• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja - Lalan Candra Gunawan BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja - Lalan Candra Gunawan BAB II"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

A.Remaja

1. Pengertian Remaja

Haditono (2001) menyebutkan bahwa anak remaja tidak mempunyai tempat yang jelas, ia tidak termasuk golongan anak tetapi tidak pula termasuk golongan orang dewasa. Menurut Hurlock (2000) masa remaja berumur antara 13 tahun sampai dengan 17 tahun. Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelumnya dan sesudahnya yaitu

a. Masa remaja sebagai periode yang penting. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.

(2)

c. Masa remaja sebagai periode perubahan. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan yang terjadi pada masa remaja antara lain, meningginya emosi, perubahan tubuh, minat dan peran, serta sebagian besar remaja bersikap ambivalen.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah. Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas. Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perenannya dalam masyarakat. Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam bentuk mobil, pakaian, dan pemilikan barang-barang lainyang mudah terlihat.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan. Banyaknya ada anggapan dari masyarakat bahwa masa remaja adalah masa di mana mereka tidak rapih, tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak. Hal ini mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri.

(3)

dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Para remaja menjadi gelisah dengan semakin mendekatnya usia kematangan. Masa remaja mulai berperilaku untuk memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa.

2. Perkembangan Masa Remaja

Seseorang pada masa remaja menurut Calon (dalam Haditono, 2001) menunjukkan dengan jelas sifat masa transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi juga tidak lagi memiliki status anak. Pada masa remaja terjadi perubahan yang besar dan penting, perubahan tersebut berkenaan dengan kematangan fungsi-fungsi rohkaniah dan jasmaniah terutama seksual. Kartono (2006) menyebutkan bahwa perubahan yang menonjol pada masa remaja ini adalah adanya kesadaran yang mendalam mengenai diri sendiri.

Remaja usia 13 tahun menurut Haditono (2001) menunjukkan perbedaan yang besar dengan remaja usia 18 tahun, lepas daripada perbedaan sosial kultural dan seksual di antara para remaja sendiri. Pada umur 13 tahun yang disebut sebagai awal masa remaja baru terjadi proses pertumbuhan baik fisik dan non fisik ke arah dewasa, sedangkan pada umur 18 tahun mulai terlihat tanda-tanda kedewasaan baik secara fisik maupun non fisik. Wirawan (2000) menyebutkan bahwa masa remaja adalah :

(4)

b. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh ke keadaan yang relatif mandiri.

Dengan demikian, perkembangan yang terjadi pada masa remaja meliputi fisik dan fisiknya, perubahan fisik akan berpengaruh juga pada perkembangan non fisiknya. Pengaruh ini termasuk dalam faktor internal. Tiga kriteria yang membedakan anak-laki-laki daripada anak perempuan yaitu

a. Kriteria kematangan seksual b. Permulaan kematangan seksual

c. Urutan gejala-gejala kematangan (Sunarto dan Hartono, 2000)

Masa remaja menjadi masa yang begitu khusus dalam hidup manusia, karena pada masa tersebut terjadi proses awal kematangan organ reproduksi manusia yang disebut sebagai masa pubertas. Pubertas berasal dari kata

pubercere yang berarti menjadi matang, sedangkan remaja atau adolescence

berasal dari kata adolescere yang berarti dewasa. Proses ini berlangsung dengan penuh konflik yang niempunyai potensi menjadi malapetaka keharmonisan hubungan remaja dengan orang-orang di sekitarnya terutama terhadap orang tuanya dan generasi yang lebih tua (Depkes RI, 2003).

B.Perilaku Asertif

1. Pengertian

(5)

atau hak-hak individu tanpa kecemasan yang tidak beralasan. Alberti & Emmons (2002) memberikan pengertian bahwa perilaku yang asertif mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia, yang memungkinkan kita untuk bertindak menurut kepentingan kita sendiri, untuk membela diri sendiri tanpa kecemasan yang tidak semestinya, untuk mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, untuk menerapkan hak-hak pribadi kita tanpa menyangkali hak-hak orang lain. Pengertian lainnya dikemukakan oleh Rini (2001), yaitu bahwa asertif adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan kepada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain.

2. Ciri-Ciri Individu dengan Perilaku Asertif

Lange dan Jakubowski (1978) mengemukakan lima ciri-ciri individu dengan perilaku asertif. Ciri-ciri yang dimaksud adalah:

a. Menghormati hak-hak orang lain dan diri sendiri

Menghormati orang lain berarti menghormati hak-hak yang mereka miliki, tetapi tidak berarti menyerah atau selalu menyetujui apa yang diinginkan orang lain. Artinya, individu tidak harus menurut dan takut mengungkapkan pendapatnya kepada seseorang karena orang tersebut lebih tua dari dirinya atau memiliki kedudukan yang lebih tinggi.

b. Berani mengemukakan pendapat secara langsung

(6)

c. Kejujuran

Bertindak jujur berarti mengekspresikan diri secara tepat agar dapat mengkomunikasikan perasaan, pendapat atau pilihan tanpa merugikan diri sendiri atau orang lain.

d. Memperhatikan situasi dan kondisi

Semua jenis komunikasi melibatkan setidaknya dua orang dan terjadi dalam konteks tertentu. Dalam bertindak asertif, seseorang harus dapat memperhatikan lokasi, waktu, frekuensi, intensitas komunikasi dan kualitas hubungan.

e. Bahasa tubuh

Dalam bertindak asertif yang terpenting bukanlah apa yang dikatakan tetapi bagaimana menyatakannya. Bahasa tubuh yang menghambat komunikasi, misalnya: jarang tersenyum, terlihat kaku, mengerutkan muka, berbicara kaku, bibir terkatup rapat, mendominasi pembicaraan, tidak berani melakukan kontak mata dan nada bicara tidak tepat.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Perilaku Asertif

Menurut Rathus dan Nevid (1983), terdapat 6 faktor yang mempengaruhi perilaku asertif yaitu:

a. Jenis Kelamin

Wanita pada umumnya lebih sulit bersikap asertif seperti mengungkapkan perasaan dan pikiran dibandingkan dengan laki-laki.

b. Selfesteem

(7)

keyakinan diri yang tinggi memiliki kekuatiran sosial yang rendah sehingga mampu mengungkapkan pendapat dan perasaan tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri.

c. Kebudayaan

Tuntutan lingkungan menentukan batas-vatas perilaku, dimana batas-batas perilaku itu sesuai dengan usia, jenis kelamin, dan status sosial seseorang

d. Tingkat Pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin luas wawasan berpikir sehingga memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dengan lebih terbuka.

e. Tipe Kepribadian

Dalam situasi yang sama tidak semua individu memberikan respon yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh tipe kepribadian seseorang. Dengan tipe kepribadian tertentu seseorang akan bertingkah laku berbeda dengan individu dengan tipe kepribadian lain.

f. Situasi tertentu Lingkungan sekitarnya

Dalam berperilaku seseorang akan melihat kondisi dan situasi dalam arti luas, misalnya posisi kerja antara atasan dan bawahan. Situasi dalam kehidupan tertentu akan dikuatirkan menggangu.

C.Konsep Diri

1. Pengertian

(8)

mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kepandaiannya, kegagalannya dan lain sebagainya. Pudjijogyanti menyimpulkan bahwa konsep diri merupakan sikap dan pandangan individu terhadap seluruh keadaan dirinya (Pudjijogyanti, 1995).

Tim Redaksi Ayahbunda (2002) menjelaskan tentang konsep diri sebagai gambaran yang dimiliki seorang anak tentang dirinya, meliputi gambaran tentang kondisi fisik, psikologis, sosial dan emosional. Gambaran tersebut terbentuk karena keyakinan anak tentang bagaimana orang-orang terdekat dalam kehidupannya memandang dirinya.

Pengertian tentang konsep diri yang telah disajikan tersebut di atas dapat memberikan penjelasan bahwa konsep diri adalah pemahaman seseorang tentang dirinya secara keseluruhan yang menyangkut kondisi fisik, psikologis, sosial dan emosional.

2. Arti Penting Konsep Diri

Konsep diri dalam menentukan perilaku individu menurut Pudjijogyanti (1995) mempunyai peranan penting. Bagaimana individu memandang dirinya akan tampak dari seluruh perilaku. Dengan kata lain, perilaku akan sesuai dengan cara individu memandang dirinya akan tampak dari seluruh perilaku. Ada tiga alasan yang dapat menjelaskan peranan penting konsep dari dalam menentukan perilaku yaitu :

(9)

pada dasarnya individu berusaha mempertahankan keselarasan batinnya. Apabila timbul perasaan, pikiran atau persepsi yang tidak seimbang atau saling bertentangan, maka akan terjadi situasi psikologis yang menyenangkan. Untuk menghilangkan ketidakselarasan tersebut, individu akan mengubah perilakunya.

b. Seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi individu tersebut dalam menafsirkan pengalamannya. Sebuah kejadian akan ditafsirkan secara berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya, karena masing-masing individu mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda terhadap diri mereka.

c. Konsep diri menentukan pengharapan individu. Menurut beberapa ahli, pengharapan ini merupakan inti dari konsep diri. Konsep diri merupakan seperangkat harapan serta penilaian perilaku yang merujuk kepada harapan tersebut.

(10)

3. Komponen Konsep Diri

Konsep diri terdiri dari beberapa kompenen. Kompenen konsep diri adalah, bagian-bagian yang menyusun persepsi terhadap diri (konsep diri). komponen-komponen konsep diri adalah sebagai berikut:

a. Citra tubuh

Citra tubuh adalah sikap individu terhadap tubuhnya baik disadari atau tidak disadari meliputi persepsi masa lalu atau sekarang mengenai ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dan potensi tubuh. Citra tubuh sangat dinamis karena secara konstan berubah seiring dengan persepsi da pengalaman-pengalaman baru. Citra tubuh harus realistis karena semakin dapat menerima dan menyukai tubuhnya individu akan lebih bebas dan merasa aman dari kecemasan. (Suliswati, dkk, 2005).

Citra tubuh adalah persepsi seseorang tentang tubuh, baik secara internal maupun eksternal. Persepsi ini mencakup perasaan dan sikap yang ditujukan pada tubuh. Citra tubuh dipengaruhi oleh pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik serta persepsi dari pandangan orang lain (Perry & Potter, 2005). Konsep diri yang baik tentang citra tubuh adalah kemampuan seseorang menerima bentuk tubuh yang dimiliki dengan senang hati dan penuh rasa syukur serta selalu berusaha untuk merawat tubuh dengan baik.

(11)

penyakit), proses patologik penyakit dan dampaknya terhadap struktur maupun fungsinya, prosedur pengobatan seperti radiasi, kemoterapi dan transplantasi (Suliswati, dkk, 2005).

b. Ideal diri

Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya bertingkah laku berdasarkan standar pribadi. Standar dapat berhubungan dengan tipe orang yang diinginkan atau sejumlah inspirasi, tujuan, nilai yang diraih. Ideal diri akan mewujudkan cita- cita atau pengharapan diri berdasarkan norma-norma sosial di masyarakat tempat individu tersebut melahirkan penyesuaian diri. Seseorang yang memiliki konsep diri yang baik tentang ideal diri apabila dirinya mampu bertindak dan berperilaku sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya dan sesuai dengan apa yang diinginkannya.

Pembentukan ideal diri dimulai pada masa kanak-kanak dipengaruhi oleh orang yang penting pada dirinya yang memberikan harapan atau tuntutan tertentu. Seiring dengan berjalannya waktu individu menginternalisasikan harapan tersebut dan akan membentuk dasar dari ideal diri (Suliswati, dkk, 2005).

c. Harga diri

(12)

bila sering mengalami keberhasilan, sebaliknya individu akan merasa harga dirinya rendah bila sering mengalami kegagalan, tidak dicintai atau diterima lingkungan. Pada masa dewasa akhir timbul masalah harga diri karena adanya tantangan baru sehubungan dengan pensiun, ketidakmampuan fisik, brepisah dari anak, kehilangan pasangan dan sebagainya (Suliswati, dkk, 2005). Seseorang memiliki konsep diri yang baik berkaitan dengan harga diri apabila mampu menunjukkan keberadaannya dibutuhkan oleh banyak orang, dan menjadi bagian yang dihormati oleh lingkungan sekitar.

Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Manusia cenderung bersikap negatif, walaupun ia cinta dan mengenali kemampuan orang lain namun ia jarang mengekspresikannya. Harga diri akan rendah jika kehilangan kasih sayang dan penghargaan dari orang lain serta mengalami ketidakmampuan pada dirinya dan juga sebaliknya (Perry & Potter, 2005).

Faktor predisposisi gangguan harga diri meliputi penolakan dari orang lain, kurang penghargaan, pola asuh yang salah, terlalu dilarang, terlalu dikontrol, terlalu dituruti, terlalu dituntut dan tidak konsisten, persaingan antar saudara, kesalahan dan kegagalan yang berulang, dan tidak mampu mencapai standar yang ditentukan (Suliswati, dkk, 2005). d. Peran

(13)

kelompok sosialnya. Peran memberikan sarana untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan merupakan cara untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti (Suliswati, dkk, 2005). Individu dikatakan mempunyai konsep diri yang baik berkaitan dengan peran adalah adanya kemampuan untuk berperan aktif dalam lingkungan, sekaligus menunjukkan bahwa keberadaannya sangat diperlukan oleh lingkungan.

Faktor predisposisi gangguan peran meliputi tiga kategori transisi peran yaitu perkembangan. Setiap perkembangan dapat menimbulkan ancaman pada identitas. Setiap tahap perkembangan harus dilalui individu dengan menyelesaikan tugas perkembangan yang berbeda-beda. Hal ini dapat merupakan stressor bagi peran diri. Kedua adalah transisi situasi, yaitu transisi situasi terjadi sepanjang daur kehidupan bertambah / berkurang orang yang berarti melalui kematian / kelahiran. Misalnya status sendiri menjadi berdua / menjadi orang tua. Perubahan status menyebabkan perubahan peran yang dapat menimbulkan ketegangan peran. Ketiga adalah transisi sehat sakit, yaitu stressor pada tubuh dapat menyebabkan gangguan konsep diri, termasuk didalamnya gambaran diri, identitas diri, harga diri dan peran diri (Perry & Potter, 2005).

e. Identitas diri

(14)

merupakan sintesis dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh, tidak dipengaruhi oleh pencapaian tujuan, atribut atau jabatan serta peran. Seseorang yang memiliki perasaan identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, dan tidak ada duanya. Kemandirian timbul dari perasaan berharga, kemampuan dan penguasaan diri. Dalam identitas diri ada otonomi yaitu mengerti dan percaya diri, respek terhadap diri, mampu menguasai diri, mengatur diri dan menerima diri (Suliswati, dkk, 2005).

Pencapaian identitas diperlukan untuk hubungan yang intim karena identitas seseorang diekspresikan dalam berhubungan dengan orang lain. Seksualits adalah bagian dari identitas seseorang. Identitas seksual adalah gambaran seseorang tentang diri sebagai pria atau wanita dan makna dari citra tubuh (Perry & Potter, 2005).

(15)

D.Lingkungan

1. Pengertian

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di alam sekitar yang memiliki makna dan pengaruh terhadap suatu individu. Istilah lain yang erat kaitanya dengan lingkungan adalah ekologi atau sering disebut dengan lingkungan hidup. Ekologi terdiri dari bio-ekologi, geo-ekologi, dan kultur-ekologi. Bio ekologi mencakup unsur manusia, tubuh-tumbuhan dan binatang. Geo ekologi mencakup alam seperti bumi, air, matahari, dan sebagainya. Sedangkan kultur-ekologi mencakup budaya dan teknologi (Hamalik, 2003).

2. Macam-Macam Lingkungan

(16)

Klasifikasi dari lingkungan belajar atau lingkungan pendidikan terdiri dari :

1. Lingkungan sosial, yaitu lingkungan masyarakat, baik kelompok besar atau kelompok kecil.

2. Lingkungan personal, yaitu lingkungan yang meliputi individu-individu sebagai suatu pribadi yang berpengaruh terhadap individu lainya.

3. Lingkungan alam (fisik), yaitu lingkungan yang meliputi semua sumber daya alam yang dapat diberdayakan sebagai sumber belajar.

4. Lingkungan kultural, yaitu lingkungan yang mencakup hasil budaya dan teknologi yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar dan yang dapat menjadi faktor pendukung pengajaran. Dalam konteks ini termasuk sistem nilai, norma, dan adat kebiasaan (Hamalik, 2003).

(17)

menjadi baik. Sebaliknya lingkungan yang negatif akan memberikan pengaruh yang negatif pula terhadap perkembangan kepribadian anak.

3. Fungsi Lingkungan

Interaksi antar individu membentuk suatu kelompok dan semakin besar jumlah yang terlibat di dalamnya akan membentuk suatu lingkungan sosial. Pengertian lingkungan menurut Hamalik adalah sesuatu yang ada di alam sekitar yang memiliki makna dan/atau pengaruh tertentu kepada individu. Istilah lain yang era kaitannya dengan lingkungan adalah ekologi atau sering disebut lingkungan hidup. Lingkungan hidup meliputi manusia, tumbuh-tumbuhan, dan binatang (Hamalik, 2003).

Suatu lingkungan pendidikan/pengajaran memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut :

a. Fungsi psikologis. Stimulus bersumber/berasal dari lingkungan yang merupakan rangsangan terhadap individu sehingga terjadi respon, yang menunjukkan tingkah laku tertentu. Respon tadi pada gilirannya dapat menjadi stimulus baru yang menimbulkan respon baru, demikian seterusnya. Ini berarti, lingkungan mengandung maksud dan melaksanakan fungsi psikologis tertentu.

(18)

c. Fungsi instruksional. Program instruksional merupakan suatu lingkungan pengajaran/pembelajaran yang dirancang secara khusus. Guru yang mengajar, materi pelajaran, sarana dan prasarana pengajaran, media pengajaran, dan kondisi lingkungan kelas (fisik) merupakan lingkungan yang sengaja dikembangkan untuk mengembangkan tingkah laku (Hamalik, 2003).

E. Pergaulan Teman Sebaya

1. Pengertian

Sejak manusia dilahirkan, mereka tidak memiliki kemampuan untuk hidup sendiri. Setiap manusia selalu membutuhkan orang lain untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Naluri manusia untuk selalu hidup dengan orang lain menurut Soerjono Soekanto (2001 : 124) disebut dengan gregariousness dan karena itu manusia juga disebut dengan social animal, hewan yang mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama.

Teman sebaya (peer group) sebagai sebuah kelompok sosial didefinisikan oleh Mar’at (2005) sebagai semua orang yang memiliki kesamaan sosial atau yang memiliki kesamaan ciri-ciri, seperti kesamaan tingkat usia. Akan tetapi, belakangan definisi teman sebaya lebih ditekankan pada kesamaan tingkah laku atau psikologis.

Menurut Ahmadi (1999) sejumlah unsur pokok dalam pengertian teman sebaya sebagai berikut :

(19)

b. Anggota kelompok sebaya terdiri atas sejumlah individu yang mempunyai persamaan usia dan status atau posisi sosial.

c. Istilah kelompok sebaya dapat menunjuk kelompok anak-anak, kelompok remaja, atau kelompok orang dewasa.

2. Jenis Kelompok Sebaya

Menurut Robbins (dalam Ahmadi, 1999), ada empat jenis kelompok sebaya yang mempunyai peranan penting dalam proses sosialisasi, yaitu: kelompok permainan, gang, klub, dan klik.

Kelompok permainan (play group). "The play group is a grouping

which usually forms on the basis of neighborhood proximity". Kelompok

sebaya ini terbentuk secara spontan dan merupakan kegiatan khas anak anak-anak. Pola kegiatannya dari permainan paralel sampai kepada permainan khayal yang lebih teratur. Meskipun kegiatan anak-anak pada kelompok permainan itu bersifat khas anak-anak, namun di dalam tercezmin pula struktur dan proses masyarakat luas.

Gang dibedakan menjadi: (1) delinquent gang yaitu gang yang tujuannya melakukan kenakalan untuk mendapatkan keuntungan material; (2)

retreatist gang, yaitu gang yang anggota-anggotanya mempunyai

(20)

permulaan stud; tentang gang, orang mengasosiasikan pengertian dengan perbuatan yang negatif (jelek). Tetapi sejak diterbitkannya penelitian Frederic M. Thrasher "ganging" dipandang sebagai gejala perkembangan yang wajar menuju ke kedewasaan. Partisipasi anak dalam kegiatan gang dapat memberikan getaran pengalaman petualangan baru seperti : merokok, minum-minuman keras, berkelahi, menentang orang dewasa, dan lain-lain.

Klub adalah "a group specifically organized for the pursuit of a special

interest". Perbedaannya dengan gang, klub adalah kelompok sebaya yang

bersifat formal dalam arti mempunyai organisasi sosial yang teratur serta dalam bimbingan dan pengarahan orang dewasa. Termasuk kategori klub ini misalnya perkumpulan kepramukaan, perkumpulan olah raga dan kesenian remaja, organisasi kemahasiswaan, dan lain-lain. Klub ini merupakan kelompok sebaya yang dinilai positif oleh orang tua dan guru sebagai wahana proses sosialisasi anak dan remaja.

(21)

konflik dengan lingkungannya, sedangkan klik biasanya tidak menimbulkan konflik sosial.

3. Fungsi Teman Sebaya

Menurut Havighurst (dalam Ahmadi, 1999) teman sebaya (peer group) adalah sebagai suatu wadah untuk sosialisasi. Peer group ini mempunyai 3 fungsi, yaitu mengajarkan kebudayaan, mengajarkan mobilitas sosial dan membantu peranan sosial yang baru.

Dalam peer group itu diajarkan kebudayaan yang berada di tempat itu. Misalnya : Orang luar negeri masuk ke Indonesia, maka teman sebayanya di Indonesia mengajarkan kebudayaan Indonesia. Mobilitas sosial, yaitu perubahan status yang lain. Misalnya : ada midle-class, ada lower-class dan sebagainya. Dengan adanya lower-class pindah ke midle-class ini dinamakan mobilitas sosial. Dalam hal ini Neugarten mengadakan penyelidikan pada klas V dan VI, dan mendapatkan data bahwa apabila mereka ditanya tentang siapa teman mereka yang paling baik, kebanyakan mereka itu menunjukkan anak yang berasal di atas sosial mereka; baru kemudian anak dari klas mereka sendiri.

Peer group memberi peranan sosial yang baru. Peer group memberi

kesempatan anggotanya untuk mengisi peranan sosial yang baru. Misalnya : anak yang belajar, bagaimana mendapatkan pangkat, bagaimana menjadi pemimpin yang baik dan sebagainya.

(22)
(23)

F. Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber: Diadopsi dari Haditono (2001) Sunarto & Hartono (2000) dan Rathus & Nevid (1983), Perry & Potter (2005) dan Suliswati dkk (2005)

(24)

G.Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

H. Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu Hipotesis yang akan diuji yaitu:

H1 : Ada hubungan konsep diri dengan perilaku asertif siswa SMA Negeri 1 Salem Kabupaten Brebes

H2 : Ada hubungan lingkungan dengan perilaku asertif siswa SMA Negeri 1 Salem Kabupaten Brebes

H3 : Ada hubungan pergaulan teman sebaya dengan perilaku asertif siswa SMA Negeri 1 Salem Kabupaten Brebes

Konsep Diri

Perilaku Asertif Lingkungan

Pergaulan Teman Sebaya Variabel Bebas

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori
Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa efikasi diri adalah keyakinan individu pada kemampuan dirinya sendiri dalam menghadapi atau meyelesaikan suatu

lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru. 3) Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi. 4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri). diganti

sendiri. Seorang individu akan tergolong memiliki konsep diri yang positif apabila pandangan dirinya sebagai orang yang bahagia,optimis, mampu mengontrol diri memiiliki berbagai

memiliki kecerdasan emosional yang baik maka individu tersebut akan mampu mengenali dan menangani perasaan diri sendiri dan orang lain dengan baik, selain itu penyelesaian

Individu yang memiliki perasaan identits diri kuat akan memandang dirinya tidak sama dengan orang lain, unik, dan tidak ada keduanya.. Identitas jenis kelamin

Lebih lanjut Matthews (dalam Citra, 2007) menjelaskan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri yang baik akan merasa dirinya berharga bagi orang lain sehingga

Gangguan identitas diri atau individu yang memiliki identitas diri yang tidak jelas ditunjukkan dengan perilaku ketidakpastian memandang diri sendiri, penuh keraguan,

Individu yang tidak memiliki konsep diri stabil, maka kadang individu akan menyukai dirinya sendiri, individu akan sulit menunjukkan pada individu lain siapa diri