• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori Konsep Ketahanan Pangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori Konsep Ketahanan Pangan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Konsep Ketahanan Pangan

Defenisi ketahanan pangan berubah dari satu periode waktu ke periode waktu berikutnya (Salim et al., 2005). Sejak tahun 1970-an ketahanan pangan mulai menjadi issue Internasional seiring terjadinya krisis pangan global (Maxwell and Frankenberger, 1992). Pada awalnya konsep ketahanan pangan sebagai terjemahan dari istilah food security yang difokuskan kepada kondisi ketersediaan pangan baik di tingkat nasional maupun internasional terutama padi-padian, hal ini karena terjadi krisis pangan dunia pada waktu tahun 1972-1974. Hal inilah yang menyebabkan kebijakan ketahanan pangan di Indonesia didasarkan pada pendekatan penyediaan pangan yang lebih dikenal dengan istilah Food Availability Approach (FAA) pada masa awal orde baru (Rindayati, 2009). Pendekatan ini tidak memperhatikan aspek distribusi dan aspek akses terhadap pangan. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi yaitu jika pasokan pangan tersedia maka para pedagang dapat menyalurkan pangan secara merata dan efisien dan harga pangan akan stabil sehingga dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat. Tetapi dalam kenyataan yang terjadi walaupun ketersediaan pangan mencukupi namun sebagian masyarakat masih menderita kelaparan karena tidak memiliki akses terhadap pangan. Sehingga pendekatan ini mengalami kegagalan dalam mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Konsep ketahanan pangan pada tahun 1980-an mulai beralih dari konsep ketersediaan pangan kepada konsep akses pangan pada tingkat rumah tangga dan individu. Konsep ketahanan pangan lebih menekankan pada dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan hidup. International Food Policy Research Institute (IFPRI) mendefenisikan ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat.

(2)

Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI (1998), ketahanan pangan disepakati didefenisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersediannya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata. Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka empat hal yang menjadi perhatian dalam analisis terhadap ketahanan pangan yaitu : kecukupan, akses, keterjaminan dan waktu (Maxwell dan Frankenberger,

1992).

Sumber : FAO, 2010

Gambar 2. Kaitan antara Elemen dalam Sistem Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability and stability), kemudahan memperoleh pangan (food accessibility), dan pemanfaatan pangan (food utilization) (FAO,1996). Sedangkan menurut framework FAO terbaru (FAO,2010) bahwa ketahanan pangan tersusun atas tiga pilar utama yaitu food availability, food accessability dan stability. Ketahanan pangan terjadi manakala terdapat keseimbangan antara akses pangan nasional dan ketersediaan pangan pada tingkat harga yang terjangkau (FAO, 1996). Terwujudnya ketahanan pangan individu merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem dari berbagai level

NATIONAL, SUBNATIONAL AND COMMUNITY LEVEL HOUSEHOLD INDIVIDUALS Socio-economic, Political,

Institutional, Cultural and Natural Envinroment Food Economy (Vulnerability contex) Population Education Macro-economy including foreign trade Policies and laws Natural resources endowment

Basic services Market conditions Technology Climate Civil strife Household characteristics Livehoods systems Social institutions Cultural attitudes and gender

Food availability domestic production import capacity food stocks, food aid

Stability weather variability price fluctuations political

factors, economic factors

Acces to food poverty, purchasing power, income, transport and market insfrastructure Household Livelihood Strategies, Assets & Activities Household Food Access Care practices Child care Feeding practices Nutrirional knowledge Food preparation Eating habits Intra-housedhold food distribution Health and Sanitation Health care practices Hygiene, Sanitation

Water quality Food safety & quality

Food Consumption Energy intake Nutrient intake Consumption status Food utilization determined by: Health status Nutritional Status

(3)

(Baliwati, 2004). Gambar 2 menunjukkan bahwa terdapat banyak elemen dan indikator dalam sistem ketahanan pangan. Tingkat nasional diperkuat dengan adanya ketersediaan pangan (food availability), stabilitas (stability) dan akses untuk pangan (acces to food). Adanya ketiga faktor tersebut akan dapat mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga sehingga dapat memenuhi kebutuhan kalori dan protein yang pada gilirannya akan meningkatkan penyerapan makanan yang terlihat dari kondisi kesehatan masyarakat (individu).

Indikator outcome ketahanan pangan yang direkomendasikan FAO mencakup umur harapan hidup, prevalensi anak kurang gizi, gizi buruk dan angka kematian bayi. Sedangkan indikator yang digunakan oleh FSVA berkaitan dengan tiga pilar ketahanan pangan berdasarkan konsepsi kerangka konsep ketahanan Pangan dan Gizi. Berikut indikator ketahanan pangan Indonesia sesuai tiga pilar subsistem ketahanan pangan (DKP, 2009) yaitu :

1. Ketersediaan Pangan (Food Availability) : rasio konsumsi normatif perkapita terhadap ketersediaan padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. 2. Akses Pangan : persentase penduduk hidup dibawah garis kemiskinan,

persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai dan persentase RT tanpa akses listrik

3. Pemanfaatan Pangan : angka harapan hidup pada saat lahir, perempuan buta huruf, persentase RT tanpa akses ke air bersih.

Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem (Maleha dan Adi Sutanto, 2006). Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan (akses) dan konsumsi pangan (DKP, 2009). Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut. Ketiga pilar ketahanan pangan tersebut yaitu :

1. Ketersediaan pangan (food availability) merupakan tersediannya pangan secara fisik di daerah, yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor atau perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produk domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan pangan. ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten

(4)

atau tingkat masyarakat. Ketersediaan pangan harus dikelolah sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaanya dari waktu ke waktu. Ketersediaan pangan dapat dilihat dari jumlah stok pangan yang dapat disimpan setiap tahun dan dari produksi pangan itu sendiri.

2. Akses Pangan (food accessibility) adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelima faktor tersebut. Ketersediaan pangan disuatu daerah mungkin mencukupi akan tetapi tidak semua RT memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut diatas. Akses pangan mencakup pangan secara fisik dan ekonomi, dimana ketersediaanya secara merata di semua lokasiyang membutuhkan.

3. Pemanfaatan Pangan (food utilization) merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Subsistem ini menyangkut upaya peningkatan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik. Sehingga dapat mengelolah konsumsinya secara optimal. Pemanfaatan pangan hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif.

Pembangunan ketahanan pangan memerlukan keharmonisan dari ke-3 subsistem diatas, pembangunan subsistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan kesinambungan ketersediaan pangan yang berasal dari produksi dan cadangan. Pembangunan subsistem distribusi pangan bertujuan menjamin aksesibilitas pangan dan stabilitas harga pangan. Pemerintah harus bisa mengontrol agar harga pangan masih terjangkau untuk setiap individu dalam mengaksesnya, karena kecukupan ketersediaan pangan akan dirasa percuma jika masyarakat tidak mempunyai daya beli yang cukup untuk mengakses pangan.oleh

(5)

karena itu faktor harga pangan menjadi sangat vital perannya dalam upaya mencukupi kebutuhan konsumsi pangan.

Kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan ketersediaan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan sebagai aspek-aspek utama penopang ketahanan pangan serta menghubungkan aspek-aspek tersebut dengan kepemilikan asset RT, strategi penghidupan dan lingkungan politik, sosial, kelembagaan dan ekonomi. Dengan kata lain status ketahanan pangan suatu rumah tangga atau individu ditentukan oleh interaksi dari faktor lingkungan pertanian (agro-enviromental), sosial ekonomi dan biologi bahkan faktor politik.

2.1.2 Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Konsep dari ketahanan pangan sangat luas dan beragam yang meliputi dimensi sasaran global, nasional, regional, rumah tangga dan individu serta dimensi waktu atau musim, dimensi sosial ekonomi masyarakat. Ketahanan pangan global, nasional, regional, lokal dan rumah tangga serta individu merupakan suatu rangkaian sistem hirarkis dimana ketahanan pangan nasional dan regional merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi ketahanan pangan masyarakat, rumah tangga dan individu. Ketahanan pangan individu merupakan syarat kecukupan (sufficiency condition) bagi ketahanan pangan nasional (Simatupang, 1999). Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga tahun 1996 merumuskan bahwa ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan untuk memenuhi pangan anggota keluarga dari waktu ke waktu dan berkelanjutan baik dari produksi sendiri maupun membeli dalam jumlah, mutu dan ragamnya sesuai dengan lingkungan setempat serta sosial budaya rumah tangga agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara produktif (Badan Ketahanan Pangan, 2005).

Konferensi FAO tahun 1992 mencetuskan dasar-dasar ketahanan pangan yang pada intinya menjamin kecukupan ketersediaan pangan bagi umat manusia dan terjaminya setiap individu untuk dapat memperoleh pangan. Defenisi tersebut disempurnakan pada waktu International Congress of Nutrition (ICN) di Roma pada tahun 1994 dimana ketahanan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar

(6)

dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Dalam sidang Committee on Work Food Security tahun 1995 definisi di atas diperluas dengan menambah persyaratan harus diterima oleh budaya setempat. Defenisi tersebut dipertegas lagi pada Deklarasi Roma pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan terwujud apabila semua orang setiap saat memiliki akses secara fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat (Badan Ketahanan Pangan, 2005).

Menurut Soehardjo et. al., (1986), ketahanan pangan rumah tangga dicerminkan oleh beberapa indikator, antara lain : (1) tingkat kerusakan tanaman, ternak dan perikanan, (2) penurunan produksi pangan, (3) tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga, (4) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total, (5) fluktuasi harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga, (6) perubahan kehidupan sosial, (7) keadaan konsumsi pangan berupa kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas pangan, dan (8) status gizi.

Ketahanan pangan rumah tangga yang tercermin dari klasifikasi silang antara ketercukupan kalori dan pangsa pengeluaran pangan mampu dijadikan suatu indikator ketahanan pangan yang lebih baik dibandingkan indikator lain. Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al., (2000) mengklasifikasikan ketahanan pangan rumah tangga melalui perpaduan antara kecukupan pangan dengan pangsa pengeluaran. Kedua inidikator ini dinilai cukup sederhana namun mampu mempresentasikan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Klasifikasi tersebut menghasilkan empat kategori ketahanan pangan rumah tangga yaitu rumah tangga tahan pangan, rentan pangan, kurang pangan dan rawan pangan.

Menurut Lukman (2011) pengaruh pangan sangat strategis karena tidak hanya menyangkut masalah ketahanan pangan maupun kedualatan pangan. pangan juga terkait ketersediaan pangan (food availability), keterjangkauan pangan (food accessibility), penerimaan pangan (food acceptability), dan lambang kesejahteraan masyarakat (people’s welfare).

2.1.3 Kerawanan Pangan

Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami oleh suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga pada waktu

(7)

tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat (Ariningsih dan Rahman, 2008). Kerawanan pangan terdiri dari kerawanan pangan kronis dan transien (DKP, 2009). Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pangan yang terjadi dalam jangka panjang. Adapun kerawanan pangan transien adalah ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan pangan yang bersifat sementara, misalnya bencana alam, fluktuasi curah hujan, puso, perubahan iklim, dan deforestasi hutan.

Kerawanan pangan adalah salah satu dari tiga pemyebab utama masalah gizi. Penyebab lainnya adalah status kesehatan dan kondisi kesehatan lingkungan masyarakat. Ketahanan gizi yang ditunjukkan oleh status gizi merupakan tujuan akhir dari ketahanan pangan, kesehatan, dan pola pengasuhan tingkat individu. Oleh karena itu apabila terjadi kerawanan pangan di manapun, maka akan beresiko kekurangan gizi, termasuk kekurangan gizi mikro. Namun demikian tidak berarti bahwa kerawanan pangan adalah penyebab satu-satunya masalah gizi kurang tanpa mempertimbangkan faktor kesehatan, akses air bersih dan layanan kesehatan.

Adanya kegagalan pasar dalam menciptakan ketahanan pangan merupakan salah satu sebab mengapa pemerintah harus turun tangan dalam mengatasi persoalan kerawanan pangan (Simatupang dan Fleming ; dalam

Rindayati, 2009). Hal ini dilakukan agar kesejahteraan masyarakat dapat terpenuhi sesuai dengan amanat UU. Kegagalan pasar yang dapat menyebabkan kerawanan pangan dapat diuraikan sebagai berikuts.

1. Kegagalan pasar dalam produksi pangan 2. Kegagalan pasar dalam pemasaran makanan 3. Kegagalan pasar dalam mengelolah makanan 4. Kegagalan pasar dalam mengkonsumsi makanan.

2.1.4 Kemiskinan dan Ketahanan Pangan

Kemiskinan tidak mudah dijabarkan maupun diukur secara persis karena kemiskinan mengandung unsur-unsur dan juga menyangkut nilai dan persepsi yang sering kali bersifat relatif. Pengertian kemiskinan menurut BPS diartikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar baik kebutuhan dasar

(8)

makanan dan bukan makanan. Kebutuhan pangan maupun non pangan yang bersifat mendasar seperti sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Sedangkan kriteria kemiskinan menurut Todaro (2006) dikaitkan dengan tingkat pendapatan dan kebutuhan pokok minimum yang memungkinkan untuk hidup layak. Bila pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum maka orang tersebut dapat dikatakan miskin. Jadi tingkat pendapatan minimum merupakan batas antara keadaan miskin dan tidak miskin.

Kemiskinan memiliki kaitan yang erat dengan pemenuhan kebutuhan pangan (Sudiman, 2008). Kemiskinan dapat mengakibatkan kelaparan yang selanjutnya berdampak pada gizi kurang, bahkan kematian. Sebaliknya penderita gizi kurang produktifitasnya rendah, kehilangan kesempatan sekolah, kehilangan sumberdaya karena biaya kesehatan yang tinggi. Kemiskinan dinilai dan diyakini berperan sangat penting, mendasar dan timbal balik di antara berbagai faktor penyebab masalah gizi kurang. Masalah gizi kurang akan menghambat pertumbuhan ekonomi yang pada giliranya mempercepat kemiskinan. Eratnya hubungan antara kemiskinan dan kurang gizi mengakibatkan banyak orang sering mengartikan bahwa penanggulangan masalah gizi kurang dapat dilakukan bila keadaan ekonomi sudah membaik.

Mengingat pentingnya pemenuhan kebutuhan minimum bagi rakyat miskin sebagai salah satu langkah peningkatan ketahanan pangan, maka sejak tahun 2002 pemerintah melakukan kebijakan beras untuk keluarga miskin (RASKIN). Kebijakan RASKIN ini dianggap sebagai subsidi pangan terarah atau

income transfer kepada keluarga miskin dalam bentuk beras. Alasan dilaksanakan program ini adalah masih banyaknya masyarakat miskin yang masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhanya yaitu makanan pokok. Orientasi RASKIN adalah lebih kepada bantuan kesejahteraan sosial bagi keluarga miskin.

2.1.5 Pola Konsumsi dan Pangsa Pengeluaran Pangan

Menurut Meyers (1972), konsumsi berarti penggunaan langsung serta akhir dari barang-barang atau jasa-jasa guna memenuhi kebutuhan manusia. Pola konsumsi merupakan cara mengkombinasikan elemen konsumsi dengan tingkat konsumsi secara keseluruhan (Magrabi et. al., 1991). Menurut Kyrk (1993) seperti

(9)

dikutip oleh Magrabi et. al., (1991) terdapat tiga cara menguraikan tingkat konsumsi yaitu : (1) dilihat dari jenis atau macam dan jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi rumahtangga, (2) dilihat dari pengelompokan penggunaan komoditi, dan (3) menurut nilai (pengeluaran) dari komoditas yang dikonsumsi.

Ketahanan pangan memiliki kaitan dengan pola konsumsi yaitu dari sisi pangsa pengeluaran makanan. Hukum Engle menyatakan jika selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk makanan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan (Nicholson, 1995). Hal ini merupakan suatu generalisasi yang mengkaitkan antara pangsa pengeluaran pangan dan pendapatan. Kondisi ini disebabkan karena makanan merupakan bahan kebutuhan pokok yang meningkat lebih lambat dibandingkan pendapatan. Hukum Engle merupakan penemuan empiris dimana para ekonom menyarankan agar proporsi pendapatan untuk makanan digunakan sebagai indikator kemiskinan. Pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total dapat dijadikan indikator tidak langsung kesejahteraan. Hubungan antara pengeluaran total dengan kebutuhan pokok (contoh makanan) dapat dilihat dalam kurva Engel. Kurva Engle yang diturunkan dari kurva kepuasan yang sama dari individu menunjukkan bahwa kebutuhan pokok, pangsa pengeluaran untuk barang akan menurun saat pendapatan meningkat. Berikut kurva Engel di Gambar 3.

Kebutuhan

Sumber : Nicholson, 1995 Gambar 3 Kurva Engel

Analisis pola konsumsi dan pengeluaran pangan rumah tangga telah banyak dilakukan. Analisis-analisis tersebut pada umumnya dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang berdasarkan analisis besaran nilai mutlak atau dalam bentuk proporsi (pangsa). Chernichcovsky dan Meesok (1984) dengan menggunakan data susenas menemukan bahwa pangsa pengeluaran pangan rumah

(10)

tangga Indonesia adalah sebesar 68 persen dimana pangsa pengeluaran tersebut lebih tinggi di pedesaan dari pada di perkotaan dan semakin rendah pada kelompok yang berpendapatan tinggi. Diantara berbagai komoditas pangan yang dikonsumsi, pangsa pengeluaran untuk beras adalah yang tertinggi (rata-rata 33.9 persen untuk Indonesia), lebih tinggi di pedesaan dari pada di perkotaan.

Pangsa pengeluaran pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan. semakin besar pangsa pengeluaran untuk pangan berarti ketahanan pangan semakin berkurang (Soehardjo et. al., 1986). Penggunaan pangsa pengeluaran dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga juga digunakan oleh Jonsson et. al., (2000) dengan menggunakan klasifikasi silang antara jumlah ketercukupan kalori dan pangsa pengeluaran makanan. Kedua indikator ini dinilai sederhana namun mampu mempresentasikan tingkat ketahanan pangan rumah tangga.

2.1.6 Pendekatan Teori Permintaan dan Penawaran

Suatu negara dikatakan memiliki ketahanan pangan yang baik jika antara permintaan (demand) dan penawaran (supplay) makanan cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori nasional secara stabil dan berkelanjutan. Jika dilihat dari konsep ketahanan pangan, maka permintaan dan penawaran makanan dapat dilihat dari ketiga komponen yang dibangun dari sistem ketahanan pangan. Penawaran dapat dilihat dari adanya produksi atau ketersediaan (food availability) dan accesibility

di suatu wilayah. Sedangkan permintaan dapat dilihat dari pendekatan konsumsi (foodutilization) pangan.

Teori permintaan didasarkan pada prilaku konsumen, hal ini didasarkan pada anggapan bahwa permintaan pasar suatu komoditas merupakan penjumlahan horizontal dari permintaan individu atau perorangan terhadap suatu komoditas tersebut (Henderson dan Quant, 1980). Winardi (1976) menyatakan bahwa permintaan adalah jumlah barang yang sanggup dibeli oleh para pembeli pada tempat dan waktu tertentu dengan harga yang berlaku saat itu.

Permintaan secara umum merupakan suatu fungsi yang dipengaruhi oleh banyak variabel. Faktor terpenting yang menentukan permintaan adalah harga barang yang bersangkutan, harga barang lain, pendapatan dan selera. Perubahan

(11)

barang yang diminta akibat perubahan harga barang itu sendiri merupakan perubahan sepanjang kurva permintaan, sedangkan perubahan faktor-faktor lain akan menggeser kurva permintaan (Koutsoyiannis, 1976).

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan konsumen akan suatu barang. Soediyono (1983) dalam Utari (1996) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor penyebab berubahnya permintaan yaitu perubahan pendapatan konsumen, harga barang pengganti, harga barang komplementer serta cita rasa selera konsumen.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan konsumen adalah :

1. Harga merupakan tingkat kemampuan suatu barang untuk ditukarkan dengan barang lain. Permintaan konsumen terhadap suatu barang umumnya ditentukan oleh harga barang itu sendiri.

2. Pendapatan, konsumen membayar harga barang yang dibeli dengan penghasilanya. Perubahan pendapatan dari konsumen dapat terjadi karena adanya perubahan harga (menurut teori slutzsky) atau memang benar-benar pendapatan konsumen berubah.

3. Jumlah anggota keluarga, apabila anggota keluarga bertambah maka semakin banyak dibutuhkan bahan makanan, pakaian dan perumahan.

4. Selera konsumen, preferensi terjadi karena adanya kemungkinan bahwa konsumen menganggap kualitas suatu barang lebih baik dari kualitas barang lain, atau karena adat-istiadat, dan kesukaan.

5. Pendidikan, peningkatan di bidang pendidikan menjadikan seseorang untuk berpikiran lebih maju serta kesadaran akan pentingnya makanan bergizi tinggi.

Penawaran merupakan suatu kegiatan dimana sejumlah barang atau jasa ditawarkan pada konsumen di suatu pasar dengan harga tertentu dan waktu tertentu. Secara teoritis penawaran dapat diturunkan dari fungsi keuntungan produsen yang didalamnya terkandung fungsi produksi. Menurut Boediono (1989), produksi adalah suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam

(12)

memenuhi kebutuhan. Kegiatan menambah daya guna suatu benda dengan mengubah sifat dan bentuknya dinamakan produksi barang. Orang atau pihak yang melakukan aktivitas produksi disebut produsen. Sadono, Sukirno (2005) menyatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan diantara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang diciptakanya. Faktor-faktor produksi terdiri dari tenaga kerja, tanah, modal, dan keahlian.

2.2 Tinjauan Empiris

Jayaputra (2001) meneliti tentang ketahanan pangan rumah tangga petani di daerah kawasan pertambangan PT. Newmont Nusa Tenggara Timur. 60 unit contoh rumah tangga untuk penelitian ditentukan berdasarkan teknik penarikan contoh acak berlapis (stratified random sampling) dengan luas kepemilikan lahan sebagai stata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah tangga petani yang teridentifikasi tahan pangan di Kecamatan Jereweh (18.3%) lebih banyak dibanding dengan kecamatan sekongkang (11.7%). Faktor determinan yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani di jereweh adalah ketersediaan pangan pokok dari produksi usahatani, pendapatan dan pengetahuan pangan dan gizi. Sedangkan untuk Kecamatan Sekongkang faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan panganya adalah pendapatan dan pengetahuan pangan dan gizi.

Saliem et. al., (2001) meneliti ketahanan pangan tingkat rumah tangga dan regional. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ketahanan pangan di wilayah perkotaan ternyata lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Ironisnya rumah tangga rawan pangan paling banyak terdapat pada rumah tangga dengan mata pencarian di sektor pertanian sebagai penghasil bahan pangan. Selain lapangan usaha dan status tempat tinggal di pedesaan atau perkotaan, tingkat pendapatan dan jumlah anggota rumah tangga juga berpengaruh secara nyata terhadap ketahanan pangan rumah tangga.

Demeke dan Zeller (2010) meneliti tentang pengaruh kondisi sosial ekonomi terhadap ketahanan pangan di pedesaan di Ethiopia dengan menggunakan data panel rumah tangga. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, gender

(13)

kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, tabungan dan pinjaman dari pertanian dan kepemilikan ternak.

Bogale dan Shimelis (2009) meneliti tentang determinan kerawanan pangan di pedesaan Dire Dawa di Selatan Ethopia. Melalui model binary logit diperoleh hasil bahwa jumlah anggota tumah tangga, pendapatan per tahun, jumlah pinjaman yang diterima, akses irigasi, umur kepala rumah tangga, ukuran pertanian, dan jumlah ternak yang dimiliki mempunyai efek yang nyata terhadap kerawanan pangan.

Rindayati (2009) meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di wilayah Provinsi Jawa Barat. Hasil analisis yang diperoleh adalah pada masa desentralisasi fiskal terdapat penurunan kinerja ketahanan pangan. Hal ini terlihat dari adanya penurunan rata-rata konsumsi energi dan protein serta terjadi peningkatan jumlah penduduk rawan pangan dan angka penderita gizi buruk meskipun secara makro regional produksi gabah meningkat yang menunjukkan kondisi ketersediaan pangan yang surplus. Hasil analisis sejalan dengan temuan Hardono dan Kariyasa (2006) yang menunjukkan bahwa ketersediaan tidak menjamin ketahanan pangan jika tidak diikuti dengan distribusi, aksesibilitas dan daya beli masyarakat yang cukup baik.

TB. Purwantini et. al., (2005) meneliti tentang analisis ketahanan pangan regional dan tingkat rumah tangga (studi kasus di Provinsi Sulawesi Utara). Analisis ketahanan pangan rumah tangga dilakukan dengan mengukur derajat ketahanan pangan. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara regional status ketahanan pangan wilayah (provinsi) tergolong tahan pangan. Namun demikian masih ditemukan rumah tangga yang tergolong rawan pangan cukup tinggi. Proporsi rumah tangga rawan pangan di Sulawesi Utara pada tahun 1999 sebesar 20.8 persen dan yang termasuk tahan pangan sebesar 18.3 persen. Jumlah persentase rawan pangan di pedesaan relatif lebih tinggi dibanding perkotaan. Sebaliknya, persentase rumah tangga tahan pangan di perkotaan lebih besar dibanding di pedesaan. Oleh karena itu, prioritas perhatian untuk meningkatkan derajat ketahanan pangan perlu diarahkan kepada rumah tangga pedesaan.

Nurlatifah (2011) meneliti determinan ketahanan pangan regional dan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan analisis regresi

(14)

data panel dan regresi logistik ordinal. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa pola konsumsi rumah tangga masih didominasi oleh beras, sedangkan bahan pangan sumber kalori lainnya masih kecil. Secara umum persentase rumah tangga tahan pangan di kabupaten/ kota mengalami peningkatan dari tahun ke tahun menuju suatu kondisi yang membaik. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa ketahanan pangan regional dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang tercermin dari rata-rata lama sekolah merupakan peubah yang memiliki elastisitas paling besar dalam meningkatkan ketahanan pangan.

Penelitian ini mengacu kepada penelitian Demeke dan Zeller (2010) dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi NTT. Penelitian ini menggunakan regresi logistik ordinal untuk menganalisis faktor penentu ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

2.3 Kerangka Pemikiran

Pemerintah bekerja sama dengan Badan Ketahanan Pangan membentuk Dewan Ketahanan Pangan Nasional. DKP yang diketuai oleh Presiden RI bekerjasama dengan WFP menerbitkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009 (Food Security and Vulnerability Atlas, 2009) yang bertujuan sebagai sarana bagi pengambil kebijakan dalam hal penentu sasaran dan memberikan rekomendasi untuk intervensi kerawanan pangan dan gizi ditingkat provinsi dan kabupaten. FSVA ini disusun untuk mengidentifikasi titik-titik rawan pangan tingkat kabupaten di Indonesia, mengidentifikasi penyebab kerawanan pangan di suatu kabupaten dan menyediakan petunjuk dalam mengembangkan strategi mitigasi yang tepat untuk kerawanan pangan kronis (DKP, 2009). 14 provinsi yang dimasukkan ke dalam fokus utama peningkatan produksi dalam mengatasi kerawanan pangan dalam wacana peta ketahanan dan kerawanan pangan (FSVA) adalah NTB, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Lampung, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Maluku, NAD dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Provinsi NTT merupakan provinsi kepulauan yang memiliki 550 pulau dengan luas daratan mencapai 47.349 km persegi. Dari luas daratan tersebut tercatat 96,74 persen merupakan lahan kering sedangkan sisanya 3,26 persen

(15)

merupakan lahan basah. Ketersediaan lahan yang landai untuk usaha pertanian lahan basah sangat terbatas sehingga pertanian lahan kering dan gersang menjadi sangat dominan di NTT. Dengan kondisi iklim dan topografi tersebut mengakibatkan usaha pertanian lahan basah untuk tanaman pangan menghadapi tantangan yang cukup besar. Perkembangan produksi komoditas pangan nabati di NTT dalam kurun tiga tahun terakhir terhitung 2009-2011 mengalami surplus untuk komoditas jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, dan ubi jalar (BPS NTT, 2011). Seharusnya dengan adanya surplus beberapa jenis pangan lain (non beras) mengindikasikan persediaan produksi pangan dan kondisi pangan di NTT secara keseluruhan masih cukup aman. Tetapi kenyataanya Provinsi NTT yang terdiri dari 21 kabupaten/ kota, dimana 12 kabupaten/ Kota di NTT diantaranya masih masuk ke dalam wilayah paling rentan rawan pangan (FSVA, 2009).

Tingginya pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga menyebabkan tingginya konsumsi padi-padian (beras) dan adanya peningkatan produksi pangan selain beras pada berbagai wilayah menyebabkan perlunya mengkaji lebih dalam tentang permasalahan pola konsumsi pangan di Provinsi NTT terkait dengan kondisi ketahanan pangan rumah tangga di wilayah tersebut. Pola konsumsi pangan yang cenderung didominasi kelompok padi-padian (beras) menunjukkan pola konsumsi yang belum seimbang antara energi dan protein di Provinsi NTT. Oleh karena itu kajian mengenai karakteristik pola konsumsi pangan dan faktor apa saja yang menjadi penentu ketahanan pangan di Provinsi NTT sangat diperlukan, hal ini untuk melihat bagaimana ketahanan pangan di NTT.

Berdasarkan teori yang ada dijabarkan bahwa pengeluaran untuk makanan memiliki hubungan dengan ketahanan pangan. Dimana di awal penelitian akan dilakukan klasifikasi status ketahanan pangan dengan menghubungkan antara pangsa pengeluaran makanan dengan besarnya konsumsi kalori rumah tangga. Status ketahanan pangan rumah tangga akan diklasifikasikan menjadi rawan pangan, rentan pangan, kurang pangan dan tahan pangan. Selanjutnya akan dilakukan analisis faktor penentu ketahanan pangan rumah tangga, dimana faktor penentu ketahanan pangan rumah tangga dianalisis dengan regresi logistik ordinal. Faktor penentu ketahanan pangan diproksi dari 3 pilar

(16)

ketahanan pangan sesuai konsep FAO (2010) dan dimodifikasi dari model studi Demeke dan Zeller (2010). Indikator ketersediaan pangan (food availability) akan diukur dari jumlah raskin yang diterima dan dikonsumsi oleh suatu rumah tangga dimana selain produksi, raskin juga merupakan variabel yang menentukan ketersediaan pangan di suatu rumah tangga di Indonesia. Variabel lapangan pekerjaan dan jumlah anggota rumah tangga merupakan proksi dari subsistem

food stability, sedangkan variabel lainya seperti pendapatan, umur KRT, daerah tempat tinggal dan pendidikan KRT merupakan proksi dari subsistem acces to food (akses terhadap pangan).

Variabel-variabel yang digunakan dalam menentukan keterkaitan terhadap ketahanan pangan merupakan proksi dari ke-3 pilar ketahanan pangan yang telah ditetapkan FAO. Oleh karena itu walaupun banyak indikator ketahanan pangan tetapi dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan variabel yang terkait dengan subsitem ketahanan pangan (FAO, 2010) yang disesuaikan dengan ketersediaan data yang digunakan dan penelitian sebelumnya tentang tingkat katahanan pangan rumah tangga yang dijadikan acuan dalam penelitian. Analisis yang dilakukan diharapkan dapat memberikan gambaran ketahanan pangan di Nusa Tenggara Timur dimana masalah kerawanan pangan diharapkan dapat diatasi di wilayah tersebut dan NTT menjadi daerah yang tahan pangan yang nantinya berdampak peningkatan pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. 2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan sampai terbukti melalui data yang dikumpulkan. Rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel umur KRT, pendidikan KRT, pendapatan KRT, sektor lapangan pekerjaan KRT dan daerah tempat tinggal diduga berpengaruh terhadap peluang ketahanan pangan rumah tangga.

2. Jumlah anggota rumah tangga dan jumlah RASKIN yang diterima rumah tangga diduga memiliki pengaruh negatif terhadap peluang ketahanan pangan rumah tangga.

(17)

Gambar 4. Kerangka Penelitian

Keterangan : Variabel yang tidak diteliti Variabel yang diteliti

 NTT merupakan wilayah rawan pangan sesuai FSVA 2009

 Pangsa pengeluaran pangan masy. NTT masih cukup tinggi

 Surplus bahan pangan selain beras dengan konsumsi kalori dan protein masyarakat yang belum seimbang.

 Potensi sumberdaya kelautan yang masih besar.

Peningkatan Ketahanan Pangan sebagai strategi Pembangunan

Ekonomi Ketahanan Pangan Regional Ketahanan Pangan Rumah Tangga Ketahanan Pangan Individu Status Ketahanan Pangan Analisis Regressi Logistik Ordinal Faktor-faktor Penentu Ketahanan Pangan RT di NTT Food Availability Jumlah raskin Stability Jumlah ART Lapangan pekerjaan Acces to food Pendapatan Pendidikan KRT Umur KRT Daerah tempat tinggal

Gambar

Gambar 2. Kaitan antara Elemen dalam Sistem Ketahanan Pangan
Gambar 4. Kerangka Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

tergantung pada latihan yang sering dilakukan untuk mengembangkan berpikir kritis (Fakhriyah, 2014) Kenyataan yang ditemui pada mahasiswa PGSD FKIP Universitas

Dana Desa yang telah ditetapkan dalam APBN tidak mengalami perubahan walaupun terdapat perubahan APBN. Setelah mendapat persetujuan DPR, anggaran Cadangan Dana Desa

Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang yang selama ini telah memberikan bekal Ilmu dan pengetahuan kepada penulis.. Seluruh

Dari tahap testing yang dilakukan oleh penulis, maka dapat disimpulkan Sistem informasi penjadwalan penagihan yang dibuat peneliti dapat digunakan karena sudah

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh suami yang mengalami abortus, Sampel berjumlah 30 orang diambil dengan metode Consecutive sampling.Hasil penelitian

Wheel Loader adalah loader yang menggunakan ban karet, loader ini dipakai karena pergerakannya lebih cepat jika dibandingkan denga loader yang menggunakan roda rantai, oleh sebab

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Jonata Agus Setiawan, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : Pengaruh kualitas audit terhadap manajemen laba dan biaya

a) Beton yang digunakan adalah beton mutu K. b) Bahan beton terdiri dari semen, pasir, Batu Pecah dan besi sebagai tulangan. c) Semen yang digunakan harus semen jenis PC. d)