• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Antimikrobial Antimikrobial diartikan sebagai bahan yang mengganggu pertumbuhan - UJI ANTIFUNGAL EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP PERTUMBUHAN Aspergillus flavus DAN Candida albicans SECARA IN VITRO -

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Antimikrobial Antimikrobial diartikan sebagai bahan yang mengganggu pertumbuhan - UJI ANTIFUNGAL EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP PERTUMBUHAN Aspergillus flavus DAN Candida albicans SECARA IN VITRO -"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Antimikrobial

Antimikrobial diartikan sebagai bahan yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme organisme (Pelczar & Chan, 2005). Dalam penggunaannya secara umum antimikrobial digunakan dengan istilah antibakterial atau antifungal sesuai dengan jenis penanganan mikroorganismenya. Antimikroba dapat diperoleh dari senyawa metabolit sekunder beberapa organisme maupun dari senyawa sintetis (buatan). Istilah yang sering digunakan sehubungan dengan bahan antimikrobial dan penggunaannya, yaitu bakteriostatik, bakterisidal, dan antibiotik (Lay, 1992).

Menurut Pelczar & Chan (2005), banyak faktor yang mempengaruhi penghambatan atau pembasmian mikroorganisme oleh bahan atau proses antimikrobial antara lain :

1) konsentrasi zat antimikrobial, artinya apabila konsentrasi zat lebih besar (tentunya sampai suatu batas tertentu) maka kemungkinan dalam membunuh sasarannya berupa mikroorganisme akan lebih cepat mati; 2) jumlah mikroorganisme, artinya diperlukan waktu untuk membunuh

(2)

3) suhu, artinya zat kimia yang merusak mikroorganisme melalui reaksi-reaksi kimia dan laju reaksi-reaksi kimiawi dipercepat dengan meningkatkan suhu;

4) spesies mikroorganisme, artinya setiap spesies mikroorganisme menunjukan kerentanan yang berbeda-beda terhadap sarana fisik dari bahan kimia;

5) adanya bahan organik, artinya bahan organik asing dapat menurunkan keefektifan zat kimia antimikrobial dengan cara menginaktifkan bahan-bahan tersebut atau melindungi mikroorganisme dari antimikrobial tersebut;

6) kemasaman atau kebasaan (pH), artinya mikroorganisme yang hidup dengan pH asam dapat dibasmi pada suhu rendah dan dalam waktu singkat dibandingkan dengan mikroorganisme yang sama dalam lingkungan basa.

Antimikroba yang diperoleh dari metabolisme sekunder pada tumbuhan maupun sintetis telah banyak diproduksi secara masal dengan berbagai peranan dan penggunaan yang berbeda. Meskipun antimikroba memiliki peranan yang berbeda berdasarkan jenis penyakitnya, tetapi memiliki prinsip kerja yang sama. Menurut Lay (1992), prinsip daya kerja antimikroba meliputi beberapa hal, yaitu : 1) penghambat sintesis dinding sel, artinya perbedaan struktur sel antara

bakteri dan eukariot menguntungkan bagi penggunaan bahan antimikrobial;

(3)

3) penghambatan sistesis protein, artinya antibiotik menghambat sintesis protein dengan cara mengikat ribosom sehingga tidak dapat berfungsi; 4) penghambatan sintesis asam nukleat, artinya senyawa tersebut

mengganggu sintesis DNA atau RNA;

5) bahan antiviral, artinya bahan yang mengganggu pertumbuhan virus.

Secara umum, kemungkinan serangan suatu zat antimikrobial dapat diduga dengan meninjau struktur dan komposisi sel mikroba. Sel hidup yang normal memiliki sejumlah besar enzim yang melangsungkan proses-proses metabolik dan juga protein lainnya seperti asam nukleat dan senyawa-senyawa lainnya (Pelczar & Chan, 2005).

2.2. Belimbing Wuluh

2.2.1. Deskripsi Tanaman Belimbing Wuluh

(4)

(A) (B) (C) (D) Gambar 2.1 Bagian tumbuhan belimbing wuluh (A. billimbi), (A) pohon

belimbing wuluh, (B) daun belimbing wuluh, (C) buah belimbing wuluh, dan (D) bunga belimbing wuluh

2.2.2. Klasifikasi Tanaman Belimbing Wuluh

Berdasarkan Cronquist (1981), belimbing wuluh memiliki tingkatan taksonomi sebagai berikut :

Divisio : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Ordo : Oxalidales Familia : Oxalidaceaa Genus : Averrhoa

Species : Averrhoa bilimbi L.

2.2.3. Kandungan Senyawa Daun Belimbing Wuluh

(5)

tanin, flavonoid, saponin, dan alkaloid. Daun belimbing wuluh diketahui memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder antara lain alkaloid, saponin, tanin, flavonoid, dan steroid (Aziz et al., 2014). Aktivitas antifungi pada daun beliming wuluh (A. bilimbi L.) dapat dikaitkan dengan kehadiran bioaktif senyawa flavonoid jenis luteolin dan apigenin (Zakaria et al., 2007). Bahan aktif pada daun belimbing wuluh yang dapat dimanfaatkan sebagai obat adalah tanin (Hayati et al., 2010). Berbagai ekstrak dari buah dan daun belimbing wuluh memiliki kemampuan sebagai antifungi (Kumar et al., 2013).

a. Flavonoid

(6)

b. Tanin

Tanin terdiri dari dua jenis yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis (Hayati et al., 2010). Tanin terkondensasi hampir terdapat di tumbuhan paku-pakuan, gymnospermae, angiospermae yang tertuama pada jenis tumbuhan berkayu, sedangkan tanin yang terhidrolisis penyebaranya terbatas pada tumbuhan berkeping dua (Harborne, 1987). Tanin terhidrolisis sering kali berupa campuran beberapa asam fenolat yang teresterkan biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis, berwarna coklat kuning yang larut dalam air (terutama air panas) membentuk larutan koloid bukan larutan sebenarnya (Robinson, 1995). Tanin tersebar luas didalam tumbuhan dan fungsi utamanya adalah melindungi tumbuhan terhadap serangan fungi (Salisbury & Ross, 1995).

c. Saponin

Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan beberapa tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan sebagai sebagai antimikroba (Robinson, 1995). Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau waktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya saponin (Harborne, 1987 ).

d. Terpenoid

(7)

Ross, 1995). Terpenoid berasal dari molekul isoprena CH2 = C(CH3) – CH = CH2

dan kerangka karbonya dibangun oleh penyambung dua atau lebih satuan C5

(Harborne, 1987). Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa fungsi terpenoid rendah dalam tumbuhan lebih bersifat ekologi dari pada fisiologi, tetapi banyak jenis senyawa ini yang menghambat pertumbuhan pesaingnya dan dapat juga bekerja sebagai insektisida atau berdaya racun bagi hewan tingkat tinggi (Robinson, 1995). Terpenoid tersusun dari beberapa senyawa, mulai dari komponen minyak atsiri yaitu monoterpena dan siskui terpena yang mudah menguap (C10 dan C15), diterpena yang lebih sukar menguap (C20), sampai ke

senyawa yang tidak menguap yaitu triterpenoid dan sterol (C30), serta pigmen

karotenoid (C40) (Harborne, 1987).

e. Alkaloid

Alkaloid sejati berasal dari asam amino dasar dan mengandung nitrogen dalam

cincin heterosiklik, misalnya nikotin dan atropin (Bennet, 1994). Selain sebagai antimikroba juga dapat berperan dalam melindungi tumbuhan dari hewan herbivora (Salisbury & Ross, 1995). Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol, jadi digunakan dalam pengobatan (Harborne, 1987).

2.2.4. Manfaat Daun Belimbing Wuluh

(8)

olesan sakit gondongan dengan cara dicampur dengan bawang merah, sebagai salep obat rheumatik (encok), dan obat bisul (Heyne, 1987). Daun belimbing wuluh juga dimanfaatkan mengatasi penyakit seperti sariawan (Hayati et al., 2010)

2.3. Ekstraksi Daun Belimbing Wuluh

Ekstrak yaitu sediaan sari pekat tumbuh-tumbuhan atau hewan yang diperoleh dengan cara melepaskan zat aktif dari masing-masing bahan obat menggunakan pelarut yang cocok (Dewi et al., 2013). Ekstraksi yaitu pemisahan, penarikan, pengambilan senyawa yang akan diambil dari sampel tumbuhan. Metode ekstraksi dan ukuran partikel dalam proses ekstraksi akan mempengaruhi rendemen ekstrak yang dihasilkan, karena ukuran partikel sangat mempengaruhi internal diffusi dari pelarut kedalam padatan (Hernani, 2009). Salah satu metode ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi. Metode maserasi dilakukan dengan cara merendam sampel tanaman dengan menggunakan pelarut tertentu sesuai dengan senyawa yang ingin diambil seperti nonpolar, semi polar, atau polar. Pelarut polar yang biasa digunakan adalah etanol 70 %. Etanol disebut juga etil alkohol yang di pasaran lebih dikenal sebagai alkohol merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C2H5OH (Munawaroh & Handayani, 2010). Etanol

(9)

2.4. Kapang Aspergillus flavus

2.4.1. Deskripsi Kapang Aspergillus flavus

Kapang Aspergillus flavus memiliki sifat morfologi yang hampir sama dengan kapang pada genus Aspergillus lainya. Menurut Samson et al (1995), A. flavus koloni pada medium Czapek agar pada 25oC mencapai diameter 3-5cm dalam waktu 7 hari, konidiofor kuning-hijau (Gambar 2.2). Tipe kepala konidia memancar, kemudian membelah menjadi beberapa kolom longgar, berwarna kuning-hijau menjadi kuning gelap-hijau. Konidiofor hialin kasar, panjang sampai dengan 1,0 mm (beberapa isolat hingga 2,5 mm). Vesikel bulat sampai agak bulat, diameter 25-45 µm. Fialid menempel langsung pada vesikel atau metula. Sklerotia sering diproduksi pada isolat segar, sering kali berwarna coklat sampai hitam. Gambar mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 2.3.A. flavus memiliki kemampuan sebagai penghasil toksin pada jenis tanaman tertentu.

(10)

Gambar 2.3 Penampakan bentuk mikroskopis kapang A. flavus

A. flavus terkenal sebagai kapang yang menghasilkan metabolit sekunder berupa aflatoksin. Aflatoksin merupakan mikotoksin karsiogenik yang dihasilkan oleh Aspergillus dan mengontaminasi pada kacang-kacangan serta padi-padian. Aflatoksin sendiri terdiri atas lima kategori yaitu aflatoksin B1 (blue), B2, G1 (green), G2, dan M1 (milk) (Pratiwi, 2008). Jenis aflatoksin yang paling melimpah dan memiliki sifat yang sangat beracun adalah aflatoksin B1 (Moore-Landecker, 1996). Aflatoksin B1 dianggap paling berbahaya karena kemampuanya merusak jaringan, terutama hati dan kerusakan sel hati yang pada akhirnya menimbulkan kanker hati (Pratiwi, 2008). A. flavus memiliki senyawa yang terdapat dalam metabolisme penghasil racun yaitu asam kojic, asam 3-nitropropionic, asam cyclopiazonic, aflatoksin B1, dan asam aspergilik (Samson et

(11)

2.4.2. Klasifikasi Kapang Aspergillus flavus

Aspergillus flavus memiliki tingkat taxonomi (Alexopoulos, 1979), sebagai berikut :

Divisio : Mycota Subdivisio : Eumycotina Class : Ascomycetes Subclass : Euascomycetidae Ordo : Eurotiales

Familia : Eurotiaceae Genus : Aspergillus Species : Aspergillus flavus

2.5. Khamir Candida albicans

2.5.1. Deskripsi Khamir Candida albicans

(12)

koloni-koloni halus berwarna krem yang mempunyai bau seperti ragi. Gambar pengamatan mikroskopis dan makroskopis dapat dilihat pada Gambar 2.4.

(A) (B) (C)

Gambar 2.4 Pengamatan C. albicans, (A) pengamatan makroskopis, (B) bentuk sel C. albicans, (C) pengamatan pewarnaan Gram C. albicans berupa Gram positif

Khamir C. albicans adalah jenis khamir yang hidup disekitar mulut, sekitar usus dan vagina, penghuni yang sehat, hidup tidak membahayakan seperti sebuah saprotrof (Moore-Landecker, 1996). Sehingga dapat dikatakan C. albicans merupakan mikroorganisme alami atau flora normal dalam tubuh manusia (Pratiwi, 2008). Apabila pertumbuhannya berlebih akan menyebabkan Candidiasis (Rachma, 2012). Candidiasis yaitu penyakit pada membran mocus yang lembut, akan membentuk lesi putih abu-abu (Moore-Landecker, 1996). Penyakit lain pada manusia yang disebabkan oleh C.albicans seperti sariawan, lesi pada kulit, vulvavaginitis, candiduria dan gastrointestinal candidiasis (Kusumaningtyas, 2012).

(13)

(hifa), pembentukan biofilm, penghindaran dari sel-sel imunitas inang, dan perubahan fenotip menjadi bentuk filamen yang memungkinkan C. albicans untuk melakukan penetrasi ke epithelium serta berperanan dalam infeksi dan penyebaran C. albicans pada sel inang (Kusumaningtyas, 2012). Kemampuan penginfeksian C. albicans meliputi kemampuan perkembangbiakanya.

Kusumaningtyas (2012) mengatakan, C. albicans dapat tumbuh pada suhu 37oC dalam kondisi aerob atau anaerob. Pada kondisi anaerob, C. albicans mempunyai waktu generasi yang lebih panjang yaitu 248 menit dibandingkan dengan kondisi pertumbuhan aerob yang hanya 98 menit. Walaupun C. albicans tumbuh baik pada media padat tetapi kecepatan pertumbuhan lebih tinggi pada media cair dengan digoyang pada suhu 37oC. Pertumbuhan juga lebih cepat pada

kondisi asam dibandingkan dengan pH normal atau alkali.

2.5.2. Klasifikasi Khamir Candida albicans

Candida albicans memiliki tingkat taxonomi (Alexopoulos, 1979), sebagai berikut :

Divisio : Mycota Sub Divisio : Eumycotina Class : Deuterumycetes Ordo : Moniliales Familia : Cryptococcaceae Genus : Candida

Gambar

Gambar 2.1  Bagian tumbuhan belimbing wuluh (A. billimbi), (A) pohon
Gambar mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 2.3.A. flavus memiliki
Gambar 2.3  Penampakan bentuk mikroskopis kapang A. flavus
Gambar 2.4 Pengamatan C. albicans, (A) pengamatan makroskopis, (B)

Referensi

Dokumen terkait

Model dikembangkan untuk mengetahui pengaruh faktor kapasitas mesin dan perencanaan pada level operasi, mengetahui pengaruh biaya intracell dan intercell material

Kami adalah Peneliti berasal dari institusi jurusan program studi DIII Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong dengan ini meminta anda untuk

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bentuk-bentuk perubahan sosial yang terjadi sehingga mengakibatkan peran perempuan Toraja tergeser bahkan dihilangkan dari salah

Perubahan di berbagai bidang tersebut, sering disebut sebagai perubahan sosial dan perubahan budaya karena proses berlangsungnya dapat terjadi secara bersamaan..

Ditanggapi oleh, Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum dan Sumberdaya Fathiyah, bahwa gedung baru itu un- tuk ruang kelas karena masih banyak Fakultas yang membutuhkan kelas,

Tujuan Tugas Mahasiswa menyusun rekomendasi atas kasus-kasus pelanggaran UU Tenaga Kerja dari media massa berdasarkan teori MSDM selaras dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Mampu merancang atau memberi saran perbaikan untuk rancangan desain tempat dan suasana kerja yang optimal untuk kesehatan

Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Ombudsman Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah