SEJARAH PERADABAN ISLAM
PERAN WANITA
DALAM
Sebagaimana kita ketahui, orang yang pertama kali
membenarkan kerasulan beliau adalah seorang wanita, dialah Khadijah istri sekaligus sahabat setia yang
menemani perjuangan dakwah beliau. Saat pertama kali Rasulullah menerima wahyu di Gua Hira, beliau merasakan sesuatu yang tidak biasanya beliau rasakan. Beliau
seketika pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Saat tiba di rumah, Khadijah yang setia menyambut beliau dan menenangkan perasaan beliau dengan ucapannya, “Tidak akan terjadi apa-apa padamu. Demi Allah, sama sekali Allah tidak akan pernah membuatmu merasa
kesakitan. Sungguh engkau seorang yang senantiasa menyambung sanak kerabat, mengemban amanat, menolong orang yang kehilangan, menjamu tamu dan menolong orang yang sedang kesusahan.”
Mendengar ucapan Khadijah, seketika hati
Nabi menjadi tenang. Sebagai istri, Khadijah telah mengambil sikap cerdas, yaitu
memberikan dukungan total terhadap
dakwah sang suami. Khadijah bukan hanya menjadi pelipur lara di kala duka, dia juga menyokong dakwah Nabi dengan seluruh tenaga, harta, dan pikiran, tanpa pernah merasa lelah. Sejarah mencatat, Khadijah. Telah memberi andil yang sangat besar
Ketika Rasulullah mengalami rintangan dan
gangguan dari kaum kafir Quraisy, maka Khadijah Binti Khuwailid selalu berada di
sampingnya untuk menenangkan sekaligus
menyenangkan hatinya yang gundah. Khadijah juga mendukung perjuangan suaminya dengan sepenuh jiwa raga dan menyerahkan seluruh harta benda yang dimilikinya. Sebagai pebisnis muslimah sukses yang dermawan, wanita
terbaik di dunia ini memang setia, taat dan sayang kepada suami dan anak-anaknya.
Khadijah selalu menyiapkan makanan, minuman dan segala keperluan Rasulullah serta mendidik putra putrinya dengan teladan dan penuh
Wanita pada zaman Rasulullah juga berperan mengislamkan orang yang masih kafir, sebagaimana yang dilakukan oleh Fathimah binti Khathab. Suatu ketika, Umar yang waktu itu masih kafir berniat untuk membunuh Rasulullah. Namun di tengah jalan, ada orang yang memberitahukan bahwa
saudarinya yang bernama Fathimah binti Khathab telah masuk Islam.
Dengan geram Umar segera menuju ke rumah saudarinya,
Fathimah. Saat itu, di rumahnya Fathimah binti Khattab sedang duduk-duduk bersama suaminya sembari membaca Al-Qur`an Tiba-tiba Umar mengetuk pintu. Suami Fathimah
menyembunyikan mushaf yang dibaca. Fathimah lalu
membukakan pintu, sementara Umar masuk dan langsung memukul suami Fathimah. Fathimah dengan tegas berkata,
“Tahukah engkau, bahwa kebenaran ada bukan pada agamamu.” Umar langsung menampar Fathimah hingga tersungkur jatuh ke tanah. Setelah itu Fathimah mengulangi ucapannya.
Pada waktu itu tangan Fathimah memegang lembaran Al-Qur’an. Umar memerintahkan Fathimah agar menyerahkan lembaran itu kepadanya. Fathimah dengan tegas berkata, “Wahai saudaraku, engkau tidak suci karena
engkau penyembah berhala. Lembaran ini hanya
boleh disentuh oleh orang yang suci.” Fathimah lalu meminta Umar untuk mandi. Setelah mandi,
Fathimah menyerahkan lembaran itu. Dalam hatinya dia berharap agar saudaranya itu bisa mendapat hidayah Islam.
ketika menjelang detik-detik ajalnya, yang
senantiasa setia merawat beliau adalah seorang wanita, dialah Aisyah ra. Dengan telaten Aisyah merawat beliau yang sedang sakit keras hingga akhirnya Rasulullah
meninggal di pangkuan wanita yang mulia tersebut.
ketika orang-orang kafir memerangi Rasulullah, wanita berperan
aktif dalam memberikan bantuan moral, menyemangati prajurit perang, merawat korban yang terluka, menyuplai air minum, dan ada pula yang ikut langsung terjun ke medan peperangan
melindungi Rasulullah dari serangan musuh.
Sebagai contoh adalah Shafiyyah binti Abdul Muthalib (bibi
Rasulullah). Pada waktu Perang Uhud, saat itu pasukan muslim
kocar-kacir akibat tidak patuhnya regu pemanah terhadap instruksi Rasulullah. Ketika pasukan Muslim mulai melarikan diri, berdirilah Shafiyah sambil mengibas-ngibaskan tombak hendak memukulkan tombah itu ke wajah orang-orang yang lari dari medan
pertempuran, seraya berkata, “Apakah kalian akan melarikan diri dan meninggalkan Rasulullah?” Dengan perkataannya ini, akhirnya para prajurit yang sedianya akan melarikan diri, kemudian berbalik dan berjuang bersama Rasulullah sampai titik darah penghabisan.
Kepahlawanan Shafiyyah juga bisa dilihat
pada saat terjadi Perang Khandaq. Ketika itu para wanita dan anak-anak kaum Muslimin dikumpulkan di sebuah benteng yang
dipimpin Hassan bin Tsabit. Tiba-tiba ada seorang yahudi yang mengendap-endap mengelilingi benteng, sementara semua pasukan kaum Muslimin sedang berada di medan perang. Shafiyyah bangkit dan
berkata kepada Hassan bin Tsabit, “Sungguh, aku tidak akan merasa tenang jika ia sampai memberitahukan kelemahan kita, maka
Hassan bin Tsabit berkata, “Wahai Shafiyyah,
engkau telah tahu sejak dulu bahwa aku tidak mempunyai kemampuan untuk itu.”
Mendengar ucapan Hassan tersebut, Shafiyyah
segera bangkit dan mengambil sebuah kayu yang keras. Dia lalu turun dari benteng untuk
mengintai dan mencari kelengahan orang Yahudi tersebut. Pada saat yang tepat, Shafiyyah berhasil memukul bagian belakang kepada Yahudi itu
hingga tersungkur. Shafiyyah lalu memukulnya lagi beberapa kali sampai orang Yahudi tersebut mati. Shafiyyah, sebagaimana dikatakan adalah wanita Muslimah pertama yang berhasil
Rufaidah Binti Sa’ad Al-Aslamiya tercatat perawat muslimah pertama dalam sejarah Islam yang nyaris terlupakan, padahal jasanya besar sekali pada masa penyebaran Islam. Perempuan kelahiran Madinah ini mempelajari ilmu keperawatan saat membantu
ayahnya yang berprofesi dokter. Ilmunya lantas
dipraktekkan untuk mengobati kaum muslimin yang terluka dalam peperangan dengan mendirikan
rumah sakit lapangan. Pada saat damai (tidak ada perang), Rufaidah secara sukarela membangun tenda di luar Masjid Nabawi untuk melayani orang sakit, anak yatim dan penderita gangguan jiwa.
Kesibukan Rufaidah sebagai ibu rumah tangga tidak menghalanginya berkarir melatih beberapa
kelompok perempuan untuk menjadi perawat. Dia menjadi pemimpin, organisatoris yang mampu
memobilisasi dan memotivasi orang lain serta perawat teladan, baik dan berempati tinggi. Dia tidak hanya menunaikan peran perawat dalam
aspek klinikal semata, namun melaksanakan peran komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit. Singkat cerita, Rufaidah sesungguhnya
public health nurse dan social worker, yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat di dunia Islam.
Hafshah binti Umar bin Khattab juga tidak boleh
diremehkan. Dia memiliki keberanian, kepribadian kuat dan ucapannya tegas. Kelebihan lainnya berupa
kepandaian dalam membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki kaum
perempuan. Bahkan, dia satu-satunya istri Rasulullah yang pandai membaca dan menulis. Atas dasar hal tersebut, Hafshah sebagai orang yang pertama kali diperintahkan oleh khalifah Abu Bakar Siddiq untuk
mengumpulkan tulisan ayat-ayat Al-Quran yang masih berserakan di banyak tempat pada lembaran kulit, tulang dan pelepah kurma sekaligus menyimpan dan
memeliharanya. Mushaf asli Al-Quran itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal dunia.
Ummu ‘Umarah. Ummu ‘Umarah bersama suami dan
kedua putranya ikut dalam Perang Uhud yang
berlangsung dahsyat. Ketika pasukan kaum muslimin tercerai berai, Ummu ‘Umarah justru mendekati
Rasulullah, bermaksud melindungi di depannya dengan menggunakan pedang. Namun, Ummu ‘Umarah beberapa kali terkena sabetan pedang yaang ditebarkan pasukan musuh. Luka yang paling besar terdapat di pundaknya, karena ditikam Ibnu Qami’ah, hingga dia harus mengobati luka itu setahun lamanya. Pada masa khalifah Abu Bakar Siddiq, Ummu ‘Umarah juga ikut memerangi Musailamah Al-Kadzdzab yang mengaku nabi. Di sinilah Ummu
‘Umarah terpotong tangannya dan kehilangan seorang putranya yang terbunuh.
Ummu Hani’ binti Abi Thalib Al-Hasyimiyyah kesohor
sebagai penunggang unta yang hebat, periwayat dan pengajar hadis hingga akhir hidupnya. Ummu Hani’ mengerti betul tugasnya selaku istri yang
mengagungkan hak-hak suami dan mengasuh keempat anaknya. Baginya, mengurus mereka membutuhkan perhatian yang menyita waktu
banyak. Karena itu, dia tak ingin menyia-nyiakan satu pun dari keduanya, hingga dia mendapatkan pujian yang begitu mulia dari Rasulullah sebagai perempuan penyayang keluarga. Pada saat yang sama, Ummu
Hani’ pun tidak lupa berperan di tengah masyarakat.
Sumayyah cukup dikenal sebagai tokoh
wanita yang diakui jihadnya. Beliau adalah wanita yang pertama kali syahid di jalan Allah. Sumayyah dan suaminya Yassir
menolak permintaan kaum kafir Quraisy
untuk meninggalkan Islam. Akibat sikapnya itu, Sumayyah dibunuh dengan tombak oleh kaum kafir.
Rasulullah SAW yang Mulia, berdiri di puncak
bukit Uhud dan memandang musuh yang merangsek maju mengarah pada dirinya. Beliau memandang ke sebelah kanan dan tampak olehnya seorang wanita mengayun-ayunkan pedangnya dengan gagah perkasa melindungi dirinya. Beliau memandang ke kiri dan sekali lagi beliau melihat wanita tersebut melakukan hal yang sama – menghadang
bahaya demi melindungi sang Pemimpin orang-orang beriman.
Kata Rasulullah SAW.kemudian, “Tidaklah aku melihat ke kanan dan ke kiri pada perempuran Uhud kecuali aku melihat Nusaibah binti Ka’ab berperang membelaku.”
Memang Nusaibah binti Ka’ab Ansyariyah
demikian cinta dan setianya kepada Rasulullah sehingga begitu melihat junjungannya itu
terancam bahaya, dia maju memutar-mutarkan pedangnya dengan perkasa sehingga dikenal
dengan sebutan Ummu Umarah, adalah pahlawan wanita Islam yang mempertaruhkan jiwa dan raga demi Islam termasuk ikut dalam perang Yamamah di bawah pimpinan Panglima Khalid bin Walid
. Ummu Umarah juga bersama
Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam dalam
menunaikan Baitur Ridhwan, yaitu suatu janji setia untuk sanggup mati syahid di jalan Allah.
Nusaibah adalah satu dari dua wanita yang
bergabung dengan 70 orang lelaki Ansar yang berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu alaihi
Wassalam. Dalam baiat Aqabah yang kedua itu ia ditemani suaminya Zaid bin Ahsim dan dua orang puteranya: Hubaib dan Abdullah. Wanita yang
seorang lagi adalah saudara Nusaibah sendiri.
Dalam perang Uhud, Nusaibah membawa
tempat air dan mengikuti suami serta kedua orang anaknya ke medan perang. Pada saat itu Nusaibah menyaksikan betapa pasukan Muslimin mulai kocar-kacir dan musuh
merangsek maju sementara Rasulullah SAW berdiri tanpa perisai. Seorang muslim berlari mundur sambil membawa perisainya, maka Rasulullah Shallallahu alaihi
Wassalam berseru kepadanya, “Berikan
Ummu Umarah sendiri menuturkan
pengalamannya pada Perang Uhud,
sebagaimana berikut: “…saya pergi ke Uhud dan melihat apa yang dilakukan orang. Pada
waktu itu saya membawa tempat air. Kemudian saya sampai kepada Rasulullah SAW. yang
berada di tengah-tengah para sahabat. Ketika kaum muslimin mengalami kekalahan, saya melindungi Rasulullah SAW, kemudian ikut serta di dalam medan pertempuran. Saya
berusaha melindungi Rasulullah SAW dengan pedang, saya juga menggunakan panah
Ketika ditanya tentang 12 luka ditubuhnya, Nusaibah
menjawab, “Ibnu Qumaiah datang ingin menyerang Rasulullah ketika para sahabat sedang meninggalkan baginda. Lalu (Ibnu Qumaiah) berkata, ‘mana
Muhammad? Aku tidak akan selamat selagi dia masih hidup.’ Lalu Mushab bin Umair dengan beberapa
orang sahabat termasuk saya menghadapinya. Kemudian Ibnu Qumaiah memukulku.”
Rasulullah juga melihat luka di belakang telinga
Nusaibah, lalu berseru kepada anaknya, “Ibumu,
ibumu…balutlah lukanya! Ya Allah, jadikanlah mereka sahabatku di surga!” Mendengar itu, Nusaibah
Ksatria Berkuda Hitam! Itulah sosok Khaulah binti Azur.
Seorang muslimah yang kuat jiwa dan raga. Sosok tubuhnya tinggi langsing dan tegap. Sejak kecil Khaulah suka dan
pandai bermain pedang dan tombak, dan terus berlatih sampai tiba waktunya menggunakan keterampilannya itu untuk membela Islam bersama para mujahidah lainnya.
Dalam salah satu peperangan melawan pasukan kafir
Romawi di bawah kepemimpinan Panglima Khalid bin Walid, diriwayatkan, tiba-tiba saja muncul seorang penunggang kuda berbalut pakaian serba hitam yang dengan tangkas memacu kudanya ke tengah-tengah medan pertempuran. Bagai singa lapar yang siap menerkam, sosok berkuda itu mengibas-ngibaskan pedangnya dan dalam waktu singkat menumbangkan tiga orang musuh.
Panglima Khalid bin Walid serta seluruh
pasukannya tercengang melihat
ketangkasan sosok berbaju hitam itu.
Mereka bertanya-tanya siapakah pejuang tersebut yang tertutup rapat seluruh
tubuhnya dan hanya terlihat kedua
matanya saja itu. Semangat jihad pasukan Muslimin pun terbakar kembali begitu
mengetahui bahwaThe Black Rider, si
Keberanian Khaulah kembali teruji ketika dia dan
beberapa mujahidah tertawan musuh dalam
peperangan Sahura. Mereka dikurung dan dikawal ketat selama beberapa hari. Walaupun agak
mustahil untuk melepaskan diri, namun Khaulah tidak mau menyerah dan terus menyemangati sahabat-sahabatnya. Katanya, “Kalian yang
berjuang di jalan Allah, apakah kalian mau
menjadi tukang pijit orang-orang Romawi? Mau menjadi budak orang-orang kafir? Di mana harga diri kalian sebagai pejuang yang ingin
Demikianlah Khaulah terus membakar
semangat para Muslimah sampai mereka pun bulat tekad melawan tentara musuh yang mengawal mereka. Rela mereka mati syahid jika gagal melarikan diri. “Janganlah saudari sekali-kali gentar dan takut.
Patahkan tombak mereka, hancurkan pedang mereka, perbanyak takbir serta
kuatkan hati. Insya Allah pertolongan Allah sudah dekat.
Dikisahkan bahwa akhirnya, karena
Nailah binti al-Farafishah adalah istri Khalifah
Ustman bin Affan. Dia terkenal cantik dan pandai. Bahkan suaminya sendiri memujinya begini: “Saya tidak menemui seorang wanita yang lebih
sempurna akalnya dari dirinya. Saya tidak segan apabila ia mengalahkan akalku”. Subhanallah!
Mereka menikah di Madinah al-Munawwarah dan sejak itu Ustman kagum pada tutur kata dan
keahlian Nailah di bidang sastra. Karena cintanya, Ustman paling senang memberikan hadiah untuk istrinya itu. Mereka punya satu orang anak
perempuan, Maryan binti Ustman.
Ketika terjadi fitnah yang memecah belah
umat Islam pada tahun 35 Hijriyah, Nailah ikut mengangkat pedang untuk membela suaminya. Seorang musuh menerobos
masuk dan menyerang dengan pedang pada saat Ustman sedang memegang
mushaf atau Al Qur’an. Tetesan darahnya jatuh pada ayat 137 surah Al Baqarah yang berbunyi, “Maka Allah akan memelihara
Seseorang pemberontak lain masuk dengan pedang terhunus. Nailah berhasil merebut pedang itu namun si musuh kembali merampas senjata itu, dan
menyebabkan jari-jari Nailah terputus Ustman syahid karena sabetan pedang pemberontak. Air mata
Nailah tumpah ruah saat memangku jenazah sang suami. Ketika kemudian ada musuh yang dengan penuh kebencian menampari wajah Ustman yang sudah wafat itu, Nailah lalu berdoa, “Semoga Allah menjadikan tanganmu kering, membutakan matamu dan tidak ada ampunan atas dosa-dosamu!”
Dikisahkan dalam sejarah bahwa si penampar itu
Nailah memandang kesetiaan terhadap
suaminya sepeninggalnya lebih
berpengaruh dan lebih besar dari apa yang dilihatnya terhadap ayahnya, saudara
perempuannya, ibunya dan juga
kerabatnya. Ia selalu mendahulukan
keutamaannya, mengingat kebaikannya di setiap tempat dan kesempatan. Ketika
Ustman terbunuh, ia mengatakan,
“Sungguh kalian telah membunuhnya padahal ia telah menghidupkan malam