PERBEDAAN KECENDERUNGAN BULLYING PADA REMAJA PUTRA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Stepanus Budi Raharjo
NIM : 049114033
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PERBEDAAN KECENDERUNGAN BULLYING PADA REMAJA PUTRA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Stepanus Budi Raharjo
NIM : 049114033
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Karya yang telah aku susun dengan penuh perjuangan ini, aku persembahkan untuk:
Tuhan Yesus yang menjadi ANDALAN hidupku
Alm. Bapak Aloysius Yitno Diharjo
&
Alm. Ibu Theresia Mursini di Surga
Semua Keluargaku
Motto Hidupku
Hidup Sekali Harus Berarti
karena
Aku Diciptakan-Nya Untuk Menjadi Individu yang Berguna
maka
Aku Harus Selalu Berusaha
untuk
Meraih Kebahagiaan dan Menggapai Semua Mimpiku
buat
KELUARGA
&
SAHABAT
ABSTRAK
PERBEDAAN KECENDERUNGAN BULLYING PADA REMAJA PUTRA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN
Stepanus Budi Raharjo Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2008
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kecenderungan
bullying pada remaja awal berdasarkan urutan kelahirannya. Remaja adalah usia yang paling rentan untuk melakukan bullying. Dalam keluarga setiap remaja mendapat perbedaan perlakuan dari orangtua berdasarkan urutan kelahiran mereka. Urutan kelahiran terdiri dari anak sulung, anak tengah dan anak bungsu. Perbedaan perlakuan ini menimbulkan terjadinya karakteristik kepribadian tertentu pada setiap urutan kelahiran. Kepribadian adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku bullying.
Bullying terdiri dari tiga aspek yaitu; adanya perbedaan kekuasaan, perilaku menyakiti yang berulang dan perilaku yang dilakukan dengan sengaja.
Subjek penelitian ini berjumlah 129 orang remaja putra yang terdiri dari 43 anak sulung, 43 anak tengah dan 43 anak bungsu. Semua subjek tersebut merupakan remaja yang memenuhi kriteria berikut; berusia antara 13-16 tahun, memiliki dua orang saudara kandung, dan bersekolah di SMP yang terletak di Kabupaten Sleman. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk skala yaitu skala kecenderungan bullying. Koefisien reliabilitas dari skala ini adalah 0,900.
ABSTRACT
THE DIFFERENCES OF BULLYING TENDENCY ON BOY TEENAGERS BASED ON THEIR BIRTH ORDER
Stepanus Budi Raharjo Sanata Dharma University
Yogyakarta 2008
The aim of this research was to find out the differences of bullying tendency on boy teenagers based on their birth order. Teenagers were the most susceptible group to do bullying behavior. In their family, every teenager gots different treatment from their parents. The parents usually treated them differently according to their order of birth. Different treatment can created certain personality to every order of birth. Birth order consists of the first born, the middle born and the last born. Personality is one of the factors which causes bullying behavior. There are three aspects of bullying, that are the difference of authority, repeated and in purpose violence attitudes.
The subject of this research were about 129 boy teenagers, consist of 43 first born, 43 middle born and 43 last born. The subjects to be observed were based on the writer’s criteria. The criteria are: first, 13-16 years old students; second, they had two siblings and the last, students must Junior High School students in Sleman Regency. The method of data collection was done by giving a scale. The scale of this research was the scale of bullying tendency. The reliability of this scale were 0,900.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus yang selalu menyertai dan membimbing penulis selama pengerjaan skripsi ini. Penulis juga berterimakasih atas perlindungan dan terang pikiran yang selalu Bunda Maria limpahkan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini adalah sebuah proses yang panjang, dimana penulis harus berusaha, bekerja keras dan menghadapi berbagai kesulitan yang ada. Proses yang panjang ini tidak akan selesai bila tidak ada mereka yang membantu. Oleh karena itu, penulis secara tulus ingin mengucapkan terimakasih kepada mereka yang telah berperan dalam proses pengerjaan skripsi ini dan kehidupan penulis:
1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan dalam perijinan penelitian.
2. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M., S.Psi,. M.Si. selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar memberi arahan, memberi masukan, merevisi skripsi dan memberi semangat yang sangat membantu proses pengerjaan skripsi ini.
3. Ibu Passchedona Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi. dan Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku dosen penguji skripsi.
5. Bapak Heri dan Ibu Dewa yang telah memberi masukan berkaitan dengan penghitungan statistik sehingga memperlancar pengerjaan skripsi ini.
6. Bapak Ibu dosen yang telah memberi ilmu kepadaku untuk masa depan dan hidup saya.
7. Bapak dan Ibu di SURGA yang selalu mendoakan dan memberkati. Terimakasih atas semua yang boleh saya terima.
8. Kakak-kakak saya: Mas Jefrey, Mbak Yuni, Mas Narto, Mbak Parti, Mbak Santi atas semua dukungan dan biaya kuliah selama ini.
9. Ponakan saya: Yani, Rudi dan Alfon.
10.Saudara angkat saya Bernand, yang membantu mencarikan buku referensi, meskipun gak dapat.
11.Mas Gandung dan Mbak Nanik yang telah membantu kelancaran administrasi akademik selama ini.
12.Pak Gi…yang ramah dan membantu sekali dalam perijinan penelitian.
13.Mas Muji yang sudah berbagi pengalaman menjadi asisten. Mas Doni yang telah meminjami buku-buku.
14.Pak Priyo yang telah menerima di P2TKP.
15.Br. Pius selaku Kepala Sekolah SMPK ST. Aloysius Turi, Para Kepala Sekolah: SMP Kanisius Pakem, SMPN II Turi, SMPN I Ngaglik, SMPK Aloysius Denggung, SMP Kanisius Sleman, SMPN III Turi, Bapak Siswanto selaku guru SMPN II Tempel dan Ibu Yani selaku guru SMPN 4 Sleman yang telah membantu dalam proses pengambilan data.
17.Irai, Andre, Ika, Desy, Tika, Lina, Tiara yang mau membantu mencari data. 18.Teman-teman P2TKP, tempat berbagi koreksian, pekerjaan dan bermain BI---:
Desta, AB, Otik, Gothe, Wiwid, Rondang, Badai, Fani, Tina, Vania, Atik, Weni, Lia, Mitha, Wulan, dan yang paling memotivasiku Betty.
19.Badai (pasti berlalu) teman seperjuangan bimbingan. 20.Rm. Yatno & Rm. Eltus atas beasiswanya.
21.Tiara yang sudah membantu menerjemahkan abstrak.
22.Adik-adik CAS CIS yang telah membantu dalam skoring kuesioner : Dik Theo, Natalia, Ningrum, Swilla dan lain-lain.
23.D’Berto, Fendi, Calvin, Oki, Peni, Adit, Satriya, Danur, Wulan, Ruri, Yaya, Jalung yang …….. membantu dengan doa.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi semua yang membaca dan bagi ilmu pengetahuan kita.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...xvii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II. LANDASAN TEORI ... 9
1. Pengertian Bullying ... 9
2. Kategori Perilaku Bullying ... 10
3. Aspek-Aspek Bullying ... 12
4. Kategori Perilaku Bullying ... 13
5. Pelaku Bullying ... 14
6. Dampak Perilaku Bullying ... 14
B. Urutan Kelahiran ... 15
1. Asumsi Urutan Kelahiran mempengaruhi Kepribadian... 15
2. Anak Sulung ... 17
3. Anak Tengah ... 19
4. Anak Bungsu ... 20
C. Remaja ... 23
D. Hubungan antara Bullying dengan Urutan Kelahiran pada Remaja ... 25
E. Hipotesis Penelitian ... 29
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 30
A. Jenis Penelitian ... 30
B. Subjek Penelitian ... 30
C. Identifikasi Variabel ... 30
D. Definisi Operasional ... 31
1. Urutan Kelahiran ... 31
2. Bullying ... 31
F. Alat Pengumpulan Data ... 34
G. Uji Validitas, Reliabilitas dan Seleksi Aitem ... 35
H. Teknik Analisis Data ... 36
BAB IV. PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 37
A. Persiapan Penelitian ... 37
1. Uji coba skala bullying ... 37
2. Hasil uji coba skala bullying ... 37
3. Uji reliabilitas ... 38
B. Pelaksanaan Penelitian ... 39
C. Hasil Penelitian ... 39
1. Deskripsi data penelitian ... 39
2. Uji asumsi ... 41
3. Uji hipotesis ... 42
D. Pembahasan ... 43
BAB V. PENUTUP ... 49
A. Kesimpulan ... 49
B. Saran ... 49
C. Keterbatasan Penelitian ... 51
DAFTAR PUSTAKA ... 52
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Ciri Kepribadian Menurut Urutan Kelahiran 22
Tabel 2 : Spesifikasi Skala Kecenderungan Bullying Sebelum Ujicoba 34
Tabel 3 : Subjek Try Out 37
Tabel 4 : Spesifikasi Skala Bullying setelah uji coba 38 Tabel 5 : Spesifikasi Skala Bullyinguntuk penelitian 38
Tabel 6 : Subjek Penelitian 39 Tabel 7 : Hasil Penelitian 39
Tabel 8 : Kriteria Kategori Bullying 41
Tabel 9 : Hasil pengujian Uji Homogenitas 42
Tabel 10 : Hasil penghitungan one way anova 42
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A : Skala Bullying
Lampiran B : Skor Penelitian Bullying Lampiran C : Reliabilitas Skala Bullying Lampiran D : Hasil analisis uji normalitas Hasil analisis uji homogenitas
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan tempat bagi anak untuk mempelajari nilai-nilai moral
sejak usia dini. Hubungan yang kurang dekat dengan orangtua membuat anak kurang
mengalami proses belajar tentang perbedaan perilaku yang dapat diterima dan yang
tidak dapat diterima oleh lingkungan. Setelah anak menginjak usia remaja seringkali
mereka tidak memiliki kontrol diri dan mengabaikan norma-norma yang berlaku di
masyarakat (Kartono, 1998), sehingga timbullah bentuk pelanggaran yang dilakukan
remaja.
Selain keluarga, sekolah juga memiliki peranan yang penting dalam proses
sosialisasi anak. Sekolah dituntut untuk menciptakan suasana yang nyaman untuk
proses pembelajaran dan perkembangan anak. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa di
sekolah pun juga terjadi masalah. Bullying adalah salah satu diantara masalah yang ada
dan umumnya bersifat tersembunyi (Neser, Ovens, Merwe dan Morodi, 2002).
Remaja mulai melepaskan ketergantungan dengan orang tua dan mulai
mengembangkan kemandirian. Di lain pihak, remaja juga mulai menjalin kedekatan
dengan teman sebaya di luar lingkungan keluarga. Teman sebaya dijadikan pedoman
dan tolak ukur dalam berperilaku (Diener dan Larson, dalam Hoffman, Paris dan Hall,
1994).
Dalam siklus hidup manusia setiap orang mengalami beberapa tahap
tersebut, masa remaja merupakan masa yang penting karena banyak tugas
perkembangan yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Remaja berusaha mencari
identitas diri dan menemukan jati dirinya. Remaja mulai mencari otonomi diri,
kebebasan dan mengurangi kelekatan dengan orangtua. Selain itu, masa remaja
merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi.
Perkembangan emosi remaja menunjukkan sifat yang sensitif, reaktif dan
temperamental.
Dalam pencarian identitas diri, remaja melakukan serangkaian upaya dan
tindakan untuk menunjukkan jati dirinya. Dalam pencarian jati diri tidak sepenuhnya
remaja melakukan dengan cara dan tujuan yang positif. Tidak sedikit remaja yang
salah dan gagal dalam membentuk jati diri. Begitu pula ketika remaja harus
bersosialisasi dengan orang lain, sering pula remaja mengambil tindakan yang salah
dan tidak sesuai dengan aturan yang ada, salah satunya adalah dengan melakukan
bullying.
Menurut Indarini (2007) bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan
untuk menyakiti seseorang atau sebuah kelompok, sehingga korban merasa tertekan,
trauma, dan tidak berdaya. Peristiwa bullying sangat mungkin terjadi berulang.
Bullying terbagi menjadi tiga. Pertama: fisik, seperti memukul, menampar, dan
memalak atau meminta dengan paksa apa yang bukan miliknya. Kedua: verbal, seperti
memaki, menggosip, dan mengejek. Ketiga: psikologis, seperti mengintimidasi,
mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasikan.
Di Indonesia, sejak lima tahun terakhir gejala bullying di sekolah mulai
Dalam bahasa pergaulan sering disebut dengan istilah “gencet-gencetan” atau juga
senioritas. Selain itu ada bentuk bullying lainnya misalnya siswa yang dikucilkan,
difitnah, dipalak dan lainnya.
Dalam sebuah penelitian disebutkan juga bahwa korban mempunyai persepsi
jika pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena ia dulu
diperlakukan sama, ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak
berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapat kekuasaan dan iri hati
(Riauskina, Djuwita dan Soesetio, 2005). Menurut Purnama (2007) alasan yang paling
utama adalah bahwa pelaku merasa puas apabila ia berkuasa di antara
teman-temannya. Selain itu dengan melakukan bullying, ia akan dapat memperoleh sanjungan
teman-temannya karena dianggap punya selera humor yang tinggi, keren, serta
populer. Pelaku bullying kemungkinan sekedar mengulangi apa yang pernah dilihat
atau dialaminya sendiri. Selain itu, juga kerena ia pernah ditindas oleh sesama siswa di
masa lalunya.
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi (dalam Aulia,
2007) mengatakan selama Januari-April 2007 terdapat 417 kasus kekerasan terhadap
anak. Rinciannya adalah kekerasan fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan
kekerasan psikis 210 kasus. Umumnya dari sekian kasus tersebut 226 terjadi di
sekolah.
Kasus bullying salah satunya menimpa Fifi yang duduk di kelas 2 SMP. Fifi
rela mengakhiri hidupnya dengan melilitkan kabel televisi ke lehernya lalu
menggantungkan diri karena teman-teman yang mengejeknya dengan sebutan anak
fisik melainkan kekerasan terhadap mental yang jarang disadari oleh banyak orang.
Kasus serupa menimpa Hendra Saputra, seorang taruna Akademi Kepolisian
Semarang. Dia harus kehilangan cita-citanya akibat kekerasan fisik yang dialaminya.
Sejumlah senior di akademi itu melakukan kekerasan di luar batas kewajaran dan
akhirnya membuat Hendra harus dirawat selama hampir empat bulan di rumah sakit
(Samhadi, 2007). Muhamad Fadhil Harkaputra Sirath siswa SMU 34 yang masih
duduk di kelas 1 mengalami penganiayaan oleh kakak kelasnya (Sujadi, 2007).
Dari ketiga kasus di atas, peneliti bermaksud mengemukakan bahwa kasus
bullying terjadi di usia remaja, mulai dari usia remaja awal hingga remaja akhir. Hal
ini seturut dengan pernyataan Milsom dan Gallo (2006) yang menyatakan bahwa
perilaku bullying semakin memuncak ketika seseorang berada di akhir masa
kanak-kanak atau di awal masa dewasa.
Menurut Haryana (2007), bullying yang ada di Indonesia dianggap wajar oleh
sebagian orang. Sedikit sekali pihak yang menyadari dampak panjang yang
ditimbulkan baik bagi para korban ataupun pelaku. Akibatnya bullying terus terjadi
dan menimbulkan korban jiwa berkepanjangan.
Berdasarkan penelitian Nansel pada tahun 2001 (dalam Milsom dan Gallo,
2006) disebutkan bahwa laki-laki lebih sering menjadi pelaku ataupun korban bullying.
Hal ini didukung oleh Seals dan Young pada tahun 2003 (dalam Milsom dan Gallo,
2006) dimana laki-laki secara signifikan lebih sering menjadi pelaku ataupun korban
Haryana (2007) menyebutkan bahwa bullying terjadi di kota ataupun di
pedesaan dengan perbedaan geografis yang ada. Remaja dan anak-anak umumnya
melakukan bullying dalam bentuk fisik, verbal ataupun dalam bentuk pemisahan
sosial. Berdasarkan survey yang ada disebutkan jika bullying lebih sering terjadi di
lingkungan sekolah.
Greene (2006) menyatakan bahwa bullying adalah salah satu bentuk agresi
yang nyata di sekolah dan mendapatkan banyak perhatian di dunia internasional. Hal
ini menjadikan kasus bullying di sekolah menarik dan perlu untuk diteliti lebih jauh
lagi, terutama berkaitan dengan siapakah yang umumnya menjadi pelaku bullying.
Pelaku bullying umumnya memiliki karakter seperti dominan, berkuasa, disegani oleh
orang lain, berjiwa pemimpin (Yayasan Sejiwa, 2008). Karakter tersebut hampir
serupa dengan karakter yang ada pada anak sulung jika dihubungkan dengan urutan
kelahiran anak dalam keluarga. Selain anak sulung, terdapat juga urutan kelahiran lain
yaitu anak tengah dan anak bungsu yang juga memiliki karakter berlainan satu sama
lain.
Noviasari (2002) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada perbedaan yang
sangat signifikan antara anak sulung, tengah dan anak bungsu dilihat dari kematangan
emosionalnya. Hal ini didukung oleh Maslichah (2002) yang dalam penelitiannya
berpendapat bahwa perlakuan orangtua yang berbeda terhadap anak akan berakibat
panjang terhadap perkembangan kepribadian dan perkembangan kreativitasnya,
sehingga terdapat perbedaan yang sangat signifikan jika ditinjau dari urutan kelahiran
anak dalam suatu keluarga. Hal tersebut semakin memperjelas bahwa urutan kelahiran
remaja. Dalam bersosialisasi dengan teman sebayanya, mungkin sekali remaja
melakukan bullying.
Eckstein pada tahun 2000 (dalam Schiller, 2007) melakukan survey terhadap
151 penelitian, dimana hasilnya ditemukan secara statistik bahwa ada hubungan yang
signifikan antara urutan kelahiran dan kepribadian. Hal ini semakin memperkuat
bahwa kepribadian seseorang terkait dengan urutan kelahirannya.
Perlakuan dan pengasuhan dari orangtua menjadikan masing-masing posisi
anak memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Anak sulung adalah anak yang
diharapkan dan diberi limpahan kasih sayang. Biasanya kerap terbebani dengan
keinginan orangtua, sehingga akan memunculkan karakter sebagai anak yang percaya
diri, bertanggungjawab, suka menjadi pusat perhatian, kompetitif, otoriter, egois,
emosional, perfeksionis, berjiwa pemimpin dan superior (Sulloway, 2007).
Anak tengah adalah anak yang lahir ketika orangtuanya telah siap menjadi
orangtua. Orang tua sudah tidak sekhawatir ketika melahirkan anak sulung. Ketika
anak bungsu lahir, anak tengah harus melepaskan sebagian perhatian orangtuanya.
Karakter dari anak tengah umumnya lebih sering menjaga kedamaian dalam keluarga,
mandiri, mediator penghubung dalam keluarga, berjiwa seni, tidak rapi, kurang tegas,
kurang terbuka karena tidak memiliki kelekatan seperti anak sulung ataupun anak
bungsu.
Anak bungsu seringkali lahir di luar perencanaan. Anak bungsu seringkali
diperlakukan dengan manja oleh orangtuanya karena merupakan anak terkecil.
Gunarsa (2000) menyebutkan bahwa anak bungsu menjadi pusat perhatian dari
Herera dan Zonjanc (dalam Schiller, 2007) mengungkapkan bahwa anak bungsu
adalah anak yang kreatif, emosional dan terbuka. Akan tetapi di sisi lain anak bungsu
kurang patuh dan tidak bertanggungjawab.
Bertolak dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian
guna membuktikan apakah perlakuan dan kebiasaan-kebiasaan yang diterima oleh
anak sulung, tengah dan bungsu dari orangtua dan lingkungannya sejak masa
kanak-kanak akan mempengaruhi kecenderungan remaja dalam melakukan bullying. Apakah
urutan kelahiran tertentu akan menunjukkan kecenderungan bullying yang lebih tinggi
atau lebih rendah.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan kecenderungan melakukan bullying pada remaja putra
berdasarkan urutan kelahirannya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji perbedaan kecenderungan bullying
pada remaja putra berdasarkan urutan kelahiran.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai perilaku
bullying yang masih dianggap biasa oleh sebagian orang di Indonesia dan bagi
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini dapat mengetahui perbedaan kecenderungan bullying pada remaja
putra dilihat dari urutan kelahirannya.
b. Dengan penelitian ini para pendidik atau guru dapat memantau peserta didiknya
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Bullying
1. Pengertian Bullying
Menurut Indarini (2007) bullying adalah penggunaan kekuasaan atau
kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang, sehingga korban
merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Peristiwanya sangat mungkin terjadi
berulang.
Pengertian bullying lainnya yang sedikit berbeda dengan pendapat di atas
adalah penyerangan dengan sengaja yang tujuannya melukai korban secara fisik
atau psikologis, atau keduanya. Para pelaku umumnya bertindak sendirian atau
dalam kelompok kecil (Lipkins, 2008).
Pengertian di atas didukung oleh Papalia et al. (2004) yang menyatakan
bahwa bullying adalah perilaku agresif yang disengaja dan berulang untuk
menyerang target atau korban, yang secara khusus adalah seseorang yang lemah,
mudah diejek dan tidak bisa membela diri.
Neser et al. (2002) memberikan definisi yang hampir sama dimana bullying
adalah perilaku yang disengaja, perilaku menyakiti yang berulang, berupa kata-kata
atau perilaku lainnya, seperti mengejek memberi julukan mengancam dan lainnya.
Olweus et al. (dalam Greene, 2006) menyebutkan definisi yang lebih
lengkap tentang bullying. Bullying adalah salah satu bentuk agresi yang ditujukan
adanya perbedaan kekuasaan antara pelaku dengan korban. Perilaku bisa dikatakan
bullying bila hal itu terjadi secara berulang. Perilaku bullying muncul bukanlah
karena hasil provokasi melainkan muncul dari keinginan pelakunya.
Riauskina et al. (2005) memberikan pengertian yang lebih spesifik
mengenai bullying di sekolah dimana mereka menyebutkan bahwa school bullying
adalah perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekompok
siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa atau siswi lain yang lebih lemah
dengan tujuan menyakiti orang tersebut.
Definisi bullying menurut peneliti sendiri adalah penggunaan kekuasaan,
kekuatan dengan sengaja secara berulang untuk menyakiti, menyerang seseorang
atau sekelompok orang yang lemah dan tidak dapat membela diri, sehingga korban
merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya.
2. Kategori Perilaku Bullying
Bullying terbagi menjadi tiga bagian, pertama: fisik, seperti memukul,
menampar, dan memalak atau meminta dengan paksa apa yang bukan miliknya.
Kedua: verbal, seperti memaki, menggosip, dan mengejek. Ketiga: psikologis,
seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasikan
(Indarini, 2007).
Riauskina et al. (2005) mengatakan bahwa perilaku bullying terdiri dari
a. Kontak fisik langsung meliputi: memukul, mendorong, menggigit, menjambak,
menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga
termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain.
b. Kontak verbal langsung meliputi: mengancam, mempermalukan, merendahkan,
mengganggu, memberi panggilan nama, sarkasme, mencela/mengejek,
mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip.
c. Perilaku non-verbal langsung meliputi: melihat dengan sinis, menjulurkan
lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau
mengancam, biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal.
d. Perilaku non-verbal tidak langsung meliputi: mendiamkan seseorang,
memanipulasi persahabatan sehingga retak, sengaja mengucilkan atau
mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.
e. Pelecehan seksual meliputi: kadang dikategorikan perilaku agresif fisik atau
verbal.
Yayasan Sejiwa (2008) menyebutkan bahwa praktik bullying dapat
dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu:
a. Bullying fisik: ini adalah jenis bullying yang kasat mata dan dapat dilihat oleh
siapa pun karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dengan
korbannya. Contoh bullying fisik antara lain: menampar, menimpuk, menginjak
kaki dan lain-lain.
b. Bullying verbal: jenis bullying ini bisa terdeteksi karena bisa tertangkap oleh
indra pendengaran kita. Contohnya: memaki, menghina, menebar gosip dan
c. Bullying mental/ psikologis: ini adalah jenis bullying yang paling berbahaya
karena tidak tertangkap mata atau telinga jika tidak dideteksi secara cermat.
Contohnya: memandang sinis, mendiamkan, mengucilkan, memelototi dan
lain-lain.
3. Aspek-Aspek Bullying
Bullying memiliki tiga aspek yang terkait satu sama lain (Sulhin, 2008 &
Aulia, 2008) yaitu:
a. Perbedaan kekuasaan
Pelaku bullying memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan korban bullying. Perbedaan kekuasaan ini dikarenakan oleh pelaku yang
dominan dan umumnya mengajak temannya untuk melakukan bullying.
Sedangkan di pihak korban, dia tidak memiliki teman sehigga timbulah
tindakan pengeroyokan.
b. Perilaku menyakiti yang dilakukan berulang-ulang.
Bullying dilakukan dengan dalih humor. Pelaku sering tidak menyadari
bahwa humor yang dilontarkan atau perilakunya merupakan hal yang tidak
disukai oleh korbannya bahkan menyakitkan. Karena ketidaksadaran ini
menjadikan perilaku tersebut diulang-ulang.
c. Dilakukan dengan sengaja
Pelaku dengan sengaja menyakiti orang lain karena mereka pernah
juga karena pelaku merasa marah sebab korban berperilaku tidak sesuai dengan
yang diharapkan
4. Faktor Penyebab Bullying
Pelaku bullying (Purnama, 2007) kemungkinan sekedar mengulangi apa
yang pernah dilihat atau dialaminya sendiri. Ia menganiaya orang lain karena
mungkin ia sendiri dianiaya oleh orang tuanya di rumah. Selain itu dapat juga
karena ia pernah ditindas oleh sesama siswa di masa lalunya. Dari sinilah siklus
kekerasan akan terus berlanjut, turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya.
Pelaku bullying tidak menyadari bahwa ia telah menjadi seorang pelaku serta tidak
mengetahui dampak-dampak buruk yang bisa disebabkan oleh perilaku tersebut.
Riauskina (2005) dan Yayasan Sejiwa (2008) menjelaskan bahwa korban
memiliki persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena:
a. Diawali dengan adanya tradisi inisiasi (hazing) yang akhirnya menurun dari
generasi ke generasi selanjutnya
b. Balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki)
c. Ingin menunjukkan kekuasaan
d. Ingin diakui
e. Ingin menunjukkan eksistensi
f. Senioritas
g. Marah karena korban tidak berlaku sesuai dengan yang diharapkan
h. Menutupi kekurangan diri
j. Ikut-ikutan
k. Mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan).
l. Iri hati ( menurut korban perempuan)
5. Pelaku Bullying
Menurut Milsom dan Gallo (2006) perilaku bullying semakin memuncak
ketika seseorang berada di akhir masa kanak-kanak atau di awal masa dewasa.
Sesuai dengan pendapat Olweus (dalam Banks, 1997) bahwa perilaku bullying
paling banyak terjadi di usia remaja.
Berdasarkan penelitian Nansel pada tahun 2001 (dalam Milsom dan Gallo,
2006) disebutkan bahwa laki-laki lebih sering menjadi pelaku ataupun korban
bullying. Hal ini didukung oleh Seals dan Young pada tahun 2003 (dalam Milsom
dan Gallo, 2006) dimana laki-laki secara signifikan lebih sering menjadi pelaku
ataupun korban bullying. Selain itu, remaja putra umumnya melakukan bullying
yang secara langsung atau kelihatan sehingga lebih mudah untuk diteliti (Batsche
& Knoff, 1994; Nolin & Davies, 1995 dalam Banks, 1997).
6. Dampak Perilaku Bullying
Seorang yang menjadi korban bullying akan menjadi anak yang gelisah,
kurang popular serta kurang aman dan nyaman. Korban merasakan banyak emosi
negatif seperti marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, terancam, namun
tidak berdaya menghadapi. Dalam jangka panjang emosi-emosi ini memicu pada
putus asa dan lebih banyak mengurung diri. Dampak lain yang kurang terlihat
namun berefek jangka panjang adalah menurunnya kesejahteraan psikologis
(psychological well-being) dan penyesuaian sosial yang buruk. Sedangkan dampak
psikologis yang paling ekstrim adalah kemungkinan gangguan psikologis seperti
depresi, ingin bunuh iri, dan gejala stres (Riauskina, 2005 & Hafidzi, 2008).
Menurut Riauskina (2005), dampak dari perilaku bullying yang jelas
terlihat adalah kesehatan fisik. Beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan
bullying adalah sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan
sakit dada. Bahkan dalam kasus ekstrim dampak fisik bisa mengakibatkan
kematian.
Para korban juga memiliki kelemahan dalam pergaulan, tidak mendapatkan
dukungan dari guru ataupun teman sebayanya. Mereka ingin pindah sekolah atau
keluar dari sekolahnya. Sekalipun mereka masih berada di sekolah itu, prestasi
akademik mereka akan terganggu atau menjadi sengaja sering tidak masuk sekolah
(Riauskina , 2005 & Hafidzi, 2008).
B. Urutan Kelahiran
1. Asumsi bahwa Urutan Kelahiran mempengaruhi Kepribadian
Menurut Hadibroto dkk. (2002), konsep urutan kelahiran atau birth order
bukan didasarkan semata-mata oleh nomer urutan kelahiran menurut diagram
keluarga, melainkan yang lebih tepat adalah berdasarkan persepsi psikologis yang
terbentuk dari pengalaman seseorang di masa kecilnya, terutama sejak ia berusia
Adkins (2003) memberikan definisi lain mengenai urutan kelahiran. Dia
berpendapat bahwa urutan kelahiran didefinisikan sebagai urutan posisi seseorang
dari beberapa saudara mereka dalam hal rangkaian kelahiran.
Allport (dalam Syed, 2004) menyebutkan bahwa apa yang individu pelajari
tentang diri mereka dalam keluarga mencerminkan bagaimana mereka memahami
diri mereka sendiri dalam lingkungan. Cara individu berinteraksi dengan
lingkungan mencerminkan keunikan pribadi mereka, yang juga disebut sebagai
kepribadian mereka. Syed (2004) juga menyatakan bahwa pengalaman pertama
dalam keluarga memainkan peran yang penting dalam perkembangan kepribadian.
Pernyataan tersebut juga didukung oleh Frank (1996) yang berpendapat bahwa
urutan kelahiran anak dalam sebuah keluarga akan mempengaruhi bagaimana
orang tua merawat dan mengasuh mereka. Pengasuhan dan perawatan ini nantinya
akan menimbulkan perbedaan kepribadian.
Eckstein (2000) juga mendukung bahwa urutan kelahiran mempengaruhi
kepribadian individu, dimana ada 151 penelitian yang secara statistik menyatakan
ada hubungan yang signifikan antara urutan kelahiran dan kepribadian. Penelitian
ini semakin memperkuat bahwa urutan kelahiran berpengaruh terhadap
kepribadian seseorang.
Santrock (1995) menyatakan bahwa perbedaan dalam urutan kelahiran
disebabkan oleh adanya variasi dalam interaksi dengan orangtua dan saudara
kandung. Hal ini diasosiasikan dengan pengalaman unik pada suatu posisi tertentu
Sulloway (dalam Angela Haris, 2007) meyakini bahwa urutan kelahiran
memainkan peranan penting dalam pembentukan kepribadian seseorang, dimana
urutan kelahiran mempengaruhi lima sifat kepribadian yang utama yaitu
kecemasan, keterbukaan, sikap berterus terang, keramah-tamahan dan sikap
berhati-hati.
Pada relasi saudara kandung juga ditemui sesuatu yang unik. Agresi dan
dominansi terjadi lebih besar dalam relasi-relasi saudara kandung yang jenis
kelaminnya sama dibandingkan dengan relasi saudara kandung yang jenis
kelaminnya berbeda (Santrock, 1995). Selain itu Santrock (1995) juga menyatakan
bahwa perlakuan yang berbeda oleh orangtua kepada anak-anak, berpengaruh
terhadap bagaimana saudara kandung tersebut cocok satu sama lain. Anak-anak
yang diperlakukan relatif sama oleh orang tua cenderung cocok satu sama lain
begitu pula sebaliknya.
Menurut Saroglou dan Fiasse (2003), umumnya penelitian mengenai urutan
kelahiran hanya membandingkan antara anak sulung dengan anak bungsu,
sedangkan anak tengah jarang diikutkan dalam penelitian. Selain itu, disebutkan
bahwa jumlah saudara memang perlu dikontrol dalam penelitian mengenai urutan
kelahiran.
2. Anak Sulung
Anak sulung (Hadibroto, 2002) adalah anak tunggal hingga tiba saat
sulung memiliki perasaan mendalam untuk menjadi superior atau kuat, kecemasan
tinggi dan terlalu dilindungi.
Anak sulung mulai menyadari bahwa ia tidak disayangi lagi semenjak
memiliki adik. Ia mencoba mengkompensasikan kehilangan tersebut dengan
mencari kasih sayang pengganti dalam bentuk-bentuk lain, misalnya perasaan
dihormati, dikagumi dan disetujui. Ia bertindak hati-hati untuk tidak menyinggung
perasaan orang di sekelilingnya agar tidak sampai kehilangan lagi kasih sayang
orangtuanya.
Orangtua memberi tanggungjawab kepada anak sulung untuk menjaga
adiknya. Anak sulung belajar bertanggung jawab dan mandiri melalui kegiatan
sehari-hari. Mereka memiliki karakter kerap terbebani dengan harapan atau
keinginan orangtua dan didorong untuk mencapai standar pendidikan ataupun
pekerjaan yang tinggi sebagai representasi orangtua. Salah satunya dengan
perlakuan orangtua yang cenderung lebih memperhatikan pendidikan anak sulung,
dimana biasanya mereka adalah seorang high achiever. Hal ini menjadikan anak
sulung cenderung tertekan.
Di lain sisi anak sulung senang menjadi pusat perhatian, dan dengan
perhatian tersebut perkembangan kepribadiannya menjadi lebih baik. Anak sulung
secara umum dapat diandalkan, cenderung terikat pada aturan-aturan, dominan,
kompeten, konservatif, otoriter, mempunyai pemikiran yang tajam dan lebih
sensitif (Alwisol, 2004 & Roslina, 2006). Selain itu Santrock (1995) menambahkan
bahwa anak yang lahir duluan lebih berorientasi dewasa, suka menolong, dapat
3. Anak Tengah
Anak tengah yaitu anak kedua, anak ketiga dan seterusnya yang masih
mempunyai adik. Anak tengah merasa dirinya serba kekurangan dalam segi
kemampuan mengerjakan sesuatu dibandingkan kakaknya. Untuk itu dia berusaha
menunjukkan prestasi yang lebih baik untuk menarik perhatian orangtuanya.
Situasi yang terabaikan menjadikan anak tengah cenderung mempunyai motivasi
tinggi, bisa dalam hal prestasi maupun sosialisasi.
Anak tengah cenderung lebih mandiri dan lebih bebas dari harapan orangtua
sehingga dapat membentuk karakternya sendiri. Ia lebih pandai melihat situasi dan
aturan yang diterapkan kepadanya lebih longgar sehingga diperbolehkan
melakukan hal-hal tertentu dengan sedikit batasan. Anak tengah suka berteman
dan hidup berkelompok sehingga lebih bebas mengekspresikan kepribadiannya
yang unik dan menjadi lebih ekspresif. Dia memiliki bakat seni sehingga dalam
berpakaian kadang tidak rapi.
Pada tahap tertentu, kepribadian anak tengah dibentuk melalui
pengamatannya terhadap sikap kakaknya. Jika sikap kakaknya penuh kemarahan
dan kebencian, anak tengah mungkin menjadi sangat kompetitif, atau menjadi
penakut dan sangat kecil hati. (Hadibroto dkk., 2002; Alwisol, 2004 & Roslina
4. Anak Bungsu
Anak bungsu yaitu anak kedua, anak ketiga dan seterusnya yang tidak
punya adik lagi (Alam, 2002). Anak bungsu tumbuh menjadi sosok yang merasa
serba tidak mampu dalam mengerjakan sesuatu dengan baik. Mereka tergolong
anak yang sulit karena mempunyai kakak yang dijadikan model sehingga kerap
merasa inferior (rendah diri) dan merasa tidak sehebat kakak-kakaknya. Dengan
demikian, anak bungsu berupaya membentengi dirinya dengan mengabaikan sikap
kakaknya.
Dalam pengasuhan anak bungsu kerap dibantu orang sekitar, sehingga tidak
terlalu sadar dengan potensi dirinya. Anak bungsu cenderung dimanjakan dan
mendapat kasih sayang banyak sehingga cenderung tidak dewasa. Mereka hanya
diberi sedikit tanggung jawab dan tugas dalam keluarga. Anak bungsu umumnya
lebih spontan dan mempunyai jiwa yang lebih bebas dan empatik (Alwisol, 2004 ;
Roslina, 2006 & Eckstein 2000).
Alfred Adler dalam penelitiannya pada tahun 1920 (dalam Sulloway, 2008)
mendalilkan pengaruh urutan anak terhadap kepribadiannya. Ia mengamati, anak-anak
sesuai urutan kelahirannya dalam keluarga memegang posisi kekuasaan yang berbeda.
Pencarian identitas dan perhatian dipengaruhi oleh posisi urutannya. Perbedaan
lingkungan yang hadir pada anak pertama, tengah, dan bungsu juga bisa membawa
mereka pada kepribadian yang berbeda. Dalam dalilnya disebutkan bahwa dalam
pandangan Adler semua anak berusaha menjadi superior dan berjuang demi mendapat
menarik perhatian. Kondisi ini membentuk kepribadian mereka berbeda dan
mencerminkan usaha mencari perhatian.
Menurut peneliti, anak sulung adalah anak yang superior dan dominan dalam
keluarga. Anak sulung ingin menjadi pemimpin bagi adik-adiknya dan menjadi
panutan. Kecenderungan ini terkait dengan karakternya yang otoriter. Anak tengah
adalah anak yang kurang mendapat kasih sayang seperti anak sulung ataupun anak
bungsu. Situasi ini menjadikannya lebih mandiri, lebih bebas dan kreatif. Sebagai
kompensasinya anak tengah menjadi lebih suka bergaul dengan teman seusianya. Anak
bungsu adalah anak yang mendapat kasih sayang dari berbagai pihak. Kadangkala
menjadikan anak bungsu terlihat manja. Hal ini menjadikan anak bungsu kurang
mandiri, kurang dewasa dan sedikit mendapat tanggungjawab dari orang yang lebih
tua.
Untuk memperjelas pemahaman mengenai karakteristik anak sulung, anak
tengah dan anak bungsu kita dapat menyimak pada tabel ciri kepribadian berdasarkan
Tabel 1. Ciri Kepribadian Menurut Urutan Kelahiran
Anak Sulung Anak Tengah Anak Bungsu
Situasi Dasar
Menerima perhatian
tidak terpecah dari orang
tua
Turun tahta akibat
kelahiran adik dan harus
berbagi perhatian
pada aturan dan hukum
C. Remaja
Utamadi (2007) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa "belajar"
untuk tumbuh dan berkembang dari anak menjadi dewasa. Masa belajar ini disertai
dengan tugas perkembangan. Istilah tugas perkembangan digunakan untuk
menggambarkan harapan masyarakat terhadap suatu individu untuk melaksanakan
tugas tertentu pada masa usia tertentu sehingga individu itu dapat menyesuaikan diri
dengan masyarakat.
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa
yang berjalan antara umur dua belas sampai dua puluh satu tahun (Lumansupra, 2008).
Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan fisik yang begitu pesat. Remaja
mengalami pubertas yang berarti suatu periode di mana kematangan, kerangka dan
seksual terjadi secara pesat (Santrock, 1995).
Secara kognitif, remaja mulai mengembangkan pemikiran operasional formal,
dimana pemikiran mereka menjadi lebih abstrak atau tidak terbatas pada pengalaman
konkret aktual sebagai dasar pemikirannya. Remaja sering berpikir tentang ciri-ciri
ideal diri mereka sendiri, orang lain dan dunia (Santrock, 1995). Hal ini didukung oleh
pendapat Yudhi (2008) yang menyebutkan bahwa remaja dengan citra dirinya mulai
menilai diri sendiri dan menilai lingkungannya terutama lingkungan sosial mereka.
Remaja menyadari adanya sifat-sifat sikap sendiri yang baik dan yang buruk. Mereka
belajar perilaku manakah yang sesuai dengan standar agama dan lingkungan sosial.
Hal ini juga didukung oleh Dariyo (2004) yang mengatakan bahwa remaja mulai
memperhatikan sifat baik yang disenangi dan diharapkan orang lain. Mereka ingin
akan melakukan tindakan-tindakan yang menyenangkan orang lain. Tujuannya agar
dirinya mudah diterima dalam lingkungan sosialnya. Remaja harus patuh terhadap
aturan yang berlaku di masyarakat dan mulai memegang prinsip-prinsip kebenaran.
Remaja juga mengalami perubahan berkaitan dengan kognisi sosial mereka.
David Elkind (dalam Santrock, 1995) yakin bahwa egosentrisme remaja memiliki dua
bagian: penonton khayalan dan dongeng pribadi. Penonton khayalan ialah keyakinan
remaja bahwa orang lain memperhatikan dirinya sebagaimana halnya dengan dirinya
sendiri. Perilaku ini misalnya akan mengundang perhatian yang umum terjadi pada
remaja. Selain itu ada juga keinginan untuk tampil di depan umum, diperhatikan dan
dilihat.
Dari segi sosio emosional, menurut Havighurst (dalam Dariyo, 2004) remaja
mulai menuntut akan otonomi, tanggungjawab dan kebebasan emosional yang semakin
besar dari orangtua mereka. Remaja lebih suka menghabiskan waktu untuk bergaul
bersama dengan teman sebaya. Hal ini kadang diikuti dengan perilaku melawan
keinginan orangtua. Selain itu masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu
perkembangan emosi yang tinggi. Perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang
sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atas situasi sosial,
emosinya negatif dan temperamental. Dalam menghadapi ketidaknyamanan emosional
remaja awal akan bereaksi secara defensif dan berusaha melindungi kelemahan.
Akhirnya sikap agresiflah yang muncul. Sedangkan di pihak orangtua, mereka juga
melakukan pengendalian yang semakin erat. Kedua hal tersebut dapat memicu
menjadi lebih percaya pada teman-teman yang senasib dengannya (Lumansupra, 2008
& Santrock, 1995).
Menurut Erikson (dalam Rice, 1996), salah satu tugas perkembangan yang
utama pada masa remaja adalah pembentukan identitas diri yang koheren. Tugas
pembentukan identitas digambarkan Erikson sebagai kemampuan pembuatan
keputusan dengan mengeksplorasi alternatif dan komitmen berdasarkan peran tertentu.
Remaja tertarik untuk mengetahui siapa dirinya, bagaimana dirinya dan kemana
mereka akan menuju ke masa depannya. Remaja yang berhasil mengatasi identitas
yang saling bertentangan pada masa ini akan memunculkan suatu kepribadian yang
menarik dan dapat diterima. Sedangkan remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis
identitas, menjadi bingung dan menderita, sehingga perilaku mereka akan cenderung
menarik diri atau kehilangan identitas mereka dalam kelompok (Santrock, 1995).
Menurut Erikson (Santrock, 1995) kenakalan remaja terjadi karena anak remaja
gagal mengalami identitas diri. Tidak jarang pula mereka berperilaku menyimpang
seperti membolos, melalaikan tugas dan mogok belajar. Selain itu, juga mengalami
hambatan dalam proses sosialisasi di sekolah, bahkan tindakan agresif terkadang
muncul dalam pergaulan.
D. Hubungan antara Bullying dengan Urutan Kelahiran pada Remaja
Remaja adalah sebuah tahap perkembangan dengan berbagai tugas yang
menyertainya. Dari segi sosio emosional kondisi emosi anak remaja menuntut
otonomi, tanggungjawab dan kebebasan emosional yang lebih besar. Selain itu masa
Perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat
terhadap berbagai peristiwa atas situasi sosial, emosinya negatif dan temperamental.
Dalam menghadapi ketidaknyamanan emosional, remaja awal akan bereaksi secara
defensif dan berusaha melindungi kelemahan. Akhirnya sikap agresiflah yang sering
muncul. Sedangkan di pihak orangtua, pengontrolan terhadap remaja menjadi semakin
ketat. Kedua hal yang bertolak belakang ini akhirnya menimbulkan konflik dan remaja
memutuskan untuk bergabung dengan teman-teman sebayanya.
Dilihat dari segi kognitifnya anak remaja mulai berpikir operasional formal dan
sudah bisa berpikir abstrak. Pemikiran mereka idealis dan menerapkan standar-standar
kehidupan yang tinggi. Hal ini bisa memicu adanya ketidakpuasan apabila realita yang
mereka jumpai tidak seperti yang ada dengan pemikiran mereka yang idealistis.
Remaja juga harus menyelesaikan tugas perkembangannya mencari identitas diri.
Dalam tugas ini, remaja mencari kemampuannya dan kekurangannya. Mereka
mengeksplorasi diri, mencari tahu siapa dan bagaimana dirinya. Selain itu, remaja
merasa ingin diperhatikan dan tampil di depan umum. Mereka merasa diperhatikan
oleh orang lain.
Di lain sisi setiap remaja dengan keluarga yang berbeda dan pengasuhan yang
berbeda membawa mereka kepada perbedaan karakter. Hal ini terkait dengan posisi
urutan kelahiran dimana orang tua memberi perlakuan yang berbeda kepada setiap
posisi sehingga karakter yang dihasilkan pun berbeda. Anak sulung memiliki karakter
yang superior dan dominan dalam keluarga. Mereka ingin menjadi pemimpin bagi
adik-adiknya dan menjadi panutan. Kecenderungan ini terkait dengan karakternya
lebih suka bergaul dengan teman seusianya. Anak bungsu memiliki karakter sebagai
anak yang manja. Hal ini menjadikan anak bungsu kurang mandiri, kurang dewasa dan
sedikit mendapat tanggungjawab dari orang yang lebih tua.
Remaja akhirnya memiliki karakter yang berlainan sebagai hasil dari
penyelesaian tugas perkembangan yang ada. Di lain sisi, remaja yang memiliki posisi
urutan kelahiran yang juga berbeda-beda baik sebagai anak sulung, tengah ataupun
bungsu memiliki karakter yang berlainan. Dengan karakter-karakter yang berlainan itu
tentunya akan membawa ke sebuah kecenderungan perilaku salah satunya
kecenderungan bullying. Bullying adalah perilaku menyakiti yang dilakukan dengan
sengaja dan berulang. Perilaku ini muncul karena ada perbedaan kekuasaan antara
pelaku dengan korbannya. Pelaku bullying secara umum memiliki karakter seperti
otoriter, suka memerintah, dominan, menjadi penentu keputusan dan memiliki
kekuasaan. Karakter ini hampir serupa dengan karakter yang ada pada anak sulung.
Anak bungsu karakternya berlaianan dengan karakter pelaku bullying. Anak bungsu
dikenal dengan karakter yang bebas, manja, inferior dan mandiri. Sedangkan anak
tengah juga memiliki karakter yang berlainan dengan karakter pelaku bullying, dimana
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan kecenderungan bullying
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif yaitu penelitian yang bertujuan
untuk melihat perbedaan dengan cara membandingkan kecenderungan bullying
(Variabel Tergantung) ditinjau dari urutan kelahiran yang meliputi anak sulung, anak
tengah dan anak bungsu (Variabel Bebas) (Purwanto, 2008).
B. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah anak remaja yang dibatasi pada remaja
awal yaitu mulai dari usia 13 sampai 16 tahun (Santrock, 1995). Subjek secara umum
memiliki kriteria:
1. Berada dalam batas usia 13-16 tahun.
2. Berpendidikan SLTP.
3. Jenis kelamin laki-laki.
4. Mempunyai 2 saudara kandung yang masih hidup, sehingga dalam keluarga subjek
masih ada pengasuhan terhadap anak sulung, tengah dan bungsu.
C. Identifikasi Variabel
Penelitian ini memiliki dua variabel, yaitu yang pertama disebut sebagai
variabel bebas. Variabel bebas merupakan sebuah aspek dari lingkungan yang diteliti
perilaku (Purwanto, 2008). Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah urutan
kelahiran (birth order).
Jenis variabel yang kedua adalah variabel tergantung. Variabel tergantung
merupakan respon yang diteliti atau diukur dalam penelitian yang dilakukan
(Purwanto, 2008). Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah bullying
D. Definisi Operasional
1. Birth order/ Urutan kelahiran
Anak sulung adalah anak tunggal hingga tiba saat adiknya lahir. Anak tengah
yaitu anak kedua dan seterusnya yang masih mempunyai adik. Anak bungsu yaitu
anak kedua, anak ketiga dan seterusnya yang tidak punya adik lagi.
Urutan kelahiran subjek penelitian diperoleh dengan cara: ketika proses
pengisian kuesioner penelitian, subjek diminta untuk mengisikan urutan kelahiran
mereka dengan menggaris bawahi ketiga pilihan urutan kelahiran yang terdiri dari
anak sulung, tengah dan bungsu. Dengan pengisian tersebut peneliti akan
memperoleh subjek penelitian yang termasuk dalam kategori anak sulung, anak
tengah dan anak bungsu.
2. Bullying
Definisi bullying menurut peneliti sendiri adalah penggunaan kekuasaan,
kekuatan dengan sengaja secara berulang untuk menyakiti, menyerang seseorang
atau sekelompok orang yang lemah dan tidak dapat membela diri, sehingga korban
Bullying memiliki tiga aspek yang terkait satu sama lainyaitu:
a. Perbedaan kekuasaan
Pelaku bullying memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan korban bullying. Perbedaan kekuasaan ini dikarenakan oleh pelaku yang
agresif dan dominan. Umumnya pelaku mencari dan mengajak temannya untuk
membentuk kelompok dan kemudian melakukan bullying.
b. Perilaku menyakiti yang dilakukan berulang-ulang.
Bullying dilakukan dengan dalih humor. Pelaku sering tidak menyadari
bahwa humor yang dilontarkan atau perilakunya merupakan hal yang tidak
disukai oleh korbannya bahkan menyakitkan. Karena ketidaksadaran ini
menjadikan perilaku tersebut diulang-ulang. Perilaku tersebut terdiri dari lima
kategori yaitu sebagai berikut:
i. Kontak fisik langsung
ii. Kontak verbal langsung
iii.Perilaku non-verbal langsung
iv. Perilaku non-verbal tidak langsung
v. Pelecehan seksual
c. Dilakukan dengan sengaja
Pelaku dengan sengaja menyakiti orang lain karena mereka ingin
menunjukkan kekuasaan mereka. Selain itu juga karena pelaku merasa marah
Masing-masing subjek akan mendapat skor pada tiap aitem yang mereka isi.
Skor pada tiap-tiap aitem kemudian dijumlahkan sehingga akan diketahui skor total
subjek. Kecenderungan bullying diketahui dengan melihat skor total subjek
tersebut. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek menunjukkan bahwa
kecenderungan bullyingnya tinggi. Begitu pula sebaliknya semakin rendah skor
total yang diperoleh subjek, semakin rendah pula kecenderungan bullyingnya.
E. Prosedur Penelitian
1. Peneliti membuat skala pengukuran kecenderungan bullying dengan metode rating
yang dijumlahkan (summated rating).
2. Melakukan ujicoba skala pada kelompok subjek yang memiliki kriteria yang sama
dengan subjek penelitian sesungguhnya.
3. Peneliti melakukan uji kesahihan aitem dan reliabilitas skala untuk mendapat
aitem yang sahih dan data yang reliabel.
4. Menentukan subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria dan kemudian meminta
subjek untuk mengisi skala kecenderungan bullying yang telah diuji kesahihannya
dan kereliabelnya.
5. Menganalisa data yang masuk dengan uji statistik dengan analisis varian satu jalur
untuk melihat ada tidaknya perbedaan kecenderungan bullying dari ketiga
kelompok urutan kelahiran.
F. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah skala kecendrungan
bullying yang dibuat berdasarkan metode penskalaan Likert (Azwar, 2005). Skala ini
dibuat berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Sulhin (2008) dan Aulia (2008)
bahwa kecenderungan bullying terdiri dari tiga aspek yaitu adanya perbedaan
kekuasaan, perilaku menyakiti yang berulang, dan perilaku yang disengaja.
Adapun skala kecenderungan bullying ini berisi pernyataan yang favorable dan
unfavorable. Terdapat empat alternatif pilihan jawaban yaitu: Sangat Tidak Sesuai
(STS), Tidak Sesuai (TS), Sesuai (S), dan Sangat Sesuai (SS). Pemberian skor
dibedakan berdasarkan pada derajat favorable atau unfavorable masing-masing butir.
Pemberian Skor Favorable : STS TS S SS
1 2 3 4
Pemberian Skor Unfavorable : STS TS S SS
4 3 2 1
Tabel 2. Spesifikasi Skala Kecenderungan Bullying Sebelum Ujicoba
No. Aspek Nomer aitem Jumlah
1 Perbedaan kekuasaan
4, 5, 12, 16, 21, 22, 27, 28, 29, 43, 44, 45, 46, 47, 53, 54, 57, 62, 63, 64, 66, 68, 69, 78, 80, 81, 85, 86, 87, 90
30
2 Perilaku menyakiti
1, 6, 7, 10, 11, 13, 17, 20, 23, 26, 30, 31, 34, 35, 39, 42, 48, 52, 55, 56, 58, 61, 65, 67, 70, 73, 79, 82, 84, 89
30
3 Dilakukan sengaja
G. Uji Validitas, Reliabilitas dan Seleksi Aitem
1. Validitas
Validitas dalam penelitian ini adalah menggunakan validitas isi. Validitas
isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengajuan terhadap isi tes dengan
hasil analisis secara rasional atau lewat professional judgment. Dalam validitas ini
aitem-aitem yang disusun harus mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang
hendak diukur (Azwar, 2004).
2. Reliabilitas
Selain uji validitas, alat ukur dalam penelitian ini juga akan diuji
reliabilitasnya. Reliabilitas adalah kepercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan,
konsistensi atau sejauhmana hasil pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2004).
Dalam penelitian ini estimasi reliabilitas alat ukur dicari dengan metode
Alpha-Cronbach yaitu melalui pendekatan reliabilitas konsistensi internal.
Koefisien alpha merupakan estimasi yang baik terhadap reliabilitas pada banyak
situasi pengukuran (Azwar, 2004). Nilai reliabilitas skala dianggap memuaskan
apabila koefisien alpha di atas 0,675 (Purwanto, 2008).
3. Seleksi Aitem
Seluruh analisis aitem skala bullying dihitung dengan menggunakan SPSS
for windows versi 12.00. Seleksi aitem yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah memakai koefisien korelasi aitem total yang nantinya akan menghasilkan
1,00. Semakin baik daya beda aitem maka indeksnya semakin mendekati 1,00.
Kriteria aitem yang dapat diterima adalah jika korelasinya positif dan sama dengan
atau lebih besar dari 0,25. (Azwar, 2008)
H. Teknik Analisis Data
1. Uji Asumsi
Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu harus dipenuhi syarat
untuk bisa dianalisis yaitu dengan melakukan uji asumsi yang meliputi uji
normalitas sebaran dan uji homogenitas.
a. Uji normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi sebaran
variabel bebas dan variabel tergantung bersifat normal atau tidak.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah varians yang akan
diuji tersebut adalah sama.
2. Uji Hipotesis
Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis varians, yaitu suatu
prosedur untuk membandingkan tiga kelompok subjek atau lebih dengan mencari
perbedaan mean kelompok yang akan diuji. Hipotesis diterima jika F hitung > F
BAB IV
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian
1. Uji Coba Skala Bullying
Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan uji coba alat tes untuk
melihat validitas dan reliabilitas alat yang nantinya akan dijadikan sebagai alat
penelitian sesungguhnya.
Alat ukur bullying diuji cobakan kepada kelompok uji coba yang memiliki
karakteristik sama dengan kriteria subjek penelitian. Uji coba alat tes dilakukan
pada tanggal 25-31 Juli 2008. Skala tersebut diuji cobakan kepada 111 subjek yang
memenuhi kriteria.
Tabel 3. Data Subjek Uji Coba
Usia (dalam tahun)
No. Urutan Kelahiran Jumlah
13 14 15 16
1 Anak Sulung 37 orang 3 19 15 -
2 Anak Tengah 37 orang 5 18 12 2
3 Anak Bungsu 37 orang 2 22 12 1
Total 111 orang 10 59 39 3
2. Hasil Uji Coba Skala Bullying
Seluruh analisis aitem skala bullying dihitung dengan menggunakan SPSS
for windows versi 12.00. Kriteria aitem yang dapat diterima adalah jika korelasinya
positif dan sama dengan atau lebih besar dari 0,25. (Azwar, 2008) Berdasarkan
kriteria 0,25 tersebut, maka 55 aitem dinyatakan baik untuk penelitian. Di bawah
Tabel 4. Spesifikasi skala bullying setelah uji coba
Oleh karena adanya perbedaan proporsi antara aitem yang favorable dengan
yang unfavorable, maka peneliti memilih 48 aitem untuk dijadikan aitem skala
penelitian. Pemilihan ini bertujuan agar proporsi tiap aspek tetap seimbang (Azwar,
2008). Berikut adalah tabel spesifikasi skala penelitian.
Tabel 5. Spesifikasi skala bullying untuk penelitian
No. Aspek Aitem Jumlah
Jumlah keseluruhan 48
3. Uji Reliabilitas
Reliabilitas skala bullying dihitung dengan menggunakan SPSS for
windows versi 12.00. Teknik uji reliabilitas yang digunakan adalah teknik koefisien
reliabilitas Alpha-Cronbach. Koefifien reliabilitas yang diperoleh adalah 0,900.
Koefisien tersebut cukup tinggi sehingga alat ukur dapat dipercaya. Hasil
B. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 20-23 Agustus 2008. Responden dalam
penelitian ini adalah siswa kelas 2 dan atau 3 dari 5 SMP di Kabupaten Sleman.
Pengambilan data tidak dilakukan secara langsung oleh peneliti, melainkan dilakukan
oleh Guru dari sekolah yang bersangkutan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan
agar pengambilan data tidak mengganggu jam pelajaran di masing-masing sekolah.
Dari hasil pemilihan subjek yang memenuhi kriteria, maka diperoleh sampel
sebanyak 129 anak dengan perincian sebagai berikut:
Tabel 6. Data Subjek Penelitian
Usia (dalam tahun)
No. Urutan Kelahiran Jumlah
13 14 15 16
1 Anak Sulung 43 orang 1 27 14 1
2 Anak Tengah 43 orang 3 24 13 3
3 Anak Bungsu 43 orang 3 21 18 1
Total 129 orang 7 72 45 5
C. Hasil Penelitian
1. Deskripsi data penelitian
Tabel 7. Hasil Penelitian
Min Mak Mean Variabel
H E H E H E
Bullying 48 62 192 129 120 91,53
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa skor nilai rata-rata empirik
bullying lebih rendah dari skor rata-rata hipotetiknya. Ini menunjukkan bahwa nilai
Dalam membuat kategorisasi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan
sangat rendah pada skala bullying, peneliti menyusun suatu norma kategori yang
dipilih untuk semua norma skala berdasarkan model distribusi normal menurut
Azwar (2000).
Skala bullying terdiri dari 48 aitem yang masing-masing aitemnya diberi
skor 1 sampai 4. Dengan demikian skor terkecil adalah (48 x 1) = 48 dan skor
terbesar adalah (48 x 4) = 192. Maka rentang skor skala diperoleh dari skor
terbesar dikurangi skor terkecil yaitu (192 - 48) = 120. Kemudian rentang skor
sebesar 120 itu dibagi dalam enam satuan deviasi standar sehingga diperoleh (120 /
6) = 20. Angka 20 ini merupakan estimasi besarnya satuan deviasi standar populasi
() yang akan digunakan untuk membuat kategori normatif skor subjek. Adapun
rata-rata teoritisnya (µ) diperoleh dari jumlah aitem dikalikan skor tengah dari
kategori respon yaitu (48 x 2,5) = 120.
Norma untuk kategori skala bullying:
< x ≤ (µ - 1,5 ) : sangat rendah
(µ - 1,5 ) < x ≤ (µ - 0,5 ) : rendah
(µ - 0,5 ) < x ≤ (µ + 0,5 ) : sedang
(µ + 0,5 ) < x ≤ (µ + 1,5 ) : tinggi
Tabel 8. Kriteria Kategori Bullying
Skala Rentang nilai Jumlah Prosentase
(dlm %)
Kategori
< x ≤ 90 55 42,6 % Sangat rendah
90 < x ≤ 110 69 53,9% Rendah
110 < x ≤ 130 5 3,9% Sedang
130 < x ≤150 0 0 Tinggi
Bullying
150 < x ≤ 0 0 Sangat tinggi
Berdasarkan kategori skor bullying di atas diketahui bahwa subjek dengan
kategori skor rendah merupakan kategori skor yang paling besar prosentasenya
yaitu 53,9 %.
2. Uji Asumsi
Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu harus dipenuhi syarat
untuk bisa dianalisis yaitu dengan melakukan uji asumsi yang meliputi uji
normalitas sebaran dan uji homogenitas.
a. Uji normalitas
Uji normalitas penyebaran skor kuesioner kecenderungan bullying
terhadap urutan kelahiran anak didapatkan p = 0,064 dan p = 0,195 (p > 0,05).
Berdasarkan hasil uji normalitas tersebut, dapat dikatakan bahwa sebarannya
adalah normal. Hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah varians yang akan
diuji tersebut adalah sama. Berdasarkan uji homogenitas, diperoleh f hitung
sebesar 0,598. Oleh karena probabilitas 0,05 maka ketiga varians adalah sama
Tabel 9. Hasil pengujian Uji Homogenitas
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
.517 2 126 .598
3. Uji Hipotesis
Hipotesis alternatif (Hi) dalam penelitian ini berbunyi ada perbedaan
kecenderungan bullying pada remaja putra berdasarkan urutan kelahiran dalam
keluarga. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis varian satu
jalur dengan alat bantu SPSS versi 12.00. Pengujian dilakukan dengan cara
membandingkan nilai F hitung dengan nilai F tabel dan dengan melihat
signifikansinya. Hipotesis akan diterima bila nilai F hitung > F tabel dan taraf
signifikansinya kurang dari 0,05 (p < 0,05)
Hasil perhitungan nilai F dalam penelitian ini adalah 2,811 sedangkan F
tabelnya adalah 3,07 (F hitung < F tabel), nilai signifikansinya adalah 0,064 yang
berarti lebih dari 0,05 (p > 0,05). Hal ini berarti Hi ditolak dan Ho diterima yaitu
tidak ada perbedaan kecenderungan bullying pada remaja ditinjau dari urutan
kelahirannya. Di bawah ini disertakan penghitungan one-way anova.
Tabel 10. Hasil penghitungan one way anova
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Between Groups 750.434 2 375.217 2.811 .064
Within Groups 16817.721 126 133.474
Dalam homogeneous subsets terlihat adanya grup atau subset mana saja
yang mempunyai perbedaan rata-rata. Pada tabel homogeneous subsets terlihat
bahwa grup pada subset satu anggotanya terdiri dari kelompok anak sulung, anak
tengah dan anak bungsu. Ketiga kelompok anak berdasarkan urutan kelahiran
tersebut mempunyai perbedaan yang tidak signifikan.
Tabel 11. Homogeneous Subsets
Subset for
Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan kecenderungan bullying
pada remaja putra ditinjau dari urutan kelahirannya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F
hitung yang lebih kecil daripada F tabel dan nilai signifikansinya yang lebih dari 0,05
(p > 0,05).
Menurut Purnama (2007) pelaku bullying kemungkinan sekedar mengulangi
apa yang pernah dilihat dan dialami. Apabila dihubungkan dengan hasil penelitian,
mungkin sebagian besar subjek belum pernah melihat ataupun mengalami bullying.
Hal ini menjadikan keseragaman karakter dan kecenderungan perilaku yang relatif
Remaja-remaja putra dalam penelitian ini mungkin juga tidak mewarisi tradisi
hazing dari kakak-kakak kelas atau generasi sebelumnya. Sekalipun mereka pernah
dibully, mereka tidak berniat untuk balas dendam atau melakukannya kepada orang
lain. Hal ini seturut dengan pendapat Riauskina (2005).
Yayasan Sejiwa (2008) menyatakan bahwa bullying dilakukan oleh seseorang
karena ingin menunjukkan kekuasaan, ingin diakui, menunjukkan eksistensi dan
mencari perhatian. Berdasarkan pernyataan ini, bisa dikatakan bahwa secara umum
subjek penelitian memiliki dorongan ke arah eksistensi dan popularitas yang wajar dan
bisa diterima oleh lingkungan sekolah mereka. Dengan demikian tidak dijumpai
perilaku bullying dengan perbedaan yang signifikan.
Purnama (2007) mengatakan bahwa pelaku bullying umumnya tidak menyadari
bahwa mereka telah menjadi pelaku serta tidak mengetahui dampak-dampak buruk
yang bisa disebabkan oleh perilaku tersebut. Hal ini terkait dengan pendapat Haryana
(2007) yang menyatakan bahwa bullying yang ada di Indonesia dianggap wajar oleh
sebagian besar orang, dan sedikit pihak yang menyadari dampak jangka panjangnya.
Karena kurangnya kesadaran, wawasan serta anggapan yang wajar tersebut, maka
perilaku-perilaku bullying yang sebenarnya muncul dalam pergaulan tetap akan
dijadikan hal yang wajar dan ditutup-tutupi. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat
Sulhin dan Aulia (2008) yang menyatakan bahwa bullying umumnya dilakukan dengan
dalih humor sehingga pelaku sering tidak menyadari perilakunya tidak disukai dan
menyakitkan bagi korban. Pernyataan di atas mungkin juga terjadi pada remaja-remaja