• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. pertumbuhan akar dan penyerapan unsur hara (Deptan, 2006) 0,22% P2O5, 0,30% MgO dan unsur-unsur mikro antara lain 10 ppm B, 23 ppm

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. pertumbuhan akar dan penyerapan unsur hara (Deptan, 2006) 0,22% P2O5, 0,30% MgO dan unsur-unsur mikro antara lain 10 ppm B, 23 ppm"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Limbah Padat Tandan Kosong Kelapa Sawit

Tandan kosong sawit berfungsi ganda yaitu selain menambah hara ke dalam tanah, juga meningkatkan kandungan bahan organik tanah yang sangat diperlukan bagi perbaikan sifat fisik tanah. Dengan meningkatnya bahan organik tanah maka struktur tanah semakin mantap dan kemampuan tanah menahan air bertambah baik, perbaikan sifat fisik tanah tersebut berdampak positif terhadap pertumbuhan akar dan penyerapan unsur hara (Deptan, 2006)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PPKS, Pabrik Minyak Sawit menghasilkan limbah padat dan limbah cair memiliki potensi pemanfaatan sebagai pupuk organik bagi tanaman kelapa sawit. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan bahan organik yang mengandung ; 42,8 % C, 2,90 % K2O, 0,80% N, 0,22% P2O5, 0,30% MgO dan unsur-unsur mikro antara lain 10 ppm B, 23 ppm Cu dan 51 ppm Zn. Dalam setiap 1 ton Tandan Kosong sawit mengandung unsur hara yang setara dengan 3 Kg Urea, 0,6 kg RP, 12 kg MOP dan 2 kg kiserit. (Humas, 2008)

Tandan kosong ditumpuk dan dibiarkan sampai membusuk tidak akan menjadi kompos organik yang bermutu karena nilai C/N masih tinggi. Pengomposan adalah penurunan rasio atau perbandingan antara karbohidrat dan nitrogen dengan singkatan nilai C/N. Bahan organik yang berasal dari tanaman atau hewan / kotoran hewan yang masih segar mempunyai nilai C/N yang tinggi antara 50 – 400 (kayu yang tua). Bahan oprganik dapat diserap tanah adalah mempunyai C/N yang sama dengan tanah ialah sekitar 10 – 12 oleh karena itu

(2)

limbah sawit (cair dan padat) yang mempunyai nilai C/N tinggi harus diturunkan (IOPRI, 2002).

Dekomposisi tandan kosong kelapa sawit secara alami sangat lambat, memerlukan waktu yang cukup lama yaitu antara 6 – 12 bulan. Menurut Khalid dkk (2000) kecepatan dekomposisi TKS di lapangan dipengaruhi oleh iklim makro, iklim mikro, kualitas bahan dan aktivitas organisme pada areal tersebut. Secara rata-rata residu tanaman kelapa sawit di lapangan terdekomposisi selama 12 – 18 bulan.

Komponen bahan padat terbesar TKS terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin dalam jumlah yang lebih kecil sehingga limbah TKS ini disebut juga lignoselulosa. Menurut Syafwina et al (2002) dalam Hermiati dkk (2010) kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin pada tandan kosong kelapa sawit adalah 41,30 – 46,50 % selulosa, 25,30 – 33,80 % hemiselulosa dan 27,60 – 32,50 % lignin.

Deptan (2006) menyatakan melalui kegiatan mikroorganisme tanah atau proses mineralisasi, unsur hara yang didapati pada tandan kosong kelapa sawit kembali ke dalam tanah. Namun unsur hara tersebut tidak seluruhnya dapat diserap oleh akar tanaman disebabkan terimmobilisasi (digunakan langsung oleh mikroorganisme tanah untuk menunjang kelangsungan hidupnya.

Penempatan Tandan Kosong Kelapa Sawit - Piringan

Penempatan Tankos pada tanaman belum menghasilkan (TBM) dapat dilakukan dengan cara meletakkannya atau menyusun dipiringan pada jarak ± 30

(3)

cm dari pangkal batang pada TBM 0, dan pada jarak ± 50 cm dari pangkal batang pada TBM 1-3, jarak ini dimaksudkan sebagai tempat menaburkan pupuk. Penebaran Tankos pada tanaman menghasilkan dilaksanakan tanpa berlapis di gawangan. Penebaran dilakukan merata hingga ke pinggir piringan (Deptan, 2006). Dosis aplikasi yang digunakan adalah sebanyak 40 ton TKKS/Ha/thn (Darmosarkoro dan Rahutomo, 2000).

- Rorak

Rorak adalah lubang-lubang buntu dengan ukuran tertentu yang dibuat pada bidang olah dan sejajar dengan garis kontur. Fungsi rorak adalah untuk menjebak dan meresapkan air ke dalam tanah serta menampung sedimen-sedimen dari bidang olah. Pembuatan rorak dapat dikombinasikan dengan mulsa vertikal untuk memperoleh kompos.

Adanya rorak akan menjebak aliran permukaan dan memberikan kesempatan kepada air hujan untuk terinfiltrasi ke dalam tanah. Dengan demikian rorak akan menurunkan aliran permukaan yang keluar dari lahan secara signifikan.

Ukuran dan jarak rorak yang direkomendasikan cukup beragam. Arsyad (2006) merekomendasikan dimensi rorak : dalam 60 cm, lebar 50 cm dengan panjang berkisar antara satu meter sampai 5 meter. Jarak ke samping disarankan agar sama dengan panjang rorak dan diatur penempatannya di lapangan dilakukan secara berselang-seling agar terdapat penutupan areal yang merata. Jarak searah lereng berkisar dari 10 sampai 15 meter pada lahan yang landai (3% - 8%) dan agak miring (8% - 15%), 5 sampai 3 meter untuk lereng yang miring (15% ± 30%).

(4)

Hasil penelitian dari Brata (1992) dalam Pemanfaatan Jerami Padi Sebagai Mulsa Vertikal Untuk Mengendalikan Aliran Permukaan menyatakan bahwa mulsa vertikal dapat menekan jumlah aliran permukaan selama musim tanam jagung dibandingkan dengan mulsa konvensional. Bertambahnya permukaan resapan oleh adanya saluran dan terhambatnya aliran permukaan oleh adanya guludan akan memberikan kesempatan aliran permukaan untuk meresap ke dalam tanah di sekitar saluran lebih lama, sehingga jumlah kelebihan aliran permukaan yang hilang dari petakan berkurang. Dengan jarak antar saluran yang sama, perlakuan mulsa vertikal (T3) lebih efektif dalam menekan aliran permukaan dibandingkan dengan teras gulud (T2). Hal ini terjadi karena laju infiltrasi saluran pada perlakuan teras gulud (T2) menurun lebih cepat akibat penyumbatan pori makro dinding saluran oleh sedimen yang terangkut aliran permukaan; sedangkan pada perlakuan mulsa vertikal (T3) penyumbatan pori makro pada dinding saluran dapat dihambat oleh sisa tanaman. Aktivitas binatang dan mikroba tanah yang memanfaatkan mulsa dalam saluran bahkan dapat memperbaiki sifat fisik tanah disekitar saluran seperti dilaporkan oleh Parr (1959). Peningkatan efektivitas mulsa vertikal dalam penurunan laju aliran permukaan dengan makin pendeknya jarak antar saluran (dari T3 sampai T5) disebabkan makin pendeknya panjang lereng yang berarti makin sempitnya luas daerah tampungan hujan untuk setiap saluran.

Murtilaksono, dkk (2009) dalam penelitiannya Upaya Peningkatan Produksi Kelapa Sawit melalui Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air menyatakan bahwa aplikasi teras gulud dan rorak yang dikombinasikan dengan

(5)

lubang resapan meningkatkan jumlah pelepah daun, jumlah tandan, rataan berat tandan, dan produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit tanaman contoh di setiap blok. Aplikasi teras gulud berpengaruh paling tinggi terhadap produksi TBS per blok atau per hektar (25,2 t ha-1) dibandingkan produksi TBS pada perlakuan rorak (23,6 t ha-1) dan blok tanpa aplikasi konservasi tanah dan air atau kontrol (20,8 t ha-1) yang masih tinggi baik dari produksi TBS rataan afdeling (19,0 kg ha-1). Aplikasi teras gulud memberikan hasil tertinggi berat rataan TBS per tandan (RBT) (21 kg) dibandingkan dengan RBT pada perlakuan rorak (19 kg) dan RBT terendah pada perlakuan kontrol (18 kg).

- Lubang Biopori

Lubang biopori membantu menekan terjadinya genangan/banjir pada tapak lahan. Lubang biopori sedalam 1 meter berdiameter 10 cm dapat menampung air sebanyak 0,03 m3 (30 liter) menggemburkan tanah sehingga memudahkan terjadinya pertukaran udara di dalam tanah. Fungsi lain, dapat digunakan sebagai lubang pembuat kompos dengan memasukkan sampah organik ke dalamnya (Rauf, 2010).

Keunggulan dan manfaat biopori yaitu meningkatkan daya resapan air, kehadiran lubang resapan biopori secara langsung akan menambah bidang resapan air, setidaknya sebesar luas kolom/dinding lubang. Sebagai contoh bila lubang dibuat dengan diameter 10 cm dan dalam 100 cm maka luas bidang resapan akan bertambah sebanyak 3140 cm2 atau hampir 1/3 m2. Dengan kata lain suatu permukaan tanah berbentuk lingkaran dengan diameter 10 cm, yang semula

(6)

mempunyai bidang resapan 78,5 cm2 setelah dibuat lubang resapan biopori dengan kedalaman 100 cm, luas bidang resapannya menjadi 3.218 cm2

Dengan adanya aktivitas fauna tanah pada lubang resapan maka biopori akan terbentuk dan senantiasa terpelihara keberadaannya. Oleh karena itu bidang resapan ini akan selalu terjaga kemampuannya dalam meresapkan air. Dengan demikian kombinasi antara luas bidang resapan dengan kehadiran biopori secara bersama-sama akan meningkatkan kemampuan dalam meresapkan air.

.

1. Mengubah sampah organik menjadi kompos, lubang resapan biopori ‘diaktifkan’ dengan memberikan sampah organik kedalamnya. Sampah ini akan dijadikan sebagai sumber energi bagi organisme tanah untuk melakukan kegiatannya melalui proses dekomposisi. Sampah yang telah didekomposisi ini dikenal dengan kompos. Dengan melalui proses seperti itu maka lubang resapan biopori selain berfungsi sebagai lubang peresap air juga sekaligus berfungsi sebagai ‘pabrik’ pembuat kompos. Kompos dapat dipanen pada setiap periode tertentu dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada berbagai jenis tanaman, seperti tanaman hias, sayuran, dan jenis tanaman lainnya.

2. Memanfaatkan fauna tanah dan akar tanaman, seperti disebutkan diatas, lubang bipori diaktifkan oleh organisme tanah, khususnya fauna tanah dan perakaran tanaman. Aktivitas mereka yang selanjutnya akan menciptakan rongga-rongga atau liang-liang dalam tanah yang akan dijadikan ‘saluran’ air untuk meresap kedalam tubuh tanah. Dengan memanfaatkan aktivitas mereka maka rongga – rongga atau liang-liang tersebut akan terpelihara dan terjaga

(7)

keberadaannya sehingga kemampuan peresapannya akan tetap terjaga tanpa campur tangan manusia untuk pemeliharaannya. Hal ini tentunya akan sangat menghemat tenaga dan biaya. Kewajiban faktor manusia dalam hal ini adalah memberikan pakan kepada mereka berupa sampah organik pada periode tertentu. Sampah organik yang dimasukkan kedalam lubang akan menjadi humus dan tubuh biota dalam tanah, tidak cepat diemisikan ke atmosfir sebagai gas rumah kaca; berarti mengurangi pemanasan global dan memelihara biodiversitas dalam tanah.

(Tim Biopori IPB, 2007)

Mikroorganisme Perombak Bahan Organik

Pengertian umum yang saat ini banyak dipakai untuk memahami organisme perombak bahan organik atau biodekomposer adalah organisme pengurai nitrogen dan karbon dari bahan organik (sisa-sisa organik jaringan tumbuhan atau hewan yang telah mati) yaitu bakteri, fungi dan aktinomisetes. Perombak bahan organik terdiri atas perombak primer dan perombak sekunder. Perombak primer adalah mesofauna perombak bahan organik, seperti Colemboll

dan Acarina yang berfungsi meremah-remah bahan organik/serasah menjadi berukuran kecil. Cacing tanah memakan sisa-sisa remah tadi yang lalu dikeluarkan sebagai feases setelah melalui pencernaan dalam tubuh cacing. Perombak sekunder ialah mikroorganisme perombak bahan organik seperti

Trichoderma reesei, T. Harzianum, T. Koningii, Phanerochaeta crysosporium, Cellulomonas, Pseudomonas, Thermospora, Aspergillus niger, A. Terreus, Penicillium dan Streptomyces. Adanya aktivitas fauna tanah, memudahkan

(8)

mikroorganisme untuk memanfaatkan bahan organik, sehingga proses mineralisasi berjalan cepat dan penyediaan unsur hara bagi tanaman lebih baik (Saraswati dkk, 2006)

Mikroorganisme perombak bahan organik merupakan aktivator biologis yang tumbuh alami atau sengaja diberikan untuk mempercepat pengomposan dan meningkatkan mutu kompos. Jumlah dan jenis mikroorganisme menentukan keberhasilan proses dekomposisi atau pengomposan. Proses dekomposisi bahan organik di alam tidak dilakukan oleh satu mikroorganisme monokultur tetapi dilakukan oleh konsorsia mikroorganisme. Beberapa jenis mikroorganisme yang umum ditemukan dalam tumpukan sampah tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Mikroorganisme yang umum berasosiasi dalam tumpukan sampah

Bakteri Fungi Mesofil - Pseudomonas spp - Achromobacter spp - Bacillus spp - Flavobacterium spp - Clostridium spp - Sterptomyces spp - Alternaria spp - Cladosporium spp - Aspergillus spp - Mucor spp - Humilo spp - Penicillium spp Termofil - Bacillus spp - Streptomyces spp - Thermoactinomyces spp - Thermus spp - Thermonospora spp - Microplyspora spp - Aspergillus dpp - Mucor pusillus - Chaetomium thermophile - Humicola lanuginosa - Absidia ramosa - Sprotricbum thermofphile

- Torula thermophile (Yeast)

- Thermoascus aurenticus

(9)

Jumlah total sel bakteri pada lokasi aplikasi mengindikasikan bahwa aplikasi ini telah menyediakan cukup nutrisi berupa senyawa karbon sederhana monosakarida, asam amino, dan asam lemak yang secara umum lebih mudah dimetabolisme kelompok bakteri dibandingkan senyawa kompleksnya seperti selulosa atau amilum, protein, dan lemak (Widhiastuty dkk, 2006)

Rao (1994) menyatakan beberapa mikroba seperti Trichoderma, Aspergillus dan Penicillium mampu merombak sellulosa menjadi bahan senyawa-senyawa monosakarida, alkohol, CO2

Irawan dan Yulianti (2004) yang menyimpulkan bahwa diketahui 3 spesies fungi dekomposer dominan dari perkebunan kopi yaitu : Fusarium sp,

Aspergillus sp dan Trichoderma sp. Fungi ini berkembang hebat di tanah-tanah asam, netral dan alkali, beberapa diantaranya menyukai pH rendah. Pitt dan Hocking (1997) yang menyatakan jenis-jenis fungi antara lain Fusarium sp,

Mucorsp, Rhizopussp, dan Trichoderma sp, mampu bertahan hidup dan bersaing dengan fungi lain untuk mendapatkan ruang tumbuh serta unsur lain yang diperlukan untuk pertumbuhannya.

dan asam-asam organik lainnya dengan dikeluarkannya enzim selulase. Dermiyati (1997) dan Utomo (2010) menyatakan

Penicillium sp mampu menguraikan bahan organik lebih baik dibandingkan fungi lain, karena dari tanah gambut saprik dan hemik, Penicilliumm sp merupakan fungi yang dominan.

Jumlah total sel bakteri pada lokasi aplikasi limbah mengindikasikan bahwa aplikasi telah menyediakan cukup nutrisi berupa senyawa karbon sederhana monosakarida, asam amino, dan asam lemak yang secara umum lebih

(10)

mudah dimetabolisme kelompok bakteri dibandingkan senyawa kompleksnya seperti selulosa atau amilum, protein, dan lemak (Widhiastuty dkk, 2006).

Imasari (2011) ) pengaruh aplikasi limbah cair pabrik kelapa sawit terhadap sifat biologi tanah menunjukkan jumlah mikroorganisme baik bakteri, jamur dan aktinomesetes lebih tinggi pada lahan yang diaplikasi limbah cair pabrik kelapa sawit dibanding tanpa aplikasi, distribusi mikroorganisme tanah makin kedalam semakin rendah.

Proses Perombakan Bahan Organik

Proses biologi untuk menguraikan bahan organik mejadi bahan humus oleh mikroorganisme dikenal sebagai dekompoisi atau pengomposan. Aktivitas dasar mikroorganisme tanah sama seperti kehidupan lainnya, bertahan hidup melalui reproduksi. Mikroorganisme tanah menggunakan komponen residu tanaman sebagai substrat untuk memperoleh energi yang dibentuk melalui oksidasi senyawa organik, dengan produk utama CO2

Proses pengomposan akan segera berlansung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat.

yang dilepas kembali ke alam, dan sumber karbon untuk sintesis sel baru. Dekomposisi atau pengomposan disebut juga sebagai respirasi mikroba atau mineralisasi, yang merupakan salah satu bagian dari siklus karbon.

(11)

Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50o- 70o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekmposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2

Reaksi yang terjadi pada perombakan sistem aerobik :

, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume/bobot awal bahan (Isroi, 2006)

Gula (CH2O)x + O2 xCO2 + H2 (Sellulosa, hemisellulosa)

O + E

N-organik (protein) NH4+ NO2- NO3- + E Sulfur organik (S) + xO2 SO42- + E

Fosfor organik H3BO3 Ca(HPO4 (Fitin, lesitin)

)

Reaksi utuh :

Bahan organik CO2

(484-674 kcal/mol glukosa) + H2O + hara + humus + E

Proses perombakan bahan organik secara alami membutuhkan waktu relatif lama (3-4 bulan) sehingga sangat menghambat upaya pelestarian penggunaan bahan organik untuk lahan-lahan pertanian, apalagi jika dihadapkan dengan masa tanam yang mendesak untuk menghasilkan produksi tinggi, sehingga

(12)

secara alami adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Sebagian besar materi limbah bahan organik Gimnospermae dan Angiospermae merupakan senyawa selulosa dan 15 – 36 % adalah senyawa lignin (Erikson et al, 1989).). Lignin berikatan dengan hemiselulosa dan selulosa membentuk segel fisik diantara keduanya, yang merupakan barier yang mencegah penetrasi larutan dan enzim (Howart et al, 2003). Oleh karena itu lignin menjadi penghalang akses enzim selulolitik pada degradasi bahan berligno-selulosa. Hal ini menghambat proses dekomposisi, yang pada akhirnya menyebabkan penumpukan limbah organik yang berdampak negatif lingkungan. Polimer tersebut dapat didegradasi oleh beberapa macam mikroorganisme yang mampu memproduksi enzim yang relevan. Strategi untuk mempercepat proses biodekomposisi bahan organik dengan memanfaatkan mikroba lignoselulolitik (dekomposer) (Saraswati dkk, 2006)

Penelitian Mardiana (2004) mendekomposisi tandan kosong kelapa sawit dengan penambahan mikroorganisme selulolitik, amandemen dan limbah cair kelapa sawit. Kesimpulan penelitian tersebut menyatakan interaksi perlakuan penambahan mikroorganisme selulolitik dan amandemen berpengaruh nyata terhadap penurunan nilai C/N dan peningkatan kadar K kompos.

Sifat Fisik dan Kimia Tanah Serta Hubungannya Dengan Pertumbuhan Tanaman

Hanafiah (2007) menyatakan porositas mencerminkan tingkat kecepatan aliran air untuk melewati massa tanah. Penyediaan air dan O2 untuk pertumbuhan tanaman dan jumlah air yang bergerak melalui tanah berkaitan erat dengan jumlah pori-pori tanah. Harahap (2010) menyatakan perkembangan perakaran dan produksi akan membaik jika terjadi perimbangan antara jumlah air dan udara

(13)

dalam pori-pori tersebut. Ruang pori-pori total pada tanah berpasir semakin rendah tetapi sebagian besar dari pori-pori itu terdiri dari pori-pori makro dan sangat efisien dalam lalu lintas air maupun udara.

Harahap (2010) menyatakan infiltrasi tanah ternyata berperan positif terhadap produksi dan perkembangan perakaran tanaman pada kedalaman 0 – 25 cm. Suatu infiltrasi ke dalam profil dengan lapisan tekstur halus yang berada di atas lapisan kasar, maka laju infiltrasi ditentukan oleh lapisan atas akan tetapi saat air mencapai bidang pertemuan dengan lapisan kasar yang lebih rendah laju infiltrasi akan berkurang.

Laju infiltrasi dibagi atas beberapa kelas : Tabel 2. Kelas Laju Infiltrasi

Kelas Kriteria cm/jam 1 Sangat lambat < 0,1 cm/jam

2 Lambat 0,1 – 0,5 cm/jam

3 Agak Lambat 0,5 – 2,0 cm/jam

4 Sedang 2,0 – 6,0 cm/jam

5 Agak Cepat 6,0 – 12,5 cm/jam

6 Cepat 12,5 – 25 cm/jam

7 Sangat cepat >25 cm/jam Su Sumber : Arsyad, 1989

Harahap (2010) menyatakan dilihat dari hubungan keeratan antara tekstur dengan perkembangan perakaran dan produksi, ternyata semakin tinggi kandungan liat maka perkembangan perakaran dan produksi menjadi berkurang, hal ini dapat difahami karena semakin tinggi liat maka relatif tanah menjadi semakin tidak porous. Tanah yang tidak porous menyebabkan akar sulit berpenetrasi, makin sulit air dan udara untuk bersirkulasi dan juga menyebabkan gerakan air kebagian tanah bawah terhambat.

(14)

tersebut terutama berada 2,0 — 2,5 m dari pokok dan terbanyak dijumpai pada kedalaman 0 — 30 cm dari permukaan tanah serta dapat tumbuh memanjang ke samping hingga mencapai 6 m dengan pola penyebaran yang berbeda-beda. Harahap (2010) menyatakan dengan berkembangnya perakaran semakin memperpendek jarak antara air dan unsur-unsur hara tersedia di dalam tanah yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh dan berproduksi. Produktivitas kelapa sawit meningkat dengan cepat dan mencapai maksimum pada umur tanaman 8-12 tahun, kemudian menurun secara perlahan-lahan dengan tanaman yang makin tua hingga umur ekonomis 25 tahun (Manurung, 2011).

Hardjowigeno (1995) menyatakan erosi akan meningkat apabila lereng semakin curam atau semakin panjang. Apabila lereng semakin curam maka kecepatan aliran permukaan meningkat sehingga kekuatan mengangkut meningkat pula. Lereng yang semakin panjang menyebabkan volume air yang mengalir menjadi semakin besar. Apabila dalamnya air menjadi dua kali lipat, maka kecepatan aliran menjadi 4 kali lebih besar akibatnya besar benda ataupun berat benda yang terangkut juga berlipat ganda.

Perkembangan akar kelapa sawit pada tanah berkerapatan lindak yang ekstrim tinggi ternyata tidak terganggu, tetapi bukan berarti tidak dapat ditembusnya. Bila berdasarkan kebutuhannya sebagai jangkar untuk memperkokoh berdirinya batang maupun untuk mencari unsur hara dan air, kerapatan lindak tanah yang ekstrim tinggi masih mampu dimasukinya walaupun dengan kecepatan tumbuh yang rendah. Nilai kerapatan lindak 1,50 merupakan

(15)

batas bagi akar dapat berkembang dengan tidak mengalami hambatan (Harahap, 1999).

Bahan organik bereperan dalam memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah, Lubis (2006) menyatakan beberapa kontribusi bahan organik tanah terhadap kesuburan tanah adalah melalui aktifitas mikroorganisme, dengan memberikan suplai hara tersedia nitrogen, fosfor, kalium dan hara mikro secara terus menerus dengan laju tetap; memperbaiki struktur tanah; memberikan faktor-faktor pertumbuhan yang sesuai dan proses kelasi.

Ketersediaan bahan organik menurut Tan (1992) menyebabkan terjadinya pembentukan kompleks pengkhelatan yang memegang peranan penting dalam meningkatkan kesuburan tanah. Pengkhelatan menyebabkan meningkatnya mobilitas banyak kation sehingga tersedia bagi tanaman, mempercepat proses dekomposisi mineral-mineral tanah sehingga mempercepat pelepasan hara-hara terlarut. Asam – asam humat dan fulfat meningkatkan pelepasan K yang tersemat diantara ruang antar misel liat. Asam – asam humat dan fulfat mempunyai afinitas yang tinggi terhadap Al, Fe dan Ca sehingga asam-asam tersebut akan bersaing atas unsur-unsur tersebut dengan senyawa-senyawa fosfat melalui pembentukan kompleks, sehingga ion fosfat terbebaskan ke dalam larutan tanah.

Bahan organik melalui perannya akan meningkatkan porositas tanah dan ketersediaan unsur hara P. Menurut Hardjowigeno (1995), hara P berperan penting bagi tanaman terutama dalam pembelahan sel, pembentukan bunga, buah dan biji, memperkuat batang agar tidak mudah roboh, merangsang perkembangan akar dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit.

(16)

Gambar

Tabel 1. Mikroorganisme yang umum berasosiasi dalam tumpukan sampah

Referensi

Dokumen terkait

4) Guru bersama siswa membuat lagu modifikasi bersama, 5) Guru memberikan soal pengayaan tentang apa yang telah di pelajari bersama umtuk me- ngetahui seberapa faham

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa rataan genotipe mutan (M3) tertinggi pada genotipe A (F3R0C0) dan yang terendah pada genotipe F (M3R2C1) terhadap parameter jumlah

Hasil penelitian yang kedua berhasil mendukung hipotesis kedua seperti pada hipotesis pertama yaitu bahwa variabel kualitas layanan dan kepuasan secara parsial mempunyai pengaruh

Delik-delik tertentu (special delicten) di dalam KUHP.. memudahkan atau menolong kejahatan tersebut. Skedar si pelaku kejahatan mengharapkan bahwa barang yang telah

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif 4 , yaitu penelitian hukum yang menekankan pada penelaahan dokumen-dokumen hukum dan bahan-bahan pustaka yang

bahwa Peraturan Bupati Tulang Bawang Barat Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pembentukan Unit Layanan Pengadaan Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang Barat, tidak sesuai

Dengan memberikan dukungan, dorongan, membantu pekerjaan ibu, mengurangi beban mentalnya, menghindari membahas masalah emosi, dan segera memberikan penanganan yang tepat