• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN TEKNIK EX VITRO ROOTING UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI BIBIT KELAPA KOPYOR TRUE-TO-TYPE SECARA IN VITRO Kode Proposal: RD-2015-0117 Bidang Prioritas: Riset Pengembangan Perkebunan (benih unggul, budidaya, rekayasa alat dan mesin, produk turunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGEMBANGAN TEKNIK EX VITRO ROOTING UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI BIBIT KELAPA KOPYOR TRUE-TO-TYPE SECARA IN VITRO Kode Proposal: RD-2015-0117 Bidang Prioritas: Riset Pengembangan Perkebunan (benih unggul, budidaya, rekayasa alat dan mesin, produk turunan "

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

INSENTIF RISET SINAS

PENGEMBANGAN TEKNIK EX VITRO ROOTING UNTUK

MENINGKATKAN PRODUKSI BIBIT KELAPA KOPYOR TRUE-TO-TYPE

SECARA IN VITRO

Kode Proposal: RD-2015-0117

Bidang Prioritas: Riset Pengembangan Perkebunan (benih unggul,

budidaya, rekayasa alat dan mesin, produk turunan kelapa sawit dan kakao)

Jenis Riset: Insentif Riset Dasar (RD)

Universitas Muhammadiyah Purwokerto

(2)
(3)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100 ii

RINGKASAN EKSEKUTIF

Kelapa kopyor merupakan plasma nutfah Indonesia yang bernilai ekonomi tinggi sehingga dapat digunakan dalam program pemberantasan kemiskinan petani secara nasional. Namun, program tersebut mengalami kendala karena pembibitan kelapa kopyor true-to-type yang mampu menghasilkan 100 % buah kopyor belum dapat dilakukan. Satu -satunya alternatif untuk memecahkan permasalah tersebut adalah dengan menggunakan kultur embryo karena pembibitan secara alami tidak dapat dilakukan. Namun, kendala utama yang dihadapi dalam aplikasi kultur embryo kelapa kopyor adalah rendahnya persentase keberhasilan pada tahap aklimatisasi (kurang dari 30 %) sebagai akibat belum ditemukannya protokol aklimatisasi yang tepat untuk kelapa kopyor. Disamping itu, hampir 50 % dari plantlet yang dihasilkan kultur embryo tidak memiliki akar ataupun memiliki akar yang tidak fungsional, akibatnya hampir seluruh plantlet akan mati jika diaklimatisasikan. Oleh karena itu ditambahan tahap induksi akar pada teknik kultur embryo. Penambahan satu tahapan induksi akar pada kultur embryo menjadikan teknik tersebut lebih lama (1-3 bulan lebih lama), kurang efisien, resiko kegagalan yang meningkat akibat kontaminasi serta meningkatkan biaya produksi. Oleh karena itu upaya untuk mencari protokol kultur embryo yang lebih singkat dan efisien perlu dilakukan. Pada penelitian ini dilakukan optimasi induksi akar dan aklimatisasi yang dilakukan secara bersamaan melalui teknik ex vitro rooting.

Dua topik utama yang akan dilakukan selama 10 bulan, yaitu optimasi teknik ex vitro rooting untuk aklimatisasi bibit kelapa kopyor dengan target meningkatkan keberhasilan aklimatisasi plantlet kelapa kopyor tanpa akar dari 0 % menjadi 70 %. Pada penelitian ini akan dilakukan uji pengaruh zat pengatur tumbuh dan uji pengaruh lingkungan. Topik penelitian kedua adalah studi perbandingan morfologi, anatomi dan biokimia antara bibit kelapa kopyor yang berhasil diaklimatisasikan dengan bibit kelapa yang dihasilkan secara alami guna menjelaskan faktor penyebab kegagalan aklimatisasi bibit kelapa kopyor.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa teknik ex vitro rooting berhasil diaplikasikan untuk induksi akar dan aklimatisasi bibit kelapa kopyor yang dihasilkan secara in vitro dengan tingkat keberhasilan yang tinggi (di atas 90 %). Bahkan, plantlet yang semula tidak memiliki akar berhasil diinduksi pembentukan akar primer maupun sekunder secara ex vitro bersamaan dengan proses aklimatisasi selama 3 bulan dengan tingkat keberhasilan di atas 65 %. Perlakuan terbaik yang digunakan untuk menginduksi pembentukan akar secara ex vitro sekaligus dilakukan aklimatisasi adalah dengan menggunakan mini growth chamber yang didalamnya diisi medium tanam

dengan penambahan 10-6 M asam indole butirat (IBA).

Pemeliharaan bibit kelapa kopyor dengan menggunakan teknik ex vitro rooting yang dipelihara dengan intensitas cahaya yang tinggi, sinar matahari secara langsung (10.000 - 12.000 lux) maupun di bawah screen house (5.000 - 6.000 lux) tidak mampu menghasilkan bibit dengan persentase keberhasilan yang tinggi.

Hasil penelitian studi perbadingan anatomi bibit kelapa kopyor in vitro dengan bibit kelapa kopyor sesudah ex vitro rooting dan aklimatisasi di screen house menunjukkan adanya peningkatan ketebalan daun khususnya dalam hal ketebalan jaringan palisade parenkim maupun jumlah stoma khususnya pada jumlah stomata pada permukaan bagian bawah daun, serta kadar klorofil a dan klorofil total. Berdasarkan studi anatomi dapat disimpulkan bahwa bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo membutuhkan perlakuan khusus selama proses aklimatisasi sebelum bibit tersebut ditanaman di lapang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik ex vitro rooting memberikan terobosan baru dalam menginduksi akar bibit hasil kultur jaringan secara efisien sekaligus dilakukan aklimatisasi. Langkah selanjutnya sampai saat ini masih dilakukan studi perbandingan biokimia antara bibit kelapa kopyor yang berhasil diaklimatisasikan dengan bibit kelapa yang dihasilkan secara alami serta analisis data yang telah diperoleh maupun penulisan artikel ilmiah untuk dipublikasi di jurnal internasional.

(4)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100 iii DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Identitas dan Pengesahan ... i

Ringkasan Eksekutif ... ii

2.2 Perbanyakan Kelapa Kopyor Secara In Vitro ……… 4

2.3 Research ProgressAklimatisasi Bibit Kelapa Kopyor ... 5

2.4 Research progress tentang Uji Keragaman Genetika Kelapa Kopyor Hasil Kultur Jaringan serta Kemungkinan Aplikasinya pad kelapa Kopyor ... 7

2.5 Peta Jalan Penelitian ... 7

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN... 13

3.1 Tujuan Penelitian ... 13

3.2 Manfaat Penelitian... 13

BAB IV METODE PENELITIAN ... 16

4.1 Lokasi dan Bahan Penelitian ... 16

4.2 Optimasi Teknik Ex Vitro Rooting... 16

4.3 Uji Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)... 18

4.4 Uji Pengaruh Lingkungan ... 18

4.5 Studi Perbandingan Morfologi, Anatomi dan Biokimia ... 19

4.5.1 Uji Morfologi ……….. 19

4.5.2 Uji Anatomi……….. 20

4.5.3 Uji Biokimia ………... 20

4.6 Analisis Data ……….. 20

BAB V RENCANA CAPAIAN, HASIL DAN PEMBAHASAN... 21

5.1 Rencana Capaian ... 21

5.2 Hasil ... 21

5.2.1 Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Keberhasilan Ex Vitro Rooting dan Aklimatisasi Bibit Kelapa Kopyor ... 21

5.2.2 Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Keberhasilan Ex Vitro Rooting dan Aklimatisasi Bibit Kelapa Kopyor ... 26

5.2.3 Studi Perbandingan Anatomi dan Biokimia Bibit Kelapa Kopyor Hasil Kultur Jaringan ... 27

5.3 Pembahasan ... 31

(5)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100 iv 6.1 Kesimpulan ... 35

(6)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100 v DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 5.1 Rencana Capaian ... 21 5.2 Hasil Penelitian... 27 5.3 Kontribusi penelitian INSINAS 2015 terhadap kondisi kultur embryo

(7)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100 vi DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Road map penelitian kelapa kopyor di Laboratorium Genetika dan Botani,

Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Huruf dengan warna merah menunjukkan penelitian telah dilakukan, biru menunjukkan penelitian tahun pertama, hijau menunjukkan penelitian tahun kedua, ungu menunjukkan penelitian tahun ketiga, sedangkan warna hitam merupakan progam penelitian lanjutan sesudah kegiatan penelitian ini berakhir...

10 4.1 Bagan alir tahapan pengembangan protokol kultur embryo kelapa kopyor

... 17 4.2 Mini growth chamber yang akan digunakan dalam induksi kalus secara ex vitro

(ex vitro rooting) untuk kategori plantlet dengan akar yang tidak fungsional ….. 19 5.1 Bibit kelapa kopyor tanpa akar sebelum percobaan (A) dibandingkan dengan terhadap tingkat kelulushidupan (survival rate) dari bibit kelapa kopyor tanpa akar yang ditanam dengan menggunakan teknik ex vitro rooting (A) dan persentase bibit yang berhasil diinduksi akar (B) setelah 3 bulan kultur di dalam

mini growth chamber. Huruf yang sama yang mengikuti setiap diagram batang

menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda secara signifikan berdasarkan uji Fisher’s Least Significant Differences (LSD) dengan tingkat kepercayaan 95 %. 23 5.3 Hasil pengukuran ciri-ciri morfologi bibit kelapa kopyor yang berhasil

diaklimatisasikan dengan menggunakan teknik ex vitro rooting setelah tiga bulan tanam. Tinggi bibit (A), berat basah (B) dan jumlah daun yang terbuka (C) pada bibit yang digunakan pada awal percobaan ( ) dibandingkan dengan bibit yang dipelihara pada medium tanam dengan penambahan IBA ( ) dan NAA ( ) pada konsentrasi 10-6- 10-5 M maupun pada medium tanpa penambahan ZPT (kontrol). Huruf yang sama yang mengikuti setiap diagram batang menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda secara signifikan berdasarkan uji Fisher’s Least Significant Differences (LSD) dengan tingkat kepercayaan 95 %... 25 5.4 Bibit hasil ex vitro rooting yang telah dipindahkan ke lingkungan ekternal

selama 2 bulan dengan tingkat keberhasilan yang tinggi (A). Bibit tanpa akar maupun dengan akar berhasil tumbuh dengan baik dan terinduksi akar selama

(8)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100 vii tahap penanaman pada lingkungan ekternal di screen house ... 5.5 Hasil uji pengaruh intensitas cahaya terhadap keberhasilan induksi akar dan

aklimatisasi bibit kelapa kopyor. A. Seluruh bibit yang ditanam di bawah sinar matahari secara langsung (intensitas cahaya 10.000-12000 lux) mati karena terbakar, B. Bibit yang ditanam dibawah screen house dengan intensitas cahaya 5000 - 6000 lux mengakibatkan sebagian besar bibit mati dan hanya sekitar 20 % dari bibit yang ditanam mampu bertahan setelah 3 bulan aklimatisasi (C) ... 27 5.6 Hasil pengukuran anatomi perbandingan ketebalan daun antara daun yang

diisolasi dari bibit kelapa kopyor dalam kondisi in vitro maupun bibit kelapa kopyor setelah perlakuan ex vitro rooting selama 3 bulan dengan bibit kelapa kopyor sesudah aklimatisasi selama tiga bulan di screen house dengan pembanding bibit kelapa kopyor yang ditumbuhkan secara alami... 28 5.7 Contoh irisan melintang yang dilakukan pada daun bibit kelapa in vitro (A),

bibit setelah ex vitro rooting selama 3 bulan (B), bibit setelah aklimatisasi di

screen house selama 3 bulan, serta bibit kelapa kopyor yang dipelihara secara

alami sebagai kontrol (D)... 29 5.8 Hasil penghitungan jumlah stoma pada permukaan atas dan permukaan bawah

daun kelapa yang diisolasi dari bibit in vitro, bibit hasil ex vitro rooting selama 3 bulan, bibit hasil aklimatisasi selama 3 bulan di screen house serta bibit kelapa kopyor hasil pembibitan secara alami sebagai kontrol... 30 5.9 Hasil pengukuran kadar klorofil a dan b pada daun bibit kelapa yang hidup

(9)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100 1 BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu alternatif guna meningkatkan pendapatan petani kelapa adalah dengan budidaya kelapa kopyor. Kelapa kopyor diketahui memiliki nilai jual sangat tinggi yaitu mencapai 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelapa normal (Maskromo et al., 2007). Namun demikian, budidaya tanaman kelapa type ini masih belum optimal. Salah satu kendala yang dihadapi petani adalah belum tersedianya bibit kelapa kopyor dengan kualitas yang memadai. Saat ini perbanyakan kelapa kopyor masih dilakukan secara tradisional, yaitu dengan menanam buah normal dari pohon yang menghasilkan kelapa kopyor. Tanaman kelapa yang dihasilkan dari perbanyakan secara alami tersebut hanya akan menghasilkan buah kopyor antara 3 – 25 % untuk kelapa tipe dalam dan 5 – 50 % untuk kelapa tipe genjah (Maskromo and Novarianto, 2007).

Perbanyakan kelapa kopyor secara moderm dengan menggunakan kultur jaringan telah diupayakan, namun hasil yang diperoleh belum menggembirakan. Perbanyakan kelapa melalui embryogenesis somatik belum berhasil diaplikasikan dalam secara masal (Montero-Cortes et al., 2010; Perera et al., 2008; Perera et al., 2007; Perera et al., 2009b; Perez-Nunez et al., 2006). Hal yang sama juga terjadi ketika teknik embryogenesis somatik dicoba untuk diaplikasikan pada kelapa kopyor dimana teknik tersebut masih menghasilkan plantlet dengan bentuk-bentuk abnormal seperti akar tanpa tunas maupun tunas dengan akar yang tidak sempurna (Sukendah, 2009).

Satu-satunya alternatif yang tersedia untuk menyediakan bibit kelapa kopyor secara in

vitro adalah dengan menggunakan kultur embryo. Teknik ini telah berhasil dikembangkan di

Philipina untuk penyediaan bibit kelapa makapuno (seperti kelapa kopyor) dengan tingkat keberhasilan menghasilkan buah makapuno yang sangat tinggi (true-to-type), 75 – 100 % (Rillo, 2004; Rillo et al., 2002). Di Indonesia, teknik kultur embryo telah dicoba untuk digunakan untuk perbanyakan kelapa kopyor (Mashud, 2010; Mashud and Manaroinsong, 2007; Novarianto et al., 2005; Sukendah, 2009; Sukendah et al., 2008).

(10)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100 2

Kendala Lain yang dihadapi dalam menghasilkan bibit kelapa kopyor secara in vitro adalah pada tahap aklimatisasi, Sampai saat ini teknik aklimatisasi yang dapat digunakan untuk kelapa kopyor belum berkembang dengan baik. Teknik aklimatisasi dengan cara bibit disungkup satu-per satu dengan menggunakan plastik selama beberapa bulan sebelum dipindahkan ke lingkungan luar memiliki keberhasilan cukup tinggi (80 %) khususnya pada bibit yang memiliki akar yang lengkap, namun teknik tersebut membutuhkan tenaga kerja yang banyak serta kurang efisien (Magdalita et al., 2010b). Teknik tersebut juga memberikan hasil yang rendah (kurang dari 20 %0 ketika diaplikasikan pada bibit kelapa kopyor (Mashud and Manaroinsong, 2007; Sukendah, 2009). Teknik lain dengan menggunakan tenda plastik menunjukkan keberhasilan aklimatisasi yang cukup baik, yaitu sekitar 80 %, namun hanya untuk bibit yang memiliki akar lengkap (Orense et al., 2011). Teknik yang memiliki keberhasilan paling tinggi (di atas 95 %) adalah dengan menggunakan sistem photoautotropic (Samosir and Adkins, 2014) , namun teknik ini membutuhkan biaya besar dengan sistem yang komplek untuk gas CO2 dan peralatannya serta belum dapat diaplikasikan pada kelapa kopyor.

(11)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100 3 BAB II. STUDI PUSTAKA

2.1 Kelapa dan Kelapa Kopyor

Kelapa banyak dibudidayakan di negara-negara tropis karena hampir semua bagian memiliki fungsi yang tinggi baik secara sosial maupun secara ekonomi sehingga dikenal sebagai pohon kehidupan “tree of life” (Persley, 1992). Secara sosial, daun kelapa yang masih muda biasa digunakan untuk berbagai kepentingan upacara adat dan keagamaan, sedangkan daun kelapa yang sudah tua dapat digunakan untuk atap rumah maupun sapu lidi. Batang kelapa yang sudah tua dapat digunakan untuk bahan bangunan dan funiture. Daging buah kelapa atau endosperm merupakan bagian kelapa dengan nilai ekonomi paling tinggi, biasa digunakan untuk bahan baku santan kelapa yang berperan penting dalam cita rasa masakan daerah tropis (Thampan, 1981). Desiccated coconut dan minyak kelapa merupakan produk utama dari kelapa. Pada tahun 2009, produksi minyak kelapa dunia mencapai lebih dari 3.6 metrik ton dimana lebih dari 50 % dari total produksi tersebut dipasok oleh Philippina dan Indonesia (FAO, 2011). Dalam lima tahun terakhir, daging buah kelapa juga digunakan untuk memproduksi virgin coconut oil (VCO) yang memiliki fungsi penting di dunia kesehatan (Fife, 2006).

Di Indonesia, produksi kelapa mencapai sekitar 15,5 milyar butir per tahun yang sebanding dengan lebih dari 3 juta ton kopra, hampir 4 juta ton air kelapa, ¾ juta ton arang, hampir 2 juta ton serat sabut dan lebih dari 3 juta ton cocopeat (Mahmud and Ferry, 2005). Pada umumnya produksi tersebut dihasilkan dari kebun petani kecil dengan luas lahan kurang dari 0.5 ha dengan penghasilan kurang dari 4 juta per tahun (Mahmud and Ferry, 2005). Jumlah petani dengan pendapatan yang rendah tersebut mencapai 95 % dari total sekitar 3 juta petani kelapa (Batugal et al., 2005).

(12)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100 4

antara 20 ribu sampai 30 ribu rupiah per butir (Maskromo and Novarianto, 2007). Akibatnya, budidaya kelapa kopyor menjadi sangat layak untuk dilakukan meskipun bagi seorang petani kecil yang memiliki lahan 0.1 ha atau setara dengan 18 pohon kelapa kopyor (Hutapea et al., 2007).

Seperti halnya kelapa biasa, kelapa kopyor ditemukan pada kedua tipe kelapa, baik kelapa dalam maupun kelapa genjah. Pada kelapa dalam, persentase buah kopyor yang dihasilkan sangat rendah, yaitu antara 1 sampai 2 butir per tandan sedangkan pada kelapa genjah, persentase butir kopyor yang dihasilkan dapat mencapai 50 % (Maskromo and Novarianto, 2007). Kelapa genjah memiliki ciri-ciri batang pendek (≤ 15 m), pangkal batang tidak membesar, lambat pertumbuhannya dengan umur yang lebih singkat (35 sampai 40 tahun), buah yang kecil dan umumnya menyerbuk sendiri. Namun, kelapa jenis ini mampu menghasilkan buah lebih cepat (umur 2-4 tahun setelah tanam) dan berbuah banyak, yaitu antara 80 – 100 buah per tahun (Perera et al., 2009a). Kelapa dalam memiliki batang yang lebih besar dan lebih tinggi (≤ 30 m), pangkal batang membesar, umur lebih lama (dapat mencapai 100 tahun) dan menyerbuk silang. Kelapa type ini baru menghasilkan buah antara 6 – 8 tahun setelah tanam dan hanya menghasilkan kelapa kurang dari 50 buah per tahun (Perera et al., 2009a). Persilangan antara kedua type kelapa tersebut akan dihasilkan kelapa hibrida dengan sifat-sifat unggul diantara keduanya (Foale, 2003). Sampai saat ini belum ada upaya untuk membuat kelapa kopyor hibrida karena belum adanya kelapa kopyor true-to-type baik kelapa kopyor dalam maupun kelapa kopyor genjah. Penelitian ini memiliki tujuan jangka panjang untuk membuat kelapa kopyor unggul tersebut.

2.2 Perbanyakan Kelapa Kopyor secara In Vitro

Budidaya kelapa kopyor memiliki kendala dalam hal penyediaan bibit. Kelapa kopyor tidak dapat berkecambah secara alami karena daging buahnya yang tidak mampu mendukung perkembangan embryo (Maskromo and Novarianto, 2008). Pembibitan kelapa kopyor yang saat ini dilakukan adalah dengan menanam kelapa normal yang dihasilkan oleh pohon yang menghasilkan kelapa kopyor. Akibatnya persentase keberhasilan untuk menghasilkan kelapa kopyor cukup rendah yaitu antara 5 – 25 % (Maskromo and Novarianto, 2008).

(13)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100 5

keberhasilan teknik tersebut masih rendah (Perera et al., 2009b). Hal yang sama juga terjadi ketika teknik tersebut diaplikasikan untuk penyediaan bibit kelapa kopyor (Sukendah, 2009).

Satu satunya alternatif yang tersedia untuk memproduksi bibit kelapa kopyor adalah melalui kultur embryo. Tanaman kelapa kopyor yang dihasilkan dari teknik in vitro tersebut dipercaya mampu menghasilkan buah dengan persentase buah kopyor mencapai 90 % (Mashud and Manaroinsong, 2007). Bahkan apabila dikombinasikan dengan seleksi induk yang tepat mampu menghasilkan kelapa dengan persentase kopyor mencapai 100 % seperti yang terjadi pada kelapa makapuno (Rillo et al., 2002).

Kultur embryo adalah teknik menumbuhkan embryo zygotik yang diisolasi dari biji secara in vitro sampai embryo tersebut berkecambah dan menghasilkan bibit tanaman baru (George, 2008). Teknik ini paling mudah dilakukan dibandingkan teknik in vitro lainnya karena eksplan yang digunakan sudah berupa embryo yang siap berkecambah. Namun, teknik ini hanya mampu menghasilkan satu tanaman per eksplan yang dikecambahkan (Raghavan, 2003). Kultur embryo dilaporkan telah banyak digunakan untuk penyediaan bibit berbagai tanaman yang mengalami kendala dalam perkecambahannya secara alami (Raghavan, 2003). Kultur embryo juga merupakan metode yang paling mudah dilakukan dalam teknik penyimpanan plasma nutfah secara in vitro (N'Nan et al., 2008; Sisunandar et al., 2014; Sisunandar et al., 2010a; Sisunandar et al., 2010b; Sisunandar et al., 2012).

Kendala utama yang dihadapi pada aplikasi kultur embryo untuk penyediaan bibit kelapa kopyor adalah hanya dihasilkannya satu bibit dari setiap embryo yang ditanam, sedangkan setiap buah kopyor hanya terdapat satu buah embryo. Akibatnya bibit kelapa kopyor yang dihasilkan dari teknik ini menjadi sangat mahal bagi para petani (Maskromo et al., 2007). Alternatif yang tersedia adalah dengan melakukan pembelahan embryo (embryo splitting) untuk meningkatkan jumlah eksplan yang ditanam (Mashud, 2010; Sukendah, 2009). Namun tingkat keberhasilan teknik ini juga masih rendah (kurang dari 60 %) dengan sebagian embryo tumbuh akar tanpa tunas sehingga tidak dapat digunakan sebagai bibit (Sukendah, 2009).

2.3. Research Progress Aklimatisasi Bibit kelapa Kopyor

(14)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100 6

menghindari kontaminasi, namun kondisi ini mengakibatkan kelembapan udara di dalam tabung jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi di luar tabung sehingga mengakibatkan pertukaran gas CO2 dengan lingkungan luar menjadi sangat terbatas (Paspisilova et al., 1999).

Disamping itu, media tanam umumnya diberi tambahan gula sebagai sumber karbon dan energi serta intensitas cahaya yang relatif rendah. Ketiga hal tersebut mengakibatkan plantlets yang dihasilkan menjadi abnormal baik secara morfologi maupun fisiologi sehingga menyebabkan kegagalan dalam produksi bibit menggunakan teknik kultur jaringan (Paspisilova et al., 1999). Pada kultur embryo kelapa tingkat kegagalan pada tahap aklimatisasi masih relatif tinggi, berkisar 60 sampai 90 % (Engelmann and Batugal, 2002; Karun et al., 2002). Kegagalan pada kultur embryo kelapa kopyor juga sangat tinggi, yaitu mencapai 80 % (Mashud and Manaroinsong, 2007).

Beberapa upaya telah dilakukan untuk memperbaiki protokol kultur embryo guna meningkatkan kesintasan tanaman pada tahap aklimatisasi seperti menginduksi peningkatan jumlah akar primer dan sekunder dengan menambahkan zat pengatur tumbuh auksin ke dalam media tanam (Lien, 2002; Rillo et al., 2002), perbaikan teknik aklimatisasi dengan menggunakan kotak plastik (Magdalita et al., 2010a), maupun pemberian gas CO2 ke dalam kotak aklimatisasi guna meningkatkan laju fotosintesis tanaman yang diaklimatisasi (Samosir et al., 2008). Namun demikian, teknik tersebut membutuhkan biaya yang mahal untuk penyediaan gas CO2 serta peralatan yang mahal.

(15)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100 7 2.3. Research Progress tentang Uji Keragaman Genetika Kelapa Hasil Kultur Jaringan serta Kemungkinan Aplikasinya pada Kelapa Kopyor

Informasi tentang keanekaragaman genetika kelapa kopyor yang tumbuh di lapangan hasil kultur jaringan belum teridentifikasi. Meskipun kelapa kopyor true-to-type hanya dapat dihasilkan dengan menggunakan teknik kultur jaringan (Mashud and Manaroinsong, 2007), namun kultur jaringan tumbuhan sendiri dipercaya mampu menyebabkan berbagai perubahan materi genetika pada tumbuhan yang dihasilkan (Kaeppler and Phillips, 1993; Mc Clintock, 1984; Phillips et al., 1994; Rani and Raina, 2000). Perubahan genetik tersebut terjadi sebagai respon tumbuhan terhadap cekaman lingkungan (Phillips et al., 1994).

Perubahan genetik dapat diidentifikasi berdasarkan perubahan morfologi, sitologi, biokimia maupun molekuler (Rani and Raina, 2000; Sisunandar et al., 2010a). Secara morfologi, perubahan genetika telah dilaporkan dapat diamati pada malformasi buah, tanaman lebih kerdil, bunga terlalu banyak dan beberapa ciri morfologi yang lain (Rani and Raina, 2000). Secara sitologi, perubahan genetik dapat meliputi aberasi kromosom (Phillips et al., 1994) dan perubahan derajat ploidi (Rani and Raina, 2000), sedangkan secara molekuler, perbahan dapat meliputi perubahan pada materi DNA maupun modifikasi ekspresi gen karena adanya perubahan metilasi dari DNA atau biasa disebut epigenetik (Phillips et al., 1994; Sisunandar et al., 2010a). Sampai saat ini analisis variasi genetika tanaman kelapa kopyor hasil kultur jaringan belum pernah dilakukan sehingga dalam penelitian ini direncakan dilakukan analisis keragaman genetika kelapa kopyor hasil kultur jaringan.

2.5 Peta Jalan Penelitian

Kelapa kopyor merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia karena memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi (10 – 20 kali lebih tinggi dari kelapa normal). Oleh karena itu budidaya kelapa jenis ini dapat digunakan sebagai salah satu strategi nasional guna mengentaskan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja baru bagi para petani kelapa. Program pengentasan kemiskinan melalui budidaya kelapa kopyor dapat dilakukan apabila langkah-langkah pengembangannya dilaksanakan secara konsisten (Gambar 2.1). Langkah- langkah tersebut adalah sebagai berikut :

(16)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100 8

Kabupaten Banyumas dan Purbalingga dan uji keragaman genetika dari segi morfologi telah diselesaikan pada tahun 2010. Pemetaan kelapa kopyor di kabupaten-kabupaten yang lain perlu dilakukan untuk tahun-tahun berikutnya, seperti Kabupaten Banjarnegara, Cilacap dan Kebumen. Luaran dari kegiatan ini adalah peta distribusi kelapa kopyor di eks Karesidenan Banyumas

2. Produksi bibit kelapa kopyor true-to-type melalui optimasi protokol kultur embryo. Penelitian ini menjadi fokus utama dari proyek penelitian yang diusulkan pada tahun pertama. Selama tahun 2004-2007, peneliti utama telah melakukan penelitian tentang teknik penyimpanan plasma nutfah kelapa dengan menggunakan teknik kriopreservasi. Penelitian tersebut menggunakan teknik kultur embryo untuk me-recovery embryo yang disimpan pada suhu beku. Namun, dalam penelitian ini jenis kelapa yang digunakan adalah kelapa normal. Pada tahun 2009, peneliti utama melakukan penelitian uji sterilisasi eksplan embryo kelapa kopyor atas biaya mandiri. Pada tahun 2010, peneliti utama melakukan kegiatan postdoctoral research fellow di University of Queensland, Australia atas biaya Endeavour Award, Ministry of Education Australia dengan topik penelitian tentang uji perbandingan pertumbuhan embryo kelapa kopyor antara kelapa dalam dan kelapa genjah, serta dilakukan uji pemilihan medium dasar yang bisa digunakan untuk menumbuhkan kelapa kopyor. Pada tahun 2012, kami berhasil mengembangkan teknik embryo incision (UBER-HKI 2012) untuk meningkatkan jumlah bibit kelapa kopyor yang dihasilkan. Hasil penelitian mandiri tersebut telah kami ajukan untuk mendapatkan hak patent pada tahun 2012. Mulai tahun 2013, kami mendapatkan dana penelitian HIBAH BERSAING untuk mengembangkan metode perbanyakan tanaman kelapa kopyor melalui teknik embryo splitting.

(17)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100 9

biokimia (Sisunandar et al., 2014; Sisunandar et al., 2010a; Sisunandar et al., 2010b; Sisunandar et al., 2012) antara bibit kelapa kopyor berhasil diaklimatisasikan dengan teknik ex vitro rooting dengan bibit kelapa hasil pembibitan secara alami. Target yang diharapkan adalah diperolehnya data perbandingan morfologi anatomi dan biokimia antara kedua macam bibit tersebut sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan faktor internal yang berpengaruh terhadap keberhasilan aklimatisasi kelapa kopyor.

(18)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

10

Gambar 2.1 Road map penelitian kelapa kopyor di Laboratorium Genetika dan Botani, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Huruf dengan warna dan dalam kotak dengan tulisan SINAS 2015 merupakan progam penelitian yang akan dilakukan dalam kegiatan ini.

(19)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

11

penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dasar keragaman genetika kelapa kopyor baik secara morfologi, fisiologi, sitologi maupun molekuler (Gambar 2.1). Data dasar tersebut sangat penting dilakukan dalam rangka perakitan kelapa kopyor hibrida pada tahap penelitian berikutnya. Pada tahun ketiga juga akan dikembangkan teknik penanda molekuler (molecular marker) guna deteksi dini apakah kelapa bibit kelapa yang dihasilkan adalah bibit kelapa kopyor ataukah bibit kelapa normal. Untuk melakukan hal tersebut, penelitian akan bekerjasama dengan CIRAD Perancis. Kerjasama dengan Perancis telah lama dilakukan oleh tim penelitian ini mulai tahun 2006-2007, peneliti utama telah melakukan visiting student di institusi tersebut dan dilanjutkan dengan postdoctoral research fellows pada tahun 2009. Mulai tahun 2012, tim ini menjadi pemenang program Nusantara yang dilakukan oleh Kementerian Riset dan Teknologi

6. Setelah tanaman kelapa yang dibudidayakan telah berbuah (sekitar 3 tahun untuk kelapa genjah dan 5 tahun untuk kelapa dalam) maka dilakukan seleksi pohon kelapa kopyor yang unggul dari kedua jenis tersebut. Dari seleksi tersebut diharapkan diperoleh kelapa kopyor genjah dan kelapa kopyor dalam yang menghasilkan buah kopyor dengan rasa yang lebih enak dibandingkan yang lain. Selanjutnya dari kedua jenis kelapa tersebut akan dilakukan uji persilangan (breeding program) guna menghasilkan kelapa kopyor hibrida unggul nasional yang akan disebarkan ke petani dan dunia industri untuk dibudidayakan.

7. Upaya pelestarian plasma nutfah kelapa kopyor melalui bioteknologi seperti teknik konservasi jangka pendek dan menengah (short- to medium-term conservation) serta melalui penyimpanan jangka panjang (cryopreservation) juga perlu dilakukan sebagai back up bagi kebun plasma nutfah.

(20)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

12

seperti movie world, dream world dan sea world, namun dalam hal ini coconut world. Proyek theme park ini merupakan gabungan dari rekreasi dan pendidikan.

Dari kegiatan tersebut telah dihasilkan 5 artikel yang telah dipublikasi di journal internasional ternama dengan impact factor antara 1 ,0 - 3,6, satu hak paten, beberapa paper yang presentasikan di seminar nasional dan internasional. Artikel yang telah dipublikasikan tersebut antara lain :

Sisunandar, Rival, A., Turquay, P., Samosir, Y. & Adkins, S. W. (2010). Cryopreservation of coconut (Cocos nucifera L.) zygotic embryos does not induce morphological, cytological or molecular changes in recovered seedlings. Planta. 232: 435 - 447.

Sisunandar, Sopade, P. A., Samosir, Y., Rival, A. & Adkins, S. W. (2010). Dehydration improves cryopreservation of coconut (Cocos nucifera L.). Cryobiology. 61: 289–296.

Sisunandar, Sopade, P. A., Samosir, Y., Rival, A. & Adkins, S. W. (2012). Conservation of coconut (Cocos nucifera L.) germplasm at sub-zero temperature. CryoLetters. 33: 465-475.

Sisunandar, Novarianto, H., Mashud, N., Samosir, Y.M.S.& Adkins, S.W. (2014). Embryo maturity plays an important role for the successful cryopreservation of coconut (Cocos nucifera). In vitro Cellular & Developmental Biology-Plant. 50 : 688-685.

Nguyen, Q.T., Bandupriya, H.D.D., Lopez-Villalobos, A., Sisunandar, Foale, M., &Adkins, S.W. (2015). Tissue culture and assoociated biotechnological interventions for the improvement of coconut (Cocos nucifera L.) : A review. Planta. 242 : 1059 - 1076.

(21)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

13

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Sampai saat ini teknik aklimatisasi bibit kelapa kopyor dengan tingkat keberhasilan yang tinggi (di atas 70 %) belum tersedia di Indonesia oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan teknik ex vito rooting guna meningkatkan keberhasilan aklimatisasi bibit kelapa kopyor true to type serta melakukan studi perbandingan morfologi, anatomi dan fisiologi antara bibit kelapa kopyor hasil aklimatisasi dengan teknik ex vitro rooting dengan bibit kelapa yang dihasilkan secara alami.. Untuk mencapai tujuan utama tersebut dua langkah penelitian akan dilakukan, dengan tujuan sebagai berikut :

1. Mengembangkan protokol ex vitro rooting guna meningkatkan keberhasilan aklimatiasi melalui uji pengaruh faktor lingkungan terhadap keberhasilan aklimatiasi plantlet kelapa kopyor meliputi uji pengaruh zat pengatur tumbuh dan uji pengaruh lingkungan

2. Menguji perbandingan morfologi, anatomi dan biokimia (Sisunandar et al., 2014; Sisunandar et al., 2010a; Sisunandar et al., 2010b; Sisunandar et al., 2012) antara bibit kelapa kopyor berhasil diaklimatisasikan dengan teknik ex vitro rooting dengan bibit kelapa hasil pembibitan secara alami.

3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian tentang pengembangan protokol embryo splitting untuk penyediaan bibit kelapa kopyor sangat penting dilakukan mengingat tingginya nilai ekonomi kelapa kopyor dan belum tersedianya protokol yang memadai. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan luaran jangka pendek dan jangka panjang yang penting dalam pengembangan ipteks, menunjang pembangunan nasional khususnya berdampak ekonomi dan sosial, serta berperan penting dalam pengembangan institusi khususnya Laboratorium Genetika dan Botani (LGB), Program Studi Pendidikan Biologi, maupun bagi Universitas Muhammadiyah Purwokerto pada umumnya.

(22)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

14

dibandingkan dengan protokol sebelumnya. Disamping itu dari penelitian ini juga diharapkan dapat dihasilkan data tentang keragaman morfologi, sitologi, biokimia dan molekuler dari bibit yang dihasilkan dari teknik tersebut sehingga layak untuk dipublikasikan. Target minimal yang ingin dicapai adalah satu artikel di jurnal internasional dapat dipublikasikan dari penelitian ini dan satu artikel yang dipublikasikan di jurnal nasional terakreditasi setelah kegiatan penelitian ini berakhir.

Luaran jangka panjang yang diharapkan dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah dengan dihasilkannya bibit kelapa kopyor true to type maka dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama (1 sampai 3 tahun setelah penelitian ini berakhir), bibit dapat ditanam di lapang untuk kemudian dijadikan kebun plasma nutfah kelapa kopyor pertama di Indonesia. Diharapkan dapat ditanam dua type kelapa kopyor, yaitu dalam dan genjah, sehingga dalam jangka panjang (10 – 15 tahun) akan dapat dihasilkan kelapa hibrida kopyor yang unggul. Kebun plasma nutfah ini akan menjadi pusat penelitian kelapa kopyor pertama di Indonesia dan bahkan dunia. Sifat kelapa kopyor dengan endoserm yang lembut memungkinkan peneliti tanaman lain khususnya tanaman berbiji untuk mengaplikasikan gen yang terdapat pada kelapa kopyor ke tanaman lain sehingga diperoleh tanaman pangan dengan tekstur yang lebih lembut dibandingkan dengan tekstur tanaman pangan yang tersedia saat ini.

Menunjang Pembangunan Nasional. Dampak jangka pendek yang diperoleh dari penelitian ini adalah dihasilkannya bibit kelapa kopyor yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi, Harga bibit mencapai hampir 500 ribu rupiah per bibit (Mashud and Manaroinsong, 2007). Namun penelitian ini lebih mementingkan pencapaian jangka panjang, berupa pembangunan kebun plasma nutfah kelapa kopyor. Selanjutnya dengan dihasilkan kelapa kopyor hibrida unggul akan sangat menunjang pendapatan petani kelapa di Indonesia. Seperti diketahui petani kelapa di Indonesia mencapai lebih dari 3 juta orang dan merupakan petani miskin (Mahmud and Ferry, 2005). Dengan menanam kelapa kopyor hibrida unggul tersebut diharapkan petani akan meningkat pendapatannya seiring dengan tingginya harga kelapa kopyor (Novarianto et al., 2005). Tersedianya produk kelapa kopyor selanjurnya dalam jangka panjang diharapkan akan memacu tumbuhnya industri pangan kelapa kopyor dan memacu eksport buah kelapa kopyor seperti yang terjadi pada saat ini di Philippina dengan kelapa makapuno.

(23)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

15

tahun terakhir. Penelitian melibatkan mahasiswa tahap akhir yang menggunakan topik tentang kelapa kopyor sebagai bahan skripsi mereka. Sampai saat ini proyek penelitian kelapa kopyor telah meluluskan dua orang mahasiswa, sedangkan empat orang mahasiswa yang sedang melakukan penelitian. Sebagian besar biaya penelitian khususnya kelapa kopyor yang digunakan dibiayai oleh peneliti utama secara mandiri. Dengan adanya penelitian hibah bersaing ini, kegiatan penelitian skripsi mahasiswa dapat terbantu dan semakin banyak mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan ini.

Di tingkat laboratorium, kegiatan penelitian ini akan meningkatkan capacity

building. Laboratorium memiliki fasilitas laboratorium kultur jaringan, memiliki

spektrofometer guna menunjang penelitian biokimia dan memiliki mikroskup fluoresecent guna menunjang penelitian sitologi. Pemanfaat peralatan yang dimiliki masih tergolong rendah, lebih menitikberatkan dalam kegiatan praktikum. Penelitian dosen yang masih kurang dalam memanfaatkan fasilitas yang ada, sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memicu penelitian-penelitian dosen yang lain di bidang yang sejenis.

Di tingkat universitas, kegiatan penelitian dosen khususnya penelitian hibah bersaing masih cukup rendah, rata-rata sekitar 2 judul per tahun. Dengan jumlah dosen yang mencapai lebih dari 300 orang maka jumlah tersebut masih sangat rendah. Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memicu aktivitas penelitian yang lebih banyak lagi.

(24)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

16

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Bahan Penelitian

Penelitian ini direncanakan meliputi dua topik utama, yaitu optimasi teknik ex vitro rooting untuk aklimatisasi bibit kelapa kopyor dengan target meningkatkan keberhasilan aklimatisasi plantlet kelapa kopyor tanpa akar dari 0 % menjadi 70 % dan studi perbandingan morfologi, anatomi dan biokimia antara bibit kelapa kopyor yang berhasil diaklimatisasikan dengan bibit kelapa yang dihasilkan secara alami guna menjelaskan faktor penyebab kegagalan aklimatisasi bibit kelapa kopyor. Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Genetika dan Botani (LGB), Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP). Bahan yang digunakan adalah plantlet kelapa kopyor yang diperoleh dari perkecambahan embryo kelapa secara in vitro (Gambar 4.1). Teknik in vitro kelapa kopyor tersebut telah berhasil dikembangkan dan menjadi kegiatan rutin di LGB-UMP.

4.2 Optimasi Teknik Ex-vitro Rooting

Kendala utama yang dihadapi pada produksi bibit kelapa kopyor melalui teknik kultur embryo adalah rendahnya keberhasilan aklimatisasi sebagai akibat dari banyaknya bibit yang memiliki akar yang tidak fungsional atau bahkan tidak memiliki akar (di atas 50 %; Sukendah et al., 2008). Pendekatan yang banyak dilakukan untuk mengaklimatisasikan plantlets kelapa kopyor yang tidak memiliki akar yang fungsional adalah dengan menginduksi akar terlebih dahulu secara in vitro selama sekitar 2 bulan sebelum diaklimatisasikan (Sukendah et al., 2008; Mashud, 2010). Namun resiko kontaminasi dan biaya yang tinggi serta waktu yang relatif lama menjadi kendala utama tahapan tersebut.

Teknik aklimatisasi plantlet kelapa kopyor dengan menggunakan alat Mini Growth

Chamber yang berhasil dikembangkan di LGB-UMP (Gambar 4.2). Pada alat tersebut,

(25)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

17

Gambar 4.1 Bagan alir tahapan pengembangan protokol kultur embryo kelapa kopyor.

(26)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

18

Keunggulan yang lain tahap induksi akar yang dilakukan secara ex vitro akan meniadakan resiko kontaminasi dan menurunkan biaya produksi yang dibutuhkan.

Pada penelitian ini akan optimasi teknik ex vitro rooting dengan cara dilakukan uji zat pengatur tumbuh dan uji pengaruh lingkungan.

4.3 Uji pengaruh Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

Tiga macam zat pengatur tumbuh akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu zat penginduksi akar komersial (Rotone F), dan dua zat pengatur tumbuh auksin, asam napthalene asetat (NAA) dan asam indole butirat (IBA). ZPT komersial akan diaplikasikan sesuai petunjuk penggunaannya, sedangkan NAA dan IBA akan dicampurkan ke dalam medium tanam dengan konsentrasi 10-6 M. setiap perlakuan digunakan 20 plantlets dan diulang sebanyak 3 kali.

Bahan yang digunakan adalah plantlet kelapa kopyor tanpa akar yang fungsional (Gambar 4.2) berumur sekitar 4 bulan kultur yang diperoleh dari tahapan kultur embryo kelapa kopyor (Gambar 4.1). Plantlet akan dipelihara di dalam mini growth chamber selama 3 bulan dengan metode seperti yang telah dilakukan di LGB-UMP. Setelah 3 bulan kultur dilakukan pengataman terhadap parameter persentase plantlets yang berhasil hidup (survival) setelah 3 bulan, pertambahan berat basah, tinggi plantlets, jumlah daun, jumlah akar dan panjang akar. Bahan yang digunakan dan cara pelaksanaan akan dilakukan seperti pada 4.3.1.

4.4 Uji Pengaruh Lingkungan

Tiga kondisi lingkungan akan digunakan dalam penelitian ini yaitu ruang kultur jaringan, screen house dengan intensitas cahaya 50% dan screen house dengan intensitas cahaya 100 % (tanpa screen peneduh). Pada ketiga kondisi tersebut akan dimonitor secara terus menerus data intensitas cahaya, suhu dan kelembapan.

(27)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

19

Gambar 4.2 Mini growth chamber yang akan digunakan dalam induksi kalus secara ex vitro (ex vitro rooting) untuk kategori plantlet dengan akar yang tidak fungsional.

4.5 Studi Perbandingian Morfologi, Anatomi dan Biokimia

Topik penelitian kedua yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah studi perbandingan morfologi, anatomi dan biokimia antara bibit kelapa kopyor yang berhasil diaklimatisasikan dengan bibit kelapa yang dihasilkan secara alami guna menjelaskan faktor penyebab kegagalan aklimatisasi bibit kelapa kopyor

(28)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

20 4.5.1 Uji Morfologi

Data morfologi yang akan diobservasi meliputi pertambahan tinggi pohon, jumlah daun dan panjang daun. Metode yang akan digunakan untuk pengambilan data adalah metode Sisunandar et al. (2014b).

4.5.2 Uji Anatomi

Uji anatomi digunakan untuk mengamati anatomi daun berupa struktur stomata dan densitas stomata pada permukaan atas dan permukaan bawah daun dari seluruh sampel yang digunakan. Dari setiap plantlet diambil satu sampel daun kedua dari ujung yang telah terbuka dan dilakukan secara duplo seperti pada metode Samosir & Adkins (2014). Penghitungan jumlah stomata yang normal (terbuka di siang hari dan menutup di malam hari) juga dilakukan pada seluruh plantlet yang digunakan dengan cara yang sama. Uji anatomi juga dilakukan dengan membuat penampang melintang daun dari seluruh sampel yang digunakan. Pembuatan preparat penampang melintang dilakukan dengan metode Sisunandar et al. (2014a).

4.5.3 Uji Biokimia

Uji biokimia dilakukan untuk menguji apakah fotosintesis bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo menunjukkan genetika yang beragam atau seragam. Data yang diambil meliputi kadar klorofil dan kadar lapisan epicuticular-wax. Metode yang digunakan adalah metode Samosir & Adkins (2014).

4.6 Analisis Data

(29)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

5.2.1 Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Keberhasilan Ex Vitro Rooting dan Aklimatisasi Bibit Kelapa Kopyor

(30)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

22

Hasil penelitian pada bibit kelapa kopyor tanpa akar (Gambar 5.1 A) yang ditanam pada medium dengan penambahan asam indol butirat (IBA) menunjukkan bahwa teknik ex vitro rooting berhasil menginduksi akar secara ex vitro serta meningkatkan kelulushidupan bibit selama proses induksi akar dan aklimatisasi. Teknik ex vitro rooting tanpa tanpa penambahan ZPT berhasil meningkatkan keberhasilan aklimatisasi sampai 60 % (Gambar 5.2 A), sedangkan pemeliharaan bibit pada medium dengan penambahan 10-6 M IBA berhasil meningkatkan tingkat kelulushidupan sampai di atas 90 % (Gambar 5.1 B dan Gambar 5.2 A). Pemberian perlakuan dengan menggunakan IBA pada konsentrasi yang lebih tinggi (5x10-6 dan 10-5 M) tidak menghasilkan tingkat kelulushidupan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan sebelumnya (Gambar 5.1 C-D serta Gambar 5.2 A).

Gambar 5.1 Bibit kelapa kopyor tanpa akar sebelum percobaan (A) dibandingkan dengan bibit kelapa kopyor sesudah 3 bulan kultur pada medium dengan penambahan asam indol butirat (IBA) dengan konsentrasi 10-6 M (B), 5x10-6 M (C) dan 10-5 M (D). Bibit ditanam di dalam mini growth chamber dengan menggunakan teknik ex vitro rooting.

(31)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

23

dengan penambahan 10-5 M NAA hanya menghasilkan bibit dengan tingkat kelulushidupan sekitar 20 %.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak semua bibit yang berhasil hidup setelah tiga bulan kultur mampu diinduksi pembentukan akarnya secara ex vitro (Gambar 5.2 B). Pada medium tanpa penambahan ZPT, tingkat keberhasilan induksi akar secara ex vitro berkisar 60 %, sedangkan pada medium dengan penambahan 10-6 M IBA berhasil menginduksi akar hampir 70 %. Penambahan ZPT dengan konsentrasi yang lebih tinggi justru menurunkan keberhasilan induksi akar secara ex vitro. Hal yang sama juga ditunjukkan dengan penambahan NAA ke dalam medium tanam ayng tidak efektif meningkatkan keberhasilan induksi akar.

Gambar 5.2 Hasil uji pengaruh zat pengatur tumbuh asam indol butirat (IBA; ) dan asam naftalena asetat (NAA ; ) yang ditambahkan ke dalam medium tanam terhadap tingkat kelulushidupan (survival rate) dari bibit kelapa kopyor tanpa akar yang ditanam dengan menggunakan teknik ex vitro rooting (A) dan persentase bibit yang berhasil diinduksi akar (B) setelah 3 bulan kultur di dalam mini growth chamber. Huruf yang sama yang mengikuti setiap diagram batang menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda secara signifikan berdasarkan uji Fisher’s Least Significant Differences (LSD) dengan tingkat kepercayaan 95 %.

(32)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

24

yang terbuka secara signifikan setelah tiga bulan (Gambar 5.3). Pada medium tanpa penambahan ZPT (kontrol), tinggi bibit, berat basah maupun jumlah daun terbuka tidak meningkat secara signifikan meskipun telah dipelihara selama tiga bulan, sedangkan medium dengan penambahan IBA berhasil meningkatkan ciri-ciri morfologi bibit kelapa kopyor yang dipelihara dengan menggunakan teknik ex vitro rooting. Perlakuan penambahan IBA ke dalam medium tanam berhasil meningkat tinggi bibit dari sekitar 20 cm menjadi di atas 25 cm setelah 3 bulan tanam, meningkatkan berat basah bibit dari sekitar 4 gram per bibit menjadi sekitar 6 gram per bibit serta meningkatkan jumlah daun terbuka dari bibit dengan 2 daun terbuka menjadi bibit dengan tiga daun terbuka (Gambar 5.3).

Penambahan NAA ke dalam medium tanam menunjukkan tidak mampu meningkatkan pertumbuhan bibit secara signifikan. Berdasarkan pengamatan ciri-ciri morfologi menunjukkan bahwa tinggi bibit kelapa kopyor, berat basah maupun jumlah daun tidak bertamban secara signifikan setelah 3 bulan tanam (Gambar 5.3).

(33)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

25

(34)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

26

Gambar 5.4 Bibit hasil ex vitro rooting yang telah dipindahkan ke lingkungan ekternal selama 2 bulan dengan tingkat keberhasilan yang tinggi (A). Bibit tanpa akar maupun dengan akar berhasil tumbuh dengan baik dan terinduksi akar selama tahap penanaman pada lingkungan ekternal di screen house.

5.2.2 Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Keberhasilan Ex Vitro Rooting dan Aklimatisasi Bibit Kelapa Kopyor

Hasil penelitian pengaruh intensitas cahaya terhadap keberhasilan ex vitro rooting bibit kelapa kopyor menunjukkan bahwa pemeliharaan pada intensitas cahaya yang tinggi (10.000 - 12.000 lux) dengan cara dipelihara di bawah sinar matahari secara langsung mengakibatkan seluruh bibit yang ditanam mati hanya dalam waktu 5 hari (Gambar 5.5). Hasil pengukuran temperatur dan kelembapan udara menunjukkan bahwa penempatan alat mini growth chamber di bawah sinar matahari secara langsung mengakibatkan temperatur meningkat sampai 48 0C pada siang hari dari pukul 10.00 - 13.00 sedangkan temperatur turun menjadi sekitar 30 0C pada malam hari. Tingginya temperatur udara tersebut mengakibatkan seluruh bibit yang dipelihara di dalam alat tersebut memiliki daun yang terbakar (Gambar 5.5.A).

(35)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

27

Gambar 5.5 Hasil uji pengaruh intensitas cahaya terhadap keberhasilan induksi akar dan aklimatisasi bibit kelapa kopyor. A. Seluruh bibit yang ditanam di bawah sinar matahari secara langsung (intensitas cahaya 10.000-12000 lux) mati karena terbakar, B. Bibit yang ditanam dibawah screen house dengan intensitas cahaya 5000 - 6000 lux mengakibatkan sebagian besar bibit mati dan hanya sekitar 20 % dari bibit yang ditanam mampu bertahan setelah 3 bulan aklimatisasi (C).

5.2.3 Studi Perbandingan Anatomi dan Biokimia Bibit Kelapa Kopyor Hasil Kultur Jaringan

Hasil studi perbadingan anatomi daun bibit kelapa antara bibit kelapa hasil kultur jaringan dalam kondisi in vitro dengan bibit kelapa setelah melalui tahapan ex vitro rooting selama 3 bulan serta bibit kelapa setelah melewati tahapan aklimatisasi di screen house selama 3 bulan maupun dibandingkan dengan bibit kelapa kopyor yang dipelihara secara alami menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok bibit tersebut.

(36)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

28

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa ketebalan jaringan palisade parenkim juga menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan bertambahnya umur bibit. Perlakuan ex vitro rooting mampu meningkatkan ketebalan jaringan palisade parenkim secara signifikan jika dibandingkan dengan bibit yang dipelihara secara in vitro. Namun demikian ketebalan jaringan palisade parenkim pada bibit hasil kultur jaringan masih lebih tipis jika dibandingkan dengan bibit kelapa kopyor hasil pembibitan secara alami (Gambar 5.6 dan 5.7). Pada pengukuran jaringa yang lain seperti ketebalan jaringan spon parenkim, lapisan epidermis atas maupun lapisan epidermis bawah tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara bibit kelapa kopyor in vitro dibandingkan dengan bibit kelapa kopyor setelah ex vitro rooting selama 3 bulan maupun pemeliharaan di screen house selama 3 bulan (Gambar 5.6).

(37)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

29

Gambar 5.7 Contoh irisan melintang yang dilakukan pada daun bibit kelapa in vitro (A), bibit setelah ex vitro rooting selama 3 bulan (B), bibit setelah aklimatisasi di screen house selama 3 bulan, serta bibit kelapa kopyor yang dipelihara secara alami sebagai kontrol (D).

Hasil penghitungan jumlah stomata setiap mm2 daun menunjukkan adanya peningkatan jumlah stomata yang signifikan antara bibit kelapa kopyor dalam kondisi in vitro dibandingkan dengan bibit kelapa kopyor setelah proses ex vitro rooting selama 3 bulan maupun bibit kelapa kopyor setelah aklimatisasi di screen house selama 3 bulan. Namun demikian, peningkatan jumlah stomata yang signifikan hanya terjadi pada permukaan bawah daun, sedangkan pada permukaan atas daun tidak ada perubahan secara signifikan (Gambar 5.8). Jika dibandingkan dengan tanaman kontrol, jumlah stomata setiap mm2 luas yang lebih tinggi berhasil diamati pada daun yang berasal dari bibit yang diaklimatisasi di screen house selama 3 bulan. Perbedaan yang signifikan tersebut hanya terjadi pada permukaan atas daun, sedangkan pada permukaan bawah daun tidak berbeda secara signifikan.

(38)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

30

Gambar 5.8 Hasil penghitungan jumlah stoma pada permukaan atas dan permukaan bawah daun kelapa yang diisolasi dari bibit in vitro, bibit hasil ex vitro rooting selama 3 bulan, bibit hasil aklimatisasi selama 3 bulan di screen house serta bibit kelapa kopyor hasil pembibitan secara alami sebagai kontrol.

(39)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

31 5.4 Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo berhasil diiinduksi akar dan diaklimatisasikan dengan tingkat keberhasilan yang tinggi dengan menggunakan teknik ex vitro rooting. Bibit hasil kultur embryo yang tidak memiliki akar berhasil diaklimatisasikan ke kondisi ex vitro dengan menggunakan alat mini growth chamber dengan tingkat keberhasilan tinggi, yaitu di atas 60 % (Gambar 5.1 dan 5.2). Bibit berhasil membentuk akar secara ex vitro setelah tiga bulan dipelihara dengan di dalam mini growth chamber. Hasil penelitian ini menunjukkan terobosan baru dalam aklimatisasi bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo. Tingkat keberhasilan aklimatisasi bibit kelapa kopyor sampai saat ini hanya berkisar anatara 20 - 30 % (Mashud, 2010; Sukendah, 2009). Bahkan, hampir 50 % bibit yang dihasilkan dari kultur embryo tidak memiliki akar yang fungsional sehingga hampir seluruh bibit akan mati jika diaklimatisasikan secara konvensional (Sukendah, 2009; Sukendah et al., 2008). Teknik ex vitro rooting mampu meningkatkan kelulushidupan bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo yang tidak memiliki akar menjadi lebih dari 60 %. Keberhasilan ini diduga erat kaitannya dengan teknik aklimatisasi yang baru dan didesain khusus untuk aklimatisasi bibit kelapa kopyor, yaitu mini growth chamber.

Hasil penelitian yang lebih baik ditunjukkan dengan menambahkan 10-6 M IBA ke dalam medium tanam. Tingkat kelulushidupan bibit kelapa kopyor dengan perlakuan tersebut dapat mencapai 90 %. Namun demikian penggunaan IBA dengan konsentrasi yang lebih tinggi maupun penggunaan auksin jenis lain (NAA) tidak mampu menghasilkan tingkat kelulushidupan yang lebih tinggi (Gambar 5.1 - 5.2). Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa IBA mempunyai sifat yang lebih baik dan efektif untuk induksi akar daripada senyawa auksin yang lain seperti IAA dan NAA (Hung et al., 2006; Salisbury and Ross, 1992).

Penelitian induksi akar dengan menggunakan IBA telah banyak dilakukan pada berbagai spesies tanaman. Pada tumbuhan hasil persilangan Prunus persica x P.

amygdalus, penambahan 25 µM IBA dapat meningkatkan induksi akar dari 0 hingga 100%

(40)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

32

menjadi 83 % (Nordstom, 1991). Keberhasilan induksi akar tumbuhan Vitis vinifera L. cv. Perlette juga berhasil ditingkatkan dari 0 menjadi 80 % pada medium dengan penambahan 10 µM IBA (Jaskani et al., 2008).

IBA banyak digunakan untuk meninduksi akar pada kultur jaringan karena memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik dibandingkan dengan senywa auksin yang lain. Pada tanaman Wasabia janopinca Miq. Matsumura, penambahan IBA ke dalam medium tanam dapat meningkatkan induksi akar sampai 100 % sedangkan penambahan auksin lain seperti IAA dan NAA memiliki tingkat keberhasilan yang lebih rendah, yaitu hanya 72 – 88 % (Hung et al., 2006). Hasil yang serupa juga ditunjukkan pada tanaman Dendrobium

chrysotoxum Lindl.cv. Golden Boy dimana penambahan IBA sebesar 0,1 µM dapat

menginduksi akar sampai 97 %, sedangkan dengan menggunakan NAA hanya mampu menginduksi akar sekitar 85 % (Gantait et al., 2009).

Hasil penelitian studi perbadingan anatomi bibit kelapa kopyor in vitro dengan bibit kelapa kopyor sesudah ex vitro rooting dan aklimatisasi di screen house menunjukkan adanya peningkatan ketebalan daun khususnya dalam hal ketebalan jaringan palisade parenkim (Gambar 5.6 dan 5.7) maupun jumlah stoma khususnya pada jumlah stomata pada permukaan bagian bawah daun (Gambar 5.8).

(41)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

33

hasil penelitian juga menunjukkan bahwa bibit selama proses ex vitro rooting dan aklimatisasi memiliki kadar klorofil total yang lebih rendah dibandingkan dengan bibit selama proses in vitro (Gambar 5.9). Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa pada beberapa tanaman proses aklimatisasi akan menurunkan kadar klorofil total (Paspisilova et al., 1999). Akibatnya tanaman akan mengalami penurunan laju pertumbuhan selama proses adaptasi dengan kondisi ex vitro (Minocha et al., 2009). Kadar klorofil total akan meningkat dengan berjalannya waktu setelah tanaman melewati tahap adaptasi. Hal ini terbukti dengan meningkatnya kadar klorofil total selama proses ex vitro rooting dan aklimatisasi, meskipun peningkatan tersebut tidak sifnifikan. Hal ini sesuai dengan penelitian Minocha et al. (2009) yang menunjukkan adanya peningkatan kadar klorofil total setelah tanaman berhasil diaklimatisasi dengan kondisi ex vitro.

Secara umum penelitian ini berhasil membuktikan bahwa bibit yang dihasilkan dengan menggunakan teknik in vitro membutuhkan perlakuan khusus selama proses aklimatisasi sebelum bibit tersebut ditanaman di lapang.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh hasil sebagai berikut (Tabel 5.3).

(42)
(43)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

35

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapar disimpulkan bahwa :

1. Teknik ex vitro rooting berhasil diaplikasikan untuk induksi akar dan aklimatisasi bibit kelapa kopyor yang dihasilkan secara in vitro dengan tingkat keberhasilan yang tinggi (di atas 90 %)

2. Pada medium dengan penambahan 10-6 M IBA berhasil diinduksi pembentukan akar primer maupun sekunder secara ex vitro bersaam dengan proses aklimatisasi dengan tingkat keberhasilan di atas 65 %

3. Pemeliharaan bibit kelapa kopyor dengan menggunakan teknik ex vitro rooting yang dipelihara dengan intensitas cahaya yang tinggi, sinar matahari secara langsung (10.000 - 12.000 lux) maupun di bawah screen house (5.000 - 6.000 lux) tidak mampu menghasilkan bibit dengan persentase keberhasilan yang tinggi. 4. Hasil penelitian studi perbadingan anatomi bibit kelapa kopyor in vitro dengan bibit

kelapa kopyor sesudah ex vitro rooting dan aklimatisasi di screen house menunjukkan adanya peningkatan ketebalan daun khususnya dalam hal ketebalan jaringan palisade parenkim maupun jumlah stoma khususnya pada jumlah stomata pada permukaan bagian bawah daun.

5. Proses ex vitro rooting dan aklimatisasi berhasil meningkatkan kadar klorofil khususnya klorofil-a sehingga proses fotosintesis dapat berjalan dengan baik. 6.2 Saran

Dari hasil penelitian dapat disarankan untuk menggunakan teknik ex vitro rooting dapam produksi bibit kelapa kopyor melalaui kultur embryo. Di samping teknik tersebut memberikan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi juga mampu mempersingkat proses kultur sehingga lebih murah dan cepat. Teknik ex vitro rooting dan aklimatisasi dapat dilakukan dengan tingkat keberhasilan tinggi dengan menggunakan alat Mini growth Chamber.

(44)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

36

Batugal P., Oliver J., Jayashree K. (2005) Poverty reduction in coconut growing communities: A strategy for coconut in situ / on-farm conservation. In: Batugal P., Ramanatha Rao V., Oliver J. (eds), Coconut Genetic Resources. International Plant Genetic Resources Institute-Regional Office for Asia, the Pacific and Oceania (IPGRI-APO), Serdang, Selangor DE, Malaysia: 161 - 189.

Engelmann F., Batugal P. (2002) Background on the development and implementation of the coconut embryo in vitro culture project. In: Engelmann F., Batugal P., Oliver J. (eds), Coconut Embryo In Vitro Culture Part II. International Plant Genetic Resources Institute-Regional Office for Asia, the Pacific and Oceania (IPGRI-APO), Serdang, Selangor DE, Malaysia: 1 - 6.

FAO. (2011) FAOSTAT Data. Retrieved from: http://faostat.fao.org/. 3 March 2011. Fife B.F. (2006) Coconut oil and health. In: Adkins S.W., Foale M., Samosir Y.M.S. (eds).

Coconut Revival-New Posibilities for the 'Tree of Life'. Proceeding of the

International Coconut Forum held in Cairns, Australia, 22 - 24 November 2005,

ACIAR Proceeding No. 125: 49 - 56.

Foale M. (2003) The Coconut Odyssey: The Bounteous Possibilities of the Tree of Life. ACIAR, Canbera.

Fotopoulus S., Sotiropoulus T.E. (2005) In vitro rooting of PR 204/84 rootstock (Prunus persica x P. amygdalus) as influenced by mineral concentration of the

culture medium and exposure to darkness for a period. Agronomy Research, 3, 3

- 8.

Gantait S., Mandal N., Das P.K. (2009) Impact of auxins and activated charcoal on in

vitro rooting of Dendrobium chrysotoxum Lindl. cv. Golden Boy. Journal of

Tropical Agriculture, 47, 84 - 86.

George E.F. (2008) Plant tissue culture procedure - Background. In: George E.F., Hall M.A., Jan De Klerk G. (eds), Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition. Springer, Dordrecht, The Netherlands: 1 - 28.

George E.F., Debergh P.C. (2008) Micropropagation: Uses and Methods. In: George E.F., Hall M.A., Jan De Klerk G. (eds), Plant Propagation by Tissue Culture 3rd

Edition. Springer, Dordrecht, The Netherlands: 29 - 64.

Hung C.D., Jiohnson K., Tropy F. (2006) Liquid culture for efficient micropropagation

of Wasabia japonica (Miq.) Matsumura. In vitro Cellular & Developmental

Biology-Plant, 42, 548 - 552.

Hutapea R.T.P., Mashud N., Maskromo I. (2007) Keragaan usahatani dan analisis

finansial kelapa kopyor di Indonesia. Buletin Palma, 33, 43 - 59.

Jaskani M.J., Abbas H., Sultana R., Khan M.M., Qasim M., Khan I.A. (2008) Effect of

growth hormones on micropropagation of Vitis vinifera L. CV. Perlette. Pakistan

Journal of Botany, 40, 105 - 109.

Kaeppler S.M., Phillips R.L. (1993) Tissue culture-induced DNA methylation variation

in maize. Proceedings of the National Academy of Science, 90, 8773 - 8776.

Karun A., Sajini K.K., Parthasarathy V.A. (2002) Increasing the efficiency of embryo culture to promote germplasm collecting in India. In: Engelmann F., Batugal P., Oliver J. (eds), Coconut Embryo In Vtro Culture : Part II. International Plant Genetic Resources Institute-Regional Office for Asia, the Pacific and Oceania (IPGRI-APO),, Serdang, Selangor DE, Malaysia: 7 - 29.

(45)

insentif.ristek.go.id Tue, 29 Sept 15 14:50:46 +0100

37

Genetic Resources Institute-Regional Office for Asia, the Pacific and Oceania (IPGRI-APO),, Serdang, Selangor DE, Malaysia: 89 - 108.

Magdalita P.M., Damasco O.P., Adkins S.W. (2010a) Effect of medium replenishment and acclimatization technique on growth and survival of embryo cultured

coconut seedlings. Philippine Science Letters, 3, 1 - 9.

Magdalita p.M., Damasco O.P., Adkins S.W. (2010b) Effect ofEffect of medium replenishment and acclimatization technique on growth and survival of embryo

cultured coconut seedlings. Philippine Science Letters. 3: 1 - 9. Philippine Science

Letters, 3, 1 - 9.

Mahmud Z., Ferry Y. (2005) Prospek pengolahan hasil samping buah kelapa. Perspektif, 4, 55 -63.

Mashud N. (2010) Pengembangan metode kultur embryo kelapa kopyor yang lebih

efisien (30 %). In: Laporan Penelitian Program Insentif Riset Terapan, Balai

Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado.

Mashud N., Manaroinsong E. (2007) Teknik Kultur embryo untuk pengembangan

kelapa kopyor. Buletin Palma, 33, 37 - 44.

Maskromo I., Mashud N., Novarianto H. (2007) Potensi pengembangan kelapa kopyor

di Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan, 13, 4-6.

Maskromo I., Novarianto H. (2007) Potensi genetik kelapa kopyor genjah. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 29, 3-5.

Maskromo I., Novarianto H. (2008) Perbanyakan kelapa kopyor secara alami. In:

Monograp Kelapa Kopyor. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain,

Manado, Indonesia.

Mc Clintock B. (1984) The significant of response of the genome to challenge. Science,

226, 792 - 801.

Minocha R., Martinez G., Lyons B., Long S. (2009) Development of a standardized methodology for quantifying total chlorophyll and carotenoids from foliage of

hardwood and conifer tree species. Canadian Journal of Forest Research, 39,

849 - 861.

Montero-Cortes M., Saenz T., Cordova I., Quiroz A., Verdeil J.L., Oropeza C. (2010) GA3

stimulates the formation and germination of somatic embryops and the

expression of a KNOTTED-like homeobox gene of Cocos nucifera (L.). Plant Cell

Report, 29, 1049 - 1059.

N'Nan O., Hocker V., Verdeil J.L., Konan J.L., Balo K., Mondeil F., Malaurie B. (2008)

Cryopreservation by encapsulation-dehydration of plumules of coconut (Cocos

nucifera L,). CryoLetters, 29, 339 - 350.

Nguyen Q.T., Kozai T. (2005) Photoautotrophic micropropagation of woody species. . In: Kozai T., Afreen F., Zobayed S.M.A. (eds), Photoautotrophic (sugar- free

medium) Micropropagation as a New Propagation and Transplant Production.

Gambar

Gambar 2.1 Road map penelitian kelapa kopyor di Laboratorium Genetika dan Botani, Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Gambar 4.1 Bagan alir tahapan pengembangan protokol kultur embryo kelapa kopyor.
Gambar 4.2 Mini growth chamber yang akan digunakan dalam induksi kalus secara ex vitro (ex vitro rooting) untuk kategori plantlet dengan akar yang tidak fungsional
Gambar 5.1 Bibit kelapa kopyor tanpa akar sebelum percobaan (A) dibandingkan dengan di dalam mini growth chamber dengan menggunakan teknik ex vitro rooting
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kalimat itu juga yang menjadi penyemangat untuk berjuang dalam kehidupan ini termasuk berjuang dalam menyelesaikan Laporan Skripsi dengan judul Perbandingan Metode Spray Drying dan

Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2015 pada penelitian sebelumnya dianalisis risiko yang terjadi pada implementasi Sistem Manajemen Mutu ISO.. Berbeda dengan hasil

1) Berikan terapi oksigen dengan benar, missal dengan napas plong, masker venture. Rasional: Tujuan terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 diatas 60 mmHg,

Saib Suwilo, M.Sc selaku Sekretaris Program Studi Magister Matematika FMIPA Universitas Sumatera Utara, yang juga sebagai pembimbing utama, dan banyak memberikan arahan

Abstrak : Membandingkan metode Full Costing dan Variable Costing untuk perhitungan Harga Pokok Produksi akan menunjukan metode yang lebih tepat untuk di terapkan, dan

Akun hutang pajak kepada BEI atas pajak transaksi penjualan nasabah dalam laporan keuangan konsolidasi untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2007 telah direklasifikasi

Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan model BTL untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan karakter siswa SMP pada materi kalor dan

Berdasarkan atas hasil analisis free cash flow perusahaan yang terbagi atas dua bagian yaitu free cash flow to the firm dan free cash flow of equity, dari analisis