• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Rumahtangga Petani

Rumahtangga dapat dilihat sebagai kesatuan dari kumpulan orang-orang yang mana aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi dilakukan. Rumahtangga juga sebagai kelembagaan sosial yang terkecil yang mana terdapat hubungan manusia satu dengan yang lain, pada satu rumah atau satu dapur yang tinggal dalam hubungan ekonomi, sosial dan budaya dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan. Selanjutnya Dharmawan (2002) menjelaskan terdapat enam fungsi utama dari rumahtangga yaitu (1) mengalokasikan sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan, (2) mencapai bermacam-macam tujuan, (3) memproduksi barang dan jasa, (4) mengambil keputusan mengenai penggunaan pendapatan dan konsumsi, (5) melakukan hubungan sosial, dan (6) reproduksi dan menjaga keamanan anggota rumahtangga. Dari keenam fungsi tersebut menunjukkan bahwa rumahtangga mempunyai dua fungsi pokok yang dikelompokkan sebagai fungsi sosial dan ekonomi.

Sesuai dengan teori ekonomi, rumahtangga diasumsikan selalu bertindak rasional dalam mengalokasikan sumberdaya dan mengkonsumsi barang dan jasa. Perilaku ekonomi rumahtangga tersebut menunjukkan respon rumahtangga sebagai produsen dan konsumen terhadap perubahan kekuatan pasar yang terjadi, yang dilandasi dengan tujuan maksimisasi kepuasan atau utilitas.

Terdapat bermacam-macam rumahtangga sesuai dengan aktivitas yang dilakukan seperti rumahtangga pertanian, rumahtangga pengrajin, rumahtangga industri, dan rumahtangga lainnya. Khusus mengenai rumahtangga pertanian, terdapat dua istilah yang sering digunakan dalam literatur yaitu rumahtangga

(2)

pertanian (agricultural household) dan rumahtangga petani (farm household) (Singh et al., 1986; Nakajima, 1986; Ellis, 1988). Menurut Nakajima (1986), jika pertanian dipandang sebagai suatu industri, maka terdapat beberapa karakteristik yang dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori sebagai berikut yaitu :

1. Karakteristik teknologi produksi pertanian

2. Karakteristik rumahtangga petani sebagai kesatuan ekonomi 3. Karakteristik produk pertanian

Dari ketiga karakteristik tersebut di atas, rumahtangga petani sebagai karakteristik kedua merupakan satu unit atau kesatuan ekonomi yang relevan untuk analisis pengambilan keputusan baik keputusan produksi, konsumsi maupun tenaga kerja. Selain itu dalam rumahtangga terdapat kekhasan mengintegrasikan keputusan produksi, konsumsi dan alokasi tenaga kerja (Nakajima, 1986; Sadoulet dan de Janvry, 1995). Karakteristik tersebut menunjukkan bahwa rumahtangga petani dapat dipandang sekaligus sebagai perusahaan pertanian (produsen), tenaga kerja dan konsumen. Dengan dihadapkan pada proses pengambilan keputusan baik keputusan produksi, konsumsi maupun tenaga kerja maka tujuan yang ingin dicapai rumahtangga dari pengambilan keputusan tersebut masing-masing adalah untuk memaksimumkan profit dan memaksimumkan utilitas.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, konsep rumahtangga petani yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumahtangga sebagai kesatuan ekonomi dari sekumpulan individu yang hidup dalam satu atap rumah untuk mengatur sumberdaya dan menyatukan pendapatan dari anggota keluarga, yang digunakan untuk kegiatan produksi dan konsumsi. Dengan demikian rumahtangga petani

(3)

sebagai organisasi terdiri dari rumahtangga itu sendiri, anggota keluarga dan usahatani. Penelitian mengenai rumahtangga pada umumnya memberikan pengertian yang sama mengenai konsep rumahtangga.

2.2. Model Ekonomi Rumahtangga

Perilaku ekonomi rumahtangga petani dapat dilihat dari segi pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan pada rumahtangga petani dapat didasarkan pada peran rumahtangga dalam mengambil keputusan ekonomi. Terdapat dua peran rumahtangga dalam pengambilan keputusan ekonomi yaitu peran tunggal dan ganda.

Pada model rumahtangga berperan tunggal, rumahtangga hanya sebagai produsen atau konsumen saja. Dalam teori ekonomi, terdapat dua permasalahan yang menjadi perhatian yaitu masalah produsen dalam mengambil keputusan produksi dan masalah konsumen dalam mengambil keputusan konsumsi (Henderson dan Quandt, 1980; Beattie dan Taylor, 1985; Debertin, 1986; Chambers, 1988). Pada umumnya kedua permasalahan tersebut dianalisis secara terpisah melalui perilaku produsen saja atau konsumen saja. Analisis tersebut dilakukan untuk menyederhanakan fenomena yang terdapat di lapangan.

Sedangkan pada model rumahtangga berperan ganda, pengambilan keputusan produksi dan konsumsi dilakukan sebagai satu kesatuan oleh rumahtangga dan dianalisis secara terintegrasi. Dalam model rumahtangga berperan ganda ini, rumahtangga petani bertindak baik sebagai produsen dan konsumen. Model rumahtangga berperan ganda lebih realistis karena realitanya rumahtangga petani di negara-negara berkembang pada umumnya merupakan produsen sekaligus konsumen (Nakajima, 1986; Sawit, 1993; Singh et al., 1986).

(4)

Model ekonomi pengambilan keputusan rumahtangga pertama kali dikemukakan oleh Chayanov (Ellis, 1988) dengan teori maksimisasi utilitas rumahtangga. Teori tersebut memfokuskan pada pengambilan keputusan rumahtangga yang berkenaan dengan jumlah tenaga kerja keluarga yang menjalankan kegiatan produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dengan menggunakan asumsi waktu kerja dan santai (leisure). Dari model rumahtangga tersebut, kemudian Becker (1976) mengembangkan dengan menggunakan asumsi bahwa alokasi waktu rumahtangga terdiri dari waktu kerja di rumah, kerja upahan dan santai. Dengan perkembangan waktu, model ekonomi rumahtangga dikembangkan oleh Barnum dan Squire (Ellis, 1988) yang mana rumahtangga mempunyai kebebasan untuk menyewa tenaga kerja dari luar keluarga sedangkan tenaga kerja dalam keluarga juga dapat bekerja di luar dengan memperoleh tingkat upah tertentu.

Selanjutnya model rumahtangga petani Low (Ellis, 1988) mengkombinasikan beberapa model tersebut di atas dengan memberikan penekanan diantaranya pada pasar tenaga kerja, yang mana tingkat upah bervariasi berdasarkan kategori jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Hal ini mengimplikasikan perbedaan anggota rumahtangga mempunyai perbedaan potensial untuk penerimaan upah. Selain hal tersebut juga ada penekanan pada perbedaan harga pangan di tingkat rumahtangga petani dengan tingkat pengecer.

Sedangkan Nakajima (1986) mengembangkan teori rumahtangga petani dengan berbagai perilaku rumahtangga yang mengkombinasikan curahan tenaga kerja keluarga dengan konsumsi produk yang dihasilkan. Adapun alternatif curahan tenaga kerja yaitu a) tidak semua tenaga kerja keluarga tercurah untuk

(5)

usahatani, b) semua tenaga kerja keluarga tercurah pada usahatani tanpa menyewa tenaga kerja, dan c) semua tenaga kerja keluarga tercurah dan menyewa tenaga kerja. Sedangkan alternatif konsumsi produk mencakup usahatani komersial murni, usahatani komersial dengan sebagian produk dikonsumsi, usahatani subsisten dan usahatani dengan pembelian sebagian untuk konsumsi rumahtangga. Selanjutnya Singh et al. (1986) mengembangkan model rumahtangga pertanian (agricultural household model) khususnya dalam perilaku rumahtangga pertanian. Rumahtangga diasumsikan memaksimumkan utilitas dengan kendala pendapatan tunai, waktu dan teknologi produksi. Dengan menurunkan keseimbangan pada rumahtangga dapat diperoleh fungsi penawaran output, permintaan input dan permintaan komoditas, termasuk leisure. Penawaran output dan permintaan input merupakan fungsi dari harga input, harga output dan karakterisitik usahatani termasuk input tetap. Sedangkan permintaan komoditas merupakan fungsi dari harga komoditas, full income dan karakterisitk rumahtangga. Keputusan produksi sangat mempengaruhi keputusan konsumsi.

Model rumahtangga pertanian tersebut selanjutnya dikembangkan secara empiris dengan menganalisis keterkaitan antara keputusan produksi dan konsumsi dengan mengestimasi penawaran dan permintaan komoditas serta permintaan input (Singh et al., 1986). Leisure merupakan salah satu produk yang dikonsumsi selain komoditas pertanian dan non pertanian. Dari hasil kajian tersebut terdapat perbedaan bahwa elastisitas harga sendiri terhadap konsumsi barang pertanian bernilai positif di Malaysia dan bernilai negatif di Jepang dan Thailand.

Pada umumnya model rumahtangga petani yang sudah dilakukan tersebut masih berfokus pada satu komoditas yang dihasilkan. Oleh karena itu Singh dan

(6)

Subramanian (1986) dalam Singh et al.(1986) dan Sawit (1993) mengembangkan model rumahtangga dengan mengkaji multicrop pada rumahtangga petani. Selain multicrop, Sawit (1993), Leones dan Feldman (1998) juga mengembangkan model dengan mempertimbangkan multiemployment yang diukur dari pendapatan yang berasal dari pertanian, non pertanian maupun non aktivitas seperti kiriman uang dan penyewaan aset.

Dalam analisis kebijakan pada model ekonomi rumahtangga, Taylor dan Adelman (2003) mengkaji pengaruh kebijakan penurunan harga dasar barang pokok dan transfer pendapatan terhadap produksi dan pendapatan rumahtangga. Penurunan harga dasar barang pokok menyebabkan penurunan output barang pokok, permintaan tenaga kerja, pendapatan rumahtangga, permintaan konsumsi (cash crop, market good dan leisure) dan market surplus barang pokok. Sedangkan adanya transfer pendapatan menyebabkan adanya peningkatan pada indikator tersebut di atas kecuali market surplus dan cash crop.

Dari segi metoda, model ekonomi rumahtangga selanjutnya telah dikembangkan dengan menggunakan persamaan simultan seperti yang dilakukan oleh Pradhan dan Quilkey (1985), dengan mengkaitkan adopsi teknologi dengan keputusan produksi, konsumsi dan penggunaan input serta dilakukan simulasi terhadap skenario kebijakan. Metoda tersebut selanjutnya digunakan oleh Basit (1996), Hardono (2002), Kusnadi (2005), Asmarantaka (2007) dan Bakir (2007). Sedangkan Hendratno (2006) dan Sawit (1993) menganalisis rumahtangga petani tetapi tidak menggunakan persamaan simultan.

Selanjutnya Fabella (1986) menyatakan terdapat ketergantungan antara keputusan produksi dan konsumsi. Menurut Sadoulet et al. (1996) kedua

(7)

keputusan terkait melalui tingkat pendapatan yang dicapai dalam produksi. Apabila solusi blok produksi dapat ditentukan sebelum solusi blok konsumsi maka dinamakan blok recursive system. Dalam recursive system, keputusan konsumsi tidak memberikan pengaruh balik (feed back) terhadap keputusan produksi, atau keputusan produksi terpisah (independent) dari keputusan konsumsi. Konsep recursive identik dengan konsep model separable seperti yang dikemukakan oleh Wik et al. (1998) bahwa pada model separable semua harga adalah exogenous dan keputusan produksi bebas dari keputusan konsumsi.

Sementara itu Lofgren dan Robinson (1999) mengembangkan model rumahtangga non separable dengan biaya transaksi sebagai endogenous dan menggunakan Computable General Equilibrium (CGE). Keputusan produksi dan konsumsi pada rumahtangga petani bersifat non separable mengindikasikan ketidaksempurnaan pasar, sedangkan harga ditentukan secara endogenous oleh interaksi permintaan dan penawaran. Sementara itu perilaku dari rumahtangga antar waktu (intertemporal) telah dikaji oleh Mazzocco (2001).

2.3. Konsep Risiko Produksi dan Harga Produk

Risiko dan ketidakpastian sering digunakan secara bersama-sama baik dalam jurnal maupun beberapa tulisan lainnya. Silberberg (1990), Henderson dan Quandt (1980) dan Varian (1992) menggunakan istilah ketidakpastian (uncertainty) terkait dengan peluang (probability). Sedangkan Robison dan Barry (1987) menjelaskan terdapat perbedaan antara konsep risiko dan ketidakpastian. Jika peluang suatu kejadian dapat diketahui oleh pembuat keputusan, yang didasarkan pada pengalaman, maka hal tersebut menunjukkan konsep risiko.

(8)

Sedangkan jika peluang suatu kejadian tidak dapat diketahui oleh pembuat keputusan maka hal tersebut menunjukkan konsep ketidakpastian.

Beberapa sumber risiko yang dapat dihadapi oleh petani diantaranya adalah risiko produksi, risiko pasar atau risiko harga, risiko kelembagaan, risiko kebijakan dan risiko finansial (Ellis, 1988; Harwood et al., 1999; Moschini dan Hennessy, 1999). Dari beberapa sumber risiko tersebut, ternyata risiko yang paling utama dihadapi rumahtangga petani diantaranya adalah risiko produksi dan harga produk (Patrick et al., 1985; Wik et al., 1998).

Selanjutnya Ellis (1988) menjelaskan terdapat beberapa pendekatan yang berbeda dalam melihat mengenai peluang dengan risiko. Pada kegiatan produksi usahatani, risiko merupakan peluang terjadinya suatu peristiwa yang menghasilkan pendapatan di atas atau di bawah rata-rata dari pendapatan yang diharapkan dalam serangkaian musim panen. Sedangkan pada perspektif asuransi terhadap kerugian atau kerusakan, risiko sebagai peluang adanya bencana yang menimbulkan kerugian.

Analisis risiko berhubungan dengan teori pengambilan keputusan (decision theory). Individu diasumsikan bertindak rasional dalam pengambilan keputusan. Alat analisis yang umum digunakan dalam menganalisis mengenai pengambilan keputusan yang berhubungan dengan risiko yaitu expected utility model (Anderson et al., 1977; Henderson dan Quandt, 1980; Robison dan Barry, 1987; Moschini dan Hennessy, 1999; Ellis, 1988). Lebih lanjut dijelaskan lima komponen yang digunakan dalam pengambilan keputusan diantaranya adalah the states of nature, the possible outcomes, the probabilities of outcomes, the choices dan the decision rule for ordering choices. Dalam menganalisis mengenai

(9)

pengambilan keputusan yang berhubungan dengan risiko dapat menggunakan expected utility model. Model ini digunakan karena adanya kelemahan yang terdapat pada expected return model, yaitu bahwa yang ingin dicapai oleh seseorang bukan nilai (return) tetapi kesejahteraan (utility). Variance merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan dalam menganalisis mengenai risiko.

Selanjutnya bila dilihat dari sikap pembuat keputusan dalam menghadapi risiko dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu sebagai berikut (Robison dan Barry, 1987):

1. Pembuat keputusan yang takut terhadap risiko (risk aversion). Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam (variance) dari keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan menaikkan keuntungan yang diharapkan yang merupakan ukuran tingkat kepuasan.

2. Pembuat keputusan yang berani terhadap risiko (risk taker). Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan menurunkan keuntungan yang diharapkan.

3. Pembuat keputusan yang netral terhadap risiko (risk neutral). Sikap ini menunjukkan jika terjadi kenaikan ragam keuntungan maka pembuat keputusan tidak akan mengimbangi dengan menaikkan atau menurunkan keuntungan yang diharapkan.

Selanjutnya dinyatakan bahwa perilaku pembuat keputusan risk aversion menjadi subyek ketertarikan ahli ekonomi, dan perilakunya pada usahatani didasarkan tidak pada maksimisasi utilitas tetapi ekspektasi maksimisasi profit dengan asumsi harga dan produksi bersifat stochastic (Just, 1975).

(10)

Memperhatikan hal tersebut diatas, penelitian mengenai risiko sangat penting dilakukan terkait dengan pengambilan keputusan pada petani, khususnya pada kegiatan produksi (Just, 1974). Indikasi adanya risiko mencakup adanya perubahan atau variasi seperti dalam produksi, harga maupun pendapatan.

Beberapa model yang menyangkut risiko diantaranya penentuan input yang optimal pada kondisi risiko harga produk, risiko harga input, risiko kualitas input, dan risiko fungsi produksi. Khususnya pada model dengan risiko harga produk, keputusan menanam sangat tergantung pada harga barang, sehingga bila harga rendah tidak akan menarik petani untuk menanam.

Dalam analisis risiko, fungsi produksi merupakan fungsi produksi rata-rata (mean production function) dan produksi variance (variance production function), yang masing-masing dipengaruhi oleh penggunaan input dalam kegiatan produksi (Just dan Pope, 1979). Model Just dan Pope tersebut telah digunakan oleh Walter etal. (2004), Hutabarat (1985), Antle (1987), Buccola dan McCarl (1986) dalam menganalisis mengenai risiko produksi. Pendugaan terhadap fungsi produksi dapat dilakukan terpisah antara fungsi produksi rata-rata (mean production function) dan fungsi produksi variance (variance production function). Baik fungsi produksi rata-rata maupun produksi variance dipengaruhi oleh variabel input faktor seperti lahan, benih, pupuk, tenaga kerja dan pestisida (Walter et al., 2004; Hutabarat, 1985; Anderson et al., 1977). Sedangkan Antle (1987) dan Beach et al. (2005) mengakomodasi parameter risiko sebagai faktor yang mempengaruhi penggunaan input.

Penggunaan setiap input mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap produksi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hubungannya

(11)

antara pengambilan keputusan input dan risiko produksi ternyata penggunaan pestisida dalam produksi sebagai pengurang risiko (risk reducing effect) sedangkan input yang lain sebagai faktor yang menyebabkan risiko (risk inducing effect) dalam produksi (Just dan Pope, 1979).

Hasil penelitian penelitian Hutabarat (1985) berbeda dengan Just dan Pope (1979) yang menunjukkan bahwa pada musim hujan ternyata input benih, pupuk nitrogen, pupuk phospor, kepemilikan lahan dan insektisida merupakan faktor yang menyebabkan risiko produksi (risk inducing factors). Sedangkan input tenaga kerja manusia dan ternak merupakan faktor pengurang risiko produksi (risk-reducing factors). Sedangkan pada musim kemarau semua faktor produksi merupakan faktor yang menyebabkan risiko (risk-inducing factors).

Selanjutnya dari segi metodologi, Antle (1987) menggunakan ekonometrika untuk mengestimasi distribusi risiko pada produsen. Prosedur ekonometrika berguna pada data produksi cross section dengan time series atau pooled data. Pendekatan estimasi dengan Generalize Method of Moments digunakan untuk mengestimasi parameter.

Wincoop (1992) mempelajari respon tabungan dan struktur produksi terhadap peningkatan ketidakpastian perdagangan. Peningkatan ketidakpastian perdagangan menyebabkan kekuatan tenaga kerja terpecah semakin besar pada sektor yang tidak diperdagangkan (non tradeable). Sementara itu Kingwell (1994) menggunakan stochastic programming model dari sistem usahatani untuk menguji pengaruh perilaku risk aversion terhadap penawaran gandum.

Hartoyo et al. (2004) menggunakan quadratic utility function dalam menganalisis perilaku petani padi dalam menghadapi risiko. Petani padi di Desa

(12)

Kemang, Kabupaten Cianjur mempunyai karakter sebagai pengambil keputusan yang berperilaku risk neutral. Selanjutnya hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi padi dipengaruhi oleh variasi harga padi, karena sekitar 63.5 persen dari total produksi dikonsumsi sendiri oleh rumahtangga petani. Beberapa variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap produksi padi yaitu ekspektasi produksi padi, ekspektasi harga padi, kuadrat dari ekspektasi harga padi dan ekspektasi harga pupuk TSP.

Namun demikian kajian Purwoto (1990) menunjukkan hasil yang berbeda yaitu sikap petani dan khususnya hasil pengukuran dari sisi alokasi jumlah pupuk buatan, menunjukkan secara umum petani takut menghadapi risiko (risk aversion) yang ditunjukkan nilai koefisien keengganan petani dalam menghadapi risiko lebih besar dari nol.

Sementara itu Ellis (1988) menunjukkan bahwa perilaku rumahtangga petani kecil pada umumnya adalah risk averse. Adanya ketidakpastian dalam produksi akan menghasilkan keputusan ekonomi yang sub optimal pada tingkat produksi. Produsen yang berperilaku risk averse dalam menghadapi risiko produksi akan memproduksi lebih rendah dibandingkan produsen yang berperilaku risk neutral dan jika terjadi peningkatan risiko maka produsen risk averse akan mengurangi output (Wik et al. 1998). Salah satu strategi produksi risk averse adalah tumpangsari (mixed cropping) yang memberikan banyak keuntungan. Kebijakan yang dapat merespon ketidakpastian alami diantaranya irigasi, asuransi tanaman dan varietas benih yang tahan terhadap hama dan penyakit tanaman, musim kemarau, dan stabilitas hasil. Sementara itu kebijakan

(13)

mengatasi ketidakpastian harga meliputi stabilitas harga, informasi pasar dan kredit.

Kajian Fukui et al. (2004) menganalisis ekonomi rumahtangga petani dengan memasukkan beberapa variabel ke dalam model seperti variabel bahaya hama dan penyakit tanaman, sistem bagi hasil dan rasio pendapatan yang berisiko (risky income ratio), yang diukur dari rasio pendapatan padi terhadap pendapatan rumahtangga. Ketiga variabel tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap permintaan input selain kiriman uang, harga produk, harga pupuk dan modal tetap. Namun demikian rasio pendapatan yang berisiko tidak signifikan terhadap permintaan tenaga kerja dan kredit, sebaliknya sistem bagi hasil dan bahaya pestisida mempunyai pengaruh yang signifikan.

Beberapa mekanisme yang digunakan untuk mengatasi risiko yaitu kredit, kepemilikan aset dan diversifikasi sumber pendapatan. Sedangkan mekanisme mengurangi risiko yaitu dengan teknologi pengurang risiko seperti penerapan pestisida, penggunaan varietas, sistem kerjasama seperti bawon untuk kontrak tenaga kerja dan bagi hasil. Sharing risiko juga dikaji oleh Cox dan Jimenez (1998) sedangkan Guiso et al. (1996) dan Ameriks (2001) menekankan pada keputusan portofolio.

Selanjutnya Saha dan Stroud (1994) menggunakan model rumahtangga pertanian untuk menganalisis keputusan konsumsi, penyimpanan, menabung dan tenaga kerja dibawah risiko harga pada rumahtangga petani. Kajian tersebut menggunakan panel data dan model dinamik (dynamic model). Penyimpanan dipengaruhi secara nyata oleh musim tanam, lag harga kali harga saat ini yang

(14)

mempunyai pengaruh negatif dan secara positif oleh musim panen, full income, upah tenaga kerja keluarga, kuadrat current price dan kuadrat lag harga.

Masih dalam hubungannya dengan risiko dengan model ekonomi rumahtangga, Beach et al. (2005) melakukan pendugaan terhadap beberapa persamaan penggunaan input yang terdiri dari persamaan luas lahan, tenaga kerja dalam keluarga, tenaga kerja luar keluarga dan penggunaan input lain. Penggunaan input dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti ekspektasi harga, variance harga, ekspektasi produksi, variance produksi, upah, harga input, harga output dan karakteristik rumahtangga. Ekspektasi dan variance sebagai pendekatan yang digunakan untuk menganalisis mengenai risiko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspektasi penerimaan tembakau dan variance produksi mempunyai tanda yang berlawanan dengan yang diharapkan dan tidak signifikan terhadap luas areal penanaman tembakau.

Sementara itu Wik et al. (1998) mengestimasi variabel endogen koefisien risk aversion, penggunaan pupuk dan proporsi lahan tanaman gandum terhadap total lahan yang ditanamani. Variabel tersebut dipengaruhi oleh luas lahan, pendapatan off farm, karakteristik rumahtangga (seperti umur, pendidikan, jenis kelamin), tenaga kerja rumahtangga (pria dan wanita), ukuran rumahtangga, kekayaan (jumlah sepeda, rumah dan binatang), jarak dengan kota dan rasio penggilingan penggunaan pupuk. Pada penggunaan pupuk, beberapa variabel yang mempunyai pengaruh nyata pada taraf nyata kurang dari 10 persen diantaranya total pendapatan, jumlah sepeda, total lahan usahatani.

Pengaruh risiko terhadap keputusan yang dibuat oleh petani risk neutral telah dikaji Pannell (1999). Sumber risiko yang mempengaruhi keuntungan yang

(15)

diharapkan dianalisis dengan menggunakan response model dalam kaitannya dengan aplikasi herbisida. Pengaruh risiko bagi pengambil keputusan risk neutral yaitu dengan mengurangi penggunaan herbisida, karena pengurangan tingkat optimal herbisida atau peningkatan ambang batas rumput liar. Alasan penurunan penggunaan herbisida adalah bahwa risiko mengurangi produk marginal herbisida. Ketidakpastian akan berhubungan dengan daya saing rumput liar sehingga dapat mengurangi kehilangan produksi rata-rata.

Moller et al. (2000) menggunakan teknik dynamic programming dengan data rumahtangga petani. Peningkatan ketidakpastian tidak secara umum mengurangi penambahan konsumsi atau meningkatkan penambahan saving. Petani yang menghadapi kendala kredit, investasi dan konsumsi sangat penting menentukan perilaku saving karena saving digunakan untuk membiayai investasi dan kelancaran konsumsi.

Metoda lain dapat digunakan dalam menganalisis risiko khususnya dengan ekonometrika modern. Verbeek (2000) menjelaskan bahwa adanya fluktuasi (volatility) dari observasi dapat dianalisis dengan model variance error seperti model Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH). Model tersebut telah mengakomodasi variance error dan error kuadrat periode sebelumnya dalam menganalisis mengenai risiko.

Model standar GARCH (1,1) sering digunakan dalam beberapa penelitian seperti oleh Huang et al. (2004) yang menganalisis mengenai penawaran produk cabe. Dalam model tersebut, persamaan penawaran dipengaruhi oleh beberapa variabel eksogenous sedangkan persamaan variance dipengaruhi oleh variance periode sebelumnya dan error kuadrat periode sebelumnya.

(16)

Sementara itu Moschini dan Hennessy (1999) menyatakan bahwa dalam model ekspektasi untuk persamaan variance, beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan penawaran pada periode tertentu yaitu ekspektasi harga, variance harga dan variabel lainnya. Selanjutnya De Wet (2005) menggunakan model GARCH untuk menganalisis mengenai risiko karena adanya fluktuasi pada tiga variabel finansial. Analisis dilakukan secara simultan dengan menggunakan data mingguan.

Berdasarkan pada uraian tersebut, bagian terakhir bab ini akan menyimpulkan mengenai model ekonomi rumahtangga petani. Model ekonomi rumahtangga petani digunakan karena adanya keterkaitan antara keputusan produksi dan konsumsi yang terdapat pada rumahtangga petani yang berperan ganda sebagai produsen dan konsumen. Model ekonomi rumahtangga petani dapat dibangun secara separable atau recursive maupun non separable atau non recursive. Model separable atau recursive digunakan karena keputusan produksi mempengaruhi keputusan konsumsi tetapi keputusan produksi tidak dipengaruhi oleh keputusan konsumsi. Sedangkan dalam model non separable, keputusan produksi mempengaruhi dan dipengaruhi keputusan konsumsi. Dalam model separable atau recursive, variabel harga sebagai variabel eksogen sebaliknya dalam model non separable, variabel harga merupakan variabel endogen.

Adapun pendekatan yang digunakan dalam menganalisis model ekonomi rumahtangga petani dapat dilakukan dengan persamaan simultan. Persamaan dalam model pada intinya mencakup kegiatan produksi, seperti penawaran output atau produksi, kegiatan konsumsi seperti permintaan barang konsumsi atau pengeluaran, dan alokasi tenaga kerja seperti permintaan dan penawaran tenaga

(17)

kerja. Persamaan-persamaan yang dibangun tersebut dikembangkan sesuai dengan fenomena yang terjadi di lapangan.

Penelitian-penelitian mengenai ekonomi rumahtangga petani sudah banyak yang melakukan baik di Indonesia maupun di negara lain. Di Indonesia penelitian risiko masih sedikit yang melakukan dan hanya difokuskan pada kegiatan produksi, sementara itu penelitian model ekonomi rumahtangga petani pada umumnya jarang yang mengakomodasi unsur risiko produksi maupun risiko harga produk. Dengan memperhatikan hal tersebut maka penelitian ini akan mengakomodasi unsur risiko produksi dan risiko harga produk dalam model ekonomi rumahtangga petani sayuran.

Selain hal tersebut diatas, dapat dilihat dari segi metodologi, yang mana dalam kaitannya dengan pengukuran risiko khususnya risiko produksi, yang diukur dari nilai variance, telah menggunakan model GARCH (1,1) yang sudah mengakomodasi pendugaan secara sekaligus untuk fungsi produksi rata-rata (mean production function) dan variance (variance production function). Dari hasil estimasi, nilai variance dari setiap responden selanjutnya akan dimasukkan dalam model ekonomi rumahtangga petani. Selain nilai variance produksi, beberapa variabel seperti variance harga, ekspektasi produksi dan ekspektasi harga juga diakomodasi ke dalam model ekonomi rumahtangga petani sayuran.

Referensi

Dokumen terkait

Teknik yang digunakan untuk membuat model jadwal yang kegiatannya direpresentasikan oleh node (titik) dan dalam grafiknya dihubungkan oleh satu atau lebih hubungan

• Agregat kering yang dipersiapkan sebagaimana yang ditetapkan diatas, harus di- kombinasikan dalam AMP sesuai dengan proporsi yang disyaratkan dalam rumusan campuran kerja.

Uji coba sistem KSA dilakukan di seluruh kecamatan di kabupaten Indramayu dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, dengan jumlah sampel masing-masing sebanyak

1) Penelitian linguistik historis komparatif terhadap bahasa Md, Kr, dan Tw ini hanya terbatas pada aspek fonologi dan leksikal. Aspek kebahasaan lainnya, seperti aspek

Di sebelah utara membentang pantai dari Barat sampai ke Timur sepanjang ± 35 km yang menjadi tempat bermuaranya 9 buah sungai dan 2 buah kanal, sementara di sebelah selatan

Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui tingkat keterlaksanaan Program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) pada tahapan 1) masukan (antecedents), 2) proses (transactions), 3)

Allhamdulillah, penulis panjatkan segala puji syukur hanya kepada Allah SWT atas segala petunjuk dan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis diberikan kesempatan

Dalam suatu penyalahgunaan narkoba secara tidak langsung menimbulkan korban. Untuk mengatasi korban penyalahgunaan narkoba perlu dilakukan tindakan-tindakan yang baik agar