SISTEM PENGAWASAN PEMANFAATAN ZAT RADIOAKTIF
DI INDONESIA BERBASIS KONSEP
CRADLE TO GRAVE
Moekhamad Alfiyan email: m.alfiyan@bapeten.go.id Staf Bidang Pengkajian Industri dan Penelitian, PPSTPFRZRBAPETEN ABSTRAK Penggunaan zat radioaktif di Indonesia di bidang industri, kesehatan, dan penelitian terus meningkat sejalan dengan perkembangan penduduk, ekonomi, sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan. Selain itu, perkembangan tersebut dapat dijadikan indikator keberterimaan masyarakat dan keunggulan teknologi nuklir. Pemanfaatan zat radioaktif yang meliputi kegiatan penggunaan, produksi, ekspor/import, pengangkutan dan pengalihan memiliki dua aspek, yaitu manfaat dan resiko radiologis terhadap pekerja, masyarakat, dan lingkungan oleh karena itu perlu diawasi secara ketat oleh pemerintah. Penyusunan makalah dilakukan dengan pengumpulan dan review data sekunder dan studi literatur. Riwayat zat radiokatif di pantau secara ketat sejak zat radioaktif dihasilkan sampai dengan nasib akhir zat radioaktif sebagaimana konsep cradle to grave yang diterapkan untuk pengelolaan bahan berbahaya dan beracun. Penggunaan, produksi, ekspor/import dan pengalihan wajib memiliki izin dari Badan Pengawas sedangkan pengangangkutan zat radioaktif wajib mendapat persetujuan dari Badan Pengawas dan hanya boleh dilakukan oleh pihak yang telah memiliki izin dari Badan Pengawas. Hasil samping atau limbah zat radioaktif wajib dikirimkan ke Badan Pelaksana atau negara asal zat radioaktif dengan persetujuan Badan Pengawas. Pengelolaan limbah radioaktif oleh Badan Pelaksana juga wajib memiliki izin dari Badan Pengawas. Limbah radioaktif dapat dilepaskan ke lingkungan setelah mendapat penetapan klierens dari Badan Pengawas Untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan maka Badan Pengawas akan melakukan inspeksi yang dilakukan secara rutin atau sewaktuwaktu. Kata Kunci: radioaktif, cradle to grave, Badan Pengawas ABSTRACT Usage of Radioactive for research, medicine, and industry purpose increases as development of population, economic, society, culture and knowledge. The increase of such utilization can be used as indicator of public acceptance and nuclear technology advancement. Utilization of radioactive including usage, production, export/import, transportation and transfer has two impact benefit and radiological risk to occupational, public and environment. Therefore it needs to be regulated seriously by the government. This paper is composed through gathering and reviewing secondary data and literature study. Life history of radioactive is regulated strictly from generation phase until dissipation phase as cradle to grave concept for hazardous waste management. Usage, production, export/import, and, transfer have to get license from regulatory body while all transportation of radioactive have to get approval from regulatory body and can only be performed by licensees. Radioactive waste shall be sent to organizer body or original country of radioactive with approval from regulatory body. Radioactive waste management by organizer body shall have radioactive waste management license from regulatory body. Radioactive waste can be released to environment after getting clearance approval from regulatory body. To ensure that regulation is fulfilled by user, regulatory body conduct, routine or unschedule inspection.Key Words: radioactive, cradle to grave, regulatory body
BAB I PENDAHULUAN
Menurut UndangUndang No 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, tenaga tuklir adalah tenaga dalam bentuk apa pun yang dibebaskan dalam proses transformasi inti, termasuk tenaga yang berasal dari sumber radiasi pengion(1).
Pemanfaatan teknologi nuklir yang mencakup pemanfaatan zat radioaktif di Indonesia dalam bidang industri, kesehatan, dan penelitian terus
berkembang sebagai wujud
kemampulaksanaan, keberterimaan masyarakat secara tidak langsung dan keunggulan tenaga nuklir dibandingkan dengan teknologi lain.
Mengingat sifatnya, radiasi memiliki dua aspek, yaitu manfaat dan resiko dalam arti potensi bahaya radiasi yang dapat membahayakan dan merugikan manusia (baik pekerja maupun masyarakat) serta lingkungan hidup. Oleh karena itu pemanfaatan tenaga nuklir tersebut, seperti halnya dengan pemanfaatan teknologi lainnya, harus dilakukan secara baik dan benar serta diawasi secara ketat oleh
pemerintah sesuai dengan
peraturan/ketentuan yang berlaku. Asas proteksi radiasi telah menggiring upaya meningkatkan dampak positiif dan menghindari dampak negatif yang diitmbulkan dari pemanfaatan tenaga nuklir sehingga tujuan utama dari pemanfaatan tenaga nuklir yaitu meningkatkan kesejahtaraan masyarakat dengan memprioritaskan keselamatan pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup pada taraf yang paling tinggi dapat tercapai.
Kegiatan pemanfaatan,
pengembangan dan penguasaan iptek nuklir di Indonesia diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 14 ayat 2 dilaksanakan melalui peraturan, perizinan dan inspeksi. Peraturan dan perizinan yang diberikan oleh BAPETEN juga memperhatikan UndangUndang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UndangUndang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang Undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Undang Undang lainnya yang terkait beserta produk hukum dibawahnya (2).
Makalah ini akan membahas implementasi konsep cradle to grave dalam sistem pengawasan pemanfaatan zat radioaktif di Indonesia sehingga diharapkan dapat membangun opini positif publik yang tentunya akan mempengaruhi eksistensi dan evolusi pemanfaatan zat radioaktif di Indonesia.
BAB II
TEORI
II. 1. PEMANFAATAN ZAT RADIOAKTIF DI INDONESIA
Pemanfaatan zat radioaktif yang dimaksud dalam makalah ini adalah kegiatan yang berkaitan dengan keberadaan zat radioaktif yang meliputi penggunaan, produksi, ekspor/import, pengangkutan dan pengalihan.
Penggunaan zat radioaktif di berbagai sektor terbukti telah memberikan keuntungan teknis, finansial, dan lingkungan yang berarti, sehingga penggunaannyapun terus dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dengan tetap mengedepankan aspek keselamatan terhadap pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup.
Penggunaan zat radioaktif di bidang industri antara lain: radiografi
baik untuk tujuan jasa kualitas suatu produk, pengecekan bagasi atau kontainer barang. Analisis untuk menganalisa kandungan unsur dalam suatu sample. Gauging yang banyak digunakan di industri minyak, pabrik bahan kimia untuk mengukur ketinggian (level). Begitu pula dengan logging yang banyak digunakan di industri petambangan untuk investegasi calon lokasi pengeboran. Di bidang kesehatan, zat radioaktif digunakan antara lain untuk diagnosa dan terapi dengan memanfaatkan energi sinarX, sedangkan untuk kedokteran nuklir dan litbang digunakan zat radioaktif yang berbentuk serbuk atau cairan.
Penggunaan zat radioaktif di bidang pertanian antara lain untuk mengawetkan bahan makanan pasca panen dan pemulihan tanaman, dapat juga digunakan untuk menentukan efektivitas pemakaian pupuk tanaman dan pemberantasan hama melalui teknik jantan mandul.
Di bidang hidrologi dan lingkungan, zat radioaktif dapat digunakan untuk pencarian tempat kebocoran/rembesan pipa di dalam tanah, pengukuran transport endapan di sungai, laut dan danau, pengukuran umur air, dll(3).
Penggunaan zat radioaktif menuntut ketersediaan zat radioaktif yang pemenuhannya dapat dilakukan melalui produksi dan impor dari luar negeri yang tentunya akan melibatkan kegiatan pengangkutan dan pengalihan zat radioaktif. Zat radioaktif dapat pula di eksport ke luar negeri untuk tujuan komersiil atau pelimbahan zat radioaktif bekas.
Sampai dengan 1 Mei tahun 2009 jumlah zat radioaktif yang beredar di
Indonesia dan telah mendapat izin pemanfaatan yang masih berlaku dari BAPETEN sekitar 3497 unit zat radioaktif yang terdiri dari 23 jenis zat radioaktif dan 2 jenis sumber radiasi. Penggunaan terbanyak pada bidang industri yaitu: 3418 unit zat radioaktif diikuti penggunaan di bidang kesehatan sebanyak 76 unit zat radioaktif dan di bidang penelitian sebanyak 3 unit zat radioaktif.
Tabel. 1 Rincian Penggunaan Zat Radioaktif di Indonesia yang Memiliki Izin Penggunaan dari BAPETEN untuk Setiap Bidang/Tujuan
Bidang/Tujuan Jumlah Izin Jumlah Instansi Pengguna Industri 1 Analisa Zat Radioaktif 14 6 2 Fotofluorografi dengan Zat Radiokatif Aktivitas Sedang 11 2 3 Gauging 959 101 4 Gauging Industri dengan Pembangkit Radiasi Pengion Energi Rendah 1 1 5 Gauging Industri dangan Zat Radioaktif Aktivitas Rendah 304 54 6 Gauging Industri dangan Zat Radioaktif AktivitasTinggi 757 42 7 Kalibrasi 3 3 8 Logging 528 24 9 Penyimpanan Zat Radioaktif 1 1 10 Radiografi 31 16 11 Radiografi Industri Fasilitas Terbuka 231 46 12 Tracer 1 1 13 Well Logging 577 20 Total Bidang Industri 3418 318 Kesehatan
1 Impor dan Pengalihan Zat Radioaktif untuk Keperluan Medik 0 0 2 Kalibrasi 2 2 3 Kedokteran Nuklir Diagnos tik Invivo 0 0 4 Konstruksi 2 2 5 Radioterapi 41 10 6 Terapi Zat Radioaktif 31 11 Total Bidang Kesehatan 76 25 Penelitian 1 Penelitian 2 1 2 Penelitian dan Pengem bangan dalam Radiografi In dustri Fasilitas Terbuka 1 1 Total Bidang Penelitian 3 2 Total 3497 345 Sumber Data: Badan Pengawas Tenaga Nuklir, sampai dengan 1 Mei 2009
Ditinjau dari tujuan
penggunaannya, dibidang industri, zat radioaktif banyak digunakan untuk tujuan Gauging yaitu 951 unit zat radioaktif, dibidang kesehatan paling banyak untuk tujuan radioterapi, yaitu 41 unit zat radioaktif sedangkan penggunaan untuk tujuan penelitian relatif masih terbatas. Rincian mengenai jenis dan jumlah penggunaan zat radioaktif di Indonesia secara lengkap ditampilkan pada Tabel 1 di atas.
Penggunaan zat radioaktif hingga saat ini telah melibatkan sekitar 345 instansi pemerintah dan swasta sebagai pihak pemegang izin yang bertanggunjawab atas penggunaan zat radioaktif yang dimilikinya. Pemegang izin berkewajiban memenuhi ketentuan
peraturan perundangundangan yang berlaku selama menyelenggarakan penggunaan dan sanggup menerima konsekuensi hukum atas tidak dipatuhinya peraturan perundang undangan.
Jenis zat radioaktif yang banyak digunakan adalah Cs137 terutama untuk tujuan gauging dan well logging. Keadaan tersebut perlu menjadi perhatian serius mengenai limbah dari Cs137 yang merupakan zat radioaktif berumur paro cukup panjang yaitu 30 tahun sehingga penanganan limbahnya akan membutuhkan alokasi waktu yang lebih lama dan lebih ketat serta dapat menjadi beban bagi generasi yang akan datang. Untuk memenuhi salah satu prinsip prinsip pengelolaan limbah radioaktif
yang direkomendasikan secara internasional yaitu tidak menjadi beban generasi yang akan datang maka perlu ada tindakan preventif dan kuratif untuk mengantisipasi permasalahan tersebut. Tindakan preventif melalui minimalisasi pemanfaatan Cs137 melalui subtitusi Cs 137 dengan zat radioaktif lain yang berumur paro pendek dan tindakan kuratif melalui minimalisasi limbah Cs
137. Selain Cs137, penggunaan Am 241 juga mempuyai permasalahan yang sama, umur paro yang dimiliki oleh Am 241 jauh lebih lama yaitu 432 tahun. Zat radioaktif ini banyak digunakan pada bidang industri untuk tujuan gauging. Jenis dan jumlah zat radioaktif yang digunakan pada berbagai bidang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis Zat Radioaktif di Indonesia yang Digunakan Pada Bidang Industri, Kesehatan dan Penelitian
Jenis Zat Radioaktif
Bidang Industri Bidang Kesehatan Bidang Penelitina Cd109, Fe55, Ni63, Co60, Am241, Am241Be, Cm 244, Cs137, Kr85, Pm147, Ra226, Sr90, Cf252, Ba 133, Co57, H3, Th228, Th 232, Ir192, Se75, K40 Co60, Am241, Cs 137, Sr90, Ir192, Ge 68, I131 Co60, Ir192 Sumber data: Badan Pengawas Tenaga Nuklir, sampai dengan 1 Mei 2009
II.2. Konsep Cradle to Grave (timbul sampai akhir)
Konsep cradle to grave adalah analisis siklus hidup yang dapat digunakan untuk mengkaji secara langsung atau tidak langsung dampak suatu sistem atau proses terhadap lingkungan serta memberikan pengetahuan tentang interaksi yang terjadi didalamnya mulai tahap ekstraksi bahan baku, transport, proses produksi, penggunaan, disposal sampai tahap degredasi. Tujuan dari pengawasan
dengan pendekatan cradle to grave, meliputi:
1. Memberikan gambaran yang lengkap kemungkinan interaksi antara suatu kegiatan dengan lingkungan.
2. Memberikan pemahaman secara menyeluruh sifat saling ketergantunan antara lingkungan dan aktivitas manusia.
3. Menyediakan informasi bagi pengambil keputusan mengenai dampak terhadap lingkungan dari suatu kegiatan manusia beserta
pilihan penanggulan dan perbaikan dampak tersebut (4).
II.3. PENGAWASAN PEMANFAATAN ZAT RADIOAKTIF DI INDONESIA
Telah disebutkan diatas bahwa pemanfaatan zat radioaktif di Indonesia menjadi kewenangan dan tanggungjawab Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Pengawasan melalui mekanisme peraturan, perizinan dan Inspeksi. Pengawasan terhadap pemanfaatan zat radioaktif di lakukan secara komprehensif mulai dari pengadaan fasilitas dan hingga limbah radioaktif yang dihasilkan.
II.3.1. Peraturan
Peraturan berfungsi untuk memberikan arah, batasan tindakan dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemanfaat tenaga nuklir dengan tujuan melindungi pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup. Penyusunan peraturan perundangundangan tidak terlepas dari rekomendasi internasional yang mengalami adaptasi dan harmonisasi dengan situasi, kebijakan dan strategi nasional.
Induk peraturan perundang undangan yang mengatur pemafaatan tenaga nuklir adalah UU No. 10 tahun 1997, yang mengatur pokokpokok pemanfaatan tenaga nuklir di Indonenesia. UU tersebut terdiri dari 8 Bab, yaitu: ketentuan umum, kelembagaan, penelitian dan
pengembangan, pengusahaan,
pengawasan, pengelolaan limbah radioaktif, pertanggungjawaban kerugian nuklir, dan ketentuan pidana.
Turunan dari Undangundang adalah peraturan pemerintah yang mengatur lebih jelas amanat yang telah digariskan oleh undangundang. Peraturan perundangundangan lebih bersifat fleksibel dan diimbangi dengan membuka kesempatan yang proporsional dalam hal konsultasi untuk mencapai kesepakatan. Peraturan Pemerintah terkait yang telah diberlakukan adalah PP No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif, PP No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif, PP No. 43 tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir, PP No. 33 Th 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif, PP No. 29 tahun 2008 tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir, PP No. 27
tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pengawas Tenaga Nuklir.
Peraturan pelaksana yang mengatur lebih teknis perihal pemanfaatan tenaga nuklir yang merupakan turunan dari peraturan pemerintah diterbitkan Kepala BAPETEN. Proses pembentukan peraturan selalu melibatkan partisipasi pemangku kepentingan (stakeholder), profesi, dan akademisi dalam bentuk konsultasi publik. Mekanisme tersebut sangat efektif untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dan menjamin kemampulaksanaan dari peraturan yang diterbitkan. Diantara peraturan Kepala BAPETEN yang berhubungan langsung dengan pemanfaatan zat radioaktif, antara lain: Perka No.7 Tahun 2007 tentang Keamanan Sumber Radioaktif, Keputusan Kepala BAPETEN. 01/Ka BAPETEN/V99, Keputusan Kepala BAPETEN No 02/KaBAPETEN/V99 Tentang Baku Tingkat Radioaktivitas di Lingkungan, Keputusan Kepala BAPETEN No. 03/KaBAPETEN/V99 Tentang Ketentuan Keselamatan Untuk Pengelolaan Limbah Radioaktif, Keputusan Kepala BAPETENNo. 04/Ka BAPETEN/V99 Tentang Ketentuan Keselamatan untuk Pengangkutan Zat Radioaktif.
II.3.2. Perizinan
Perizinan sebagai mekanisme pengawasan yang nyata dan instrumen
penilaian kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku. Perizinan juga dapat digunakan sebagai barometer perkembangan pemanfaatan zat radioaktif di Indonesia, dengan adanya izin maka dapat dinventarisir jenis dan jumlah zat radioaktif yang beredar di Indonesia. Izin juga dapat dijadikan media budaya tertib hukum, disiplin dan tanggungjawab dan dapat memberikan kontribusi bagi profesionalisme dan kewibawaan suatu perusahaan sehingga berpengaruh terhadap kepercayaan publik.
Perizinan pemanfaatan zat radioaktif telah diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2008 tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir. Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2008, izin pemanfaatan sumber radiasi pengion dan bahan nuklir terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu izin kelompok A, B dan C. Pengelompokkan tersebut didasarkan pada resiko yang terkait dengan keselamatan dan keamanan sumber radioaktif dan bahan nuklir, dengan mempertimbangkan: potensi bahaya radiasi, tingkat kerumitan fasilitas, jumlah dan kompetensi personil bekerja, potensi dampak kecelakaan radiasi terhadap keselamatan, kesehatan
pekerja dan anggota masyarakat dan lingkungan serta potensi ancaman terhadap sumber radioaktif.
Dengan pengelompokaan izin maka persyaratan dan tata cara perizinan ditetapkan sesuai dengan resiko yang terkait, sehingga semakin tinggi resiko pemanfaatan, maka persyaratan izin yang diberlakukan semakin ketat. Izin kelompok A merupakan kelompok izin dengan persyaratan paling ketat sedangkan izin kelompok C merupakan izin dengan persyaratan paling sederhana.
II.33. Inspeksi
Inspeksi terhadap pemanfaatan zat radioaktif dilakukan dengan tujuan menilai kepatuhan terhadap syaratsyarat dalam perizinan dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Inspeksi dilaksanakan oleh inspektur yang diangkat dan diberhentikan oleh BAPETEN. Berdasarkan waktu pelaksanaannya, inspeksi terdiri dari inspeksi berkala dan sewaktuwaktu. Inspeksi sewaktuwaktu bertujuan mendapatkan kondisi eksisting dari fasilitas yang memanfaatkan zat radioaktif secara obyektif.
BAB III
METODOLOGI
Makakah ini bersifat diskriptif membahas sistem pengawasan pemanfaatan zat radioaktif dengan konsep cradle to grave. Penyusunan makalah dilakukan dengan studi pustaka, melalui tahapan pengumpulan dan review pustaka, pengolahan data pendukung dan penyusunan laporan.
BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1. Implementasi Konsep Cradle to Grave Dalam Pemanfaatan Zat RadioaktifPemantauan riwayat zat radioaktif secara implisit identik dengan penerapan konsep cradle to grave yang diterapkan untuk bahan berbahaya dan beracun (B3), karena secara tidak langsung konsep cradle to grave dapat dipandang pula sebagai konsep pengawasan secara ketat dan komprehensif terhadap suatu obyek yang memiliki resiko tinggi, hightechnology, menyangkut komitmen nasional dan internasional (5).
Skenario pengawasan zat radioaktif dimulai dari riwayat dihasilkannya/asal zat radioaktif sampai
penempatan akhir atau nasib (fate) dari zat radioaktif, termasuk pula hasil samping dari pemanfaatan zat radioaktif. Zat radioaktif di Indonesia dapat dihasilkan dari dua kegiatan, yaitu produksi dan impor yang keduanya harus mendapat izin pemanfaatan sumber radiasi pengion dan bahan nuklir dari BAPETEN sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 2008 sehingga dapat diketahui jumlah dan jenis zat radioaktif yang berada di Indonesia.
Produksi zat radioaktif buatan
dapat diperoleh melalui
penembakan/reaksi inti terhadap suatu atom (unsur) yang tidak radioaktif menjadi radioaktif. Peralatan yang digunakan untuk memperoleh zat radioaktif adalah: reaktor atom, akselerator dan irradiator. Pengoperasian peralatan Produksi radioisotop, terutama reaktor nuklir, berpotensi menimbulkan dampak kontaminasi ke lingkungan dalam bentuk airborne dan cair sehingga diperlukan pemantauan rutin terhadap kedua komponen lingkungan tersebut untuk mengetahui status radioaktivitas lingkungan.
Impor zat radioaktif merupakan kegiatan memasukkan zat radioaktif yang diproduksi di luar negeri ke Indonesia. Impor dapat dilakukan oleh importir atau
pengguna zat radioaktif, yang keduanya harus memiliki izin pemanfaatan. Pemegang izin yang akan melaksanakan impor wajib mendapat persetujuan dari Kepala BAPETEN sebelum zat radioaktif dikeluarkan dari kawasan pabean.
Zat radioaktif yang dihasilkan dari produksi dan importir dapat dipindahtangankan ke pengguna untuk digunakan di bidang kesehatan, industri, penelitian setelah mendapatkan persetujuan pengangkutan dari Badan Pengawas sehingga dapat diketahui mobilitas dan penanggungjawab zat radioaktif. Pengangkutan zat radioaktif wajib mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2000 dan Peraturan Kepala BAPETEN N0. 4 tahun 1999.
Selama kegiatan pemanfaatan zat radioaktif tidak menutup kemungkingan berdampak timbulnya produk samping dalam bentuk limbah radioaktif termasuk zat radioaktif bekas. Pengelolaan limbah radioaktif telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2002 dan Peraturan Kepala BAPETEN No. 3 Tahun 1999. Pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia menganut sistem sentralisasi dengan PTLRBATAN sebagai Badan Pelaksana sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 10 tahun 1997.
Limbah radioaktif yang dihasilkan sebagai produk samping penggunaan zat radioaktif harus dikirimkan ke Badan Pelaksana untuk dilakukan pengelolaan. Pemegang izin berkewajiban melakukan pemisahan dan pengolahan limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang yang dihasilkannya sebelum dikirim ke Badan Pelaksana. Untuk zat radioaktif bekas, ada dua pilihan pengelolaan limbahnya, yaitu dikirimkan ke Badan Pelaksana atau dikembalikan ke negara asal zat radiokatif sesuai dengan perjanjian antara pemegang izin pemanfaatan dengan produsen zat radioaktif.
Kegiatan pengiriman limbah radioaktif dari penghasil ke Badan Pelaksana atau ke negara asal harus mendapat persetujuan pengiriman dari Badan Pengawas sebagaimana pengiriman zat radioaktif dari produsen/importir ke pengguna sehingga mobilitas atau keberadaan dari zat radioaktif dapat ditelusuri.
Badan Pelaksana sebagai pihak yang diberikan kewenangan melakukan pengelolaan limbah radioaktif berdasarkan UU No. 10 tahun 1997, dalam menjalankan tugasnya dapat bekerjasama dengan BUMN atau swasta dan wajib memiliki izin pemanfaatan dari Badan Pengawas. Pengelolaan limbah
radioaktif oleh badan pelaksana dimulai dengan pemisahan atau pemilahan limbah berdasarkan fase, aktivitas, dan sifat limbah.
Pelepasan limbah radioaktif ke lingkungan oleh penghasil limbah atau pengelola limbah wajib mematuhi peraturan yang berlaku yaitu tingkat peleasan untuk limbah radioaktif cair dan gas, tingkat klierens untuk limbah radioaktif berbentuk padat serta kriteria pembuangan limbah non radioaktif.
Terhadap limbah radioaktif yang tidak dapat memenuhi tingkat klierens, pembuangannya adalah disposal kedalam tanah mulai dari zone permukaan tanah sampai dengan formasi geologi. Opsi disposal limbah radioaktif bergantung pada klasifikasi limbah radioakif yang dalam peraturan perundangundangan dibedakan menjadi penyimpanan lestari untuk limbah radioaktif tingkat tinggi dan penyimpanan untuk limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang. Implementasi disposal tersebut sampai saat ini belum terlaksana yang disebakan kebijakan nasional yang memilih siklus terbuka dalam mengelola limbah radioaktif tingkat tinggi, yaitu bahan bakar nuklir bekas dan volume limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang yang masih dalam kapasitas tertangani dalam fasilitas tempat penyimpanan sementara.
Untuk memastikan tingkat radioaktivitas lingkungan disekitar fasilitas penggunaan zat radioaktif dan fasilitas pengelolaan limbah radioaktif, maka wajib dilakukan pemantauan lingkungan disekitar lokasi untuk menilai kondisi radioaktivitas lingkungan dan Badan Pengawas akan melakukan verifikasi dalam bentuk inspeksi.
Skematis kegiatan pemanfaatan zat radioaktif sejak ditimbulkan sampai
penempatan akhir dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema Kegiatan Pemanfaatan ZatRadioaktif di Indonesia
IV.2. Potensi Implementasi Konsep
Cradle to Cradle
Berdasarkan analisa penulis terhadap literatur, pendekatan cradle to grave cenderung hanya memberikan kepastian status dan tanggungjawab terhadap pemanfaatan zat radioaktif, tanpa mengarah pada upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan zat radioaktif. Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, maka pendekatan cradle to cradle lebih sesuai untuk dipromosikan sebagai pengganti konsep cradle to grave.
Pendekatan cradle to cradle mengarahkan pemanfaatan zat radioaktif diupayakan sedemikian rupa sehingga
tidak menghasilkan limbah (zerro waste). Terdapat tiga kemungkinan dalam mewujudkan tujuan tersebut, yaitu melalui: Reuse (zat radioaktif digunakan kembali untuk tujuan yang sama atau berbeda), Recycle (zat radioaktif diproses ulang), dan Recovery (pengambilan kembali).
Dengan pendekatan cradle to cradle akan menekan atau mereduksi produksi zat radioaktif sehingga juga mengurangi resiko yang ditimbulkannya termasuk jumlah limbah radioaktif. Pendekatan cradle to cradle sesuai dengan optimisasi dalam asas proteksi radiasi sebagai salah satu persyaratan pemanfaatan zat radioaktif. Produksi Zat Radioaktif Impor Proses Manfaat Limbah Radioaktif Zat Radioaktif Bekas Efluen Cair dan Airborne Pengelolan Limbah oleh Badan Pelaksana Batas Pelepasan Penetapan Klierens Lingkungan Lingkungan Disposal
BAB V
KESIMPULAN
1. Pengawasan terhadap pemanfaatan zat radioaktif di Indonesia menjadi tanggungjawab dan kewenangan BAPETEN yang diselenggarakan melalui peraturan, perizinan dan inspeksi sebagai bentuk penerapan secara implisit konsep cradle to grave.
2. Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, maka menurut pendapat penulis, pendekatan cradle to cradle lebih sesuai untuk dipromosikan sebagai pengganti konsep cradle to grave, melalui: reuse, recycle dan recovery terhadap limbah radioaktif.
DAFTAR PUSTAKA
1. UndangUndang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Jakarta, 1997
2. Erwansyah Lubis, Keselamatan Radiasi Lingkukungan dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif di Indonesia, Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, BATAN, 2003 3. Arya Wardhanana, Radioekologi,
Andi Offset, Yogyakarta, 1996. 4. IAEA, TECDOC1279: Non
Technical Factor Impacting on The Decision Making Processes in Environmental Remediation, Vienna, 2002
5. KLH, Desentralisasi dan Limbah B3, KLH, 2000