Perempuan dalam Politik di Indonesia, masih “Hiasan” kah?
PERAN perempuan dalam ranah politik di Indonesia bisa dikatakan masih minim, dan aspirasi kaum perempuan cenderung diabaikan. Di Indonesia negara yang masih cenderung Patriarkal suara perempuan kurang didengarkan, meski di zaman modern ini telah banyak pergerakan perempuan mulai dari organisasi hingga partai politik, namun dalam prakteknya suara perempuan diredam oleh kepentingan kaum laki-laki. Sejarah, budaya dan ideologi dapat dikatakan sebagai latar belakang keterpurukan peran perempuan dalam politik di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa budaya di Indonesia yang pada umumnya menempatkan posisi pada perempuan sebagai pihak yang berperan untuk mengurusi aktivitas non politis seperti mengurus rumah tangga, anak dan sebagai pendamping kaum laki-laki membentuk sebuah konstruksi yang menyulitkan perempuan untuk bergerak ikut serta dalam ranah sosial politik.
Selain itu ideologi Islam yang merupakan pengaruh terbesar dalam sosial, budaya dan politik di Indonesia yang tidak menyokong keberadaan perempuan untuk menyelami politik. Pemimpin dalam islam adalah harus seorang kaum laki-laki, sedangkan perempuan tidak diwajibkan atau malah tidak bisa mengambil peran untuk ikut aktif layaknya kaum laki-laki. Pengaruh ideologis inilah yang sangat mewarnai perpolitikan Indonesia. Padahal pada faktanya kaum perempuan adalah masyarakat mayoritas di Indonesia dan tentunya perempuan punya segudang aspirasi untuk disampaikan dan dilaksanakan, walau beberapa aspirasi dapat disampaikan melalui kaum laki-laki yang memimpin dan mampu mendengarkan suara perempuan, tetap saja laki-laki bukanlah perempuan walau kaum laki selembut dan mempunyai jiwa feminim namun laki-laki tidak dapat mempunyai cita dan rasa perempuan.
Hal ini lah yang menyebabkan mengapa perempuan harus menjadi bagian dalam politik, pemerintahan dan pengambilan kebijakan. Karena hanya kaum perempuan lah yang mampu mengerti permasalahan mereka dan bagaimana cara penyelesaiannya. Kebanyakan suara aspirasi dari perempuan tidak tersampaikan dalam pembuatan kebijakan di pemerintahan karena perlunya representatif yang menampung aspirasi kaum perempuan. Nyatanya, perempuan mempunyai porsi wajib sebesar 30 persen di parlemen namun tidak semua tempat yang disediakan itu terisi oleh perempuan. Saat ini hanya sekitar 10 persen kursi di parlemen yang diisi perempuan. Mengingat latar belakang sejarah dan kultural tadi serta diperparah dengan konstruksi sosial di tengah masyarakat memang bisa dikatakan politik adalah hal yang sulit bagi kaum mayoritas yang termarginalisasikan ini.