• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. organ ini kira-kira 10 cm (kisaran 3-15cm) dan organ ini berpangkal di sekum.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. organ ini kira-kira 10 cm (kisaran 3-15cm) dan organ ini berpangkal di sekum."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

10 2.1 Apendiks

2.1.1 Anatomi

Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung. Dimana panjang dari organ ini kira-kira 10 cm (kisaran 3-15cm) dan organ ini berpangkal di sekum. Dibagian proksimal dari lumennya sempit, sedangkan dibagian distal melebar. Namun pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada bagian pangkal dan mengecil pada arah ujungnya. Pada 65% kasus, apendiks terletak di intraperitoneal dan pada kasus selebihnya apendiks terletak di retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

Persarafan parasimpatis dari apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. maka dari itu, apabila pasien yang menderita apendisitis, nyeri yang dirasakan pasien bermula di sekitar umbilikus. Untuk peredaran darah apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

2.1.2 Fisiologi

Apendiks dapat menghasilkan lendir sekitar 1-2 ml per hari. Lendir tersebut normalnya di hantarkan ke dalam lumen dan selanjutnya akan mengalir ke dalam sekum. IgA (Imunoglobulin A)yang sangat efektif dalam perlindungan

(2)

terhadap infeksi ditemukan juga di apendiks. Namun, seandainya pengangkatan apendiks dilakukan, sistem imun tubuh tidak terpengaruh, hal ini dikarenakan jumlah jaringan limfe di organ ini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

2.2 Apendisitis

2.2.1 Pengertian

Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks yang mengenai seluruh organ tersebut (Price & Wilson, 2006). Apendisitis juga penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk badah abdomen darurat (Smeltzer & Bare 2002). Apendisitis juga merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering terjadi. Walaupun dapat terjadi di setiap usia, namun insiden yang paling sering terjadi adalah pada usia remaja dan dewasa muda (Price & Wilson, 2006).

2.2.2 Etiologi

Menurut Mansjoer (2000) apendisitis biasanya disebabkan oleh: 1. Hyperplasia folikel limfoid

2. Fekalit 3. Benda Asing

4. Striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya 5. Keganasan (Neoplasma)

(3)

Faktor-faktor diatas biasanya yang menyebabkan penyumbatan lumen apendiks. Penyumbatan ini yang dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan, infeksi dan ulserasi (Price & Wilson, 2006).

2.2.3 Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks. Penyumbatan tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks memiliki keterbatasan sehingga terjadi peningkatan tekanan intralumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang menyebabkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat dan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang meluas dan mengenai peritoneum setempat akan menyebabkan nyeri perut kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut apendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks yang rapuh tersebut pecah maka akan terjadi apendisitis perforasi.

2.2.4 Klasifikasi

Apendisitis menurut Sjamsuhidajat & Jong, 2005 di klasifikasikan menjadi dua yaitu apendisitis akut dan apendisitis kronis.

(4)

1. Apendisitis akut.

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat

2. Apendisitis kronik.

Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5 persen.

3. Apendisitis Perforata

Apendisitis ini terjadi disebabkan adanya fekalit didalam lumen. Keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks. Insiden yang sering terjadinya perforasi ini adalah pada anak kecil dan lansia. Faktor yang mempengaruhi seringnya terjadi pada lansia disebabkan karena gejalanya yang samar, keterlambatan pengobatan, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen dan arteriosclerosis.

(5)

Sedangkan pada anak disebabkan karena dinding apendiks yang masih tipis, komunikasi anak yang belum baik sehingga memperpanjang waktu diagnosis. 4. Apendisitis Rekurens

Kasus ini baru dapat dipikirkan jika ada riwayat nyeri pada perut kanan bawah secara berulang, yang mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh secara sepontan. Risiko untuk terjadinya serangan secara berulang lagi sekitar 50%. Insiden apendisitis rekurens adalah 10% dari spesimen apendiktomi yang diperiksa secara patologik.

2.2.5 Manifestasi Klinis

Gejala awal yang biasanya terjadi pada pasien yang menderita apendisitis berupa nyeri yang dirasakan pada daerah umbilikus atau periumbilikus. Dalam 2-12 jam nyeri dapat berpindah ke kuadran kanan bawah, menetap dan diperberat bila berjalan dan batuk. Selain itu apendisitis juga dapat menimbulkan keluhan seperti anoreksia, malaise dan demam yang tidak terlalu tinggi (Mansjoer, 2000).

Hal yang paling khas pada apendisitis adalah berupa nyeri tekan pada daerah McBurney. Kemudian dapat timbul spasme otot dan nyeri tekan lepas. Apabila sudah terjadi rupture apendiks, tanda perforasi dapat berupa nyeri tekan dan spasme. Penyakit ini sering disertai hilangnya nyeri secara dramatis untuk sementara (Price & Wilson, 2006).

(6)

2.2.6 Komplikasi

Menurut Mansjoer, 2000 komplikasi apendisitis yaitu: a) Perforasi

Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise dan leukositosis semakin jelas.

b) Peritonitis

Peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah dengan menutup asal perforasi. Tindakan lain yang menunjang dengan tirah baring, pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian antibiotik berspektrum luas. c) Abses Apendiks

Abses akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung kea rah rectum atau vagina.

d) Pileflebitis (tromboplebitis septik vena portal)

Komplikasi ini dapat menyebabkan demam yang tinggi, panas dingin menggigil dan ikterus.

2.2.7 Penatalaksanaan

Apabila diagnosis apendisitis sudah ditegakkan maka tindakan yang paling tepat adalah pengangkatan apendiks melalui proses pembedahan (Smeltzer & Bare 2002). Apabila tindakan pembedahan (Apendiktomi) dilakukan sebelum terjadi ruptur dan terdapat tanda-tanda peritonitis maka biasanya perawatan pascabedah tanpa disertai penyulit. Pemberian antibiotik biasanya diindikasikan. Untuk waktu pemulangan dari pasien yang menderita apendisitis ini tergantung pada seberapa

(7)

dini penegakan diagnosis, derajat inflamasi dan penggunaan metode pembedahan yang lakukan yaitu bedah terbuka atau laparoskopi (Price & Wilson, 2006).

Pengobatan pasien apendisitis menurut Mansjoer, 2000 a. Persiapan sebelum operasi

1) Observasi

Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali masih belum jelas. Observasi ketat perlu dilakukan, pasien diminta untuk melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidah boleh diberikan apabila dicurigai adanya apendisitis atauoun bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah diulang secara periodik. Foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain.

2) Intubasi bila perlu 3) Antibiotik

b. Operasi apendiktomi c. Perawatan sesudah operasi

Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya dengan peritonitis, pasien dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal.

(8)

Untuk nutrisi pasien dapat diberikan minum mulai 15ml/jam selama 4-5 jam, lalu dinaikan menjadi 30ml/jam. Keesokan harinya diberikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari berikutnya pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar. Dan pada hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

2.3 Apendiktomi

Apendiktomi adalah suatu tindakan pembedahan untuk mengangkat apendiks dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi. Apendiktomi dapat di lakukan dengan anestesi umum atau pun dengan anestesi spinal dan dilakukan insisi pada abdomen bawah. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan metode baru yang sangat efektif yaitu dengan laparoskopi (Smeltzer & Bare 2002).

2.3.1 Anestesi pada Apendiktomi

Anestesi secara umum diartikan sebagai suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Majid, 2011).

a. Anestesi Umum

Anestesi umum merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit atau nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali. Trias anestesi yang ideal memiliki komponen seperti hipnotik, analgesi dan relaksasi otot. Cara pemberian anestesi umum :

(9)

1. Parenteral (intramuskulas/intravena). Pemberian ini dilakukan untuk tindakan singkat atau induksi anestesi. Umumnya diberikan thiopental, namun pada kasus tertentu dapat digunakan ketamine, diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama anestesi dengan cara ini dapat di kombinasikan dengan cara lain.

Menurut (Majid, 2011). Ada beberapa jenis obat yang digunakan untuk anestesi intravena yaitu

a) Propofol (2,6-diisopropylphenol)

Propofol bekerja pada sistem saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular dapat menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi, sedangkan pada sisitem pernafasan dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal dan beberapa kasus dapat menyebabkan henti nafas. Efek samping yang dapat ditimbulkan berupa nyeri, mual dan muntah.

b) Tiopental

Pada sistem saraf pusat, jenis obat ini dapat menyebabkan hilang kesadaran, tetapi menimbulkan hiperalgesia pada dosis subhipnotik, menghasilkan penurunan metabolism serebral dan aliran darah. Pada sistem kardiovaskuler, dapat menurunkan cardiac output, tekanan daran dan juga dapat meningkatkan frekuensi jantung, sedangkan penurunan tekanan darah tergantung dari kosentrasi obat dalam plasma. Untuk efek samping sendiri yang dapat ditimbulkan seperti alergi.

(10)

c) Ketamin

Efek yang ditimbulkan pada susunan saraf pusat yaitu pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu dijumpai gerakan yang tidak disadari, seperti mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Efek pada sistem kardiovaskuler berupa meningkatkan tekanan darah dan jantung. Dan pada sistem respirasi dapat menimbulkan dilatasi bronkus. Efek samping yang ditimbulkan berupa peningkatan sekresi air liur, agitasi, perasaan lelah, halusinasi dan mimpi buruk pasca operasi.

d) Opioid

Efek opioid pada sistem kardiovaskular tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung maupun tonus otot pembuluh darah. Pada sistem pernafasan dapat menyebabkan penekanan pada saraf pusat nafas, ditandai dengan penurunan frekuensi pernafasan, penurunan volume tidal dan PaCO2 meningkat. Dan pada sistem gastrointestinal obat opioid dapat menyebabkan penurunan peristaltik usus sehingga pengosongan lambung juga terhambat.

2. Perektal. Cara ini dilakukan untuk induksi atau tindakan singkat pada anak.

3. Anestesi Inhalasi. Cara ini dilakukan dengan cara menggunakan gas atau cairna anestesi yag mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik melalui udara pernafasan. Zat anestetik tersebut digunakan dengan mencampurkan dengan gas O2 dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dengan tekanan parsialnya (Mansjoer, 2000).

(11)

b. Anestesi Spinal

Anestesi spinal adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal atau subaraknoid disebut juga sebagai analgesia atau blok spinal intradural atau blok intratekal (Mansjoer, 2000).

Anestesi spinal diindikasikan pada tindakan pembedahan ekstrimitas bawah, bedah panggul, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen atas, bedah abdomen atas dan tindakan disekitar rectum-perineum (Latief, 2007). Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dapat dilakukan, namun sebelumnya dapat ditidurkan dengan anestesi umum (Mansjoer, 2000).

2.3.2 Jenis Insisi Apendiktomi

Menurut (Mansjoer, 2000) Apendiktomi dapat dilakukan dengan tiga jenis insisi yang berbeda dan masing-masing memiliki keuntungan dan kerugian.

1. Insisi menurut McBurney (grid incision atau muscle splitting incision). Teknik ini paling sering dikerjakan dikarenakan tidak terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh dan masa penyembuhan lebih cepat. Namun insisi McBurney juga memiliki kerugian yaitu lapangan operasi terbatas, sulit diperluas dan waktu yang dibutuhkan untuk operasi lebih lama. Namun operasi dapat diperluas dengan memotong otot secara tajam.

Untuk pelaksanaanya, dilakukan sayatan pada garis yang tegak lurus pada garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior (SIAS) dengan umbilikus pada batas sepertiga lateral (titik McBurney). Sayatan ini mengenai

(12)

kutis, subkutis dan fasia. Otot-otot dinding abdomen disayat secara tumpul menurut arah serabut ototnya.

2. Insisi menurut Roux (muscle cutting incision). Sayatan ini dilakukan pada lokasi dan arah yang sama dengan insisi McBurney hanya saja insisi menurut Roux ini dilakukan sayatan yang langsung menembus dinding abdomen tanpa mempedulikan arah serabut otot sampai tampak peritoneum. Adapun keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, lebih mudah diperluas, sederhana dan mudah. Dan kerugiannya adalah lebih banyak memotong saraf dan pembuluh darah, sehingga perdarahan pada teknik ini lebih banyak, masa pemulihan pasca bedah lebih lama, nyeri pasca operasi lebih sering terjadi dan kadang-kadang terdapat hematoma yang terinfeksi.

3. Insisi pararektal. Sayatan ini dilakukan pada garis lateral muskulus rektus abdominis dekstra secara vertical dari kranial ke kuadral sepanjang 10 cm. keuntungannya, dapat dipakai pada insiden apendiks yang belum pasti dan sayatan dapat dengan mudah diperpanjang. Namun untuk kerugiannya, sayatan ini tidak secara tepat langsung mengarah ke apendiks atau sekum, dapat memotong saraf dan pembuluh darah yang besar dan untuk menutup luka dibutuhkan jahitan penunjang.

2.4 Motilitas Usus

Motilitas usus diatur secara cermat untuk memaksimalkan fungsi dari sistem pencernaan. Terdapat empat faktor yang berperan dalam pengaturan fungsi dari sistem pencernaan yaitu: fungsi otonom otot polos, pleksus saraf intrinsik, saraf ekstrinsik dan hormon saluran pencernaan (Almaycano, 2008)

(13)

1) Fungsi Otonom Otot Polos

Otot polos traktus gastrointestinal dijalani oleh aktivitas listrik yang lambat. Aktivitas ini cenderung memiliki dua tipe dasar gelombang listrik, yang pertama gelombang lambat dan yang kedua gelombang paku. Dimana aktivitas listrik spontan yang menonjol pada otot polos pencernaan adalah potensial gelombang lambat yang disebut juga irama listrik dasar (Basic Electrical Rhytm, BER). BER ini berperan dalam mengkoordinasikan peristaltik dan aktivitas motoric lainnya, kontraksi timbul hanya selama bagian depolarisasi gelombang. Setelah vagotomi atau transeksi dinding lambung, misalnya peristaltik di lambung menjadi tidak teratur.

2) Pleksus Saraf Intrinsik

Pleksus saraf merupakan jaringan sel-sel saraf yang saling berhubungan. Terdapat dua jaringan saraf yang membentuk pleksus di saluran pencernaan yaitu pleksus mienterikus yang terletak diantara lapisan otot polos longitudinal dan sirkuler dan pleksus sub mukosa (Meissner) yang terletak di submukosa. Pleksus-pleksus intrinsik mempengaruhi semua fase aktivitas saluran pencernaan. Melalui persarafan sel-sel otot polos serta sel-sel eksokrin dan endokrin saluran pencernaan. Bila pleksus ini dirangsang, efeknya yang utama adalah terjadi peningkatan kontraksi tonus dinding usus, peningkatan intensitas kontraksi ritmis, sedikit peningkatan kecepatan irama kontraksi dan peningkatan kecepatan konduksi gelombang eksitatorik disepanjang dinding usus, yang menyebabkan pergerakan gelombang peristaltik yang lebih cepat.

(14)

3) Saraf Ekstrinsik

Saraf ini berasal dari luar saluran pencernaan dan mempersarafi berbagai organ pencernaan yaitu serat-serat saraf dari kedua cabang sistem saraf otonom. Saraf otonom mempengaruhi motilitas dan sekresi saluran pencernaan melalui modifikasi aktivitas yang sedang berjalan di pleksus intrinsik, sehingga mengubah tingkat sekresi hormon saluran pencernaan, atau pada beberapa keadaan melalui efek langsung pada otot polos dan kelenjar. Saraf simpatis pada saluran cerna dominan untuk situasi fight or flight, cenderung menghambat atau memperlambat kontraksi dan sekresi. Sistem saraf parasimpatis yang mempersarafi saluran pencernaan melalui saraf vagus, cenderung meningkatkan motilitas otot polos dan mendorong sekresi enzim dan hormon pencernaan.

4) Hormon pencernaan

Berbagai hormon pencernaan diangkut oleh darah kebagian saluran pencernaan. Hormon-hormon pencernaan dikeluarkan terutama sebagai respon terhadap perubahan lokal spesifik di isi lumen, yang bekerja secara langsung pada sel-sel kelenjar endokrin atau tidak langsung melalui pleksus intrinsik atau saraf otonom ekstrinsik (Almaycano, 2008).

Untuk pembuluh darah pada sistem pencernaan yang disebut sirkulasi splanknik meliputi aliran darah yang melalui usus sendiri ditambah aliran darah melalui limpa, pancreas dan hati (Almaycano, 2008).

2.4.1 Motilitas Usus Postoperative

Motilitas usus pada dasarnya dapat dikaji dengan mendengarkan bising usus dengan cara mengauskultasi pada empat kuadran pada abdomen. Pada pasien

(15)

post operasi motilitas usus akan mengalami penurunan sampai hilangnya motilitas pada usus. Hal ini disebabkan karena adanya manipulasi pada saluran gastrointestinal atau juga pasien diberikan anestesi. bising usus akan hilang atau pun berkurang dalam beberapa hari setelah operasi (Potter & Perry, 2006).

Pengaruh agens anestesi dapat menghambat impuls saraf parasimpatis ke otot usus. Kerja anestesi tersebut memperlambat atau menghentikan gelombang motilitas yang dapat berakibat terjadinya ileus paralitik (Stefanus, 2013). Terhambatnya impuls saraf parasimpatis akan menyebabkan pelepasan asetilkolin juga tehambat. Secara normal, asetilkolin dilepaskan oleh saraf parasimpatik nervus vagus, dimana asetilkolin yang dilepaskan tersebut diterima oleh reseptor muskarinik pada pleksus mienterikus intestinal (Guyton, 2007). Fungsi dari pleksus mienterikus ini adalah mengatur aktivitas motorik disepanjang usus dan apabila asetilkolin dihambat pelepasannya yang dikarenakan efek dari anestesi tersebut maka akan terjadi penurunan kecepatan konduksi gelombang eksitatorik disepanjang dinding usus halus sehingga dapat menurunkan motilitas usus (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

Manipulasi atau pembedahan yang dilakukan di daerah usus dapat menyebabkan penurunan motilitas usus yang disebabkan oleh beberapa mekanisme yang berbeda-beda. Penyebab tersebut bisa didapat dari faktor neurogenik, inflamasi dan respon hormonal terhadap stress. Refleks saraf dari sistem saraf parasimpatik menyebabkan terhambatnya rangsangan pada motilitas usus. Penelitian pada hewan percobaan ditemukan bahwa terjadi hambatan konduksi saraf pada saraf splanik (Saraf thorakal 5-12 yang mempersarafi

(16)

abdomen) meningkatkan motilitas intestinal. Riset juga mengindikasikan penurunan angka ileus dalam penggunaan epidural kateter dalam anestesi (Leier, 2007). Faktor inflamasi lokal terindentifikasi dapat secara langsung menghambat motilitas usus. Pada studi ditemukan pembedahan pada abdomen akan memicu suatu peristiwa peradangan lokal yang mengarah akan teraktifasinya makrofag, pelepasan sitokin proinflamasi dan peningkatan molekul adhesi. Agen-agen inflamasi ini yang menyebabkan terjadinya peradangan pada otot polos usus dan menyebabkan penurunan motilitas usus (Chamberlain, 2007). Terakhir, respon hormonal termasuk cortikotropin relasing faktor bersama dengan calcitonin

genereted peptide, prostaniods subtansi P, vasoaktif intestinal peptid dan asam

nitrat secara teori sebagai unsur utama yang menyebabkan ileus pasca operasi. Interaksi dari mekanisme saraf dan hormonal ini tidak dimengerti secara jelas tetapi dapat memperpanjang ileus pasca operasi (Leier, 2007).

Menurut Deborah 2006, ada beberapa faktor yang dapat mengubah motilitas usus yaitu:

a. Efek puasa dan stress

Efek puasa yang lama pada pasien, manipulasi abdomen pada saat pembedahan dan nyeri bedah dapat mengurangi motilitas usus pada pasien pasca operasi.

b. Efek alpha - 2 agonis

Efek ini diteliti pada kuda yang mendapatkan anestesi hasil yang didapatkan adalah alpha - 2 agonis dapat mengganggu motilitas usus, karena penurunan aktivitas motorik phasik dan tonik dari usus. Penundaan pengosongan

(17)

lambung, motilitas duodenum berkurang, penurunan motilitas dari jejunum dan lentur panggul, penurunan motilitas dari usus kecil, sekum dan kolon ventral kiri semuanya telah dilaporkan.

c. Efek opioid

Opioid mengubah aktivitas sfingter gastroesophageal, sehingga sfingter relaksasi. Fentanyl dan meperidin mengurangi motilitas antroduodenal dan menunda pemulihan motilitas usus pasca operasi.

d. Efek lidocaine

Penggunaan perioperatif lidocaine mengurangi durasi pasca operasi ileus (POI) pada manusia. Intraperitoneal bupivacaine telah terbukti mengurangi hipomotilitas usus pasca bedah pada orang. Temuan ini menyebabkan klasifikasi lidocaine sebagai prokinetik, sebuah klaim yang telah terbukti tidak benar. Dalam satu studi administrasi lidocaine dengan kuda menjalani operasi perut, intraoperatif dosis 0,025 mg / kg / menit dan infus pasca operasi dari 0,05 mg / kg / menit dianggap memiliki efek menguntungkan pada motilitas usus. Sehingga dapat diartikan bahwa lidocaine berpengaruh pada motilitas usus, namun penggunaannya lebih menguntungkan.

2.4.2 Motilitas Usus Pasien Apendiktomi

Motilitas usus pasien apendiktomi tidak banyak dijelaskan, namun disini peneliti ingin menyimpulakan dari subbab sebelumnya mengenai motilitas usus postoperative. Motilitas usus pada pasien apendiktomi juga akan mengalami penurunan, karena pada dasarnya penatalaksanaan apendiktomi juga dilakuakan pembedahan pada abdomen dan dilaksanakan dengan ansestesi sebelumnya

(18)

(Potter & Perry, 2006). Sesuai dengan teori yang disebutkan pembedahan pada abdomen akan menurunkan motilitas usus yang didapat melalui faktor neurologis, inflamasi dan respon hormon terhadap stress (Leier, 2007). Sedangkan untuk anestesi sendiri, pengaruh agens anestesi dapat menghambat impuls saraf parasimpatis ke otot usus. Kerja anestesi tersebut memperlambat atau menghentikan gelombang motilitas yang dapat berakibat terjadinya ileus paralitik (Stefanus, 2013).

Pertama, melalui faktor neurologis terjadi penghambatan refleks saraf parasimpatis yang diaktifkan melalui stimulasi serat somatic dan visceral selama proses pembedahan. Terhambatnya refleks saraf parasimpatik akan menyebabkan pelepasan asetilkolin akan terhambat juga. Dimana asetilkolin merupakan neurotransmiter yang mendorong kontraksi otot polos pada saluran cerna, sehingga dapat diartikan bahwa terhmbatnya pelepasan asetilkolin akan menyebabkan terhambatnya pula kontraksi pada otot polos yang mengatur pergerakan dari motilitas usus. Yang kedua, dari faktor inflamasi disini akan teraktifasinya makrofag, pelepasan sitokin proinflamasi dan peningkatan molekul adhesi. Agen-agen inflamasi ini yang menyebabkan terjadinya peradangan pada otot polos usus dan menyebabkan penurunan motilitas usus. Dan yang terakhir dari faktor hormon, untuk faktor ini belum diketahui secara pasti namun keterlibatan cortikotropin relasing faktor bersama dengan calcitonin genereted

peptide, prostaniods subtansi P, vasoaktif intestinal peptid dan asam nitrat secara

(19)

Agens anestesi juga dapat menurunkan motilitas usus, hal ini disebabkan karena anestesi menghambat impuls saraf parasimpatis ke otot polos yang mengatur pergerakan motilitas usus (Stefanus, 2013). Penelitian lain juga mengatakan bahwa agen anestesi akan menghambat pelepasan asetilkolin (Lubawski, 2008).

2.5 KOMPRES HANGAT

2.5.1 Pengertian

Kompres hangat adalah memberikan rasa hangat pada daerah tertentu dengan menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan hangat pada bagian tubuh yang memerlukan (Siti, 2013).

2.5.2 Tujuan

Adapun tujuan dari kompres hangat yaitu: a. Memperlancar sirkulasi darah

b. Mengurangi rasa sakit

c. Memperlancar pengeluaran cairan (eksudat) d. Memberi rasa nyaman dan tenang pada pasien e. Merangsang peristaltik usus (Siti, 2013).

Pemberian kompres dilakukan pada radang persendian, kekejangan otot, perut kembung dan kedinginan.

(20)

2.5.3 Efek Terapeutik Pemberian Panas

Pada umumnya panas memiliki efek terapeutik, meningkatkan aliran darah ke bagian tubuh yang mengalami cedera. Suhu kompres hangat yang tepat diberikan pada bagian tubuh adalah 43o – 46oC, suhu itu diberikan karena untuk mencegah terjadinya luka bakar yang tidak disengaja (Potter & Perry 2006). Sedangkan menurut Sasmito (2011) suhu yang efektif digunakan untuk mengoptimalkan fungsi saraf, memperbaiki sirkulasi darah dan metabolisme tubuh serta merangsang peningkatan sel darah putih adalah pada suhu sekitar 37o – 40oC. Menurut Masanori (2003) suhu yang efektif adalah pada suhu 42oC selama 20 menit, dimana kompres hangat tersebut akan memberikan efek berupa meningkatkan fungsi gastrointestinal, menurunkan tingkat kecemasan, depresi serta tingkat amarah pada pasien. Apabila panas digunakan selama 1 jam atau lebih maka aliran darah akan menurun akibat refleks vasokonstriksi karena tubuh berusaha mengkontrol kehilangan panas dari area tersebut. Pengangkatan dan pemberian panas kembali secara periodik akan mengembalikan efek vasodilatasi. Panas yang mengenai jaringan secara terus menerus akan merusak sel-sel epitel, menyebabkan kemerahan, rasa perih, bahkan kulit menjadi melepuh.

1. Vasodilatasi : pemberian panas akan meningkatkan aliran darah ke bagian tubuh yang mengalami cedera, meningkatkan pengiriman nutrisi dan pembuangan zat sisa, mengurangi kongesti vena di dalam jaringan yang mengalami cedera.

2. Viskositas darah menurun : meningkatkan pengiriman leukosit dan antibiotic ke daerah luka

(21)

3. Ketegangan otot menurun : meningkatkan relaksasi otot dan mengurangi nyeri akibat spasme atau kekakuan

4. Metabolisme jaringan meningkat : meningkatkan aliran darah, memberi rasa hangat lokal

5. Permeabilitas kapiler meningkat : meningkatkan pergerakan zat sisa dan nutrisi

Adapun contoh kondisi yang dapat diobati dari pemberian panas adalah pada bagian tubuh yang mengalami inflamasi atau edema, luka operasi yang baru, luka terinfeksi, artritis, penyakit sendi degeneratif, nyeri sendi lokal, ketegangan otot, nyeri punggung bawah, kram akibat menstruasi, hemoroid, inflamasi perianal dan vaginal, serta abses lokal (Potter & Perry, 2006).

2.5.4 Bentuk Terapi Panas

Terapi panas dapat diberikan dalam bentuk kering ataupun lembab. Jenis luka atau cedera, lokasi bagian tubuh, adanya drainase atau inflamasi merupakan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih terapi kering ataupun lembab.

Adapun keuntungan dan kerugian dari terapi kering dan lembab : A. Terapi Kering

Keuntungan : panas kering memiliki resiko yang rendah yang menyebabkan luka bakar dibandingkan pemberian terapi panas lembab, terapi kering tidak menyebabkan maserasi kulit, panas kering dapat menahan suhu lebih lama karena tidak di pengaruhi oleh evaporasi.

(22)

Kerugian : panas kering dapat meningkatkan kehilangan cairan tubuh melalui keringat, terapi kering tidak dapat masuk jauh ke dalam jaringan, panas kering menyebabkan peningkatan kekeringan kulit.

B. Terapi Lembab

Keuntungan : terapi lembab dapat mengurangi kekeringan kulit dan melunakkan eksudat luka, kompres lembab sangat sesuai dengan area yang akan diberikan terapi, panas lembab dapat masuk jauh ke dalam lapisan jaringan, panas lembab yang hangat tidak meningkatkan keringat dan kehilangan cairan yang tidak dapat dirasakan

Kerugian : terpapar dalam waktu yang lama dapat menyebabkan meserasi kulit, panas lembab lebih cepat dingin karena adanya evaporasi, panas lembab menyebabkan risiko luka bakar kulit yang lebih besar karena lembab menghantarkan panas (Potter & Perry, 2006).

2.6 Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Motilitas Usus Pada Pasien Apendiktomi

Pemakaian kompres hangat biasanya hanya dilakukan setempat saja pada bagian tubuh tertentu. Dengan pemberian panas, pembuluh-pembuluh darah melebar sehingga akan memperlancar peredaran darah didalam jaringan tersebut. Panas cukup berguna untuk pengobatan, meningkatkan aliran darah ke bagian yang cedera. Apabila panas digunakan selama 1 jam atau lebih maka aliran darah akan menurun akibat refleks vasokontriksi karena tubuh berusaha mengontrol kehilangan panas dari area tersebut. Pengangkatan dan pemberian kembali panas

(23)

lokal secara periodik akan mengembalikan efek vasodilatasi (Potter dan Perry, 2005).

Pemberian kompres hangat menurut Sasmito (2011), akan memberikan impuls hangat yang diterima reseptor suhu di bawah kulit abdomen dihantarkan ke sistem saraf pusat oleh serabut saraf tipe C. Hipotalamus mengatur kerja sistem saraf autonom. Saraf parasimpatis pada neuron postganglion yang terangsang akan melepaskan asetilkolin. Asetilkolin yang dilepaskan akan diterima oleh reseptor muskarinik pada pleksus mienterikus intestinal, sehingga pleksus ini akan terangsang. Salah satu efek dari rangsangan pleksus mienterikus yaitu terjadi peningkatan kecepatan konduksi gelombang eksitatorik disepanjang dinding usus, menyebabkan pergerakan motilitas usus lebih capat (Sasmito, 2011).

Selain itu, Pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hypothalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas dihipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi (Sasmito, 2011). Akibat dari vasodilatasi pembuluh darah akan meningkatkan aliran darah splanknik (Pembuluh darah sistem gastrointestinal). Peningkatan aliran darah tersebut sesuai teori yang di kemukakan Sherwood (2011) akan membawa hormon-hormon yang telah dikeluarkan sel-sel kelenjar endokrin seperti gastrin dan motilin dalam darah

(24)

kemudian diedarkan. Hormon-hormon ini akan menimbulkan efekeksitatorik disepanjang dinding usus dan otot polos, maka akan terjadi motilitas usus.

Pengaruh kompres hangat untuk meningkatkan motilitas usus telah dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Sasmito (2011) yang berjudul

Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Motilitas Usus Pasien Pasca Pembedahan Fraktur Eksremitas Bawah Dengan Anestesi Blok Subaraknoid Di Ruang Sadar

Pulih RSUD Sidoarjo yang menyebutkan bahwa dari 9 responden yang diberikan

kompres hangat dengan suhu 37oC – 40oC selama 30 menit didapatkan hasil perhitungan motilitas usus selama 1 menit semua responden mengalami peningkatan motilitas usus.

Penelitian yang berjudul Effect Lumbar Skin Warming on Gastric Motility

and Blood Pressure in Humans menyatakan efek kompres hangat yang diberikan

pada suhu 42oC selama 20 menit menurut Masanori (2003), dapat meningkatkan motilitas usus melalui rangsangan saraf parasimpatis dan vasodilatasi pembuluh darah.

Referensi

Dokumen terkait

Tubuh Lichenes dinamakan thallus yang secara vegetatif mempunyai kemiripan dengan ganggang dan jamur. Thallus ini berwarna abu-abu atau abu- abu kehijauan.

Oleh sebab itu, untuk saat ini, karena belum adanya pengaturan lebih lanjut mengenai LPD termasuk dalam melakukan pengikatan jaminan dalam transaksi kredit,

Pengambilan data dimulai dari proses penerimaan bahan baku sampai pada produk akhir yang dihasilkan dan penerapan sanitasi dan hygiene pada sarana proses pembuatan Beras

Adsorpsi ion logam Cu(II), Cd(II) dan Pb(II) pada Biomassa Alga yang Diimobilisasi Silika Gel.. Jurnal Sains

Pada pendekatan OOP, misalnya kita telah memiliki class Pantul yang menampilkan bentuk lingkaran, selanjutnya adalah membuat class Pantul1 yang akan menampilkan bentuk persegi,

(1) Selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan undang-undang atau keputusan presiden, Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat perjanjian internasional yang

Adapun permasalahan dalam tulisan ini adalah untuk menentukan persamaan penduga yang sesuai terhadap jumlah kriminalitas di Kepolisian Resor Tanah Karo.. 1.3

[r]