• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

8

A. Rasio Kecukupan Modal atau CAR (Capital Adequacy Ratio) 1. Pengertian CAR (Capital Adequacy Ratio)

CAR (Capital Adequacy Ratio) adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung risiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank, di samping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber di luar bank, seperti dana masyarakat, pinjaman (utang), dan lain-lain. Dengan kata lain, capital adequacy ratio adalah rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang diberikan (Dendawijaya, 2005:121).

CAR merupakan indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktivanya sebagai akibat dari kerugian-kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang berisiko (Dendawijaya, 2005:121). Menurut Idroes (2008:69), Rasio kecukupan modal bertujuan untuk memastikan bahwa bank dapat menyerap kerugian yang timbul dari aktivitas yang ditimbulkannya.

Rasio kecukupan modal atau modal untuk rasio aset berbobot risiko adalah suatu cara untuk mengukur modal bank, yang ditunjukkan sebagai pembukaan kredit berbobot risiko bank. Rasio ini digunakan untuk melindungi depositor dan menaikkan stabilitas dan efisiensi sistem keuangan di seluruh dunia. Kecukupan modal adalah suatu regulasi perbankan yang menetapkan

(2)

suatu kerangka kerja mengenai bagaimana bank dan lembaga penyimpanan harus menangani permodalan mereka. Kategorisasi aktiva dan modal sudah sangat distandardisasi sehingga diberi bobot risiko. Dalam lingkup internasional, Komite Basel dalam Bank Penyelesaian Internasional mendorong persyaratan modal di tiap-tiap negara. Pada tahun 1988, Komite Basel memutuskan untuk memperkenalkan suatu sistem pengukuran modal yang secara umum dikenal sebagai Basel Capital Accords. Kerangka kerja ini telah digantikan oleh suatu sistem kecukupan modal yang jauh lebih kompleks yang dikenal sebagai Basel II. Walaupun Basel II telah mengubah perhitungan bobot risiko secara signifikan, ia tidak menyentuh segi perputaran modal. Rasio modal adalah persentase modal bank terhadap aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Bobot didefinisikan dengan rasio sensitivitas risiko yang perhitungannya ditentukan oleh aturan yang sesuai.

Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa rasio kecukupan modal minimum yang harus ada pada setiap bank sebagai pengembangan usaha dan penampung risiko kerugian usaha bank, rasio ini merupakan pembagian dari modal (primary capital dan secondary capital) dengan total Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).

2. Unsur Rasio Kecukupan Modal atau CAR (Capital Adequacy Ratio) Menurut Suharjono (2006:139), mengemukakan bahwa:

komponen modal yang digunakan dalam perhitungan penyediaan modal minimum terdiri atas:

a. Modal tier 1, yaitu modal inti, yang terdiri atas modal disetor, premi saham, laba ditahan, cadangan minimum.

(3)

b. Modal tier 2, yaitu modal tambahan, yang terdiri atas cadangan yang tidak diungkapkan, revaluasi, provisi umum, dan utang subordinasi yang jatuh tempo lebih dari lima tahun.

Jumlah modal tier 2 tidak dapat melebihi jumlah modal tier 1.

Berdasarkan ketentuan yang dibuat Bank Indonesia dalam rangka tata cara penilaian tingkat kesehatan bank, terdapat ketentuan bahwa modal bank terdiri atas modal inti dan modal pelengkap.

a. Modal Inti

Komponen modal inti pada prinsipnya terdiri atas modal disetor dan cadangan-cadangan yang dibentuk dari laba setelah pajak, dengan perincian sebagai berikut:

1) Modal disetor

Modal disetor adalah modal yang telah disetor secara efektif oleh pemiliknya. Bagi bank yang berbadan hokum koperasi, modal disetor terdiri atas simpanan pokok dan simpanan wajib para anggotanya. 2) Agio saham

Agio saham adalah selisih lebih setoran modal yang di terima oleh bank sebagai akibat dari harga saham yang melebihi nilai nominalnya. 3) Cadangan minimum

Cadangan minimum adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba ditahan atau laba bersih setelah dikurangi pajak dan mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota sesuai anggaran dasar masing-masing

(4)

Cadangan tujuan adalah bagian laba setelah dikurangi pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota.

5) Laba ditahan

Laba ditahan adalah saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh rapat umum pemegang saham atau rapat anggota diputuskan untuk tidak dibagikan.

6) Laba tahun lalu

Laba tahun lalu adalah laba bersih tahun-tahun lalu setelah dikurangi pajak dan belum ditentukan penggunaannya oleh rapat umum pemegang saham atau rapat anggota. Jumlah laba tahun lalu yang diperhitungkan sebagai modal inti hanya sebesar 50%. Jika bank mempunyai saldo rugi pada tahun-tahun lalu, seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang dari modal inti.

7) Laba tahun berjalan

Laba tahun berjalan adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran utang pajak. Jumlah laba tahun buku berjalan yang diperhitungkan sebagai modal inti hanya sebesar 50%. Jika bank mengalami kerugian pada tahun berjalan, seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang dari modal inti.

8) Bagian kekayaan bersih anak perusahaan yang laporan keungannya dikonsolidasikan bagian kekayaan bersih tersebut adalah modal inti anak perusahaan setelah dikompensasikan nilai penyertaan bank dan

(5)

anak perusahaan tersebut. Yang dimaksud dengan anak perusahaan adalah bank dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) lain yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh bank.

b. Modal Pelengkap

Modal pelengkap terdiri atas cadangan-cadangan yang tidak dibentuk dari laba setelah pajak dan pinjaman yang sifatnya dapat dipersamakan dengan modal. Secara terperinci modal pelengkap dapat berupa sebagai berikut:

1) Cadangan revaluasi aktiva tetap

Cadangan revaluasi aktiva tetap adalah cadangan yang dibentuk dari selisih penilaian kembali aktiva tetap yang telah mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak.

2) Cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasikan

Cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasikan adalah cadangan yang dibentuk dengan cara membebani laba rugi tahun berjalan. Hal ini dimaksudkan untuk menampung kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat tidak diterimanya kembali sebagian atau seluruh aktiva produktif.

3) Modal kuasi

Modal kuasi adalah modal yang didukung oleh instrumen atau warkat yang memiliki sifat seperti modal.

(6)

Pinjaman subordinasi adalah pinjaman yang harus memenuhi berbagai syarat, seperti ada perjanjian tertulis antara bank dan pemberi pinjaman mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, minimal berjangka 5 tahun dan pelunasan sebelum jatuh tempo harus atas persetujuan Bank Indonesia.

3. Ketentuan Tentang Modal Minimum Bank

Ketentuan tentang modal minimum bank umum yang berlaku di Indonesia mengikuti standar Bank for International Settlements (BIS). Ketentuan ini ditetapkan di Indonesia oleh Bank Indonesia, seperti yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3/21/PBI/2001 tentang kewajiban penyediaan modal minimum bank umum. Peraturan ini mensyaratkan bank menyediakan modal minimum sebesar 8% dari aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR), terhitung sejak akhir bulan Desember 2001. Rasio penyediaan modal minimum bank ini hanya memperhitungkan faktor risiko kredit, karena risiko terbesar dalam perbankan nasional adalah risiko kredit (Suhardjono, 2006:138).

Peraturan Bank Indonesia No. 10/15/PBI/2008 tanggal 24 September 2008 tentang kewajiban penyediaan modal minimum bank umum. Peraturan ini mensyaratkan bank-bank diwajibkan untuk memenuhi rasio kewajiban modal minimum sebesar 8%.

Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/3/DPNP tanggal 27 Januari 2009 mewajibkan bank-bank di Indonesia dengan kualifikasi tertentu untuk

(7)

memperhitungkan risiko operasional (operational risk) dalam perhitungan rasio kewajiban penyediaan modal minimum dan wajib memenuhi rasio kewajiban penyediaan modal minimum sebesar 8% dengan memperhitungkan risiko operasional.

Peraturan Bank Indonesia No. 9/13/PBI/2007 tanggal 1 November 2007 mewajibkan bank-bank di Indonesia dengan kualifikasi tertentu untuk memperhitungkan risiko pasar (market risk) dalam perhitungan rasio kewajiban penyediaan modal minimum dan wajib memenuhi rasio kewajiban penyediaan modal minimum sebesar 8% dengan memperhitungkan risiko pasar.

Peraturan Bank Indonesia No. 8/6/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/27/DPNP tanggal 27 November 2006 mewajibkan bank-bank untuk memenuhi ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum untuk bank secara individual maupun secara konsolidasian. Perhitungan rasio kewajiban penyediaan modal minimum secara konsolidasian dilakukan dengan menghitung modal dan aset tertimbang menurut risiko dari laporan keuangan konsolidasian sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.

Menurut Dendawijaya (2005:153), mengemukakan bahwa:

berdasarkan ketentuan yang berlaku, bank-bank diwajibkan untuk memelihara kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) sekurang-kurangnya 8%. Ini berarti bahwa CAR (capital adequacy ratio) dari suatu bank umum sekurang kurangnya harus mencapai nilai 8%. Selanjutnya, untuk menetapkan besarnya nilai kredit berdasarkan ketentuan yang baru adalah sebagai berikut.

(8)

a. Rasio modal yang memenuhi KPMM sebesar 8% diberikan predikat “sehat” dengan nilai kredit 81. Setiap kenaikan 0,1% dari KPMM sebesar 8%, nilai kreditnya ditambah 1 hingga maksimum 100.

b. Rasio modal yang kurang dari 8% sampai dengan 7,9% diberikan predikat “kurang sehat” dengan nilai kredit 65. Setiap penurunan 0,1% dari pemenuhan KPMM sebesar 7,9% tersebut, nilai kreditnya dikurangi 1 dengan minimum 0.

c. Nilai kredit yang diperoleh segera dikalikan dengan bobot 25% yang diperlukan untuk komponen kecukupan modal.

4. Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum di Indonesia Menurut Idroes (2018:75-77), mengemukakan bahwa:

sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/15/PBI/2005 tanggal 1 Juli 2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4507), bank umum wajib memenuhi jumlah modal inti minimum. Sehubungan dengan hal tersebut Bank Indonesia perlu mengatur ketentuan pelaksanaan tentang pemenuhan jumlah modal inti minimum bank umum dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia.

Tujuan umum untuk menetapkan ketentuan jumlah modal inti minimum bank umum adalah untuk mewujudkan industri perbankan yang sehat, kuat, dan efisiensi guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional termasuk upaya menggerakkan kegiatan usaha di sektor riil, dibutuhkan permodalan perbankan yang sehat dan kuat. Di samping itu, dengan jenis dan kompleksitas kegiatan usaha bank yang semakin meningkat, berpotensi menyebabkan semakin tingginya risiko yang dihadapi bank. Rendahnya jumlah modal bank dan semakin tingginya risiko yang dihadapi bank, perlu diatasi dengan peningkatan modal bank. Hal ini menjadi prioritas selaras dengan rencana

(9)

penerapan Basel II diwaktu yang akan datang yang memperhitungkan kecukupan modal bank sesuai dengan tingkat risiko yang dihadapi.

Sesuai dengan pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/15/PBI/2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum, bank wajib memenuhi jumlah modal inti paling kurang sebesar:

a. Delapan puluh miliar rupiah pada tanggal 31 Desember 2007. Selanjutnya, sejak tanggal 31 Desember 2007, bank harus menjaga dan mengupayakan peningkatan jumlah modal inti tersebut; dan

b. Seratus miliar rupiah pada tanggal 31 Desember 2010. Selanjutnya sejak tanggal 31 Desember 2010, bank harus menjaga jumlah modal inti paling kurang sebesar seratus miliar rupiah.

Sesuai dengan pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/15/PBI/2005 tentang Jumlah. Modal Inti Minimum Bank Umum, bagi bank yang pada saat berlakunya ketentuan ini belum memenuhi jumlah modal inti minimum, maka direksi bank wajib menyusun rencana pemenuhan modal inti minimum dengan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Rencana pemenuhan modal inti minimum antara lain dapat berupa penambahan modal disetor, pertumbuhan modal dengan cara merger, wajib memerhatikan ketentuan yang berlaku antara lain yang mengatur tentang merger, konsolidasi, dan akuisisi bank umum, dan kewajiban penyediaan modal minimum.

Setelah RUPS menyetujui rencana pemenuhan modal inti minimum yang dicantumkan dalam notulen RUPS, rencana dimaksud wajib dituangkan

(10)

dalam bentuk action plans pemenuhan modal inti minimum. Notulen RUPS dan action plans pemenuhan modal inti minimum wajib disampaikan kepada Bank Indonesia.

Untuk kebutuhan pemantauan Bank Indonesia, bank harus menyampaikan laporan realisasi action plans pemenuhan modal inti minimum yang terdapat dalam rencana bisnis bank.

Sesuai dengan pasal 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/15/PBI/2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum, apabila bank tidak memenuhi jumlah modal inti minimum, maka bank wajib membatasi kegiatan usahanya sebagai berikut:

a. tidak melakukan kegiatan usaha sebagai bank umum devisa,

b. membatasi penyediaan dana per debitur dan atau per kelompok peminjam (sesuai ketentuan batas minimum pemberian kredit) dengan plafon atau baki debet paling tinggi lima ratus juta rupiah, tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia, penyediaan dana kepada pemerintah dan bank,

c. membatasi jumlah maksimum dana pihak ketiga yang dapat dihimpun bank sebesar sepuluh kali modal inti,

d. menutup seluruh jaringan kantor bank yang berada di luar wilayah provinsi kantor pusat bank.

Bank yang tidak memenuhi ketentuan modal inti minimum, namun tidak membatasi kegiatan usahanya, akan dikenakan sanksi administratif antara lain berupa:

(11)

a. kewajiban membayar sebesar lima juta rupiah per hari sampai dengan bank memenuhi ketentuan ini,

b. pembekuan kegiatan usaha tertentu, dan atau c. larangan turut serta dalam kegiatan kliring.

5. Perhitungan Kebutuhan Modal Minimum Bank

Perhitungan kebutuhan modal minimum atau kecukupan modal bank (capital adequacy) didasarkan kepada rasio atau perbandingan antara modal yang dimiliki bank dan jumlah aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Perincian mengenai modal ATMR yang dimiliki bank telah diuraikan diatas. ATMR merupakan penjumlahan ATMR aktiva neraca (aktiva yang tercantum dalam neraca) dan ATMR aktiva administratif (aktiva yang bersifat administratif) (Dendawijaya, 2005:40-41).

Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.13/30/DPNP-16/12/11 CAR dirumuskan sebagai berikut:

Modal x 100%

ATMR (untuk Risiko Kredit, Risiko Operasional, dan Risiko Pasar) a. Perhitungan Modal dan Aset Tertimbang Menurut Risiko dilakukan

berdasarkan ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum

b. Perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dan Risiko Pasar didasarkan pada nilai tercatat aset dalam neraca (setelah dikurangi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai/CPKN).

(12)

B. Likuiditas

1. Pengertian Likuiditas

Likuiditas adalah suatu istilah yang dipakai untuk menunjukkan persediaan uang tunai dan asset lain yang dengan mudah dijadikan uang tunai. Bank dianggap likuid kalau bank tersebut mempunyai cukup uang tunai atau aset likuid lainnya, disertai kemampuan untuk meningkatkan jumlah dana dengan cepat dari sumber lainnya, untuk memungkinkannya memenuhi kewajiban pembayaran dan komitmen keuangan lain pada saat yang tepat. Selain itu, harus pula ada likuiditas penyangga yang memadai untuk memenuhi hampir setiap kebutuhan uang tunai yang mendadak. Jadi yang dimaksud likuiditas adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan persediaan uang tunai dan alat-alat likuid lainnya yang dikuasai bank yang bersangkutan (Darmawi, 2011:59).

Rasio likuiditas adalah rasio yang digunakan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam memenuhi utang jangka pendeknya (termasuk bagian dari utang jangka panjang yang jatuh temponya dalam waktu sampai dengan satu tahun) dari aktiva lancarnya (Suhardjono, 2006:296). Dan menurut Dendawijaya (2005:114), analisis rasio likuiditas adalah analisis yang dilakukan terhadap kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya atau kewajiban yang sudah jatuh tempo.

Dari berbagai pendapat tersebut di atas maka pengertian likuiditas adalah kemampuan suatu bank untuk memenuhi aliran dana keluar dalam waktu yang tepat. Aliran dana keluar dapat berupa:

(13)

1. penarikan oleh para penabung,

2. penarikan dana oleh para penerima kredit, terutama kredit yang disetujui,

3. dana keluar karena adanya kewajiban bank untuk membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo.

Penarikan dana oleh ketiga unsur di atas apabila tidak dapat dipenuhi oleh bank dapat berpengaruh terhadap runtuhnya kepercayaan masyarakat.

2. Pengukuran Likuiditas

Likuiditas diukur dengan rasio aktiva lancar dibagi dengan kewajiban lancar. Perusahaan yang memiliki likuiditas sehat paling tidak memiliki rasio lancar sebesar 100%. Ukuran likuiditas perusahaan yang lebih menggambarkan tingkat likuiditas perusahaan ditunjukkan dengan rasio kas (kas terhadap kewajiban lancar). Sebagaimana terdapat dalam Frequently Asked Questions (FAQ) PBI No.12/19/PBI/2010 tanggal 4 Oktober 2010 Bank Indonesia menetapkan kisaran target LDR ditetapkan dengan batas bawah 78% dan batas atas 100%.

Berdasarkan ketentuan yang lama, suatu bank umum diberikan predikat “tidak sehat” (dengan nilai kredit = 0) untuk rasio LDR sebesar 110% atau lebih dan diberi predikat “sehat” (dengan nilai kredit = 100) untuk rasio LDR kurang dari 110%. Berdasarkan ketentuan yang baru, pengukuran likuiditas dilakukan secara berjenjang sejalan dengan penilaian terhadap komponen lainnya. (Dendawijaya, 2005:155).

(14)

3. Loan to Deposit Ratio (LDR)

Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah rasio antara besarnya seluruh volume kredit yang disalurkan oleh bank dan jumlah penerimaan dana dari berbagai sumber. Rasio LDR dianggap sebagai tolok ukur untuk menilai kesehatan suatu bank dilihat dari segi likuiditasnya. Jadi LDR adalah rasio antara seluruh jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. Rasio ini menunjukkan salah satu penilaian likuiditas bank (Dendawijaya, 2005:116).

Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.13/30/DPNP-16/12/11 LDR dirumuskan sebagai berikut:

LDR = Total Kredit x 100% Total Dana Pihak Ketiga

a. Kredit adalah kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas asset bank umum.

b. Dana pihak ketiga mencakup giro, tabungan, dan deposito (tidak termasuk antar bank).

Menurut Dendawijaya (2005 : 116-117), mengemukakan bahwa: Loan to deposit ratio tersebut menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Dengan kata lain, seberapa jauh pemberian kredit kepada nasabah kredit dapat mengimbangi kewajiban bank untuk segera memenuhi permintaan deposan yang ingin menarik kembali uangnya yang telah digunakan oleh bank untuk memberikan kredit.

Semakin tinggi rasio tersebut memberikan indikasi semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit menjadi semakin besar.

(15)

Dalam tata cara penilaian tingkat kesehatan bank, Bank Indonesia menetapkan ketentuan sebagai berikut:

a. Untuk rasio LDR sebesar 110% atau lebih diberi nilai kredit 0, artinya likuiditas bank tersebut dinilai tidak sehat.

b. Untuk rasio LDR di bawah 110% diberi nilai kredit 100. Artinya likuiditas bank tersebut dinilai sehat.

Rasio ini juga merupakan indikator kerawanan dan kemampuan dari suatu bank. Sebagian praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari loan to deposit ratio suatu bank adalah sekitar 80%. Namun, batas toleransi berkisar antara 85% dan 100%.

C. Efisiensi Operasional

1. Pengertian Efisiensi Operasional

Efisiensi operasional adalah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan keuntungan lebih kecil daripada keuntungan yang diperoleh dari penggunaan aktiva tersebut. Bank dituntut untuk memperhatikan masalah efisiensi karena meningkatnya persaingan bisnis dan standar hidup nasabah. Bank yang tidak mampu memperbaiki tingkat efisiensi usahanya maka akan kehilangan daya saing baik dalam hal mengerahkan dana masyarakat maupun dalam hal penyaluran dana tersebut dalam bentuk modal usaha.

(16)

2. Komponen Pendapatan dan Biaya Operasional

Menurut Dendawijaya (2005:111-112), berikut ini adalah komponen pendapatan dan biaya operasional:

a. Pendapatan operasional

Pendapatan operasional terdiri atas semua pendapatan yang merupakan hasil langsung dari kegiatan usaha bank yang benar-benar telah diterima. Pendapatan operasional bank secara terperinci adalah sebagai berikut.

1) Hasil Bunga

Yang dimasukkan ke pos ini adalah pendapatan bunga, baik dari pinjaman yang diberikan maupun dari penanaman-penanaman yang dilakukan oleh bank, seperti giro,simpanan berjangka, obligasi, dan surat pengakuan utang lainnya.

2) Provisi dan komisi

Yang dimasukkan ke pos ini adalah provisi dan komisi yang dipungut atau diterima oleh bank dari berbagai kegiatan yang dilakukan, seperti provisi kredit, provisi transfer, komisi pembelian atau penjualan efek-efek, dan lain-lain.

3) Pendapatan valuta asing lainnya

Yang dimasukkan ke pos ini adalah keuntungan yang diperoleh bank dari berbagai transaksi devisa, misalnya selisih kurs pembelian atau penjualan valuta asing, selisih kurs karena konversi provisi, komisi, dan bunga yang diterima dari bank-bank di luar negeri.

4) Pendapatan lainnya

Yang dimasukkan ke pos ini adalah pendapatan lain: yang merupakan hasil langsung dari kegiatan lainnya yang merupakan kegiatan operasional bank yang tidak termasuk ke dalam rekening pendapatan di atas, misalnya dividen yang diterima dari saham yang dimiliki.

b. Biaya operasional

Yang dimasukkan ke pos biaya operasional adalah semua biaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha bank yang diperinci sebagai berikut:

1) Biaya bunga

Yang dimasukkan ke pos ini adalah semua biaya atas dana-dana yang berasal dari Bank Indonesia, bank-bank lain, dan pihak ketiga bukan bank.

2) Biaya valuta asing lainnya

Yang dimasukkan ke pos ini adalah semua biaya yang dikeluarkan bank untuk berbagai transaksi devisa.

(17)

Yang dimasukkan ke pos ini adalah seluruh baiaya yang dikeluarkan bank untuk membiayai pegawainya, seperti gaji dan upah, uang lembur, perwatan kesehatan, honorarium komisaris, bantuan untuk pegawai dalam bentuk natura, dan pengeluaran lainnya untuk pegawai.

4) Penyusutan

Yang dimasukkan ke pos ini adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk penyusutan benda-benda tetap dan inventaris.

5) Biaya lainnya

Yang dimasukkan ke pos ini adalah biaya lainnya yang merupakan biaya langsungdari kegiatan usaha bank yang belum termasuk ke pos biaya pada diatas, misalnya premi asuransi atau jaminan kredit, sewa gedung kantor atau rumah dinas dan alat-alat lainnya, biaya pemeliharaan gedung kantor atau rumah dinas dan alat-alat lainnya, dan sebagainya.

3. Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO)

Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/30/DPNP tanggal 16 Desember 2011:

rasio biaya operasional adalah perbandingan antara biaya operasional dan pendapatan operasional. Angka dihitung perposisi (tidak disetahunkan. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

BOPO = Biaya Beban Operasional x 100% Pendapatan Operasional

Rasio biaya operasional digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Mengingat kegiatan utama bank pada prinsipnya adalah bertindak sebagai perantara, yaitu menghimpun dan menyalurkan dana (misalnya dana masyarakat), maka biaya dan pendapatan operasional bank didominasi oleh biaya bunga dan hasil bunga.

(18)

Secara teoritis, biaya bunga ditentukan berdasarkan perhitungan cost of loanable funds (COLF) secara weight average cost, sedangkan penghasilan bunga sebagian terbesar diperoleh dari interest income (pendapatan bunga) dari jasa pemberian kredit kepada masyarakat, seperti bunga pinjaman, provisi kredit, appraisal fee, supervisionfee, commitment fee, syndication fee, dan lain-lain.

4. Pengukuran Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO)

Bank Indonesia menetapkan standar BOPO sebesar 80%. Ketentuan tingkat BOPO dari Bank Indonesia diatur dalam surat edaran (SE) BI No. 3/30 DPNP tanggal 14 Desember 2001.

D. Profitabilitas

1. Pengertian Profitabilitas

Analisis rasio profitabilitas bank adalah alat untuk menganalisis atau mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh bank yang bersangkutan. Selain itu, rasio-rasio dalam kategori ini dapat pula digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan bank (Dendawijaya, 2005:118).

Dalam perhitungan rasio-rasio profitabilitas ini biasanya dicari hubungan timbal balik antarpos, yang terdapat pada laporan laba rugi ataupun hubungan timbal balik antarpos, yang terdapat pada laporan laba rugi bank dengan pos-pos neraca bank guna memperoleh berbagai indikasi yang

(19)

bermanfaat dalam mengukur tingkat efisiensi dan profitabilitas bank yang bersangkutan.

2. Return on Assets (ROA)

Menurut Dendawijaya (2005:118), mengemukakan bahwa:

rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan asset.

Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.13/30/DPNP-16/12/11 ROA dirumuskan sebagai berikut:

ROA = Laba Sebelum Pajak x100% Rata-rata total Asset

a. Yang dimaksud laba sebelum pajak adalah laba tahun berjalan sebelum pajak.

b. Perhitungan laba sebelum pajak disetahunkan.

Contoh: Untuk posisi Juni (akumulasi laba per posisi Juni dibagi 6) x 12

c. Rata-rata total aset:

Contoh: Untuk posisi Juni (penjumlahan total aset posisi Januari sampai dengan Juni) dibagi 6.

Dalam rangka mengukur tingkat kesehatan bank, terdapat perbedaan kecil antara perhitungan ROA berdasarkan teoretis dan cara perhitungan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia. Secara teoritis, laba yang diperhitungkan adalah laba setelah pajak, sedangkan dalam sistem CAMEL, laba yang diperhitungkan adalah laba sebelum pajak.

(20)

E. Kerangka Pemikiran Teoritis

Dalam penelitian ini, sesuai dengan telaah pustaka dapat disusun suatu logika bahwa Capital Adequacy Ratio (CAR) yang dijadikan sebagai proksi variabel permodalan mempunyai hubungan yang positif terhadap kinerja perbankan tercatat di BEI yang diproksikan dengan Return on Asset (ROA) bank tersebut. Semakin besar rasio CAR suatu bank, maka akan meningkatkan Return on Asset-nya sehingga akan meningkatkan kinerja perbankan yang tercatat di BEI. Namun jika CAR menurun, maka ROA akan ikut turun sehingga kinerja perbankan yang tercatat di BEI juga menurun.

Loan to Deposit Ratio (LDR) digunakan sebagai proksi faktor likuiditas suatu bank. Loan to Deposit Ratio (LDR) mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja perbankan yang diproksikan dengan Return on Asset (ROA). Jadi semakin tinggi rasio Loan to Deposit Ratio (LDR), maka semakin tinggi pula Return on Asset (ROA) sehingga kinerja perbankan juga akan mengalami kenaikan. Begitupula sebaliknya, jika LDR mengalami penurunan, maka Return on Asset (ROA) juga akan turun sehingga kinerja perbankan yang tercatat di BEI juga turun.

Kemudian variabel efisiensi operasional yang diproksikan dengan rasio BOPO yaitu perbandingan antara total biaya operasi dengan total pendapatan operasi berpengaruh negatif terhadap variabel kinerja perbankan yang diproksikan dengan ROA. Semakin besar BOPO akan berakibat pada turunnya Return on Asset (ROA), sehingga kinerja perbankan yang tercatat di BEI menurun. Begitu juga sebaliknya, jika rasio BOPO semakin kecil, maka

(21)

kinerja perbankan yang tercatat di BEI akan meningkat seiring dengan meningkatnya ROA-nya.

Dengan demikian, kerangka pemikiran pengaruh beberapa rasio keuangan perbankan (CAR, LDR dan BOPO) terhadap ROA yang tercatat di Bursa Efek Indonesia periode tahun 2007-2011 dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini.

Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran Teoritis

Sumber : Konsep penelitian yang diolah

F. Penelitian Terdahulu

Nur Khasanah Sebatiningrum (2006), melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR), Likuiditas dan Efisiensi Operasional terhadap Profitabilitas Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari rasio keuangan (CAR, LDR, BOPO) terhadap tingkat profitabilitas (ROA) selama tahun 2004 (TW 1-TW 4) pada perusahaan perbankan yang terdaftar di

ROA (Y) LDR (X2)

CAR (X1)

LDR (X2)

(22)

BEJ. Hasil dari penelitian ini menyatakan, secara simultan berpengaruh signifikan terhadap perubahan laba dengan persentase sebesar 55,6% dan sisanya 44,4% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti. Secara parsial berdasarkan uji t disimpulkan bahwa CAR dan LDR berpengaruh positif signifikan terhadap ROA, sedangkan BOPO berpengaruh negatif signifikan terhadap ROA.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Ponttie Prasnanugraha P (2007), melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Rasio-rasio Keuangan Terhadap Kinerja Bank Umum di Indonesia (Studi Empiris Bank-bank Umum Yang Beroperasi Di Indonesia)”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari rasio keuangan (CAR, BOPO, NIM, NPL, dan LDR) terhadap kinerja bank umum di Indonesia selama tahun 2005. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa variabel CAR, BOPO, NIM, NPL, LDR secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang berarti terhadap ROA. Berdasarkan hasil uji t disimpulkan bahwa NPL dan NIM berpengaruh positif signifikan secara parsial terhadap ROA, BOPO berpengaruh negatif signifikan secara parsial terhadap ROA. Sedangkan CAR berpengaruh negatif dan tidak signifikan secara parsial terhadap ROA sedangkan LDR berpengaruh positif dan tidak signifikan secara parsial terhadap ROA.

Dalam penelitian Pandu Mahardian (2008) dengan judul “Analisis Pengaruh Rasio CAR, BOPO, NPL, NIM dan LDR terhadap kinerja keuangan perbankan (Studi Kasus Perusahaan Perbankan yang Tercatat di BEJ Periode Juni 2002-Juni 2007)”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

(23)

pengaruh dari rasio keuangan (CAR, BOPO, NIM, NPL, dan LDR) terhadap kinerja keuangan perbankan di BEJ selama Juni 2002-Juni 2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel CAR, NIM, dan LDR berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA serta BOPO berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ROA. Sementara untuk variabel NPL memiliki pengaruh negatif terhadap ROA, akan tetapi tidak signifikan.

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan penelitian ini adalahupaya meningkatkan hasil belajar passing bawah bola voli dengan menggunakan media bola plastik pada siswa kelas V SD Negeri 02 Tanahbaya..

Jaya Lestari sudah melakukan manajemen kompensasi dengan baik antara lain survei kompensasi, evaluasi pekerjaan, pengelompokkan pekerjaan, memberikan kompensasi

Penelitian ini diselenggarakan untuk menjawab berbagai pertanyaan berikut: (1) bagaimana kebiasaan bermedia khalayak di kota-kota yang dijadikan lokasi penelitian ini secara umum,

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan pada kemampuan menulis puisi antara kelompok kelas yang mendapatkan pembelajaran menulis puisi

Pada pengukuran Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.55 mengklasifikasikan aset keuangan dengan dapat diukur dengan nilai wajar melalui laporan laba rugi, investasi

Terdapat permasalahan yaitu; Bagaimana dasar program perencanaan dan perancangan arsitektur Gedung Parkir CBD(Central Business District)-Solo. Untuk menyusun buku DP3A

2. Setelah dilakukan penulisan modul, dilakukan validasi oleh ahli materi fisika, ahli pembelajaran fisika dan media pembelajaran. Modul kinematika gerak dengan analisis

Selain itu seluruh (100%) dosen mengungkapkan bahwa mereka merasa nyaman dengan hubungan yang dijalin antar dosen di Jurusan. Rasa nyaman dalam berelasi ini memberi dampak