• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebuah geliat dalam dunia ketoprak jaman ini: makna simbol dan fungsi seni pertunjukan di tengah perubahan jaman - Repositori Institusi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Sebuah geliat dalam dunia ketoprak jaman ini: makna simbol dan fungsi seni pertunjukan di tengah perubahan jaman - Repositori Institusi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Sebuah Geliat dalam Dunia Ketoprak Jaman Ini

Makna Simbol dan Fungsi Seni Pertunjukan di Tengah Perubahan Jaman1

DR. G. Budi Subanar2 Pengantar

Pada tahun yang lalu, telah terbit sebuah buku Seri Figur Seni Pertunjukan Indonesia I, judulnya Tiga Jejak Seni Pertunjukan Indonesia.3 Ada tiga tokoh yang dikaji dalam buku tersebut: Rendra, Sardono W. Kusumo, dan Slamet A. Syukur. Rendra disebut sebagai ikon kebangkitan teater modern Indonesia, Sardono W.Kusumo disebut tokoh tari kontemporer, dan dan Slamet A. Syukur sebagai komponis kontemporer. Ketiganya merupakan tokoh dari dunia seni (pertunjukan) kontemporer. Ini saya sebut dalam pengantar ini untuk mengkontraskan dengan lingkup kesenian yang banyak digeluti oleh para hadirin di sini yang disebut dengan istilah seni (pertunjukan) tradisional. Sebenarnya kontras antara seni (pertunjukan) kontemporer dan seni (pertunjukan) tradisional, memunculkan permasalahan pada saya tentang apa yang dimaksud dengan seni (pertunjukan) tradisional. Namun setidaknya kontras tersebut menjadi sarana bantu bagaimana seni (pertunjukan) tradisional dapat dipahami atau ditempatkan.

Minggu yang lalu, sebuah pertunjukan ketoprak ringkes menyertai peluncuran buku Kambing Hitam dan pameran lukisan Putri Cina. Sama seperti halnya judul pameran lukisan, lakon ketoprak ringkes tersebut juga membawakan lakon Putri Cina. Lakon ketoprak tersebut tidak mengadaptasikan kisah legenda Sampek Engtay, namun teksnya ditulis mendasarkan pada kisah yang ada pada bagian akhir dalam buku Kambing Hitam. Gejala apa yang ada dibalik pertunjukan tersebut? Pengamatan terhadap perkembangan seni ketoprak ini kiranya bisa membantu menjawab tema di atas.

Geliat Baru dalam Dunia Ketoprak

Mencermati sejumlah perkembangan yang ada di dalam seni ketoprak, belakangan ini, beberapa hal dapat diketengahkan sebagai pintu masuk pembahasan. Pada pertengahan tahun 2002 yang lalu, komunitas seni DMB mengetengahkan beberapa pagelaran ketoprak di sejumlah tempat berbeda dengan lakon yang berlainan. Pertama pertunjukan ketoprak multimedia di Gedung Societet Yogyakarta, 2-3 Agustus 2002, lakon yang ditampilkan adalah Odipus Sang Nata. Lakon tersebut merupakan adaptasi dari mitos Yunani Odipus Rex.4 Sebagaimana disebut dengan istilah ketoprak multimedia, lakon Odipus Sang Nata dibawakan dengan sarana pendukung yang memanfaatkan teknologi multimedia. Ini merupakan usaha bagaimana ketoprak

1

Makalah disajikan pada Diskusi Sejarah Seni Pertunjukan diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Kalasan 17-18 Mei 2006

2

Pengajar pada Fakultas Teologi dan Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

3

Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), 2005

4

(2)

memanfaatkan teknologi modern. Penyesuaian dengan dunia modern bahkan juga ditunjukkan dalam pemilihan bahasa dialog yang digunakan, yakni bahasa Jawa ngoko.

Sebuah lakon lain yang ditampilkan oleh komunitas DMB adalah Sapa Salah Seleh. Lakon Sapa Salah Seleh merupakan lakon yang sepenuhnya digarap baru, tidak mendasarkan pada kisah tertentu yang menjadi acuannya. Dengan memperbandingkan dengan lakon sebelumnya, Sapa Salah Seleh menjadi sebuah kontras dari lakon Sang Nata, yang dibelakangnya masih diembel-embeli: Odipus, Salah ora Seleh. Lakon tersebut secara khusus dipilih untuk ditampilkan di halaman Gedung DPRD DIY. Lakon

Sapa Salah Seleh tersebut dikemas dalam gaya ketoprak lesung. Selain ditampilkan di halaman gedung DPRD, ketoprak lesung Sapa Salah Seleh juga ditampilkan dalam programa televisi di stasion TVRI Jakarta. Ada pembaruan-pembaruan dilakukan di sana: adakah ketoprak ini meninggalkan tradisinya?

Di samping ketoprak yang dipentaskan oleh komunitas DMB tersebut, dalam satu tahun belakangan ini muncul pula sebuah gerakan yang menamakan diri ketoprak ringkes. Pengantar di atas sudah menyebut pementasannya yang terbaru. Sebelum pementasan tersebut, di Yogyakarta ketoprak ringkes sudah tampil dua kali. Drs. Susilo (den Baguse Ngarsa), dalam sebuah percakapan mengungkapkan yang dimaksudkan dengan ringkes mencakup beberapa hal: berkaitan dengan cerita, berkaitan dengan jumlah pemain, berkaitan dengan durasi pementasan. Dengan memperhatikan unsur yang disebutkan tersebut, kiranya hal ini tidak dapat dilepaskan dari tuntutan jaman ini yang terkait dengan masalah efisiensi.

Satu kelompok lain yang dalam beberapa waktu belakangan ini juga aktif mementaskan seni ketoprak adalah Teater Gajah Mada yang beberapa kali mementaskan lakon dalam garapan ketoprak lesung. Dapat disebut di sini, lakon-lakon yang pernah dipentaskan di antaranya: Modin Karok (2002), Alang-alang (2004), Jaran Sungsang

(2005). Satu lagi yang perlu disebut di sini adalah adanya pertunjukan ketoprak kolosal yang tahun lalu diselenggarakan dan dimotori oleh Bondan Nusantara. Pertunjukan ketoprak kolosal tersebut melibatkan sampai 250 orang pemain. Lakon yang dipegelarkan adalah Bang bang Sumirat.

Dengan adanya pementasan beragam bentuk ketoprak tersebut, mulai dari ketoprak multimedia, ketoprak lesung, ketoprak kolosal sampai dengan ketoprak ringkes, hal tersebut dapat memunculkan beberapa pertanyaan: apakah ini merupakan sebuah gejala baru? Apa yang melatar belakangi sampai munculnya gejala baru tersebut? Tidak dapat dipungkiri bahwa pementasan-pementasan tersebut justru muncul ketika pertunjukan ketoprak tidak lagi banyak ditemukan. Dari data Dinas Kebudayaan Yogyakarta, pada tahun 1990 tercatat 895 grup ketoprak di Yogyakarta.5 Setelah kurun waktu limabelas tahun ini masih berapa jumlah yang tersisa? Sudah dapat diduga bahwa jumlah tersebut sangat banyak berkurang. Apa yang menjadi faktor-faktor penyebabnya, kiranya dapat menjadi sebuah bahan penelitian tersendiri.

Tempat, Waktu, dan Lakon: Faktor-faktor Penentu

Kalau mencermati, lakon-lakon yang diketengahkan dalam berbagai pertunjukan ketoprak sebagaimana disebut di atas, dapat ditemukan bahwa lakon-lakon yang diketengahkan berbeda dari lakon ketoprak yang biasanya. Biasanya lakon-lakon

5

(3)

ketoprak akan mengacu pada kisah-kisah tertentu, misalnya babad Mataram. Disamping itu ada juga lakon yang diambil dari tradisi lain, seperti Sampek Engtay. Judul-judul yang diketengahkan di atas tidak memberi gambaran tradisi lama yang menjadi acuan atas lakon yang dipentaskan. Lakon ketoprak ringkes Putri Cina, menyebut darimana lakon diambil. Demikian pun dengan Odipus Sang Nata. Lakon-lakon lainpun punya keterangan tertentu dari mana kisah dibuat. Macam-macam situasi, keprihatinan atau maksud tertentu yang mendorong usaha penelitian atau pengamatan sampai akhirnya para seniman dan kelompoknya menghasilkan teks-teks yang disebut di atas. Dengan demikian, adanya keprihatinan, kegelisahan, atau harapan tertentu telah mendorong untuk menghasilkan lakon-lakon yang perlu dipentaskan. Ketika memikirkan darimana lakon berasal, atau pun memperhatikan proses pemilihannya, muncullah pemahaman bahwa lakon tidak muncul begitu saja. Di samping pemilihan lakon sampai pada pementasannya yang dapat diketahui, masih ada juga unsur motivasi perlawanan yang dapat digali untuk menemukan fungsi dan makna sebuah pertunjukan. Hal ini didasarkan pada suatu pandangan tertentu yakni ketika sebuah pementasan dipandang sebagai sebuah drama sosial,6 maka di dalamnya dapat ditemukan ide yang melatarbelakanginya, mau pun kegiatan pementasannya. Di samping itu, pertunjukan tersebut juga mengandung sebuah unsur perlawanan yang turut melatarbelakangi selain kedua unsur yang telah disebut.

Ide yang melatar belakangi adanya sebuah pementasan akan memperhitungkan kapan dan di mana sebuah pementasan akan diselenggarakan. Dengan mengacu pada contoh-contoh di atas, kiranya dapat dipahami bahwa ketoprak ringkes Putri Cina, dipilih untuk memperingati sewindu reformasi. Dan tempat pagelarannya pun mengambil kota Jakarta. Dengan pilihan tempat dan waktu seperti itu, tentu kita dapat melepaskan diri dari tujuan memperingatkan peristiwa kekerasan massal 1998. Selain itu pertunjukan juga membawa pesan unsur perlawanan yang secara halus diketengahkan melalui pertunjukan tersebut. Demikian pun berlaku untuk lakon-lakon yang lain. Bisa digali, mengapa dipilih lakon Sapa Salah Seleh untuk dipentaskan di halaman gedung DPRD. Demikian pun selanjutnya untuk lakon-lakon yang lain.

Dengan mempertimbangkan faktor pilihan lakon, tempat dan waktu, serta unsur perlawanan (dalam hal ini perlu dicatat perlawanan di sini, tidak selalu berarti dalam pengertian politis) yang diketengahkan melalui sebuah pertunjukan, hal-hal tersebut dapat merupakan jawab dalam menemukan makna dan fungsi pertunjukan. Sekaligus dalam hal ini terlihat bahwa ada sejumlah faktor di luar unsur-unsur estetik yang perlu diperhitungkan. Dalam hal ini, Ketoprak merupakan salah satu seni rakyat, yang diangkat ke panggung untuk menciptakan ruang publik yang memungkinkan untuk mengkritik serta mentertawakan kekuasaan yang tengah memerintah.

Unsur Non (di luar) Estetika di dalam Pertunjukan

Di dalam membahas tokoh Sardono, Sal Murgiyanto memperlihatkan pada satu sisi, dalam perjalanan berkesenian, ada beberapa hal khusus yang menjadi komponen yang dimiliki oleh Sardono. Empat komponen yang ditunjuk meliputi: penguasaan teknik, kepekaan rasa, kemampuan memahami (intelijensia), dan kreativitas.7 Dua komponen pertama merupakan hal umum bagi para seniman. Sedangkan dua hal lain, itu

6

Victor Turner, From Ritual to Theatre. The Human Seriousness of Play, New york, 1982, hal. 11

7

(4)

telah membuat Sardono tampil sebagai tokoh yang ada di wilayah depan (avant garde) dalam dunia tari. Namun justru dengan kelebihannya pada dua hal yang terakhir, Sardono mengalami penolakan (tidak dipahami) oleh orang kebanyakan. Untuk bisa menempatkan posisi Sardono tersebut, kiranya perlu dipahami bahwa di dalam dunia tradisi, tokoh-tokoh pembaharu dapat dibedakan dalam dua jenis. Pertama, kelompok pembaharu tradisi yang pemikirannya (masih) berorientasi pada hal-hal yang masih berlaku dalam tradisinya sendiri. Kedua, kelompok pembaharu tradisi yang berorientasi pada nilai-nilai dan hal-hal yang berlaku di luar tradisinya. Dengan adanya dua penggolongan tersebut, kita dapat menempatkan seorang pembaharu masuk dalam kelompok mana. Dari penggolongan tersebut, Sardono masuk di dalam kelompok jenis yang kedua.

Pertanyaannya, unsur dan nilai apakah yang dapat digali oleh seorang pembaharu? Kisah hidup Sardono memperlihatkan, setelah penguasaan teknik dimilikinya, dia mengalami bahwa ada faktor di luar teknik yang membuat seseorang ditunjuk untuk tampil membawakan peran tertentu di dalam sebuah pertunjukan. Dari pengalaman tersebut Sardono terbuka untuk menggali kekayaan berbagai tradisi lain, termasuk tadisi dari negara-negara lain. Berbagai kekayaan diperolehnya. Misalnya dalam perjumpaan dengan tokoh dari Kalimantan Timur, Sardono menemukan bagaimana gerak yang dimasukkan dalam tari mengandung unsur yang diserap dari lingkungan hidup setempat di mana seseorang harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan setempat. Misalnya, hal yang berkaitan dengan gerakan yang bertumpu pada pucuk-pucuk jari kaki, atau pun unsur teriakan di dalam tari. Hal-hal tersebut terkait dengan hidup keseharian dalam bergulat dengan alam lingkungan. Sedangkan dalam berhadapan dengan teknik tari yang dipelajari dari Eropa dan Amerika, Sardono tetap mencari dan mengembangkan teknik-gerak dari khasanah tradisi yang ada di Indonesia yang langsung berhubungan dengan lingkungan hidup manusia. Kendati pun demikian pembaruan yang hanya menampilkan hal yang esssensial (dalam Samgita), telah dianggap mengusik kemapanan yang membuatnya tidak dipahami.

Sejalan dengan pencarian dan pengembangan yang dilakukan Sardono, Sumardjo L.E. memperlihatkan bahwa di dalam “kesenian daerah” ada dua unsur yang menjadi motivasi dalam gerakan kesenian. Keduanya berkaitan dengan motif menjaga keamanan diri/kelompok, dan usaha untuk menambah kesejahteraan sosial.8 Dari kedua fungsi inilah kemudian berkembang “kesenian daerah”. Ada pun istilah “kesenian daerah” yang dimaksud oleh Sumardjo mengacu pada pengertian bentuk kesenian yang timbul di suatu daerah tertentu dan karenanya membawa ciri-ciri khas kedaerahan masing-masing. Di dalam ruang lingkup ekspresi kesenian daerah tersebut, terkandung berbagai nilai yang menjadi kekhasan masing-masing daerah. Nilai penting yang ada dalam lingkup kesenian daerah tersebut antara lain memuat rasa keterikatan. Hal yang lain yang tercakup dalam ungkapan dari kesenian daerah tersebut adalah unsur kesederhanaan sekaligus jujur (otentik) di dalam pengungkapannya. Namun demikian dalam pertunjukan seni daerah, bukan melulu dengan menempatkan nilai itu saja. Ada sedemikian banyak kandungan nilai yang diungkapkan melalui simbol-simbol yang terdapat dalam berbagai seni daerah. Hal-hal tersebut diungkapkan dalam simbol-simbol tertentu. Hal-hal inilah yang membutuhkan pemilahan dalam seni pertunjukan tersebut: mana yang essensial, mana asesoris.

8

(5)

Berhadapan dengan Pihak Lain

Sudah sejak tahun 1930-an Ki Hajar Dewantara, mengemukakan bagaimana perlunya menggunakan sarana-sarana budaya untuk mengadakan dialog dengan budaya-budaya barat.9 Kendati di dalam lingkup pendidikan Taman Siswa, Ki Hajar memperhatikan sungguh tahapan pola-pola pendidikan yang mendasarkan pada wiraga, wirama, wirasa. (Ketiga unsur ini menjadi pokok acuan dalam estetika Jawa.) Pembagian Taman Indria, Taman Muda, Taman Dewasa dengan kurikulumnya mendasarkan pada pembentukan wiraga, wirama, wirasa sejalan dengan perkembagan usia.10

Jauh hari sebelum pidato Ki Hajar tersebut, pada tahun 1900 di Gombong sebuah kelompok seni di Gombong yang dimainkan oleh orang-orang pribumi menampilkan dua pertunjukan antara lain Hamlet11, dalam kostum gaya kisah-kisah stambul. Kostum dari para pemain pria pertunjukan tersebut, mengingatkan kostum dalam seni pertunjukan Siswa Kobra, dll. (minus kacamata). Di samping itu, diketahui bahwa dalam seni pertunjukan tersebut sudah terlihat bagaimana orang-orang Indonesia mengambil alih kisah-kisah dari Eropa untuk ditampilkan di panggung.

Pengertian dari dokumen sejarah, mengajak bertanya: mengapa sekarang orang sering mengadakan festival-festifal seni pertunjukan tradisional secara massal dengan kostum-kostum tersebut seolah-olah menunjukkan inilah sesuatu yang asli. Dalam situasi seperti itu sepertinya butuh sebuah kajian, Bagaimana perjumpaan dengan tradisi lain dalam sejarah dulu dan perjumpaan dengan tradisi lain dalam tradisi sekarang di tempatkan. Jangan sampai terjadi seni tradisi seolah perlu tetap berada dari museum yang sewaktu-waktu dikeluarkan untuk dinikmati dalam romantismenya yang karang-kadang tak paham sejarahnya seperti apa. Apa bisa ditulis kembali untuk dapat berdampingan denan yang ada sekaang.

Dalam seni pertunjukan seni drama, pengambilan cerita-cerita Eropa untuk ditampilkan di panggung kiranya sudah merupakan kisah lama, namun mengapa sekarang kisah dari Yunani tersebut dilakonkan di panggung ketoprak.

Beberapa Pertimbangan Menjaga Seni Tradisi Tetap Survive

Dalam memperingati 100 tahun Kelahiran Ki Tjokrowasito sebagai Empu Karawitan, Juli 2004 yang lalu, Maskarja mengisi kegiatan dengan Penerbitan Buku12 dan menggelar Konser Gamelan Gita Nirmala. Penulisan buku yang masih terbatas pada kajian sosiologis atas karya-karyanya (biografi kreatif) merupakan satu usaha untuk penulisan ulang atas sejarah Sang Empu. Sebenarnya ini merupakan usaha awal yang masih perlu dilanjutkan. Sedangkan dalam Konser Gamelan menampilkan karya asli mau pun hasil interpretasi atas karya Ki Tjokrowasito merupakan usaha bagaimana

9

Ki Hajar Dewantara, “Hubungan Kultural antara Indonesia dengan Bangsa-bangsa di luar Indonesia”, dalam: Kebudayaan, Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yogyakarta, 1994, hal. 35-39

10

Banyak tulisan Ki Hajar Dewantara membahas tentang hal tersebut. Lih. Ki Hajar Dewantara,

Pendidikan, Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yogyakarta, 1994

11

Sebuah kisah drama klasik dari Inggris karya William Shakespiere

12

(6)

karya tersebut masih relevan dan kontekstual (sesuai situasi jaman ini). Sayangnya, usaha tersebut tidak memperoleh tanggapan memadai karena kurangnya kajian dari para ahli mau pun kritikus seni yang dapat menjadikan moment tersebut untuk menjadi wacana pembicaraan akademis, mau pun populer. Dengan mengangkat moment-moment penting dalam wacana pembicaraan, tentunya akan menggairahkan kemandegan-kemandegan dari seni (pertunjukan) tradisi yang harus berahadapan dengan perubahan jaman yang membutuhkan pemikiran dan aktivitas sehingga seni tradisi dapat tetap survive, bertahan hidup menghadapi tantangan jaman yang berubah.

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan Tugas Akhir, yang berjudul “Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I di Kutoarjo dengan Pendekatan Defensible Space ”.. Penyusunan Konsep Perencanaan dan

judul “ Sistem Analisis Kualitas Pelayanan Terhadap Tingkat Kepuasaan Pelanggan Menggunakan Metode Service Quality (Servqual) ” Penelitian ini menggunakan metode

tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak game online terhadap perilaku remaja dalam pelaksanaan ibadah sholat lima waktu, untuk.. mengetahui

Pengaruh Lingkungan Keluarga, Kesiapan Belajar, dan Disiplin Belajar Terhadap Motivasi Belajar Siswa Kelas XI IPS Pada Mata Pelajaran Ekonomi di MA Raudlatul Muallimin

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat diselesaikannya penyusunan skripsi dengan judul “Peningkatan

Data yang diharapkan dari metode ini adalah mengetahui apakah target berusia 17-25 tahun memahami dampak buruk suplemen fitness dalam penggunaan berlebih dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) Pengelolaan arsip Buku Tanah di kantor Pertanahan Kota Surakarta; (2) Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara memperoleh data primer, yaitu sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli yaitu wawancara