• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Anggota Unit III Tipiter Satreskrim Poltabes Bandar Lampung, staf Yayasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Anggota Unit III Tipiter Satreskrim Poltabes Bandar Lampung, staf Yayasan"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Penulis melakukan penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan studi wawancara terhadap sejumlah responden. Adapun responden tersebut terdiri dari Anggota Unit III Tipiter Satreskrim Poltabes Bandar Lampung, staf Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Bandar Lampung, Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Advokat pada LBH Nasional Sopian Sitepu & patner.

Adapun keempat responden tersebut adalah sebagai berikut:

1. Nama : Cahyono Priyo Santoso

Umur : 29 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Jabatan : Anggota Unit III Tipiter Satreskrim Poltabes Bandar Lampung

2. Nama : Ganefli

Umur : 46 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

(2)

36

3. Nama : Hirda S.H

Umur : 41Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Jabatan : Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

4. Nama : Sumarsih , S.H.

Umur : 41Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Jabatan : Advokat pada LBH Nasional Sopian Sitepu di Bandar Lampung

Pemilihan responden di atas dengan pertimbangan bahwa responden tersebut memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini, sehingga penelitian ini memperoleh sumber yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

B. Kajian Hukum Pidana terhadap Iklan di Media Televisi yang tidak menghentikan Langganan Registrasi (Unreg) atas Permintaan Pelanggan. Globalisasi telekomunikasi dan informasi sedang melanda di dunia yang ditandai dengan perkembangan bisnis media massa yang begitu pesatnya, sehingga telah ikut mendorong tumbuhnya bisnis reklame, iklan, dan promosi secara signifikan. Bentuk dan jenis promosi semakin atraktif, media yang digunakan beragam, promosi bisnis dapat dikemas dan dimuat dalam surat kabar dan majalah atau melalui radio, televisi, dan internet.

(3)

37 Gejala ini menunjukkan adanya tingkat persaingan yang ketat di antara pelaku usaha dalam arti luas. Sementara itu bisnis media cetak dan elektronik hingga saat ini masih mengandalkan sumber pemasukan keuangan dari iklan. Oleh karena itu setiap tampilan yang ada pada halaman cetak maupun program acara televisi dipenuhi oleh iklan yang menyita ruang dan durasi yang lama.

Di satu pihak pelaku usaha gencar melakukan promosi dan iklan karena merupakan bagian dari proses pemasaran atas produk yang dihasilkan. Di lain pihak, konsumen memerlukan produk untuk dikonsumsi. Arti pentingnya promosi dan iklan dalam era globalisasi ini adalah meningkatnya persaingan karena salah satu motivasi dari globalisasi adalah perluasan pasar, sehingga pasar domestik menjadi terbuka.

Propaganda tidak hanya berdampak terhadap konsumen saja, tetapi juga pelaku usaha. Dampaknya, dapat bersifat positif maupun negatif. Dampak positif dari iklan adalah memberikan pesan dan informasi kepada siapa pun yang melihat, membaca, dan mendengarnya; sedangkan dampak negatif bagi konsumen adalah jika propaganda bisnis tersebut tidak sesuai dengan produk atau dalam pengungkapannya melanggar nilai dan norma etika, moral, dan sopan santun, salah satu contohnya adalah kasus tidak bisa dihentikannya layanan registrasi atas iklan yang ada di media televisi.

Para konsumen yang membaca iklan di media televisi dapat terpengaruh, namun tingkat pendidikan dan pemahaman atas isi dan bentuk peragaan iklan tersebut sangat beragam, sehingga dikhawatirkan para konsumen dapat terkecoh atau tertipu atas iklan tersebut. Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan

(4)

38 Konsumen mengatur tentang promosi dan iklan yang layak ditampilkan dalam media massa. Ada tujuh pasal yang secara khusus mengatur tentang hal itu, yaitu Pasal 10, 12, 13, 15, 16, d an 17 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Pasal 10

“Pelaku usaha dalam menawarkan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b.kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

d.tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa”.

Pasal 12

“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakan sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan”.

Pasal 13 Ayat (1)

“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya”.

Pasal 15

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen”.

(5)

39 Pasal 16

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:

a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;

b.tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi”.

Pasal 17 ayat (1) huruf c, d, dan e

Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;

a. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; b.Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang

atau persetujuan yang bersangkutan.

Menurut responden Cahyono Priyo Santoso di Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung belum pernah menerima laporan atau pengaduan mengenai iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan. Namun beliau mengatakan meskipun belum pernah, pihak kepolisian tetap bisa menerima laporan pengaduan tersebut. Proses pelaporan dari kasus tersebut prosedurnya sama dengan pelaporan kasus yang lainnya. Dalam hal terjadinya kasus ini, polisi sebagai penyidik tunggal dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dijadikan saksi ahli di kepolisian. Apabila ada konsumen yang mengalami kejadian tersebut maka bisa saja konsumen yang menjadi korban dari iklan itu langsung melaporkan ke pihak kepolisian. Namun bila masih bisa diselesaikan melalui lembaga YLKI maka sebaiknya diselesaikan dan dicari solusi terbaik dari permasalahan yang terjadi. YLKI dapat melakukan tugas tersebut karena YLKI merupakan tempat antara konsumen yang menjadi korban (atau yang merasa dirugikan) dengan perusahaan sebagai penyedia jasa untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi. YLKI dapat dijadikan sebagai tempat mediasi antara konsumen dan perusahaan.

(6)

40 Kasus tidak dihentikannya registrasi menurut YLKI menyebutkan bahwa pihak pengusaha telah melanggar hak dan kewajiban konsumen, serta hak dan kewajibannya yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hak konsumen yang dilanggar meliputi:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hak ini memiliki cakupan yang luas. Konsumen sebagai pemilik atau pengguna barang dan/atau jasa tidak boleh diganggu dalam menikmati haknya. Arti terganggu mencakup dari tuntutan hak pihak lain; b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa. Informasi ini dapat mendidik konsumen untuk waspada atas informasi yang diungkapkan pada kemasan atau label;

c. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Hak ini dapat dianggap sebagai realisasi atau turunan dari hak untuk menyampaikan pendapat dalam hak asasi manusia;

d. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Hak ini merupakan risiko yang dipikul pelaku usaha.

Dalam hubungan hukum dua arah dan timbal balik, maka hak konsumen dapat menjadi kewajiban pelaku usaha. Dalam transaksi pembelian barang, hak konsumen memperoleh barang dan sekaligus kewajiban pelaku usaha untuk menyerahkan barang. Kewajiban pelaku usaha meliputi pemenuhan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen, ditambah dengan kewajiban lainnya yang pada dasarnya untuk melindungi kepentingan konsumen.

(7)

41 Adapun kewajiban pelaku usaha yang dilanggar berdasarkan kasus di atas yaitu: a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Kewajiban pelaku usaha ini merupakan timbal-balik dari hak konsumen;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan ketentuan tegas tentang prinsip nondiskriminatif dalam perlakuan terhadap konsumen. Larangan bagi pelaku usaha untuk membedakan konsumen dalam memberikan pelayanan dan dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen;

d. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Kewajiban ini merupakan timbal-balik dari hak konsumen; e. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau

jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Ketidaksesuaian barang yang diterima oleh konsumen dengan yang diperjanjikan terjadi, jika pelaku usaha dan konsumen tidak bisa bertemu secara langsung, misal pembelian barang melalui internet. Selain itu juga transaksi konsumen yang tidak sekaligus dengan penyerahan barang, misal pembelian barang dengan cara pesanan (by order).

(8)

42 Kedudukan hukum yang setara atau sederajat antara konsumen dan pelaku usaha merupakan posisi yang ideal menurut hukum. Karena hak dan kewajiban masing-masing pihak dapat secara timbal-balik. Tetapi tidak semua transaksi konsumen bersifat timbal balik. Oleh karena itu, Undang-Undang perlindungan konsumen menambahkan adanya perbuatan yang dilarang (prohibited) bagi pelaku usaha dan tanggungjawab (liability) yang dapat diajukan kepada pelaku usaha. Pada kasus mengenai tidak dihentikannya langganan registrasi atas permintaan pelanggan, pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah hak konsumen yang terdapat dalam Pasal 4 huruf a, c, d, h dan e. Kewajiban pelaku usaha yang dilanggar terdapat dalam Pasal 7 huruf a, b, c, f dan g.

Membahas norma etik, hukum dan tanggung jawab dalam periklanan, bukanlah hal yang mudah dengan dasar dua pertimbangan. Pertama, kegiatan periklanan melibatkan banyak pelaku ekonomi, dalam hal ini pengusaha pengiklan (produsen, distributor, supplier, retailer), pengusaha pengiklan, organisasi profesi periklanan (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), dan media periklanan. Disamping itu, juga melibatkan konsumen selaku penerima informasi yang disajikan melalui iklan dan pemerintah, dalam hal ini departemen penerangan. Kedua, tempat periklanan sendiri dalam pembidangan hukum di Indonesia lebih banyak dikelompokkan dalam bidang hukum admiistrasi Negara, khususnya kelompok hukum pers.

Seperti yang dikemukakan Oemar Sono Adji, dalam kata tanggung jawab terkandung dua aspek yaitu, aspek etik dan aspek hukum. Orang bertanggung jawab atas sesuatu yang disebabkan olehnya. Jadi, sistem tanggung jawab dapat

(9)

43 diartikan sebagai metode atau prosedur agar seseorang/badan hukum tidak dapat mengelakkan diri dari akibat perilaku/perbuatannya (Yusuf Shofie, 2009:179).

Masalah tanggung jawab iklan muncul dalam hal:

a. Informasi produk yang disajikan melalui iklan tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya;

b. Menyangkut kreativitas perusahaan periklanan dan atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etik periklanan seperti yang telah dikemukakan (Yusuf Shofie, 2009:82).

Kasus tidak dihentikannya registrasi atas iklan di media televisi maka masalah tanggung jawab iklan itu lebih berpusat pada poin a (informasi produk), dimana pelanggaran pada poin a yang bertanggung jawab ialah pengusaha/perusahaan pengiklan karena sudah menyangkut produk yang dijanjikan kepada konsumen melalui iklan. Kualifikasi perbuatan melawan hukum dapat saja digunakan meskipun terdapat hubungan kontraktual, sepanjang unsur-unsur perbuatan melawan hukumnya yang menonjol.

Sebaliknya, dalam poin b (kreativitas), yang bertanggung jawab adalah perusahaan pengiklan serta perusahaan periklanan dan/atau media periklanan. Dua yang terakhir ini tidak dapat begitu saja menolak bertanggung jawab dengan dalih: kami hanya membuat dan menayangkan iklan, materinya tanggung jawab perusahaan pengiklan. Analog dengan ajaran penyertaan dalam hukum pidana, dalam suatu peristiwa pelakunya tidak hanya seorang atau satu pihak, tetapi juga ada pelaku lainnya.

(10)

44 Di dalam mendesain iklan, praktisi periklanan hendaknya memperhatikan juga asas-asas umum kode etik periklanan sebagai berikut:

a. Iklan harus jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku;

b. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan atau merendahkan martabat, agama, tata susila, adat, budaya, suku, dan golongan;

c. Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat (Yusuf Shofie, 2009:177).

Self-regulation ini memang kewenangan masyarakat profesi periklanan sendiri untuk melakukan tindakan atas berbagai praktik periklanan yang bertentangan dengan kode etik. Tidak dihentikannya registrasi melangggar asas-asas umum kode etik periklanan pada poin a. Kenyataan pelanggaran praktik periklanan yang bertentangan dengan kode etik mendorong campur tangannya instrumen hukum berupa kejelasan kaidah/norma hukum di bidang periklanan, yaitu melarang penggunaan iklan yang disampaikan dengan cara (Yusuf Shofie, 2009:180): a. Mengemukakan hal-hal yang tidak benar (false statement);

b. Mengemukakan hal-hal yang menyesatkan atau tidak proporsional (mislead statement);

c. Menggunakan opini subyektif yang berlebihan tanpa didukung fakta (puffery).

Kaidah/norma hukum demikian diharapkan merupakan muatan atau materi Undang-Undang Periklanan yang belum pernah ada di Indonesia. Dalam teori dan praktik penegakan hukum telah sering dikemukakan bahwa untuk meminta suatu pertanggungjawaban hukum tehadap seseorang/badan hukum, harus ada kejelasan kaidah hukum/norma-norma hukum apa yang dilanggar.

(11)

45 Pada saat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang belum efektif karena masih disosialisasikan, campur tangan instrumen hukum untuk menyelesaikan praktik periklanan yang melanggar self-regulation dilakukan dengan menerapkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/delik penipuan. Penggunaan instrumen ini belum tentu mengembalikan kerugian yang dialami konsumen, malahan konsumen justru harus keluar masuk ke kantor polisi. Belum lagi ancaman pengusaha kepada konsumen dengan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik.

Hukuman pidana tersebut dapat dikenakan terhadap individu sebagai pengurus suatu korporasi. Sanksi pidana dalam hukum perlindungan konsumen diharapkan dapat efektif untuk menimbulkan pengaruh atau efek pencegahan (deterrent effect) agar tidak dilakukan pelanggaran terhadap ketentuan larangan.

Deskripsi mata rantai hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen itu dapat dijumpai jika pasal-pasal Undang-Undang Perlindungan Konsumen itu ditelusuri satu demi satu. Tidak dihentikannya registrasi atas iklan di media televisi melanggar 3 norma perlindungan konsumen dalam sistem Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa (Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen);

2. Kegiatan penawaran, promosi, dan periklanan barang dan/atau jasa (Pasal 16; serta Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen);

(12)

46 Semuanya memuat jenis-jenis pidana pokok yaitu:

1. Pidana penjara maksimal 5 tahun dan 2 tahun;

2. Pidana denda maksimal Rp2 miliar dan Rp500 juta (Pasal 62 jo. Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta pidana tambahan (perampasan barang-barang tertentu; pengumuman keputusan hakim; pembayaran ganti rugi; perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; kewajiban penarikan barang dari peredaran; dan pencabutan izin usaha).

Dari kasus tidak dihentikannya registrasi terhadap iklan di media televisi melanggar tiga norma yang penulis uraikan sebagai berikut:

1. Kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa (Pasal 8 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

Pada kegiatan produksi ini maka melanggar norma ke-1 (Pasal 8 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Perlindungan Konsumen), yaitu larangan memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Sanksi pelanggaran pasal ini berupa:

a. Sanksi administrative, yaitu kewajiban menarik dari peredaran barang dan/atau jasa (Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen); b. Sanksi pidana penjara maksimal lima tahun atau pidana denda maksimal Rp2

miliar (Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

2. Kegiatan penawaran, promosi, dan periklanan barang dan/atau jasa (Pasal 16; serta Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen);

(13)

47

Norma ke-2 (Pasal 16 Undang-Undang Perlindungan Konsumen) bergantung pada pemahaman perkembangan teknologi informasi dalam penawaran produk barang dan/atau jasa. Normanya yaitu larangan penawaran barang dan/atau jasa melalui pesanan untuk:

a. Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;

b. Tidak menepati janji atas sesuatu pelayanan dan/atau prestasi.

Sanksinya pidana penjara maksimal dua tahun atau pidana denda maksimal Rp500 juta (Pasal 62 Ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Masih menyangkut promosi produk melalui sarana iklan, norma ke-3 (Pasal 17 ayat (1) huruf c, d, dan e Undang-Undang Perlidungan Konsumen) menentukan adanya larangan memproduksi iklan yang:

a. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;

b. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; c. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang

atau persetujuan yang bersangkutan.

Seperti dalam kasus yang dialami oleh Bambang, warga Tanah Pasir, Penjaringan, Jakarta Utara, mengaku bahwa pulsanya berkurang karena dia menerima sms dari 3689. Setiap sms yang diterima dari short code itu akan menyedot Rp2000. Dan Rinto, warga Kampung Kamurang, Kebon Nanas, Tangerang juga kurang lebih mengalami hal yang sama. Dia mengikuti program Quit Smoking yang ditayangkan JakTV untuk minta ringtone ke nomor 7898. Namun pada hari

(14)

48 berikutnya, ia mengaku mendapat SMS dari nomor yang sama dan pulsanya tersedot. Kedua orang itu komplain ke pihak operator. Tapi, nyatanya sms itu tidak berhenti dikirimkan dan pulsa terus tersedot. (http://jalansutera.com/2006/09/06/sms-penyedot-pulsa-itu/)

Sanksi pidana yang diancamkan pada norma ini, yaitu sanksi pidana penjara maksimal lima tahun atau pidana denda maksimal Rp2 miliar atas pelanggaran pasal 17 ayat (1) butir c, d dan e (Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

Menyangkut hak konsumen atas informasi dan keamanan produk, terdapat hubungan yang erat antara iklan/informasi produk dengan tingkat keamanan produk. Tampaknya, hal ini menjadi perhatian khusus pembentuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk memberikan rumusan norma-normanya dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pengalaman di negara-negara lain dan juga di Indonesia sendiri kiranya menjadi perhatian pembentuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen meskipun itu tak dinyatakan dalam konsideransinya. Tragedi konsumen sebagai korban tindak pidana korporasi memang tak mengenal batas-batas negara yang dikenal dalam hukum internasional.

Peran hukum pidana dalam hukum perlindungan konsumen tetap penting. Nasution mengatakan bahwa aspek hukum pidana dari hukum perlindungan konsumen juga menjadi perhatian hukum perlindungan konsumen, baik berbagai ketentuan pidana didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (contohnya: Pasal 202-206, 258,382 bis, 386 dan sebagainya maupun diluar Kitab

(15)

49 Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (contohnya: Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan sebagainya) (Yusuf Shofie, 2008: 256).

Di Amerika Serikat eksistensi hukum pidana (criminal law) tetap memiliki tempat dalam hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Sejumlah perilaku yang menyangkut transaksi konsumen (consumer transaction) merupakan tindak pidana dimana pelakunya diancam denda yang berat (serious fines) atau penjara. Penipuan terhadap konsumen merupakan tindak pidana yang jarang diproses, kecuali mengakibatkan kerugian yang besar. Tuntutan pidana mungkin tidak menguntungkan konsumen korban penipuan. Kadang-kadang terdakwa dipidana untuk membayar restitusi, yaitu membayar kerugian orang yang dirugikan oleh kejahatannya, tetapi sering kali baru dibayarkan lama sesudahnya.

Untuk melindungi konsumen, pekerja, dan publik dari penipuan-penipuan (frauds) yang disebabkan oleh kelalaian perdagangan (a neglect trading) atau ketentuan-ketentuan keselamatan (safety regulations), yang berakibat kerugian fisik (physical harm) dimana pelakunya (the offender) adalah badan korporasi (corporate body), penegakan hukum pidana dilakukan atas pelanggaran tersebut (the breach of criminally enforced regulations). Kejahatan korporasi (corporate crime) tersebut sebagai bagian dari white collar crime tidak dapat dilihat oleh orang sebagai suatu problem kejahatan pada umumnya ( a major crime problem).

(16)

50 Ada empat alasan mengapa kejahatan ini tidak terlihat, yaitu:

1. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terlihat kurang berat dan mengancam dibandingkan pembunuhan, perkosaan, dan perampokan;

2. Bentuk pelanggarannya sering kurang terbuka (less public) daripada kejahatan-kejahatan lainnya yang terjadi di jalanan (on the steet) karena terjadi di kantor-kantor (in office);

3. Hubungan korban (victims) dengan pelaku (offenders) bersifat tidak langsung. Dalam hal mana terjadi pelanggaran-pelanggaran ketentuan keselamatan, pelaku tidaklah bermaksud membuat celaka atau membunuh korbannya sekiranya terjadi pada korban (eventual victims); dan

4. Bentuk pelanggarannya sering melibatkan masalah-masalah teknologi dan keuangan yang kompleks, tidak mudah di deteksi oleh korban ataupun institusi-institusi penegakan hukum (enforcement agencies) (Yusuf Shofie, 2008: 257-258).

Dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, tidak satupun korporasi dipidana kendati sejumlah undang-undang, termasuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Situasi kebijakan pidana (criminal policy) penegakan hukum ini memerlukan jawaban akademik dari sisi ilmu hukum serta upaya pemecahan atas hambatan-hambatan penegakannya. Penyebabnya diperkirakan beragam dan perlu dilakukan identifikasi terhadapnya. Pertama, menyangkut aplikasi teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kedua, keterbatasan sumber daya manusia dari kalangan profesi hukum, baik polisi, jaksa, hakim, maupun advokat. Ketiga, masih dominannya

(17)

51 pandangan tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) dalam hukum pidana di Indonesia dalam wacana teoretik dan praktik penegakan hukum. Praktis dijumpai kesulitan-kesulitan untuk membuktikan kesalahan pada korporasi. Dan seandainya pun korporasi dijatuhi sanksi pidana, pengadilan masih dihadapkan pada pilihan sanksi pidana apa sajakah yang layak dan proporsional dijatuhkan pada korporasi tersebut.

Keterbatasan ketentuan-ketentuan hukum standar keamanan produk barang dan/atau jasa di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, tampak seolah-olah bukan pelanggaran hukum pidana (criminal offences), padahal di negara-negra maju merupakan ancaman serius terhadap keamanan dan keselamatan konsumen. Ada tarik menarik perlu tidaknya kriminalisasi pada satu sisi dan deskriminalisasi pada sisi lainnya.

Pertimbangan bahwa produk massal korporasi tersebar di berbagai segmen masyarakat lokal, bahkan masyarakat internasional, mendorong tampilnya hukum pidana untuk mendorong dipatuhinya standar-standar keamanan dan keselamatan produk barang dan/atau jasa. Dilanggarnya standar-standar tersebut akan membawa akibat kerugian-kerugian materiil, baik fisik maupun psikis konsumen.

Korporasi pelaku usaha dapat diminta pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran-pelanggaran pidana (criminal offences) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Meskipun begitu, tidak ada penjelasan resmi mengenai tampilnya hukum pidana (criminal law) dalam norma-norma perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dari perspektif penegakan hukum, ditempatkannya korporasi pelaku usaha sebagai

(18)

52 subjek tindak pidana tidak serta merta akan dengan sendirinya diikuti proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan korporasi atas pelanggaran-pelanggaran tersebut. Pertama, perlu peran aktif dari masyarakat konsumen dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dalam mendorong kepatuhan hukum (compliance) pelaku usaha melalui penegakan hukum. Peran aktif ini masih mendapatkan hambatan dalam bentuk diskresi penyidik untuk lebih memprioritaskan penyidikan atas laporan pidana pencemaran nama baik pelaku usaha dari pada penyidikan atas laporan pelanggaran-pelanggaran norma-norma perlindungan konsumen. Belum lagi jika proses penyidikan dilanjutkan pada proses penuntutan dan peradilan. Diperlukan kearifan penyidik memprioritaskan penyidikan pada pelanggaran-pelanggaran publik, seperti halnya pelanggaran norma-norma perlindungan konsumen tersebut (Tongat, 2008: 108).

Kedua, kendala sistematik yang berasal dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) sendiri dengan tidak diterapkannya konsep strict lability dan masih dominannya asas kesalahan dalam hukum pidana yang tercermin pada doktrin geen straaf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan).

Menurut konsep liability, suatu tindakan dapat dihukum atas dasar perilaku berbahaya yang merugikan (harmful conduct), tanpa mempersoalkan ada tidaknya kesengajaan (opzet; intention) atau kelalaian (culpa; negligence). Di amerika serikat, pelanggaran-pelanggaran pidana pertanggungjawaban seketika/ mutlak (strict liability offencenses) sudah dikenal sejak tahun 1909. tidak disyaratkannya mens rea dalam konsep strict liability akan berseberangan dengan adagium/asas hukum tidak tertulis. Tiada pidana tanpa kesalahan (geen staf zonder schuld).

(19)

53 Menurut Andi Zainal Farid, ajaran mens rea erat sekali hubungannya dengan adagium/asas tersebut. Baik di Indonesia maupun negara-negara Barat, seperti Inggris, dan Amerika Serikat merupakan asas hukum tidak tertulis dimana substansi dari mens rea, yaitu menyangkut sikap batin pelaku yamg menyebabkan pelaku dipidana jika unsur-unsur kemampuan bertanggung jawab, kesalahan dalam arti luas (dolus dan culpa lata) dan tidak adanya dasar pemaaf terbukti (Yusuf Shofie, 2008: 262-263).

Hampir tidak pernah terdengar kasus periklanan sampai masuk ke pengadilan, sebagai indikator rendahnya keluhan konsumen atas iklan. Adanya keengganan konsumen untuk memejahijaukan pengusaha jika dirugikan. Jika pendapat ini betul, hal ini merupakan peringatan dini tentang apa yang dicanangkan sebagai kesadaran hukum masyarakat, pembinaan hukum, dan yang sejenis dengan itu.

Data-data mengenai kasus periklanan sebenarnya bisa ditelusuri secara periodik melalui surat-surat pembaca berbagai media massa. Data resmi atas pengaduan konsumen tentang iklan ke YLKI selama sembilan tahun terakhir (1992-2010) tergolong rendah. Rendahnya data kuantitas pengaduan iklan dapat diasumsikan: a. Masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat konsumen;

b. Masih adanya kesenjangan ekonomi dikalangan masyarakat luas; c. Iklan bukanlah komoditas yang diperjualbelikan.

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 menyebutkan tentang cara penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang merasa dirugikan yaitu: setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan

(20)

54 pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa tersebut dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada pasal diatas tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan Undang-undang.

Namun penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Pendapat senada diungkapkan oleh responden Hirda yang menjabat sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Bahwa benar di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung belum pernah menerima pelimpahan tentang kasus tersebut. Meskipun belum pernah ada laporan, beliau menegaskan bahwa pada dasarnya proses pelaporannya sama seperti proses pelaporan kasus yang lain yaitu dengan cara melaporkan secara langsung ke pihak yang berwajib (pihak kepolisian) tempat dimana terjadinya peristiwa. Sebelum melaporkan, pihak konsumen sebagai korban harus terlebih dulu memiliki alat bukti yang lengkap. Alat bukti yang

(21)

55 dimaksud bisa berupa rekaman hasil kiriman atau SMS yang diterima. Rekaman dapat diminta ke pihak operator seluler yang bersangkutan. Seperti disebutkan dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Peristiwa pelaku usaha yang tidak menghentikan langganan registrasi dapat disimpulkan bahwa perbuatan tersebut merupakan kelalaian dari perusahaan dan pihak telkom sebagai penyedia jasa. Oleh karena itu, yang bertanggung jawab adalah perusahaan dan pihak telkom sebagai penyedia jasa.

Dalam hal adanya laporan pengaduan mengenai tidak bisa dihentikannya langganan registrasi oleh pelanggan, proses pembuktiannya akan mengalami kesulitan karena saksi ahli dari kejadian tersebut adalah pihak telkom. Telkom hanya dijadikan sebagai saksi ahli karena telkom adalah sebagai fasilitator dalam penayangan iklan yang ditayangkan di media televisi.

Pihak yang dirugikan atau korban akibat dari perbuatan atau tindakan seseorang dapat mengajukan tuntutan hukum pidana dengan membuat laporan kepada negara. Pemerintah yang menjalankan organisasi negara memiliki aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian (Polri), yang akan menindaklanjuti laporan tersebut dengan melakukan tindakan penyidikan. Putusan BPSK dalam hal ini dapat dikualifikasi sebagai laporan kepada penyidik, bahkan dapat digunakan sebagai bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. Polisi sebagai penyidik akan mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang terjadi. Selain kepolisian ada pihak lain yang juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan hukum acara pidana atau KUHAP, ialah pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) tertentu dilingkungan instansi

(22)

56 pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang perlindungan konsumen. Dalam melakukan penyidikan, PPNS memiliki wewenang untuk: a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan

dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;

c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dibidang perlindungan konsumen; d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain

berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;

e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;

f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan dan hasil penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen (Wahyu Sasongko, 2007: 145);

Mengenai penuntutan dan sanksi pidana dalam kasus penayangan iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan dilihat dari perumusan pasal, maka dasar hukum penuntutan dan sanksi yang diterapkan terdapat dalam Pasal 61 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Pelaku usaha dapat dikenai sanksi pidana. Sanksi pidana tersebut termuat dalam Pasal 62,

(23)

57 dan Pasal 63 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 tersebut, Responden Cahyono menambahkan pula mengenai hukuman tambahan yang tercantum dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999. Hukuman tambahan yang dapat dikenai pelaku usaha meliputi:

a. Perampasan barang tertentu; b. Pengumuman keputusan hakim; c. Pembayaran ganti rugi;

d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;

e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. Pencabutan izin usaha.

Kajian hukum pidana terhadap iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan dalam proses penyidikannya dilakukan berdasarkan kewajiban dan wewenang penyidikan.

(24)

58 Menurut Responden Cahyono Priyo Santoso proses penyidikan yang dilakukan diantaranya yaitu:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atas terjadinya peristiwa tersebut;

b. Mencari keterangan dan barang bukti.

Responden Cahyono Priyo Santoso juga menambahkan bahwa setelah pihak kepolisian menerima laporan pengaduan tentang adanya kejadian mengenai iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan, maka proses penyidikan selanjutnya yaitu dengan mencari keterangan dan alat bukti, dimana alat bukti yang digunakan berupa SMS, namun keberadaan SMS dalam KUHAP bukanlah alat bukti, ia hanya dijadikan sebagai petunjuk hakim nantinya dalam proses persidangan. Hal ini disebabkan karena belum ditetapkannya rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP yang mengatur SMS sebagai bagian alat bukti dokumen sekarang ini.

Dalam proses penyidikan alat bukti masih digunakan hingga saat ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP tentang alat bukti yang sah, alat bukti tersebut terdiri dari:

a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

(25)

59 Terhadap masalah mengenai iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan, dalam proses penyidikan, penulis akan menggunakan teori mengenai alat bukti surat sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP. Karena dengan alat bukti surat menurut hukum pidana terdapat adanya tindak pidana yang sangat mutlak sifatnya, guna pertimbangan hakim dalam pengambilan putusannya dalam setiap kasus yang harus bersifat objektif dengan menggunakan hati nurani, dan pengetahuan ilmu hukumnya.

Menurut responden Cahyono Priyo Santoso, Mengenai iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan, selain diatur di Undang Nomor 8 tahun 1999 juga diatur di Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999. Dimana dasar hukum pidananya tertuang dalam Pasal 1 Ayat (1) jo 22 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999.

Selanjutnya pengaturan mengenai alat bukti diatur dalam Pasal 41 jo 42 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Dalam pasal tersebut dijelaskan pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekominikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi, dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pada Pasal 42 Ayat (2) yang menyatakan penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi untuk keperluan proses peradilan pidana atas permintaan jaksa

(26)

60 agung dan/atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu.

Proses peradilan pidana yang dimaksudkan dalam pasal di atas mencakup penyidikan, penuntutan, dan penyidangan. Khusus mengenai tindak pidana tertentu, berdasarkan Pasal 42 Ayat (2) huruf a adalah Tindak pidana yang diancam pidana selama 5 tahun penjara ke atas, seumur hidup dan hukuman mati.

Melihat ketentuan-ketentuan tersebut, jelas kiranya bahwa iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan merupakan tindakan penggunaan tulisan telekomunikasi yang menimbulkan konsekuensi yang merugikan bagi penerima SMS (pelanggan/konsumen). Ini menandakan bahwa pembuktian dapat dilakukan dengan alat bukti khusus berupa hasil print-out seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 butir (1), (2), (3), dan (4) Nomor 11 tahun 2008 tentang transaksi elektronik.

Alat bukti print-out hanya bisa digunakan pada hukuman pidana yang ancaman hukumannya diatas 5 tahun. Jika ancaman pidananya dibawah 5 tahun, maka yang dapat dijadikan alat bukti yang sah seperti tercantum dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP.

Responden Sumarsih mengatakan hal yang tidak sama seperti yang diungkapkan tiga responden di atas. Menurutnya, pembuktian pada kasus ini tidaklah sulit karena penyidik akan bekerjasama dengan pihak provider/operator telefon untuk meminta rekapan SMS masuk atau keluar. Responden menambahkan pula bahwa pertanggungjawaban pidana dalam kasus ini bisa dilimpahkan ke

(27)

61 pertanggungjawaban orang/korporasi. Orang/korporasi dapat dikenai pidana dan membayar ganti rugi kepada pelanggan yang dirugikan. Menurut penulis, responden Sumarsih memakai pertanggungjawaban pidana modern dimana korporasi diakui juga sebagai subyek hukum pidana. Dalam perspektif hukum pidana Indonesia korporasi sudah diakui sebagai subyek tindak pidana dalam Pasal 15 (1) Undang-Undang Darurat Nomor 7 tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dan di beberapa Undang-Undang lainnya. Jadi dalam hukum pidana di Indonesia badan hukum telah diakui sebagai subyek tindak pidana sekalipun pengaturannya hanya dapat dijumpai dalam perundang-undangan khusus di luar KUHP, sementara di dalam KUHP sendiri sebagai induk hukum pidana yang berlaku di Indonesia masih menganut subyek hukum pidana secara umum yaitu manusia.

Penulis melihat dengan jelas bahwa SMS termasuk dalam alat bukti yang sah. Di dalam iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan ini, SMS dapat dijadikan petunjuk untuk memperkuat keakuratan ahli agar hakim dalam pengambilan putusannya secara arif dan bijaksana, serta objektif berdasarkan hati nuraninya.

Disebutkan dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 yaitu:

“Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan

b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)”.

(28)

62 Penggunaan alat bukti yang sah dapat digunakan dalam pemeriksaan menurut KUHAP, tetapi oleh karena SMS merupakan alat bukti langsung yang terkait dengan tindak pidana yang telah terjadi, dan tanpa keberadaan SMS sebagai alat bukti ini, peristiwa tidak bisa dihentikannya langganan registrasi adalah kasus yang tidak bisa dihentikan atau diselesaikan, disebabkan karena tulisan yang terdapat di dalam SMS merupakan objek penyidikan bagi penyidik, SMS dalam hal ini dapat dijadikan alat bukti petunjuk

C. Kualifikasi Kejahatan atas Fenomena Iklan di Media Televisi yang tidak Menghentikan Langganan Registrasi (Unreg) atas Permintaan Pelanggan ke dalam Hukum Pidana

Pada abad ke-16 dalam Leviathan, Thomas Hobbes menunjukkan bahwa terdapat batas-batas sedemikian rupa orang perseorangan dapat melindungi diri mereka sendiri. Oleh karena itu, satu dari tanggung jawab dan maksud utama adanya pemerintahan (the major responsibilities and purpose of government) adalah untuk memberikan perlindungan atas ancaman terhadap keamanan individu dari individu lainnya (to provide security againts to personal safety from others). Dengan merujuk pada uraian Hobbes ini, sistem peradilan pidana (the criminal justice system) diharapkan melindungi warga negara (citizen) dan kepemilikan (property). Hukum pidana tampil untuk mrelindungi kepentingan publik individu setiap warga negara. Untuk keperluan perlindungan yang serupa, konsumen sebagai individu berhak atas perlindungan terhadap organisasi-organisasi besar, monopoli, kartel, dan perlindungan multinasional. Dalam konteks perlindungan konsumen, dari perspektif hukum pidana (criminal law), pelaku usaha

(29)

63 perseorangan dan korporasi semestinya dapat dipertanggungjawabkan atas pelanggaran-pelanggaran hak-hak konsumen.

Menurut Cahyono Priyo Santoso, mengenai iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan, tidak bisa dikatakan sebagai penipuan karena hanya hubungan antara konsumen (pelanggan) dengan perusahaan penyedia jasa. Atau dengan kata lain pihak perusahaan yang mengelola. Perbuatan tidak menghentikannya langganan (Unreg) tidak dapat dimasukkan kedalam kategori penipuan karena subjeknya tidak ada. Hal yang penting dalam penipuan adalah harus jelas subjeknya. Pengertian penipuan itu sendiri terdapat dalam Pasal 378 KUHP dimana bunyi pasal tersebut adalah:

“barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”

Jadi unsur-unsur kejahatan penipuan adalah (Wawan Tunggul Alam, 2008:124): 1. Ada maksud untuk menguntungkan diri sendiri/orang lain yang melawan

hak/hukum;

2. Membujuk orang supaya menyerahkan suatu barang, membuat utang/ menghapuskan piutang;

3. Memakai nama palsu/keadaan palsu, akal cerdik atau perkataan-perkataan bohong.

Menguntungkan diri sendiri ialah dengan jalan menipu orang lain untuk memperoleh harta kekayaan dalam bentuk barang. Dalam menguntungkan orang lain atau diri sendiri, ini tidak selalu dilihat dari segi harta kekayaan dalam bentuk

(30)

64 ekonomis saja. Tapi, dalam hal misalnya, untuk memperoleh kebaikan posisi/kedudukan seorang bisa juga melakukannya dengan cara menipu. Contohnya, memenangkan suatu ujian untuk kenaikan pangkat bisa diperoleh dengan penipuan, yaitu menyuruh orang lain sebagai peserta untuk mengerjakannya.

Penyerahan barang terjadi akibat bujukan. Jadi kalau bukan karena bujukan belum tentu terjadi penyerahan barang. Dapat dikatakan bahwa penyerahan barang adalah dengan sukarela (atas persetujuan yang kena tipu); sedangkan pada kejahatan pencurian barang diambil oleh si pencuri dengan tidak seijin pemiliknya.

Rangkaian perkataan bohong itu harus sedemikian rupa bahwa apabila seseorang yang mempunyai kecerdasan otak yang sedang, pantas dapat mengira bahwa adalah benar apa yang dikatakan oleh si penipu itu. Jadi, tidak ada penipuan bila kebohongan itu bisa terlihat bagi setiap orang dengan akal sehat. Penipuan juga bisa dilakukan dengan tanpa mengucapkan kata-kata bohong, yaitu dengan tipu muslihat.

Menurut responden Hirda Dalam peristiwa tidak berhentinya langganan tersebut belum jelas siapa subjeknya karena pada dasarnya dalam iklan yang ditayangkan disebutkan bahwa siapa pun bisa beregistrasi sehingga masalah itu tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan. Subjek tindak pidana dalam KUHP berupa manusia. Adapun badan hukum perkumpulan, atau korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana bila secara khusus ditentukan dalam suatu Undang-Undang diluar KUHP. Sedangkan mayat, hewan, atau benda mati dipandang tidak

(31)

65 dapat melakukan tindak pidana, sehingga secara otomatis tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Subjek hukum dalam KUHP adalah manusia. Hal ini dapat disimpulkan berdasarkan ketentuan yang ada dalam KUHP itu sendiri sebagai berikut:

1. Rumusan delik dalam KUHP lazimnya dimulai dengan kata-kata barang siapa. Kata barang siapa ini tidak dapat diartikan lain, selain ditujukan kepada manusia.

2. Dalam Pasal 10 KUHP jenis-jenis pidana yang diancam hanya dapat dilakukan oleh manusia. Misal: pidana penjara hanya bisa dijalankan oleh manusia; pidana denda hanya dapat dijalankan oleh manusia.

3. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat adalah ada atau tidaknya kesalahan terdakwa. Ini berarti yang dapat dipertanggungjawabkan adalah manusia. Sebab hewan tidak mempunyai kesalahan dan tidak dapat dituntut pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan

Kemudian Hirda menambahkan bahwa perbuatan tersebut juga tidak bisa dikatakan sebagai pencurian karena konsumen melakukan registrasi tanpa ada yang mempengaruhi atau perusahaan pengelola periklanan tidak memaksa konsumen untuk melakukan registrasi. Pengertian pencurian sendiri disebutkan dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi:

“barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

(32)

66 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kejadian mengenai iklan yang ditayangkan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi

(Unreg) atas permintaan pelanggan pihak perusahaan atau telkom tidak

mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.

Hal senada diungkapkan oleh Hirda yang mengemukakan mengenai iklan di televisi yang tidak menghentikan registrasi dirumuskan kedalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu dalam Pasal 17 yang didalamnya berisi larangan mengelabui konsumen; mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa; tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan; melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Noomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi menyatakan bahwa pelanggan sebagai pengguna jasa telekomunikasi mempunyai hak untuk menggunakan jaringan telekomunikasi yang telah disediakan oleh penyedia jasa telekomunikasi. Namun bila terjadi kerugian yang diderita oleh pengguna telekomunikasi yang disebabkan oleh penyelenggara telekomunikasi disebutkan dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi bahwa penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali

(33)

67 penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan/atau kelalaiannya.

Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sumarsih bahwa kasus tidak dihentikannya registrasi dapat dikatakan sebagai tindak pidana penipuan karena memenuhi unsur-unsur Pasal 378 KUHP.

Menurut penulis, dan berdasarkan uraian yang sudah dijelaskan, kualifikasi delik pada kasus ini dapat diuraikan dalam Pasal 378 karena pada saat itu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang belum efektif masih disosialisasikan, campur tangan instrumen hukum untuk menyelesaikan praktik periklanan yang melanggar self-regulation dilakukan dengan menerapkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/delik penipuan. Penggunaan instrumen ini belum tentu mengembalikan kerugian yang dialami konsumen, malahan konsumen justru harus keluar masuk ke kantor polisi. Belum lagi ancaman pengusaha kepada konsumen dengan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik. Tetapi dengan telah diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen maka pelaku tidak dapat dijerat berdasarkan Pasal 378 karena kualifikasai kasus ini termasuk ke dalam pelanggaran yang disanksikan pada Pasal-Pasal di Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut.

Pemberian ganti rugi oleh penyelenggara telekomunikasi diberikan kepada pengguna atau masyarakat luas yang dirugikan karena kelalaian atau kesalahan penyelenggara telekomunikasi. Penyelesaian ganti rugi tersebut dapat dilaksanakan dengan cara melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi sebagai upaya

(34)

68 bagi para pihak untuk mendapatkan penyelesaian dengan cara cepat. Apabila penyelesaian mengenai ganti rugi melalui cara tersebut tidak berhasil maka dapat diselesaikan melalui pengadilan.

Referensi

Dokumen terkait

The solution proposed is Superalloy Welding at Elevated Temperature (SWET). Elevating temperature on the parts or components that are to be welded probably could reduce the

Profitabilitas menunjukkan seberapa besar kinerja keuangan perusahaan dalam menghasilkan atau memperoleh keuntungan dan Sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas

97 the students have difficulties to speak in English class caused both by some psychological factors like fear of making mistakes, lack of confidence and some

Berdasarkan hal diatas, penulis tertarik membuat sebuah jurnal dengan judul “Membangun Jaringan Tethering Dan Portable Hospot Wireless Tablet Samsung Android, Laptop

Berdasarkan hasil evaluasi administrasi, teknis dan harga serta kualifikasi nomor : 05/43/91.04/PPBJ-I/DJB/2012 untuk pekerjaan Pengadaan Perangkat Lunak Sistem GIS

Laporan akhir ini disusun untuk mengetahui penerapan metode pencatatan dan penilaian persediaan barang dagang pada CV Surya Adi Pratama Palembang.. Data yang digunakan

Penggunaan media pembelajaran yang interaktif dan mengasyikkan dapat membantu untuk memudahkan siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dalam

Dan jika pendekatan antropologis dilakukan dalam studi Islam dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami Islam dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh