• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

8

A. Tinjauan Pustaka

1. Tempat Kerja

Tempat kerja yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 1 ayat 1 adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam pasal 2 termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut. Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) tersebut berlaku dalam tempat kerja di mana : a. dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat,

perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan.

b. dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang : dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi.

c. dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya, termasuk

(2)

bangunan pengairan, saluran atau terowongan di bawah tanah dan sebagainya atau dimana dilakukan pekerjaan persiapan.

d. dilakukan usaha : pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan.

e. dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan : emas, perak, logam atau bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak atau mineral lainnya, baik di permukaan atau di dalam bumi, maupun di dasar perairan; dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di daratan, melalui terowongan, dipermukaan air, dalam air maupun di udara. f. dikerjakan bongkar-muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga,

dok, stasiun atau gudang.

g. dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam air.

h. dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah atau perairan.

i. dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau rendah.

j. dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau terpelanting.

(3)

l. terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran. m. dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah.

n. dilakukan pemancaran, penyiaran atau penerimaan radio, radar, televisi atau telepon.

o. dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset (penelitian) yang menggunakan alat teknis.

p. dibangkitkan, dirubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau disalurkan listrik, gas, minyak atau air.

q. diputar film, dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan rekreasi. r. lainnya yang memakai peralatan, instalasi listrik atau mekanik. 2. Tenaga Kerja

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Sedangkan tenaga kerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Tenaga kerja dibedakan menjadi 2 menurut penduduknya berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu :

a. Tenaga kerja adalah seluruh jumlah penduduk yang dianggap dapat bekerja dan sanggup bekerja jika tidak ada permintaan kerja, dan

(4)

mereka yang dikelompokkan sebagai tenaga kerja yaitu mereka yang berusia antara 15 – 64 tahun.

b. Bukan tenaga kerja adalah mereka yang dianggap tidak mampu dan tidak mau bekerja, meskipun ada permintaan bekerja, mereka yang berusia dibawah 15 tahun dan di atas 64 tahun.

3. Bahaya

Menurut OHSAS 18001:2007, yang dimaksud bahaya adalah sumber, situasi atau tindakan yang berpotensi menimbulkan kerugian baik cidera pada manusia maupun penyakit akibat kerja. Menurut pendapat Frank Bird dalam teori Loss Control Management, bahaya ialah sumber yang berpotensi menimbulkan kerugian baik cidera pada manusia, penyakit akibat kerja, kerusakan properti, lingkungan atau kombinasi dari seluruhnya (Ramli, 2010b).

Bahaya adalah segala sesuatu termasuk situasi atau tindakan yang berpotensi menimbulkan kecelakaan atau cidera pada manusia, kerusakan atau gangguan lainnya. Karena adanya bahaya maka diperlukan upaya pengendalian agar bahaya tersebut tidak menimbulkan akibat yang merugikan. Bahaya merupakan sifat yang melekat (inherent) dan menjadi bagian dari suatu zat, sistem, kondisi atau peralatan. Bahaya adalah menjadi sumber terjadinya kecelakaan atau insiden baik yang menyangkut manusia, properti dan lingkungan (Ramli, 2010b).

(5)

Bahaya dapat dikelompokkan berdasarkan kategori-kategori umum atau disebut sebagai energi potensi bahaya sebagai berikut :

a. Potensi bahaya dari bahan-bahan berbahaya (Hazardous Substances).

b. Potensi bahaya udara bertekanan (Pressure Hazards).

c. Potensi bahaya udara panas (Thermal Hazards).

d. Potensi bahaya kelistrikan (Electrical Hazards).

e. Potensi bahaya mekanik (Mechanical Hazards).

f. Potensi bahaya gravitasi dan aselerasi (Gravitational and Acceleration Hazards).

g. Potensi bahaya radiasi (Radiation Hazards).

h. Potensi bahaya mikrobiologi (Microbiological Hazards).

i. Potensi bahaya kebisingan dan vibrasi (Vibration and Noise Hazards).

j. Potensi bahaya ergonomi (Hazards relating to human factors).

k. Potensi bahaya lingkungan kerja (Environmental Hazards).

l. Potensi bahaya yang berhubungan dengan kualitas produk dan jasa, proses produksi, properti, image publik (Tarwaka, 2008).

Untuk lebih memahami tentang adanya potensi bahaya seperti diatas, maka potensi bahaya yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dapat dikelompokkan antara lain sebagai berikut (Tarwaka, 2008) :

a. Potensi bahaya fisik yaitu potensi bahaya yang dapat menyebabkan gangguan-gangguan kesehatan terhadap tenaga kerja yang terpapar, misalnya : terpapar kebisingan intensitas tinggi, suhu ekstrim (panas dan dingin), intensitas penerangan kurang memadai, getaran, radiasi.

(6)

b. Potensi bahaya kimia : yaitu potensi bahaya yang berasal dari bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi. Potensi bahaya ini dapat memasuki atau mempengaruhi tubuh tenaga kerja melalui cara inhalation (melalui jalan pernafasan), ingestion (melalui mulut ke saluran pencernaan), atau skin contact (melalui kulit). Terjadinya pengaruh potensi bahaya kimia ini terhadap tubuh tenaga kerja sangat tergantung dari jenis bahan kimia atau kontaminan, bentuk potensi bahaya yaitu debu, gas, uap, asap, daya racun bahan (toksisitas), cara masuk ke dalam tubuh.

c. Potensi bahaya biologis yaitu potensi bahaya yang berasal atau ditimbulkan oleh kuman-kuman penyakit yang terdapat di udara, yang berasal dari atau bersumber pada tenaga kerja yang menderita penyakit-penyakit tertentu, misalnya Tuberculosis (TBC), Hepatitis A/B, Aids ataupun yang berasal dari bahan-bahan yang digunakan dalam proses produksi.

d. Potensi bahaya fisiologis yaitu potensi bahaya yang berasal atau yang disebabkan oleh penerapan ergonomi yang tidak baik atau tidak sesuai dengan norma-norma ergonomi yang berlaku, dalam melakukan pekerjaan serta peralatan kerja termasuk sikap dan cara kerja yang tidak sesuai, pengaturan kerja yang tidak tepat, beban kerja yang tidak sesuai dengan kemampuan tenaga kerja ataupun ketidaksesuaian antara manusia dan mesin.

(7)

e. Potensi bahaya psiko-sosial yaitu potensi bahaya yang berasal atau ditimbulkan oleh kondisi aspek-aspek psikologi ketenagakerjaan yang kurang baik atau kurang mendapatkan perhatian seperti penempatan tenaga kerja yang tidak sesuai dengan bakat, minat, kepribadian, motivasi, temperamen, atau pendidikannya, sistem seleksi dan klasifikasi tenaga kerja yang tidak sesuai, kurangnya ketrampilan tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya sebagai akibat yang tidak harmoni dan tidak serasi dalam organisasi kerja. Kesemuanya tersebut akan menyebabkan terjadinya stress kerja.

f. Potensi bahaya dari proses produksi yaitu potensi bahaya yang berasal atau ditimbulkan oleh berbagai kegiatan yang dilakukan dalam proses produksi, yang sangat bergantung dari bahan dan peralatan yang dipakai, kegiatan serta jenis kegiatan yang dilakukan.

Jenis bahaya dapat diklasifikasikan menjadi 5 yaitu sebagai berikut (Ramli, 2010b) :

a. Bahaya kimia

Bahan kimia mengandung berbagai potensi bahaya sesuai dengan sifat dan kandungannya. Banyak kecelakaan terjadi akibat bahaya kimiawi. Bahaya yang dapat ditimbulkan oleh bahan-bahan kimia antara lain :

1) Keracunan oleh bahan kimia yang bersifat beracun (toxic).

2) Iritasi, oleh bahan kimia yang memiliki sifat iritasi seperti asam keras, cuka, air aki dan lainnya.

(8)

3) Kebakaran dan peledakan. Beberapa jenis bahan kimia memiliki sifat mudah terbakar dan meledak misalnya golongan senyawa hidrokarbon seperti minyak tanah, premium, Liquid Petroleum Gas (LPG) dan lainnya.

4) Polusi dan pencemaran lingkungan. b. Bahaya Biologi

Bahaya biologi dapat didefinisikan sebagai debu organik yang berasal dari sumber-sumber biologi yang berbeda seperti virus, bakteri, jamur, protein dari binatang atau bahan-bahan dari tumbuhan seperti produk serat alam yang terdegradasi.

c. Bahaya Fisik

Bahaya fisik yaitu potensi bahaya yang dapat menyebabkan gangguan-gangguan kesehatan terhadap tenaga kerja yang terpapar, misalnya: terpapar kebisingan intensitas tinggi, suhu ekstrim (panas & dingin), intensitas penerangan kurang memadai, getaran, radiasi. d. Bahaya Mekanik

Bahaya mekanis bersumber dari peralatan mekanis atau benda bergerak dengan gaya mekanika baik yang digerakkan secara manual maupun dengan penggerak. Misalnya mesin gerinda, bubut, potong,

press, tempa, pengaduk dan lain-lain.

Bagian yang bergerak pada mesin mengandung bahaya seperti gerakan mengebor, memotong, menempa, menjepit, menekan dan

(9)

bentuk gerakan lainnya. Gerakan mekanis ini dapat menimbulkan cidera atau kerusakan seperti tersayat, terjepit, atau terkupas.

e. Bahaya Listrik

Adalah sumber bahaya yang berasal dari energi listrik. Energi listrik dapat mengakibatkan berbagai bahaya seperti kebakaran, sengatan listrik, dan hubungan singkat. Di lingkungan kerja banyak ditemukan bahaya listrik, baik dari jaringan listrik maupun peralatan kerja atau mesin yang menggunakan energi listrik.

Potensi bahaya adalah suatu yang berpotensi menyebabkan terjadinya kerugian, kerusakan, cidera, sakit, kecelakaan bahkan dapat mengakibatkan kematian yang berhubungan dengan proses dan sistem kerja. Bahaya mempunyai potensi untuk mengakibatkan kerusakan dan kerugian kepada (Tarwaka, 2008) :

a. Manusia baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung terhadap pekerjaan.

b. Properti termasuk peralatan kerja dan mesin-mesin.

c. Lingkungan baik lingkungan di dalam perusahaan maupun diluar perusahaan.

d. Kualitas produk barang dan jasa.

e. Nama baik perusahaan (Company’s Public Image). 4. Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang jelas tidak dikehendaki dan seringkali tidak terduga semula yang dapat menimbulkan kerugian

(10)

baik waktu, harta benda atau properti maupun korban jiwa yang terjadi di dalam proses kerja industri atau yang berkaitan dengannya. Kecelakaan kerja mengandung unsur-unsur sebagai berikut (Tarwaka, 2012) :

a. Tidak diduga semula, oleh karena di belakang peristiwa kecelakaan tidak terdapat unsur kesengajaan dan perencanaan.

b. Tidak diinginkan atau diharapkan, karena setiap peristiwa kecelakaan akan selalu disertai kerugian baik fisik maupun material.

c. Selalu menimbulkan kerugian dan kerusakan, yang sekurang-kurangnya menyebabkan gangguan proses kerja.

Adapun penyebab kecelakaan kerja diantaranya adalah : a. Sebab dasar atau asal mula

Sebab dasar merupakan sebab atau faktor yang mendasari secara umum terhadap kejadian atau peristiwa kecelakaan. Sebab dasar kecelakaan kerja di industri meliputi faktor (Tarwaka, 2008) :

1) Komitmen atau partisipasi dari pihak manajemen atau pimpinan perusahaan dalam upaya penerapan K3 di perusahaan

2) Manusia atau para tenaga kerjanya sendiri

3) Kondisi tempat kerja, sarana kerja dan lingkungan kerja b. Sebab Utama

Sebab utama dari kejadian kecelakaan kerja adalah adanya faktor dan persyaratan K3 yang belum dilaksanakan secara benar (substandards). Sebab utama kecelakaan kerja karena (Tarwaka, 2008) :

(11)

1) Faktor manusia atau dikenal dengan istilah tindakan tidak aman (Unsafe Action) yaitu merupakan tindakan berbahaya dari para tenaga kerja yang mungkin dilatarbelakangi oleh berbagai sebab antara lain:

(a) Kekurangan pengetahuan dan keterampilan (lack of knowledge and skill).

(b) Ketidakmampuan untuk bekerja secara normal (Inadequate Capability).

(c) Ketidakfungsian tubuh karena cacat yang tidak nampak (Biodilly defect).

(d) Kelelahan dan kejenuhan (Fatique and Boredom).

(e) Sikap dan tingkah laku yang tidak aman (Unsafe attitude and Habits).

(f) Kebingungan dan stres (Confuse and Stress) karena prosedur kerja yang baru dan belum dipahami.

(g) Belum menguasai/belum terampil dengan peralatan mesin-mesin baru (Lack of skill).

(h) Penurunan konsentrasi (Difficulting in concerting) dari tenaga kerja saat melakukan pekerjaan.

(i) Sikap masa bodoh (Ignorance) dari tenaga kerja.

(j) Kurang adanya motivasi kerja (Improper motivation) dari tenaga kerja.

(12)

(l) Sikap kecenderungan mencelakai diri sendiri.

Manusia sebagai faktor penyebab kecelakaan seringkali disebut sebagai “Human Error” dan sering disalah-artikan karena

selalu dituduhkan sebagai penyebab terjadinya kecelakaan. Padahal seringkali kecelakaan terjadi karena kesalahan desain mesin dan peralatan kerja yang tidak sesuai.

2) Faktor lingkungan atau dikenal dengan kondisi tidak aman (Unsafe Condition) yaitu kondisi tidak aman dari: mesin, peralatan, pesawat, bahan, lingkungan dan tempat kerja, proses kerja, sifat pekerjaan dan sistem kerja. Lingkungan dalam artian luas dapat diartikan tidak saja lingkungan fisik, tetapi juga faktor-faktor yang berkaitan dengan penyediaan fasilitas, pengalaman manusia yang lalu maupun sesaat sebelum bertugas, pengaturan organisasi kerja, hubungan sesama tenaga kerja, kondisi ekonomi dan politik yang bisa mengganggu konsentrasi

3) Interaksi manusia dan sarana pendukung kerja merupakan sumber penyebab kecelakaan. Apabila interaksi antara keduanya tidak sesuai maka akan menyebabkan terjadinya suatu kesalahan yang mengarah kepada terjadinya kecelakaan kerja. Dengan demikian, penyediaan sarana kerja yang sesuai dengan kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia, harus sudah dilaksanakan sejak desain sistem kerja. Satu pendekatan yang holistic (sederhana dan mudah dipahami secara menyeluruh), systemic (secara menyeluruh pada sistem yang

(13)

ada) dan interdisiplinary (antar disiplin pada bidang studi) harus diterapkan untuk mencapai hasil yang optimal, sehingga kecelakaan kerja dapat dicegah sedini mungkin. Kecelakaan kerja akan terjadi apabila terdapat kesenjangan atau ketidak harmonisan interaksi antara manusia tenaga kerja – tugas/pekerjaan – peralatan kerja.

Menurut teori domino effect kecelakaan kerja H.W Heinrich, kecelakaan terjadi melalui hubungan mata-rantai sebab-akibat dari beberapa faktor penyebab kecelakaan kerja yang saling berhubungan sehingga menimbulkan kecelakaan kerja (cidera ataupun penyakit akibat kerja/PAK) serta beberapa kerugian lainnya. Selanjutnya H.W Heinrich menjelaskan, bahwa untuk mencegah terjadinya kecelakaan adalah cukup dengan membuang salah satu kartu domino atau memutuskan rangkaian mata rantai domino tersebut (domino kesalahan manusia) yang meliputi lingkungan, kecerobohan manusia dan potensi bahaya yang disebabkan karena tindakan manusia dan kondisi manusia dan kondisi yang tidak selamat (Tarwaka, 2012).

Berdasarkan teori dari H.W Heinrich tersebut, Frank Bird Jr., 1970 dilanjutkan dengan Frank Bird Jr. dan Germain (1986) dalam Tarwaka (2012) memodifikasi teori domino dengan merefleksikan ke dalam hubungan manajemen secara langsung dengan sebab akibat kerugian kecelakaan. Upaya pencegahan kecelakaan akan berhasil dan efektif bila dimulai dengan memperbaiki manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di tempat kerja.

(14)

Gambar 1. Model Teori Domino Penyebab Kerugian Menurut Frank Bird, Jr. dan Germain, 1986.

Sumber : Frank Bird Jr dan Germain (1986) dalam Tarwaka (2012)

Setiap kecelakaan adalah malapetaka, kerugian dan kerusakan pada manusia, harta benda atau properti dan proses produksi. Implikasi yang berhubungan dengan kecelakaan sekurang-kurangnya berupa gangguan kinerja perusahaan dan penurunan keuntungan perusahaan. Pada dasarnya, akibat dari peristiwa kecelakaan dapat dilihat dari besar-kecilnya biaya yang dikeluarkan bagi terjadinya suatu peristiwa kecelakaan. Secara garis besar kerugian akibat kecelakaan kerja dapat dikelompokkan menjadi (Tarwaka, 2008) :

1. Kerugian/ Biaya Langsung (Direct Costs)

Yaitu suatu kerugian yang dapat dihitung secara langsung dari mulai terjadi peristiwa sampai dengan tahap rehabilitasi, seperti:

a) Penderitaan tenaga kerja yang mendapat kecelakaan dan keluarganya.

b) Biaya pertolongan pertama pada kecelakaan.

Tindakan dan kondisi Tidak sesuai Standar PENYEBAB LANGSUNG Kontak dengan Energi dan Bahan Berbahaya INSIDEN Kerugian pada manusia, properti dan proses KERUGIAN Faktor Personal dan Pekerjaan PENYEBAB DASAR KETIDAK TERSEDIAAN Program & Standar Pemenuhan Standar LEMAHNYA KONTROL

(15)

c) Biaya pengobatan dan perawatan. d) Biaya angkut dan biaya rumah sakit.

e) Biaya kompensasi pembayaran asuransi kecelakaan. f) Upah selama tidak mampu bekerja.

g) Biaya perbaikan peralatan yang rusak, dan lain-lain. 2. Kerugian/Biaya Tidak Langsung (Indirect Costs)

Yaitu merupakan kerugian berupa biaya yang dikeluarkan dan meliputi sesuatu yang tidak terlihat pada waktu atau beberapa waktu setelah terjadinya kecelakaan. Biaya tidak langsung ini mencakup antara lain:

a) Hilangnya waktu kerja dari tenaga kerja yang mendapat kecelakaan.

b) Hilangnya waktu kerja dari tenaga kerja lain, seperti rasa ingin tahu dan rasa simpati serta setia kawan untuk membantu dan memberikan pertolongan pada korban, mengantar ke rumah sakit, dan lain-lain.

c) Terhentinya proses produksi sementara, kegagalan pencapaian target, kehilangan bonus, dan lain-lain.

d) Kerugian akibat kerusakan mesin, perkakas atau peralatan kerja lainnya.

e) Biaya penyelidikan dan sosial lainnya, seperti;

1) Mengunjungi tenaga kerja yang sedang menderita akibat kecelakaan.

(16)

2) Menyelidiki sebab-sebab terjadinya kecelakaan.

3) Mengatur dan menunjuk tenaga kerja lain untuk meneruskan pekerjaan dari tenaga kerja yang menderita kecelakaan.

4) Merekrut dan melatih tenaga kerja baru.

5) Timbulnya ketegangan dan stress serta menurunnya moral dan mental tenaga kerja.

Pada umumnya setelah terjadi kecelakaan kerja fokus pada kerugian atau biaya langsung, padahal pada kenyataannya kerugian atau biaya-biaya yang tidak langsung dan terselubung jauh lebih besar dan mempunyai dampak yang lebih luas. Hal ini dapat dilihat dari Fenomena Gunung Es, dimana puncak gunung es yang nampak hanya sebagian kecil dibandingkan dengan bagian gunung es yang terpendam didalamnya dan belum kelihatan pada saat kejadian. Demikian bahwa disamping kerugian langsung akibat kejadian kecelakaan, kerugian yang tidak langsung harus mendapatkan perhatian yang serius karena sangat mempengaruhi kelangsungan proses produksi perusahaan secara keseluruhan (Tarwaka, 2012).

(17)

Gambar 2. Fenomena Gunung Es Sumber : Tarwaka, 2012

5. Manajemen Risiko

Risiko adalah suatu kemungkinan terjadinya kecelakaan atau kerugian pada periode waktu tertentu atau siklus operasi tertentu (Ramli, 2010b). Menurut OHSAS 18001 : 2007, risiko sebagai kombinasi dari kemungkinan suatu kejadian berbahaya terjadi atau terpapar keadaan berbahaya dan keparahan dari cidera atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kejadian berbahaya atau paparan dari keadaan berbahaya. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2014 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum, risiko K3 konstruksi adalah ukuran kemungkinan kerugian terhadap keselamatan umum, harta benda, jiwa manusia dan lingkungan yang dapat timbul dari sumber bahaya tertentu yang terjadi pada pekerjaan konstruksi.

(18)

Menurut Australlian Standard/New Zealand Standard (AS/NZS) 4360 manajemen risiko adalah budaya, proses, dan struktur dalam mengelola suatu risiko secara efektif dan terencana dalam suatu sistem manajemen yang baik. Manajemen risiko adalah bagian integral dari proses manajemen yang berjalan dalam perusahaan atau lembaga. Manajemen risiko juga didefinisikan sebagai suatu upaya mengelola risiko K3 untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan secara komprehensif, terencana, dan terstruktur dalam suatu kesisteman yang baik (Ramli, 2010b).

Menurut OHSAS 18001:2007, manajemen K3 adalah upaya terpadu untuk mengelola risiko yang ada dalam aktivitas perusahaan yang dapat mengakibatkan cidera pada manusia, kerusakan atau gangguan terhadap bisnis perusahaan.

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2014 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum, manajemen risiko adalah proses manajemen terhadap risiko yang dimulai dari kegiatan mengidentifikasi bahaya, menilai tingkat risiko dan mengendalikan risiko.

Untuk meraih semua itu maka dibutuhkan sistem manajemen risiko yang sangat baik di dalam perusahaan. Dalam pelaksanaannya untuk mewujudkan sistem manajemen risiko yang baik, maka harus melalui beberapa tahapan, yaitu:

(19)

a. Identifikasi Bahaya (Hazard Identification)

Identifikasi bahaya merupakan upaya sistematis untuk mengetahui adanya bahaya dalam aktivitas organisasi. Identifikasi bahaya adalah untuk menjawab pertanyaan apa potensi bahaya yang dapat terjadi atau menimpa organisasi/perusahaan dan bagaimana terjadinya. Identifikasi bahaya merupakan langkah awal dalam mengembangkan manajemen risiko K3. Identifikasi bahaya merupakan landasan dari manajemen risiko. Tanpa melakukan identifikasi bahaya tidak mungkin melakukan pengelolaan risiko dengan baik. Identifikasi bahaya adalah suatu teknik komprehensif untuk mengetahui potensi bahaya yang ada dari suatu bahan, alat, atau sistem. Teknik identifikasi bahaya ada berbagai macam yang dapat di klasifikasikan atas (Ramli, 2010b) :

1) Metode pasif

Bahaya dapat dikenal dengan mudah jika kita mengalaminya sendiri secara langsung. Seseorang akan mengetahui adanya bahaya lubang dijalan setelah tersandung atau terperosok kedalamnya. Namun metode ini sangat rawan, karena tidak semua bahaya dapat menunjukkan eksistensinya sehingga dapat terlihat.

2) Metode semi proaktif

Metode ini disebut juga belajar dari pengalaman orang lain karena kita tidak perlu mengalaminya sendiri. Metode ini lebih baik

(20)

karena tidak perlu mengalaminya sendiri setelah itu baru mengetahui adanya bahaya, namun metode ini juga kurang efektif karena :

a) Tidak semua bahaya telah diketahui atau pernah menimbulkan dampak kejadian kecelakaan.

b) Tidak semua kejadian dilaporkan atau diinformasikan kepada pihak lain untuk diambil sebagai pelajaran.

c) Kecelakaan telah terjadi yang berarti tetap menimbulkan kerugian, walaupun menimpa pihak lain.

3) Metode Proaktif

Metode terbaik untuk mengidentifikasi bahaya adalah cara proaktif atau mencari bahaya sebelum bahaya tersebut menimbulkan akibat atau dampak yang merugikan. Tindakan proaktif memiliki kelebihan :

a) Bersifat preventif karena bahaya dikendalikan sebelum menimbulkan kecelakaan atau cidera.

b) Bersifat peningkatan berkelanjutan (continual improvement)

karena dengan mengenal bahaya dapat dilakukan upaya-upaya perbaikan.

c) Meningkatkan kepedulian (awareness) semua pekerjaan setelah mengetahui dan mengenal adanya bahaya disekitar tempat kerjanya.

d) Mencegah pemborosan yang tidak diinginkan, karena adanya bahaya dapat menimbulkan kerugian.

(21)

Berbagai macam teknik identifikasi bahaya yang bersifat proaktif antara lain :

a) Daftar periksa dan audit atau inspeksi K3 b) Analisis bahaya awal

c) Analisis pohon kegagalan d) Analisis what if

e) Analisis Modal Kegagalan dan efek f) HAZOPS (Hazard and Operability Study)

g) Analisis Keselamatan Kerja (Job Safety Analysis)

h) Analisis Risiko Pekerjaan (Task Risk Analysis)

Identifikasi bahaya memberikan berbagai manfaat bagi perusahaan antara lain :

a) Identifikasi bahaya dapat mengurangi peluang terjadinya kecelakaan, karena identifikasi bahaya berkaitan dengan faktor penyebab kecelakaan. Dengan identifikasi bahaya maka berbagai sumber bahaya yang merupakan pemicu kecelakaan dapat diketahui dan kemudian dihilangkan, sehingga kemungkinan kecelakaan dapat ditekan.

b) Untuk memberikan pemahaman bagi semua pihak (tenaga kerja, manajemen ataupun semua pihak yang terkait) mengenai potensi bahaya dari aktivitas perusahaan, sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan dalam menjalankan operasi perusahaan.

(22)

c) Sebagai landasan sekaligus masukan untuk menentukan strategi pencegahan dan pengamanan yang tepat dan efektif. Dengan mengenal bahaya yang ada, manajemen dapat menentukan skala prioritas penanganannya sesuai dengan tingkat risikonya, sehingga diharapkan hasilnya akan lebih efektif.

d) Memberikan informasi yang terdokumentasi mengenai sumber bahaya dalam perusahaan kepada semua pihak khususnya pemangku kepentingan. Dengan demikian mereka dapat memperoleh gambaran mengenai risiko suatu usaha yang dilakukan (Ramli, 2010b).

b. Penilaian Risiko (Risk Assessment)

Penilaian risiko adalah upaya untuk menghitung besarnya suatu risiko dan menetapkan apakah risiko tersebut dapat diterima atau tidak. Penilaian risiko (Risk Assessment) mencakup dua tahapan proses yaitu :

1) Analisis Risiko (Risk Analysis)

Analisis risiko (Risk Analysis) adalah untuk menentukan besarnya suatu risiko yang mempunyai kombinasi antara kemungkinan terjadinya (kemungkinan atau likelihood) dan keparahan bila risiko tersebut terjadi (severity atau consequences).

2) Evaluasi Risiko (Risk Evaluation)

Evaluasi risiko (Risk Evaluation) adalah untuk menilai apakah risiko tersebut dapat diterima atau tidak dan untuk menentukan prioritas risiko (Ramli, 2010b).

(23)

Analisis risiko adalah untuk menentukan besarnya suatu risiko yang dicerminkan dari kemungkinan dan keparahan yang ditimbulkannya. Dalam melakukan analisis risiko dapat menggunakan beberapa teknik antara lain sebagai berikut (Ramli, 2010b) :

1) Teknik Kualitatif

Metode kualitatif menggunakan matrik risiko yang menggambarkan tingkat dari kemungkinan dan keparahan suatu kejadian yang dinyatakan dalam rentang dari risiko paling rendah sampai risiko tertinggi. Pendekatan kualitatif dilakukan sebagai langkah awal untuk mengetahui risiko suatu kegiatan.

Metode ini bersifat kasar, karena tidak jelas perbedaan antara tingkat risiko rendah, medium atau tinggi. Hanya sekedar kata-kata, sehingga pembaca atau pihak terkait masih harus mereka-reka dan menafsirkannya sendiri menurut persepsinya masing-masing.

Metode ini digunakan jika potensi konsekuensi rendah, proses bersifat sederhana, ketidakpastian tinggi, biaya yang tersedia untuk kajian terbatas dan fleksibilitas pengambilan keputusan mengenai risiko rendah dan data-data yang tersedia terbatas atau tidak lengkap.

2) Teknik Semi Kuantitatif

Metode semi kuantitatif lebih baik dalam mengungkapkan tingkat risiko dibanding teknik kualitatif. Nilai risiko digambarkan dalam angka numerik, namun nilai ini bersifat absolut. Serta dapat

(24)

menggambarkan tingkat risiko lebih konkrit dibanding metode kualitatif. Teknik ini dapat digunakan jika data-data yang tersedia lebih lengkap, dan kondisi operasi atau proses lebih komplek.

3) Teknik Kuantitatif

Analisis risiko kuantitatif menggunakan perhitungan probabilitas kejadian atau konsekuensinya dengan data numerik dimana besarnya risiko tidak berupa peringkat. Metode kuantitatif digunakan jika potensi risiko yang dapat terjadi sangat besar sehingga perlu kajian yang lebih rinci (Ramli, 2010b).

Dari hasil analisis potensi bahaya tersebut selanjutnya dikembangkan dalam bentuk peringkat risiko dengan nilai tingkat risiko yang beragam yang mengkombinasikan antara kekerapan dan keparahannya. Menurut Standar AS/NZS 4360 yang membuat peringkat risiko sebagai berikut :

E : risiko sangat tinggi – extreme risk

H : risiko tinggi – high risk

M : risiko sedang – moderate risk

L : risiko rendah – low risk

Sedangkan penilaian risiko menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2014 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum, dapat diketahui langkah untuk menentukan penilaian risiko melalui perhitungan nilai kekerapan dan keparahan yang telah

(25)

disesuaikan dengan tingkatannya maka diperoleh hasil berupa nilai tingkat risiko K3 konstruksi sebagai berikut :

Tabel 1. Nilai Kekerapan Terjadinya Risiko K3 Konstruksi

Nilai Kekerapan

1 Jarang terjadi dalam kegiatan konstruksi

2 Kadang-kadang terjadi dalam kegiatan konstruksi 3 Sering terjadi dalam kegiatan konstruksi

Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2014, 2014 Tabel 2. Nilai Keparahan atau Kerugian atau Dampak Kerusakan

akibat Risiko K3 Konstruksi.

Nilai Keparahan

1 Ringan 2 Sedang 3 Berat

Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2014, 2014 Tabel 3. Nilai Tingkat Risiko K3 Konstruksi

TINGKAT RISIKO K3 KONSTRUKSI Keparahan (Akibat) 1 2 3 Kekerapan 1 1 2 3 2 2 4 6 3 3 6 9

Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2014, 2014 Keterangan :

: Tingkat Risiko K3 Rendah; : Tingkat Risiko K3 Sedang; dan : Tingkat Risiko K3 Tinggi.

Tahapan berikutnya setelah melakukan analisis risiko adalah melakukan evaluasi terhadap suatu risiko, dapat diterima atau tidak. Suatu risiko tidak akan memberikan makna yang jelas bagi manajemen atau pengambil keputusan lainnya jika tidak diketahui apakah risiko tersebut signifikan bagi kelangsungan bisnis. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut dari penilaian risiko dilakukan evaluasi risiko untuk

(26)

menentukan apakah risiko tersebut dapat diterima atau tidak dan menetukan prioritas risiko. Untuk mendapat gambaran yang baik dan tepat mengenai risiko, dilakukan penentuan peringkat risiko atau prioritas risiko (Ramli, 2010b).

Peringkat risiko sebagai alat manajemen dalam mengambil keputusan melalui skala prioritas penanganannya. Manajemen juga dapat mengalokasikan sumber daya yang sesuai untuk masing-masing risiko sesuai dengan tingkat prioritasnya. Berdasarkan Standar Australia 10014b yang menggunakan tiga kategori risiko yaitu (Ramli, 2010b) :

1) Secara umum dapat diterima (generally acceptable). 2) Dapat ditolerir (tolerable).

3) Tidak dapat diterima (generally unacceptable). c. Pengendalian risiko

Pengendalian risiko merupakan langkah penting dan menentukan dalam keseluruhan manajemen risiko. Jika pada tahapan sebelumnya lebih banyak bersifat konsep dan perencanaan, maka pada tahap ini sudah merupakan realisasi dari upaya pengelolaan risiko dalam perusahaan (Ramli, 2010a)

OHSAS 18001 : 2007 memberikan pedoman pengendalian yang lebih spesifik untuk bahaya K3 dengan pendekatan sebagai berikut (Ramli, 2010b) :

1) Eliminasi 2) Substitusi

(27)

3) Pengendalian teknis (engineering control) 4) Pengendalian administratif

5) Penggunaan alat pelindung diri

Menurut AS/NZS 4360, pengendalian risiko secara umum dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut :

1) Hindarkan risiko dengan mengambil keputusan untuk menghentikan kegiatan atau penggunaan proses, bahan, alat yang berbahaya.

2) Mengurangi kemungkinan (reduce likelihood).

3) Mengurangi konsekuensi kejadian (reduce conce.quences).

4) Pengalihan risiko ke pihak lain (risk transfer)

5) Menanggung risiko yang tersisa. Penanganan risiko tidak mungkin menjamin risiko atau bahaya hilang seratus persen, sehingga masih ada sisa risiko (residual risk) yang harus ditanggung perusahaan (Ramli, 2010b).

Pengendalian risiko sesuai dengan hierarki pengendalian risiko dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut :

1) Eliminasi

Eliminasi merupakan suatu pengendalian risiko yang bersifat permanen dan harus dicoba untuk diterapkan sebagai pilihan prioritas pertama. Eliminasi dapat dicapai dengan memindahkan objek kerja atau sistem kerja yang berhubungan dengan tempat kerja yang kehadirannya pada batas yang tidak dapat diterima oleh ketentuan, peraturan, atau standar baku K3 atau kadarnya melampaui

(28)

Nilai Ambang Batas (NAB) diperkenankan. Eliminasi adalah cara pengendalian risiko yang paling baik, karena risiko terjadinya kecelakaan dan sakit akibat potensi bahaya ditiadakan. Namun pada praktiknya pengendalian dengan cara eliminasi banyak mengalami kendala karena keterkaitan antara sumber bahaya dan potensi bahaya saling berkaitan atau menjadi sebab dan akibat (Tarwaka, 2008). 2) Substitusi

Pengendalian ini dimaksudkan untuk menggantikan bahan-bahan dan peralatan yang lebih berbahaya dengan bahan-bahan-bahan-bahan dan peralatan yang kurang berbahaya atau yang lebih aman, sehingga pemaparannya selalu dalam batas yang masih dapat diterima. Contohnya penggunaan solar yang bersifat mudah terbakar dan reaktif yang biasa dipakai untuk bahan pembersih perkakas bengkel digantikan dengan bahan detergen atau sabun (Tarwaka, 2008). 3) Rekayasa teknik

Rekayasa teknik termasuk merubah struktur objek kerja untuk mencegah seseorang terpapar kepada potensi bahaya, seperti pemberian pengaman mesin, penutup ban berjalan, pembuatan struktur pondasi mesin dengan cor beton, pemberian alat bantu mekanik, pemberian absorber suara pada dinding ruang mesin yang menghasilkan kebisingan tinggi (Tarwaka, 2008).

(29)

4) Isolasi

Isolasi merupakan pengendalian risiko dengan cara memisahkan seseorang dari objek kerja seperti menjalankan mesin-mesin produksi dari tempat tertutup (control room) menggunakan

remote control (Tarwaka, 2008). 5) Pengendalian administrasi

Pengendalian administratif dilakukan dengan menyediakan suatu sistem kerja yang dapat mengurangi kemungkinan seseorang terpapar potensi bahaya. Metode pengendalian ini sangat tergantung dari perilaku tenaga kerjanya dan memerlukan pengawasan yang teratur untuk dipatuhinya pengendalian administratif ini. Metode ini meliputi rekruitmen tenaga kerja baru sesuai jenis pekerjaan yang akan ditangani, pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, rotasi kerja untuk mengurangi kebosanan dan kejenuhan, penerapan prosedur kerja, pengaturan kembali jadwal kerja, training keahlian dan training K3 (Tarwaka, 2008).

6) Alat pelindung diri

Alat pelindung diri (APD) secara umum merupakan sarana pengendalian yang digunakan untuk jangka pendek dan bersifat sementara manakala sistem pengendalian yang lebih permanen belum dapat diimplementasikan. Alat pelindung diri (APD) merupakan pilihan terakhir dari suatu sistem pengendalian risiko di

(30)

tempat kerja. Hal ini disebabkan karena penggunaan alat pelindung diri (APD) mempunyai beberapa kelemahan antara lain :

(a) Alat pelindung diri (APD) tidak menghilangkan risiko bahaya yang ada, tetapi hanya membatasi antara terpaparnya tubuh dengan potensi bahaya yang diterima. Bila penggunaan alat pelindung diri (APD) gagal maka secara otomatis bahaya yang ada akan mengenai tubuh tenaga kerja.

(b) Penggunaan alat pelindung diri (APD) dirasakan tidak nyaman, karena kekurangleluasaan gerak pada waktu kerja dan dirasakan adanya beban tambahan karena harus dipakai selama bekerja (Tarwaka, 2008).

Hasil manajemen risiko harus dikomunikasikan sehingga dapat diketahui oleh semua pihak. Komunikasi yang digunakan dapat berupa edaran, petunjuk praktis, forum komunikasi, buku panduan atau pedoman kerja. Komunikasi harus mudah dipakai oleh semua pihak sehingga perlu dirancang sesuai dengan sasaran yang diinginkan. Manajemen risiko mengisyaratkan perlunya partisipasi semua pihak dalam pengembangan dan penerapannya. Tanpa partisipasi aktif, manajemen risiko tidak akan dapat berhasil dengan baik. Dalam proses manajemen risiko semua pihak harus dilibatkan sesuai dengan porsinya masing-masing dan lingkup kegiatannya (Ramli, 2010b)

(31)

Bentuk konsultasi atau partisipasi dalam pengembangan manajemen risiko dapat dilakukan melalui berbagai bentuk antara lain (Ramli, 2010b) :

a. Membentuk tim manajemen risiko

Penerapan manajemen risiko harus dilakukan secara terencana dan terpadu dengan melibatkan banyak pihak. Karena itu, manajemen perlu membentuk tim implementasi yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan dan menerapkan manajemen risiko di lingkungan perusahaan atau organisasi. Tim ini dapat dipilih atau disusun berdasarkan kompetensi atau menurut disiplin sehingga diharapkan dapat mewakili semua unsur sehingga tingkat partisipasi akan lebih tinggi.

b. Tim identifikasi bahaya

Perusahaan juga dapat membentuk tim khusus untuk menangani aspek tertentu, misalnya tim identifikasi bahaya. Tim ini dapat dibentuk khusus untuk melakukan identifikasi bahaya di seluruh area kegiatan, misalnya tim khusus untuk kajian Hazard and Operability Study

(HAZOPS), analisis risiko pekerjaan (Job Safety Analysis).

6. Job Safety Analysis

Job Safety Analysis merupakan salah satu teknik analisis bahaya yang sangat banyak digunakan di lingkungan kerja. Teknik ini bermanfaat untuk mengidentifikasi dan menganalisis bahaya dalam suatu pekerjaan (job). Hal ini sejalan dengan pendekatan sebab kecelakaan yang bermula

(32)

dari adanya kondisi atau tindakan tidak aman saat melakukan suatu aktivitas. Karena itu dengan melakukan identifikasi bahaya pada setiap jenis pekerjaan dapat dilakukan langkah pencegahan yang tepat dan efektif (Ramli, 2010b).

Job Safety Analysis diperlukan untuk beberapa jenis pekerjaan yaitu sebagai berikut :

a. Pekerjaan yang sering mengalami kecelakaan atau memiliki angka kecelakaan tinggi.

b. Pekerjaan berisiko tinggi dan dapat berakibat fatal misalnya membersihkan kaca dengan gondola.

c. Pekerjaan yang jarang dilakukan sehingga belum diketahui secara persis bahaya yang ada.

d. Pekerjaan yang rumit atau komplek dimana sedikit kelalaian dapat berakibat kecelakaan atau cidera (Ramli, 2010b).

Dalam menganalisis bahaya suatu pekerjaan dengan metode Job Safety Analysis diperlukan langkah-langkah untuk mengkaji yang terdiri atas 5 langkah sebagai berikut :

a. Pilih pekerjaan yang akan dianalisis.

b. Pecahkan pekerjaan menjadi langkah-langkah aktivitas. c. Identifikasi potensi bahaya pada setiap langkah.

d. Tentukan langkah pengamanan untuk mengendalikan bahaya.

(33)

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Tempat Kerja Tenaga Kerja Potensi Bahaya Manajemen Risiko Menerapkan Manajemen Risiko Belum Menerapkan Manajemen Risiko

Analisis Potensi Bahaya dengan Job Safety

Analysis

Zero Accident Fatality

dan Peningkatan Produktivitas

Kecelakaan Kerja

Gambar

Gambar 1. Model Teori Domino Penyebab Kerugian Menurut Frank Bird, Jr. dan  Germain, 1986
Gambar 2. Fenomena Gunung Es  Sumber : Tarwaka, 2012
Tabel 1. Nilai Kekerapan Terjadinya Risiko K3 Konstruksi
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Tempat Kerja Tenaga Kerja Potensi Bahaya Manajemen Risiko Menerapkan Manajemen Risiko  Belum Menerapkan Manajemen Risiko

Referensi

Dokumen terkait

Pentingnya penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana wajib pajak patuh dalam membayar pajaknya; untuk menguji kesadaran wajib pajak, pengetahuan dan pemahaman tentang

Dari hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa pada saat proses belajar mengajar diperoleh temuan sebagai berikut: Siswa terkesan bingung dengan penerapan model pembelajaran

Sedangkan untuk Mobile augmented reality sendiri adalah sebuah antar muka berbasis AR yang memiliki potensi menjadi zero-click interface dari Internet of Things ini

Data realisasi pendapatan retribusi pasar di dapat dari pemasukan sewa tempat usaha yang ditarik dari para pedagang baik yang mempunyai kios, los maupun pedagang yang ada di

Tesis berjudul Kajian Tenaga Kerja Wanita dengan Sistem Harian dan Sistem Borongan di Perkebunan Kopi Kalijompo Kabupaten Jember telah diuji dan disahkan

Dari hasil observasi, pembagian angket, dan dilanjutkan dengan wawancara diperoleh beberapa informasi berkaitan dengan kondisi siswa SMA Negeri 2 Seulimum dalam proses

Kehadiran aplikasi komputer (software) Sangat membantu anda dalam mengatur Dan memantau kinerja perusahaan anda, Kami menyediakan jasa pembuatan aplikasi yang

Proseding Workshop Program Pelita VII PUSLITBANG Oseanologi LIPI dalam Rangka Menyongsong Penelitian Kelautan Abad 21, Jakarta 2-4 April 1997.. Kualitas Perairan bagi Kehidupan