• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN KECENDERUNGAN BULLYING PADA REMAJA PUTRA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBEDAAN KECENDERUNGAN BULLYING PADA REMAJA PUTRA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KECENDERUNGAN BULLYING PADA REMAJA PUTRA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Stepanus Budi Raharjo

NIM : 049114033

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

PERBEDAAN KECENDERUNGAN BULLYING PADA REMAJA PUTRA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Stepanus Budi Raharjo

NIM : 049114033

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

Karya yang telah aku susun dengan penuh perjuangan ini, aku persembahkan untuk:

Tuhan Yesus yang menjadi ANDALAN hidupku

Alm. Bapak Aloysius Yitno Diharjo

&

Alm. Ibu Theresia Mursini di Surga

Semua Keluargaku

(6)

Motto Hidupku

Hidup Sekali Harus Berarti

karena

Aku Diciptakan-Nya Untuk Menjadi Individu yang Berguna

maka

Aku Harus Selalu Berusaha

untuk

Meraih Kebahagiaan dan Menggapai Semua Mimpiku

buat

KELUARGA

&

SAHABAT

(7)
(8)

ABSTRAK

PERBEDAAN KECENDERUNGAN BULLYING PADA REMAJA PUTRA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN

Stepanus Budi Raharjo Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2008

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kecenderungan

bullying pada remaja awal berdasarkan urutan kelahirannya. Remaja adalah usia yang paling rentan untuk melakukan bullying. Dalam keluarga setiap remaja mendapat perbedaan perlakuan dari orangtua berdasarkan urutan kelahiran mereka. Urutan kelahiran terdiri dari anak sulung, anak tengah dan anak bungsu. Perbedaan perlakuan ini menimbulkan terjadinya karakteristik kepribadian tertentu pada setiap urutan kelahiran. Kepribadian adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku bullying.

Bullying terdiri dari tiga aspek yaitu; adanya perbedaan kekuasaan, perilaku menyakiti yang berulang dan perilaku yang dilakukan dengan sengaja.

Subjek penelitian ini berjumlah 129 orang remaja putra yang terdiri dari 43 anak sulung, 43 anak tengah dan 43 anak bungsu. Semua subjek tersebut merupakan remaja yang memenuhi kriteria berikut; berusia antara 13-16 tahun, memiliki dua orang saudara kandung, dan bersekolah di SMP yang terletak di Kabupaten Sleman. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk skala yaitu skala kecenderungan bullying. Koefisien reliabilitas dari skala ini adalah 0,900.

(9)

ABSTRACT

THE DIFFERENCES OF BULLYING TENDENCY ON BOY TEENAGERS BASED ON THEIR BIRTH ORDER

Stepanus Budi Raharjo Sanata Dharma University

Yogyakarta 2008

The aim of this research was to find out the differences of bullying tendency on boy teenagers based on their birth order. Teenagers were the most susceptible group to do bullying behavior. In their family, every teenager gots different treatment from their parents. The parents usually treated them differently according to their order of birth. Different treatment can created certain personality to every order of birth. Birth order consists of the first born, the middle born and the last born. Personality is one of the factors which causes bullying behavior. There are three aspects of bullying, that are the difference of authority, repeated and in purpose violence attitudes.

The subject of this research were about 129 boy teenagers, consist of 43 first born, 43 middle born and 43 last born. The subjects to be observed were based on the writer’s criteria. The criteria are: first, 13-16 years old students; second, they had two siblings and the last, students must Junior High School students in Sleman Regency. The method of data collection was done by giving a scale. The scale of this research was the scale of bullying tendency. The reliability of this scale were 0,900.

(10)
(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus yang selalu menyertai dan membimbing penulis selama pengerjaan skripsi ini. Penulis juga berterimakasih atas perlindungan dan terang pikiran yang selalu Bunda Maria limpahkan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini adalah sebuah proses yang panjang, dimana penulis harus berusaha, bekerja keras dan menghadapi berbagai kesulitan yang ada. Proses yang panjang ini tidak akan selesai bila tidak ada mereka yang membantu. Oleh karena itu, penulis secara tulus ingin mengucapkan terimakasih kepada mereka yang telah berperan dalam proses pengerjaan skripsi ini dan kehidupan penulis:

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan dalam perijinan penelitian.

2. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M., S.Psi,. M.Si. selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar memberi arahan, memberi masukan, merevisi skripsi dan memberi semangat yang sangat membantu proses pengerjaan skripsi ini.

3. Ibu Passchedona Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi. dan Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku dosen penguji skripsi.

(12)

5. Bapak Heri dan Ibu Dewa yang telah memberi masukan berkaitan dengan penghitungan statistik sehingga memperlancar pengerjaan skripsi ini.

6. Bapak Ibu dosen yang telah memberi ilmu kepadaku untuk masa depan dan hidup saya.

7. Bapak dan Ibu di SURGA yang selalu mendoakan dan memberkati. Terimakasih atas semua yang boleh saya terima.

8. Kakak-kakak saya: Mas Jefrey, Mbak Yuni, Mas Narto, Mbak Parti, Mbak Santi atas semua dukungan dan biaya kuliah selama ini.

9. Ponakan saya: Yani, Rudi dan Alfon.

10.Saudara angkat saya Bernand, yang membantu mencarikan buku referensi, meskipun gak dapat.

11.Mas Gandung dan Mbak Nanik yang telah membantu kelancaran administrasi akademik selama ini.

12.Pak Gi…yang ramah dan membantu sekali dalam perijinan penelitian.

13.Mas Muji yang sudah berbagi pengalaman menjadi asisten. Mas Doni yang telah meminjami buku-buku.

14.Pak Priyo yang telah menerima di P2TKP.

15.Br. Pius selaku Kepala Sekolah SMPK ST. Aloysius Turi, Para Kepala Sekolah: SMP Kanisius Pakem, SMPN II Turi, SMPN I Ngaglik, SMPK Aloysius Denggung, SMP Kanisius Sleman, SMPN III Turi, Bapak Siswanto selaku guru SMPN II Tempel dan Ibu Yani selaku guru SMPN 4 Sleman yang telah membantu dalam proses pengambilan data.

(13)

17.Irai, Andre, Ika, Desy, Tika, Lina, Tiara yang mau membantu mencari data. 18.Teman-teman P2TKP, tempat berbagi koreksian, pekerjaan dan bermain BI---:

Desta, AB, Otik, Gothe, Wiwid, Rondang, Badai, Fani, Tina, Vania, Atik, Weni, Lia, Mitha, Wulan, dan yang paling memotivasiku Betty.

19.Badai (pasti berlalu) teman seperjuangan bimbingan. 20.Rm. Yatno & Rm. Eltus atas beasiswanya.

21.Tiara yang sudah membantu menerjemahkan abstrak.

22.Adik-adik CAS CIS yang telah membantu dalam skoring kuesioner : Dik Theo, Natalia, Ningrum, Swilla dan lain-lain.

23.D’Berto, Fendi, Calvin, Oki, Peni, Adit, Satriya, Danur, Wulan, Ruri, Yaya, Jalung yang …….. membantu dengan doa.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi semua yang membaca dan bagi ilmu pengetahuan kita.

Penulis

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II. LANDASAN TEORI ... 9

(15)

1. Pengertian Bullying ... 9

2. Kategori Perilaku Bullying ... 10

3. Aspek-Aspek Bullying ... 12

4. Kategori Perilaku Bullying ... 13

5. Pelaku Bullying ... 14

6. Dampak Perilaku Bullying ... 14

B. Urutan Kelahiran ... 15

1. Asumsi Urutan Kelahiran mempengaruhi Kepribadian... 15

2. Anak Sulung ... 17

3. Anak Tengah ... 19

4. Anak Bungsu ... 20

C. Remaja ... 23

D. Hubungan antara Bullying dengan Urutan Kelahiran pada Remaja ... 25

E. Hipotesis Penelitian ... 29

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 30

A. Jenis Penelitian ... 30

B. Subjek Penelitian ... 30

C. Identifikasi Variabel ... 30

D. Definisi Operasional ... 31

1. Urutan Kelahiran ... 31

2. Bullying ... 31

(16)

F. Alat Pengumpulan Data ... 34

G. Uji Validitas, Reliabilitas dan Seleksi Aitem ... 35

H. Teknik Analisis Data ... 36

BAB IV. PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Persiapan Penelitian ... 37

1. Uji coba skala bullying ... 37

2. Hasil uji coba skala bullying ... 37

3. Uji reliabilitas ... 38

B. Pelaksanaan Penelitian ... 39

C. Hasil Penelitian ... 39

1. Deskripsi data penelitian ... 39

2. Uji asumsi ... 41

3. Uji hipotesis ... 42

D. Pembahasan ... 43

BAB V. PENUTUP ... 49

A. Kesimpulan ... 49

B. Saran ... 49

C. Keterbatasan Penelitian ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Ciri Kepribadian Menurut Urutan Kelahiran 22

Tabel 2 : Spesifikasi Skala Kecenderungan Bullying Sebelum Ujicoba 34

Tabel 3 : Subjek Try Out 37

Tabel 4 : Spesifikasi Skala Bullying setelah uji coba 38 Tabel 5 : Spesifikasi Skala Bullyinguntuk penelitian 38

Tabel 6 : Subjek Penelitian 39 Tabel 7 : Hasil Penelitian 39

Tabel 8 : Kriteria Kategori Bullying 41

Tabel 9 : Hasil pengujian Uji Homogenitas 42

Tabel 10 : Hasil penghitungan one way anova 42

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A : Skala Bullying

Lampiran B : Skor Penelitian Bullying Lampiran C : Reliabilitas Skala Bullying Lampiran D : Hasil analisis uji normalitas Hasil analisis uji homogenitas

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keluarga merupakan tempat bagi anak untuk mempelajari nilai-nilai moral

sejak usia dini. Hubungan yang kurang dekat dengan orangtua membuat anak kurang

mengalami proses belajar tentang perbedaan perilaku yang dapat diterima dan yang

tidak dapat diterima oleh lingkungan. Setelah anak menginjak usia remaja seringkali

mereka tidak memiliki kontrol diri dan mengabaikan norma-norma yang berlaku di

masyarakat (Kartono, 1998), sehingga timbullah bentuk pelanggaran yang dilakukan

remaja.

Selain keluarga, sekolah juga memiliki peranan yang penting dalam proses

sosialisasi anak. Sekolah dituntut untuk menciptakan suasana yang nyaman untuk

proses pembelajaran dan perkembangan anak. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa di

sekolah pun juga terjadi masalah. Bullying adalah salah satu diantara masalah yang ada

dan umumnya bersifat tersembunyi (Neser, Ovens, Merwe dan Morodi, 2002).

Remaja mulai melepaskan ketergantungan dengan orang tua dan mulai

mengembangkan kemandirian. Di lain pihak, remaja juga mulai menjalin kedekatan

dengan teman sebaya di luar lingkungan keluarga. Teman sebaya dijadikan pedoman

dan tolak ukur dalam berperilaku (Diener dan Larson, dalam Hoffman, Paris dan Hall,

1994).

Dalam siklus hidup manusia setiap orang mengalami beberapa tahap

(20)

tersebut, masa remaja merupakan masa yang penting karena banyak tugas

perkembangan yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Remaja berusaha mencari

identitas diri dan menemukan jati dirinya. Remaja mulai mencari otonomi diri,

kebebasan dan mengurangi kelekatan dengan orangtua. Selain itu, masa remaja

merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi.

Perkembangan emosi remaja menunjukkan sifat yang sensitif, reaktif dan

temperamental.

Dalam pencarian identitas diri, remaja melakukan serangkaian upaya dan

tindakan untuk menunjukkan jati dirinya. Dalam pencarian jati diri tidak sepenuhnya

remaja melakukan dengan cara dan tujuan yang positif. Tidak sedikit remaja yang

salah dan gagal dalam membentuk jati diri. Begitu pula ketika remaja harus

bersosialisasi dengan orang lain, sering pula remaja mengambil tindakan yang salah

dan tidak sesuai dengan aturan yang ada, salah satunya adalah dengan melakukan

bullying.

Menurut Indarini (2007) bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan

untuk menyakiti seseorang atau sebuah kelompok, sehingga korban merasa tertekan,

trauma, dan tidak berdaya. Peristiwa bullying sangat mungkin terjadi berulang.

Bullying terbagi menjadi tiga. Pertama: fisik, seperti memukul, menampar, dan

memalak atau meminta dengan paksa apa yang bukan miliknya. Kedua: verbal, seperti

memaki, menggosip, dan mengejek. Ketiga: psikologis, seperti mengintimidasi,

mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasikan.

Di Indonesia, sejak lima tahun terakhir gejala bullying di sekolah mulai

(21)

Dalam bahasa pergaulan sering disebut dengan istilah “gencet-gencetan” atau juga

senioritas. Selain itu ada bentuk bullying lainnya misalnya siswa yang dikucilkan,

difitnah, dipalak dan lainnya.

Dalam sebuah penelitian disebutkan juga bahwa korban mempunyai persepsi

jika pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena ia dulu

diperlakukan sama, ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak

berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapat kekuasaan dan iri hati

(Riauskina, Djuwita dan Soesetio, 2005). Menurut Purnama (2007) alasan yang paling

utama adalah bahwa pelaku merasa puas apabila ia berkuasa di antara

teman-temannya. Selain itu dengan melakukan bullying, ia akan dapat memperoleh sanjungan

teman-temannya karena dianggap punya selera humor yang tinggi, keren, serta

populer. Pelaku bullying kemungkinan sekedar mengulangi apa yang pernah dilihat

atau dialaminya sendiri. Selain itu, juga kerena ia pernah ditindas oleh sesama siswa di

masa lalunya.

Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi (dalam Aulia,

2007) mengatakan selama Januari-April 2007 terdapat 417 kasus kekerasan terhadap

anak. Rinciannya adalah kekerasan fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan

kekerasan psikis 210 kasus. Umumnya dari sekian kasus tersebut 226 terjadi di

sekolah.

Kasus bullying salah satunya menimpa Fifi yang duduk di kelas 2 SMP. Fifi

rela mengakhiri hidupnya dengan melilitkan kabel televisi ke lehernya lalu

menggantungkan diri karena teman-teman yang mengejeknya dengan sebutan anak

(22)

fisik melainkan kekerasan terhadap mental yang jarang disadari oleh banyak orang.

Kasus serupa menimpa Hendra Saputra, seorang taruna Akademi Kepolisian

Semarang. Dia harus kehilangan cita-citanya akibat kekerasan fisik yang dialaminya.

Sejumlah senior di akademi itu melakukan kekerasan di luar batas kewajaran dan

akhirnya membuat Hendra harus dirawat selama hampir empat bulan di rumah sakit

(Samhadi, 2007). Muhamad Fadhil Harkaputra Sirath siswa SMU 34 yang masih

duduk di kelas 1 mengalami penganiayaan oleh kakak kelasnya (Sujadi, 2007).

Dari ketiga kasus di atas, peneliti bermaksud mengemukakan bahwa kasus

bullying terjadi di usia remaja, mulai dari usia remaja awal hingga remaja akhir. Hal

ini seturut dengan pernyataan Milsom dan Gallo (2006) yang menyatakan bahwa

perilaku bullying semakin memuncak ketika seseorang berada di akhir masa

kanak-kanak atau di awal masa dewasa.

Menurut Haryana (2007), bullying yang ada di Indonesia dianggap wajar oleh

sebagian orang. Sedikit sekali pihak yang menyadari dampak panjang yang

ditimbulkan baik bagi para korban ataupun pelaku. Akibatnya bullying terus terjadi

dan menimbulkan korban jiwa berkepanjangan.

Berdasarkan penelitian Nansel pada tahun 2001 (dalam Milsom dan Gallo,

2006) disebutkan bahwa laki-laki lebih sering menjadi pelaku ataupun korban bullying.

Hal ini didukung oleh Seals dan Young pada tahun 2003 (dalam Milsom dan Gallo,

2006) dimana laki-laki secara signifikan lebih sering menjadi pelaku ataupun korban

(23)

Haryana (2007) menyebutkan bahwa bullying terjadi di kota ataupun di

pedesaan dengan perbedaan geografis yang ada. Remaja dan anak-anak umumnya

melakukan bullying dalam bentuk fisik, verbal ataupun dalam bentuk pemisahan

sosial. Berdasarkan survey yang ada disebutkan jika bullying lebih sering terjadi di

lingkungan sekolah.

Greene (2006) menyatakan bahwa bullying adalah salah satu bentuk agresi

yang nyata di sekolah dan mendapatkan banyak perhatian di dunia internasional. Hal

ini menjadikan kasus bullying di sekolah menarik dan perlu untuk diteliti lebih jauh

lagi, terutama berkaitan dengan siapakah yang umumnya menjadi pelaku bullying.

Pelaku bullying umumnya memiliki karakter seperti dominan, berkuasa, disegani oleh

orang lain, berjiwa pemimpin (Yayasan Sejiwa, 2008). Karakter tersebut hampir

serupa dengan karakter yang ada pada anak sulung jika dihubungkan dengan urutan

kelahiran anak dalam keluarga. Selain anak sulung, terdapat juga urutan kelahiran lain

yaitu anak tengah dan anak bungsu yang juga memiliki karakter berlainan satu sama

lain.

Noviasari (2002) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada perbedaan yang

sangat signifikan antara anak sulung, tengah dan anak bungsu dilihat dari kematangan

emosionalnya. Hal ini didukung oleh Maslichah (2002) yang dalam penelitiannya

berpendapat bahwa perlakuan orangtua yang berbeda terhadap anak akan berakibat

panjang terhadap perkembangan kepribadian dan perkembangan kreativitasnya,

sehingga terdapat perbedaan yang sangat signifikan jika ditinjau dari urutan kelahiran

anak dalam suatu keluarga. Hal tersebut semakin memperjelas bahwa urutan kelahiran

(24)

remaja. Dalam bersosialisasi dengan teman sebayanya, mungkin sekali remaja

melakukan bullying.

Eckstein pada tahun 2000 (dalam Schiller, 2007) melakukan survey terhadap

151 penelitian, dimana hasilnya ditemukan secara statistik bahwa ada hubungan yang

signifikan antara urutan kelahiran dan kepribadian. Hal ini semakin memperkuat

bahwa kepribadian seseorang terkait dengan urutan kelahirannya.

Perlakuan dan pengasuhan dari orangtua menjadikan masing-masing posisi

anak memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Anak sulung adalah anak yang

diharapkan dan diberi limpahan kasih sayang. Biasanya kerap terbebani dengan

keinginan orangtua, sehingga akan memunculkan karakter sebagai anak yang percaya

diri, bertanggungjawab, suka menjadi pusat perhatian, kompetitif, otoriter, egois,

emosional, perfeksionis, berjiwa pemimpin dan superior (Sulloway, 2007).

Anak tengah adalah anak yang lahir ketika orangtuanya telah siap menjadi

orangtua. Orang tua sudah tidak sekhawatir ketika melahirkan anak sulung. Ketika

anak bungsu lahir, anak tengah harus melepaskan sebagian perhatian orangtuanya.

Karakter dari anak tengah umumnya lebih sering menjaga kedamaian dalam keluarga,

mandiri, mediator penghubung dalam keluarga, berjiwa seni, tidak rapi, kurang tegas,

kurang terbuka karena tidak memiliki kelekatan seperti anak sulung ataupun anak

bungsu.

Anak bungsu seringkali lahir di luar perencanaan. Anak bungsu seringkali

diperlakukan dengan manja oleh orangtuanya karena merupakan anak terkecil.

Gunarsa (2000) menyebutkan bahwa anak bungsu menjadi pusat perhatian dari

(25)

Herera dan Zonjanc (dalam Schiller, 2007) mengungkapkan bahwa anak bungsu

adalah anak yang kreatif, emosional dan terbuka. Akan tetapi di sisi lain anak bungsu

kurang patuh dan tidak bertanggungjawab.

Bertolak dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian

guna membuktikan apakah perlakuan dan kebiasaan-kebiasaan yang diterima oleh

anak sulung, tengah dan bungsu dari orangtua dan lingkungannya sejak masa

kanak-kanak akan mempengaruhi kecenderungan remaja dalam melakukan bullying. Apakah

urutan kelahiran tertentu akan menunjukkan kecenderungan bullying yang lebih tinggi

atau lebih rendah.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan kecenderungan melakukan bullying pada remaja putra

berdasarkan urutan kelahirannya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji perbedaan kecenderungan bullying

pada remaja putra berdasarkan urutan kelahiran.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai perilaku

bullying yang masih dianggap biasa oleh sebagian orang di Indonesia dan bagi

(26)

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini dapat mengetahui perbedaan kecenderungan bullying pada remaja

putra dilihat dari urutan kelahirannya.

b. Dengan penelitian ini para pendidik atau guru dapat memantau peserta didiknya

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Bullying

1. Pengertian Bullying

Menurut Indarini (2007) bullying adalah penggunaan kekuasaan atau

kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang, sehingga korban

merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Peristiwanya sangat mungkin terjadi

berulang.

Pengertian bullying lainnya yang sedikit berbeda dengan pendapat di atas

adalah penyerangan dengan sengaja yang tujuannya melukai korban secara fisik

atau psikologis, atau keduanya. Para pelaku umumnya bertindak sendirian atau

dalam kelompok kecil (Lipkins, 2008).

Pengertian di atas didukung oleh Papalia et al. (2004) yang menyatakan

bahwa bullying adalah perilaku agresif yang disengaja dan berulang untuk

menyerang target atau korban, yang secara khusus adalah seseorang yang lemah,

mudah diejek dan tidak bisa membela diri.

Neser et al. (2002) memberikan definisi yang hampir sama dimana bullying

adalah perilaku yang disengaja, perilaku menyakiti yang berulang, berupa kata-kata

atau perilaku lainnya, seperti mengejek memberi julukan mengancam dan lainnya.

Olweus et al. (dalam Greene, 2006) menyebutkan definisi yang lebih

lengkap tentang bullying. Bullying adalah salah satu bentuk agresi yang ditujukan

(28)

adanya perbedaan kekuasaan antara pelaku dengan korban. Perilaku bisa dikatakan

bullying bila hal itu terjadi secara berulang. Perilaku bullying muncul bukanlah

karena hasil provokasi melainkan muncul dari keinginan pelakunya.

Riauskina et al. (2005) memberikan pengertian yang lebih spesifik

mengenai bullying di sekolah dimana mereka menyebutkan bahwa school bullying

adalah perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekompok

siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa atau siswi lain yang lebih lemah

dengan tujuan menyakiti orang tersebut.

Definisi bullying menurut peneliti sendiri adalah penggunaan kekuasaan,

kekuatan dengan sengaja secara berulang untuk menyakiti, menyerang seseorang

atau sekelompok orang yang lemah dan tidak dapat membela diri, sehingga korban

merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya.

2. Kategori Perilaku Bullying

Bullying terbagi menjadi tiga bagian, pertama: fisik, seperti memukul,

menampar, dan memalak atau meminta dengan paksa apa yang bukan miliknya.

Kedua: verbal, seperti memaki, menggosip, dan mengejek. Ketiga: psikologis,

seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasikan

(Indarini, 2007).

Riauskina et al. (2005) mengatakan bahwa perilaku bullying terdiri dari

(29)

a. Kontak fisik langsung meliputi: memukul, mendorong, menggigit, menjambak,

menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga

termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain.

b. Kontak verbal langsung meliputi: mengancam, mempermalukan, merendahkan,

mengganggu, memberi panggilan nama, sarkasme, mencela/mengejek,

mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip.

c. Perilaku non-verbal langsung meliputi: melihat dengan sinis, menjulurkan

lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau

mengancam, biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal.

d. Perilaku non-verbal tidak langsung meliputi: mendiamkan seseorang,

memanipulasi persahabatan sehingga retak, sengaja mengucilkan atau

mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.

e. Pelecehan seksual meliputi: kadang dikategorikan perilaku agresif fisik atau

verbal.

Yayasan Sejiwa (2008) menyebutkan bahwa praktik bullying dapat

dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu:

a. Bullying fisik: ini adalah jenis bullying yang kasat mata dan dapat dilihat oleh

siapa pun karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dengan

korbannya. Contoh bullying fisik antara lain: menampar, menimpuk, menginjak

kaki dan lain-lain.

b. Bullying verbal: jenis bullying ini bisa terdeteksi karena bisa tertangkap oleh

indra pendengaran kita. Contohnya: memaki, menghina, menebar gosip dan

(30)

c. Bullying mental/ psikologis: ini adalah jenis bullying yang paling berbahaya

karena tidak tertangkap mata atau telinga jika tidak dideteksi secara cermat.

Contohnya: memandang sinis, mendiamkan, mengucilkan, memelototi dan

lain-lain.

3. Aspek-Aspek Bullying

Bullying memiliki tiga aspek yang terkait satu sama lain (Sulhin, 2008 &

Aulia, 2008) yaitu:

a. Perbedaan kekuasaan

Pelaku bullying memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan korban bullying. Perbedaan kekuasaan ini dikarenakan oleh pelaku yang

dominan dan umumnya mengajak temannya untuk melakukan bullying.

Sedangkan di pihak korban, dia tidak memiliki teman sehigga timbulah

tindakan pengeroyokan.

b. Perilaku menyakiti yang dilakukan berulang-ulang.

Bullying dilakukan dengan dalih humor. Pelaku sering tidak menyadari

bahwa humor yang dilontarkan atau perilakunya merupakan hal yang tidak

disukai oleh korbannya bahkan menyakitkan. Karena ketidaksadaran ini

menjadikan perilaku tersebut diulang-ulang.

c. Dilakukan dengan sengaja

Pelaku dengan sengaja menyakiti orang lain karena mereka pernah

(31)

juga karena pelaku merasa marah sebab korban berperilaku tidak sesuai dengan

yang diharapkan

4. Faktor Penyebab Bullying

Pelaku bullying (Purnama, 2007) kemungkinan sekedar mengulangi apa

yang pernah dilihat atau dialaminya sendiri. Ia menganiaya orang lain karena

mungkin ia sendiri dianiaya oleh orang tuanya di rumah. Selain itu dapat juga

karena ia pernah ditindas oleh sesama siswa di masa lalunya. Dari sinilah siklus

kekerasan akan terus berlanjut, turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya.

Pelaku bullying tidak menyadari bahwa ia telah menjadi seorang pelaku serta tidak

mengetahui dampak-dampak buruk yang bisa disebabkan oleh perilaku tersebut.

Riauskina (2005) dan Yayasan Sejiwa (2008) menjelaskan bahwa korban

memiliki persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena:

a. Diawali dengan adanya tradisi inisiasi (hazing) yang akhirnya menurun dari

generasi ke generasi selanjutnya

b. Balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki)

c. Ingin menunjukkan kekuasaan

d. Ingin diakui

e. Ingin menunjukkan eksistensi

f. Senioritas

g. Marah karena korban tidak berlaku sesuai dengan yang diharapkan

h. Menutupi kekurangan diri

(32)

j. Ikut-ikutan

k. Mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan).

l. Iri hati ( menurut korban perempuan)

5. Pelaku Bullying

Menurut Milsom dan Gallo (2006) perilaku bullying semakin memuncak

ketika seseorang berada di akhir masa kanak-kanak atau di awal masa dewasa.

Sesuai dengan pendapat Olweus (dalam Banks, 1997) bahwa perilaku bullying

paling banyak terjadi di usia remaja.

Berdasarkan penelitian Nansel pada tahun 2001 (dalam Milsom dan Gallo,

2006) disebutkan bahwa laki-laki lebih sering menjadi pelaku ataupun korban

bullying. Hal ini didukung oleh Seals dan Young pada tahun 2003 (dalam Milsom

dan Gallo, 2006) dimana laki-laki secara signifikan lebih sering menjadi pelaku

ataupun korban bullying. Selain itu, remaja putra umumnya melakukan bullying

yang secara langsung atau kelihatan sehingga lebih mudah untuk diteliti (Batsche

& Knoff, 1994; Nolin & Davies, 1995 dalam Banks, 1997).

6. Dampak Perilaku Bullying

Seorang yang menjadi korban bullying akan menjadi anak yang gelisah,

kurang popular serta kurang aman dan nyaman. Korban merasakan banyak emosi

negatif seperti marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, terancam, namun

tidak berdaya menghadapi. Dalam jangka panjang emosi-emosi ini memicu pada

(33)

putus asa dan lebih banyak mengurung diri. Dampak lain yang kurang terlihat

namun berefek jangka panjang adalah menurunnya kesejahteraan psikologis

(psychological well-being) dan penyesuaian sosial yang buruk. Sedangkan dampak

psikologis yang paling ekstrim adalah kemungkinan gangguan psikologis seperti

depresi, ingin bunuh iri, dan gejala stres (Riauskina, 2005 & Hafidzi, 2008).

Menurut Riauskina (2005), dampak dari perilaku bullying yang jelas

terlihat adalah kesehatan fisik. Beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan

bullying adalah sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan

sakit dada. Bahkan dalam kasus ekstrim dampak fisik bisa mengakibatkan

kematian.

Para korban juga memiliki kelemahan dalam pergaulan, tidak mendapatkan

dukungan dari guru ataupun teman sebayanya. Mereka ingin pindah sekolah atau

keluar dari sekolahnya. Sekalipun mereka masih berada di sekolah itu, prestasi

akademik mereka akan terganggu atau menjadi sengaja sering tidak masuk sekolah

(Riauskina , 2005 & Hafidzi, 2008).

B. Urutan Kelahiran

1. Asumsi bahwa Urutan Kelahiran mempengaruhi Kepribadian

Menurut Hadibroto dkk. (2002), konsep urutan kelahiran atau birth order

bukan didasarkan semata-mata oleh nomer urutan kelahiran menurut diagram

keluarga, melainkan yang lebih tepat adalah berdasarkan persepsi psikologis yang

terbentuk dari pengalaman seseorang di masa kecilnya, terutama sejak ia berusia

(34)

Adkins (2003) memberikan definisi lain mengenai urutan kelahiran. Dia

berpendapat bahwa urutan kelahiran didefinisikan sebagai urutan posisi seseorang

dari beberapa saudara mereka dalam hal rangkaian kelahiran.

Allport (dalam Syed, 2004) menyebutkan bahwa apa yang individu pelajari

tentang diri mereka dalam keluarga mencerminkan bagaimana mereka memahami

diri mereka sendiri dalam lingkungan. Cara individu berinteraksi dengan

lingkungan mencerminkan keunikan pribadi mereka, yang juga disebut sebagai

kepribadian mereka. Syed (2004) juga menyatakan bahwa pengalaman pertama

dalam keluarga memainkan peran yang penting dalam perkembangan kepribadian.

Pernyataan tersebut juga didukung oleh Frank (1996) yang berpendapat bahwa

urutan kelahiran anak dalam sebuah keluarga akan mempengaruhi bagaimana

orang tua merawat dan mengasuh mereka. Pengasuhan dan perawatan ini nantinya

akan menimbulkan perbedaan kepribadian.

Eckstein (2000) juga mendukung bahwa urutan kelahiran mempengaruhi

kepribadian individu, dimana ada 151 penelitian yang secara statistik menyatakan

ada hubungan yang signifikan antara urutan kelahiran dan kepribadian. Penelitian

ini semakin memperkuat bahwa urutan kelahiran berpengaruh terhadap

kepribadian seseorang.

Santrock (1995) menyatakan bahwa perbedaan dalam urutan kelahiran

disebabkan oleh adanya variasi dalam interaksi dengan orangtua dan saudara

kandung. Hal ini diasosiasikan dengan pengalaman unik pada suatu posisi tertentu

(35)

Sulloway (dalam Angela Haris, 2007) meyakini bahwa urutan kelahiran

memainkan peranan penting dalam pembentukan kepribadian seseorang, dimana

urutan kelahiran mempengaruhi lima sifat kepribadian yang utama yaitu

kecemasan, keterbukaan, sikap berterus terang, keramah-tamahan dan sikap

berhati-hati.

Pada relasi saudara kandung juga ditemui sesuatu yang unik. Agresi dan

dominansi terjadi lebih besar dalam relasi-relasi saudara kandung yang jenis

kelaminnya sama dibandingkan dengan relasi saudara kandung yang jenis

kelaminnya berbeda (Santrock, 1995). Selain itu Santrock (1995) juga menyatakan

bahwa perlakuan yang berbeda oleh orangtua kepada anak-anak, berpengaruh

terhadap bagaimana saudara kandung tersebut cocok satu sama lain. Anak-anak

yang diperlakukan relatif sama oleh orang tua cenderung cocok satu sama lain

begitu pula sebaliknya.

Menurut Saroglou dan Fiasse (2003), umumnya penelitian mengenai urutan

kelahiran hanya membandingkan antara anak sulung dengan anak bungsu,

sedangkan anak tengah jarang diikutkan dalam penelitian. Selain itu, disebutkan

bahwa jumlah saudara memang perlu dikontrol dalam penelitian mengenai urutan

kelahiran.

2. Anak Sulung

Anak sulung (Hadibroto, 2002) adalah anak tunggal hingga tiba saat

(36)

sulung memiliki perasaan mendalam untuk menjadi superior atau kuat, kecemasan

tinggi dan terlalu dilindungi.

Anak sulung mulai menyadari bahwa ia tidak disayangi lagi semenjak

memiliki adik. Ia mencoba mengkompensasikan kehilangan tersebut dengan

mencari kasih sayang pengganti dalam bentuk-bentuk lain, misalnya perasaan

dihormati, dikagumi dan disetujui. Ia bertindak hati-hati untuk tidak menyinggung

perasaan orang di sekelilingnya agar tidak sampai kehilangan lagi kasih sayang

orangtuanya.

Orangtua memberi tanggungjawab kepada anak sulung untuk menjaga

adiknya. Anak sulung belajar bertanggung jawab dan mandiri melalui kegiatan

sehari-hari. Mereka memiliki karakter kerap terbebani dengan harapan atau

keinginan orangtua dan didorong untuk mencapai standar pendidikan ataupun

pekerjaan yang tinggi sebagai representasi orangtua. Salah satunya dengan

perlakuan orangtua yang cenderung lebih memperhatikan pendidikan anak sulung,

dimana biasanya mereka adalah seorang high achiever. Hal ini menjadikan anak

sulung cenderung tertekan.

Di lain sisi anak sulung senang menjadi pusat perhatian, dan dengan

perhatian tersebut perkembangan kepribadiannya menjadi lebih baik. Anak sulung

secara umum dapat diandalkan, cenderung terikat pada aturan-aturan, dominan,

kompeten, konservatif, otoriter, mempunyai pemikiran yang tajam dan lebih

sensitif (Alwisol, 2004 & Roslina, 2006). Selain itu Santrock (1995) menambahkan

bahwa anak yang lahir duluan lebih berorientasi dewasa, suka menolong, dapat

(37)

3. Anak Tengah

Anak tengah yaitu anak kedua, anak ketiga dan seterusnya yang masih

mempunyai adik. Anak tengah merasa dirinya serba kekurangan dalam segi

kemampuan mengerjakan sesuatu dibandingkan kakaknya. Untuk itu dia berusaha

menunjukkan prestasi yang lebih baik untuk menarik perhatian orangtuanya.

Situasi yang terabaikan menjadikan anak tengah cenderung mempunyai motivasi

tinggi, bisa dalam hal prestasi maupun sosialisasi.

Anak tengah cenderung lebih mandiri dan lebih bebas dari harapan orangtua

sehingga dapat membentuk karakternya sendiri. Ia lebih pandai melihat situasi dan

aturan yang diterapkan kepadanya lebih longgar sehingga diperbolehkan

melakukan hal-hal tertentu dengan sedikit batasan. Anak tengah suka berteman

dan hidup berkelompok sehingga lebih bebas mengekspresikan kepribadiannya

yang unik dan menjadi lebih ekspresif. Dia memiliki bakat seni sehingga dalam

berpakaian kadang tidak rapi.

Pada tahap tertentu, kepribadian anak tengah dibentuk melalui

pengamatannya terhadap sikap kakaknya. Jika sikap kakaknya penuh kemarahan

dan kebencian, anak tengah mungkin menjadi sangat kompetitif, atau menjadi

penakut dan sangat kecil hati. (Hadibroto dkk., 2002; Alwisol, 2004 & Roslina

(38)

4. Anak Bungsu

Anak bungsu yaitu anak kedua, anak ketiga dan seterusnya yang tidak

punya adik lagi (Alam, 2002). Anak bungsu tumbuh menjadi sosok yang merasa

serba tidak mampu dalam mengerjakan sesuatu dengan baik. Mereka tergolong

anak yang sulit karena mempunyai kakak yang dijadikan model sehingga kerap

merasa inferior (rendah diri) dan merasa tidak sehebat kakak-kakaknya. Dengan

demikian, anak bungsu berupaya membentengi dirinya dengan mengabaikan sikap

kakaknya.

Dalam pengasuhan anak bungsu kerap dibantu orang sekitar, sehingga tidak

terlalu sadar dengan potensi dirinya. Anak bungsu cenderung dimanjakan dan

mendapat kasih sayang banyak sehingga cenderung tidak dewasa. Mereka hanya

diberi sedikit tanggung jawab dan tugas dalam keluarga. Anak bungsu umumnya

lebih spontan dan mempunyai jiwa yang lebih bebas dan empatik (Alwisol, 2004 ;

Roslina, 2006 & Eckstein 2000).

Alfred Adler dalam penelitiannya pada tahun 1920 (dalam Sulloway, 2008)

mendalilkan pengaruh urutan anak terhadap kepribadiannya. Ia mengamati, anak-anak

sesuai urutan kelahirannya dalam keluarga memegang posisi kekuasaan yang berbeda.

Pencarian identitas dan perhatian dipengaruhi oleh posisi urutannya. Perbedaan

lingkungan yang hadir pada anak pertama, tengah, dan bungsu juga bisa membawa

mereka pada kepribadian yang berbeda. Dalam dalilnya disebutkan bahwa dalam

pandangan Adler semua anak berusaha menjadi superior dan berjuang demi mendapat

(39)

menarik perhatian. Kondisi ini membentuk kepribadian mereka berbeda dan

mencerminkan usaha mencari perhatian.

Menurut peneliti, anak sulung adalah anak yang superior dan dominan dalam

keluarga. Anak sulung ingin menjadi pemimpin bagi adik-adiknya dan menjadi

panutan. Kecenderungan ini terkait dengan karakternya yang otoriter. Anak tengah

adalah anak yang kurang mendapat kasih sayang seperti anak sulung ataupun anak

bungsu. Situasi ini menjadikannya lebih mandiri, lebih bebas dan kreatif. Sebagai

kompensasinya anak tengah menjadi lebih suka bergaul dengan teman seusianya. Anak

bungsu adalah anak yang mendapat kasih sayang dari berbagai pihak. Kadangkala

menjadikan anak bungsu terlihat manja. Hal ini menjadikan anak bungsu kurang

mandiri, kurang dewasa dan sedikit mendapat tanggungjawab dari orang yang lebih

tua.

Untuk memperjelas pemahaman mengenai karakteristik anak sulung, anak

tengah dan anak bungsu kita dapat menyimak pada tabel ciri kepribadian berdasarkan

(40)

Tabel 1. Ciri Kepribadian Menurut Urutan Kelahiran

Anak Sulung Anak Tengah Anak Bungsu

Situasi Dasar

Menerima perhatian

tidak terpecah dari orang

tua

Turun tahta akibat

kelahiran adik dan harus

berbagi perhatian

pada aturan dan hukum

(41)

C. Remaja

Utamadi (2007) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa "belajar"

untuk tumbuh dan berkembang dari anak menjadi dewasa. Masa belajar ini disertai

dengan tugas perkembangan. Istilah tugas perkembangan digunakan untuk

menggambarkan harapan masyarakat terhadap suatu individu untuk melaksanakan

tugas tertentu pada masa usia tertentu sehingga individu itu dapat menyesuaikan diri

dengan masyarakat.

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa

yang berjalan antara umur dua belas sampai dua puluh satu tahun (Lumansupra, 2008).

Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan fisik yang begitu pesat. Remaja

mengalami pubertas yang berarti suatu periode di mana kematangan, kerangka dan

seksual terjadi secara pesat (Santrock, 1995).

Secara kognitif, remaja mulai mengembangkan pemikiran operasional formal,

dimana pemikiran mereka menjadi lebih abstrak atau tidak terbatas pada pengalaman

konkret aktual sebagai dasar pemikirannya. Remaja sering berpikir tentang ciri-ciri

ideal diri mereka sendiri, orang lain dan dunia (Santrock, 1995). Hal ini didukung oleh

pendapat Yudhi (2008) yang menyebutkan bahwa remaja dengan citra dirinya mulai

menilai diri sendiri dan menilai lingkungannya terutama lingkungan sosial mereka.

Remaja menyadari adanya sifat-sifat sikap sendiri yang baik dan yang buruk. Mereka

belajar perilaku manakah yang sesuai dengan standar agama dan lingkungan sosial.

Hal ini juga didukung oleh Dariyo (2004) yang mengatakan bahwa remaja mulai

memperhatikan sifat baik yang disenangi dan diharapkan orang lain. Mereka ingin

(42)

akan melakukan tindakan-tindakan yang menyenangkan orang lain. Tujuannya agar

dirinya mudah diterima dalam lingkungan sosialnya. Remaja harus patuh terhadap

aturan yang berlaku di masyarakat dan mulai memegang prinsip-prinsip kebenaran.

Remaja juga mengalami perubahan berkaitan dengan kognisi sosial mereka.

David Elkind (dalam Santrock, 1995) yakin bahwa egosentrisme remaja memiliki dua

bagian: penonton khayalan dan dongeng pribadi. Penonton khayalan ialah keyakinan

remaja bahwa orang lain memperhatikan dirinya sebagaimana halnya dengan dirinya

sendiri. Perilaku ini misalnya akan mengundang perhatian yang umum terjadi pada

remaja. Selain itu ada juga keinginan untuk tampil di depan umum, diperhatikan dan

dilihat.

Dari segi sosio emosional, menurut Havighurst (dalam Dariyo, 2004) remaja

mulai menuntut akan otonomi, tanggungjawab dan kebebasan emosional yang semakin

besar dari orangtua mereka. Remaja lebih suka menghabiskan waktu untuk bergaul

bersama dengan teman sebaya. Hal ini kadang diikuti dengan perilaku melawan

keinginan orangtua. Selain itu masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu

perkembangan emosi yang tinggi. Perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang

sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atas situasi sosial,

emosinya negatif dan temperamental. Dalam menghadapi ketidaknyamanan emosional

remaja awal akan bereaksi secara defensif dan berusaha melindungi kelemahan.

Akhirnya sikap agresiflah yang muncul. Sedangkan di pihak orangtua, mereka juga

melakukan pengendalian yang semakin erat. Kedua hal tersebut dapat memicu

(43)

menjadi lebih percaya pada teman-teman yang senasib dengannya (Lumansupra, 2008

& Santrock, 1995).

Menurut Erikson (dalam Rice, 1996), salah satu tugas perkembangan yang

utama pada masa remaja adalah pembentukan identitas diri yang koheren. Tugas

pembentukan identitas digambarkan Erikson sebagai kemampuan pembuatan

keputusan dengan mengeksplorasi alternatif dan komitmen berdasarkan peran tertentu.

Remaja tertarik untuk mengetahui siapa dirinya, bagaimana dirinya dan kemana

mereka akan menuju ke masa depannya. Remaja yang berhasil mengatasi identitas

yang saling bertentangan pada masa ini akan memunculkan suatu kepribadian yang

menarik dan dapat diterima. Sedangkan remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis

identitas, menjadi bingung dan menderita, sehingga perilaku mereka akan cenderung

menarik diri atau kehilangan identitas mereka dalam kelompok (Santrock, 1995).

Menurut Erikson (Santrock, 1995) kenakalan remaja terjadi karena anak remaja

gagal mengalami identitas diri. Tidak jarang pula mereka berperilaku menyimpang

seperti membolos, melalaikan tugas dan mogok belajar. Selain itu, juga mengalami

hambatan dalam proses sosialisasi di sekolah, bahkan tindakan agresif terkadang

muncul dalam pergaulan.

D. Hubungan antara Bullying dengan Urutan Kelahiran pada Remaja

Remaja adalah sebuah tahap perkembangan dengan berbagai tugas yang

menyertainya. Dari segi sosio emosional kondisi emosi anak remaja menuntut

otonomi, tanggungjawab dan kebebasan emosional yang lebih besar. Selain itu masa

(44)

Perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat

terhadap berbagai peristiwa atas situasi sosial, emosinya negatif dan temperamental.

Dalam menghadapi ketidaknyamanan emosional, remaja awal akan bereaksi secara

defensif dan berusaha melindungi kelemahan. Akhirnya sikap agresiflah yang sering

muncul. Sedangkan di pihak orangtua, pengontrolan terhadap remaja menjadi semakin

ketat. Kedua hal yang bertolak belakang ini akhirnya menimbulkan konflik dan remaja

memutuskan untuk bergabung dengan teman-teman sebayanya.

Dilihat dari segi kognitifnya anak remaja mulai berpikir operasional formal dan

sudah bisa berpikir abstrak. Pemikiran mereka idealis dan menerapkan standar-standar

kehidupan yang tinggi. Hal ini bisa memicu adanya ketidakpuasan apabila realita yang

mereka jumpai tidak seperti yang ada dengan pemikiran mereka yang idealistis.

Remaja juga harus menyelesaikan tugas perkembangannya mencari identitas diri.

Dalam tugas ini, remaja mencari kemampuannya dan kekurangannya. Mereka

mengeksplorasi diri, mencari tahu siapa dan bagaimana dirinya. Selain itu, remaja

merasa ingin diperhatikan dan tampil di depan umum. Mereka merasa diperhatikan

oleh orang lain.

Di lain sisi setiap remaja dengan keluarga yang berbeda dan pengasuhan yang

berbeda membawa mereka kepada perbedaan karakter. Hal ini terkait dengan posisi

urutan kelahiran dimana orang tua memberi perlakuan yang berbeda kepada setiap

posisi sehingga karakter yang dihasilkan pun berbeda. Anak sulung memiliki karakter

yang superior dan dominan dalam keluarga. Mereka ingin menjadi pemimpin bagi

adik-adiknya dan menjadi panutan. Kecenderungan ini terkait dengan karakternya

(45)

lebih suka bergaul dengan teman seusianya. Anak bungsu memiliki karakter sebagai

anak yang manja. Hal ini menjadikan anak bungsu kurang mandiri, kurang dewasa dan

sedikit mendapat tanggungjawab dari orang yang lebih tua.

Remaja akhirnya memiliki karakter yang berlainan sebagai hasil dari

penyelesaian tugas perkembangan yang ada. Di lain sisi, remaja yang memiliki posisi

urutan kelahiran yang juga berbeda-beda baik sebagai anak sulung, tengah ataupun

bungsu memiliki karakter yang berlainan. Dengan karakter-karakter yang berlainan itu

tentunya akan membawa ke sebuah kecenderungan perilaku salah satunya

kecenderungan bullying. Bullying adalah perilaku menyakiti yang dilakukan dengan

sengaja dan berulang. Perilaku ini muncul karena ada perbedaan kekuasaan antara

pelaku dengan korbannya. Pelaku bullying secara umum memiliki karakter seperti

otoriter, suka memerintah, dominan, menjadi penentu keputusan dan memiliki

kekuasaan. Karakter ini hampir serupa dengan karakter yang ada pada anak sulung.

Anak bungsu karakternya berlaianan dengan karakter pelaku bullying. Anak bungsu

dikenal dengan karakter yang bebas, manja, inferior dan mandiri. Sedangkan anak

tengah juga memiliki karakter yang berlainan dengan karakter pelaku bullying, dimana

(46)
(47)

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan kecenderungan bullying

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif yaitu penelitian yang bertujuan

untuk melihat perbedaan dengan cara membandingkan kecenderungan bullying

(Variabel Tergantung) ditinjau dari urutan kelahiran yang meliputi anak sulung, anak

tengah dan anak bungsu (Variabel Bebas) (Purwanto, 2008).

B. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah anak remaja yang dibatasi pada remaja

awal yaitu mulai dari usia 13 sampai 16 tahun (Santrock, 1995). Subjek secara umum

memiliki kriteria:

1. Berada dalam batas usia 13-16 tahun.

2. Berpendidikan SLTP.

3. Jenis kelamin laki-laki.

4. Mempunyai 2 saudara kandung yang masih hidup, sehingga dalam keluarga subjek

masih ada pengasuhan terhadap anak sulung, tengah dan bungsu.

C. Identifikasi Variabel

Penelitian ini memiliki dua variabel, yaitu yang pertama disebut sebagai

variabel bebas. Variabel bebas merupakan sebuah aspek dari lingkungan yang diteliti

(49)

perilaku (Purwanto, 2008). Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah urutan

kelahiran (birth order).

Jenis variabel yang kedua adalah variabel tergantung. Variabel tergantung

merupakan respon yang diteliti atau diukur dalam penelitian yang dilakukan

(Purwanto, 2008). Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah bullying

D. Definisi Operasional

1. Birth order/ Urutan kelahiran

Anak sulung adalah anak tunggal hingga tiba saat adiknya lahir. Anak tengah

yaitu anak kedua dan seterusnya yang masih mempunyai adik. Anak bungsu yaitu

anak kedua, anak ketiga dan seterusnya yang tidak punya adik lagi.

Urutan kelahiran subjek penelitian diperoleh dengan cara: ketika proses

pengisian kuesioner penelitian, subjek diminta untuk mengisikan urutan kelahiran

mereka dengan menggaris bawahi ketiga pilihan urutan kelahiran yang terdiri dari

anak sulung, tengah dan bungsu. Dengan pengisian tersebut peneliti akan

memperoleh subjek penelitian yang termasuk dalam kategori anak sulung, anak

tengah dan anak bungsu.

2. Bullying

Definisi bullying menurut peneliti sendiri adalah penggunaan kekuasaan,

kekuatan dengan sengaja secara berulang untuk menyakiti, menyerang seseorang

atau sekelompok orang yang lemah dan tidak dapat membela diri, sehingga korban

(50)

Bullying memiliki tiga aspek yang terkait satu sama lainyaitu:

a. Perbedaan kekuasaan

Pelaku bullying memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan korban bullying. Perbedaan kekuasaan ini dikarenakan oleh pelaku yang

agresif dan dominan. Umumnya pelaku mencari dan mengajak temannya untuk

membentuk kelompok dan kemudian melakukan bullying.

b. Perilaku menyakiti yang dilakukan berulang-ulang.

Bullying dilakukan dengan dalih humor. Pelaku sering tidak menyadari

bahwa humor yang dilontarkan atau perilakunya merupakan hal yang tidak

disukai oleh korbannya bahkan menyakitkan. Karena ketidaksadaran ini

menjadikan perilaku tersebut diulang-ulang. Perilaku tersebut terdiri dari lima

kategori yaitu sebagai berikut:

i. Kontak fisik langsung

ii. Kontak verbal langsung

iii.Perilaku non-verbal langsung

iv. Perilaku non-verbal tidak langsung

v. Pelecehan seksual

c. Dilakukan dengan sengaja

Pelaku dengan sengaja menyakiti orang lain karena mereka ingin

menunjukkan kekuasaan mereka. Selain itu juga karena pelaku merasa marah

(51)

Masing-masing subjek akan mendapat skor pada tiap aitem yang mereka isi.

Skor pada tiap-tiap aitem kemudian dijumlahkan sehingga akan diketahui skor total

subjek. Kecenderungan bullying diketahui dengan melihat skor total subjek

tersebut. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek menunjukkan bahwa

kecenderungan bullyingnya tinggi. Begitu pula sebaliknya semakin rendah skor

total yang diperoleh subjek, semakin rendah pula kecenderungan bullyingnya.

E. Prosedur Penelitian

1. Peneliti membuat skala pengukuran kecenderungan bullying dengan metode rating

yang dijumlahkan (summated rating).

2. Melakukan ujicoba skala pada kelompok subjek yang memiliki kriteria yang sama

dengan subjek penelitian sesungguhnya.

3. Peneliti melakukan uji kesahihan aitem dan reliabilitas skala untuk mendapat

aitem yang sahih dan data yang reliabel.

4. Menentukan subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria dan kemudian meminta

subjek untuk mengisi skala kecenderungan bullying yang telah diuji kesahihannya

dan kereliabelnya.

5. Menganalisa data yang masuk dengan uji statistik dengan analisis varian satu jalur

untuk melihat ada tidaknya perbedaan kecenderungan bullying dari ketiga

kelompok urutan kelahiran.

(52)

F. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah skala kecendrungan

bullying yang dibuat berdasarkan metode penskalaan Likert (Azwar, 2005). Skala ini

dibuat berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Sulhin (2008) dan Aulia (2008)

bahwa kecenderungan bullying terdiri dari tiga aspek yaitu adanya perbedaan

kekuasaan, perilaku menyakiti yang berulang, dan perilaku yang disengaja.

Adapun skala kecenderungan bullying ini berisi pernyataan yang favorable dan

unfavorable. Terdapat empat alternatif pilihan jawaban yaitu: Sangat Tidak Sesuai

(STS), Tidak Sesuai (TS), Sesuai (S), dan Sangat Sesuai (SS). Pemberian skor

dibedakan berdasarkan pada derajat favorable atau unfavorable masing-masing butir.

Pemberian Skor Favorable : STS TS S SS

1 2 3 4

Pemberian Skor Unfavorable : STS TS S SS

4 3 2 1

Tabel 2. Spesifikasi Skala Kecenderungan Bullying Sebelum Ujicoba

No. Aspek Nomer aitem Jumlah

1 Perbedaan kekuasaan

4, 5, 12, 16, 21, 22, 27, 28, 29, 43, 44, 45, 46, 47, 53, 54, 57, 62, 63, 64, 66, 68, 69, 78, 80, 81, 85, 86, 87, 90

30

2 Perilaku menyakiti

1, 6, 7, 10, 11, 13, 17, 20, 23, 26, 30, 31, 34, 35, 39, 42, 48, 52, 55, 56, 58, 61, 65, 67, 70, 73, 79, 82, 84, 89

30

3 Dilakukan sengaja

(53)

G. Uji Validitas, Reliabilitas dan Seleksi Aitem

1. Validitas

Validitas dalam penelitian ini adalah menggunakan validitas isi. Validitas

isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengajuan terhadap isi tes dengan

hasil analisis secara rasional atau lewat professional judgment. Dalam validitas ini

aitem-aitem yang disusun harus mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang

hendak diukur (Azwar, 2004).

2. Reliabilitas

Selain uji validitas, alat ukur dalam penelitian ini juga akan diuji

reliabilitasnya. Reliabilitas adalah kepercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan,

konsistensi atau sejauhmana hasil pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2004).

Dalam penelitian ini estimasi reliabilitas alat ukur dicari dengan metode

Alpha-Cronbach yaitu melalui pendekatan reliabilitas konsistensi internal.

Koefisien alpha merupakan estimasi yang baik terhadap reliabilitas pada banyak

situasi pengukuran (Azwar, 2004). Nilai reliabilitas skala dianggap memuaskan

apabila koefisien alpha di atas 0,675 (Purwanto, 2008).

3. Seleksi Aitem

Seluruh analisis aitem skala bullying dihitung dengan menggunakan SPSS

for windows versi 12.00. Seleksi aitem yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah memakai koefisien korelasi aitem total yang nantinya akan menghasilkan

(54)

1,00. Semakin baik daya beda aitem maka indeksnya semakin mendekati 1,00.

Kriteria aitem yang dapat diterima adalah jika korelasinya positif dan sama dengan

atau lebih besar dari 0,25. (Azwar, 2008)

H. Teknik Analisis Data

1. Uji Asumsi

Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu harus dipenuhi syarat

untuk bisa dianalisis yaitu dengan melakukan uji asumsi yang meliputi uji

normalitas sebaran dan uji homogenitas.

a. Uji normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi sebaran

variabel bebas dan variabel tergantung bersifat normal atau tidak.

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah varians yang akan

diuji tersebut adalah sama.

2. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis varians, yaitu suatu

prosedur untuk membandingkan tiga kelompok subjek atau lebih dengan mencari

perbedaan mean kelompok yang akan diuji. Hipotesis diterima jika F hitung > F

(55)

BAB IV

PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian

1. Uji Coba Skala Bullying

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan uji coba alat tes untuk

melihat validitas dan reliabilitas alat yang nantinya akan dijadikan sebagai alat

penelitian sesungguhnya.

Alat ukur bullying diuji cobakan kepada kelompok uji coba yang memiliki

karakteristik sama dengan kriteria subjek penelitian. Uji coba alat tes dilakukan

pada tanggal 25-31 Juli 2008. Skala tersebut diuji cobakan kepada 111 subjek yang

memenuhi kriteria.

Tabel 3. Data Subjek Uji Coba

Usia (dalam tahun)

No. Urutan Kelahiran Jumlah

13 14 15 16

1 Anak Sulung 37 orang 3 19 15 -

2 Anak Tengah 37 orang 5 18 12 2

3 Anak Bungsu 37 orang 2 22 12 1

Total 111 orang 10 59 39 3

2. Hasil Uji Coba Skala Bullying

Seluruh analisis aitem skala bullying dihitung dengan menggunakan SPSS

for windows versi 12.00. Kriteria aitem yang dapat diterima adalah jika korelasinya

positif dan sama dengan atau lebih besar dari 0,25. (Azwar, 2008) Berdasarkan

kriteria 0,25 tersebut, maka 55 aitem dinyatakan baik untuk penelitian. Di bawah

(56)

Tabel 4. Spesifikasi skala bullying setelah uji coba

Oleh karena adanya perbedaan proporsi antara aitem yang favorable dengan

yang unfavorable, maka peneliti memilih 48 aitem untuk dijadikan aitem skala

penelitian. Pemilihan ini bertujuan agar proporsi tiap aspek tetap seimbang (Azwar,

2008). Berikut adalah tabel spesifikasi skala penelitian.

Tabel 5. Spesifikasi skala bullying untuk penelitian

No. Aspek Aitem Jumlah

Jumlah keseluruhan 48

3. Uji Reliabilitas

Reliabilitas skala bullying dihitung dengan menggunakan SPSS for

windows versi 12.00. Teknik uji reliabilitas yang digunakan adalah teknik koefisien

reliabilitas Alpha-Cronbach. Koefifien reliabilitas yang diperoleh adalah 0,900.

Koefisien tersebut cukup tinggi sehingga alat ukur dapat dipercaya. Hasil

(57)

B. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 20-23 Agustus 2008. Responden dalam

penelitian ini adalah siswa kelas 2 dan atau 3 dari 5 SMP di Kabupaten Sleman.

Pengambilan data tidak dilakukan secara langsung oleh peneliti, melainkan dilakukan

oleh Guru dari sekolah yang bersangkutan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan

agar pengambilan data tidak mengganggu jam pelajaran di masing-masing sekolah.

Dari hasil pemilihan subjek yang memenuhi kriteria, maka diperoleh sampel

sebanyak 129 anak dengan perincian sebagai berikut:

Tabel 6. Data Subjek Penelitian

Usia (dalam tahun)

No. Urutan Kelahiran Jumlah

13 14 15 16

1 Anak Sulung 43 orang 1 27 14 1

2 Anak Tengah 43 orang 3 24 13 3

3 Anak Bungsu 43 orang 3 21 18 1

Total 129 orang 7 72 45 5

C. Hasil Penelitian

1. Deskripsi data penelitian

Tabel 7. Hasil Penelitian

Min Mak Mean Variabel

H E H E H E

Bullying 48 62 192 129 120 91,53

Berdasarkan data di atas diketahui bahwa skor nilai rata-rata empirik

bullying lebih rendah dari skor rata-rata hipotetiknya. Ini menunjukkan bahwa nilai

(58)

Dalam membuat kategorisasi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan

sangat rendah pada skala bullying, peneliti menyusun suatu norma kategori yang

dipilih untuk semua norma skala berdasarkan model distribusi normal menurut

Azwar (2000).

Skala bullying terdiri dari 48 aitem yang masing-masing aitemnya diberi

skor 1 sampai 4. Dengan demikian skor terkecil adalah (48 x 1) = 48 dan skor

terbesar adalah (48 x 4) = 192. Maka rentang skor skala diperoleh dari skor

terbesar dikurangi skor terkecil yaitu (192 - 48) = 120. Kemudian rentang skor

sebesar 120 itu dibagi dalam enam satuan deviasi standar sehingga diperoleh (120 /

6) = 20. Angka 20 ini merupakan estimasi besarnya satuan deviasi standar populasi

() yang akan digunakan untuk membuat kategori normatif skor subjek. Adapun

rata-rata teoritisnya (µ) diperoleh dari jumlah aitem dikalikan skor tengah dari

kategori respon yaitu (48 x 2,5) = 120.

Norma untuk kategori skala bullying:

< x ≤ (µ - 1,5 ) : sangat rendah

(µ - 1,5 ) < x ≤ (µ - 0,5 ) : rendah

(µ - 0,5 ) < x ≤ (µ + 0,5 ) : sedang

(µ + 0,5 ) < x ≤ (µ + 1,5 ) : tinggi

(59)

Tabel 8. Kriteria Kategori Bullying

Skala Rentang nilai Jumlah Prosentase

(dlm %)

Kategori

< x ≤ 90 55 42,6 % Sangat rendah

90 < x ≤ 110 69 53,9% Rendah

110 < x ≤ 130 5 3,9% Sedang

130 < x ≤150 0 0 Tinggi

Bullying

150 < x ≤ 0 0 Sangat tinggi

Berdasarkan kategori skor bullying di atas diketahui bahwa subjek dengan

kategori skor rendah merupakan kategori skor yang paling besar prosentasenya

yaitu 53,9 %.

2. Uji Asumsi

Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu harus dipenuhi syarat

untuk bisa dianalisis yaitu dengan melakukan uji asumsi yang meliputi uji

normalitas sebaran dan uji homogenitas.

a. Uji normalitas

Uji normalitas penyebaran skor kuesioner kecenderungan bullying

terhadap urutan kelahiran anak didapatkan p = 0,064 dan p = 0,195 (p > 0,05).

Berdasarkan hasil uji normalitas tersebut, dapat dikatakan bahwa sebarannya

adalah normal. Hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran.

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah varians yang akan

diuji tersebut adalah sama. Berdasarkan uji homogenitas, diperoleh f hitung

sebesar 0,598. Oleh karena probabilitas 0,05 maka ketiga varians adalah sama

(60)

Tabel 9. Hasil pengujian Uji Homogenitas

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

.517 2 126 .598

3. Uji Hipotesis

Hipotesis alternatif (Hi) dalam penelitian ini berbunyi ada perbedaan

kecenderungan bullying pada remaja putra berdasarkan urutan kelahiran dalam

keluarga. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis varian satu

jalur dengan alat bantu SPSS versi 12.00. Pengujian dilakukan dengan cara

membandingkan nilai F hitung dengan nilai F tabel dan dengan melihat

signifikansinya. Hipotesis akan diterima bila nilai F hitung > F tabel dan taraf

signifikansinya kurang dari 0,05 (p < 0,05)

Hasil perhitungan nilai F dalam penelitian ini adalah 2,811 sedangkan F

tabelnya adalah 3,07 (F hitung < F tabel), nilai signifikansinya adalah 0,064 yang

berarti lebih dari 0,05 (p > 0,05). Hal ini berarti Hi ditolak dan Ho diterima yaitu

tidak ada perbedaan kecenderungan bullying pada remaja ditinjau dari urutan

kelahirannya. Di bawah ini disertakan penghitungan one-way anova.

Tabel 10. Hasil penghitungan one way anova

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between Groups 750.434 2 375.217 2.811 .064

Within Groups 16817.721 126 133.474

(61)

Dalam homogeneous subsets terlihat adanya grup atau subset mana saja

yang mempunyai perbedaan rata-rata. Pada tabel homogeneous subsets terlihat

bahwa grup pada subset satu anggotanya terdiri dari kelompok anak sulung, anak

tengah dan anak bungsu. Ketiga kelompok anak berdasarkan urutan kelahiran

tersebut mempunyai perbedaan yang tidak signifikan.

Tabel 11. Homogeneous Subsets

Subset for

Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan kecenderungan bullying

pada remaja putra ditinjau dari urutan kelahirannya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F

hitung yang lebih kecil daripada F tabel dan nilai signifikansinya yang lebih dari 0,05

(p > 0,05).

Menurut Purnama (2007) pelaku bullying kemungkinan sekedar mengulangi

apa yang pernah dilihat dan dialami. Apabila dihubungkan dengan hasil penelitian,

mungkin sebagian besar subjek belum pernah melihat ataupun mengalami bullying.

Hal ini menjadikan keseragaman karakter dan kecenderungan perilaku yang relatif

(62)

Remaja-remaja putra dalam penelitian ini mungkin juga tidak mewarisi tradisi

hazing dari kakak-kakak kelas atau generasi sebelumnya. Sekalipun mereka pernah

dibully, mereka tidak berniat untuk balas dendam atau melakukannya kepada orang

lain. Hal ini seturut dengan pendapat Riauskina (2005).

Yayasan Sejiwa (2008) menyatakan bahwa bullying dilakukan oleh seseorang

karena ingin menunjukkan kekuasaan, ingin diakui, menunjukkan eksistensi dan

mencari perhatian. Berdasarkan pernyataan ini, bisa dikatakan bahwa secara umum

subjek penelitian memiliki dorongan ke arah eksistensi dan popularitas yang wajar dan

bisa diterima oleh lingkungan sekolah mereka. Dengan demikian tidak dijumpai

perilaku bullying dengan perbedaan yang signifikan.

Purnama (2007) mengatakan bahwa pelaku bullying umumnya tidak menyadari

bahwa mereka telah menjadi pelaku serta tidak mengetahui dampak-dampak buruk

yang bisa disebabkan oleh perilaku tersebut. Hal ini terkait dengan pendapat Haryana

(2007) yang menyatakan bahwa bullying yang ada di Indonesia dianggap wajar oleh

sebagian besar orang, dan sedikit pihak yang menyadari dampak jangka panjangnya.

Karena kurangnya kesadaran, wawasan serta anggapan yang wajar tersebut, maka

perilaku-perilaku bullying yang sebenarnya muncul dalam pergaulan tetap akan

dijadikan hal yang wajar dan ditutup-tutupi. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat

Sulhin dan Aulia (2008) yang menyatakan bahwa bullying umumnya dilakukan dengan

dalih humor sehingga pelaku sering tidak menyadari perilakunya tidak disukai dan

menyakitkan bagi korban. Pernyataan di atas mungkin juga terjadi pada remaja-remaja

Gambar

Tabel 1. Ciri Kepribadian Menurut Urutan Kelahiran
Tabel 2. Spesifikasi Skala Kecenderungan Bullying Sebelum Ujicoba
tabel dan signifikansinya < 0,05.
Tabel 3. Data Subjek Uji Coba
+6

Referensi

Dokumen terkait

Suatu ruang vektor adalah suatu himpunan objek yang dapat dijumlahkan satu sama lain dan dikalikan dengan suatu bilangan, yang masing-masing menghasilkan anggota lain

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah