DAYA ANTIINFLAMASI
EKSTRAK ETANOLIK JAHE MERAH (Zingiber officinale Roxb.) DAN KENCUR (Kaempferia galanga L.) PADA MENCIT PUTIH JANTAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Stephani Puspita Dewi NIM : 068114098
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Jika ingin sukses milikilah mental juara. Seperti apa mental juara itu? Seorang juara sejati akan terus berusaha meraih kemenangan hingga peluit tanda pertandingan berakhir dibunyikan. Sebelum peluit berbunyi, seorang juara sejati akan tetap memiliki pengharapan kuat untuk keluar sebagai pemenang, bahkan di
saat kelihatannya hal tersebut sangat mustahil.
Karya ini kupersembahkan kepada:
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria Alm. Papi Eddy Elyada Sutadi
Mami Jeanne Ratna Juniawati Cece dan Koko
Semua yang mencintaiku Teman dan Almamaterku tercinta
Tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha dengan keras
PRAKATA
Puji Syukur dan terima kasih kepada Allah Bapa di Surga atas berkat,
rahmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “ Daya Antiinflamasi Ekstrak Etanolik Jahe Merah (Zingiber officinale
Roxb.) dan Kencur (Kaempferia galanga L.) pada Mencit Putih Jantan” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.).
Dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak
mendapat banyak bantuan dan dukungan baik moril maupun spiritual dari
berbagai pihak yang berupa bimbingan, dorongan, pengarahan, saran maupun
sarana. Maka dari itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku dosen pembimbing atas bimbingan, saran,
dan pengarahannya selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
3. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. Selaku dosen penguji yang telah
memberikan pendampingan, dukungan, saran, dan kritik yang membangun.
4. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan
pendampingan, dukungan, saran, dan kritik yang membangun.
5. C.M. Ratna Rini Nastiti, S.Si, M.Pharm.,Apt., selaku dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan pendampingan, dukungan, saran selama
melakukan studi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
6. Alm. Papi Eddy Elyada Sutadi yang selalu mendoakan dan melindungi penulis
7. Mami Jeanne, Ce Lisa, Ce Ippi, Ce Lia, Ko Yongki, Ko Denny, Ko Afuk,
saudara-saudara penulis yang telah memberikan dukungan, perhatian dan doa
yang senantiasa menyertai penulis.
8. Om Chandra, Tante Angela dan Ko Leo yang selalu mendukung melalui doa,
perhatian, nasehat dan kasih sayang kepada penulis.
9. Teman-teman kost Providentia, Reni, Ivin, Erin, Lina, Putri, M’Olive, Afni,
Dudun, Devi, M’Tere, Iyu.
10.Teman-teman seperjuanganku selama di Laboratorium, geng Kunyit, geng
Temulawak, Pius, Wiwit, Eka, Micell, Tony, Boim, Angel, Dani, Ricky, Jefry,
Felix, Dewi.
11.Segenap staf laboran yang telah memberikan masukan, bantuan, kebersamaan
dan kerjasamanya selama penelitian.
12.Semua pihak dan teman-teman yang telah memberi dukungan yang tidak
dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini
masih banyak terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan. Maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Yogyakarta, Mei 2010
INTISARI
Jahe merah dan kencur merupakan obat tradisonal untuk mengatasi penyakit inflamasi. Adanya kandungan gingerol pada jahe merah dan ethyl p-methoxycinnamate pada kencur maka dapat menghambat aktivitas siklooksigenase dan lipoksigenase dalam asam arakhidonat sehingga menyebabkan penurunan jumlah prostaglandin dan leukotrin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar daya antiinflamasi dan hubungan linieritas masing-masing dosis rimpang dalam meningkatkan % daya antiinflamasi serta mengetahui adanya kandungan gingerol pada jahe merah dan ethyl p-methoxycinnamate pada kencur.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola satu arah. Metode yang digunakan adalah metode Langford, et al., yang telah dimodifikasi. Pengukuran tebal udema kaki mencit menggunakan jangka sorong digital. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Kolmorogorof-Smirnov, dilanjutkan analisis ANOVA satu arah taraf kepercayaan 95% dan uji Scheffe. Kemudian dilanjutkan lagi dengan uji Regresi Linier serta uji KLT-Densitometri.
Hasil daya antiinflamasi berturut-turut untuk ekstrak etanolik jahe merah dosis 107,5; 215; 430 mg/Kg sebesar 62,62%; 65,95%; 80,95%, sedangkan untuk ekstrak etanolik kencur dosis 112,84; 225,68; 451,36 mg/Kg sebesar 5,71%; 22,86%; 53,33%, serta Cataflam®D-50 sebesar 77,86%. Berdasarkan uji Regresi Linier semakin meningkatnya dosis masing-masing ekstrak etanolik maka dapat meningkatkan % daya antiinflamasi. Uji KLT ekstrak etanolik jahe merah diduga adanya kandungan gingerol dan uji KLT-Densitometri ekstrak etanolik kencur terbukti adanya ethyl p-methoxycinnamate pada kencur.
ABSTRACT
Red ginger and galingal a traditional medicine for inflammatory diseases. That it contains gingerol in ginger and ethyl p-methoxycinnamate in galangal it can inhibit the activity of cyclooxygenase and lipoxygenase arachidonic acid resulting in a decrease of prostaglandins and leukotrienes. This study aimed to find out how much is antiinflammatory effect and linearity of the relationship of each dose of rhizomes in the % antiinflammatory effect and know that it contains
gingerol in ginger and ethyl p-methoxycinnamate in galangal.
This research includes pure experimental studies of completely randomized one-way pattern design. The method used is the method of Langford, et al., which has been modified. Measurement of feet thick udema mice using the digital caliper. The data obtained were analyzed by Kolmorogorof-Smirnov test, one-way ANOVA analysis followed by level of 95% and the Scheffe test. Then proceed again with Linear Regression and TLC-densitometric testing.
The results showed that red ginger ethanolic extract at a dose of 107.5; 215; 430 mg /kg BW respectively 62.62%, 65.95%, 80.95%, whereas for the galangal ethanolic extract at a dose of 112.84; 225, 68; 451.36 mg /kg BW respectively 5.71%, 22.86%, 53.33%, and Cataflam ® D-50 is 77.86%. According to the linier regression’s result, the increment of dosage in each extract will cause the increment of anti-inflammatory effect. TLC test red ginger ethanolic extract suspected that it contains gingerol and TLC-densitometric testing galangal ethanolic extract proved the existence ethyl p-methoxycinnamate in galangal.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
PRAKATA ... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii
INTISARI ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I. PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
2. Keaslian karya ... 4
3. Manfaat penelitian ... 5
B. Tujuan Penelitian ... 5
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 7
A. Jahe merah ... 7
1. Keterangan botani ... 7
2. Pertelaan ... 7
3. Kandungan dan khasiat ... 8
B. Kencur ... 8
1. Keterangan botani ... 8
2. Pertelaan ... 9
3. Kandungan dan khasiat ... 9
C. Maserasi ... 9
D. Inflamasi ... 10
1. Definisi ... 10
2. Gejala ... 11
3. Mekanisme ... 12
E. Cataflam® D-50 (K-Diklofenak) ... 15
F. Metode Uji Daya Antiinflamasi ... 16
G. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 18
H. Landasan Teori ... 19
BAB III. METODE PENELITIAN ... 20
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 20
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 20
1. Variabel penelitian ... 20
2. Definisi operasional ... 21
C. Bahan dan Alat Penelitian ... 22
1. Bahan ... 22
2. Alat ... 22
D. Tata Cara Penelitian ... 23
1. Pengumpulan, pengeringan, dan penyerbukan rimpang jahe merah dan kencur ... 23
2. Determinasi tanaman ... 23
3. Pengumpulan ekstrak etanolik jahe merah dan kencur ... 23
4. Penyiapan hewan uji ... 24
5. Pembuatan larutan karagenin 1% ... 25
6. Penetapan dosis ... 25
a. Penentuan dosis karagenin ... 25
b. Penentuan dosis Cataflam® D-50 ... 25
c. Penentuan dosis rimpang jahe merah ... 25
d. Penentuan dosis rimpang kencur ... 26
f. Orientasi waktu pemberian Cataflam® D-50 ... 26
g. Orientasi dosis ekstrak etanolik jahe merah dan kencur ... 27
h. Perlakuan hewan uji ... 27
i. Uji kualitatif minyak atsiri jahe merah dan kencur secara KLT ... 28
E. Analisis Hasil ... 28
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
A. Hasil Pengumpulan, Pengeringan, dan Penyerbukan Rimpang Jahe merah dan Kencur ... 30
B. Hasil Determinasi Tanaman Jahe merah dan Kencur ... 31
C. Hasil Pengumpulan Ekstrak Etanolik Jahe merah dan Kencur ... 31
D. Uji Pendahuluan ... 32
1. Orientasi rentang waktu pengukuran kaki setelah injeksi karagenin 1% secara subplantar ... 32
2. Orientasi rentang waktu pemberian Cataflam® D-50 ... 35
3. Orientasi dosis ekstrak etanolik jahe merah dan kencur ... 37
E. Hasil Uji Daya Antiinflamasi Ekstrak Etanolik Jahe merah dan Kencur ... 41
F. Hasil Uji Hubungan Linieritas Ekstrak Etanolik Jahe merah dan Kencur terhadap Daya Antiinflamasi ... 54
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 60
A. Kesimpulan ... 60
B. Saran ... 60
DAFTAR PUSTAKA ... 62
LAMPIRAN ... 65
DAFTAR TABEL
Tabel I. Hasil determinasi rimpang jahe merah dan kencur oleh CV Merapi Farma Herbal ... 31
Tabel II. Perbedaan pengumpulan ekstrak etanolik jahe merah dan
kencur ... 31
Tabel III. Rata- rata tebal udema kaki mencit akibat injeksi karagenin 1% subplantar pada rentang waktu tertentu, beserta hasil uji
Scheffe ... 34
Tabel IV. Rata- rata tebal udema kaki mencit akibat pemberian Cataflam® D-50 dalam waktu pemberian yang berbeda,
beserta hasil uji Scheffe ... 36
Tabel V. Rata- rata tebal udema kaki mencit akibat pemberian
ekstrak etanolik jahe merah pada rentang waktu tertentu, beserta hasil uji Scheffe ... 40
Tabel VI. Rata- rata tebal udema kaki mencit akibat pemberian ekstrak etanolik kencur pada rentang waktu tertentu,
beserta hasil uji Scheffe ... 41
Tabel VII. Hasil tebal udema kaki mencit, persentase daya antiinflamasi, dan uji Scheffe pada perlakuan ekstrak etanolik jahe merah
beserta kontrolnya ... 47
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Metabolit asam arakhidonat dan pengaruhnya pada respon
inflamasi akut ... 14
Gambar 2. Struktur Cataflam® D-50 ... 15 Gambar 3. Pembagian kelompok hewan uji untuk orientasi dan perlakuan .. 27 Gambar 4. Diagram batang rata-rata tebal udema kaki mencit akibat
injeksi karagenin 1 % subplantar pada rentang waktu tertentu .... 33
Gambar 5. Diagram batang rata-rata tebal udema kaki mencit akibat
pemberian Cataflam® D-50 dalam waktu yang berbeda ... 35 Gambar 6. Diagram batang rata-rata tebal udema kaki mencit akibat
perlakuan jahe merah dan kencur dibanding dengan kontrol
positif dan negatif pada rentang waktu tertentu ... 39
Gambar 7. Diagram batang rata-rata tebal udema kaki mencit akibat perlakuan jahe merah dan kencur dalam 3 peringkat dosis
beseta kontrolnya ... 45
Gambar 8. Diagram batang rata-rata persen daya antiinflamasi ekstrak etanolik jahe merah dan kencur dalam 3 peringkat dosis beseta kontrolnya ... 46
Gambar 9. Struktur 6- Gingerol, n=4 ... 51 Gambar 10.Struktur ethyl p-methoxycinnamate ... 53 Gambar 11.Grafik hubungan linieritas dosis I, II, III ekstrak etanolik jahe merah dengan meningkatnya persen daya antiinflamasi ... 55
Gambar 12.Grafik hubungan linieritas dosis I, II, III ekstrak etanolik kencur dengan meningkatnya persen daya antiinflamasi ... 56
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Sertifikat Kalibrasi Digital Caliper merek
“Mitutoyo 04023431” ... 65
Lampiran 2. Surat Keterangan Pembelian Mencit di LPPT-Universitas Gajah Mada ( UGM ) ... 67
Lampiran 3. Surat Pengesahan Identifikasi Tanaman Jahe merah dan kencur ... 68
Lampiran 4. Foto Tanaman Jahe merah dan Kencur ... 69
Lampiran 5. Foto Rimpang basah dan serbuk Jahe merah dan Kencur ... 70
Lampiran 6. Foto Larutan Stok Ekstrak Etanolik Jahe merah dan Kencur... 71
Lampiran 7. Hasil Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ethyl p-methoxy cinnamate dari ekstrak etanolik kencur. ... 72
Lampiran 8. a. Skema kerja orientasi rentang waktu pengukuran kaki mencit setelah diinjeksi karagenin 1%. ... 73
b. Perhitungan dosis karagenin 1% ... 73
Lampiran 9. a. Skema kerja orientasi pemberian Cataflam® D-50 dalam rentang waktu tertentu ... 74
b. Perhitungan dosis Cataflam®D-50 ... 74
Lampiran 10. a. Skema kerja orientasi pemberian ekstrak etanolik jahe merah dan kencur ... 75
b. Perhitungan dosis ekstrak etanolik jahe merah ... 75
c. Perhitungan dosis ekstrak etanolik kencur ... 77
Lampiran 11. Skema kerja pemberian ekstrak etanolik jahe merah dan kencur dalam tiga peringkat dosis ... 79
Lampiran 13. Data orientasi tebal udema kaki mencit akibat
perlakuan Cataflam® D-50 pada rentang waktu tertentu ... 81 Lampiran 14. Data orientasi tebal udema kaki mencit akibat pemberian
Ekstrak etanolik jahe merah dan kencur ... 82
Lampiran 15. Data tebal udema kaki mencit akibat pemberian ekstrak Etanolik jahe merah dan kencur dalam tiga peringkat dosis beserta kontrolnya ... 83
Lampiran 16. Data hasil perhitungan % daya antiinflamasi ekstrak etanolik jahe merah dan kencur dalam tiga peringkat dosis
beserta kontrolnya ... 84
Lampiran 17. Hasil ANOVA dengan taraf kepercayaan 95% data orientasi rentang waktu pengukuran kaki mencit setelah injeksi
karagenin 1% beserta hasil uji ... 85
Lampiran 18. Hasil ANOVA pola satu arah dengan taraf kepercayaan 95% data orientasi pemberian Cataflam® D-50 pada
rentang waktu tertentu ... 88
Lampiran 19. Hasil ANOVA pola satu arah dengan taraf kepercayaan 95% data orientasi pemberian ekstrak etanolik jahe merah dosis 2107,5 mg/Kg BB ; 430 mg/Kg BB dan kencur dosis 112,84 mg/Kg BB ; 451,36 mg/Kg BB beserta kontrolnya ... 91
Lampiran 20. Hasil ANOVA pola satu arah dengan taraf kepercayaan 95% dan uji scheffe % DA perlakuan ekstrak etanolik jahe
merah dan kencur dalam 3 peringkat dosis beserta kontrolnya 99
Lampiran 21. Hasil uji linieritas ekstrak etanolik jahe merah dan kencur
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang
Inflamasi atau peradangan merupakan suatu respon pada jaringan-jaringan
hidup di sekitar sel-sel atau jaringan tubuh yang cedera atau mati. Inflamasi saat
ini telah menjadi masalah utama penanganan sakit di masyarakat. Untuk
masyarakat yang jauh dari pusat pelayanan kesehatan terpaksa menggunakan cara
tradisional yaitu dengan memarut dan menempelkan ampas serta merebus
simplisia atau menyeduh serbuk yang secara turun-temurun berkhasiat dalam
menangani inflamasi atau peradangan tersebut. Cara tersebut sangat tidak praktis
karena dalam penggunaannya tanaman tersebut memerlukan perlakuan terlebih
dahulu dengan memarut, selain itu juga ampas dan simplisia lebih tidak stabil atau
tidak tahan lama sehingga mudah rusak.
Tanaman yang digunakan untuk pengobatan inflamasi tersebut secara
tradisional adalah kencur dan jahe merah. Kandungan rimpang kencur yaitu
minyak atsiri sebesar 2,5-4% dengan komponen ethyl p-methoxycinnamate (50%), etil sinamat (13-15%), n-pentadekan (9-22%), asam transinamat, p-metoksistiren,
asam p-komarik, borneol, kampen (Kardono, Artanti, Dewiyanti, Basuki, 2003), sedangkan untuk kandungan rimpang jahe merah yaitu minyak atsiri sebesar 1-3%
dengan komponen zingiberen, seskuipeladren, beta-bisabolon dan oleoresin sebesar 1-2,5% dengan komponen gingerol dan sogaol (Mills dan Bone, 2000).
Gingerol dalam rimpang jahe merah dan ethyl p-methoxycinnamate dalam
dalam proses inflamasi yaitu penghambatan aktivitas siklooksigenase dan
lipoksigenase dalam asam arakhidonat sehingga menyebabkan penurunan jumlah
prostaglandin dan leukotrien (Anonim, 2003; Mills dan Bone, 2000)
Pemanfaatan rimpang jahe merah dan kencur di pasaran pada umumnya
berupa serbuk dan simplisia kering, yang dibuat minuman sebagai penghilang
bengkak, penghangat tubuh, dapat juga untuk mengatasi masuk angin. Di pasaran
kemungkinan belum ada yang memanfaatkan jahe merah dan kencur sebagai obat
antiinflamasi dalam bentuk ekstrak etanolik. Oleh karena itu diperlukan penelitian
untuk memperluas penggunaan tanaman jahe merah dan kencur sebagai obat
antiinflamasi dengan membuat sediaan yang diharapkan lebih praktis dan dapat
langsung digunakan masyarakat yaitu ekstrak kental etanolik. Keunggulan ekstrak
daripada simplisia, yaitu kandungan kimianya tinggi, lebih mudah distandarisasi,
lebih stabil dan ringkas, lebih fleksibel (luwes atau lentur) untuk diolah menjadi
bentuk sediaan yang diinginkan.
Atas dasar kenyataan di atas, adanya kandungan gingerol pada jahe merah dan ethyl p-methoxycinnamate pada kencur yang memiliki daya antiinflamasi, maka jahe merah dan kencur sangat menarik untuk diteliti sebagai alternatif
pengobatan antiinflamasi secara oral karena penggunaan secara oral lebih praktis
dibanding dengan memarut dan menempel ampas secara langsung.
Mengingat adanya berbagai macam obat antiinflamasi non-steroid
pencernaan (Anonim, 2009). Maka, peneliti memilih obat tradisional sebagai
alternatif yang dapat mengurangi efek samping tersebut.
Untuk itulah dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah
ekstrak etanolik jahe merah dan kencur dapat mengurangi gejala inflamasi
sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pengganti OAINS seperti
Cataflam®D-50 dan juga mengetahui seberapa besar kemampuan kedua ekstrak etanolik tersebut dalam mengurangi gejala inflamasi serta mengetahui hubungan
linieritas dosis ekstrak etanolik jahe merah dan kencur dalam meningkatkan %
daya antiinflamasi.
Berdasarkan tujuan di atas, kemampuan antiinflamasi ekstrak etanolik
dalam mengurangi gejala inflamasi dapat diperoleh dengan mengukur tebal
udema menggunakan metode dari Mahmood, Aorahman, Tariq, dan Hussain,
(2009) di mana pengukurannya menggunakan jangka sorong digital. Melalui
pengukuran tersebut dihitung dengan Metode Langford, et al., (1972) termodifikasi untuk mendapat % daya antiinflamasi, dilanjutkan dengan pengujian
secara statistika dengan taraf kepercayaan 95%.
1. Perumusan masalah
a. Apakah ekstrak etanolik jahe merah dan kencur mempunyai daya
antiinflamasi ?
b. Seberapa besar daya antiinflamasi dari ekstrak etanolik jahe merah dan
ekstrak etanolik kencur ?
c. Apakah ada hubungan linieritas antara dosis ekstrak etanolik jahe merah
d. Apakah gingerol terdapat dalam ekstrak etanolik jahe merah sedangkan
ethyl p- methoxycinnamate terdapat dalam ekstrak etanolik kencur ? 2. Keaslian karya
Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan oleh penulis, penelitian
Daya Antiinflamasi Ekstrak Etanolik Jahe merah (Zingiber officinale Roxb.) dan Kencur (Kaempferia galanga L.) pada Mencit Putih Jantan yang sudah pernah dilakukan antara lain berdasarkan Pumiyuki, Shibuya, Sankawa,
(1982) melaporkan ekstrak metanolik jahe memiliki kemampuan
penghambatan terhadap biosintesis prostaglandin. Raji, Udoh, Oluwadara,
Akinsomisoye, Awobajo, Adeshoga, (2002) melaporkan ekstrak etanolik jahe
yang diinjeksikan secara intraperitonial pada dosis 50 dan 100 mg/Kg
memiliki kemampuan menghambat mediator inflamasi akibat penginduksian
karagenin 1%, sedangkan John, (2006) melaporkan pada dosis 50-800 mg/Kg,
akibat penginduksian dengan telur putih yang mengandung albumin di mana
kedua penelitian tersebut pengukuran udemanya menggunakan metode
penimbangan kaki mencit. Tanasorn, et al., (2007) melaporkan ekstrak metanolik kencur dengan menggunakan fase gerak heksan:etil asetat (70:30)
memiliki komponen utama etil sinamat. Perbedaan penelitian yang dilakukan
oleh penulis dengan penelitian sebelumnya adalah untuk mengetahui daya
antiinflamasi dari ekstrak etanolik jahe merah dan kencur secara oral dan
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis.
Untuk menambah informasi tentang kemampuan antiinflamasi rimpang
jahe merah dan kencur.
b. Manfaat metodologis.
Menambah informasi tentang metode pengukuran tebal udema dengan
jangka sorong digital yang dapat digunakan untuk mengetahui daya
antiinflamasi antara ekstrak etanolik jahe merah dan kencur.
c. Manfaat praktis.
Untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai dosis efektif
ekstrak etanolik jahe merah dan kencur secara oral sebagai antiinflamasi
dari obat tradisional.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan alternatif pengobatan
tradisional secara oral terhadap penyakit inflamasi/radang dengan
menggunakan ekstrak etanolik jahe merah (Zingiber officinale Roxb.) dan kencur (Kaempferia galanga L.) yang diduga dapat mengatasi inflamasi atau peradangan.
2. Tujuan khusus
b. Mengetahui seberapa besar daya antiinflamasi ekstrak etanolik jahe
merah (Zingiber officinale Roxb.) dan kencur (Kaempferia galanga L.). c. Mengetahui hubungan linieritas antara dosis ekstrak etanolik jahe merah
(Zingiber officinale Roxb.) dan kencur (Kaempferia galanga L.) dalam meningkatkan % daya antiinflamasi.
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Jahe merah (Zingiber officinale Roxb.) 1. Keterangan botani
Jahe merah (Zingiber officinale Roxb.) merupakan anggota famili Zingiberaceae, dengan nama ginger (Inggris) dan jahe (Indonesia). Jahe merah mudah tumbuh di tempat yang terbuka sampai tempat yang agak
ternaung, misalnya kebun atau pekarangan. Tanaman ini juga dapat tumbuh
di tanah yang padat, kering atau gembur dengan ketinggian 0-900 m di atas
permukaan laut. Jahe merah banyak dijumpai di negara tropis dan subtropis
(Anonim, 1978; Anonim, 1999).
2. Pertelaan
Jahe merah merupakan tanaman herba tegak dengan tinggi 30–60 cm.
Tanaman ini berbatang semu, beralur, berwarna hijau. Daun tunggal berwarna
hijau tua. Helai daun berbentuk lanset, tepi rata, ujung runcing dan
pangkalnya tumpul. Panjang daun 20–40 cm dan lebarnya 2–4 cm. Bunga
majemuk, berbentuk bulir dengan tangkai sepanjang 25 cm yang berwarna
hijau kemerahan. Kelopak bunga berbentuk tabung bergerigi tiga. Mahkota
bunga berbentuk corong, panjangnya 2–2,5 cm berwarna ungu. Buah kotak
berbentuk bulat sampai bulat panjang berwarna coklat. Biji bulat berwarna
hitam. Akar serabut berwarna putih kotor. Rimpangnya bercabang-cabang,
tebal dan agak melebar (tidak silindris), serta berwarna kuning pucat. Bagian
merah muda. Rimpang berbau khas dan rasanya pedas menyegarkan (Anonim,
1978).
3. Kandungan dan khasiat
Rimpang jahe merah mengandung minyak atsiri dengan komponen
utama zingiberen dan zingiberol, oleoresin dengan komponen utama gingerol
± 1-3 %. Oleoresin merupakan campuran homogen antara minyak atsiri dan
resin, di mana kemampuannya untuk menguap kurang dibandingkan dengan
minyak atsiri murni (Obie, 2009). Gingerol merupakan senyawa fenol yang memiliki khasiat sebagai antiinflamasi (Sudarsono, et al., 1996, Mills dan Bone, 2000).
B. Kencur ( Kaempferia galangaL. )
1. Keterangan botani
Kencur (Kaempferia galangal L.) merupakan anggota famili Zingiberaceae, dengan nama galangal (Inggris) dan kencur (Indonesia). Tumbuh subur di daerah tropis, di daerah yang banyak turun hujan, di dataran
rendah sampai pegunungan. Tumbuh subur pada tanah yang berwarna hitam
dan berpasir, di tempat yang sedikit terlindung. Banyak dibudidayakan di
Indonesia, terutama di pulau Jawa (Anonim, 1977).
2. Pertelaan
Terna tahunan, berbatang basal tidak begitu tinggi, lebih kurang 20
cm. Tumbuh dalam rumpun. Daun tunggal, berwarna hijau dengan pinggir
panjang 7-15 cm, lebar 2-8 cm, ujung runcing, pangkai berlekuk, dan tepinya
rata. Permukaan daun bagian atas tidak berbulu, sedangkan bagian bawah
berbulu halus tangkai daun pendek, berukuran 3-10 cm, pelepah terbenam
dalam tanah, panjang 1,5-3,5 cm, berwarna putih. Bunga tunggal, bentuk
terompet, panjang sekitar 2,5-5 cm. Benang sari panjang sekitar 4 mm,
berwarna kuning. Putik berwarna putih atau putih keunguan. Akar serabut
berwarna coklat kekuningan. Rimpang pendek berwarna coklat, berbentuk jari
dan tumpul. Bagian luarnya seperti bersisik. Daging rimpang tidak keras,
rapuh, mudah patah dan bergetah.Berbau harum dengan rasa pedas yang khas
(Anonim, 1977).
3. Kandungan dan khasiat
Rimpang kencur mengandung senyawa-senyawa polifenol dan minyak
atsiri (2,4-3,9 %) (Kardono, et al., 2003). Ekstrak rimpang kencur berupa cairan jernih, berbau khas kencur. Rimpang kencur dapat digunakan sebagai
obat antiinflamasi karena diduga adanya kandungan ethyl p-methoxycinnamate sebagai komponen paling utama (Anonim, 2003).
C. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari dengan bantuan
penggojogan. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan terlarut dan karena adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan yang di luar sel,
sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan yang di luar sel dan di
dalam sel. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol
(Anonim, 1987).
Metode maserasi dipilih karena metode tersebut sangat sederhana di mana
serbuk dari masing-masing tanaman direndam dan digojog dengan alat yang
disebut dengan maserator sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Selain itu
juga metode maserasi dipilih karena tidak membutuhkan panas akibat sifat dari
senyawa aktif termasuk oleoresin, di mana tidak memerlukan pemanasan untuk
menarik senyawa aktif yang terkandung dalam kedua rimpang. Adapun pelarut
yang digunakan disesuaikan dengan senyawa yang diinginkan seperti jahe merah
menggunakan etanol 70% sedangkan kencur menggunakan etanol 95%. Pemilihan
pelarut ini didasarkan keselektifitasannya dalam menarik senyawa yang
diinginkan, mudah diperoleh, bereaksi netral, tidak mudah terbakar, tidak
mempengaruhi zat aktif dan juga tingkat keamanan dari pelarut tersebut bilamana
ada sisa selama proses penguapan berlangsung.
D. Inflamasi
1. Definisi
Inflamasi atau peradangan merupakan suatu respon jaringan luka. Luka ini
biasanya disebabkan reaksi kimia, reaksi fisika, infeksi dengan mikroorganisme
atau parasit. Hal ini ditandai dengan meningkatnya aliran darah, meningkatnya
Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme pertahanan dimana tubuh
berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen-agen yang berbahaya pada
tempat cedera dan untuk mempersiapkan keadaan perbaikan jaringan, ketika
proses inflamasi berlangsung terjadi reaksi vaskuler di mana cairan,
elemen-elemen darah, sel darah putih dan mediator kimia berkumpul pada tempat cedera
jaringan atau infeksi berbagai mediator kimia dilepaskan selama proses inflamasi
(Setyarini, 2009).
2. Gejala
Gejala reaksi radang dapat diamati; pemerahan (rubor), panas meningkat (calor), pembengkakan (tumor), nyeri (dolor) dan gangguan fungsi (fungsiolaesa). Gejala-gejala ini merupakan akibat dari gangguan aliran darah yang terjadi akibat kerusakan jaringan dalam pembuluh vaskuler, gangguan
keluarnya plasma darah (ekdusasi) ke dalam ruang ekstra sel akibat meningkatnya
pembuluh kapiler dan perangsangan reseptor nyeri (Mutschler, 1986).
Tanda-tanda utama radang:
Warna kemerahan (rubor), Jaringan yang mengalami radang akut tampak berwarna merah, seperti pada kulit terkena sengatan matahari, selulitas karena
infeksi bakteri atau konjungtivitas akut. Warna kemerahan ini akibat adanya
dilatasi pembuluh darah kecil dalam daerah yang mengalami kerusakan (Setyarini,
2009).
Panas (calor), Peningkatan suhu banyak tampak pada bagian perifer (tepi), seperti pada kulit. Peningkatan suhu ini diakibatkan oleh meningkatnya aliran
mengalirkan darah yang hangat pada daerah tersebut. Demam sistemik sebagai
hasil dari beberapa mediator kimiawi, proses radang juga ikut meningkatkan
temperatur lokal (Setyarini, 2009).
Bengkak (tumor), pembengkakan sebagai hasil adanya udema merupakan suatu akumulasi cairan dalam rongga ekstra vaskuler yang merupakan bagian dari
cairan eksudat dan dalam jumlah sedikit kelompok sel radang yang masuk dalam
darah tersebut (Setyarini, 2009).
Nyeri (dolor), pada radang akut rasa sakit merupakan salah satu gambaran yang dikenal baik oleh penderita rasa sakit sebagian disebabkan oleh regangan
atau distorsi jaringan akibat udema dan terutama karena adanya tekanan di dalam
rongga abses. Beberapa mediator kimiawi pada radang akut termasuk,
prostaglandin, dan serotonin diketahui juga menyebabkan rasa sakit (Setyarini,
2009).
Gangguan fungsi (fungsiolaesa), merupakan konsekuensi dari suatu proses radang. Gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik dilakukan secara langsung
atau reflek akan mengalami hambatan rasa sakit. Pembengkakan yang hebat
secara fisik mengakibatkan kurangnya gerak jaringan (Setyarini, 2009).
3. Mekanisme
Kerusakan sel yang menyertai peradangan menyebabkan pelepasan enzim
lisosom dari leukosit melalui kerja atas membran sel, kemudian asam arakhidonat
dilepaskan dari senyawa precursor oleh fosfolipase. Enzim siklooksigenase
merubah asam arakhidonat menjadi prostaglandin dan tromboksan. Lipoksigenase
mempunyai efek kemotaktik yang kuat pada eosinofil, neutrofil dan makrofag
yang mendorong terjadinya bronkokonstriksi dan perubahan permeabilitas
vaskuler (Mycek, Harvey, dan Champe, 2001).
Prostaglandin dan senyawa yang berkaitan (tromboksan, leukotrien,
asamhidroksieikosatetraenoat/HETE) diproduksi dalam jumlah kecil oleh semua
jaringan. Umumnya bekerja lokal pada jaringan tempat prostaglandin tersebut
disintesis, dan cepat dimetabolisme menjadi produk inaktif pada tempat kerjanya
(Mycek, et al., 2001).
Metabolisme asam arakhidonat berlangsung melalui salah satu dari dua
jalur utama, yaitu sesuai dengan enzim yang mencetuskan reaksi :
a) jalur siklooksigenase (COX)
Mula-mula dibentuk suatu endoperoksida siklik prostaglandin G2
(PGG2), yang kemudian dikonversi menjadi prostaglandin H2 (PGH2) oleh
peroksidase. PGH2 sendiri sangat tidak stabil, lalu membentuk prostasiklin
(PGI2) dan Tromboksan (TXA2), prostaglandin D2 (PGD2), prostaglandin E2
(PGE2), prostaglandin F2 (PGF2). Aspirin dan agen antiinflamasi non steroid
(AINS) seperti indometasin menghambat siklooksigenase dan karena itu
menghambat sintesis prostaglandin (Chandrasoma dan Taylor, 1995).
b) jalur lipoksigenase
Reaksi awal pada jalur ini ialah adanya tambahan gugus hidroperoksi
pada posisi karbon 5-, 12-, 15- yang oleh enzim masing-masing membentuk
lipoksigenase-5, lipoksigenase-12, lipoksigenase-15. Lipoksigenase-5
berciri khas. Derivat hidroperoksi asam arakhidonat yang disebut
5-HPETE, sangat tidak stabil dan direduksi sebagai 5-HETE (yang bekerja
kemotaksis untuk neutrofil) atau diubah menjadi golongan leukotrien.
Leukotrien pertama yang dihasilkan dari 5-HPETE disebut leukotrien A4
(LTA4), kemudian oleh hidrolisis enzim membentuk leukotrien B4 (LTB4)
atau leukotrien C4 (LTC4) dengan penambahan glutation. Leukotrien C4
(LTC4) diubah menjadi leukotrien D4 (LTD4) dan akhirnya menjadi
leukotrien E4 (LTE4). Leukotrien B4 merupakan agen kemotaksis kuat dan
menyebabkan agregasi neutrofil. Leukotrien C4 dan LTD4 menyebabkan
vasokonstriksi, spasmus bronkus dan meningkatkan permeabilitas vascular
Gambar 1. Metabolit asam arakhidonat dan pengaruhnya pada respon inflamasi
akut (Chandrasoma dan Taylor, 1995)
E. Cataflam® D-50 ( K-Diklofenak )
Cataflam®D-50merupakan diklofenak bebas asam 50 mg/tablet dispersibel yang diindikasikan untuk pengobatan jangka pendek inflamasi dan nyeri,
oesteroartritis, gout, reumatik artikuler. Dosis awal 2-3 tablet sehari, untuk kasus
Cataflam merupakan turunan dari asam benseasetat dengan nama kimia
2-[(2,6-dichlorophenyl)amino] benzeneacetic acid (C14H10Cl2NKO2). Strukturnya
yaitu
Gambar 2. Struktur Cataflam 2-[(2,6-dichlorophenyl)amino] benzeneacetic acid
Cataflam®D-50 merupakan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) yang mampu menghambat antiinflamasi, analgesik dan antipiretik dalam model hewan.
Mekanisme aksi dari Cataflam seperti OAINS lainnya yaitu menghambat proses
pelepasan sintesis prostaglandin (Anonim, 2009).
F. Metode Uji Daya Antiinflamasi
Metoda pengujian aktivitas antiinflamasi suatu bahan calon obat dilakukan
berdasarkan pada kemampuan obat uji mengurangi atau menekan derajat udema
yang diinduksi pada hewan percobaan. Ada berbagai macam teknik pengujian
yang telah diperkenalkan untuk mengevaluasi antiinflamasi. Perbedaan di antara
metoda-metoda pengujian tersebut terletak pada cara menginduksi udema pada
hewan percobaan yaitu induksi secara kimia (menggunakan berbagai bahan kimia
dan berbagai cara pemberian induktor), secara fisika (penyinaran radiasi
ultraviolet), secara mekanik dan induksi oleh mikroba (Anonim, 1991).
Adapun metoda yang akan digunakan dalam penelitian ini metode
mencit dilakukan dengan cara penyuntikan subplantar pada telapak kaki mencit,
suatu senyawa iritan yang dapat menimbulkan radang yaitu karagenin. Bahan uji
diberikan 1 jam sebelum penyuntikan suspensi karagenin 1% dalam NaCl
fisiologis. Prosentase daya antiinflamasi dapat dihitung dari perubahan bobot kaki
hewan uji.
Adapun rumus aslinya adalah sebagai berikut :
Daya antiinflamasi (%) = �𝑈𝑈−𝐷𝐷
𝐷𝐷 � 𝑥𝑥 100 %
Keterangan :
U = harga rata-rata berat kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki normal (kaki kanan)
D = harga rata-rata berat kaki kelompok perlakuan (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki normal (kaki kanan)
Karena prosentase daya anti-inflamasi dihitung dari pengurangan bobot udema
menghasilkan > 100% maka rumus di atas diubah menjadi sebagai berikut:
Daya antiinflamasi (%) = �𝑈𝑈−𝐷𝐷
𝑈𝑈 � 𝑥𝑥 100 %
Keterangan:
U = rata-rata bobot kaki kelompok karagenin dikurangi rata-rata bobot kaki kelompok normal (tanpa perlakuan)
D = rata-rata bobot kaki kelompok perlakuan dikurangi rata-rata bobot kaki kelompok normal (tanpa perlakuan)
Letak perbedaannya adalah bahwa pada metode Langford,et al., persen (%) daya antiinflamasi kelompok perlakuan merupakan hasil selisih rata-rata berat
kaki kelompok karagenin dengan rata-rata berat kaki kelompok perlakuan
dibandingkan dengan rata-rata berat kaki kelompok perlakuan, sedangkan pada cara perhitungan yang digunakan adalah persen (%) daya antiinflamasi kelompok
karagenin dengan rata-rata berat kaki kelompok perlakuan dibandingkan dengan
rata-rata berat kaki kelompok karagenin. Kedua cara perhitungan ini sama-sama dapat memberikan hasil negatif (-) bila harga U < D. Selain itu juga letak
perbedaan pada pengukuran udema untuk mengetahui daya antiinflamasi tidak
menggunakan pemotongan kaki dan ditimbang, namun diukur menggunakan
jangka sorong digital.
Pengukuran tebal udema ini mengadopsi dari Mahmood, et al., (2009) di mana pengukurannya terletak pada ketebalan kaki mencit (dari telapak kaki
mencit dengan posisi jangka sorong vertikal).
Adapun metode lain yang dapat digunakan untuk pengukuran tebal kaki
mencit yang telah diinduksi dengan zat inflamatogen karagenin yaitu mengukur
luas permukaan kaki mencit (panjang x lebar) menggunakan jangka sorong
(Tohda, Nakayama, Hatanaka, Komatsu, 2006). Kelemahan dari metode ini
adalah tidak dapat diketahuinya tebal udema yang sebenarnya karena hanya
diukur melalui telapak kaki mencit saja, padahal udema jelas nampak pada bagian
atas permukaan kaki mencit.
G. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
KLT adalah metoda pemisahan fisikokimia. Lapisan yang memisahkan,
yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga
berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah,
berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita. Setelah pelat atau lapisan
pemisahan terjadi selama pengembangan (Stahl, 1985). Fase diam yang umum
digunakan adalah silica gel, alumina, selulosa (Sastrohamidjojo, 1991).
Fase gerak yang digunakan berupa cairan dan pemilihannya tergantung
dari tingkat kepolaran senyawa yang akan dipisahkan (Stahl, 1985). Reagen
pendeteksi yang dipakai misalnya untuk mengetahui gingerol digunakan vanilin-sulphuric acid reagent (Wagner, 1996).
H. Landasan Teori
Ekstrak etanolik jahe merah mengandung senyawa gingerol sedangkan kencur mengandung ethyl p-methoxycinnamate yang mampu menghambat aktivitas siklooksigenase dan lipoksigenase dalam asam arakhidonat sehingga
menyebabkan penurunan jumlah prostaglandin dan leukotrien (Anonim, 2000;
Kardono, et al., 2003).
I. Hipotesis
Ekstrak etanolik jahe merah dan kencur mempunyai daya antiinflamasi
dengan cara menghambat aktivitas siklooksigenase dan lipoksigenase dalam asam
arakhidonat. Dosis ekstrak etanolik jahe merah dan kencur memiliki hubungan
linieritas dalam meningkatkan % daya antiinflamasi. Ekstrak etanolik jahe merah
BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian eksperimental murni
menggunakan rancangan acak lengkap pola satu arah.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel penelitian
a. Variabel bebas.
Variabel bebas pada penelitian ini adalah dosis ekstrak etanolik jahe merah
dan kencur yang diberikan pada mencit putih jantan yang mengalami radang
buatan dengan larutan karagenin 1% pada waktu pengukuran tertentu.
b. Variabel tergantung
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah tebal udema pada kaki mencit
yang mengalami radang buatan dengan larutan karagenin 1%.
c. Variabel pengacau terkendali
Variabel yang dapat dikendalikan dalam penelitian ini adalah :
1) Mencit yang digunakan adalah mencit jantan, galur Swiss
2) Umur mencit jantan yang digunakan adalah 2-3 bulan
3) Berat badan mencit jantan yang digunakan adalah 20-30 gram
4) Suhu ruangan mencit selama proses penelitian berlangsung 23°±2°C
5) Makanan mencit yang diberikan adalah 10% dari berat badan mencit
7)Kondisi hewan uji yang digunakan dalam penelitian adalah sehat.
d. Variabel pengacau tak terkendali
Variabel yang tidak dapat dikendalikan dalam penelitian ini adalah :
1) Waktu pengumpulan rimpang oleh petani selama musim penghujan dan
kemarau.
2) Waktu panen tanaman jahe merah dan kencur berkisar 2-3 bulan
3) Panjang dan lebar kaki mencit
2. Definisi operasional
b. Uji daya antiinflamasi
adalah uji dengan menggunakan mencit jantan galur Swiss sebagai hewan uji
yang telah diberikan ekstrak etanolik jahe merah dan kencur secara oral,
kemudian diradangkan telapak kakinya dengan karagenin 1% dan diukur
tebal udema yang terbentuk menggunakan jangka sorong digital, lalu
dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol negatif.
c. Ekstrak etanolik jahe merah dan kencur
adalah ekstrak yang diperoleh dengan cara maserasi serbuk kering jahe merah
dan kencur dengan pelarut ethanol selama 6 jam kemudian didiamkan hingga
24 jam, proses diulang 2 kali yang kemudian maserat dikumpulkan dan
diuapkan dengan bantuan rotari evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental
C. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan
a. Hewan uji : mencit jantan galur Swiss dengan usia 2-3 bulan, bobot badan
20-30 gram, yang diperoleh dari Laboratorium Penelitian dan Pengujian
Terpadu (LPPT-UGM), Yogyakarta.
b. Bahan uji: Jahe merah (Zingiber officinale Roxb.) dan Kencur (Kaempferia galanga L.) diperoleh dari Merapi Farma, Yogyakarta.
c. Zat inflamatogen : karagenin tipe I (Sigma Chemical Co.) diperoleh dari
Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi USD.
d. Pensuspensi karagenin : NaCl 0,9% fisiologis dari Apotik Kimia Farma,
Yogyakarta
e. Pelarut Ethanol 96% : larutan etanol (teknis), yang diperoleh dari Alfa
Kimia, Yogyakarta.
f. Kontrol Positif : Cataflam® D-50 (K-Diklofenak) yang diperoleh dari Apotik Jadi Waras, Yogyakarta.
g. Air mineral merk “Aqua”.
2. Alat
Glassware (Pyrex-Germany), alat suntik dengan jarum yang dimodifikasi untuk oral dan jarum subplantar (Terumo), gunting, jangka
sorong digital, stopwatch, alat maserasi (modifikasi Laboratorium
Farmakognosi Fitokimia Universitas Sanata Dharma), timbangan analitik, alat
D. Tata Cara Penelitian
1. Pengumpulan, pengeringan dan penyerbukan rimpang jahe merah dan kencur
Rimpang jahe merah (Zingiber officinale Roxb.) dan kencur (Kaempferia galanga L.) yang masih basah diperoleh dari Merapi Farma pada bulan Juli 2009 yang bertempat di jalan Kaliurang, Yogyakarta. Bahan
tersebut dicuci bersih, dan dirajang menjadi potongan-potongan kecil
melintang dengan tebal ± 2-3 mm. Setelah dirajang bahan tersebut
dikeringkan di oven dengan suhu ± 45°C, pengeringan dilakukan sampai
bahan mudah dipatahkan (Anonim, 1985). Kemudian dilakukan penyerbukan
terhadap hasil pengeringan simplisia jahe merah dan kencur.
2. Determinasi tanaman
Determinasi tanaman dilakukan untuk membuktikan kebenaran
tanaman jahe merah dan kencur yang digunakan. Determinasi tanaman jahe
merah dan kencur telah dilakukan oleh pihak dimana asal tanaman tersebut
tumbuh yaitu Merapi Farma, Kaliurang, Yogyakarta.
3. Pengumpulan ekstrak etanolik jahe merah dan kencur
Ekstrak etanolik dibuat dengan cara maserasi menggunakan etanol
70% (untuk rimpang jahe merah) dan etanol 95% (untuk rimpang kencur).
Waktu yang digunakan untuk proses maserasi dengan masing-masing penyari
adalah 24 jam. Cara kerja dari proses penyarian metode maserasi yaitu 100
gram serbuk kering rimpang jahe dan kencur masing-masing dimasukkan ke
dalam maserator, ditambah 1000 ml etanol 70% (untuk isolasi rimpang jahe)
sambil diaduk, kemudian didiamkan sampai 24 jam. Maserat dipisahkan
menggunakan kertas saring dengan bantuan destilat vakum dan proses
diulangi 2 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Pada prinsipnya
metode maserasi merupakan metode sederhana, dimana serbuk direndam
menggunakan cairan penyari yang sesuai.
Setelah tahap maserasi selesai maka fraksi yang diperoleh dievaporasi
sampai cairan menguap semua hal ini ditandai dengan tidak menetesnya
kembali cairan penyari (Anonim, 2004). Namun hasil fraksi ini belum dapat
dinyatakan sebagai ekstrak kental bilamana 2 kali penimbangan setelah
pemanasan selama 1 jam berturut-turut berbeda tidak lebih dari 0,5 mg tiap
gram sisa yang ditimbang (Anonim, 1995), sehingga perlu adanya perlakuan
lebih lanjut untuk mengatasi hal ini yaitu dengan pemanasan menggunakan
oven. Rendemen yang diperoleh ditimbang dan dicatat.
4. Penyiapan hewan uji
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan
galur Swiss, usia 2-3 bulan, bobot badan 20-30 gram. Mencit yang dibutuhkan
sebanyak 66 ekor dan dikelompokkan sebagai berikut :
a. lima ekor untuk orientasi waktu pengukuran setelah diinjeksi karagenin
b. sembilan ekor untuk orientasi waktu pemberian Cataflam® D-50 (K-Diklofenak), masing-masing 3 ekor
c. dua belas ekor untuk orientasi dosis ekstrak etanolik jahe merah dan
d. sepuluh ekor untuk kelompok kontrol positif (Cataflam® D-50) dan kontrol negatif ( Aquadest), masing-masing 5 ekor
e. tiga puluh ekor mencit untuk perlakuan tiga peringkat dosis ekstrak
etanolik jahe merah dan kencur, masing-masing 5 ekor untuk setiap
kelompok.
5. Pembuatan larutan karagenin 1%
Timbang seksama 1000 mg karagenin, dilarutkan dalam NaCl
fisiologis 0,9 % hingga volume 100,0 ml.
6. Penetapan dosis
a. Penentuan dosis karagenin
Dosis karagenin diketahui yaitu dengan kadar 1% dan volume pemberian
0,05 ml (Williamson, 1996), berat badan mencit rata-rata 20 gram = 0,02 kg
sehingga didapat dosis larutan karagenin sebesar 25 mg/kg BB (perhitungan
dosis dapat dilihat pada lampiran 8b).
b. Penetuan dosis Cataflam® D-50
Dosis Cataflam®D-50 (K-Diklofenak)sebesar 50 mg untuk manusia dengan berat badan 50 kg. Berat badan mencit rata-rata 20 gram = 0,02 kg, sehingga
diperoleh dosis untuk mencit 20 gram sebesar 9,1 mg/Kg BB mencit
(perhitungan dapat dilihat pada lampiran 9b).
c. Penentuan dosis rimpang jahe merah
Dalam penelitian ini ekstrak etanolik rimpang jahe merah dibuat dalam tiga
peringkat dosis yaitu 107,5; 215; 430 mg/Kg BB mencit. Hal ini didasarkan
masyarakat umum menurut Ferlina (2009) diperoleh dosis untuk dewasa dan
anak-anak di atas 12 tahun adalah 0,5 - 2 gram sehari untuk sekali minum,
atau dibagi menjadi beberapa kali minum. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada lampiran 11b.
d. Penentuan dosis rimpang kencur
Dalam penelitian ini ekstrak etanolik rimpang kencur dibuat dalam tiga
peringkat dosis yaitu 112,84; 225,68; 451,36 mg/Kg BB mencit. Hal ini
didasarkan pada pemakaian rimpang kering kencur yang biasa digunakan
masyarakat umum untuk dewasa dan anak-anak di atas 12 tahun adalah 5-10
gram sehari untuk sekali minum, atau dibagi menjadi beberapa kali minum
(Anonim, 2009). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 11c.
e. Orientasi rentang waktu pengukuran kaki setelah injeksi karagenin
Hewan uji dibagi dalam beberapa 3 kelompok (@ kelompok : 5 ekor ,
kemudian diberi injeksi subplantar 0,05 ml suspensi karagenin. Selanjutnya
tiap kelompok hewan uji diukur pada selang waktu tertentu, yaitu 1, 2 dan 3
jam setelah injeksi karagenin subplantar pada kedua kaki belakang
menggunakan jangka sorong digital.
f. Orientasi waktu pemberian Cataflam®D-50 (K-Diklofenak)
Hewan uji dibagi dalam tiga kelompok, masing-masing kelompok diberi
perlakuan Cataflam®D-50 dengan dosis 9,1 mg/Kg BB mencit dengan variasi waktu 1 jam sebelum, sesaat sebelum dan 1 jam sesudah pemberian injeksi
g. Orientasi dosis ekstrak etanolik jahe merah dan kencur
Hewan uji dibagi dalam beberapa kelompok. Kelompok 1 diberi perlakuan
oral ekstrak etanolik jahe merah pada selang waktu yaitu hasil orientasi waktu
pemberian Cataflam®D-50 (1 jam sebelum, sesaat sebelum dan 1 jam sesudah) pemberian injeksi subplantar karagenin 1%. Kelompok 2 diberi
perlakuan oral ekstrak etanolik kencur, kemudian kedua kakinya diukur
mengunakan jangka sorong digital.
h. Perlakuan hewan uji tersaji pada gambar 3.
i. Uji Kualitatif Minyak Atsiri Jahe merah dan Kencur secara KLT
Sebanyak 10 µl (ekstrak etanolik jahe merah) dan 1 µl (ekstrak etanolik
kencur) ditotolkan pada plat silika Gel GF254. Plat dimasukkan ke dalam
chamber yang telah jenuh dengan fase gerak heksan: dietil eter (40:60 v/v)
untuk ekstrak etanolik jahe merah dan heksan-etil asetat (4:1 v/v) untuk
ekstrak etanolik kencur. Kemudian, senyawa dielusikan hingga batas yang
telah ditentukan kemudian diamati pada UV254 dan 365serta visibel yang
disemprot dengan reagen pendeteksi vanilin asam sulfat.
E. Analisis Hasil
Daya antiinflamasi dihitung dengan rumus pada metode Langford, et al.,
yang telah dimodifikasi, yaitu :
Daya antiinflamasi (%) = �𝑈𝑈−𝐷𝐷
𝑈𝑈 � 𝑥𝑥 100 %
U = harga rata-rata tebal kaki kelompok karagenin dikurangi rata-rata tebal kaki normal (tanpa perlakuan)
D = harga rata-rata tebal kaki kelompok perlakuan dikurangi rata-rata tebal kaki normal (tanpa perlakuan)
Data kuantitatif daya antiinflamasi selanjutnya dianalisis secara statistik
menggunakan metode analisa varian pola searah. Untuk mengetahui normalitas
distribusi data menggunakan uji Kolmorogorof-Smirnov, jika terdistribusi normal
dilanjutkan dengan ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95% untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan antar kelompok. Kemudian dilanjutkan
dengan uji Scheffe untuk melihat perbedaan antar kelompok bermakna
Selain itu juga, untuk mengetahui hubungan linieritas antara ekstrak
etanolik jahe merah dan kencur dalam meningkatkan daya antiinflamasi
menggunakan uji Regresi Linier.
Uji kualitatif dan kuantitatif kandungan kimia sediaan uji dianalisis
dengan KLT-Densitometri dan dibandingkan dengan data atau informasi dari
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengumpulan, Pengeringan dan Penyerbukan Rimpang Jahe merah dan Kencur
Sebelum dilakukan pengumpulan ekstrak etanolik, terlebih dahulu rimpang
segar jahe merah dan kencur harus dicuci, dirajang dan dikeringkan. Tujuan
pencucian adalah untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya, seperti debu,
pasir dan sebagainya, karena faktor tersebut mengandung berbagai mikroba dalam
jumlah tinggi yang dapat mempengaruhi bahan. Perajangan bertujuan untuk
merusak dinding sel sehingga senyawa aktif yang terjebak dalam sel jaringan
tanaman dapat keluar ke permukaan bahan dan terlarut bersama pelarut yang
sesuai, sedangkan pemotongan 2-3 mm agar tidak terlalu tebal juga tidak terlalu
tipis, sehingga dapat mempercepat waktu pengeringan. Semakin tipis bahan
semakin cepat penguapan air. Namun jika terlalu tipis dapat menyebabkan
berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap sehingga dapat
mempengaruhi kualitas komposisi, bau, dan rasa. Sebaliknya irisan yang terlalu
tebal akan membutuhkan waktu pengeringan yang lama dan dapat mengakibatkan
face hardening (bagian luar bahan sudah kering, namun bagian dalam masih basah) sehingga bahan dapat mudah rusak/busuk di bagian dalam.
Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air yang masih tersisa pada
bahan yang dapat menjadi media pertumbuhan mikrobia. Suhu pengeringan 45°C,
agar panas yang mengenai rimpang tidak terlalu tinggi dan penguapan senyawa
Hasil pengumpulan akhir yang diperoleh dari rimpang jahe merah sebesar
718,1 gram serbuk, sedangkan untuk rimpang kering kencur sebesar 404 gram.
B. Hasil Determinasi Tanaman Jahe merah dan Kencur
Determinasi ini dilakukan langsung oleh pihak CV. Merapi Farma Herbal
(Tabel I). Untuk lebih jelasnya lihat lampiran 3.
Tabel I. Hasil determinasi rimpang jahe merah dan kencur oleh CV. Merapi Farma Herbal
Hasil determinasi tanaman jahe merah dan kencur di atas telah
menunjukkan keyakinan dan kepastian bahwa tanaman yang digunakan telah
sesuai.
C. Hasil Pengumpulan Ekstrak Etanolik Jahe merah dan Kencur
Pengumpulan ekstrak etanolik jahe merah dan kencur menggunakan
metode maserasi. Hasil yang didapat dari proses ini berupa ekstrak etanolik
sebagai berikut :
Tabel II Perbedaan hasil ekstrak etanolik jahe merah dan kencur
Aspek Jahe merah Kencur
Divisi Spermatophyta Spermatophyta
Sub Divisi Angiospermae Angiospermae
Kelas Monocotyledone Monocotyledone
Suku Zingiberaceae Zingiberaceae
Marga Zingiber Kaempferia
Dari hasil yang diperoleh dilakukan perhitungan hingga diperoleh dosis
yang setara dengan mencit 20 gram (lihat lampiran 10b, c). Dari dosis awal ini
dibuat tiga peringkat dosis, dosis lazim yang digunakan oleh manusia digunakan
sebagai dosis pertama atau awal.
D. Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan atau orientasi yang dilakukan dalam penelitian daya
antiinflamasi ekstrak etanolik jahe merah dan kencur pada mencit putih jantan
bertujuan untuk mengoptimasi metode dan cara kerja yang tepat dan sesuai.
1. Orientasi rentang waktu pengukuran kaki setelah injeksi karagenin 1% sub plantar
Orientasi tersebut bertujuan untuk mengetahui waktu pengukuran kaki
mencit yang tepat (menghasilkan udema yang paling besar) setelah injeksi
karagenin 1%. Karagenin merupakan agen inflamasi atau senyawa yang
menyebabkan radang atau inflamasi yang mekanisme kerjanya dengan
menginduksi cedera sel sehingga terjadi pelepasan mediator inflamasi, terutama
PGE 1 dan PGE 2 yang mengawali proses inflamasi sehingga terjadi peningkatan
permeabilitas vaskuler (Giyastuti, 2000). Alasan pemilihan karagenin sebagai zat
inflamatogen radang, antara lain: karagenin merupakan salah satu iritan yang
sering dipakai dalam memprediksi efektivitas potensial terapetik dari obat-obat
menimbulkan respon yang peka terhadap obat antiinflamasi; karagenin juga tidak
menimbulkan bekas dan tidak menimbulkan kerusakan jaringan pada kaki mencit.
Orientasi ini menggunakan lima ekor mencit jantan. Masing-masing
mencit diinjeksikan dengan karagenin 1% 0,05 ml pada kaki belakang sebelah kiri
secara subplantar, sedangkan kaki belakang sebelah kanan hanya disuntik dengan
spuit kosong sebagai pembanding. Kemudian mencit diukur satu, dua dan tiga jam
setelah diinjeksi dengan karagenin 1%. Berdasarkan hasil yang diperoleh akan
dipilih rentang waktu pengukuran yang menghasilkan udema paling besar. Hal ini
menandakan bahwa pada rentang waktu tersebut, radang yang dihasilkan oleh
injeksi karagenin bekerja dengan maksimal. Skema kerja dapat dilihat pada
lampiran 8a.
Hasil orientasi rentang waktu pengukuran kaki mencit dapat dilihat pada
lampiran 12 dan diagram batang dapat dilihat pada gambar 4.
Data tebal udema kaki mencit kemudian dianalisis dengan analisis varian
satu arah dengan taraf kepercayaan 95%, terlihat pada tabel III hasil analisis
statistik menunjukkan bahwa data antar kelompok memberikan hasil yang
signifikan (p<0,05).
Selanjutnya, untuk mengetahui perbedaan antar kelompok bermakna atau
tidak bermakna, dilakukan uji Scheffe yang dapat dilihat pada tabel III.
Tabel III. Rata-rata tebal udema kaki mencit akibat diinjeksi karagenin 1% subplantar pada rentang waktu tertentu, beserta hasil uji Scheffe
Kel.
Rata-rata tebal udema (mm)
X ± SE
Hasil uji Scheffe pemberian karagenin 1% pada rentang waktu tertentu
Kelompok I : Mencit diukur satu jam setelah diinjeksi dengan karagenin 1% Kelompok II : Mencit diukur dua jam setelah diinjeksi dengan karagenin 1% Kelompok III : Mencit diukur tiga jam setelah diinjeksi dengan karagenin 1%
tb : Berbeda tidak bermakna b : Berbeda bermakna X : Mean (Rata-rata)
SE : Standard Error (SD/√n)
Setelah diuji Scheffe, ternyata antar kelompok I terhadap III menunjukkan
perbedaan yang bermakna (p<0,05), sedangkan antar kelompok I terhadap II serta
kelompok II terhadap III menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05).
Selain itu juga berdasarkan diagram batang, dapat dilihat dengan jelas bahwa
kelompok I (mencit diukur satu jam setelah diinjeksi karagenin 1% ) memiliki
rata-rata tebal udema yang paling besar diantara kelompok lainnya. Maka, dalam
1% karena udema yang dihasilkan paling besar berarti radang yang dihasilkan
karagenin pada jam tersebut sudah maksimal.
2. Orientasi waktu pemberian Cataflam®D-50 (K-Diklofenak)
Orientasi ini bertujuan untuk menentukan waktu pemberian Cataflam® D-50 (K-Diklofenak) yang paling efektif sebagai antiinflamasi bagi mencit dalam
percobaan ini. Skema kerja dapat dilihat pada lampiran 9a.
Hasil orientasi dapat dilihat pada lampiran 13 dan ditampilkan dalam
bentuk diagram batang pada gambar 5.
Gambar 5. Diagram batang rata-rata tebal udema kaki mencit akibat pemberian Cataflam®D-50 dalam waktu yang berbeda.
Data tebal kaki mencit kemudian dianalisis varian satu arah dengan taraf
kepercayaan 95%. Hasil analisis statistik menunjukan bahwa antar kelompok
Selanjutnya untuk mengetahui berbeda bermakna atau tidak bermakna
antar kelompok perlakuan, maka dilakukan uji Scheffe yang dapat dilihat pada
tabel IV.
Tabel IV. Rata-rata tebal udema kaki mencit akibat pemberian Cataflam®D-50 dalam waktu pemberian yang berbeda, beserta hasil uji Scheffe
Kel. Rata-rata tebal udema (mm)
X ± SE
Hasil uji Scheffe pemberian Cataflam®D-50 pada rentang waktu tertentu
Kelompok I : Satu jam sebelum pemberian karagenin 1% Kelompok II : Sesaat sebelum pemberian karagenin 1% Kelompok III : Satu jam setelah pemberian karagenin 1%
tb : Berbeda tidak bermakna b : Berbeda bermakna X : Mean (Rata-rata)
SE : Standard Error (SD/√n)
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Scheffe menunjukkan bahwa
antar kelompok perlakuan I terhadap II serta II terhadap III memiliki perbedaan
yang bermakna (p<0,05) sedangkan untuk kelompok perlakuan I terhadap III
memiliki perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05). Dosis Cataflam yang
digunakan dalam percobaan ini adalah 50 mg/Kg BB, dosis ini merupakan dosis
efektif yang direkomendasikan pada pemberian sehari untuk manusia 50 kg, bila
dikonversikan ke mencit maka dosis yang digunakan adalah 9,1 mg/Kg BB
mencit. Berdasarkan hasil tersebut maka digunakan pemberian Cataflam 1 jam
sebelum pemberian karagenin karena menunjukkan hasil perbedaan yang tidak
batang tampak bahwa rata-rata tebal udema yang paling kecil justru pada
kelompok III (1 jam setelah pemberian Cataflam), namun tidak dipilih untuk
perlakuan selanjutnya. Hal ini bisa saja dikarenakan udema pada kaki mencit telah
berkurang sebelum diukur dengan menggunakan jangka sorong digital pada
waktunya, sehingga penurunan udema tidak hanya disebabkan cataflam tetapi
juga karena waktu yang terlalu lama sejak penginjeksian karagenin diawal.
3. Orientasi dosis ekstrak etanolik jahe merah dan kencur
Orientasi ini bertujuan untuk menentukan dosis ekstrak etanolik jahe
merah dan kencur dalam menghasilkan daya antiinflamasi yang optimal. Hasil
yang maksimal ditandai dengan adanya udema yang paling kecil setelah mencit
diinjeksikan subplantar menggunakan karagenin 1% pada waktu tertentu.
Pemilihan jahe merah dan kencur dalam percobaan mengacu banyaknya
penggunaan tanaman tersebut untuk menghilangkan pegal-pegal atau nyeri, serta
bengkak. Ekstrak etanolik dipilih karena memiliki sifat lebih fleksibel dapat
dibentuk sediaan apapun, misal tablet, kapsul, dan lain sebagainya. Selain itu
bentuk ekstrak etanolik memiliki keuntungan lain seperti tidak mudah rusak/lebih
stabil, dibandingkan dengan bentuk minyak atsiri maka ekstrak tidak mudah
menguap karena kandungan minyak yang ada di dalam ekstrak terjebak oleh
komponen lain sehingga kandungan kimianya lebih tinggi dibanding minyak atsiri
murni dan juga simplisia baik basah maupun kering. Penggunaan tanaman jahe
merah dan kencur di pasaran kebanyakan simplisia dan serbuk. Penggunaan jahe
kering. Serbuk kering tersebut kemudian dibuat dalam bentuk ekstrak etanolik
menjadi 0,4724 gram. Sama halnya dengan ekstrak etanolik kencur, didapatkan
penggunakan kencur di pasaran yaitu 5 gram rimpang kering. Rimpang tersebut
kemudian dibuat ekstrak etanolik menjadi 0,62 gram. Berdasarkan asumsi tersebut
dapat dihitung dosis ekstrak etanolik jahe merah dan kencur untuk manusia 70 kg.
Kemudian hasilnya dikonversikan ke mencit dengan berat badan 20 gram.
Pada orientasi ini digunakan 2 kelompok hewan uji untuk masing-masing
ekstrak etanolik. Masing-masing kelompok terdiri atas 3 ekor mencit, dan tiap
kelompok diberi ekstrak etanolik jahe merah dengan dosis 107,5 mg/Kg BB dan
dosis 430 mg/Kg BB sedangkan kelompok yang lain diberi ekstrak etanolik
kencur dengan dosis 112,84 mg/Kg BB dan dosis 451,36 mg/Kg BB. Pemberian
ekstrak etanolik ini 1 jam sebelum injeksi karagenin. Setelah itu, kedua kaki
mencit diukur menggunakan jangka sorong digital.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, pemberian ekstrak etanolik jahe merah
dan kencur telah menunjukan bahwa pada ekstrak etanolik jahe merah pada dosis
107,5 mg/Kg BB kurang menunjukkan berkurangnya tingkat udema, namun ada
penurunan sedikit udema sedangkan pada dosis 430 mg/Kg BB menunjukkan
daya antiinflamasi yang tinggi. Lain halnya pada ekstrak etanolik kencur tampak
bahwa dosis 112,84 mg/Kg BB sama sekali belum menghasilkan daya
antiinflamasi karena sama dengan kontrol negatif, namun pada dosis 451,36
mg/Kg BB menunjukkan sedikit meningkatkan daya antiinflamasi. Data dapat
dilihat pada lampiran 14 dan lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram batang
Gambar 6. Diagram batang rata-rata tebal udema kaki mencit akibat perlakuan ekstrak etanolik jahe merah dan kencur dibanding dengan kontrol positif dan negatif pada rentang waktu tertentu.
Data tebal kaki mencit kemudian dianalisis varian satu arah dengan taraf
kepercayaan 95%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa data antar
kelompok perlakuan memberikan hasil yang signifikan (p<0,05).
Selanjutnya, untuk mengetahui perbedaan antar kelompok bermakna atau
Tabel V. Rata-rata tebal udema kaki mencit akibat pemberian ekstrak etanolik jahe merah pada rentang waktu tertentu beserta hasil uji Scheffe
Kel. Rata-rata tebal udema (mm)
X ± SE
Hasil uji Scheffe pemberian ekstrak etanolik jahe merah dosis 107,5 dan 430 mg/Kg pada rentang waktu tertentu
Terhadap
Kelompok I : kontrol positif Cataflam 9,1 mg/Kg BB Kelompok II : kontrol negatif Aquadest
Kelompok III : ekstrak etanolik jahe merah dosis : 107,5 mg/Kg BB Kelompok IV : ekstrak etanolik jahe merah dosis : 430 mg/Kg BB
tb : Berbeda tidak bermakna b : Berbeda bermakna X : Mean (Rata-rata)
SE : Standard Error (SD/√n)
Berdasarkan uji Scheffe tampak bahwa antara kontrol positif cataflam
dengan dosis 430 mg/Kg BB ekstrak etanolik jahe merah memiliki hasil yang
berbeda tidak bermakna (p>0,05). Selain itu juga berdasarkan diagram batang
tampak bahwa kontrol positif dan juga dosis 430 mg/Kg BB memiliki rata-rata
tebal udema yang kecil sehingga disimpulkan bahwa pada dosis 430 mg/Kg BB
daya antiinflamasi telah berpengaruh di dalamnya. Melalui hal inilah maka perlu
adanya pembuktian lebih lanjut untuk dosis yang lain untuk mengetahui seberapa
Tabel VI. Rata-rata tebal udema kaki mencit akibat pemberian ekstrak etanolik kencur pada rentang waktu tertentu beserta hasil uji Scheffe
Kel.
Rata-rata tebal udema (mm)
X ± SE
Hasil uji Scheffe pemberian ekstrak etanolik kencur dosis 112,84 dan 451,36 mg/Kg pada rentang waktu tertentu Terhadap
Kelompok I : kontrol positif Cataflam 9,1mg/Kg BB Kelompok II : kontrol negatif Aquadest
Kelompok V : ekstrak etanolik kencur dosis : 112,84mg/Kg BB Kelompok VI : ekstrak etanolik kencur dosis : 451,36 mg/Kg BB tb : Berbeda tidak bermakna
b : Berbeda bermakna X : Mean (Rata-rata)
SE : Standard Error (SD/√n)
Berdasarkan uji Scheffe menunjukkan bahwa pada kontrol negatif dan
dosis 112,84 mg/Kg BB memiliki hasil yang berbeda tidak bermakna (p>0,05),
artinya pada dosis 112,84 mg/Kg BB belum menimbulkan efek antiinflamasi,
sedangkan untuk kontrol positif dan kontrol negatif terhadap dosis 451,36 mg/Kg
BB menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05), artinya dapat lebih tinggi
atau lebih rendah dari kedua kontrol. Berdasarkan gambar 6, tampak pada dosis
451,36 mg/Kg BB lebih tinggi dari kontrol positif, namun lebih rendah dari
kontrol negatif sehingga pada dosis 451,36 mg/Kg BB sedikit menimbulkan
efeknya sebagai antiinflamasi.
E. Hasil Uji Daya Antiinflamasi Ekstrak Etanolik Jahe merah dan Kencur
ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan sekaligus besarnya kemampuan daya
antiinflamasi ekstrak etanolik jahe merah dan kencur. Daya antiinflamasi ditandai
dengan penurunan tebal udema kaki mencit setelah diinjeksi karagenin 1% secara
subplantar akibat pemberian ekstrak etanolik tersebut secara peroral. Besarnya
daya antiinflamasi dapat dilihat berdasarkan hasil persentase daya antiinflamasi
yang dihitung berdasarkan metode Langford, et al., (1972). Metode pengukuran daya antiinflamasi yang digunakan dalam penelitian ini mengadopsi Mahmood, et al., (2009) di mana pengukurannya terletak pada ketebalan kaki mencit (dari telapak kaki mencit dengan posisi jangka sorong vertikal).
Alat jangka sorong digital ini sebelumnya dikalibrasi terlebih dahulu untuk
memastikan bahwa alat ukur masih layak pakai dan menjamin keakuratan serta
keterulangan alat tersebut dalam mengukur secara tepat. Kalibrasi dilakukan
dengan membandingkan alat ukur yang digunakan dengan alat ukur lain
(kalibrator) yang bersertifikat. Berdasarkan hasil kalibrasi tampak bahwa alat
yang digunakan memiliki penyimpangan sebanyak ± 1μm, sedangkan resolusi
yang direkomendasikan adalah 2 μm sehingga alat tersebut dapat digunakan
secara tepat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2. Alasan
pemilihan metode ini karena sederhana, baik dari instrumen yang dibutuhkan,
proses perlakuan, pengamatan, pengukuran sampai dengan pengolahan data.
Pada pengujian ini, zat penginduksi dipilih karagenin 1% karena karagenin
merupakan salah satu zat inflamatogen udem pada kaki mencit yang paling
banyak digunakan untuk memprediksi efektivitas potensial terapetik dari