BAB 4
RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR
4.1 RENCANA PENGEMBANGAN PERMUKIMAN
4.1.1 Petunjuk Umum
Pengembangan Permukiman adalah rangkaian kegiatan yang bersifat multisektor
meliputi kegiatan pengembangan permukiman baru dan peningkatan kualitas
permukiman lama baik di perkotaan (kecil, sedang, besar dan metropolitan), di
perdesaan (termasuk daerah-daerah tertinggal dan terpencil) maupun
kawasan-kawasan tertentu (perbatasan, pulau-pulau kecil/terluar)
Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di
Daerah (RP4D)
Sebagai skenario pelaksanaan koordinasi dan keterpaduan rencana sektor terkait
bidang perumahan dan permukiman (pertanahan, perumahan, pembiayaan,
prasarana/sarana, dll)
Sebagai payung atau acuan baku bagi seluruh pelaku dan penyelenggara perumahan dan permukiman (pemerintah, swasta, dan masyarakat)
Sebagai cerminan aspirasi / tuntutan masyarakat terhadap perumahan dan permukiman
Rincian Kegiatan Pembangunan
1. Pengembangan Kawasan Permukiman Baru
Rincian alokasi lahan (kasiba/lisiba, ijin lokasi developer, dll)
Rencana pengembangan jaringan prasarana dasar (mis. air minum, sanitasi, drainase, sampah) meliputi lokasi, konstruksi, fungsi dan kapasitas
Rencana investasi jaringan prasarana
Rencana fasilitas umum
2. Peningkatan Kualitas Permukiman (yang sudah ada)
Rincian lokasi, yg mencakup luas, penduduk, bentuk penanganan (mis. peremajaan, KIP, revitalisasi, dll)
Rincian Lisiba BS
Rencana peningkatan dan perluasan prasarana dan sarana (fungsi, kapasitas, dll)
4.1.2 Profil Pembangunan Permukiman
Kabupaten Pulang Pisau merupakan kabupaten pemekaran yang ada di Kalimantan
Tengah. Pengembangan permukiman sementara ini masih terkonsentrasi pada Kota
Pulang Pisau, karena secara kepadatan penduduk Kecamatan kahayan Tengah
sebanyak 74 orang/km yang notabene merupakan ibu kota Kabupaten Pulang Pisau,
diikuti dengan Kecamatan Maliku yaitu sebesar 56 orang/km, kemudian Kecamatan
Pandih Batu sebesar 37 orang/km . Perkampungan dengan pola hubungan sosial
paguyuban yang khas menjadi penyedia rumah bagi masyarakat yang
menggantungkan hidupnya di kawasan komersial Kabupaten Pulang Pisau. Ada 3
kelompok kawasan permukiman di lingkungan khas budaya Kabupaten Pulang Pisau
seperti lingkungan permukiman di kawasan cagar budaya, permukiman dii bantaran
sungai serta permukiman di kawasan kampung kota.
4.1.2.1. Kondisi dan Analisa Kebutuhan Sektor Cipta Karya di kab. Pulang
Pisau
Pemerintah kabupaten Pulang Pisau Provinsi kalimantan Tengah
memprioritaskan penanganan prasarana permukiman tahun 2012, sebagai
hinterland bagi Palangka Raya yang diwacanakan menjadi ibukota pemerintah
Republik Indonesai. Saat ini pembenahan tata kota baik drainase, taman maupun
sarana dan prasarana kebersihan dan pengelolaan sampah. Pemerintah
Kabupaten Pulang Pisau sudah menangani beberapa drainase Jl. Darung bawan
menuju pusat kota Pulang Pisau dari ruas jalan Trans Kalimantan poros selatan.
Tujuan pembuatan drainase ini bagi keindahan kota dan pencegahan terjadinya
banjir serta sebagai sarana untuk pengelolaan air buangan dari wilayah
permukiman dan pintu air keluar untuk air hujan maupun air pasang.
Pembangunan drainase yang dilaksanakan secara bertahap pada salah satu jalan
utama tersebut memang sangat mendesak, seiring dengan perkembangan
pembangunan permukiman penduduk di ruas jalan tersebut.
4.1.2.1.1. Bangkim
Kabupaten Pulang Pisau saat ini masalah perumahan belum begitu menjadi
masalah yang berarti karena menurut data BPS dengan luas wilayah seluas
8.997 km2, kepadatan penduduk 122.073 jiwa didapat kepadatan penduduk
sebesar 14 jiwa/km2.
Kabupaten Pulang Pisau. Karena itu pemerintah daerah harus didorong untuk
menjadi motor dalam mengkondisikan penduduk agar dapat memahami
pentingnya menjaga lingkungan permukiman mereka secara swadaya.
Sebelum Kabupaten Pulang Pisau berkembang secara pesat, perlu penataan
yang lebih terarah, agar kedepan nantinya tidak ada masalah yang berarti.
Koordinasi dengan pemerintah pusat juga sangat penting untuk mempercepat
pembangunan di Kabupaten Pulang Pisau, mengingat dana APBN yang turun
ke Kabupaten Pulang Pisau sangat minimal, ini dikarenakan oleh transisi
pemekaran dari Kabupaten Kapuas ke Kabupaten Pulang Pisau.
Pemerintah daerah juga harus mampu mendorong inovasi teknologi yang
dapat diadaptasikan kepada lingkungan perumahan dan permukiman serta
melakukan penyebarannya. Hal ini diharapkan akan mampu meningkatkan
kualitas lingkungan perumahan dan permukiman.
Melihat adanya keterbatasan keuangan daerah, maka pemerintah daerah
juga diharapkan mampu mendorong minat investor untuk membangun
kawasan perumahan dan permukiman sederhana yang sehat beserta fasilitas
pendukungnya bagi masyarakat luas. Arah pembangunan infrastruktur
sebagai daya dukung pembangunan wilayah perumahan dan permukiman
harus lebih diarahkan ke wilayah barat dan selatan. Hal ini mengingat wilayah
perumahan dan permukiman tumbuh jauh lebih pesat di wilayah selatan dan
timur.
Kemenpera menargetkan program perbaikan rumah layak huni (RLTH) tuntas
dikerjakan di 60 kab/Kota dari 33 Provinsi di Indonesia pada tahun 2013
termasuk kabupaten Pulang Pisau. Sebanyak 60 Kab/Kota termasuk
Kabupaten Pulang Pisau ini diupayakan program RTLH ini tertangani pada
tahun 2013. Hal ini juga telah dituangkan dalam pelaksanaan
penandatanganan surat pada medio Agustus 2012. Masing-masing Provinsi
mendapatkan dua daerah sasaran penuntasan RTLH yang diharapkan sukses
tertangani pada tahun ini.
Program APBN yang masuk ke Kab. Pulang Pisau pada tahun 2013 yaitu,
Peningkatan jalan akses Ds. Sungai pudak Kec. Kahayan Kuala kab. Pulang
Pisau. Sedangkan kegiatan APBD II di Kab. Pulang Pisau berkonsentrasi
pada Program Infrastruktur Perdesaan yang pada tahun 2013 menangani 30
desa. Untuk kegiatan program tahun 2014 yang akan datang,
Untuk usulan program APBN terdapat usulan SPPIP, RPKPP, PPIP
desa, Kahayan Tengah, 5 desa, Jabiren Raya 2 desa, Kahayan hilir 6 desa,
Maliku 6 desa, Pandih Batu 6 desa Kahayan Kuala 3 desa dan Sebangau
Kuala 6 desa. Pembangunan PSD kawasan Tradisional juga menjadi priorias
pembangunan di Kab. Pulang Pisau terbagi d beberapa kawasan yaitu,
kawasan Bereng Kalingu, kawasan Betang Butoi dan kawasan Ds. Sigi.
4.1.2.1.2. Penataan Bangunan dan Lingkungan
Penataan bangunan dan lingkungan adalah serangkaian kegiatan yang
diperlukan sebagai bagian dari upaya pengendalian pemanfaatan ruang,
terutama untuk mewujudkan lingkungan binaan, baik di perkotaan maupun di
perdesaan, khususnya wujud fisik bangunan gedung dan lingkungannya. Visi
penataan bangunan dan lingkungan adalah terwujudnya bangunan gedung
dan lingkungan yang layak huni dan berjati diri, sedangkan misinya adalah:
(1) Memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung
yang tertib, layak huni, berjati diri, serasi dan selaras, dan (2)
Memberdayakan masyarakat agar mandiri dalam penataan lingkungan yang
produktif dan berkelanjutan.
Dalam penataan bangunan dan lingkungan terdapat beberapa permasalahan
dan tantangan yang antara lain :
1. Permasalahan dan tantangan di bidang Bangunan Gedung
• Kurang ditegakkannya aturan keselamatan, keamanan dan kenyamanan Bangunan Gedung termasuk pada daerah-daerah rawan
bencana.
• Prasarana dan sarana hidran kebakaran banyak yang tidak berfungsi dan kurang mendapat perhatian.
• Lemahnya pengaturan penyelenggaraan Bangunan Gedung di daerah serta rendahnya kualitas pelayanan publik dan perijinan.
2. Permasalahan dan tantangan di bidang Penataan Lingkungan
• Kurang diperhatikannya permukiman-permukiman tradisional dan bangunan gedung bersejarah, padahal punya potensi wisata.
• Terjadinya degradasi kawasan strategis, padahal punya potensi ekonomi untuk mendorong pertumbuhan kota.
• Sarana lingkungan hijau/open space atau public space, sarana olah raga, dan lain-lain kurang diperhatikan hampir di semua kota, terutama
kota Metro dan Besar.
• Amanat Undang-Undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 2005 tentang
Peraturan Pelaksanaan UUBG, bahwa semua Bangunan Gedung
harus layak fungsi pada tahun 2010.
• Komitmen terhadap kesepakatan intemasional MDGs, bahwa pada tahun 2015, 200 Kabupaten/Kota bebas kumuh, dan pada tahun 2020
semua Kabupaten/Kota bebas kumuh
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penataan bangunan dan
lingkungan antara lain:
1. Peran dan fungsi Kabupaten/Kota,
2. Rencana pembangunan Kabupaten/Kota (lihat Buku Panduan 2:
Rencana Pembangunan Kabupaten/Kota,
3. Memperhatikan kondisi alamiah dan tipologi Kabupaten/Kota
bersangkutan, seperti struktur dan morfologi tanah, topografi, dan
sebagainya,
4. Pembangunan dilakukan dengan pendekatan pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan,
5. Dalam penyusunan RPUM harus memperhatikan Rencana Induk
(Masterplan) Pengembangan Kota,
6. Logical framework (kerangka logis) penilaian kelayakan pengembangan,
7. Keterpaduan penataan bangunan dan lingkungan sektor lain
dilaksanakan pada setiap tahapan penyelenggaraan pengembangan,
sekurang-kurangnya dilaksanakan pada tahap perencanaan, baik dalam
penyusunan rencana induk maupun dalam perencanaan teknik,
8. Memperhatikan peraturan dan perundangan serta petunjuk/pedoman
yang tersedia,
9. Tingkat kelayakan pelayanan, efektivitas dan efisiensi penataan
bangunan dan lingkungan pada kota bersangkutan,
10. Sebagai suatu PS yang tidak saja penting bagi peningkatan lingkungan
masyarakat tetapi juga sangat penting bagi keberlanjutan lingkungan,
11. Sumber pendanaan dari berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat
maupun swasta,
12. Kelembagaan yang mengelola penataan bangunan dan lingkungan,
13. Penataan bangunan dan lingkungan memperhatikan kelayakan terutama
14. Jika ada indikasi keterlibatan swasta dalam penataan bangunan dan
lingkungan, perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut,
15. Safeguard sosial dan lingkungan,
16. Perhitungan dan hal penunjang lainnya yang dibutuhkan untuk
mendukung analisis disertakan dalam bentuk lampiran.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, serta
pedoman pelaksanaan lebih detail dibawahnya mengamanatkan bahwa
penyelenggaraan Bangunan Gedung merupakan kewenangan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dan hanya bangunan gedung negara dan rumah
negara yang merupakan kewenangan pusat.
Namun dalam pelaksanaannya di lapangan terlihat bahwa masih banyak
daerah yang belum menindaklanjutinya sebagaimana mestinya, sebagaimana
terlihat dari:
1. Masih banyaknya Kabupaten/Kota yang belum menyesuaikan Perda
Bangunan Gedung yang dimilikinya agar sesuai dengan UUBG, atau
terutama Kabupaten/Kota hasil pemekaran masih belum memiliki Perda
Bangunan Gedung;
2. Masih banyak Kabupaten/Kota; terutama Kabupaten/Kota hasil
pemekaran yang belum memiliki atau melembagakan
institusi/kelembagaan dan Tim Ahli Bangunan Gedung yang bertugas
dalam pembinaan penataan bangunan dan lingkungan;
3. Masih banyak Kabupaten/Kota yang belum memulai pelaksanaan
pendataan bangunan gedung;
4. Masih banyak Kabupaten/Kota yang belum menerbitkan Sertifikat Layak
Fungsi (SLF) bagi seluruh bangunan gedung;
5. Masih banyak Kabupaten/Kota yang belum menyusun manajemen
pencegahan kebakaran Kabupaten/Kota atau belum melakukan
pemeriksaan berkala terhadap prasarana dan sarana penanggulangan
bahaya kebakaran agar selaku siap pakai setiap saat;
6. Masih banyak bangunan gedung yang belum dilengkapi sarana dan
prasarana bagi penyandang cacat;
7. Masih banyak Kabupaten/Kota pengembangannya belum berdasarkan
8. Masih banyak Kabupaten/Kota yang mempunyai kawasan yang
terdegradasi dan belum ditata ulang;
9. Masih banyak daerah yang belum memiliki rencana penanganan kawasan
kumuh, kawasan nelayan, kawasan tradisional, dan kawasan bersejarah
yang secara kewenangan sudah menjadi tugas dan tanggung jawab
Kabupaten/Kota;
10. Masih banyak Kabupaten/Kota belum melaksanakan pembangunan
lingkungan permukiman berbasis konsep tridaya untuk mendorong
kemandirian masyarakat dalam mengembangkan lingkungan permukiman
yang berkelanjutan.
Untuk itu, Kementerian Pekerjaan Urnum sebagai lembaga pembina teknis
Penataan Bangunan dan Lingkungan mempunyai kewajiban untuk
meningkatkan kemampuan Kabupaten/Kota agar mampu melaksanakan
amanat UU No 28/2002 tentang Bangunan Gedung. Untuk tahun anggaran
2013-2018, sebagai kelanjutan dari kegiatan tahun-tahun sebelumnya, perlu
melanjutkan dan memperbaiki serta mempertajam kegiatannya agar lebih
cepat memampukan Kabupaten/Kota.
Disamping hal tersebut, Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Permukiman menggariskan bahwa peningkatan kualitas
lingkungan permukiman dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan
bertahap, mengacu kepada Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL)
sebagai penjabaran rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang harus disusun
oleh pemerintah daerah secara komprehensive, akomodatif dan responsif.
Selaras dengan upaya pencapaian target Millenium (MDGs), yakni:
mengurangi sampai setengahnya, sampai dengan tahun 2015, proporsi
penduduk miskin tahun 1990 (target 1); dan mengurangi sampai setengahnya,
sampai dengan tahun 2015, proporsi penduduk tanpa akses terhadap air
minum dan sanitasi yang aman dan berkelanjutan, maka peningkatan kualitas
lingkungan permukiman perlu dilakukan lebih intensive dengan melibatkan
masyarakat setempat, kelompok peduli dan dunia usaha secara aktif.
Penyelenggaraan pengembangan lingkungan permukiman perlu dilakukan
secara komprehensive dengan berbasis konsep tridaya melalui proses
pemberdayaan masyarakat sesuai siklus P2KP.
Pemerintah kabupaten Pulang Pisau juga akan menata taman
disamping rumah jabatan Bupati Pulang Pisau guna memperindah kota.
di lokasi yang sama yaitu GOR Pulang Pisau. Kawasan-kawasan bersejarah
juga menjadi perhatian Pemerintah Kab. Pulang Pisau, yaitu Kawasan Bereng
Kalingu, Kawasan Betang Buntoi Kec. Kahayan Hilir dan Kawasan desa Sigi
Kec. Kahayan Tengah.
4.1.2.1.3. Air Minum
Bila 1 meter persegi gambut mengandung 1 meter kubik air (1.000
liter), setara dengan menyediakan air untuk 10 jiwa penduduk. Bila 1 juta ha,
gambut bisa menyimpan air sebesar 1 trilyun liter dan ini setara dengan
kebutuhan air untuk 10.000.000 jiwa, dimana kebutuhan normal setiap 1
orang/jiwa penduduk sebesar 100 liter/hari untuk mandi, cuci, kakus dan
masak – minum.
Kita sudah bisa membayangkan, bila gambut ini rusak dan di ekspansi oleh
perkebunan kelapa sawit secara besar di Kalimantan tengah, khususnya di
eks PLG 1 juta hektar, maka, ketersediaan air bahan baku sumber air bersih
penduduk di wilayah tersebut misalnya Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas,
Barito Selatan dan Kotamadya Palangkaraya, maka krisis air masa depan
sudah bisa dipastikan terjadi. Ada sekitar lebih 82.000 jiwa penduduk lokal
dan 45.000 jiwa transmigrasi yang bermukim di eks Pengembangan Lahan
Gambut (PLG) 1 juta hektar bergantung dari sumberdaya rawa gambut.
Setidaknya ada sekitar lebih 500.000 jiwa penduduk terancam krisis air.
Hutan rawa gambut adalah jenis hutan yang tumbuh pada suatu lapisan tebal
yang terbuat dari bahan organik. Lapisan bahan organik ini terdiri dari
tumpukan bahan tumbuhan yang telah mati seperti dedaunan, akar-akar,
ranting, bahkan batang pohon lengkap, yang telah terakumulasi selama
ribuan tahun. Gambut tersebut membentuk media tumbuh yang semakin
terangkat setiap pergantian generasi tumbuhan, dan hal tersebut
menghasilkan lapisan tebal yang dapat mencapai ketebalan hingga lebih dari
20 meter. Lapisan tersebut hanya terbentuk dalam kondisi tertentu, karena
bahan tumbuhan yang mati dalam keadaan normal dengan cepat mengalami
penguraian oleh jamur, bakteri dan organisme lainnya.
Namun dikarenakan sifat lahan gambut yang sangat “anaerobic” dan memiliki keasaman tinggi, serta kurangnya unsur hara, maka proses biodegradasi
berkurang secara signifikan. Kondisi lingkungan seperti itu terlalu ekstrim bagi
proses penguraian untuk dapat terjadi, sehingga terjadilah penumpukan
gambut menjadi media penyimpanan sumber air dan karbon dalam jumlah
yang amat besar.
Selain kaya akan keanekaragaman hayati, setengah dari seluruh kawasan
hutan rawa gambut adalah merupakan sungai-sungai, danau-danau dan
vegetasi hutan rawa yang endemik. Hutan rawa gambut ada dangkal dan
dalam serta mempunyai keunikan dengan airnya yang berwarna hitam
bahkan sering dikenal dengan nama ekosistem air hitam. Kabarnya, menurut
Informasi Departemen Kehutanan tahun 1997, lahan gambut Indonesia
merupakan gambut tropis terluas didunia, sekitar 38 juta hektar. Kekayaan ini
sekaligus jadi petaka, sejak peperintah orde baru mengembangkan proyek
PLG Sejuta hektar di Kalimantan Tengah, untuk di cetak menjadi kawasan
persawahan.
Sampai saat ini, belum ada yang memiliki data pasti, berapa luas kawasan
rawa-gambut di beberapa kawasan bioregion (kepulauan) di Indonesia. Tetapi
ditingkat lapangan, peristiwa kebakaran gambut itu terjadi sepanjang tahun
terus meluas. Hingga saat ini terbukti luasan kawasan rawa-gambut di
Sumatera, Kalimantan dan Papua – menyusut drastis.
Menurut hasil penelitian Cintrop Universitas Palangkaraya, tanah gambut
dalam kondisi yang tak terganggu itu mengandung 80 – 90 persen
mengandung air. Karena kemampuannya untuk menyimpan air dalam jumlah
besar itu, hutan rawa gambut berperan penting dalam mengurangi banjir dan
menjamin pasokan air yang berkelanjutan. Tahun 2008 Provinsi Kalimantan
Tengah yang berpenduduk sekitar 2.000.400 jiwa. Masyarakat mendapatkan
air bersih dengan cara mengambil air di sungai, di danau dan membuat
sumur-sumur gali sederhana di sekitar rumah, kebun dan tepian-tepian sungai.
PDAM Pulang Pisau sampai saat ini masih dibawah kendali PDAM induk di
Kuala Kapuas, sehingga perusahaan belum bisa mengatur/mengendalikan
kebutuhan air di Kabupaten Pulang Pisau. Indikasi dari masih minimnya
kinerja PDAM adalah kualitas air yang keruh karena kapasitas peralatan yang
tidak memadai, ini dikarenakan satu dari dua unit pengelolaan air di PDAM
belum pernag diperbaiki sejak 1982, maka dari itu PDAM hanya mampu
menghasilkan air sebanyak 5 l/dt dari kapasitas seharusnya 15 l/dt. Banyak
pelanggan mengeluhkan fasilitas PDAM yang tidak mampu memenuhi
keinginan semua pihak. Berdasarkan UU No 5/2002 tentang pemekaran
delapan kabupaten di Kalimantan Tengah, semua aset kabupaten induk yang
Pisau saat ini sedang membentuk tim yang terdiri dari unsur pemerintah
kabupaten, legislatif dan tokoh masyarakat untuk mengupayakan pengalihan
aset PDAM ke Kabupaten Pulang Pisau. Untuk APBD kab. Pulang Pisau,
belum mengalokasikan dana untuk penanganan fisik air bersihnya, tahun ini
baru dikerjakan Rencana Induk Sistem Air Minum (RISPAM) untuk
penanganan sistem air bersih di kab. Pulang Pisau selama lebih kurang 20
tahun kedepan. Tahun 2013 turun DAK (Dana Alokasi Khusus) dengan
program kegiatan Pembangunan Sarana dan Prasarana air bersih perdesaan
Kec. Maliku dan Pembangunan kolam penampungan air hujan (PAH) dan
pemasangan geomembran serta fasilitas pendukung lainnya di desa Sidodadi.
4.1.2.1.4. Sanitasi
Program APBD Kab. Pulang Pisau belum menganggarkan program sanitasi
ini. Kegiatan diperoleh dari DAK (Dana Alokasi Khusus) yaitu Pembangunan
Septicktank Komunal di Kec. Kahayan Hilir atau di ibu kota kabupaten Pulang
Pisau.
Sub Bidang Air Limbah pada Bidang Cipta Karya Departemen Pekerjaan
Umum memiliki program dan kegiatan yang bertujuan untuk mencapai kondidi
masyarakat hidup sehat dan sejahtera dalam lingkungan yang bebas dari
pencemaran air limbah permukiman. Air limbah yang dimaksud adalah air
limbah permukiamn (municipal wastetare) yang terdiri dari limbah domestik
(rumah tangga) yang berasal dari sisa mandi, cuci dapur, dan tinja manusia
dari lingkungan permukiman serta air limbah dari industri rumah tangga yang
tidak mengandung Bahan Beracun dan Berbahaya (B3). Air limbah
permukiman ini perlu dikelola agar tidak menimbulkan dampak seperti
mencemari air permukaan dan air tanah, disamping sangat beresiko
menimbulkan penyakit seperti diare, thypus, kolera dan lain-lain.
4.1.2.1.5. Aspek Pendanaan
Pendanaan pembangunan PSD permukiman sebagian besar masih menjadi
tanggungan pemerintah pusat dan daerah baik provinsi maupun kota. Pada
wilayah perumahan yang dibangun pengembang swasta ditanggung oleh
masyarakat. Daya beli masyarakat rendah untuk diperlukan penyediaan
4.1.2.1.6. Aspek Kelembagaan
Kelembagaan pembangunan PSD Permukiman saat ini adalah:
1. SNVT Pengembangan Permukiman Ditjen. Cipta Karya Kementerian
Pekerjaan Umum mengelola pengembangan permukiman yang dibiayai
APBN
2. Bidang Cipta Karya Dinas dan Kementerian Perumahan Rakyat
Kalimantan Tengah mengelola pengembangan permukiman yang dibiayai
APBD Provinsi.
3. Bidang Permukiman Dinas Kimpraswil Kabupaten Pulang Pisau
mengelola pengembangan permukiman yang dibiayai APBD Kota.
4.1.2.2. Sasaran
Sasaran menjelaskan target yang harus dicapai dalam pembangunan PSD
Permukiman terdiri dari target nasional dan target daerah. Selanjutnya bagian ini
menguraikan besaran masalah yang harus diselesaikan melalui PSD Permukiman,
dengan membandingkan antara kondisi yang ada dengan sasaran pembangunan
PSD Permukiman baik dari segi teknis, kelembagaan dan keuangan.
Keterbatasan kemampuan pemerintah daerah merupakan hambatan utama bagi
penyediaan kawasan pemukiman penduduk yang layak di Kota Kabupaten Pulang
Pisau. Karena itu pemerintah daerah harus didorong untuk menjadi motor dalam
mengkondisikan penduduk agar dapat memahami pentingnya menjaga lingkungan
permukiman mereka secara swadaya.
Sebelum Kabupaten Pulang Pisau berkembang secara pesat, perlu penataan
yang lebih terarah, agar kedepan nantinya tidak ada masalah yang berarti.
Koordinasi dengan pemerintah pusat juga sangat penting untuk mempercepat
pembangunan di Kabupaten Pulang Pisau, mengingat dana APBN yang turun ke
kab. Pulang Pisau sangat minimal, ini dikarenakan oleh transisi pemekaran dari
Kabupaten Kapuas ke Kab. Pulang Pisau.
Pemerintah daerah juga harus mampu mendorong inovasi teknologi yang dapat
diadaptasikan kepada lingkungan perumahan dan permukiman serta melakukan
penyebarannya. Hal ini diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas
lingkungan perumahan dan permukiman.
Melihat adanya keterbatasan keuangan daerah, maka pemerintah daerah juga
diharapkan mampu mendorong minat investor untuk membangun kawasan
pendukungnya bagi masyarakat luas. Arah pembangunan infrastruktur sebagai
daya dukung pembangunan wilayah perumahan dan permukiman harus lebih
diarahkan ke wilayah barat dan selatan. Hal ini mengingat wilayah perumahan dan
permukiman tumbuh jauh lebih pesat di wilayah selatan dan timur.
Dari sisi usia atau umur bangunan dapat diklasifikasikan menjadi bangunan
berumur muda,sedang dan tua. Bangunan berumur muda relatif banyak terdapat
pada bangunan perdagangan dan jasa serta pemukiman. Sedangkan bangunan
berumur sedang dan tua banyak terdapat pada bangunan perkantoran,
pendidikan dan pemukiman. Selain itu bangunan berumur tua juga banyak
terdapat pada kawasan-kawasan wisata tradisional. Namun dikarenakan bencana
gempa bumi yang melanda Kabupaten Pulang Pisau beberapa waktu yang lalu,
bangunan yang berumur sedang dan tua banyak hancur dan tergantikan dengan
bangunan baru dengan fungsi bangunan tetap.
Bangunan-bangunan yang berfungsi sebagai fasilitas umum adalah sebagian dari
bangunan yang memiliki fungsi jasa, misalnya rumah sakit, kantor pos, kantor
dinas pemadam kebakaran dan lain-lain. Secara umum di Kabupaten Pulang
Pisau bangunan-bangunan fasilitas umum ini seharusnya dijadikan fasilitas
pendukung dari fungsi-fungsi bangunan lainnya sehingga lokasi dan
keberadaannya tidak berjauhan dari bangunan lainnya terurama kawasan
pemukiman. Namun hal ini sering tidak bisa tertata secara baik karena
perkembangan pembangunan kota yang kurang terkendali dan cenderung tidak
terencana. Dari sisi historis banyak bangunan – bangunan dan kawasan di
Kabupaten Pulang Pisau yang memiliki nilai historis tinggi karena merupakan
bangunan dan kawasan peninggalan sejarah baik itu kerajaan maupun perjuangan
kemerdekaan.
4.2 RENCANA INVESTASI PENATAAN BANGUNAN LINGKUNGAN
4.2.1 Sasaran Penataan Bangunan Gedung dan Lingkungan
Sasaran dalam penataan bangunan gedung dan lingkungan adalah penegakan
aturan tata bangunan gedung dan lingkungan yaitu dengan menyusun peraturan
dan legeslasi.. Dari sasaran ini maka dibutuhkan kemantapan kelembagaan
penataan bangunan gedung dan lingkungan serta peningkatan sarana parasarana
pemeliharaan bangunan dan lingkungan. Sasaran selanjutnya adalah
4.2.2 Rumusan Masalah
Dari kondisi yang ada dan sasaran yang akan dicapai pada penataan bangunan
gedung dan lingkungan di Kabupaten/Kota di Wilayah Kota Kabupaten Pulang
Pisau, maka dapat diidentifikasi masalah yang terjadi sebagai berikut:
a. Belum tertatanya Bangunan dan Lingkungan
b. Belum adanya penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran
c. Tidak adanya program penataan dan pelestarian bangunan tradisonal/
bersejarah
d. Belum tersedianya ruang terbuka hijau
e. Tidak ada penataan dan pembangunan sarana prasarana permukiman kumuh
f. Belum tertibnya sarana reklame, belum terkelolanya sarana parkir dan Belum
tertanya perijinan Bangunan Telepon Selular (BTS)
g. Belum adanya penataan yang tepadu terhadap Usaha Pedagang Kaki Lima
Berdasarkan hasil analisis terhadap data yang ada maka dari sektor tata ruang,
bangunan dan lingkungan tersebut maka permasalahan yang dihadapi dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Permasalahan dan Tantangan di Bidang Bangunan Gedung
Pada Bidang Bangunan Gedung dihadapi permasalahan sebagai berikut :
1) Saat ini belum ada penataan terhadap bangunan gedung. Ini berdampak pada
tidak tertibnya dan ketidak sesuaian antara fungsi bangunan dan fungsi lahan.
2) Saat ini belum ada penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga yang
berwenag terhadap penataan bangunan gedung. Ini meyebabkan tidak ada
sanksi yang tegas terhadap pelanggaran ketentuan bangunan gedung
misalnya pembanguan gedung yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan.
3) Letak bangunan yang semakin padat dan bentuk bangunan yang semakin
bervariatif seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kawasan
aglomerasi perkotaan Kabupaten Pulang Pisau sering menyulitkan
penanggulangan terhadap bencana kebakaran di kabupaten/kota.
.
2. Permasalahan dan Tantangan di Bidang Penataan Lingkungan
Pada bidang penataan lingkungan, dihadapi permasalahan sebagai berikut :
1) Saat ini terdapat banyak bangunan tradisional bersejarah yang tidak
terpelihara, rusak bahkan hilang karena pembangunan fasilitas perkotaan
yang tidak terencana, tertata dan terkendali. Sarana lingkungan hijau berupa
belum dilakukan penataan dan pemeliharaan terhadap ruang terbuka hijau dan
taman jalan ini. Selain itu pula banyaknya alih fungsi ruang terbuka hijau akibat
pembangunan gedung yang tidak terencana semakin menurunkan kuantitas
dan kualitas sarana lingkungan tersebut.
2) Banyaknya permukiman penduduk yang tergolong kumuh dapat menyebabkan
penurunan citra kawasan daerah sebagai kawasan wisata dan budaya.
Permukiman kumuh tersebut memiliki keterbatasan sarana parasarana untuk
berkembang menjadi permukiman sehat.
4.3 RENCANA INVESTASI SUB-BIDANG AIR LIMBAH
4.3.1 Sasaran Pengelolaan Prasarana Dan Sarana (Ps) Air Limbah
Sesuai dengan RPJMD Kota Kabupaten Pulang Pisau, maka investasi dibidang air
limbah diutamakan untuk tujuan Pengembangan Kinerja Pengelolaan Air Limbah dengan sasaran program : Meningkatnya cakupan layanan air limbah sebesar
33%.
4.3.2 Rumusan Masalah
Bagian ini menguraikan besaran persoalan yang dihadapi atau tantangan yang harus diselesaikan melalui pembangunan sistem prasarana dan sarana air limbah,
dengan membandingkan antar kondisi yang ada dan sasaran penyediaan PS air
limbah, baik dari aspek teknis, kelembagaan, regulasi maupun keuangan. Rumusan masalah dapat terangkum sebagai berikut ini:
Septic Tank tidak memenuhi syarat
Ketidakteraturan penyedotan tinja
Instalasi pengelolaan lumur tinja (IPLT) belum tersedia
Kesadaran masyarakat rendah
Saluran limbah terbatas
4.3.3 Analisis Permasalahan dan Rekomendasi
4.3.3.1. Analisis Permasalahan
Analisis diperlukan untuk mencari akar permasalahan berdasarkan kondisi yang
ada saat ini dari berbagai aspek teknis maupun non teknis, serta berbagai kendala
yang dihadapi dalam rangka mencapai sasaran yang diinginkan.
Masalah air limbah yang dihadapi dapat dianalisis dari lima aspek berikut ini.
A. ASPEK TEKNIS, meningkatkan cakupan pelayanan pengelolaan air limbah
baik on-site maupun off-site, didaerah perkotaan dan pedesaan, serta
peningkatan kualitas pengelolaan sesuai dengan ketentuan teknis dan
memperhatikan lingkungan. Peningkatan akses ini dapat dilakukan dengan
cara-cara sebagai berikut:
a. Meningkatkan cakupan pelayanan air limbah yang dikelola oleh BUMD dan
dinas.
b. Meningkatkan cakupan pelayanan cakupan air limbah yang dikelola secara
langsung oleh masyarakat.
c. Meningkatkan kinerja BUMD dan penyelenggara lainnya dalam
pengelolaan air limbah.
B. ASPEK PENDANAAN, peningkatan kapasitas pembiayaan untuk
pembangunan prasarana dan sarana air limbah baik sistem on-site maupun
off-site serta menjamin pelayanan dengan pemulihan biaya pengelolaan. Dari
aspek pendanaan, pemerintah daerah dapat melakukan hal-hal berikut:
a. Mendorong peningkatan alternatif sumber pembiayaan yang murah dan
berkelanjutan.
b. mendorong peningkatan prioritas pendanaan pemerintah daerah dalam
pengembangan sistem pengelolaan air limbah.
c. Meningkatkan pembiayaan melalui kemitraan pemerintah dan swasta.
d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembiayaan air limbah.
C. ASPEK PERAN SERTA MASYARAKAT DAN SWASTA, tinjauan aspek ini
adalah peningkatan kualitas pelayanan dan peningkatan kemitraan dengan
swasta dan masyarakat. Aspek ini perlu dipertimbangkan karena adanya
keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Peran serta
masyarakat dapat ditingkatkan dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap perlunya perilaku hidup
bersih dan sehat.
b. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembagunan dan pengelolaan
c. Meningkatkan peran serta badan usaha swasta dan koperasi dalam
pembangunan dan pengelolaan air limbah.
D. ASPEK KELEMBAGAN, tinjauan dari aspek kelembagaan adalah peningkatan
kinerja institusi pengelolaan air limbah serta pemisahan fungsi regulator dan
operator. Peningkatan kinerja institusi pengelolaan air limbah serta pemisahan
fungsi regulator dan operatordapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar kegiatan dan antar wilayah
dalam pembangunan air limbah.
b. Menyediakan fasilitas peningkatan menajemen pembagunan air limbah di
daerah.
c. Menyediakan fasilitas peningkatan pengelolaan air limbah melalui pelatihan
dan pendidikan SDM yang kompeten.
E. ASPEK PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN, aspek ini
mempelajari perkuatan dan penerapan hukum dan pengelolaan sesuai
ketentuan yang berlaku untuk penanganan dan pengelolaan air limbah.
Perkuatan, penerapan hukum dan pengelolaan air limbah dapat dilakukan
melalui:
a. Revisi peraturan perundang-undangan yang melakukan pengaturan
terhadap BUMD yang bergerak dalam pembangunan dan pengelolaan air
limbah.
b. Peningkatan forum nasional peningkatan pengelolaan air limbah dalam
mendorong pelaksanaan pengaturan yang lebih baik.
c. Meningkatkan tersedianya NSPM dalam pengembangan sistem
pembuangan air limbah.
4.3.3.2 Alternatif Pemecahan Permasalahan
Permasalahan dan kondisi yang berkembang dalam pengelolaan lumpur tinja di
Indonesia, memerlukan suatu kebijakan dan strategi yang spesifik untuk dapat
memelihara, mengembangkan dan meningkatkan pengelolaan lumpur tinja.
Departemen Pekerjaan Umum dalam rangka pengelolaan lumpur tinja 2001/2005
menetapkan suatu kebijakan dalam pengelolaan lumpur tinja di wilayah perkotaan
dan perdesaan, yang memerlukan keterlibatan semua stakeholder.
Kebijakan bidang lumpur tinja diperkotaan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bantuan Pemerintah Pusat diberikan untuk pemantapan kelembagaan melalui pembinaan teknis di bidang manajemen pengolahan lumpur tinja dan bantuan
peralatan berikut fasilitas pendukungnya kepada daerah yang betul-betul
membutuhkan dan belum memiliki kemampuan sumber daya maupun
manajemennya.
Untuk kota-kota metropolitan dan kota besar, pembangunan prasarana dan sarana lumpur tinja diusahakan dengan sistem terpusat dan semaksimal
mungkin menggunakan prinsip pemulihan biaya, dengan prioritas pelayanan
pada kawasan hunian dengan kepadatan bangunan yang tinggi dan dengan
permukaan air tanah yang tinggi.
Penanganan lumpur tinja di kawasan permukimam pada dasarnya adalah tanggung jawab masyarakat sendiri, sedangkan fasilitas penunjangnya dapat
dibantu atau disediakan oleh Pemerintah Daerah tanpa atau dengan bantuan
Pemerintah Pusat, ataupun kerja sama dengan pihak swasta.
Konsep dasar yang dapat digunakan dalam menangani lumpur tinja di kawasan perumahan dan permukiman adalah bagaimana mengelola lumpur
tinja secara terintegrasi, sehingga tepat guna (efektif), berdaya guna (efisien)
dan terjangkau serta dapat dioperasikan secara berkelanjutan, dengan
bertumpu kepada kemitraan antara masyarakat, pemerintah dan dunia usaha.
Sedangkan kebijaksanaan lumpur tinja di perdesaan adalah:
Bantuan pemerintah untuk pengelolaan lumpur tinja perdesaan dilaksanakan melalui Inpres (saat ini DAU) dan program sektoral.
Pengelolaan lumpur tinja pedesaan melalui program sektoral terutama
diprioritaskan untuk penyediaan sarana pembuangan lumpur tinja setempat,
di desa permukiman transmigrasi, permukiman nelayan, desa-desa pusat
pertumbuhan, desa rawan penyakit dan rawan bencana atau desa kritis
lainnya, baik secara individual maupun komunal.
Berdasarkan kepada kondisi yang berkembang dan kebijakan pengelolaan lumpur
tinja, terdapat 4 (empat) pendekatan strategis dalam pengelolaan lumpur tinja
terkait dengan fungsionalisasi IPLT, antara lain:
a. Strategi Teknis
Strategi teknis ini menekankan pilihan teknologi tepat guna yang sesuai
dengan kondisi. Strategi teknis dapat dirinci sebagai berikut:
1. Implementasi proyek Communal System (pengelolaan lumpur tinja sistem
dapat memakai sanitasi setempat, didasarkan pada pendekatan bertahap
(stepwise approach). Proyek dibatasi dalam ukuran yang harus sanggup
membiayai sendiri, paling sedikit untuk operasi dan pemeliharaannya.
2. Pemantapan teknis operasi dan pemeliharaan yang tepat pada IPLT
(Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja) sehingga fasilitas IPLT dapat
berfungsi secara efisien.
3. Pengembangan sistem sanitasi setempat yang tepat guna
4. Penyediaan subsidi dan bantuan teknis bagi masyarakat kurang mampu
untuk membangun dan merenovasi fasilitas pembuangan tinja individu
dan komunal hendaknya dilanjutkan termasuk pengembangan proyek
kredit seperti sistem dana berputar.
5. Pembangunan kakus umum/komunal bagi mereka yang tak mampu
membangun asalkan masyarakat atau pengguna dapat menggunakan
dan melakukan pemeliharaannya dengan patut.
6. Program pendidikan dan penyebaran informasi dapat dilakukan dan
diarahkan kepada pengguna untuk menjamin kesinambungan manfaat,
operasi dan pemeliharan fasilitas. Dalam hal ini, setiap kota harus
memiliki alat penyedot tinja (Vacuum Truck) dan Instalasi Pengolahan
Lumpur Tinja (IPTL) untuk melayani masyarakat yang menggunakan
sistem setempat
7. Komponen program untuk strategi teknis terdiri dari :
- Daerah dengan kapadatan tinggi (> 300 orang/ha) dan daerah
pengembangan baru harus dilayani dengan system terpusat, yang
dibiayai developer dengan pengembalian oleh pengguna.
- Daerah kepadatan sedang (>100 – 300 orang/ha) harus dilayani
dengan interceptor dan fasilitas pengolahan lumpur tinja ukuran kecil
atau komunal.
- Daerah kepadatan rendah (50 - 100 orang/ha) dengan lingkungan
berkualitas tinggi harus dilayani dengan interceptor berkaitan dengan
program Prokasih (Program Kali Bersih).
- Daerah kepadatan sedang dengan kecepatan perkolasi tinggi (>3
cm / menit) atau muka air tanah tinggi (<1,5 m) harus dilayani
dengan shallow sewer dan tangki septic komunal.
- Daerah kepadatan rendah dengan kecepatan perkolasi rendah
rendah (<3 cm /menit) dan muka air tanah rendah (>1,5 m) harus
- Seleksi pemilihan metoda pengolahan Lumpur tinja hendaknya
dilakukan mulai dari teknologi yang paling sederhana (operasi dan
pemeliharaan), biaya yang rendah (investasi dan operasi), teknologi
yang tepat (diterima masyarakat, berguna dan efektif dalam
pengolahannya.)
b. Strategi Institusi/Kelembagaan
Strategi institusi ini menekankan pada peningkatan kemampuan institusi yang
ada, diuraikan dibawah ini:
1. Pemerintah Kota/Kabupaten harus membentuk dan mengkoordinasikan
unit pelaksanaan yang bertanggung jawab atas penanganan lumpur tinja.
2. Pada umumnya, direkomendasikan untuk meningkatkan kemampuan unit
pelaksana yang ada dan mengatur kembali unti-unit tersebut untuk
melakukan tugas mereka yang baru. Namun demikian pendiriran
organisasi baru hanya diperbolehkan ketika sangat diperlukan, dan sangat
tergantung dari klasifikasi kota, karakteristik masyarakat, potensi
masyarakat, serta peraturan yang berlaku.
3. Untuk mengelola lumpur tinja setempat termasuk pengangkutan dan
pengolahan akhir di IPLT dapat diserahan kepada Dinas Pekerjaan Umum
atau Dinas Kebersihan.
4. Untuk pengelolaan lumpur tinja sistem komunal pada jangka pendek,
bentuk kelembagaannya dapat ditampung di bawah PDAM, yang
merupakan Unit Pengelola Unit Teknis Daerah (UPTD) tersendiri yang
bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama PDAM terhadap
permasalahan teknis, operasi/pemeliharaan. Hal ini dipertimbangkan
mengingat PDAM telah memiliki sumber daya, keahlian teknis dan
administrasi. Namun demikian, perlu dilakukan kelayakan finansial dan
ekonomi dikaitkan dengan tanggung jawab pemulihan biaya investasi dan
biaya operasi/pemeliharaannya (cost recover) agar pengelolaan lumpur
tinja ini tidak mengalami kerugian.
5. Untuk jangka menengah, bentuk kelembagaannya dapat ditampung
dibawah PDAM, yang merupakan Divisi tersendiri yang bertanggung
jawab langsung kepada Direktur Utama PDAM terhadap permasalahan
teknis, operasi, dan pemeliharaan.
6. Untuk jangka panjang, setelah tingkat ekonomi masyarakat lebih baik,
pengelolaannya dapat ditingkatkan menjadi PDLT (Perusahaan Daerah
lebih terkordinir di dalam penanganan lumpur tinja sekaligus memberikan
dasar yang lebih mantap secara organisatoris, manajemen, pembiayaan
dan hukum.
7. Tanggung jawab pemerintah pusat yaitu memberi petunjuk, pemantauan
dan strategi, pengembangan sumber daya manusia, peningkatan
kemampuan pmerintah daerah dalam persiapan proyek dan pelaksanaan
proyek pilot, dan penyediaan investasi awal untuk pemerintah daerah
dalam pembangunan prasarana sanitasi.
8. Program pelatihan bagi staf pemerintah daerah dan penyuluhan sanitasi
yang bersifat nasional harus dimulai sebagai bagian dari strategi.
9. Tanggung jawab pemerintah daerah diantaranya adalah membuat
rencana kegiatan (Action Plan) di daerah masing-masing dengan
penekanan pada pelaksanaan sanitasi setempat, membangun fasilitas
kakus komunal, melaksanakan proyek Communal System dengan
bantuan dana dari pemerintah pusat jika memungkinkan dan penyedotan
lumpur tinja serta mengawasi dan mengendalikan bantuan teknik bagi
fasilitas sanitasi setempat.
10. Program Pembangunan Prasarana Kota harus memberikan kontribusinya
dalam memperluas wawasan pemerintah daerah dalam menyiapkan
rencana pengelolaan lumpur tinja domestik.
11. Proyek sanitasi setempat yang ada harus diperluas dan dikembangkan
menjadi suatu program yang berkesinambungan. Setahap demi setahap
pemerintah daerah mengambil peran yang dibantu oleh konsultan.
12. Promosi partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan
operasi serta pemeliharaan fasilitas sanitasi komunal harus diteruskan.
Organisasi non Pemerintah (NGO) dan pembinaan kesejahteraan
keluarga (PKK) harus dilibatkan untuk mempromosikan partisipasi
masyarakat secara aktif.
13. Penerbitan dan pelaksanaan peraturan daerah tentang :
- Izin Mendirikan Bangunan yang mengatur bahwa setiap bangunan
harus memiliki tangki septik yang sesuai dan/atau IPLT yang
memenuhi standar efluen.
- mengendalikan proses pengumpulan dan pembuangan lumpur tinja.
c. Strategi Pendanaan
Strategi pendanaan/keuangan untuk menunjang investasi dari masyarakat
dan sektor swasta, dan untuk mempromosikan mekanisme pengembalian
1) Investasi swasta dan masyarakat dalam, pembuangan tinja harus
ditunjang dan dipromosikan dengan upaya sebagai berikut:
Kegiatan promosi.
Spesifikasi dan peraturan bangunan.
Pedoman teknis untuk konstruksi dan operasi serta pemeliharaan fasilitas sanitasi.
Fasilitas pendanaan (sistem kredit) dan bantuan bagi konstruksi fasilitas pembuangan tinja secara individual atau komunal.
2) Mekanisme pengembalian biaya dan pengumpulan pendapatan perlu
dirinci lebih lanjut.
3) Bantuan teknis dan bantuan keuangan bagi fasilitas individual atau
komunal dengan sanitasi setempat harus diperpanjang dan dana
dialokasikan untuk sistem kredit berbeda tergantung kondisi setempat.
4) Biaya bersama satu kelompok untuk sistem individual, harus juga
diperkenalkan bagi fasilitas komunal yang digunakan oleh sejumlah kecil
rumah tangga.
d. Strategi Promosi
Strategi Promosi yang ekstensif secara nasional dan regional. Untuk mendidik
dan menambah kesadaran pemerintah daerah dan masyarakat tentang
pentingnya sanitasi yang baik, harus dilaksanakan strategi promosi. Promosi
ini lebih baih dilaksanakan melalui program “Pemasaran Sosial” yang
diharapkan untuk menunjang keinginan masyarakat untuk menggunakan
fasilitas pengolahan lumpur tinja (IPLT) yang baik dan sehat. Secara
sistematis pendekatan program pembangunan prasarana dan sarana air
limbah dapat diuraikan sebagai berikut:
4.4 RENCANA INVESTASI SUB-BIDANG PERSAMPAHAN
4.4.1 Sasaran Penyediaan Prasarana Dan Sarana Pengelolaan Sampah
Sasaran yang ingin dicapai adalah Pada tahun 2011 pengelolaan sampah oleh
Kelompok Rumah Tangga secara mandiri dengan penerapan metode 3 M
(Mengurangi, Memanfaatkan Kembali dan Mendaur Ulang) melalui pemilahan
sampah ditargetkan dari 3 kelompok menjadi sekurang-kurangnya 45 kelompok,
diharapkan terjadi peningkatan efisiensi pengelolaan sampah serta meningkatkan
umur pakai TPA. Cakupan pelayanaan sampah 90% serta sampah jadi uang.
4.4.2 Rumusan Masalah
Bagian ini menguraikan besaran persoalan yang dihadapi atau tantangan yang
diselesaikan melalui pembangunan sistem prasarana dan sarana pengelolaan
persampahan, dengan membandingkan antara kondisi yang ada dan sasaran
penyediaan PS persampahan, baik dari aspek teknis, kelembagaan, regulasi
mupun keuangan. Rangkuman rumusan masalah adalah sebagai berikut ini:
Pengelolaan masih konsvensional
Kapasitas SDM rendah
Peralatan belum memadai
Kesadaran masyarakat rendah
Sampah adalah sampah
4.4.3 Analisis Permasalahan dan Rekomendasi
4.4.3.1 Analisis Permasalahan
Analisis diperlukan untuk mencari akar permasalahan berdasarkan kondisi yang
ada saat ini dari berbagai aspek teknis maupun non teknis, serta berbagai kendala
yang dihadapi dalam rangka mencapai sasaran yang diinginkan.
4.4.3.2 Rekomendasi
Perlu penambahan personil pengelolaan sampah, demikian pula sarana
pengangkutan untuk meningkatkan pelayanan, mengadakan pemusnah sampah
berteknologi canggih. Membina masyarakat peduli sampah dalam organisasi yang
lebih mapan, hal tersebut dimaksud agar organisasi kemasyarakatan dapat
berperan serta aktif dalam menanggulangi persampahan dalam kota. Program 3R
perlu ditingkatkan dan pemberdayaan masyarakat harus menjadi faktor utama.
4.4.4 Sistem Prasarana yang Diusulkan
4.4.4.1 Usulan Dan Prioritas Program
Secara garis besar dapat diusulkan kegiatan yang menyangkut :
1. Pembentukan kelembagaan persampahan
2. Peningkatan teknis operasional TPS
4. Pemeliharaan PS persampahan
5. Peningkatan program sistem 3R
6. Penyediaan area lahan pengelolaan sampah
7. Sosialisasi tentang pemanfaatan sampah kepada masyarakat
8. Peningkatan kualitas TPS
9. Pengembangan TPS Regional
10. Pengembangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW kab/kota)
Persampahan
11. Pembuatan Perda/SK Bupati/Walikota persampahan
Kelima usulan tersebut dapat dirinci menjadi aktifitas yang mendukung tercapainya
orientasi bersih lingkungan serta fokus dalam pemanfaatan sampah sehingga
memiliki nilai ekonomis dalam satu program yaitu Sayang Sampah.
4.5 RENCANA INVESTASI SUB-BIDANG DRAINASE
4.5.1 Arah Kebijakan Penanganan Drainase
Berdasarkan isu permasalahan strategis di bidang drainase, maka dirumuskan
suatu sasaran kebijakan nasional sebagai arahan mendasar dari kondisi yang
akan dicapai dan diwujudkan dalam pengembangan bidang drainase di masa yang
akan datang.
Sasaran kebijakan pengembangan drainase adalah sebagai berikut ini:
Terlaksananya pengembangan sistem drainse yang terdesentralisasi, efisien, efektif dan terpadu.
Terciptanya pola pembangunan drainase yang berkelanjutan melalui kewajiban konservasi air dan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Terwujudnya upaya pengentasan kemiskinan perkotaan yang efektif dan ekonomis melalui minimalisasi resiko biaya sosial dan ekonomi serta biaya
kesehatan akibat genangan dan bencana banjir.
Terciptanya peningkatan koordinasi antara Kabupaten/Kota dalam penanganan sistem drainase.
4.5.2 Isu-isu Strategis dan Permasalahan
Isu-isu strategis terkait dengan kondisi serta permasalahan dalam menghadapi
pengelolaan drainase saat ini serta tantangan yang dihadapi meliputi sebagai
berikut ini.
Perubahan Fungsi Lahan Basah
Belum Adanya Ketegasan Fungsi Sistem Drainase
Kelengkapan Perangkat Peraturan
Penanganan Drainase Belum Terpadu
Pengendalian Debit Puncak
4.5.3 Permasalahan Yang Dihadapi
4.5.3.1 Permasalahan Sistem Drainase yang Ada
Pada prinsipnya ini merupakan bagian awal dari proses pendefinisian masalah
yang menjadi bagian awal dari proses perencanaan system secara keseluruhan.
Indikasi permasalahan merupakan hasil analisis detail berdasarkan data – data
hasil survai. Karena terbatasnya data – data drainase yang bersifat data teknis
detail, maka Inventarisasi permasalahan sebagai hasil analisis pada tahap ini lebih
merupakan permasalahan yang bersifat umum atas dasar masukan dari berbagai
sumber. Meskipun demikian konsultan tetap berupaya melakukan pendalaman
melalui analisis – analisis yang relevan sehingga didapatkan gambaran
permasalahan yang sebenarnya.
Meskipun demikian gambaran permasalahan yang dilaporkan dalam laporan ini
tetap penting, sebab dari pelaksanaan diskusi dengan berbagai pihak yang terkait,
konsultan mendapatkan masukan – masukan penting terkait dengan kegiatan
perumusan masalah dimaksud dalam konteks perencanaan system. Dengan
masukan tersebut konsultan dapat melakukan penyaringan informasi, sehingga
didapat informasi – informasi yang valid untuk ditindak-lanjuti melalui proses
analisis.
Indikasi permasalahan menyangkut isu – isu penting yang terkait dengan Program
Investasi Jangka Menengah untuk komponen drainase di wilayah studi, yaitu
meliputi permasalahan genangan, kebijakan pembangunan antar kawasan,
koordinasi pengawasan pembangunan dan kondisi eksisting system drainase.
1. Kebijakan Pembangunan Antar Kawasan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa penanganan permasalahan
drainase harus merupakan suatu kegiatan yang berskala regional dan bersifat
lintas wilayah maupun lintas sektoral. Penanganan permasalahan di Kabupaten
Pulang Pisau tanpa menangani permasalahan yang ada di kawasan hulu maupun
Demikian juga kaitan antara infrastruktur drainase dengan infrastruktur lainnya
harus mendapat perhatian yang seksama, sehingga penanganan yang dilakukan
merupakan suatu kegiatan yang komprehensif. Dalam kaitan dengan topik ini,
maka permasalahan yang terkait dengan kebijakan pembangunan antar kawasan
antara lain adalah :
Belum adanya kebijakan yang terpadu antar wilayah kota dan kabupaten di
propinsi Kalimantan Tengah untuk pengendalian kawasan resapan di daerah
hulu sungai.
Belum adanya peraturan untuk pengendalikan luas lahan terbuka sebagai
daerah resapan air.
Belum adanya koordinasi dari para pelaku pengelolaan dari setiap komponen
infrastruktur dalam perencanaan maupun pembangunannya.
2. Koordinasi Pengawasan Pembangunan
Koordinasi pengawasan pembangunan diperlukan untuk mencegah terjadinya
permasalahan yang menimbulkan dampak merugikan dari aspek drainase
(termasuk mencegah terjadinya banjir). Sebagai contoh suatu kawasan dengan
elevasi di bawah muka air banjir sungai terdekat, maka perencanaan
pembangunan sarana dan prasarana di kawasan tersebut harus sudah
mengantisipasi kemungkinan terjadinya banjir, yaitu dengan melakukan
penimbunan sampai batas peil banjir sebelum prasarana tersebut dibangun.
Pembangunan suatu jaringan drainase di suatu kawasan tidak bisa hanya
didasarkan pada data masukan dari kawasan internal. Kapasitas saluran yang
direncanakan harus memperhatikan kapasitas saluran yang sudah ada di kawasan
lain, sehingga sistem yang dibangun tidak memberikan dampak negatif terhadap
kawasan lain. Dengan koordinasi pengawasan yang efektif dampak negatif
tersebut dapat dihindarkan.
Lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan merupakan masalah yang
sering terjadi dalam pembangunan wilayah Kabupaten Pulang Pisau. Lemahnya
koordinasi pengawasan pembangunan dapat dilihat pada uraian berikut ini :
a. Perubahan Peruntukan Lahan
Pada dasarnya, peruntukan lahan pada suatu kawasan sudah ditentukan
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah disyahkan oleh
oleh berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan pembangunan di Wilayah
Studi.
Hal yang paling sering terjadi adalah kawasan penampungan/resapan air atau
kawasan hijau terbuka dirubah peruntukannya menjadi kawasan perumahan
atau kawasan industri. Akibat dari perubahan peruntukan lahan tersebut,
maka luasan dari kawasan “parkir” air hujan akan berkurang secara sistematis
dan pada akhirnya akan memperparah masalah banjir di wilayah studi.
b. Pelanggaran terhadap Rasio KDB
KDB atau Koefisien Dasar Bangunan adalah suatu rasio yang menunjukan
perbandingan antara luas bangunan terhadap luas lahan yang tersedia.
Sehingga untuk luas lahan yang sama, apabila rasio tersebut semakin besar
maka bangunan yang boleh didirikan juga semakin luas.
Rasio KDB ditetapkan oleh Dinas Tata Kota dengan mengacu pada kondisi
dan peruntukan lahan pada lahan yang akan didirikan bangunan. Dengan
demikian, rasio KDB merupakan batas maksimum yang diperbolehkan oleh
Dinas Tata Kota untuk mendirikan bangunan pada suatu wilayah.
Namun pada umumnya, batas rasio tersebut seringkali dilanggar oleh para
pemilik bangunan dalam upaya untuk mendapatkan bangunan yang lebih luas.
Apabila pelanggaran rasio KDB tersebut dilakukan secara massal dan terus
menerus, maka luas lahan terbuka akan menurun secara drastis dan pada
akhirnya akan memperparah masalah banjir di wilayah studi.
c. Diabaikannya batas Peil Banjir
Sebagaimana dijelaskan pada sub bab sebelumnya, dimana salah satu
penyebab banjir di wilayah studi adalah elevasi kawasan perumahan yang
berada di bawah muka air banjir sungai maupun di bawah muka air normal,
sehingga kawasan atau area perumahan tersebut menjadi kawasan yang
rawan banjir.
Kondisi tersebut terjadi karena pelaksanaan pembangunan kawasan
perumahan oleh Pengembang tidak memperhatikan peil banjir yang ada.
Pengembang seharusnya melakukan penimbunan sampai pada batas peil
d. Pelanggaran Penggunaan Lahan Pada Kawasan Konservasi
Hal lain yang sering terlihat dari lemahnya koordinasi pengawasan
pembangunan adalah digunakannya lahan yang berada pada kawasan
konservasi untuk keperluan pembangunan. Pelanggaran tersebut
mengakibatkan berkurangnya luasan dari kawasan konservasi dan pada
akhirnya akan mengurangi luasan dari kawasan resapan atau ruang hijau
terbuka.
3. Tinjauan Terhadap Sistem Penyaluran Air Hujan Yang Ada
Tinjauan terhadap sistem penyaluran air hujan yang ada akan mencakup tinjauan
terhadap sungai sebagai badan penerima air utama, dan sistem saluran sebagai
badan pembawa.
a. Tinjauan Terhadap Sungai Induk
Perhitungan mengenai kapasitas sungai berdasarkan profil sungai yang ada
untuk kemudian dibandingkan dengan debit banjir hasil perhitungan dengan
periode ulang 10 tahun, akan memberikan gambaran mengenai kemungkinan
terjadinya atau tidak terjadinya luapan pada sungai dimaksud. Sampai saat ini
data profil sungai dan data debit banjit dari sungai – sungai utama di wilayah
studi belum didapatkan.
b. Tinjauan Terhadap Saluran Yang Ada
Meliputi tinjauan dimensi, keadaan saluran, perlengkapan saluran yang ada,
serta hal – hal lain yang dianggap perlu sehingga dapat diharapkan akan
didapat dimensi saluran yang sesuai.
Hasil pengamatan lapangan adalah sebagai berikut :
Tingkat pelayanan sistem yang ada masih rendah dalam konteks
perbandingan antara luas yang harus dilayani dengan panjang sistem
yang sudah terbangun/terpasang.
Kapasitas saluran belum di disain menurut sistem blok kawasan yang
harus dilayani, sehingga ada beberapa saluran yang melayani suatu
kawasan terlalu luas.
Sedimentasi dan timbunan sampah menyebabkan kapasitas pengaliran
saluran berkurang, akibatnya terjadi luapan.
Genangan yang terjadi dari hasil pengamatan disebabkan oleh luapan,
baik dari jaringan tersier, sekunder maupun primer.
Sistem jaringan belum tertata menurut hirarki saluran, dimana hirarki ini
Dari hasil pengamatan ada sistem sekunder yang dimensinya lebih kecil
dari sistem tersiernya.
Ukuran gorong – gorong yang terlalu kecil, kerusakan gorong – gorong
maupun kerusakan pada saluran merupakan salah satu penyebab
terjadinya luapan dan genangan.
4. Pemeliharaan Prasarana dan Sarana Drainase
Akibat keterbatasan dana, selama ini pemeliharaan prasarana/sarana
drainase kurang mendapat perhatian yang cukup dari Instansi yang
berwenang. Pemeliharaan prasarana/sarana tidak dilakukan menurut suatu
pola yang teratur. Biasanya pemeliharaan akan dilakukan apabila kondisi
kerusakan sudah parah atau untuk mengatasi kondisi darurat dan
pemeliharaan tersebut dilakukan secara partial tidak secara menyeluruh.
Akibat dari tidak teraturnya pemeliharaan yang dilakukan, maka :
Prasarana/sarana drainase tidak berfungsi dengan optimal.
Meningkatnya kerugian yang diderita oleh masyarakat.
Meningkatnya biaya pemeliharaan.
Kurangnya kesadaran masyarakat mengenai arti penting sarana drainase
untuk menjaga kesehatan lingkungan juga merupakan salah satu
permasalahan yang perlu mendapat perhatian. Semua pihak paham bahwa
membuang sampah di selokan akan dapat menimbulkan banjir karena
kapasitas saluran menjadi berkurang. Namun faktanya hal – hal tersebut
masih terus terjadi.
4.5.3.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah menguraikan besaran masalah yang dihadapi dan tantangan
yang harus diselesaikan dalam mengatasi persoalan sistem drainase yang ada
dan dalam memenuhi basic need dan development need penanganan drainase
kota. Rangkuman rumusan masalahan adalah sebagai berikut ini.
• Kecepatan peresapan rendah
• Cakupan layanan terbatas
• Sistem jaringan belum terintegrasi
• Manajemen aset lemah
4.5.4 Analisis Permasalahan dan Rekomendasi
4.5.4.1. Analisis Kebutuhan
Analisis diperlukan untuk mencari akar permasalahan berdasarkan kondisi yang
ada saat ini dari berbagai aspek teknis maupun non teknis, serta berbagai kendala
yang dihadapi dalam rangka mencapai sasaran yang diinginkan.
4.5.4.2 Rekomendasi
rekomendasi didasarkan pada komponen – komponen yang menjadi variabel
dalam konsep penataan sistem drainase. Komponen-komponen yang perlu
diperhatikan di dalam penataan sistem drainase antara lain pola aliran, normalisasi
sungai-sungai dan saluran-saluran drainase, mengembalikan fungsi bantaran
sungai, menerapkan garis sempadan sungai dan saluran, meningkatkan kapasitas
dan pemanfaatan situ, pemeliharaan sarana drainase, penanggulangan erosi
lahan, dan penanggulangan banjir.
Pola aliran harus dibuat sedemikian rupa sehingga memenuhi Rencana Tata
Ruang Wilayah, baik dalam aneka ragam fasilitas yang direncanakan oleh tata
ruang tersebut, maupun pentahapan pelaksanaan tata ruang tersebut. Proporsi
pembagian daerah alirannya lebih ditentukan oleh kondisi topografi daerahnya,
sedangkan penentuan arah alirannya ditentukan oleh lereng lahan yang dibuat
drainasenya. Pola aliran dan jenis pengalirnya didesain sedemikian rupa sehingga
mendukung prinsip desain saluran yang memerlukan pemeliharaan seminimum
mungkin. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penentuan pola aliran adalah :
Badan penerima air eksisting
Jaringan sungai yang ada dalam suatu wilayah perencanaan, merupakan titik
akhir dari aliran air yang ada.
Sistem drainase yang ada
Dalam perencanaan pola aliran, sedapat mungkin tidak merusak pola
alami/buatan yang sudah ada sehingga pekerjaan yang dilaksanakan akan
menjadi lebih ekonomis dan memungkinkan untuk menjangkau seluruh saluran
di daerah tersebut.
Topografi daerah aliran
Pola aliran yang mengikuti kemiringan lahan akan mempermudah pengaliran
air dan selain itu pekerjaan akan menjadi lebih ekonomis dan mudah dalam
Jalur jalan yang ada
Jalur jalan yang ada sering dipergunakan dalam penentuan pola aliran
sehingga pola aliran drainase akan dibuat mengikuti jalur jalan yang ada.
Batas administratif daerah aliran
Batas administratif diperlukan untuk menentukan kapasitas dari air yang
melimpas kedalam saluran dan menjadi beban bagi Instansi yang berwenang
pada daerah administratif tersebut.
Pembenahan pola aliran untuk suatu daerah yang sudah lama berkembang
terutama untuk daerah yang terletak di zona aliran pantai adalah sebagai berikut :
Jika daerahnya cukup tinggi di atas elevasi air pasang, maka penataan
drainasenya bisa menggunakan kanal-kanal yang bisa dialirkan ke sungai
terdekat.
Untuk daerah elevasinya lebih rendah dari air pasang maka harus dibuat
polder yang dilengkapi dengan danau penampungan dan instalasi pompa.
Untuk menekan besarnya kapasitas pompa yang dibutuhkan, sistem polder ini
bisa dikombinasikan dengn pemakaian pintu-pintu klep.
Perencanaan sistem drainase pada suatu daerah reklamasi baru sebaiknya
memakai sistem polder. Keuntungan dari sistem tersebut adalah menghindari
pemakaian material tanah urug yang terlalu besar sehingga dampak negatif yang
mungkin timbul pada lokasi sumber material urug dapat dihindarkan.
1. Sudetan
Salah satu cara dalam hal pembenahan pola aliran adalah dibuatnya saluran
sudetan dari satu sungai yang mempunyai kapasitas aliran terbatas menuju
sungai lain yang masih mampu menampung debit banjir tambahan dari
daerah aliran sungai (DAS) lain. Mengingat aspek teknis mengenai saluran
sudetan ini sangat luas maka dalam hal ini perlu dilakukan studi khusus.
Konsep dasar perencanaan saluran sudetan adalah :
Sungai asal benar-benar mempunyai kapasitas aliran yang sangat
terbatas dan rawan terhadap luapan banjir.
Sungai asal melewati daerah pusat-pusat kegiatan yang padat sehingga
untuk usaha pelebaran sungai harus menyelesaikan terlebih dahulu
masalah pembebasan tanah.
Elevasi sungai tujuan harus lebih rendah dari elevasi sungai asal agar air
Sungai tujuan harus mempunyai kapasitas lebih dan tidak melalui daerah
yang mengharuskan dilakukannya pengamanan tinggi.
2. Normalisasi Sungai - sungai dan Saluran Drainase
Kapasitas pengaliran sungai mengalami penurunan akibat sedimentasi,
endapan sampah dan berbagai bangunan yang berada di bantaran sungai
serta akibat kegiatan manusia lainnya. Begitu juga yang dialami oleh
saluran-saluran yang ada, sehingga daerah yang seharusnya masih tergolong aman
banjir menjadi daerah yang rawan banjir. Untuk mengatasi masalah tersebut
perlu diadakan normalisasi sungai-sungai dan saluran-saluran drainase.
Normalisasi yang perlu dilakukan bergantung pada kondisi masing-masing
sungai/jalur drainase.
3. Mengembalikan Fungsi Bantaran Sungai
Keberadaan bantaran bagi sungai adalah sangat penting dan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari sungai itu sendiri, karena bantaran berfungsi
sebagai lahan cadangan sungai untuk menampung debit banjir yang besar.
Pada sebagian sungai kondisi dan batas bantaran ini tidak jelas, sebaliknya
ada yang mempunyai bantaran yang jelas dengan batas berupa tanggul alam
dan bertanda bebas aliran air yang jelas pula. Tentu saja tidak seluruh sungai
mempunyai bantaran karena lahan bantaran tersebut terbentuk secara
alamiah dari sungai yang bersangkutan.
Untuk mengembalikan fungsi bantaran ini perlu dirintis dengan mengadakan
pendataan/inventarisasi bantaran dengan batas-batasnya, diberi tanda dan
memberikan penjelasan kepada masyarakat akan batas dan manfaat
bantaran sungai tersebut.
Selain itu untuk mengantisipasi perkembangan pembangunan yang pesat di
masa mendatang, pemerintah hendaknya konsisten terhadap pemanfaatan
daerah bantaran sungai ini, sehingga bantaran tetap berfungsi seperti yang
dikehendaki.
4. Menetapkan Garis Sempadan Sungai dan Saluran.
Pemikiran untuk mengadakan perluasan masa mendatang dari sistem
drainase yang dibangun dengan bertahap ini, mengharuskan Pemerintah
Daerah untuk mengadakan cadangan lahan dan melakukan pengaturan lahan
Hal ini akan mengarah diperkuatnya segi legalitas yang menyangkut pada
pengadaan lahan, seperti misalnya perundangan garis sempadan sungai atau
saluran, yang ditentukan menurut besarnya saluran atau sungai tersebut. Jika
daerah aliran sungai tersebut memiliki kapasitas besar, maka lahan
sempadan yang harus dicadangkan di tepi kanan dan kiri juga lebih besar
daripada sungai kecil. Dengan demikian akan dapat dijamin adanya
kemungkinan perluasan sistem saluran drainase di kemudian hari bilamana
debit bertambah seiring dengan pertambahan kawasan terbangun perkotaan.
Besarnya penetapan garis sempadan sungai dapat dilihat pada tabel berikut .
Tabel 4.5.2 Garis Sempadan Sungai
No. Jenis Lebar
Dari tepi sungai atau pasang tertinggi dan berfungsi sebagai jalur hijau. Dari tepi sungai atau pasang tertinggi dan berfungsi sebagai jalur hijau. tangkapan yang bersangkutan, serta dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.