan dan kecenderungan genetika bobot badan sapi Bali di Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali. Hayati 9(4): 109 – 113.

SUN, C.,P.MADSEN, M.S. LUND, Y. ZHANG, U.S. NIELSEN and G. SU. 2010. Improvement in genetic evaluation of female fertility in dairy cattle using multiple trait models including milk production traits. J. Anim. Sci. 88:871 – 878.

SUN,C.,P.MADSEN,U.S.NIELSEN,Y.ZHANG,M.S. LUND,and G.SU. 2009. Comparison between a sire model and an animal model for genetic evaluation of fertility traits in Danish Holstein population. J. Dairy Sci. 92: 4063 – 4071. WARWICK, E.J., J.M. ASTUTI dan W.

HARDJOSUBROTO. 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Gambar

Tabel 1. Heritabilitas (diagonal) dan korelasi genetik (di atas diagonal)
Tabel 2.  Evaluasi  pemuliaan  pejantan  berdasarkan  nilai  pemuliaan  bobot  sapi,  bobot  setahun  dan  pertambahan bobot badan berdasarkan metode Animal Model
Gambar 1. Nilai pemuliaan bobot sapih
Gambar 4. Nilai Pemuliaan kumulatif bobot badan

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil perhitungan aliran daya berbantuan program ETAP (Electrical Transient Analyzer Program) dapat diambil kesimpulan bahwa sistem jaringan

Berdasarkan nilai tahanan jenis dan keadaan geologi, hasil penelitian diidentifikasi terdapat 4 jenis lapisan batuan permukaan didaerah Desa Pawan, Rokan Hulu,

Beberapa uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa stroke hemoragik adalah salah satu jenis stroke yang disebabkan karena pecahnya pembuluh darah otak yang menyebabkan

Selanjutnya, dapat memperbaiki mutu barang produksinya, yang dalam pasar persaingan sempurna hanya akan dilakukan dengan cara menaikkan harga (dalam syarat permasalahan

(1) Dalam rangka pengukuhan Pengusaha menjadi Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena

Prosedur yang diusulkan oleh Arlekar dan Murty[3] untuk merancang sambungan momen dengan perkuatan cover plates dan vertical rib plates akan dimodifikasi

Keunggulan polifosfat sebagai inhibitor kerak kalsium karbonat (CaCO 3 ) antara lain karena kemampuannya untuk menyerap pada permukaan kristal yang mikroskopik, menghambat

sectio caesarea dan faktor ibu yaitu ketuban pecah dini. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara ketuban pecah dini dan persalinan sectio