• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEEMPUKAN, SUSUT MASAK, DAYA MENGIKAT AIR DAN ph DAGING DOMBA JANTAN MUDA PADA LAMA PENGGEMUKAN SATU, DUA DAN TIGA BULAN SKRIPSI GALUH KUSUMASTUTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEEMPUKAN, SUSUT MASAK, DAYA MENGIKAT AIR DAN ph DAGING DOMBA JANTAN MUDA PADA LAMA PENGGEMUKAN SATU, DUA DAN TIGA BULAN SKRIPSI GALUH KUSUMASTUTI"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

KEEMPUKAN, SUSUT MASAK, DAYA MENGIKAT AIR DAN

pH DAGING DOMBA JANTAN MUDA PADA LAMA

PENGGEMUKAN SATU, DUA DAN

TIGA BULAN

SKRIPSI

GALUH KUSUMASTUTI

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

(2)

RINGKASAN

GALUH KUSUMASTUTI. D14202008. 2006. Keempukan, Susut Masak, Daya Mengikat Air dan pH Daging Domba Jantan Muda pada Lama Penggemukan Satu, Dua dan Tiga Bulan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi

Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si.

Pembimbing Anggota : Ir. Maman Duldjaman, M.S.

Domba sebagai penghasil daging menduduki urutan kelima dalam penyediaan daging secara nasional. Permintaan pasar akan daging domba perlu ditunjang dengan produksi dalam skala yang besar, tidak hanya secara tradisional. Salah satu usahanya yaitu dengan penggemukan. Lama penggemukan memegang peranan yang penting agar efisiensi dan kualitas daging yang baik dapat tercapai.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik daging domba ekor tipis yang meliputi keempukan, susut masak, daya mengikat air dan pH pada lama penggemukan yang berbeda. Penelitian dilaksanakan di peternakan domba Mitra Tani Farm, Desa Tegal Waru, Ciampea, Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Juli sampai Oktober 2005.

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 domba ekor tipis jantan lepas sapih berumur kurang dari satu tahun. Pakan yang diberikan adalah konsentrat dan rumput gajah. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga taraf perlakuan dan lima kelompok. Perlakuannya adalah lama penggemukan, taraf perlakuannya P1= lama penggemukan satu bulan, P2= lama penggemukan dua bulan, dan P3= lama penggemukan tiga bulan. Peubah yang diamati meliputi bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, tebal lemak punggung, luas urat daging mata rusuk, nilai pH, keempukan, susut masak, dan daya mengikat air daging. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA), jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perbedaan di antara perlakuan tersebut.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa lama penggemukan hingga tiga bulan meningkatkan bobot karkas, dan tebal lemak punggung, namun tidak mempengaruhi persentase karkas dan luas udamaru. Lama penggemukan hingga dua bulan meningkatkan bobot potong. Nilai pH cenderung naik dan daya mengikat air turun dengan semakin lama penggemukan, sedangkan susut masak dan keempukan tidak berubah.

Kata-kata kunci : domba ekor tipis, keempukan, pH, daya mengikat air, susut masak, lama penggemukan

(3)

ABSTRACT

Tenderness, Cooking Loss, Water Holding Capacity, and pH Value of Male Lamb in Different Fattening Period

Kusumastuti, G., T. Suryati, and M. Duldjaman

This study was aimed to examine meat physical characteristic of male thin tail lamb in different fattening period (1, 2, and 3 month). This research was carried out at Mitra Tani Farm, Tegalwaru Ciampea Bogor for 3 months. Fifteen males thin tail lamb with average body weight of 13,77±1,57 kg were used in this study. The experimental design was a randomized complete block design. The collected data was analyzed using analysis of variance (ANOVA) which was followed by the Duncan’s test for any significant result. The result showed that different fattening period has significantly effect (P<0.05) to pH value, waterholding capacity, subcutaneous fat thickness, live weight, and carcass weight.

Keywords : thin tail lamb, tenderness, cooking loss, water holding capacity, pH value, fattening period

(4)

KEEMPUKAN, SUSUT MASAK, DAYA MENGIKAT AIR DAN

pH DAGING DOMBA JANTAN MUDA PADA LAMA

PENGGEMUKAN SATU, DUA DAN

TIGA BULAN

GALUH KUSUMASTUTI D14202008

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

(5)

KEEMPUKAN, SUSUT MASAK, DAYA MENGIKAT AIR DAN

pH DAGING DOMBA JANTAN MUDA PADA LAMA

PENGGEMUKAN SATU, DUA DAN

TIGA BULAN

Oleh

GALUH KUSUMASTUTI D14202008

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 22 Mei 2006

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. Ir. Maman Duldjaman, M.S. NIP : 132 159 706 NIP : 130 422 709

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. NIP : 131 624 188

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Juli 1984 di Wonosobo, Jawa Tengah. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara yang berasal dari pasangan Much Jasir, S.Sos dan Widyastuti.

Pendidikan taman kanak-kanak diselesaikan pada tahun 1990 di TK Pertiwi UDW Pemwilda TK II Wonosobo. Pendidikan dasar dimulai di SD Negeri Wonosobo V hingga kelas 2 dan diselesaikan pada tahun 1996 di SD Negeri Wadaslintang 1. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTP Negeri 1 Wadaslintang. Pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMU Negeri 1 Wonosobo.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Organisasi Daerah Ikatan Mahasiswa Wonosobo (IKAMANOS). Penulis menjadi anggota English Club yang merupakan salah satu cabang kegiatan Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak tahun 2003-2004. Penulis menjadi anggota Koperasi Mahasiswa IPB (KOPMA IPB) tahun 2003-2004. Penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-dasar Mikrobiologi Hasil Ternak pada semester genap tahun akademik 2004/2005. Penulis merupakan penerima beasiswa Supersemar dari yayasan Supersemar.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Judul skripsi ini adalah ” Keempukan, Susut Masak, Daya Mengikat Air dan pH Daging Domba Jantan Muda pada Lama Penggemukan Satu, Dua dan Tiga Bulan” disusun dan diajukan untuk

memperoleh gelar sarjana di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini berisi tentang sifat fisik daging domba ekor tipis jantan pada lama penggemukan yang berbeda. Peubah yang diamati yaitu bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, tebal lemak punggung, luas udamaru, nilai pH, keempukan, susut masak, dan daya mengikat air. Peubah tersebut digunakan untuk mengetahui lama penggemukan domba yang efisien dan menghasilkan daging yang yang berkualitas baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga karya ini bisa bermanfaat.

Bogor, Mei 2006

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN... i

ABSTRACT... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... ... vii

DAFTAR LAMPIRAN... ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 2

Domba Ekor Tipis... 2

Pertumbuhan Domba ... 2

Penggemukan Domba ... 3

Pakan Ternak ... 4

Konversi Otot menjadi Daging ... 5

Kegagalan Sistem Peredaran Darah... 5

Produksi dan Pelepasan Panas Postmortem... 5

Penurunan pH Otot ... 5

Rigormortis atau Kekakuan Otot Setelah Kematian... 6

Karkas dan Komponennya... 6

Daging... 7

Sifat Fisik Daging ... 7

Daya Mengikat Air ... 7

Nilai pH Daging... 8

Keempukan Daging ... 8

Susut Masak... 8

METODE... 10

Lokasi dan Waktu ... 10

Materi... 10 Rancangan... 10 Perlakuan... 10 Model Percobaan... 11 Peubah... 11 Analisa Data... 13 Prosedur... 13

Persiapan Pemeliharaan Ternak... 13

(9)

Pengelompokan Ternak ... 14

Pemeliharaan... 14

Persiapan Sampel... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Karakteristik Karkas ... 16

Bobot Potong ... 16

Bobot Karkas ... 17

Persentase Karkas ... 17

Tebal Lemak Punggung ... 18

Luas Urat Daging Mata Rusuk (Udamaru)... 19

Sifat Fisik Daging ... 19

Nilai pH... 20

Keempukan ... 20

Susut Masak... 22

Daya Mengikat Air ... 22

KESIMPULAN DAN SARAN ... 24

Kesimpulan ... 24

Saran ... 24

UCAPAN TERIMAKASIH ... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 26

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kandungan Nilai Nutrisi Konsentrat dan Rumput Gajah... 10

2. Pengelompokan dan Nomor Leher Domba pada Tiap Unit Percobaan ... 14 3. Rataan Karakteristik Karkas Domba pada Lama Penggemukan yang

Berbeda... 16 4. Rataan Sifat Fisik Daging Domba pada Lama Penggemukan yang

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Analisis Ragam Bobot Potong ... 30

2. Uji Lanjut Duncan Bobot Potong ... 30

3. Hasil Analisis Ragam Bobot Karkas ... 30

4. Uji Lanjut Duncan Bobot Karkas ... 30

5. Hasil Analisis Ragam Persentase Karkas ... 31

6. Hasil Analisis Ragam Tebal Lemak Punggung ... 31

7. Uji Lanjut Duncan Tebal Lemak Punggung ... 31

8. Hasil Analisis Ragam Luas Urat Daging Mata Rusuk ... 31

9. Hasil Analisis Ragam pH... 32

10. Uji Lanjut Duncan pH... 32

11. Hasil Analisis Ragam Daya Putus……… 32

12. Hasil Analisis Ragam Susut Masak……….. 32

13. Hasil Analisis Ragam % mgH2O……….. 33

14. Uji Lanjut Duncan % mgH2O……… 33

15. Perhitungan Total Digestible Nutrients (TDN)... 34

16. Perhitungan Pakan yang Diberikan... 35

(12)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Produksi daging domba di Indonesia pada tahun 2004 berada di urutan kelima dalam penyediaan daging setelah ayam ras pedaging, sapi, ayam buras, dan babi (Departemen Pertanian, 2004). Permintaan akan daging domba terutama meningkat saat hari raya kurban. Pesatnya penjualan domba untuk aqiqah juga meningkatkan permintaan akan daging domba. Menyadari hal di atas, sudah saatnya penyediaan daging domba di Indonesia tidak hanya dilakukan secara tradisional. Diperlukan sistem pemeliharaan yang dapat berproduksi dalam jumlah besar dan menghasilkan daging berkualitas baik. Sistem pemeliharaan tersebut juga harus efisien dan menghasilkan keuntungan yang maksimal.

Penggemukan adalah sistem pemeliharaan domba secara intensif yang umumnya dilakukan selama dua bulan atau lebih. Domba yang digemukkan diberi pakan yang baik agar pertumbuhannya optimal. Berbeda dengan pemeliharaan domba secara tradisional yang hanya diberi rumput, penggemukan domba juga menyertakan pakan penguat. Pemberian hijauan yang berkualitas rendah merupakan faktor pembatas terhadap ketersediaan nitrogen, sehingga perlu dilakukan penambahan bahan pakan sumber protein untuk memperbaiki ketersediaan protein (Duldjaman, 1989). Sumber protein dapat dipenuhi antara lain dengan pemberian konsentrat komersial.

Domba lokal ekor tipis merupakan jenis domba yang banyak terdapat di Jawa Barat. Penggemukan domba ekor tipis harus ditunjang oleh pakan yang baik dengan waktu penggemukan yang tepat agar produksi karkas dan daging yang dihasilkan dapat optimal baik secara kualitas maupun kuantitas. Sifat fisik daging merupakan faktor penting yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap daging sehingga perlu diketahui sifat fisik daging pada lama penggemukan satu, dua dan tiga bulan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik daging domba ekor tipis jantan yang meliputi keempukan, susut masak, daya mengikat air dan pH pada lama penggemukan satu, dua dan tiga bulan untuk menentukan lama penggemukan yang optimal.

(13)

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ekor Tipis

Domba yang terdomestikasi termasuk dalam grup Ovis aries dan berasal dari Asia Barat (Lawrie, 2003). Domba merupakan hewan berdarah panas dengan suhu tubuh normal 40oC. Detak jantung domba antara 75-80 per menit dan laju pernapasan 20-30 per menit. Usia dewasa kelamin domba jantan maupun betina sekitar 7 bulan (Johnston, 1983).

Sembilan puluh persen domba di Indonesia terdapat di Pulau Jawa. Domba dan kambing adalah sumber daging yang penting bagi masyarakat pedesaan setelah unggas. Populasi domba dan kambing di Jawa Barat berbanding 3:2. Terdapat tiga bangsa domba yang asli di Jawa yaitu domba ekor tipis, domba priangan di Jawa Barat, dan domba ekor gemuk di Jawa Timur (Mason, 1980).

Domba ekor tipis merupakan domba yang banyak terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Domba ini termasuk golongan domba kecil, dengan berat betina dewasa 20-35 kg dan jantan dewasa 35-60 kg. Warna bulu putih dan biasanya memiliki bercak hitam di sekeliling matanya. Ekornya tidak menunjukkan adanya deposisi lemak. Domba jantan memiliki tanduk melingkar, sedangkan yang betina biasanya tidak bertanduk (Mason, 1980). Domba ekor tipis sifat reproduksinya dipengaruhi oleh gen mayor prolifikasi dan ketahanannya terhadap endo-parasit (Fasciola gigantica dan Haemonchus contortus) dipengaruhi oleh gen mayor (Subandriyo,2003).

Pertumbuhan Domba

Definisi pertumbuhan yang paling sederhana adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan berat hidup, bentuk, dimensi linear dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang, dan organ serta komponen-komponen kimia, terutama air, lemak, protein, dan abu pada karkas (Soeparno, 1998). Pertumbuhan mempunyai dua aspek, yang pertama diukur sebagai peningkatan berat per satuan waktu, yang kedua meliputi perubahan dalam bentuk dan komposisi akibat pertumbuhan diferensiasi bagian komponen tubuh (Berg dan Butterfield, 1975).

Warris (2004) menyebutkan bahwa berat hewan bila diplotkan berdasarkan umurnya akan membentuk kurva sigmoid. Berat mula-mula meningkat secara

(14)

perlahan, kemudian angka peningkatan mencapai maksimum dan setelah itu menurun, sehingga peningkatan berat badan pada hewan yang sudah tua adalah kecil. Bentuk kurva pertumbuhan tersebut berlaku untuk kebanyakan hewan.

Pertambahan bobot karkas segera setelah lahir mengandung proporsi daging yang tinggi, relatif banyak mengandung tulang, dan kadar lemak rendah. Menjelang bobot badan dewasa, proporsi urat daging dalam pertambahan bobot badan menurun sedikit, komponen tulang dari pertambahan bobot badan hampir tidak bertambah, dan proporsi lemak dalam pertambahan bobot badan tinggi dan terus meningkat. Pertumbuhan daging dan tulang tidak banyak (hampir-hampir mengikuti garis lurus). Karena urat daging tumbuh lebih cepat daripada tulang, maka jika hewan bertambah besar, perbandingan antara urat daging dan tulang menjadi lebih besar. Berlainan dengan urat daging dan tulang, pertumbuhan lemak pada awalnya lamban, segera diikuti oleh pertumbuhannya yang cepat, bahkan lebih cepat daripada keadaan kedua jaringan tadi. Fase ini disebut fase finish (Parakkasi, 1999).

Herman (2003) menjelaskan domba muda mencapai 75% bobot dewasa pada umur satu tahun dan 25% lagi enam bulan kemudian yaitu pada umur 18 bulan, dengan pakan yang sesuai kebutuhannya. Pada tahun pertama, pertumbuhan sangat cepat terutama beberapa bulan setelah lahir, 50% bobot pada umur satu tahun dicapai dalam tiga bulan pertama, 25% lagi pada tiga bulan ke dua dan 25 % berikutnya dicapai dalam enam bulan terakhir. Johnston (1983) menyebutkan domba jantan tumbuh lebih cepat dan mempunyai bobot dewasa yang lebih besar, namun mempunyai kandungan lemak yang lebih rendah dibandingkan domba betina (Johnston, 1983).

Penggemukan Domba

Penggemukan merupakan cara pemberian pakan yang umum dilakukan pada domba dengan tujuan untuk meningkatkan flavor, keempukan, dan kualitas daging, sesuai permintaan konsumen. Penggemukan umumnya dilakukan lewat pemberian pakan kaya energi, yaitu karbohidrat dan lemak, seperti dengan biji-bijian, dan umumnya dikombinasikan dengan rumput (Ensminger, 2002). Tujuan penggemukan adalah untuk memperbaiki kualitas karkas atau daging. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas tersebut, salah satunya adalah deposit lemak dalam karkas (Parakkasi, 1999).

(15)

Usaha penggemukan domba digemari petani sebagai usaha ternak komersial karena dinilai lebih ekonomis, relatif cepat, modal kecil serta lebih praktis. Ternak domba yang digemukkan biasanya bakalan domba lepas sapih yang berumur 8-12 bulan (masa tumbuh). Bakalan yang dipilih adalah domba kurus dan sehat. Kondisi masa pertumbuhan dan kondisi yang relatif kurus dari pasar cukup ideal untuk penggemukan domba yang berlangsung sekitar 2-3 bulan (Yamin, 2001).

Parakkasi (1999) menerangkan, penentuan waktu untuk mengakhiri program penggemukan karena sudah mencapai titik optimum merupakan sesuatu yang tidak mudah. Apabila titik tersebut dapat ditentukan secara baik, maka pengusaha dapat mengurangi bahan-bahan makanan yang terbuang, mendapatkan karkas yang tidak banyak berlemak (leaner), dan mempercepat turn-over usaha. Yang menentukan lama penggemukan tersebut di lapangan adalah faktor ekonomi, diantaranya situasi persediaan pangan dan permintaan kualitas dari konsumen.

Pakan Ternak

Hijauan merupakan pakan utama bagi ternak ruminansia dan berfungsi tidak saja sebagai bulk tetapi juga sebagai sumber protein, energi, vitamin dan mineral (Susetyo, 1980). Menurut Williamson dan Payne (1993), hijauan pakan ternak ditandai dengan kandungan serat kasar yang tinggi lebih dari 18% bahan kering.

Nilai pakan rumput dipengaruhi oleh rasio daun, batang dan umur. Konsentrasi nitrogen ketika rumput gajah dipanen biasanya 2%-4%. Daun muda yang dapat dicerna sebanyak 70%, tetapi dengan semakin tuanya rumput maka nilai kecernaannya dapat menurun menjadi 55%. Batang memiliki kecernaan rendah kecuali batang yang sangat muda (Mannetje dan Jones, 1992).

Pemberian hijauan yang berkualitas rendah merupakan faktor pembatas terhadap ketersediaan nitrogen, sehingga perlu dilakukan penambahan bahan pakan sumber protein untuk memperbaiki ketersediaan protein (Duldjaman, 1989). Konsentrat merupakan makanan yang mengandung serat kasar rendah tetapi kandungan zat-zat makanan yang dapat dicerna sebagai sumber utama zat makanan seperti karbohidrat, lemak dan protein tinggi (Crampton dan Harris, 1969). Koenig et al. (1980) melaporkan bahwa tingkat pemberian energi dan protein pakan akan mempengaruhi energi yang dapat dicerna dan dimetabolisme serta akan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Energi dan protein yang dibutuhkan

(16)

paling banyak pada ternak yang sedang tumbuh untuk pertumbuhan jaringan-jaringan baru.

Konversi Otot menjadi Daging

Perubahan biokemis dan biofisis pada konversi otot menjadi daging diawali pada saat penyembelihan ternak. Faktor yang mempengaruhi kondisi ternak sebelum pemotongan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging, dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan (Soeparno, 1998).

Kegagalan Sistem Peredaran Darah

Kegagalan sistem peredaran darah yang mengikuti penyembelihan ternak mengakibatkan persediaan oksigen di dalam otot yang dapat berikatan dengan mioglobin semakin menurun dan habis (Soeparno, 1998). Saat persediaan suplai oksigen habis, metabolisme aerobik lewat siklus tricarboxylic acid (TCA) dan rantai transpor elektron mulai tidak berfungsi. Sebagai usaha mempertahankan homeostasis, energi metabolisme dialihkan ke jalur anaerobik dengan cara yang sama seperti ketika persediaan oksigen dalam jaringan otot pada ternak hidup menipis ketika sedang menjalani kerja yang berat. Mekanisme homeostasis terjadi dengan sumber energi alternatif tersedia untuk otot, walaupun energi dalam bentuk ATP lebih sedikit apabila diproduksi lewat jalur anaerobik (Aberle et al., 2001).

Produksi dan Pelepasan Panas Postmortem

Pengeluaran darah mengakibatkan hilangnya mekanisme pengendalian temperatur di dalam otot oleh sistem sirkulasi. Panas dari bagian dalam tubuh tidak ada lagi yang diangkut ke paru-paru dan bagian permukaan tubuh lain, sehingga

terjadi kenaikan temperatur di dalam otot dan tubuh setelah pemotongan (Soeparno, 1998). Suhu permukaan karkas mulai menurun, dari suhu darah ke suhu

sekitarnya atau di bawahnya, tergantung pada cara penanganan sesudah penyembelihan (Buckle et al., 1987). Ukuran dan lokasi otot di dalam tubuh dan jumlah lemak atau tingkat deposisi lemak tubuh akan mempengaruhi kenaikan temperatur akhir dan laju pelepasan panas (Soeparno, 1998).

Penurunan pH Otot

Perubahan pH sesudah ternak mati pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot, selanjutnya oleh kandungan glikogen dan

(17)

penanganan sebelum penyembelihan (Buckle et al., 1987). Penurunan pH pada hewan selain babi umumnya turun cepat menjadi sekitar 5,4 sampai 5,5 selama satu jam pertama setelah eksaunginasi. Otot yang mengalami penurunan pH yang sangat cepat akan menjadi pucat dan permukaannya tampak sangat basah. Di sisi lain otot yang mempunyai pH tinggi selama proses konversi otot menjadi daging dapat menjadi sangat gelap warnanya, dan sangat kering di permukaan potongan yang tampak (Aberle et al., 2001).

Rigormortis atau Kekakuan Otot setelah Kematian

Rigormortis adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan keadaan karkas yang menjadi kaku yang terjadi antara 24-48 jam setelah penyembelihan. Kekejangan atau hilangnya kelenturan ini merupakan akibat dari serentetan kejadian biokimia yang kompleks yang menyangkut hilangnya creatine phospat (CP) dan adenosine triphosphate (ATP) dari otot, tidak berfungsinya sistem enzim cytochrome dan reaksi - reaksi kompleks lainnya. Salah satu hasil akhir proses biokimiawi ini ialah bahwa aktin dan miosin yang membentuk serabut tipis dan tebal dari sarkomer, bersatu, membentuk aktomiosin. Proses ini bersifat dapat balik (reversible) pada otot yang masih hidup tetapi bersifat tidak dapat balik (irreversible) pada otot yang sedang atau sudah mati (Buckle et al., 1987).

Karkas dan Komponennya

Bobot karkas adalah bobot hidup setelah dikeluarkan saluran pencernaan, darah, kepala, kulit dan keempat kaki mulai dari persendian carpus atau tarsus ke bawah. Penentuan bobot karkas mempunyai sedikit modifikasi, kadang-kadang dengan atau tanpa ginjal, lemak ginjal, lemak pelvis, lemak sekitar ambing, diafragma dan ekor. Perbedaan yang sangat besar adalah ikut atau tidak ikut sertanya lemak ginjal atau lemak pelvis. Hal ini tergantung pada kebiasaan konsumen pada negara-negara tertentu (Berg dan Butterfield, 1976).

Komponen karkas antara lain terdiri atas tulang, otot, lemak dan jaringan ikat (Berg dan Butterfield, 1976). Siregar (1973) mengemukakan bahwa pemberian pakan penguat menyebabkan penimbunan lemak pada ekor, perut dan yang terbanyak pada daerah ginjal.

(18)

Daging

Aberle et al. (2001) dan Lawrie (2003) mendefinisikan daging sebagai jaringan hewan yang dapat digunakan sebagai makanan, sering pula diperluas dengan memasukkan organ-organ seperti hati dan ginjal, otot dan jaringan lain yang dapat dimakan di samping urat daging. Soeparno (1998) menyatakan bahwa otot hewan hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Daging juga tersusun dari jaringan ikat, epitelial, jaringan - jaringan saraf, pembuluh darah, dan lemak.

Sifat Fisik Daging

Istilah daging segar digunakan dalam konteks khusus untuk menyebutkan produk yang telah mengalami perubahan kimia dan fisika setelah penyembelihan tetapi hanya mengalami pengolahan minimal, misalnya pembekuan (freezing). Sifat daging segar sendiri sangat berguna untuk penjual, untuk ditampilkan ke pembeli atau konsumen., dan kesesuaiannya untuk pengolahan lanjut. Hal yang penting adalah daya mengikat air (water-holding capacity), warna, struktur, kealotan (firmness),dan tekstur (Aberle et al., 2001).

Daya Mengikat Air

Daya ikat air oleh protein daging atau water-holding capacity atau water binding capacity (WHC atau WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 1998). Kapasitas mengikat air sangat mempengaruhi penampilan daging sebelum dimasak, sifat-sifatnya selama dimasak dan juiciness-nya pada saat dikunyah (Lawrie, 2003).

Daya mengikat air dipengaruhi oleh pH. Daya mengikat air menurun dari pH tinggi sekitar 7-10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0-5,1. Pada pH isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal. Pada pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, daya mengikat air meningkat. Daya mengikat air daging juga dipengaruhi oleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air di antara otot, misalnya spesies, umur, dan fungsi otot, serta pakan, transportasi, temperatur kelembaban, penyimpanan dan

(19)

preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskular (Soeparno, 1998).

Nilai pH Daging

Penurunan pH otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis postmortem serta cadangan glikogen otot dan pH daging ultimat, normalnya adalah 5,4-5,8. Stres sebelum pemotongan, pemberian suntikan hormon atau obat-obatan tertentu, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi pH daging. Suatu kenaikan pH daging akan meningkatkan juiciness dan daya mengikat air dan menurunkan susut masak otot Semimembranosus dan Longissimus Dorsi domba secara linier (Soeparno, 1998).

Keempukan Daging

Tekstur dan keempukan mempunyai tingkatan utama menurut konsumen dan rupanya dicari walau mengorbankan flavor atau warna (Lawrie, 2003). Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem dan faktor postmortem. Keempukan daging banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan jaringan silangnya, dan daya ikat air oleh protein daging serta juiciness daging (Soeparno, 1998).

Kesan keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek. Pertama, mudah atau tidaknya gigi berpenetrasi awal ke dalam daging. Kedua, mudah atau tidaknya daging tersebut dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Ketiga, jumlah residu yang tertinggal setelah dikunyah (Lawrie, 2003).

Susut Masak

Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama dari pemasakan. Susut masak juga bisa dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang lintang daging ( Soeparno, 1998).

Faktor-faktor yang mempengaruhi susut masak ada bermacam-macam. Menurut Soeparno (1998), susut masak bisa meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek. Pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang

(20)

serabut otot terhadap susut masak. Susut masak menurun secara linier dengan bertambahnya umur ternak. Perbedaan bangsa ternak juga dapat menyebabkan perbedaan susut masak. Pada umur yang sama, jenis kelamin mempunyai pengaruh yang kecil terhadap susut masak. Berat potong mempengaruhi susut masak, terutama bila terhadap perbedaan deposisi lemak intramuskular. Konsumsi pakan dapat mempengaruhi besarnya susut masak.

(21)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dimulai awal bulan Juli sampai Oktober 2005. Penggemukan domba dilaksanakan di Mitra Tani (MT) Farm, Desa Tegalwaru RT 04 RW 05, Kecamatan Ciampea, Bogor Barat. Uji fisik daging dilakukan di Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Insitut Pertanian Bogor.

Materi

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 domba ekor tipis jantan dengan umur kurang dari satu tahun dan rataan bobot tubuh 13,77±1,57 kg. Pakan yang diberikan adalah konsentrat komersial dan rumput gajah (Pennisetum purpureum) dengan hasil analisis proksimat terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Kandungan Nilai Nutrisi Konsentrat dan Rumput Gajah Komposisi (BK) Pakan Abu PK SK LK Beta-N TDN* ---(%)--- Konsentrat Rumput Gajah 14,62 10 16,52 16,69 19,75 46,86 5,99 1,63 43,11 24,82 55,05 59,49

Keterangan : BK = Bahan Kering SK = Serat Kasar

PK = Protein Kasar Beta-N = Bahan ekstrak tanpa Nitrogen

LK = Lemak Kasar TDN = Total Digestible Nutrient (* hasil perhitungan) Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor (2005).

Kandang yang digunakan adalah kandang individu tipe panggung yang berukuran 100 cm x 40 cm x 90 cm, dengan tempat pakan menggunakan bahan papan kayu berukuran 36 cm x 17 cm x 30 cm. Alat dan bahan yang digunakan adalah tempat konsentrat dan tempat minum dari plastik, timbangan domba, label, sarung tangan kain, timbangan pakan, ember, obat cacing, spidol, alat Loin eye grid for lamb untuk pengukuran luas udamaru, antibiotik, gunting, golok, penggaris logam, dan alat-alat untuk uji fisik.

Rancangan Perlakuan

Perlakuan yang diberikan adalah lama penggemukan yang berbeda. Adapun taraf perlakuan meliputi:

(22)

P1 = lama penggemukan satu bulan P2 = lama penggemukan dua bulan P3 = lama penggemukan tiga bulan

Model Percobaan

Model percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan perlakuan lama penggemukan yang meliputi tiga taraf lama penggemukan (1, 2, dan 3 bulan). Masing-masing taraf perlakuan terdiri atas lima kelompok. Pengelompokan dilakukan berdasarkan bobot tubuh.

Model rancangan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah: Yij=µ+αi+βj+εij

Keterangan:

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j i = Taraf perlakuan (P1, P2, P3)

j = Kelompok 1, 2, 3, 4, 5

εij = Pengaruh galat dari satuan percobaan dari perlakuan ke-i pada

kelompok ke-j

µ = Rataan umum

αi = Pengaruh taraf perlakuan ke-i βj = Pengaruh kelompok ke-j Peubah

Bobot Potong. Bobot potong diukur dengan menimbang domba sesaat sebelum

domba disembelih (Susilawati, 1998). Sebelum disembelih domba telah dipuasakan selama 12 jam.

Bobot Karkas. Bobot karkas diukur dengan menimbang domba setelah disembelih

setelah dikurangi kepala, darah, keempat kaki bagian bawah, kulit, dan isi bagian dalam (rumen, usus, ginjal, paru-paru, dan hati) (Batubara et al., 2002).

Persentase Karkas. Persentase karkas dihitung dengan membagi bobot karkas

dengan bobot potong, kemudian dikalikan 100% (Susilawati,1998). Persentase karkas = bobot karkas x 100%

(23)

Tebal Lemak Punggung. Tebal lemak punggung ditentukan dengan cara mengukur

tebal lemak pada kurang lebih tiga perempat panjang irisan penampang melintang urat daging mata rusuk antara rusuk ke 12 dan 13 dengan menggunakan penggaris logam (Soeparno, 1998).

Urat Daging Mata Rusuk (Udamaru). Luas urat daging mata rusuk dihitung

dengan cara mengukur luas penampang urat daging mata rusuk pada irisan antara rusuk ke 12 dan 13 (Soeparno, 1998). Permukaan irisan urat daging mata rusuk ditempel dengan plastik transparan, kemudian diilustrasi dengan spidol. Gambar bidang permukaan penampang melintang urat daging diukur dengan menghitung banyaknya titik menggunakan alat Loin eye grid for lamb model C12639N. Jumlah titik yang terhitung di loin bagian kiri dan kanan dijumlah dan dibagi dua, kemudian dibagi 20 untuk mendapatkan luas udamaru dalam inchi2. Metode didasarkan pada petunjuk pemakaian alat Loin eye grid for lamb.

Nilai pH Daging. Nilai pH daging diukur dengan menggunakan pH meter. Sampel

daging bagian Longisimus dorsi et lumbarum seberat 10 gram dihaluskan lalu dimasukkan ke dalam baker glass dan diencerkan dengan aquades hingga 100 mL, sampel dihomogenisasi selama satu menit agar sampel menjadi lebih homogen. Daging diukur dengan pH meter setelah sebelumnya pH meter dikalibrasi dengan pH standard (Suryati, 2001).

Keempukan. Sampel daging bagian Longisimus dorsi et lumbarum dipotong sekitar 100 gram, kemudian termometer bimetal ditancapkan hingga menembus bagian dalam sampel daging, kemudian direbus dalam air hingga mencapai suhu internal 800 C. Sampel daging diangkat dan didinginkan, kemudian sampel dicetak dengan alat pencetak daging (corer) yang berbentuk silindris dengan diameter 1,27 cm mengikuti arah serat daging. Potongan daging silindris berdiameter 1,27 cm dan dipotong-potong sepanjang 4-5 cm. Potongan-potongan daging tersebut diukur dengan menggunakan alat Warner-Bratzler Shear untuk menentukan nilai daya putusnya dalam kg/cm2 (Suryati, 2001).

Daya Mengikat Air (DMA). Pengukuran daya mengikat air dilakukan dengan

meto-de tekan menurut Hamm (1972) yang dikutip oleh Soeparno (1998), yaitu meto-dengan membebani atau mengepres 0,3 gram sampel daging dengan beban 35 kg pada kertas

(24)

saring Whatman-I dengan alat pressure gauge selama 5 menit. Area yang tertutup sampel daging yang telah menjadi pipih, dan luas area basah di sekelilingnya pada kertas saring beserta sampel daging ditandai dan setelah pengepresan selesai, dapat diukur (digambar dengan kertas grafik). Area basah diperoleh dengan mengurang-kan area yang tertutup daging dari area total yang meliputi pula area basah pada kertas saring. Jumlah air daging yang keluar dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

mg H2O = area basah ( cm2 ) - 8,0 0,0948

% mgH2O = X (mgH2O) x 100% 300 mg

Susut Masak. Susut masak adalah perbedaan antara berat daging sebelum dan

sesudah dimasak, dinyatakan dalam persentase (%). Sampel daging seberat 100 gram yang telah ditancapkan termometer bimetal direbus dalam air mendidih hingga mencapai suhu internal 800 C. Sampel daging diangkat dan didinginkan (Priyanto et al., 1995). Susut masak dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Susut masak = berat sampel awal – akhir x 100% berat sampel awal

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA). Apabila perlakuan menunjukkan pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perbedaan di antara perlakuan tersebut.

Prosedur Persiapan Pemeliharaan Ternak

Seminggu sebelum dimulai penelitian kandang dibersihkan, persiapan bahan dan peralatan. Domba jantan sebanyak 15 ekor dipilih berdasarkan keseragaman umur kemudian dipisahkan untuk memperoleh perawatan antara lain dicukur bulunya, dimandikan, serta diberi obat cacing dan antibiotik.

Adaptasi Pakan

Adaptasi pakan dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian selama dua minggu. Domba dikandangkan di kandang individu dengan pemberian pakan konsentrat sebanyak 0,5 kg/ ekor/ hari dan rumput Gajah diberikan ad libitum. Domba

(25)

ditimbang berat badannya pada akhir masa adaptasi pakan untuk mengetahui bobot awal yang akan digunakan sebagai dasar pengelompokan.

Pengelompokan Ternak

Domba yang digunakan dalam penelitian sebagai materi penelitian dikelompokkan menjadi lima kelompok. Domba diurutkan berdasarkan bobot badan dimulai dari yang terendah sampai yang tertinggi. Pengelompokan dilakukan berdasarkan urutan bobot badan. Kelompok 1 merupakan kelompok domba dengan bobot badan terkecil, kelompok 2 merupakan kelompok dengan bobot badan terkecil kedua, kelompok 3 merupakan kelompok dengan bobot badan terkecil ketiga, kelompok 4 merupakan kelompok dengan bobot badan terkecil keempat, dan kelompok 5 merupakan kelompok domba dengan bobot badan paling besar. Masing-masing kelompok terdiri atas tiga ekor domba yang Masing-masing-Masing-masing menerima perlakuan lama penggemukan yang berbeda (satu, dua dan tiga bulan). Domba kemudian ditempatkan dalam kandang individu. Hasil pengelompokan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengelompokan dan Nomor Leher Domba pada Tiap Unit Percobaan Lama penggemukan (bulan)

Kelompok Kisaran bobot badan

(kg) 1 2 3 1 10-12,5 0188 0122 0180 2 13-13,5 0115 0192 0117 3 14 0110 0169 0127 4 14-15 0162 0030 0131 5 15-16 0175 0150 0037 Pemeliharaan

Ternak domba diberi pakan konsentrat pada pagi hari (06.00-07.00 WIB) dan pakan rumput dua kali yaitu pada siang (12.00-13.00 WIB) dan sore hari (16.00-17.00 WIB). Pemberian pakan konsentrat dalam bentuk kering yang diberikan dalam wadah plastik berupa baskom. Rumput gajah diberikan dalam bentuk cacahan sepanjang ±10 cm. Tujuan pencacahan untuk mempermudah domba pada saat mengkonsumsi rumput dan lebih efisien dalam penggunaan tempat pakan. Pakan diberikan berdasarkan kebutuhan optimal Total Digestible Nutrients (TDN). Pakan

(26)

konsentrat diberikan sebanyak 0,7 kg/ ekor/ hari dan rumput Gajah diberikan ad libitum. Pemberian air minum dilakukan ad libitum.

Persiapan Sampel

Tiap akhir masa pemeliharaan (1, 2, dan 3 bulan) dilakukan pemotongan domba. Sebelumnya domba yang hendak dipotong dipuasakan selama 12 jam. Domba ditimbang sebelum dipotong untuk mengetahui bobot potong. Pemotongan domba dilakukan tanpa pembiusan, pemotongan dilakukan pada bagian persendian tulang atlas sehingga vena jugolaris, oesophagus dan trachea terpotong. Darah dibiarkan keluar sebanyak-banyaknya, kemudian domba digantung di bagian tendo achilles. Domba dikuliti dan dipisahkan bagian kepala dan kaki serta jeroan, kemudian dilakukan penimbangan karkas, serta pengukuran luas udamaru dan tebal lemak pada bagian punggung antara rusuk ke 12 dan 13. Selanjutnya daging domba bagian Longisimus dorsiet lumbarum diuji sifat fisiknya.

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Karkas

Rataan karakteristik karkas domba ekor tipis pada lama penggemukan yang berbeda dicantumkan pada Tabel 3. Peubah yang diamati meliputi bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, tebal lemak punggung, dan luas urat daging mata rusuk.

Tabel 3. Rataan Karakteristik Karkas Domba pada Lama Penggemukan yang

Berbeda

Lama Penggemukan

Peubah 1 bulan 2 bulan 3 bulan

Bobot potong (kg) 15,05±1,71a 17,90±2,36b 19,20±2,56b Bobot karkas (kg) 6,32±0,44a 7,30±0,76ab 8,30±1,44b Persentase karkas 42,20±2,68 40,93±1,77 43,13±3,58 Tebal lemak pungung (mm) 1,05±0,62A 1,25±0,25A 2,70±0,57B Luas udamaru (cm2) 8.52±1.04 7.48±1.21 8.52±1.19

Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (p<0,01)

Bobot Potong

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama penggemukan memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan bobot potong (p<0,05). Bobot potong mengalami perbedaan secara nyata dari bulan pertama ke bulan kedua dan ketiga penggemukan. Selanjutnya dari bulan kedua ke bulan ketiga penggemukan tidak ada peningkatan bobot potong. Hal ini sejalan dengan pernyataan Soeparno (1998) yang menjelaskan bahwa pada kondisi normal, berat tubuh atau massa bertambah sesuai dengan waktu atau umur. Pertambahan berat tersebut merupakan bagian dari pertumbuhan. Pola pertumbuhan secara normal merupakan gabungan dari pola pertumbuhan semua komponen penyusunnya. Selanjutnya dijelaskan oleh Warris (2004), jaringan tubuh mencapai pertumbuhan maksimal dengan urut-urutan dari jaringan saraf pusat, tulang, otot, kemudian lemak. Berg dan Butterfield (1975) menyebutkan, ketika pertumbuhan otot dan tulang melambat, energi yang ada dikonversikan ke lemak dan disebut fase penggemukan. Pertumbuhan tulang pada

(28)

fase penggemukan sudah relatif berhenti, sehingga pertambahan bobot badan selama penggemukan disebabkan oleh perluasan serat otot dan bertambahnya deposisi lemak.

Peningkatan bobot badan yang mengakibatkan peningkatan bobot potong tersebut diikuti dengan peningkatan konsumsi pakan. Konsumsi segar rumput gajah pada lama penggemukan satu, dua dan tiga bulan cenderung tetap, dengan rataan 1,34 kg/ekor/hari. Konsumsi konsentrat meningkat pada lama penggemukan satu, dua dan tiga bulan, dengan nilai rataan masing-masing 0,50 kg/ekor/hari, 0,55 kg/ekor/hari dan 0,59 kg/ekor/hari.

Bobot Karkas

Domba yang digemukkan selama dua bulan bobot karkasnya tidak berbeda dibanding bulan pertama, namun dari rataan dapat terlihat adanya peningkatan bobot karkas pada bulan kedua. Selanjutnya pada bulan ketiga terjadi kenaikan bobot karkas (p<0,05) dibanding bobot karkas bulan pertama. Bobot karkas bulan ketiga tidak berbeda dibandingkan dengan bulan kedua, namun apabila dilihat dari rataan terjadi peningkatan. Peningkatan bobot karkas ini dipengaruhi oleh peningkatan bobot potong yang terjadi selama fase penggemukan. Aberle et al. (2001) menyebutkan pertambahan bobot hidup akan diikuti pertambahan bobot karkas. Selanjutnya disebutkan bahwa dengan bertambahnya umur, pertumbuhan tulang akan semakin menurun, berat otot akan meningkat tetapi proporsinya dalam berat karkas akan menurun. Di sisi lain, deposisi lemak akan meningkat pada tahap akhir pertumbuhan, dan persentase lemak di dalam karkas meningkat.

Persentase Karkas

Persentase karkas di antara ketiga lama penggemukan menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa bertambahnya lama penggemukan tidak mempengaruhi persentase karkas yang dihasilkan. Peningkatan bobot potong dan bobot karkas tidak diikuti peningkatan persentase karkas. Hasil tersebut sama dengan penelitian Susilawati (1998) yang melaporkan persentase karkas Sapi Australian CommercialCross tidak berbeda nyata pada berbagai lama penggemukan, selanjutnya disebutkan bahwa faktor yang kemungkinan mempengaruhi persentase karkas adalah peningkatan bobot hidup yang tidak saja diikuti oleh kenaikan bobot karkas tetapi juga diikuti oleh komponen non karkas seperti perbedaan bobot kepala,

(29)

kaki, viscera, dan isi rumen. Proporsi bobot hidup dengan bobot karkas selama sampai penggemukan tiga bulan sebanding sehingga persentase karkas tidak bertambah.

Persentase karkas domba ekor tipis yang dipotong berkisar antara 38,81% sampai 47,62%. Persentase tersebut lebih rendah dari yang disebutkan Warriss (2004) yaitu sekitar 50% serta Hardjosworo dan Levine (1987) yaitu sekitar 51%, sedangkan Johnston (1983) menyebutkan bahwa persentase karkas domba berkisar antara 45-50%. Warriss (2004) mengemukakan bahwa persentase karkas dapat bervariasi tergantung bangsa, tingkat perlemakan, jenis kelamin, dan cara beternak.

Tebal Lemak Punggung

Pengukuran tebal lemak punggung dilakukan untuk mengetahui tebal lemak subkutan. Soeparno (1998) menyebutkan bahwa ketebalan lemak subkutan merupakan faktor yang diperhitungkan dalam memperkirakan jumlah daging yang dihasilkan dari suatu karkas. Jumlah daging yang dihasilkan sebanding dengan berat karkas dan berbanding terbalik dengan jumlah lemak karkas. Selanjutnya disebutkan bahwa nutrisi kemungkinan besar merupakan faktor lingkungan terpenting yang mempengaruhi komposisi karkas, terutama pada proporsi kadar lemak.

Lama penggemukan berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap tebal lemak punggung. Bertambahnya lama penggemukan menyebabkan tebal lemak punggung yang semakin tinggi. Domba yang digemukkan selama tiga bulan memiliki tebal lemak yang lebih tinggi dibanding domba yang digemukkan selama satu maupun dua bulan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Susilawati (1998) dan Khasrad et al. (2005) yang masing-masing menyebutkan bahwa lama penggemukan hingga empat bulan pada sapi akan meningkatkan tebal lemak punggung. Diaz et al. (2003) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa peningkatan bobot potong mengakibatkan peningkatan tebal lemak punggung (p<0,01). Semakin tebalnya lemak punggung pada penggemukan selama tiga bulan dibandingkan satu dan dua bulan kemungkinan karena akumulasi penimbunan lemak semakin meningkat pada penggemukan yang semakin lama. Parakkasi (1999) menyebutkan bahwa perlemakan akan meningkat dengan semakin tingginya bobot badan pada waktu dipotong. Semakin banyak pertambahan bobot badan seekor hewan semakin sedikit urat daging yang diakumulasi dan semakin banyak lemak yang dideposit.

(30)

Lemak di dalam tubuh disimpan di dalam depot-depot. Warris (2004) menjelaskan bahwa ada empat depot utama lemak yang dapat dikenali yaitu subkutan, perinephric, omental, yang menyelubungi otot (intermuskular), dan di dalam otot (intramuskular). Proporsi lemak dari masing-masing depot pada jumlah lemak secara keseluruhan di dalam tubuh berbeda-beda antar spesies. Sapi dan domba mempunyai proporsi lemak yang lebih besar pada lemak abdominal dan lebih sedikit pada lemak subkutan dibanding babi.

Luas Urat Daging Mata Rusuk (Udamaru)

Luas udamaru di antara ketiga lama penggemukan menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa lama penggemukan satu sampai tiga bulan tidak mempengaruhi luas udamaru. Hasil serupa juga didapatkan oleh Susilawati (1998) yang menyatakan bahwa luas udamaru pada sapi yang digemukkan selama 60, 90, dan 120 hari tidak berbeda nyata. Luas udamaru dikaitkan dengan pertumbuhan jaringan otot. Namun demikian, Johnson et al. (1997) menyatakan bahwa penggunaan urat daging mata rusuk sebagai indikator perdagingan hanya terbatas pada karkas dengan bobot tinggi. Luas urat daging mata rusuk bukanlah indikator perdagingan yang baik pada karkas dengan bobot yang rendah karena tingkat akurasinya rendah.

Sifat Fisik Daging

Rataan sifat fisik daging domba ekor tipis pada lama penggemukan yang berbeda disajikan pada Tabel 4. Peubah yang diamati meliputi nilai pH, keempukan, susut masak, dan daya mengikat air.

Tabel 4. Rataan Sifat Fisik Daging Domba pada Lama Penggemukan yang

Berbeda

Keterangan: Superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (p<0,01)

Lama Penggemukan Peubah

1 bulan 2 bulan 3 bulan

Nilai pH ultimat 5,64±0,03A 5,81±0,11B 5,73±0,07B Daya Putus (kg/cm2) 5,07±0,65 4,26±1,17 3,66±0,84 Susut Masak (%) 36,17±2,22 36,53±1,56 37,17±2,59 % mgH2O 28,23±1,62A 29,09±2,22A 34,03±0,71B

(31)

Nilai pH

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama penggemukan memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai pH. Nilai pH mengalami peningkatan secara nyata (p<0,05) dari bulan pertama ke bulan kedua penggemukan. Selanjutnya dari bulan kedua ke bulan ketiga penggemukan terjadi penurunan nilai pH, namun penurunan tersebut tidak nyata. Nilai pH daging yang diukur dalam penelitian ini adalah pH daging ultimat, yaitu pH yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis atau setelah enzim glikolitik tidak aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan-serangan enzim glikolitik (Lawrie, 2003).

Soeparno (1998) menerangkan bahwa penurunan pH otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis postmortem serta cadangan glikogen otot. Nilai pH awal (satu jam postmortem) pada domba adalah 6,95, selanjutnya nilai pH pada saat mulai rigormortis (fase cepat) adalah 6,54, dan nilai pH ultimat adalah 5,60. Nilai pH ultimat berbeda-beda pada tiap spesies, namun umumnya nilai pH ultimat berkisar antara 5,4-5,8. Dilihat dari rata-ratanya pH pada ketiga lama penggemukan masih tergolong normal. Nilai pH dipengaruhi oleh stres sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan tertentu, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim. Nilai pH pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh cadangan glikogen domba saat akan dipotong. Domba yang tenang saat dipotong mempunyai cadangan glikogen yang cukup untuk proses rigormortis, sedangkan yang stres kemungkinan menghasilkan pH daging ultimat yang lebih tinggi karena cadangan glikogen otot menjadi cepat habis.

Keempukan

Pengujian keempukan dilakukan dengan alat pemutus Warner-Bratzler (WB). Rataan nilai daya putus WB yang menunjukkan indikasi kealotan miofibrilar ditampilkan pada Tabel 4. Kriteria keempukan menurut Suryati dan Arief (2005) berdasarkan panelis lokal yang terlatih menyebutkan bahwa daging sangat empuk memiliki daya putus WB < 4,15 kg/cm2, daging empuk 4,15 - < 5,86 kg/cm2, daging agak empuk 5,86 - < 7,56 kg/cm2, daging agak alot 7,56 -< 9,27 kg/cm2, daging alot 9,27 - < 10,97 kg/cm2 , dan daging sangat alot ≥ 10,97 kg/cm2. Rataan daya putus daging pada satu dan dua bulan penggemukan masing-masing 5,07±0,65 dan 4,26±1,17 sehingga digolongkan sebagai daging empuk. Rataan daya putus daging

(32)

hasil tiga bulan penggemukan yaitu 3,66±0,84 sehingga digolongkan sebagai daging sangat empuk.

Keempukan di antara ketiga lama penggemukan menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Hal ini sejalan dengan penelitian Arifin et al. (2004) yang menyebutkan bahwa pada pembesaran domba lokal secara intensif, peningkatan bobot potong tidak mempengaruhi keempukan. Penyebab keempukan tidak berbeda nyata pada penelitian ini kemungkinan dikarenakan standar deviasi yang cukup besar, terutama pada bulan kedua. Hal ini karena pada bulan kedua terdapat nilai daya putus yang mencapai lima, sedangkan daya putus daging pada bulan kedua rata-rata mempunyai nilai sekitar tiga sampai mendekati empat. Nilai pH pada daging yang daya putusnya tinggi ternyata lebih rendah dibandingkan pH daging yang lain pada bulan kedua. Hal ini sesuai dengan Soeparno (1998) yang menyatakan bahwa karkas yang mempunyai pH yang lebih rendah daripada karkas yang lain akan menghasilkan daging yang kurang empuk. Namun demikian dari nilai rataan dapat terlihat bahwa nilai daya putus Warner-Bratzler cenderung menurun dengan semakin lama penggemukan, yang berarti keempukan bertambah Hasil ini sesuai dengan penelitian Veiseth et al. (2004) yang meneliti keempukan domba yang berumur 2, 4, 6, 8, dan 10 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daging domba memiliki keempukan terendah pada umur domba dua bulan dan keempukan terus meningkat dengan bertambahnya umur. Puncak dari keempukan adalah pada domba umur 8 bulan dan selanjutnya jika dibandingkan dengan daging domba berumur 10 bulan sudah tidak ada perbedaan. Soeparno (1998) menyebutkan bahwa pada umumnya keempukan daging menurun dengan meningkatnya umur ternak, meskipun jaringan ikat juga menurun. Jaringan ikat ternak muda mengandung retikulin dan ikatan silang yang lebih rendah daripada kolagen jaringan ternak yang lebih tua.

Peningkatan keempukan daging domba dengan semakin lama penggemukan kemungkinan terletak pada pakan yang diberikan selama penggemukan. Domba yang digemukkan disamping diberi rumput gajah juga diberi konsentrat yang mempunyai kandungan karbohidrat, lemak, dan protein tinggi. Penelitian Borton et al. (2005) menyebutkan bahwa daging domba yang diberi makan konsentrat lebih palatable dibandingkan yang hanya diberi rumput. Parakkasi (1999) menjelaskan bahwa bahan makanan sumber energi sangat efisien untuk pembentukan lemak dalam tubuh.

(33)

Lawrie (2003) menyebutkan lemak intramuskular cenderung mengencerkan elemen tenunan pengikat dalam urat daging dimana lemak itu dideposit, dan hal ini mungkin dapat menjelaskan laporan tentang lebih empuknya daging sapi dari hewan yang baik dan diberi makan secara baik pula. Domba akan mengalami peningkatan kadar lemak dengan semakin lama digemukkan, sehingga keempukan meningkat.

Susut Masak

Hasil analisis ragam menunjukkan perbedaan lama penggemukan tidak berpengaruh terhadap susut masak daging. Namun dilihat dari rataan pada Tabel 4, susut masak cenderung meningkat dengan semakin lama penggemukan. Hasil penelitian Arifin (2004) juga menunjukkan bahwa pada pembesaran domba lokal secara intensif, peningkatan bobot potong diikuti oleh penurunan kualitas daging yang dihasilkan. Penurunan kualitas tersebut khususnya dalam hal nilai susut masak dan daya ikat air. Rata-rata nilai susut masak mengalami peningkatan dari 36,48 dan 36,95% menjadi 42,02 dan 42,01%, masing-masing untuk biceps femoris dan longissimus dorsi. Peningkatan susut masak dapat dikaitkan dengan daya mengikat air. Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa semakin rendah kemampuan mengikat air, maka akan semakin besar kehilangan berat saat pemasakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya mengikat air semakin menurun, sehingga susut masak semakin meningkat. Pengaruh lama penggemukan juga berkaitan dengan kandungan lemak intramuskular dalam tubuh yang semakin meningkat. Domba yang lebih lama digemukkan akan kehilangan lemak lebih banyak saat pemasakan, sedangkan jumlah kehilangan cairan relatif tidak berbeda.

Susut masak domba pada ketiga lama penggemukan berkisar antara 36-37%, hal ini sejalan dengan Soeparno (1998) yang menyebutkan umumnya susut masak bervariasi antara 1,5% sampai 54,5% dengan kisaran 15%-40%. Selanjutnya dijelaskan bahwa daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit.

Daya Mengikat Air

Tabel 4 menampilkan persentase air yang lepas dari daging akibat pengepresan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama penggemukan sangat berpengaruh terhadap daya mengikat air (p<0,01). Air yang lepas semakin banyak

(34)

dengan semakin lama penggemukan, yang menunjukkan daya mengikat air semakin rendah. Berkaitan dengan bobot potong, hasil yang sama didapat oleh Vergara et al. (1999) yang menyebutkan daya mengikat air daging domba muda (lamb) menurun secara nyata seiring dengan peningkatan bobot potong (p<0.05). Hasil penelitian Arifin et al. (2004) juga menunujukkan bahwa peningkatan bobot potong mengakibatkan nilai daya ikat air menurun dari 34,08 dan 37,06% menjadi 19,14 dan 22,28%, masing-masing untuk biceps femoris dan longissimus dorsi. Soeparno (1998) menyebutkan bahwa daya mengikat air antara lain dipengaruhi oleh spesies, pakan, umur, jenis kelamin, dan lemak intramuskular. Lawrie (2003), menyatakan walaupun umur hewan tidak berpengaruh pada daging babi, namun pada daging sapi ada pengaruhnya (daging anak sapi mempunyai kapasitas menahan air yang lebih tinggi). Menurut Soeparno (1998), domba muda cenderung mempunyai daya mengikat air yang lebih besar daripada domba yang lebih tua.

Daya mengikat air berkaitan dengan susut masak. Aberle et al. (2001) menyebutkan bahwa daya mengikat air dari jaringan otot mempunyai efek langsung terhadap penyusutan selama pemasakan. Ketika daya mengikat air rendah, daging akan kehilangan cairan, dan sebagai akibatnya, kehilangan berat selama penyusutan adalah besar. Daya mengikat air pada penelitian ini semakin menurun dengan semakin lama penggemukan, sehingga susut masak cenderung semakin meningkat.

(35)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Lama penggemukan hingga tiga bulan meningkatkan bobot karkas, dan tebal lemak punggung, namun tidak mempengaruhi persentase karkas dan luas udamaru. Bobot potong pada lama penggemukan dua bulan tidak berbeda dengan tiga bulan. Nilai pH mengalami peningkatan dan daya mengikat air turun dengan semakin lama penggemukan, sedangkan susut masak dan keempukan tidak mengalami perubahan yang nyata.

Saran

Lama penggemukan sebaiknya dilakukan selama dua bulan untuk mencapai bobot potong optimal tanpa perbedaan sifat fisik yang nyata daripada lama penggemukan satu dan tiga bulan.

(36)

UCAPAN TERIMAKASIH

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT Rabb semesta alam yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada:

1. Tuti Suryati S.Pt., M.Si. selaku pembimbing utama dan Ir. Maman Duldjaman M.S. selaku pembimbing anggota atas arahan dan bimbingan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si. selaku dosen penguji seminar serta Dr. Ir. Tantan R. Wiradarya M.Sc. dan Dr. Ir. Rachjan G. Pratas, M.Sc. selaku dosen penguji sidang atas masukan dan perbaikan yang diberikan pada makalah seminar serta skripsi penulis.

3. Ir. Sudjana Natasasmita selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan dan motivasi selama penulis menjadi mahasiswa.

4. Bahruddin S.Pt., Amrul L. S.Pt., M. Afnaan W. S.Pt., Budi S. S. S.Pt., Indra dan Haryati dari Mitra Tani Farm atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis. 5. Dr. Ir. Rudy Priyanto atas bantuan yang diberikan selama penyusunan skripsi. 6. Staf Ruminansia Besar atas fasilitas yang telah disediakan pada penelitian ini. 7. Seluruh staf pengajar Fakultas Peternakan, khususnya Program Studi Teknologi

Hasil Ternak yang telah mencurahkan segala ilmu kepada penulis.

8. Rekan penelitian: Kurniawati Hasanah, Tri Mulyaningsih S.Pt., Eureka I. Zatnika S.Pt., Yefri W. Hardianto S.Pt. dan Dwi Purnomo S.Pt. atas kerjasamanya.

9. Ibu, Bapak, Kakung, Ninik, Eyang, Adik (Risa Wiyastika) dan seluruh keluarga atas curahan kasih sayang, doa dan dukungan hingga terselesaikannya skripsi ini. 10. Sahabatku: Umi Sa’adah, Novi G. L., Sujinem, Ningrum Astuti S.Pt., Hamidah,

Novitasari, Nurlaela, Lala Sahila, Ginea H. dan Eko Wijaya atas motivasinya. 11. Teman-teman THT 39 atas kebersamaannya selama ini.

12. Teman-temanku di Puri Fikriyyah dan Elegant.

13. Semua pihak yang telah membantu baik secara moril maupun materiil . Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membutuhkan. Amiin.

Bogor, Mei 2006 Penulis

(37)

DAFTAR PUSTAKA

Aberle, E.D., J.C. Forrest, D.E. Gerrard, E.W. Mills, H.B. Hendrick, M.D. Judge dan R.A. Merkel. 2001. Principles of Meat Science. 4th Ed. Kendall/Hunt Publishing Company, Iowa.

Arifin, M., T. Warsiti, A. Purnomoadi dan W. S. Dilaga. 2004. Perkembangan kualitas daging pada domba lokal yang dipelihara secara intensif. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Dalam

http://peternakan.litbang.deptan.go.id

Batubara, L.P., M. Poloksaribu dan J. Sianipar. 2002. Pengaruh tingkat energi dan pemanfaatan bungkil inti sawit dalam ransum terhadap persentase karkas domba persilangan. Makalah Seminar. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Medan.

Berg, R.T. dan R.M. Butterfield. 1975. Growth of Meat Animals. Dalam Meat

Proceeding of the Twenty-First Easter School in Agricultural Science. Butterworths, London.

Berg, R.T. dan R.M. Butterfield. 1976. New Concepts of Cattle Growth. Sydney University Press, Sydney.

Borton, R.J., S.C. Loerch, K.E. McClure dan D. M. Wulf. 2005. Comparison of characteristics of lambs fed concentrate or grazed on ryegrass to traditional or heavy slaughter weights. I. Production, carcass, and organoleptic characteristics. J. Anim. Sci. 83:679-685.

Bucke, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan Hari Purnomo dan Adiono.Universitas Indonesia Press, Jakarta. Crampton, E.W. and L.E. Harris. 1969. The Uses of Feedstuffs in The Formulation

of Livestocks Ration. Aplied Animal Nutrition. W.H. Freman and Co ; San Fransisco.

Departemen Pertanian. 2004. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Informasi Pertanian, Jakarta.

Diaz, M.T., S. Velasco, C. Perez, S. Lauzurica, F. Huidobro dan V. Caneque. 2003. Physico-chemical characteristics of carcass and meat Manchego-breed suckling lambs slaughtered at different weights. J. Meat Sci. 65 (4):1247-1255. Duldjaman, M. 1989. Pengaruh suplementasi ampas tahu dalam pakan hijauan

terhadap mutu karkas dan daging domba jantan. Tesis. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ensminger, M.E. 2002. Sheep and Goat Science. Interstate Publishers, Inc., Illinois. Hardjosworo, P.S dan J.M. Levine. 1987. Perkembangan Peternakan di Indonesia.

Model, Sistem, dan Peranannya. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Herman, R. 2003. Ternak Ruminansia Kecil. Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

(38)

Johnson, E.R., R. Priyanto, dan D.G. Taylor. 1997. Investigation into the accuracy of prediction of beef carcass composition using subcutaneous fat thickness and carcass weight II. improving the accuracy of prediction. J. Meat Sci. 46 (2):159-172.

Johnston, R.G. 1983. Introduction to Sheep Farming. Granada, London.

Khasrad, R. Saladin, Arnim, dan N. Jamarun. 2005. Pengaruh tingkat pemberian ransum dan lama penggemukan terhadap karakteristik karkas sapi pesisir. J. Indon. Trop. Anim. Agric 30 (4):193-200.

Koenig, J. H., J.A. Bolling dan L.S. Bull. 1980. Energy and protein metabolism in ewes as influence by age and dietary protein caloric ratio. J. Anim. Sci. (51): 1011.

Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan. 2005. Analisis Kimiawi Ampas Tahu, Ampas Tempe, Rumpuh Gajah, dan Konsentrat. Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan Aminuddin Parakkasi. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Mannetje, L. dan R.M. Jones. 1992. Forages Plant Resources of South - East Asia (Porsea), Bogor.

Mason, I.L. 1980. Prolific Tropical Sheep. Food and Agricultural Organization of The United Nations. Rome.

Mattjik, A.A. dan I.M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Priyanto, R., J. Fisher dan P.R. Kale. 1995. Some aspects of meat research. Materi Workshop. Universitas Nusa Cendana, Kupang.

Siregar, F. 1973. Pengaruh ransum dan kelamin terhadap berat lemak bagian-bagian tubuh tertentu pada domba priangan muda. Tesis. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Subandriyo. 2003. Strategi Pengembangan Domba. Dalam http://www.poultryindo

nesia.com/

Suryati, T. 2002. Pengaruh stimulasi listrik voltase rendah dan injeksi kalsium klorida terhadap sifat fisik dan kimia daging domba. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suryati, T dan I. I. Arief. 2005. Pengujian daya putus warner-bratzler, susut masak dan organoleptik sebagai penduga tingkat keempukan daging sapi yang disukai konsumen. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

(39)

Susetyo, S. 1980. Padang Penggembalaan. Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Susilawati, R. 1998. Produktivitas karkas sapi Australian Commercial Cross yang dipelihara secara feedlot pada lama penggemukan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Veiseth, E., S.D. Shackelford, T.L. Wheeler, dan M. Koohmaraie. 2004. Factors regulating lamb longissimus tenderness are affected by age at slaughter. J. Meat Sci. 68:635-640.

Vergara, H., A. Molina dan L. Gallego. 1999. Influence of sex and slaughter weight on carcass and meat quality in light and medium weight lambs produced in intensive systems. J. Meat Science Vol 52 (2):221-226.

Warris, P.D. 2004. Meat Science an Introductory Text. CABI Publishing, Oxon. Williamson, G. dan W. J. A. Payne.1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.

Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.

Yamin, M. 2001. Budidaya penggemukan ternak domba. Makalah Seminar. Yayasan Husnul Khatimah, Jakarta.

(40)
(41)

Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam Bobot Potong SK DB JK KT F Hitung P Perlakuan Kelompok Galat 2 4 8 45,05833333 30,44166667 29,73333333 22,52916667 7,61041667 3,71666667 6,06* 2,05 0,0250 0,1802 total 14 105,23333333

Keterangan : ** = sangat berbeda nyata

* = berbeda nyata

Lampiran 2. Uji Lanjut Duncan Bobot Potong

Perlakuan N Kelompok Duncan Rata-rata

1 2 3 5 5 5 A B B 15,050 17,900 19,200 Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Bobot Karkas

SK DB JK KT F Hitung P

Perlakuan Kelompok

Keterangan : ** = sangat berbeda nyata

Galat 2 4 8 9,80133333 5,95600000 5,43200000 4,90066667 1,48900000 0,67900000 7,22* 2,19 0,0162 0,1601 total 14 21,18933333 * = berbeda nyata

Lampiran 4. Uji Lanjut Duncan Bobot Karkas

Perlakuan N Kelompok Duncan Rata-rata

1 2 3 5 5 5 A AB B 6,3200 7,3000 8,3000

(42)

Lampiran 5. Hasil Analisis Ragam Persentase Karkas SK DB JK KT F Hitung P Perlakuan Kelompok Galat 2 4 8 12,13512101 16,30307730 76,34278185 6,06756051 4,07576932 9,54284773 0,64 0,43 0,5543 0,7856 total 14 104,78098016

Keterangan : ** = sangat berbeda nyata

* = berbeda nyata

Lampiran 6. Hasil Analisis Ragam Tebal Lemak Punggung

SK DB JK KT F Hitung P Perlakuan Kelompok Galat 2 4 8 8,10833333 1,37500000 1,72500000 4,05416667 0,34375000 0,21562500 18,80** 1,59 0,0009 0,2660 total 14 11,20833333

Keterangan : ** = sangat berbeda nyata

* = berbeda nyata

Lampiran 7. Uji Lanjut Duncan Tebal Lemak Punggung

Perlakuan N Kelompok Duncan Rata-rata

1 2 3 5 5 5 A A B 1,05 1,25 2,70 Lampiran 8. Hasil Analisis Ragam Luas Urat Daging Mata Rusuk

SK DB JK KT F Hitung P

Perlakuan Kelompok

Keterangan : ** = sangat berbeda nyata

Galat 2 4 8 3.55184150 13.37143455 6.36834081 1.77592075 3.34285864 0.79604260 2,23 4,20* 0,1698 0,0402 total 14 23.29161686 * = berbeda nyata

(43)

Lampiran 9. Hasil Analisis Ragam pH SK DB JK KT F Hitung P Perlakuan Kelompok Galat 2 4 8 0,07585333 0,03768333 0,02734667 0,03792667 0,00942083 11,10* 2,76 0,0049 0,1038 0,00341833 total 14 0,14088333

Keterangan : ** = sangat berbeda nyata

* = berbeda nyata

Lampiran 10. Uji Lanjut Duncan pH

Perlakuan N Kelompok Duncan Rata-rata

1 2 3 5 5 5 A B B 5,63400 5,80800 5,72800

Lampiran 11. Hasil Analisis Ragam Daya Putus

SK DB JK KT F Hitung P Perlakuan Kelompok Galat 2 4 8 5,02181333 1,61097333 8,38038667 2,51090667 0,40274333 2,40 0,38 0,1529 0,8142 1,04754833 total 14 15,01317333

Keterangan : ** = sangat berbeda nyata

* = berbeda nyata

Lampiran 12. Hasil Analisis Ragam Susut Masak

SK DB JK KT F Hitung P Perlakuan Kelompok Galat 2 4 8 2,58278813 20,50763827 35,75768453 1,29139407 5,12690957 0,29 1,15 0,7566 0,4009 4,46971057 total 14 58,84811093

Keterangan : ** = sangat berbeda nyata

(44)

Lampiran 13. Hasil Analisis Ragam % mgH2O SK DB JK KT F Hitung P Perlakuan Kelompok Galat 2 4 8 98,12686173 4,97629773 27,71664227 49,06343087 1,24407443 14,16** 0,36 0,0024 0,8311 3,46458028 total 14 130,81980173

Keterangan : ** = sangat berbeda nyata

* = berbeda nyata

Lampiran 14. Uji Lanjut Duncan % mgH2O

Perlakuan N Kelompok Duncan Rata-rata

1 2 3 5 5 5 A A B 28,224 29,084 34,028

(45)

Lampiran 15. Perhitungan Total Digestible Nutrients (TDN)

Pakan Kelas

Bahan Persamaan dan Hasil

Konsentrat 4 %TDN = 22,822 - 1,440 (SK) - 2,875 (LK) + 0,655 (BETN) + 0,863 (PK) + 0,020 (SK)2 – 0,078 (LK)2 + 0,018 (SK) (BETN) + 0,045 (LK) (BETN) – 0,085 (LK) (PK) + 0,020 (LK)2 (PK) %TDN = 22,822 – 1,440 (19,75) – 2,875 (5,99) + 0,655 (43,11) + 0,863 (16,52) + 0,020 (19,75)2 – 0,078 (5,99)2 + 0,018 (19,75) (43,11) + 0,045 (5,99) (43,11) – 0,085 (5,99) (16,52) + 0,020 (5,99)2 (16,52) = 55,05% Rumput Gajah 2 %TDN = -26,685 + 1,334 (SK) + 6,598 (LK) + 1,423 (BETN) + 0,967 (PK) – 0,002 (SK)2 - 0,0670 (LK)2 – 0,024 (SK) (BETN) – 0,055 (LK) (BETN) – 0,146 (LK) (PK) + 0,039 (LK)2 (PK) %TDN = -26,685 + 1,334 (46,86) + 6,598 (1,63) + 1,423 (24,82) + 0,967 (16,69) – 0,002 (46,86)2 - 0,0670 (1,63)2 – 0,024 (46,86) (24,82) – 0,055 (1,63) (24,82) – 0,146 (1,63) (16,69) + 0,039 (1,63)2 (16,69) = 59,49%

Sumber: Hartadi et al. (1990)

Keterangan: Kelas Bahan 2 = Pasture, tanaman padangan, hijauan yang diberikan segar

Kelas Bahan 4 = sumber energi, bahan-bahan dengan protein kasar kurang dari 20% dan serat kasar kurang dari 18% atau dinding sel kurang dari 35%

SK : Serat Kasar

LK : Lemak Kasar

PK : Protein Kasar

BETN : Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen TDN : Total Digetible Nutrients (TDN)

(46)

Lampiran 16. Perhitungan pakan yang diberikan

Misal: BB=14 Kg target 1 bulan=4 Kg (14+18):2=16 Kg Kebutuhan domba = keb. TDN BB 16 kg x 100%

keb BK BB 16 kg = 0.64 x 100% 0.8 TDN RG = 59.49% 24.95 24.95 x 100% = 54.88% 45.46 80% TDN K = 55.05% 20.51 + 20.51 x 100% = 45.12% 45.46 45.46 Kebutuhan berdasarkan Bahan Kering

RG = 54.88 x 0.8 kg = 0.44 kg 0.8 kg 100

K = 45.12 x 0.8 kg = 0.36 kg 100

Pemberian dalam bentuk segar

RG = 100 x 0.44 kg = 2.56 kg 3 kg, diberikan ad libitum 17.2

K = 100 x 0.36 kg = 0.42 kg 0.5 kg, diberikan 0,7 kg 85.36

Keterangan: RG=Rumput Gajah K =Konsentrat

Lampiran 17. Rataan Konsumsi Rumput Gajah (RG) dan Konsentrat (K) Perlakuan Peubah P1 P2 P3 Rataan 1.Konsumsi RG Segar (kg/ekor/hari) 1,39±0,44 1,52±0,16 1,13±0,18 1,34±0,32 2.Konsumsi K (kg/ekor/hari) 0,50±0,00A 0,55±0,03B 0,59±0,01C

Keterangan: Superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01)

P1 = Lama Penggemukan 1 bulan P2 = Lama Penggemukan 2 bulan P3 = Lama Penggemukan 3 bulan

Gambar

Tabel 2. Pengelompokan dan Nomor Leher Domba pada Tiap Unit Percobaan  Lama penggemukan (bulan)
Tabel 3. Rataan Karakteristik Karkas Domba pada Lama Penggemukan yang
Tabel 4. Rataan Sifat Fisik Daging Domba pada Lama Penggemukan yang

Referensi

Dokumen terkait

Supaya konsumen atau target pasar mengetahui potongan harga yang diberikan, clothing line Sinkkink Pride membuat promosi di media sosial.. Promo tersebut bisa dikatakan sebagai

Bagi mahasiswa yang memiliki kemampuan motorik tinggi metode mengajar dengan gaya komando lebih baik dari pada metode mengajar dengan gaya latihan terhadap

Kedua : Ketetapan pemenang ini dibuat dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku dalam.

Penerapan metode certainty factor untuk mendiagnosa dan pencegahan penyakit cacingan pada anak balita diharapkan mendapatkan solusi penanggulangan terbaik dan

Pihak Kedua menyerahkan kepada PJP dan PPK untuk membatalkan pembayaran dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi rumah, sebagian atau seluruhnya, jika, menurut penelitian KMK, PJP

Tutkittavia ympäristötekijöitä olivat vasikan syntymävuosi ja syntymävuodenaika, vasikan sukupuoli, ikä punnittaessa, vasi- kan emän rotu ja poikimaikä sekä karjan

Fungsi alat tersebut adalah menentukan hasil pengukuran kekuatan genggaman tangan dengan kriteria lemah, normal atau kuat dengan memasukan data umur dan jenis

menyatakan bahwa skripsi yang saya buat untuk memenuhi persyaratan kelulusan pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang,