Peran Perempuan Dalam Bidang Politik
Oleh : M. Eko Yulianto Wibowo
Beberapa waktu lalu banyak media tengah memberitakan suatu agenda politik yang terjadi di Arab Saudi. Koran, siaran radio swasta, siaran televesi dan situs-situs yang berserakan di jejaring sosial pun tak luput membesarkan berita ini. Negara berlambang tauhid itu tengah menyelenggarakan pemilihan umum. Namun yang menjadi heboh pemberitaan oleh media adalah partisipasi perempuan dalam pemilu tersebut. Tahun ini perempuan arab diperbolehkan menggunakan hak suaranya untuk memilih wakilnya dalam kursi legislatif. Tidak hanya itu, mereka (perempuan) juga diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai kandidat wakil rakyat di negeri Arab. Hal ini di latar belakangi oleh pernyataan king
Abdullah yang telah mangkat tahun 2011 silam bahwa perempuan boleh berpartisipasi dalam pemilu. Keikutsertaan perempuan dalam pemilu tercatat sebagai sejarah baru di Negara berbasis Islam tersebut.
Partisipasi perempuan dalam pemilihan umum bukanlah sebuah tren baru di beberapa Negara khususnya Negara Islam. Di Indonesia sendiri yang penduduknya adalah mayoritas Islam memperbolehkan perempuan untuk menempati kursi legislatif bahkan eksekutif. Dalam survei yang dilakukan oleh Women Research Institute (WRI) sebanyak 58% responden menyatakan setuju jika perempuan mempunyai hak untuk duduk di kursi panas DPR-RI. Prosentase tersebut bukanlah tanpa alasan dan latar belakang yang mengada-ada. Sedangkan ini adalah pembuktian bagi kaum perempuan untuk merasakan kesetaraan dengan laki-laki yang menganggap remeh kemampuan mereka dalam berpolitik.
Bagi perempuan duduk di kursi legislatif dapat menyuarakan aspirasi yang pro terhadap kepentingan perempuan. Keberadaan mereka dapat menguntungkan lebih-lebih dapat meningkatkan kesejahteraan perempuan dalam mewakili, mengawasi dan mempengaruhi setiap kebijakan yang akan dibuat. Selain itu mereka dapat berpartisipasi dalam bidang pembangunan. Ketika politik dimaknai sebagai kegiatan pengambilan keputusan di ruang publik yang berdampak kepada masyarakat secara keseluruhan, maka asumsi yang menyatakan bahwa wanita sebagai warga Negara kelas dua tidak dapat dijadikan pijakan sebagai landasan. Mereka adalah sama (equal) karena apapun yang diputuskan di ranah politik mengakibatkan dampak tidak hanya bagi laki-laki saja.
Peningkatan keterlibatan serta peran perempuan berpolitik di lembaga legislatif tersebut merupakan suatu hal yang patut diapresiasi, namun demikian terdapa beberapa pertanyaan yang diajakukan banyak pihak berkaitan dengan eran perempuan dalam beroplitik, Antara lain : (1) apakah lebih baik menempatkan sedikit perempuan pada posisi pengambilan keputusan namun mempunyai kapasitas dan kepekaan daripada menempatkan lebih banyak perempuan tetapi tidak mampu mengakomodasi kepentingan perempuan? (soejitpto, 2006:107), (2) Apakah keterlibatan dan peran perempuan dalam politik misalnya sebagai anggota legislatif, benar-benar merupakan representatif perempuan ataukah hanya karena sang suami sudah terlebih dahulu menjadi anggota legislatif atau bahkan hanya karena sebagai pewaris dinasti politik yang diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga? (Subono, 2006:82). Dalam pandangan Hannah Arendt, masalah kuantitas bukanlah masalah
penting, yang penting adalah tindakan politik apakah yang dapat dilakukan dalam posisi itu. Jika jumlah banyak namun yang dilakukan masih sebatas kerja (labour) dan karya (work), hal ini tidak akan mencapai Human Condition, yaitu ketika sebuah tindakan merupakan aktivitas produktif, bukan dalam hal material (uang saja) tapi termasuk memperjuangkan nasib sesama demi sebuah kesetaraan. Selanjutnya terkait posisi perempuan dalam dunia legislatif yang hanya pewaris dinasti politik, hal ini tentu tidak dapat dipalingkan begitu saja. Fakta telah mengungkapkan bahwa kebesaran nama laki-laki turut melambungkan nama perempuan dalam pergulatan politiknya. Sehingga saat terbebani suatu amanah, mereka mendapat tugas untuk untuk menunjukan kababilitasnya sebagai seorang wakil yang diberi amanat oleh pemberinya1.
Memang pada kenyataanya representasi perempuan dalam bidang politik masih kurang. Kurangnya representasi perempuan tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi budaya yang patriakal yang tidak diimbangi dengan akses dalam bentuk tindakan afirmatif bagi perempuan, seperti pemberian kuota2. Undang-Undang Dasar 1945, bab X, Ayat 27 menyatakan bahwa “Semua warga Negara adalah sama di hadapan hokum dan pemerintah”, sedangkan ayat 28 menjamin “Kebebasan berkumpul dan berserikat, dan kebebasan menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tertulis”. Sekalipun demikian, dalam kondisi yang patriakal perempuan menghadapi beberapa kendala untuk mensejajarkan diri dengan laki-laki dalam berbagai bidang.
1 Nugroho, Hastanti Widy. “Peran Politik Perempuan Di Lembaga Legislatif Ditinjau Dari Perspektif Filsafa Politik Hannah Arendt”. UGM.
2 Parawansa, Khofifah Indar. “Hambatan terhadap partisipasi politik perempuan Indonesia” Studi kasus.