• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla Serrata) DIPERAIRAN TELUK KOTANIA DUSUN WAEL KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRUKTUR POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla Serrata) DIPERAIRAN TELUK KOTANIA DUSUN WAEL KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla Serrata)

DIPERAIRAN TELUK KOTANIA DUSUN WAEL

KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

Madehusen Sangadji * Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Darussalam Ambon

ABSTRAK

Penelitian ini mengenai struktur populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) telah dilakukan diperairan Teluk Kotania Dusun Wael. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui struktur populasi kepiting bakau yang meliputi struktur klamin, hubungan panjang berat dan struktur umur. Hasil analisis data menunjukkan bahwa rasio kelamin jantan dan betina kepiting bakau adalah sama sedangkan pola pertumbuhan kepiting jantan dan betina adalah bersifat alomatrik negative kemudian kemudian struktur umur dari kepiting bakau yang didapatkan diperiaran Teluk Kotania Dusun wael terdiri dari 3 sub populasi atau 3 kelompok umur.

Kata Kunci :Struktur populasi, Kepiting bakau

.

PENDAHULUAN

Maluku merupakan bagian dari negara Republik Indonesia yang dikenal dengan provinsi seribu pulau yang memiliki wilayah laut seluas 765,272 km atau 90% dari seluruh wilayahnya (Cholig dan Wardoyo, 1996). Ditinjau dari letak geografis dan ekosistemnya, perairan Maluku memiliki tingkat kesuburan yang cukup tinggi karena adanya 3 macam ekosistem yang berbeda yaitu terumbu karang, padang lamun dan hutan bakau.

Teluk Kotania di Kabupaten Seram Bagian Barat memiliki kerumbu karang, padang lamun dan hutan bakau yang saling berdampingan di sepanjang wilayah pesisirnya (Wouthuyzen dan Sapulette, 1994).

Hutan bakau memiliki fungsi yang sangat penting berperan sebagai mata rantai makanan di suatu perairan. Di samping itu hutan bakau juga berperan sebagai habitat untuk berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan kepiting yang memiliki nilai ekonomis tinggi.

Salah satu jenis kepiting yang terdapat di perairan sekitar hutan bakau Teluk Kotania

adalah kepiting bakau (Scylla serrata) yang merupakan komoditi hayati laut yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Jenis kepiting ini mempunyai pasaran yang luas, baik dalam negeri maupun luar negeri. Negara yang menjadi tujuan eksport kepiting bakau adalah Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Australia dan Perancis. Salah satu penyebab tingginya harga kepiting karena negara-negara tersebut mengkonsumsinya sebagai makanan eksekutif yang dikonsumsi di rumah-rumah makan atau acara-acara keluarga (Anonymous, 1990).

Penangkapan kepiting bakau di Teluk Kotania umumnya dilakukan di daerah pantai dan sekitar muara sungai dengan menggunakan bubu yaitu sejenis alat tangkap yang bersifat pasif. Namun belakangan ini ada kecenderungan untuk meningkatkan teknik penangkapan kepiting ini guna memperbesar hasil tangkapan.

Seiring dengan terus meningkatnya permintaan akan komoditas kepiting bakau yang relatif tinggi, maka kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan juga akan meningkat. Peningkatan usaha tanpa diiringi

(2)

dengan informasi yang memadai tentang populasi kepiting bakau akan membahayakan bahkan akan mempengaruhi kelestariannya oleh karena itu menambahan informasi yang masih terasa kurang tentang kepiting bakau (Scylla serrata) di perairan Kotania yang masih terasa kurang tentang kepiting bakau (Scylla serrata) di perairan Kotania maka penelitian mengenai struktur populasi ini dilakukan.

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu

Penelitian mengenai struktur populasi kepiting bakau (Scylla serrata) ini dilakukan pada kawasan hutan mangrove yang terdapat di sepanjang perairan Teluk Kotania pada bulan April dan November 2007.

Alat dan Bahan

Adapun alat tangkap yang digunakan untuk mengambil sampel kepiting bakau dalam penelitian ini adalah bubu berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 70 cm, lebar 60 cm dan tinggi 50 cm. Alat bantu lain yang digunakan adalah vernier caliper dan timbngan untuk mengukur panjang karapaks dan menimbang berat kepiting serta alat tulis menulis untuk mencatat data. Sedangkan bahan yang digunakan adalah sampel kepiting. Metode Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan dengan mengikuti operasi penangkapan kepiting di perairan hutan mangrove di Dusun Wael dan juga melalui pedagang pengumpul. Pengambilan data melalui pedagang pengumpul dimaksudkan agar sampel kepiting yang diperoleh dapat mewakili populasi kepiting bakau di Teluk Kotania, karena biasanya pedagang pengumpul membeli hasil tangkapan dari berbagai daerah penangkapan.

Sampel kepiting bakau yang diperoleh kemudian disortir berdasarkan jenis kelaminnya dan diukur panjang karapaks serta ditimbang beratnya. Penentuan kelamin dilakukan secara eksternal di mana kepiting jantan memiliki organ kelamin yang menempel pada bagian perut dengan bentuk segitiga dan agak meruncing, sedangkan kepiting betina bentuknya agak membulat. Pengukuran panjang karapaks dimulai dari sisi pangkal abdomen sampai pada bagian frontal margin yaitu bagian di antara mata kiri dan kanan. Berat yang digunakan dalam penelitian ini adalah berat basah.

Metode Analisa Data

Untuk melihat apakah ada perbedaan rasio kelamin antara kepiting bakau jantan dan betina digunakan uji khi-kuadrat (2

) yang diusulkan oleh Brown and Downhower (1988):

(2

) = (O – E)2/ E Dimana :

O = jumlah kepiting jantan dan betina hasil pengamatan

E = jumlah kepiting jantan dan betina yang diharapkan

Hipotesa yang digunakan adalah:

H0 : rasio antara kepiting jantan dan betina = 1 : 1

H1 : rasio antara kepiting jantan dan betina ≠ 1 : 1

Dengan kriteria pengujian : Bila 2

hitung > 2 tabel maka H0ditolak.

Hubungan panjang berat diduga dengan menggunakan persamaan dari Pauly (1984):

W = a Lb Dimana :

W = berat kepiting (gram) L = panjang kepiting (cm)

(3)

a dan b = konstanta

Selang nilai b yang didapat pada hubungan panjang dan berat ditentukan berdasarkan persamaan dari Sparre and Venema (1992):

b ± (sb x t n-2) sb = √ sb2

sb2= 1 / n-2 x {(sy/sx)2– b2} Dimana :

sx adalah simpangan baku log panjang karapaks

sy adalah simpangan baku log berat

b adahah slope pada hubungan pangang berat

n adalah jumlah contoh sb2 adalah ragam dari b

Untuk mengetahui sub populasi yang dicirikan oleh kelompok umur (kohort) digunakan metode Bhattacharya (1967) dalam Sparre and Venema (1992). Metode Bhattacharya merupakan suatu metode yang bertujuan untuk memisahkan kurva normal dari suatu distribusi frekwensi panjang. Banyaknya kurva normal yang dihasilkan memperlihatkan banyaknya kelompok umur dari suatu populasi. Metode Bhattacharya merupakan salah satu option dari paket program FiSAT (Fish Stock Assessment Tools). Metode ini memecahkan distribusi frekuensi panjang ke dalam berbagai distribusi normal secara terpisah melalui beberapa tahap yaitu :

1. Penentuan slope distribusi normal pada bagian kiri dan total distribusi;

2. Penentuan distribusi normal dari kohort pertama dengan cara transformasi ke dalam garis lurus;

3. Penentuan jumlah individu dan panjang rata-rata dari kohort pertama kemudian menguranginya dari total distribusi;

4. Tahap pertama, kedua dan ketiga diulangi sampai tidak ada lagi distribusi normal yang dapat ditemukan.

Metode ini berasumsi bahwa sampel yang memiliki ukuran yang hampir sama merupakan suatu kelompok umur (kohort) karena pertumbuhan individu pada satu kohort yang sama cenderung hampir seragam.

HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Kelamin

Hasil pengambilan contoh di Teluk Kotania pada bulan April dan November 2007 didapatkan sebanyak 255 individu kepiting bakau (Scylla serrata) yang terdiri dari 138 (54,12%) individu jantan dan 117 (45,88%) individu betina dengan rasio kelamin antara jantan dan betina adalah 1 : 0,85 (Tabel 1). Tabel 1. Struktur kelamin kepiting bakau (Scylla

serrata) yang tertangkap di Teluk Kotania selama periode penelitian Periode

Sampling (Individu)Jumlah Rasio 2 hitung Jantan Betina Jantan Betina April 100 193 1 0,93 0,26 tn November 138 124 1 0,63 3,16 tn Total 138 117 1 0,85 1,73 tn Catatan : 2Tabel (= 0,05; db = 1) = 3,84

tn = tidak berbeda nyata

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa jumlah kepiting jantan yang tertangkap lebih banyak dibandingkan dengan kepiting betina, baik per periode pengambilan contoh maupun secara total. Lebih banyaknya kepiting jantan yang tertangkap mungkin karena individu jantan lebih aktif dan agresif dalam mencari makan dibandingkan dengan individu betina. Moosa et.al (1985) mengemukakan bahwa aktivitas makan kepiting bakau jantan jauh lebih besar dari kepiting betina. Untuk alat tangkap yang

(4)

bersifat pasif seperti bubu, maka individu yang paling aktiflah yang lebih mudah tertangkap. Apabila telah tertangkap dan berada dalam bubu maka sifat agresifnya akan muncul untuk mempertahankan makanan maupun daerah teritorinya sehingga mencegah individu lain untuk masuk ke dalam bubu. Lebih sedikitnya kepiting betina yang tertangkap, mungkin juga disebabkan karena pada saat pengambilan contoh sebagian kepiting betina telah berupaya untuk melakukan pemijahan. Hill (1974) dalam Sulaiman dan Hanafi (1992) menyatakan bahwa setelah melakukan perkawinan di hutan bakau, kepiting betina secara berangsur-angsur sesuai perkembangan telurnya akan menjauhi hutan bakau menuju ke laut untuk memijah.

Pada Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa kepiting jantan memiliki rasio kelamin yang lebih besar dibandingkan dengan kepiting betina baik per periode pengambilan contoh maupun secara keseluruhan. Walaupun demikian, hasil uji dengan menggunakan khi-kuadrat (2

) memperlihatkan bahwa nilai 2

hitung lebih kecil dari nilai 2

tabel ( = 0,05; db = 1). Hal ini berarti bahwa secara statistik, tidak ada perbedaan yang nyata antara rasio kelamin jantan dan betina atau dapat dikatakan bahwa jumlah kepiting jantan dan betina di perairan Teluk Kotania berada dalam keadaan yang seimbang atau sama.

Hubungan Panjang dan Berat

Pertumbuhan suatu organisme dapat digambarkan dengan penambahan panjang maupun penambahan berat. Menurut Merta (1993), hubungan panjang dan berat sering digunakan dalam penelitian biologi perikanan untuk dua hal yakni untuk keperluan konversi statistik hasil tangkapan dari panjang ke berat

atau sebaiknya dan untuk mengetahui faktor kondisi yang menunjukkan kegemukan relatif (well-being) dari suatu organisme.

Hasil olahan hubungan panjang dan berat dari kepeting bakau tertera pada Tabel 4 dan juga pada gambar 1, 2 dan 3.

Table 4. Hubungan panjang - berat kepiting bakau (Scylla serrata) di Teluk Kotania Jenis Kelamin W = a L b Selang Nilai b R Jantan W = 1,777 L 2,303 2,202 –2,405 0,968 Betina W = 3,023 L 2,074 1,959 –2,188 0,958 Jantan + Betina W = 2,246 L 2,200 2,124 – 2,276 0,963 Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai koefisien korelasi (r) hubungan panjang dan berat hampir mendekati 1. Nilai r hitung ini ternyata lebih besar dari nilai r tabel (critical value of r) pada selang kepercayaan 99%. Nilai r hitung untuk kepiting betina (r = 0,958) misalnya, jauh lebih besar dari nilai r tabel (r = 245) dengan db = 115 pada selang kepercayaan 99%. Hal ini berarti terdapat hubungan yang sangat erat antara panjang dan berat. Dalam hubungan panjang dan berat ini, sumbangan panjang terhadap berat adalah sebesar 91,75% (R2 = 0,9175 lihat Gambar 2). Pauly (1980) menyatakan bahwa suatu persamaan regresi seperti halnya hubungan panjang-berat dapat dipergunakan untuk peramalan bila ada hubungan yang erat antar variabel dan dapat dilihat melalui nilai koefisien korelasinya (r). Untuk itu, maka nilai koefisien r hasil perhitungan haruslah dibandingkan dengan nilai r tabel pada selang kepercayaan tertentu (95% atau 99%) dengan derajat bebas n – 2.

(5)

Pada Tabel 4 dapat juga dilihat bahwa

nilai b yang didapat lebih kecil dari 3, di mana kisaran nilai b pada selang kepercayaan 95% adalah 1,959 (betina) hingga 2,405 (jantan). Pauly (1984) menyatakan bahwa nilai b pada persamaan regresi hubungan panjang dan berat dapat digunakan untuk melihat pola pertumbuhan. Selanjutnya dikatakan bahwa bila nilai b = 3 maka pertumbuhannya adalah isometrik, sedangkan bila b ≠ 3 pertumbuhannya alometrik yaitu alometrik negatif bila nilai b < 3 dan alometrik positif bila b > 3. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola pertumbuhan kepiting bakau baik untuk kepiting jantan dan betina maupun gabungan jantan + betina pada perairan Teluk Kotania bersifat alometik negatif yang berarti penambahan berat kepiting ini tidak secepat penambahan beratnya. Pola pertumbuhan kepiting bakau baik untuk individu jantan, betina maupun gabungan jantan dan betina yang alometrik negatif juga diperoleh oleh Siko (2000) dalam penelitiannya di Desa Fukweu, Sanana, Maluku Utara.

Struktur Umur

Untuk mengetahui sub populasi yang dicirikan oleh kelompok umur (kohort) dari kepiting bakau di Teluk Kotania, maka dilakukan analisis dengan penggunaan metode yang dikemukakan oleh Bhattachary (1967) dengan bantuan program FiSAT (FAO-ICLRAM Stock Assessment Tools). Data yang diperlukan dalam program ini adalah data sebaran frekuensi dengan tengah kelas yang konstan seperti yang terdapat pada Tabel 3.

Hasil analisis dengan program FiSAT memperlihatkan bahwa ada 3 kurva normal yang terbentuk (Gambar 2 ).

Gambar 2. Hasil analisis dengan program FISAT memperlihatkan bahwa ada kurva normal yang terbentuk.

Menurut Sparre and Venema (1992), metode Bhattacharya bertujuan untuk memecah distribusi panjang kurva menjadi kurva normal. Banyaknya kurva normal yang terbentuk akan menggambarkan banyaknya sub-populasi atau struktur umur (kohort) dari populasi yang diteliti. Dengan adanya 3 kurva normal yang dihasilkan, maka dapat dikatakan bahwa kepiting bakau di Teluk Kotania terdiri dari 3 sub-populasi atau 3 kelompok umur (kohort).

Metode Bhattacharya pada program FiSAT juga memperlihatkan nilai rerata panjang simpangan baku dan jumlah individu untuk masing-masing kelompok umur (Tabel 5).

Tabel 5. Keluaran program FiSAT Kohort Rerata Panjang (cm) Simpangan Baku Populasi Ind.) Indeks Separasi 1 4,55 0,89 33 -2 9,80 1,41 103 4,57 3 12,81 1,22 107 2,29

Pada Tabel 5 terlihat bahwa kelompok umur ketiga dan kedua memiliki jumlah individu yang jauh lebih banyak yaitu sebesar 86,42% dari total populasi dibandingkan dengan kelompok umur pertama yang hanya sebesar 3,58%. Sedikitnya individu kelompok umur pertama mungkin disebabkan karena sifat alat tangkap bubu yang digunakan atau sifat dari kepiting yang agresif. Perlu ditekankan di sini bahwa masukan (input) data untuk program FiSAT ini adalah data sebaran frekuensi panjang

(6)

kepiting dari hasil tangkapan bubu yang bersifat pasif dan memiliki ruang yang terbatas. Dengan tertangkapnya kepiting yang berukuran besar, maka akan menghalangi tertangkapnya kepiting yang berukuran kecil karena selain memiliki sifat agresif, kepiting bakau juga bersifat kanibal yaitu pemakan sesama jenisnya (Brown, 1993).

Indeks separasi yaitu suatu indeks yang digunakan untuk memisahkan 2 kelompok umur yang berdekatan dapat dilihat pada Tabel 5. Menurut Sparre and Venema (1992), pemisahan dua kelompok umur yang berdekatan akan berhasil dengan baik bila indeks separasinya > 2,0. Keluaran progam FiSAT pada Tabel 5 memperlihatkan bahwa nilai indeks separasi untuk kelompok umur pertama dan kedua serta kedua dan ketiga lebih besar dari batas nilai yang dikemukakan oleh Sparre and Venema (1992).dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemisahan kelompok umur untuk kepiting bakau di Teluk Kotania telah dilakukan dengan baik.

KESIMPULAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Rasio kepiting jantan lebih besar dibandingkan dengan kepiting betina. 2. Terdapat hubungan yang sangat erat

antara panjang dan berat.

3. Kepiting bakau di Teluk Kotania terdiri dari 3 kelompok umur.

DAFTAR PUSTAKA

[1]. Anonymous, 1990. Buku Kajian Pasar Kepiting (Jakarta), Pusat

Pengembangan Pemasaran, Badan Pengembangan Eksport Nasional, Departemen Perdagangan.

[2]. Brown, 1993. Analisis in Behavioral Ecology Sinaner Assoc, Inc, Sunderland.

[3]. Lesnusa F, 2005. Analisa Sebaran Tempereit Penangkapan Ikan Sub Basis Kebijakan Pengembangan Pelabuhan Penagkapan Nusatual. Tesis pascasarjana UNPATTI Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan Ambon. [4]. Merta, 1993. Hubungan Panjang Berat

dan Faktor Kondisi Ikan Lemuru Bleker 1953 dari Perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Sub Balitung LON LIPI Ambon Nurantara, Yogyakarta, 136 hal. [5]. Moosa, Rahardi dan Kristiwati, 1985.

Kepiting Bakau (Scylla serata) dari perairan Indonesia, Proyek Studi Sumberdaya Hayati Ikan, LON LIPI Jakarta.

[6].Pauly, 1980. Selesction of Simle Methods of the Assemen of Tropical Fish Stock.

[7]. ---1994. Fish Population Dynamics in Tropical Waters: A Manual for Use With Programmable Calculators ICLARM, Manila.

[8]. Sulaiman dan Hanafi, 1992. Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata), Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta.

[9]. Tuapatinaya, M. A, 2003. Sebaran Polychaeta di Hutan Bakau Perairan Teluk Kotania Seram Barat. Icthyos, Vol.2 No.2.

Gambar

Gambar  2.  Hasil  analisis  dengan  program  FISAT  memperlihatkan  bahwa  ada  kurva  normal  yang  terbentuk.

Referensi

Dokumen terkait

1 KELOMPOK NAMA SISWA Kekompakan Kelompok dalam presentasi Menghargai pendapat teman dalam Kelompok lain Menyampaikan hasildiskusi di

e. Menyusun bahan penyusunan dan pelaksaanan sosialisasi kebijakan, pedoman umum, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis serta prosedur tentang program pencegahan dan

Berdasarkan gambar 3.1 didapat nilai R Square sebesar 0,754 yang berarti bahwa kontribusi yang diberikan oleh Nilai Ekspor terhadap Pertumbuhan Ekonomi sebesar 75,4% dan

Berikut adalah tampilan dari halaman fungsi Supply and Distribution dimana pada halaman ini berisi data-data pegawai yang terdapat dalam fungsi tersebut, data umum pegawai

pengendalian internal pada penggajian yang diterapkan oleh PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan dalam melaksanakan setiap proses transaksi pembayaran gaji

Laris Manis Utama Manado sudah cukup baik dan dapat dipakai sebagai alat bantu untuk pengendalian biaya gaji karena dalam proses penggajian, perusahaan melibatkan berbagai fungsi

Dari pengamatan dan informasi yang diperoleh peneliti, ki- nerja kepala sekolah belum maksimal dalam meningkatkan mutu sekolah ka- rena program dan kegiatan yang

Kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Rokan Hilir adalah tingkat pendidikan, budaya membuka lahan dengan cara