BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori
1. Hasil Belajar
a. Pengertian Belajar
Menurut R.Gagne dalam Susanto (2013:1), “belajar dapat
didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah prilakunya sebagai akibat pengalaman”. Maksudnya adalah dari belajar
kita akan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik karena pengalaman-pengalaman yang didapat selama proses belajar.
Piaget berpendapat dalam Dimyati (2009: 13), “pengetahuan
dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan. Lingkungan tersebut mengalami perubahan, dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang”. Jadi dapat diuraikan bahwa belajar akan
meningkat jika setiap individu mampu berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya.
Menurut Hergenhahn dan Olson dalam Rahyubi (2012: 3), “belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau
adalah seseorang akan terus dan terus belajar selama dia masih bernafas, karena dari belajarlah setiap manusia akan mengalami perkembangan-perkembangan ke arah yang lebih baik lagi.
Rahyubi (2012: 3) Belajar adalah proses transformasi ilmu guna memperoleh kompetensi, keterampilan, dan sikap untuk membawa perubahan yang lebih baik”. Jadi belajar akan memberikan manfaat
yang lebih baik bagi setiap orang karena dari sinilah seseorang akan berkembang pengetahuanya serta bertambah pengalamanya.
Menurut Ahmadi (2013: 128), “belajar ialah suatu proses usaha
yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan”.
Menurut W.S Winkel dalam Susanto (2013: 4), “belajar adalah
suatu aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif antara seseorang dengan lingkungan, dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, dan nilai sikap yang bersifat relatif dan konstan dan berbekas”. Jadi, kalau seseorang
Dari pengertian di atas peneliti menyimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungannya yang diawali dari proses melihat lalu mengamati dan memahami sesuatu agar dapat mempengaruhi tingkah lakunya sehingga menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, sikap, dan kererampilan.
b. Pengertian Hasil Belajar
Susanto (2013: 5) Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Karena belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap. Dalam kegiatan pembelajaran atau kegiatan instruksional, biasanya guru menetapkan tujaun belajar. Anak yang berhasil dalam belajar adalah yang berhasil mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional. Dapat diuraikan bahwa hasil belajar dapat diperoleh setelah anak itu telah mengikuti proses pembelajaran yang berlangsung dan setelah itu guru memberikan soal maka dari situlah diambil hasil belajar, apakah anak itu mendapatkan nilai yang sesuai standar KKM atau tidak.
pembelajaran maka akan menjadi tolak ukur apakah kemampuan dan pengetahuanya berkembang.
Menurut Suprijono (2013: 7),” hasil belajar adalah perubahan
perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Artinya hasil belajar tidak hanya perubahan yang akan terjadi pada pengetahuan saja tetapi merubah semua perilakunya, dari dia berbicara, bersikap dengan orang lain dan berpendapat.
Menurut Nana Sudjana (Kunandar, 2011) hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran, yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan. Sedangkan menurut S. Nasution berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan, tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar.
c. Tipe Hasil Belajar
Hasil belajar menurut Benyamin Bloom dalam Sudjana (2013: 22-33) bependapat bahwa hasil belajar secara garis besar dibagi menjadi tiga ranah yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris. Adapun klasifikasi sebagai berikut:
1) Ranah kognitif
a) Pengetahuan (knowledge)
Pada tahap pengetahuan mencakup ingatan peserta didik akan hal-hal yang pernah dipelajarinya dalam proses pembelajaran dan disimpan dalam ingatan peserta didik. Tipe hasil belajar pengetahuan termasuk kognitif tingkat rendah. Namun, tipe hasil belajar ini menjadi prasarat bagi tipe hasil belajar berikutnya. Hafal menjadi prasarat bagi pemahaman. Misalnya mengingat rumus matematika, dengan mengingat suatu rumus peserta didik akan paham bagaimana menggunakan rumus tersebut.
b) Pemahaman
(2) tingkat kedua adalah pemahaman penafsiran, yakni menghubungkan bagian-bagain terdahulu dengan yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok dan yang bukan pokok, dan (3) tingkat ketiga atau tertinggi adalah pemahaman eksplorasi.
c) Aplikasi
Aplikasi adalah penggunaan abstraksi pada sutuasi kongkret atau situasi khusus. Abstraksi tersebut mungkin berupa ide, teori, atau petunjuk teknis. Menerapakan abstraksi ke dalam situasi baru disebut aplikasi. Peserta didik dapat mengaplikasikan rumus pada persoalan yang dihadapi. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi dari pemahaman, karena dengan memahami suatu kaidah belum tentu dapat mengaplikasikanya terhadap masalah baru.
d) Analisis
Analisis adalah usaha memilah suatu integritas menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian sehingga jelas hierarkinya dan susunannya. Dengan analisis diharapkan seseorang mempuanyai pemahaman yang komperhensif dan dapat memilahkan integritas menjadi bagian-bagian yang tetap terpadu, untuk beberapa hal memahami prosesnya, untuk hal lain memahami cara bekerjanya, untuk hal lain lagi memahami sistematikanya.
Berfikir sintesis adalah berfikir divergen. Dalam berfikir divergen pemecahan atau jawabannya belum dapat dipastikan. Seperti kemampuan dalam membuat rencana contohnya merencanakan suatu program kegiatan sekolah, kemampuan ini setingkat lebih tinggi dari analisis.
f) Evaluasi
Evaluasi adalah pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin dilihat dari segi tujuan, gagasan, cara bekerja, pemecahan, metode, materil dll.
Penulis berpendapat bahwa tingkatan pada ranah kognitif telah disusun secara hirarkis mulai dari tingkatan terendah sampai tingkatan tertinggi yaitu mulai dari pengetahuan sampai evaluasi. Dalam proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah, untuk ranah kognitif merupakan ranah pengetahuan. Hasil belajarnya mencakup materi ajar pada bilangan romawi dengan model Index Card Match dengan Pair Check.
2) Ranah Afektif
Ada beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil belajar, diantaranya sebagai berikut:
a) Reciving/ attending
Yakni semacam kepekaan dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk masalah, situasi, gejala dll. Kesediaan itu dapat berupa saat peserta didik mengamati gambar atau mendengarkan jawaban teman atas pertanyaan yang di berikan guru.
b) Responding/ jawaban
Yakni reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar. Hal ini mencakup ketepatan reaksi, perasaan, kepuasan dalam menjawab stimulus dari luar yang datang kepada dirinya.
c) Valuing (penilaian)
Berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus tadi. Dalam evaluasi ini termasuk di dalamnya kesediaan menerima nilai, latar belakang, atau pengalaman untuk menerima nilai dan kesepakatan terhadap nilai tersebut.
d) Organisasi
prioritas nilai yang telah dimilikinya. Yang termasuk ke dalam organisasi adalah konsep tentang nilai, organisasi sistem nilai dan lain-lain.
e) Karakteristik nilai/ internalisasi nilai
Yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Kedalamnya termasuk keseluruhan nilai dan karakteristiknya.
Menurut peneliti ranah afektif atau sikap lebih menekankan pada materi ajar agar peserta didik dapat “tahu mengapa” perlu mempelajari materi bilangan romawi dan di
harapkan peserta didik akan mempunyai hasil belajar yang sangat memuaskan dan dengan bangga mengakui hasil pekerjaanya sendiri, serta dapat mengaplikasikanya di kehidupan sehari-hari melalui bilangan romawi yang disampaikan oleh guru.
3) Ranah Psikomotor
Ranah psikomotor menurut klasifikasi Simpson (Winkel, 1999: 249) tingkatan keterampilan yaitu sebagai berikut:
a) Persepsi (perception)
b) Kesiapan (set)
Mencakup kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam keadaan akan memulai suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Kemampuan ini dinyatakan dalam bentuk kesiapan jasmani dan mental.
c) Gerakan terbimbing (guided response)
Mencakup kemampuan untuk melakukan suatu rangkaian gerak-gerik, sesuai dengan contoh yang diberikan (imitasi). Kemampuan ini dinyatakan dalam menggerakan anggota tubuh, menurut contoh yang diperlihatkan atau diperdengarkan.
d) Gerakan yang terbiasa (mechanical response)
Mencakup kemampuan untuk melakukan suatu rangkaian gerak-gerik dengan lancar, karena sudah dilatih secukupnya, tanpa memperhatikan lagi contoh yang diberikan. Kemampuan ini dinyatakan dalam menggerakan anggota-anggota tubuh, sesuai dengan prosedur yang tepat.
e) Gerakan kompleks (complex response)
f) Penyesuaian pola gerakan (adjustment)
Mencakup kemampuan untuk mengadakan perubahan dan menyesuaikan pola gerak-gerik dengan kondisi setempat atau dengan menunjukkan suatu taraf keterampilan yang telah mencapai kemahiran.
g) Kreativitas (creativity)
Mencakup kemampuan untuk melahirkan pola-pola gerak-gerik yang baru, seluruhnya atas dasar prakarsa dan inisiatif sendiri.
d. Faktor yang Mempengaruhi Belajar
Menurut Slamento (2010: 54) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar banyak jenisnya, tetapi dapat digolongkan menjadi dua golongan saja, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar, sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada di luar individu. 1) Faktor-faktor Intern meliputi:
a) Faktor Jasmaniah
Sehat berarti dalam keadaan baik segenap badan beserta bagian-bagiannya/ bebas dari penyakit. Kesehatan adalah keadaan atau hal sehat. Kesehatan sesorang berpengaruh terhadap belajarnya.
b) Faktor Psikologi
perhatian, (3) minat, (4) bakat, (5) motif, (6) kematangan, (7) kesiapan.
c) Faktor Kelelahan
2) Faktor-faktor ekstern, meliputi: a) Faktor Keluarga
Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarganya berupa: (1) cara orang tua mendidik, (2) relasi antara anggota keluarga, (3) suasana rumah tangga, (4) keadaan ekonomi keluarga, (5) pengertian orang tua, dan (6) latar belakang kebudayaan.
b) Faktor Sekolah
Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup (1) metode mengajar, (2) kurikulum, (3) relasi guru dengan siswa, (4) relasi siswa dengan siswa, (5) disiplin sekolah, (6) alat pelajaran, (7) waktu sekolah, (8) standar pelajaran di atas ukuran, (9) keadaan gedung, (10) metode belajar, dan (11) tugas rumah.
c) Faktor Masyarakat
dalam masyarakat, (2) media masa, (3) teman bergaul, dan (4) bentuk kehidupan masyarakat.
Dari uraian di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa ada dua faktor yang dapat mempengaruhi belajar yaitu faktor intern dan faktor ekstern.
2. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
a. Pengertian Matematika
Susanto (2013: 185), “Matematika merupakan salah satu disiplin
ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir dan beragumentasi, memberikan konstribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”. Peneliti dapat
menguraikan bahwa matematika sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari dan dalam dunia kerja, misalnya saja dalam hal dunia kerja yang akan membutuhakan perhitungan soal biaya maka akan membutuhkan hitung-hitungan matematika.
Menurut Depdiknas dalam Susanto (2013: 184), “kata
matematika berasal dari bahasa Latin, manthanein atau mathema yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari,” sedang dalam bahasa Belanda,
Matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran”. Jadi matematika adalah ilmu pasti yang tidak bisa di
tidak sesuai dengan hasil yang benar maka itu salah karena tidak bisa dibenarkan lagi jawabanya karena matematika itu ilmu pasti.
Dalam matematika, setiap konsep yang abstrak yang baru dipahami siswa perlu segera diberi penguatan, agar mengendap dan bertahan lama dalam memori siswa, sehingga akan melekat dalam pola pikir dan pola tindakannya. Menurut Heruman (2010: 2), peneliti dapat menguraikan bahwa pembelajaran matematika perlu adanya perbuatan dan pengertian, tidak hanya sekedar hafalan atau mengingat saja yang harus disesuaikan dengan langkah-langkah pembeljaran matematika yang terdiri dari penanaman konsep, pemahaman konsep dan pembinaan keterampilan.
Jadi peneliti dapat menarik kesimpulan dari beberapa pendapat tentang matematika yaitu bahwa matematika adalah ilmu pasti yang tidak bisa berubah-rubah jawabanya, tidak hanya sekedar hafalan atau ingatan tentang materi-materi matematika tetapi harus dipahami dengan benar apalagi dalam matematika banyak sekali terdapat rumus-rumus.
b. Pembelajaran Matematika
Susanto (2013: 186), “pembelajaran matematika adalah suatu
proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berfikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasa yang baik terhadap materi matematika”. Jadi dapat peneliti
kreativitas siswa karena dengan ini pembelajaran matematikalah siswa bisa memecahkan sebuah masalah.
Menurut Corey dalam Susanto (2013: 186), “pembelajaran
adalah suatu proses di mana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu”. Peneliti menyimpulkan bahwa pembelajaran
bisa didapat di mana saja tidak hanya di sekolahan tetapi juga bisa di lingkungan tergantung dengan kondisi yang ada di sekitar.
Menurut Bruner dalam Heruman (2010: 4), “pembelajaran
matematika, siswa harus menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang diperlukannya. ‘menemukan’ di sini terutama adalah ‘menemukan lagi’ (discovery), atau dapat juga menemukan yang sama
sekali baru (invention). Oleh karena itu, kepada siswa materi disajikan bukan dalam bentuk akhir dan tidak diberitahukan cara penyelesainnya. Dalam pembelajaran ini, guru harus lebih banyak berperan sebagai pembimbing dibandingkan sebagai pemberi tahu”.
Jadi, saat akan mempelajari suatu konsep matematika, peserta didik diajak terlebih dahulu mengenali masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari secara kongkret dan guru harus berperan aktif dalam membimbing peserta didik.
matematika kepada peserta didik dengan memberikan pengalaman belajar dan keterampilan yang berupa tindakan dan pengertian, dimana pembelajarannya tidak hanya hafalan dan mengingat. Pembelajaran matematika harus sesuai atau melalui langkah-langkah yang benar yang terdiri dari penanaman konsep, pemahaman konsep dan pembinaan keterampilan sesuai dengan kemampuan dan lingkungan siswa.
c. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Menurut Depdiknas (2009: 1) Secara umum terdapat 4 tahapan aktivitas dalam rangka penguasaan materi pelajaran matematika di dalam pembelajaran yaitu:
1) Penanaman Konsep Dasar
Tahap penanaman konsep merupakan tahap pengenalan awal tentang konsep yang akan dipelajari siswa. Pada tahap ini pengajaran memerlukan penggunaan benda konkrit sebagai alat peraga.
2) Tahap Pemahaman Konsep
Tahap pemahaman konsep merupakan tahap lanjutan setelah konsep ditanamkan. Pada tahap ini penggunaan alat peraga mulai dikurangi dan bentuknya semi konkrit sampai pada akhirnya tidak diperlukan lagi.
3) Tahap Pembinaan Keterampilan
mencongak dan berlomba. Pada tahap pengajaran ini alat peraga sudah tidak boleh digunakan lagi
4) Tahap Penerapan Konsep
Tahap penerapan konsep yaitu penerapan konsep yang sudah dipelajari ke dalam bentuk soal-soal terapan (cerita) yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Tahap ini disebut juga sebagai pembinaan kemampuan memecahkan masalah.
3. Bilangan Romawi di Sekolah Dasar
Materi pembelajaran bilangan romawi termuat dalam Standar Kompetensi (SK) 7, yaitu menggunakan lambang bilangan Romawi. Di dalam SK tersebut terdapat 2 (dua) Kompetensi Dasar (KD), yaitu KD 7.1 Mengenal lambang bilangan Romawi. KD ini berisi materi pokok pengenalan lambang bilangan Romawi yang diajarkan selama 5 Jam Pelajaran (JP) pada siklus I, dan KD 7.2 Menyatakan Bilangan Cacah sebagai bilangan Romawi dan sebaliknya. KD ini berisi materi pokok mengubah bilangan cacah ke bilangan Romawi dan sebaliknya yang diajarkan selama 5 Jam Pelajaran (JP) pada siklus II. Materi bilangan Romawi diambil dari buku Ayo Belajar Matematika untuk SD dan MI Kelas IV karangan Burhan Mustaqim dan Ary Astuty (2008: 191-203). Materi terangkum sebagai berikut:
a. Lambang Bilangan Romawi
Tabel 2.1: Lambang Bilangan Romawi
Bilangan Asli Bilangan Romawi
1
Cara penulisan lamabang bilangan Romawi berbeda dengan cara penulisan lambang bilangan asli. Agar mudah dalam membaca maupun menulis lambang bilangan Romawi kita harus memahami aturan penulisannya.
1) Aturan Penjumlahan Bilangan Romawi
a) Jika lambang yang menyatakan angka lebih kecil terletak di kanan, maka lambang-lambang Romawi tersebut dijumlahkan. b) Bilangan penambahnya paling banyak tiga angka.
Contoh : VIII = V + I + I + I = 5 + 1 + 1 + 1
= 5 + 3 = 8
2) Aturan Pengurangan Bilangan Romawi
a) Jika lambang yang menyatakan angka lebih kecil terletak di kiri, maka lambang-lambang Romawi tersebut dikurangkan. b) Bilangan pengurang hanya ada satu angka.
= 40
3) Aturan Gabungan Bilangan Romawi
Aturan gabungan bilangan Romawi merupakan aturan gabungan dari penjumlahan dan pengurangan.
Contoh : XIV = X + (V – I)
= 10 + (5 – 1) = 10 + 4 = 14
Setelah mengetahui aturan menulis bilangan Romawi, kita dapat menulis bilangan Romawi dengan benar.
Contoh : 139 = 100 + 30 + 9
= 100 + (10 + 10 + 10) + (10 – 1) = C + XXX + IX
= CXXXIX
b. Mengubah Bilangan Asli Menjadi Bilangan Romawi dan
Sebaliknya
1) Mengubah bilangan asli menjadi bilangan Romawi Contoh : 24 = 20 + 4
= (10 + 10) + (5 – 1) = XX + IV
= XXIV
= 100 + (10 + 10 + 10) + (10 – 1) = 100 + 30 + 9
= 139
4. Model Index Card Match
a. Pengertian Model Pembelajaran
Soekamto, dkk dalam Trianto (2012: 22), mengemukakan maksud dari model pembelajaran adalah: “ kerangka konseptual yang
melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar”. Artinya
adalah adanya model pembelajaran maka akan membantu siswa mencapai hasil belajar yang memuaskan, dan membantu guru juga supaya tidak monoton dalam mengajar.
Joyce dan Well dalam Trianto (2010: 51-52), menyatakan bahwa: “Models of teaching are really models of learning. As we help
student acquire information, ideas, skills, value, ways of thinking and
means of expressing themselves, we are also teaching them how to
bahwa model belajar merupakan sarana untuk membantu guru dalam proses pembelajaran baik dari segi ide, keterampilan dan cara berfikirnya.
Arends dalam Trianto (2010: 51), “model pembelajaran adalah
suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk didalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas”. Peneliti menyimpulkan bahwa suatu pola
yang digunakan guru untuk merencanakan pembelajaran supaya tercipta kegiatan pembelajaran yang memuaskan dan siswa pun senang akan materi yang disampaikan oleh guru.
Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Fungsi model pembelajaran adalah sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para guru dalam melaksanakan pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran sangat dipengaruhi oleh sifat dari materi yang akan diajarkan, tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran tersebut, serta tingkat kemampuan peserta didik”. (Trianto, 2010: 52)
terpenting dalam proses pembelajaran karena dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat dengan materi ajar maka akan membantu guru dalam menyampaikanya, siswa pun akan menjadi paham tentang materi yang diajarkan karena guru tidak monoton berceramah yang bisa membuat siswa bosan maka pembelajaran pun tidak akan mampu dikuasai siswa. Pilihlah model pembelajaran yang tepat dengan materi yang akan diajarkan dan yang mampu membuat siswa memperoleh hasil belajar yang maksimal, maka model pembelajaran harus dirancang terlebih dahulu sebelum guru melakukan kegiatan pembelajaran.
b. Pengertian Index Card Match
Zaini, dkk (2008: 67), menyatakan bahwa Index Card Match adalah “strategi yang cukup menyenangkan yang digunakan untuk
mengulang materi yang telah diberikan sebelumnya. Namun demikian, materi baru pun tetap bisa diajarkan dengan strategi ini dengan catatan, peserta didik diberi tugas mempelajari topik yang akan diajarkan terlebih dahulu, sehingga ketika masuk kelas mereka sudah memiliki bekal pengetahuan”. Sedangkan menurut Silberman (2012: 250) mengatakan bahwa, “ini merupakan cara aktif dan menyenangkan untuk
meninjau ulang materi pelajaran. Cara ini memungkinkan siswa untuk berpasangan dan memberi pertanyaan kuis kepada temannya”.
peserta didik dengan berpasang-pasangan. Pasanganya di tentukan terlebih dahulu dengan cara mengocok kartu index yang telah di saipkan oleh guru, guru membuat soal beserta dengan jawabanya. Kemudian siswa mengambil kartu satu-satu dan dicocokkan dengan jawabanya setelah bertemu dengan jawabnya siswa langsung berpasangan.
c. Langkah-langkah Index Card Match
Menurut Zaini (2008: 67-68) Langkah-langkah Index Card Match meliputi :
1) Buatlah potongan-potongan kertas sejumlah peserta didik yang ada dalam kelas.
2) Bagi jumlah kertas-kertas tersebut menjadi dua bagian yang sama. Seperti contoh di bawah ini.
Gambar 2.1: Contoh Kartu Soal dan Kartu Jawaban
3) Tulis pertanyaan tentang materi yang telah diberikan sebelumnya pada setengah bagian kertas yang telah disiapkan. Setiap kertas berisi satu pertanyaan. Contohnya kartu pertanyaan yang ada di bawah ini yang berisi angka kemudian jawabanya di rubah ke bilangan Romawi.
Kartu Berisi
Soal
Kartu Berisi
Jawaban
4) Pada setengah kertas yang lain, tulis jawaban dari pertanyaan – pertanyaan yang tadi dibuat. Misalnya pertanyaan tadi yang terdapat pada no 3 kita jawab dengan lambang bilangan Romawi angka 7.
5) Kocoklah semua kertas sehingga akan tercampur antara soal dan jawaban. Setelah guru selesai membuat pertanyaan dan jawaban kemudian dijadikan menjadi satu biar menyatu antara pertanyaan dan jawaban.
6) Beri setiap peserta didik satu kertas. Jelaskan bahwa ini adalah aktivitas yang dilakukan berpasangan. Setengah peserta didik akan mendapatkan soal dan setengah yang lain akan mendapatkan jawaban.
7) Minta peserta didik untuk menemukan pasangan mereka. Jika ada yang sudah menemukan pasangan, minta mereka untuk duduk berdekatan. Terangkan juga agar mereka tidak memberitahu materi yang mereka dapatkan kepada teman yang lain.
8) Setelah semua peserta didik menemukan pasangan dan duduk berdekatan, minta setiap pasangan secara bergantian untuk membacakan soal yang diperoleh dengan keras kepada
teman yang lain. Selanjutnya soal tersebut dijawab oleh pasangan-pasangan yang lain.
9) Akhiri proses ini dengan membuat klarifikasi dan kesimpulan. Dapat peneliti simpulkan bahwa Index Card Match tidak hanya dapat menumbuhkan kegembiraan siswa dalam kegiatan belajar, tapi juga mampu mengembangkan kreatifitas seorang guru dalam menyampaikan materi pembelajaran bilangan Romawi. Dalam menyampaikan materi pembelajaran bilangan Romawi guru perlu memahami materi dan mempersiapkan instrument yang tepat bagi siswa dalam melaksanakan model Index Card Match.
5. Pair Checks
a. Pengertian Pair Checks
Menurut Herdian dalam (Shoimin, 2013: 119) model Pair Checks (pasangan mengecek) merupakan model pembelajaran dimana
siswa saling berpasangan dan menyelesaikan persoalan yang diberikan. Dalam model pembelajaran kooperatif tipe pair checks, guru bertindak sebagai motivator dan fasilitator aktivitas siswa. Pair checks bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
menggunakan ide, pikiran, pengalaman, dan pendapatnya dengan benar. Dengan strategi pair checks memungkinkan bagi siswa untuk saling bertukar pendapat dan saling memberikan saran.
Menurut Shoimin, Aris (2013: 119-120) Langkah-langkah Pair Checks meliputi:
1) Bagilah siswa di kelas ke dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 4 orang.
2) Bagi lagi kelompok-kelompok siswa tersebut menjadi berpasangan-pasangan. Jadi akan ada partner A dan partner B pada kedua pasangan.
3) Berikan setiap pasangan sebuah LKS untuk dikerjakan. LKS terdiri dari beberapa soal atau permasalahan (jumlahnya genap) 4) Berikutnya, berikan kesempatan kepada partner A untuk
mengerjakan soal nomor 1, sementara partner B mengamati, memberi motivasi, membeimbing (bila diperlukan) partner A selama mengerjakan soal nomor 1.
5) Selanjutnya bertukar peran, partner B mengerjakan soal nomor 2, dan partner A mengamati, memberi motivasi, membimbing (bila diperlukan) partner B selama mengerjakan soal nomor 2.
6) Setelah 2 soal diselesaikan, pasangan tersebut mengecek hasil pekerjaan mereka berdua dengan pasangan lain yang satu kelompok dengan mereka.
8) Langkah no 4,5, dan 6 diulang lagi untuk menyelesaikan soal nomor 3 dan 4, demikian seterusnya sampai semua soal pada LKS selesai dikerjakan setiap kelompok.
c. Kelebihan dan Kekuranga Pair Checks
Menurut Shoimin, Aris (2013: 121-122) Kelebihan Pair Checks adalah sebagai berikut:
1) Melatih siswa untuk bersabar, yaitu dengan memberikan waktu bagi pasangannya untuk berpikir dan tidak langsung memberikan jawaban (menjawabkan) soal yang bukan tugasnya.
2) Melatih siswa memberikan dan menerima motivasi dari pasanganya secara tepat dan efektif.
3) Melatih siswa untuk bersikap terbuka terhadap kritik atau saran yang membangun dari pasangannya atau dari pasangan lainnya dalam kelompoknya. Yaitu, saat mereka saling mengecek hasil pekerjaan pasangan lain di kelompoknya.
4) Memberikan kesempatan pada siswa untuk membimbing orang lain (pasangannya)
5) Melatih siswa untuk bertanya atau meminta bantuan kepada orang lain (pasangannya) dengan cara yang baik (bukan langsung meminta jawaban, tapi lebih kepada cara-cara mengerjakan soal/ menyelesaikan soal).
7) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar menjaga ketertiban kelas.
8) Belajar menjadi pelatih dengan pasangannya. 9) Menciptakan saling kerja sama di antara siswa. 10) Melatih dalam berkomunikasi.
Menurut Shoimin, Aris (2013: 121-122) Kelebihan Pair Checks adalah sebagai berikut:
1) Membutuhkan waktu yang lebih lama.
2) Membutuhkan keterampilan siswa untuk menjadi pembimbing pasangannya, dan kenyataannya setiap partner pasangan bukanlah siswa dengan kemampuan belajar yang lebih baik. Jadi, kadang-kadang fungsi pembimbing tidak berjalan dengan baik.
d. Perpaduan Model Index Card Match dan Pair Checks
Dalam pembelajaran ini dilakukan dengan memadukan dua model yaitu model Index Card Match dan Pair Check. Cara memadukannya yaitu dengan melakukan langkah – langkah pada model Index Card Match terlebih dahulu, setelah siswa berpasangan dilanjutkan dengan melaksanakan model Pair Check. Langkah-langkah perpaduan kedua model tersebut adalah sebagai berikut: 1) Buatlah potongan-potongan kertas sejumlah peserta didik yang
ada dalam kelas.
3) Tulis pertanyaan tentang materi yang telah diberikan sebelumnya pada setengah bagian kertas yang telah disiapkan. Setiap kertas berisi satu pertanyaan.
4) Pada setengah kertas yang lain, tulis jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang tadi dibuat.
5) Kocoklah semua kertas sehingga akan tercampur antara soal dan jawaban. Setelah guru selesai membuat pertanyaan dan jawaban kemudian dijadikan menjadi satu biar menyatu antara pertanyaan dan jawaban.
6) Beri setiap peserta didik satu kertas. Jelaskan bahwa ini adalah aktivitas yang dilakukan berpasangan. Setengah peserta didik akan mendapatkan soal dan setengah yang lain akan mendapatkan jawaban.
7) Minta peserta didik untuk menemukan pasangan mereka. Jika ada yang sudah menemukan pasangan, minta mereka untuk duduk berdekatan. Terangkan juga agar mereka tidak memberitahu materi yang mereka dapatkan kepada teman yang lain.
8) Setelah semua peserta didik menemukan pasangan dan duduk berdekatan, minta setiap pasangan untuk mengerjakan soal yang diperoleh.
10) Berikutnya, setiap pasangan mencari pasangan dari kupon. Maka terbentuklah kelompok yang terdiri dari 2 pasangan. Jadi, akan ada partner A dan B pada kedua pasangan.
11) Berikutnya, berikan kesempatan kepada partner A untuk mengerjakan soal nomor 1, sementara partner B mengamati, memberi motivasi, membeimbing (bila diperlukan) partner A selama mengerjakan soal nomor 1.
12) Selanjutnya bertukar peran, partner B mengerjakan soal nomor 2, dan partner A mengamati, memberi motivasi, membimbing (bila diperlukan) partner B selama mengerjakan soal nomor 2.
13) Setelah 2 soal diselesaikan, pasangan tersebut mengecek hasil pekerjaan mereka berdua dengan pasangan lain yang satu kelompok dengan mereka.
14) Guru membahas secara bersama jawaban yang benar dari masing-masing kupon.
15) Berikan setiap kelompok sebuah LKS untuk menempelkan kartu index yang berupa jawaban dan soal.
16) Guru bersama siswa menyimpulkan kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.
B. Penelitian Relevan
peningkatan pembelajaran bilangan romawi di kelas IV. Kesimpulanya adalah bahwa hasil belajar matematika yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Index Card Match mempunyai pengaruh hasil belajar dibandingkan dengan metode konvensional. Ini terbukti dari analisa akhir yang diperoleh dari hasil siklus yang terus meningkat yaitu dari siklus I 50%, siklus II 75% dan siklus III adalah 91,67%. Maka dapat disimpulkan rata – rata hasil observasi yang dilakukan pada siswa adalah 90, 62%. Hasil evaluasi pada siklus III jumlah siswa tuntas adalah 11 siswa, dan yang belum tuntas 1 siswa. Presentase ketuntasan siswa pada siklus III adalah 97,67%. Hasil yang diperoleh menunjukan penerapan model Index Card Match terus meningkat dari siklus I, II dan III.
Berdasarkan kesimpulan yang sebelumnya dari penelitian menggunakan model Index Card Match pada materu bilangan romawi terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian yang kedua juga menujukkan bahwa model pembelajaran kooperatif pair check juga dapat meningkatkan pemahaman siswa pada mata pelajaran matematika. Peneliti berharap penelitian tindakan kelas akan berhasil meningkatkan hasil belajar siswa yaitu dengan menggunakan model Index Card Match dengan Pair Check tetapi dengan kondisi dan objek yang berbeda.
C. Kerangka Berfikir
Berdasarkan hasil pretest yang dilakukan, kenyataannya hasil belajar matematika siswa kelas IV SD Negeri 2 Sumampir, Rembang, Purbalingga pada materi bilangan Romawi masih sangat rendah. Siswa masih merasa kesusahan untuk mengerti lambang bilangan Romawi dan masih terbolak-balik dalam mengartikanya, misalnya angka IV dan VI antara angka empat dan enam belum bisa membedakanya. Siswa kelas IV memiliki tahap berfikir yang kongkret yang dalam penugasaan suatu konsep mereka harus menggunakan model pembelajaran yang tepat untuk bisa memahami itu semua, dengan ini peneliti menggunakan model Index Card Match dengan Pair Checks untuk mengenalkan lambang bilangan Romawi. Materi yang disampaiakan akan lebih mudah ditangkap dan dipahami siswa. Dengan menggunakan model Index Card Match dengan Pair Checks pada bilangan Romawi siswa dapat
Pembelajaran matematika pada bilangan Romawi menggunakan model Index Card Match dengan Pair Checks maka dapat mendorong aktivitas siswa
di kelas karena siswa terlibat langsung dalam pembelajaran yang menyenangkan. Dengan model Index Card Match dengan Pair Checks tersebut siswa menjadi lebih termotivasi dalam pembelajaran. Suasana pembelajaran yang demikian diharapkan dapat berpengaruh pada peningkatan hasil belajar matematika siswa khususnya pada meteri bilangan Romawi. Adapun kerangka berpikir dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Kondisi Awal
Hasil belajar matematika kelas IV SD N 2 Sumampir masih
rendah
Tindakan
Penggunaan model Index Card Match dengan Pair Checks
Siklus II
Guru menggunakan model pembelajaran Index Card
Siklus I
Gambar 2.2: Bagan Kerangka Berpikir
D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berfikir penelitian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan penelitian ini adalah sebagai berikut: Penggunaan model Index Card Match dengan Pair Checks pada materi bilangan Romawi dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik di kelas IV SD Negeri 2 Sumampir pada aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
1. Penerapan model Index Card Match dengan Pair Checks, maka hasil belajar matematika aspek kognitif siswa kelas IV SD Negeri 2 Sumampir dapat meningkat.
2. Penerapan model Index Card Match dengan Pair Checks, maka hasil belajar matematika aspek afektif siswa kelas IV SD Negeri 2 Sumampir dapat meningkat.
3. Penerapan model Index Card Match dengan Pair Checks, maka hasil belajar matematika aspek psikomotor siswa kelas IV SD Negeri 2 Sumampir dapat meningkat.
Kondisi Akhir
Hasil belajar aspek kognitif, afektif, psikomotor siswa meningkat pada