• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sistem kepercayaan yang terpadu, yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sistem kepercayaan yang terpadu, yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Masalah

Agama adalah kepercayaan dan ritual yang berkaitan dengan keberadaan supranatural, kekuasaan, dan kekuatannya. Supranatural disini biasa disebut dengan nama dewa, Tuhan, atau yang gaib. Agama dapat dipandang sebagai suatu sistem kepercayaan yang terpadu, yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral (sacred things), yakni hal-hal yang terpisah dan terlarang.

Agama muncul karena orang-orang berusaha untuk memahami keadaaan dan kejadian yang tidak bisa dijelaskan dengan mengacu pada pengalaman sehari-hari mereka. Mimpi waktu tidur pada masyarakat primitif dianggap mempunyai makna dan itu harus diterjemahkan. Usaha ke arah menjelaskan mimpi itu membuat mereka sadar bahwa ada diri yang lain dalam tubuh mereka. Diri yang lain itu hadir ketika orang sedang tidur. Ketika diri yang lain waktu tidur dan diri yang ada waktu sadar itu meninggalkan tubuh, maka orang yang bersangkutan meninggal dunia. Kepercayaan seperti ini yang melahirkan ide tentang animisme. Animisme adalah agama primitif yang kemudian bisa berkembang menjadi politeisme dan monoteisme.

Agama menurut Keiichi Yanagawa (1992 : 7) didasarkan pada tiga unsur utama, yaitu:

1. Doktrin yang mengidentifikasi obyek dan sifat keagamaan. Ajaran sentral dari agama adalah percaya pada Tuhan atau dewa atau roh-roh yang keberadaannya tidak bisa dilihat manusia.

(2)

2. Perkumpulan yang dibentuk oleh orang-orang yang berkepercayaan sama. Perkumpulan ini bisa berbentuk organisasi agama, gereja, atau jemaah.

3. Ibadah keagamaan dan ajaran keagamaan.

Oleh karena itu suatu agama terdiri atas doktrin, yang pengikutnya harus percaya; organisasi para penganut agama itu, dan kode ajaran yang memuat tingkah laku yang dikehendaki dari para pengikutnya.

Salah satu agama yang berkembang di Jepang adalah Shinto. Kata Shinto terdiri atas dua huruf, yaitu Shin(神)yang bisa dibaca Kami, dan To(道) yang bisa dibaca Michi. Jadi Shinto berarti Kami no Michi atau Jalan Kami. Istilah

kami sebenarnya merujuk pada penghormatan untuk jiwa (roh) yang mulia, suci,

yang memiliki implikasi pada makna memuja, kebajikan, dan otoritas mereka. Shinto adalah agama asli Jepang. Sejak jaman kuno, Shinto telah menjadi bagian dari pandangan hidup orang Jepang. Kepercayaan ini merupakan kombinasi dari animisme dan pemujaan alam dan berkembang seiring dengan perkembangan penganutnya. Semua benda hidup dan mati dipercaya memiliki roh atau jiwa yang memiliki kekuatan dan bisa memberi kehidupan atau aktivitas pada benda-benda tersebut. Shinto pada awalnya adalah kepercayaan rakyat yang tidak terlembaga, tetapi setelah kedatangan agama-agama yang terlembaga seperti Buddha dan Konfusionisme, maka lahirlah Shinto terlembaga, misalnya Shinto Negara (Kokka Shinto). Agama yang terlembaga maksudnya agama yang memiliki keistimewaan yaitu agama ini mempunyai nabi; mempunyai kitab suci; penganut-penganut yang resmi; dapat melampaui batas negara, tradisi kebudayaan, bahasa, dan tidak dibatasi oleh kerangka masyarakatnya sehingga dapat menyebar

(3)

ke seluruh dunia. Shinto berkembang seiiring dengan pertumbuhan masyarakat pertanian dan didasarkan atas pemujaan pada dewa padi dan roh nenek moyang.

Sebagai agama, Shinto tidak memiliki pendiri, tidak punya kitab suci, dan tidak memiliki ajaran yang terorganisir. Agama ini mendasarkan diri pada mitologi, cerita-cerita kuno yang dianggap otoritatif dan memberi dasar sejarah dan spiritual. Istilah bahasa Jepang untuk mite adalah Shinwa yang berarti “Kisah Mengenai Para Dewa”.

Bahan untuk menyusun mitologi Jepang pada umumnya bersumber dari

Kojiki (712 M) dan Nihongi atau Nihon Shoki (720 M). Kedua buku ini dianggap

sebagai dasar bagi agama Shinto. Menurut Kojiki, kepulauan Jepang diciptakan oleh Izanagi no Mikoto dan Izanami no Mikoto, bersamaan dengan penciptaan banyak kami, termasuk Amaterasu Omi Kami (dewa matahari). Selain Kojiki dan

Nihon Shoki, juga dipergunakan sumber lain yaitu Koga Shui (807M); antropologi

puisi dari abad ke-8 Manyoshu; dan Norito, atau liturgi keagamaan dari keraton, yang dikumpulkan pada akhir abad ke-19 di dalam buku Engi Shiki (延喜式) atau prosedur-prosedur dari era Engi (Danandjaja, 1997 : 70-71).

James Danandjaja (1997 : 72-73) juga menjelaskan mite Jepang yang dikisahkan di dalam Kojiki dan Nihon Shoki dapat dibagi menjadi tiga siklus, salah satunya disini yaitu siklus Takamagahara. Diceritakan dalam siklus ini bahwa Izanami meninggal karena terbakar sewaktu melahirkan dewa api, lalu Izanami pergi ke Yomi no Kuni (dunia orang mati). Izanagi menyusul untuk memohon agar ia mau kembali ke dunia orang hidup. Disana dia dapatkan jenasah istrinya yang sudah penuh ulat. Izanagi kemudian lari, dan istrinya yang merasa dipermalukan menyatakan bahwa setiap hari ia akan mencekik seribu orang dari

(4)

dunia orang hidup, dan sang suami menjawab bahwa ia setiap hari akan mendirikan 1.500 gubuk bagi orang melahirkan anak, sehingga dapat melahirkan 1.500 bayi. Karena telah mengotori dirinya dalam perjalanan ke dunia orang mati, Izanagi menuju ke Tsukushi untuk menyucikan dirinya dengan mandi (misogi). Dari tindakan penyucian yang dilakukan Izanagi, kepercayaan Shinto juga melakukan ritual yang sama.

Kepercayaan Shinto menurut Noma Seiroku (1967 : 13) berkaitan erat dengan keharmonisan pada alam dan dengan perlahan-lahan berkembang menjadi tradisi berdasarkan keindahan. Menurut agama Shinto, kebersihan atau kesucian adalah hal yang utama, hal-hal tanpa tipu daya adalah suci.

Dalam buku “Japan, Profile of a Nation” (Aoki, 1994 : 204), pengertian akan kesucian dan kekotoran (Kegare) serta cara melaksanakan upacara penyucian (Harae/Misogi) di Jepang memiliki pengaruh yang luar biasa dan telah menyebar sebagai suatu kebudayaan yang utuh.

Harae adalah istilah lama untuk banyak hal dari upacara penyucian Shinto

atau penebusan dosa yang datang dari kata kerja harau (祓う atau 払う) yang artinya membersihkan, menyucikan, atau mengusir roh jahat. Sekarang ini orang lebih banyak mengucapkan sebagai harai. Harae adalah salah satu upacara terpenting dalam Shinto dan berbagai bentuk telah berkembang, namun pada umumnya ada tiga metode dasar dari harae, yaitu: Yang pertama dan bentuk biasa yang paling umum diselenggarakan oleh seorang pendeta Shinto dengan cara mengibaskan tongkat penyucian (Haraigushi) di atas kepala dari kiri ke kanan dan kembali ke kiri. Kadang-kadang ranting kecil dari pohon sakral sakaki ( 榊 ) maupun onusa digunakan sebagai pengganti haraigushi. Yang kedua disebut

(5)

misogi (禊). Ini lebih umum dihubungkan kepada kessai, yang berarti penyucian

dengan air. Penyucian ini dijalankan melalui aktivitas yang mendalam seperti latihan pernapasan, berdiri di bawah air terjun atau membenamkan tubuh di laut atau sungai. Yang ketiga imi (忌み). Ini kontras dengan kedua tipe penyucian yang telah disebutkan, yang mana memerlukan pembersihan dari kekotoran atau kenajisan dengan sebuah tindakan penyucian yang sebenarnya atau secara simbolik.

Salah satu model penyucian yang menarik lainnya adalah Yakubarai (厄払 い ). Kadang-kadang terjemahannya disalahartikan menjadi “exorcism”, dalam bahasa Indonesianya pengusiran roh jahat. Dalam agama Shinto, Yakubarai semata-mata menenangkan roh (kami) yang kesusahan (troublesome kami) akibat gangguan kecemaran.

Picken dalam “Shinto Japan’s Spiritual Roots” (1980 : 53) memberikan sebuah cerita:

“Di bulan Juni tahun 1978, penduduk Komplek Perumahan

Takashima – Daira di Tokyo prihatin akan jumlah orang yang bunuh diri dengan melompat dari atas bangunan di lingkungan mereka. Setelah berbagai bentuk cara penyuluhan dan pencegahan telah gagal, mereka lalu berkonsultasi dengan pendeta-pendeta Shinto. Para pers kemudian melaporkan ritual Yakubarai yang dilaksanakan para pendeta Shinto untuk menenangkan kami”.

Dilain kesempatan harae juga dilaksanakan pada waktu pernikahan, bisa untuk penyucian dan kesuksesan seorang kandidat di awal kampanye pemilihan, untuk keselamatan perjalanan, atau sukses di sebuah kontes. Harae tak hanya diselenggarakan bagi orang dan tempat, tapi juga kendaraan. Membersihkan

(6)

semua kekotoran yang ada di kendaraan berguna menjamin keselamatan yang lebih daripada kemungkinan yang bisa terjadi jika orang mengendarai di lingkungan yang kotor.

Berdasarkan gambaran diatas, maka penulis bermaksud untuk meneliti dan menganalisa upacara penyucian tersebut. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk mengajukan suatu masalah dengan menguraikannya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Harae (Upacara Penyucian) Dalam Shinto Di Jepang”

1.2 Perumusan Masalah

Bangsa Jepang sebagian besar penduduknya menganut agama Shinto. Shinto adalah agama politheisme yang mempercayai lebih dari satu dewa. Prinsip dari agama Politheisme adalah segala hal yang memiliki pengaruh besar pada kehidupan manusia dapat dianggap sebagai Kami. Contohnya, yang berhubungan dengan alam, Dewa Hujan, Dewa Gunung, Dewa Laut, Dewa Halilintar adalah dewa alam yang mereka yakini. Dengan demikian setiap objek dibatasi pada objek-objek yang memiliki pengaruh besar dan hubungan yang erat dalam kehidupan manusia. Kusunoki Masahiro (dalam Situmorang, 2005 : 28) mengatakan konsep kepercayaan mereka, Tuhan atau dewa bersifat Functional God. Bersifat fungsional dalam hal ini dapat diartikan sebagai hubungan yang mendatangkan manfaat atau keuntungan bagi kedua belah pihak. Kebanyakan dewa memiliki karakteristik tidak menyukai pencemaran dari kematian, kotor, dan darah.

Dalam Shinto, kebersihan fisik dan kesucian batin dihargai sebagai fondasi yang penting. Polusi, yang memiliki makna tubuh yang kotor seperti halnya moral

(7)

setan dianggap sangat menjijikan. Itulah alasannya mengapa upacara penyucian dilaksanakan.

Masyarakat Jepang memandang penting melaksanakan penyucian di sepanjang hidupnya. Penyucian berarti tidak hanya membersihkan tubuh seseorang tetapi juga merupakan langkah yang baik yang diambil seseorang. Awalnya bermula dari membersihkan fisik atau bagian luar kemudian berlanjut dengan membersihkan mental yang berarti kesucian batin. Untuk itu penulis mengajukan masalah untuk dibahas sebagai berikut:

1) Seperti apa konsep Shinto terhadap upacara penyucian (Harae)

2) Seperti apa upacara-upacara penyucian yang dilaksanakan dalam Shinto.

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Besarnya hubungan antara upacara penyucian (harae/misogi) dengan agama Shinto membuat penulis termotivasi untuk mengetahui hubungan didalamnya. Namun untuk menghindari luasnya ruang lingkup permasalahan maka masalah yang akan penulis bahas di dalam penulisan ini difokuskan kepada

Harae sebagai upacara penyucian dalam Shinto di Jepang dan diikuti dengan

makna, tujuan, dan fungsinya.

Untuk mendukung masalah tersebut di atas, akan dibahas juga tentang: pandangan umum Harae dan Shinto, yang didalamnya berisikan: asal mula Harae berdasarkan mitologi Jepang; sekte-sekte penyucian agama Shinto; unsur-unsur yang digunakan penyucian; berbagai upacara penyucian yang dilaksanakan di Jepang, dan pandangan Shinto terhadap kekotoran (kegare & tsumi).

(8)

1.4 Tinjauan Pustaka dan kerangka Teori 1.4.1. Tinjauan Pustaka

Menganalisa kebudayaan pada umumnya ataupun isi dari suatu kebudayaan masyarakat tertentu, sebaiknya kita mengetahui dulu “unsur-unsur kebudayaan universal (cultural universal)”. Unsur-unsur yang ada dalam semua kebudayaan di seluruh dunia, baik yang kecil, bersahaja, dan terisolasi, maupun yang besar, kompleks, dengan suatu jaringan hubungan yang luas disebut kebudayaan universal. Menurut C. Kluckhon (dalam Koentjaraningrat, 1990 : 203-204), unsur-unsur kebudayaan universal dalam kebudayaan dunia ada tujuh unsur universal, yaitu: bahasa, sistem teknologi, mata pencaharian hidup atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Harae merupakan suatu bentuk kebudayaan dalam hal religi masyarakat Jepang.

Pengertian akan kesucian dan kekotoran (kegare) serta cara melaksanakan upacara pensucian (harae/misogi) di Jepang memiliki pengaruh yang luar biasa dan telah menyebar sebagai suatu kebudayaan yang utuh (Aoki, 1994 : 204). Upacara tradisional di kuil Shinto (Jinja) seperti upacara mencuci tangan dan mulut sebagai simbolis akan kesucian sebelum masuk ke kuil dan melakukan komunikasi dengan kami.

Sumber internet http://www.unification.net menyatakan kata bijak milik

Kami Hachiman:

“Though I had nothing to eat but a red-hot ball of iron, I will never

accept the most savory food offered by a person with an impure mind. Though I were sitting upon a blazing fire hot enough to melt copper, I will never go to visit the place of a person with a polluted mind”.

(9)

“Meskipun saya tidak memiliki apapun untuk dimakan kecuali bola api yang panas, saya tidak akan menerima makanan yang paling lezat yang ditawarkan oleh seseorang yang pikirannya tidak murni / kotor. Meskipun saya duduk diatas api berkobar yang cukup untuk melelehkan tembaga, saya tidak akan pernah pergi ke tempat seseorang yang pikirannya kotor”.

Dari pernyataan diatas dianalogikan bahwa tidak hanya kebersihan fisik tapi juga menekankan pikiran yang bersih pada waktu berkomunikasi / menyembah kami.

Pelaksanaan harae sendiri tidak terlepas dari pemahaman yang benar masyarakat Jepang penganut Shinto tentang kegare (kekotoran) dan tsumi (dosa).

Kegare atau dalam bahasa Indonesianya yaitu kekotoran atau kecemaran. Konsep

tercemar (kegare) dalam kepercayaan rakyat Jepang tidak sama dengan kotor (dirty) dalam arti umum juga tidak sama dengan arti tercemar dari agama Hindu dan Buddha (Danandjaja, 1997 : 181)

Dalam buku Telaah Pranata Masyarakat Jepang II (Situmorang, 2005 : 37) menyatakan bahwa: “Dalam pandangan tradisional Jepang, pada umumnya

mengenal dua macam kegare (kekotoran) yaitu akafuju (darah) dan kurofuju (kematian). Tetapi menurut Ikegami, di berbagai daerah seperti Okinawa dibedakan atas tiga jenis, yaitu shirofuju (kelahiran), akafuju (haid), dan kurofuju (kematian) (Ikegami 1959:75). Menurut Sasaki (1998:168), dalam kepercayaan tradisional Jepang yang kotor adalah mayat, kelahiran, dan pendarahan”.

Dari sumber internet http://www2.kokugakuin.ac.jp, dalam agama Shinto, kegare dipandang sebagai kesialan, sumber ketidakbahagiaan dan kejahatan, dan halangan atau kesukaran kepada upacara keagamaan. Kegare (pollution) dibersihkan dengan cara menghindari partisipasi dalam hal-hal

(10)

keagamaan dan di kehidupan sosial untuk beberapa waktu tertentu, dan dengan mengadakan upacara penyucian (harae).

Konsep kekotoran tercakup dalam sebuah karya Shinto yang sangat terkenal pada era Tokugawa berjudul Warongo atau Bunga Rampai Jepang (Bellah, 1992 : 89) yang menyatakan: “Bahwa Tuhan tidak menyukai yang kotor,

sama dengan mengatakan bahwa seseorang yang hatinya tidak suci tidak menyenangkan Tuhan”.

Kebanyakan kami memiliki karakteristik tidak menyukai kecemaran dari kematian, kotor, dan darah. Para kami tidak menyukai darah, khususnya darah yang berasal dari dalam diri manusia seperti kelahiran, menstruasi wanita, dan kematian. Maka prinsip itu dipegang teguh oleh masyarakat Jepang.

Dalam buku “JAPAN: An Illustrated Encyclopedia” (1993 : 767) menyatakan: ”Konsep bersih dan tidak bersih, suci dan cemar, menjadi berarti

dalam kebudayaan dan sosial di jepang dari jaman kuno sampai jaman sekarang. Satu karakter spesial dari konsep kegare di jaman kuno adalah keterkaitan yang erat dengan konsep tsumi (dosa)”.

Arti Tsumi dicoba dijelaskan Stuart D. B. Picken dalam “Essential of Shinto, An Analytical Guide” (1994 : 171-172) menyatakan:

“Tsumi memiliki arti yang sangat luas meliputi “kecemaran”,

“penyakit”, dan “bencana”, sama dengan “kesalahan”. Tindakan tertentu, keadaan tertentu, atau situasi tak terduga pun dapat menyebabkan tsumi dan harus dihadapi dengan penghindaran (avoidance), atau dengan ritual penyucian (harai). Satu-satunya metode membersihkan tsumi adalah dengan penyucian, atau harai”.

(11)

Konsep pemikiran kepada pentingnya upacara-upacara di jinja (kuil Shinto) adalah upacara penyucian. Sebagaimana kaisar Jepang mengadakan

ōharae besar untuk seluruh negeri, begitu juga masing-masing pendeta Shinto

menyelenggarakan upacara-upacara bagi anggota jemaahnya dan bagi siapa saja yang meminta untuk suatu tujuan khusus. Dari ritual atau upacara ini, kami (dewa) ditentramkan dan keadaan berbahaya akibat hal-hal kekotoran telah dibersihkan. Penyucian (harae) pada umumnya ada tiga metode dasar, yaitu: Yang pertama dan bentuk biasa yang paling umum diselenggarakan oleh seorang pendeta Shinto dengan cara mengibaskan tongkat penyucian (Haraigushi) di atas kepala dari kiri ke kanan dan kembali ke kiri. Kadang-kadang ranting kecil dari pohon sakral

sakaki (榊) maupun onusa digunakan sebagai pengganti haraigushi.

Tipe kedua dari penyucian adalah misogi, lebih umum dihubungkan kepada kessai, yang berarti penyucian dengan air. Setelah kunjungan Izanagi ke dunia orang mati (Yomi no Kuni), dia mandi di sebuah sungai Ahagihara, Propinsi Huga. Ketika membersihkan mata kirinya, dia melahirkan Amaterasu Omikami (Dewa Matahari). Ketika membersihkan mata kanannya, dia melahirkan Tsukiyomi no Mikoto (Dewa Bulan), dan ketika membersihkan hidung dia melahirkan Susano no Mikoto (Dewa Halilintar). Semua dewa tidak menyukai segala sesuatu yang kotor tetapi suka akan kebersihan, karena kotor berarti buruk, dan bersih berarti baik.

Beberapa kuil Shinto di gunung memiliki fasilitas khusus seperti air terjun untuk misogi ketika kuil-kuil Shinto yang lainnya menggunakan laut terbuka untuk upacara penyucian dalam air garam. Para pendeta dan pemuja-pemuja di pagi sekali sama-sama berdiri dengan hampir telanjang dibawah air terjun yang

(12)

dingin mengalir ke bawah dari gunung, secara ritual menyucikan mereka dan menguatkan untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka dalam kehidupan.

Bentuk yang ketiga adalah imi (avoidance). Ini kontras dengan kedua tipe penyucian yang telah disebutkan, yang mana memerlukan pembersihan dari kekotoran atau kenajisan dengan sebuah tindakan penyucian yang sebenarnya atau secara simbolik. Imi dijalankan khusus oleh pendeta-pendeta Shinto, yang diperintahkan untuk menghindari kontak dengan penyakit, kematian, atau perkabungan sebelum menyelenggarakan upacara keagamaan. Secara tradisional, wanita, karena kemungkinan kecemaran akibat menstruasi atau melahirkan anak, tidak diijinkan memasuki tempat-tempat suci. Setelah tahun 1868, sebagai contoh, wanita diijinkan mendaki gunung Fuji. Di jaman modern, bentuk imi berlanjut dalam sebuah cara yang terkemuka yang berhubungan kepada kematian. Ketika saat berkabung setelah pemakaman disebut imi, karena kekotoran itu sendiri. Seseorang yang baru kehilangan tidak akan menghadiri sebuah perayaan pernikahan. Dari ketiga tipe penyucian, imi sangat dekat hubungannya dengan tahkyul rakyat (Picken, 1980 : 56).

1.4.2 Kerangka Teori

Kerangka teori menurut Koentjaraningrat (1976 : 11) berfungsi sebagai pendorong proses berpikir dedukatif yang bergerak dari alam abstrak ke alam konkret. Suatu teori dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembatasan terhadap fakta-fakta konkret yang tak terbilang banyaknya dalam kenyataan kehidupan masyarakat.

(13)

Untuk melihat Harae sebagai upacara penyucian dalam Shinto, penulis menggunakan konsep yang berhubungan dengan religi. Konsep religi menurut Koentjaraningrat (1974 : 127) yaitu sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.

Penulis juga melakukan penelitian dalam pendekatannya berorientasi pada upacara religi dimana W. Robertson Smith (Marsinambow, 1997 : 256) mengajukan tiga gagasan yakni: (1) disamping sistem keyakinan & doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi / agama yang memerlukan studi dan analisis yang khusus; (2) upacara religi / agama yang biasa dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi / agama yang bersangkutan bersama-sama memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat; (3) fungsi upacara bersaji. Upacara tersebut dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa.

Dari konsep religi menurut Koentjaraningrat dan gagasan W. Robertson Smith tentang upacara religi diatas, membantu penulis meneliti konsep pemikiran yang diyakini agama Shinto kepada pentingnya upacara penyucian (harae). Upacara-upacara penyucian yang dilaksanakan masyarakat Jepang memiliki fungsi dan tujuan supaya terciptanya hubungan harmonis antara kami dengan manusia, serta tindakan atau aktivitas yang dilakukan manusia mendapatkan pertolongan dan berkat dari kami.

Selain itu penulis juga akan menggunakan Teori Semiotika. Menurut Jan van Luxemburg (1992 : 46) : Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda,

(14)

lambang-lambang, dan proses perlambangan. Ilmu tentang semiotik ini menganggap bahwa fenomena sosial ataupun masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Berdasarkan teori semiotik diatas, penulis dapat menginterpretasikan kebudayaan atau kebiasaan masyarakat tersebut ke dalam tanda-tanda. Tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan masyarakat tersebut diinterpretasikan dan kemudian dipilih bagian mana yang akan mencerminkan upacara harae.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui secara jelas harae dilihat dari segi latar belakang mitologinya

2) Untuk mengetahui konsep Shinto mengenai kekotoran dan penyucian 3) Untuk mengetahui sekte-sekte penyucian agama Shinto.

4) Untuk mengetahui berbagai upacara penyucian yang dilakukan di masyarakat Jepang.

1.5.2. Manfaat Penelitian

1) Dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi para pembaca yang tertarik mengetahui tentang topik yang diteliti penulis.

(15)

2) Dapat dipergunakan sebagai referensi oleh penulis lain dalam menulis skripsi yang berhubungan dengan topik seperti yang diteliti oleh penulis.

1.6 Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan Metode Deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976 : 30) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah penelitian yang secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterpretasikan data.

Untuk mendapatkan data tertulis, penulis menggunakan teknik pengumpulan secara studi kepustakaan (Library Research), yakni suatu metode pengumpulan data-data untuk mengungkapkan berbagai teori, pandangan hidup, pemikiran filsafat, dan lain-lain, yang dapat ditemui dalam berbagai peninggalan tertulis, dengan cara membaca buku-buku atau reverensi yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini. Dalam hal ini penulis memanfaatkan Perpustakaan The Japan Foundation dan Konsulat Jenderal Jepang, Perpustakaan Universitas Indonesia, dan Perpustakaan Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Dalam penelitian ini juga, penulis banyak mempergunakan buku-buku berbahasa asing, sehingga mempergunakan Metode Terjemahan Semantis.

(16)

Metode Terjemahan Semantis yaitu metode yang mempertimbangkan unsur estetika teks bahasa sumber dengan menyamakan makna, selama masih dalam batas kewajaran. Selain itu, kata yang bermakna budaya dapat diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah fungsional (Rochayah, 2000 : 52).

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, PARA PIHAK sepakat untuk mengikatkan diri dalam Kesepakatan Bersama tentang Kerja Sama Pengawasan Obat dan Makanan, dengan ketentuan

Dalam penelitian ini digunakan metode Fuzzy Sliding Mode, dimana error dan delta error sebagai masukan pada kontrol Sliding Mode dan sekaligus sebagai masukan

Nama: (Kosong) E-mail: (Kosong) Kata sandi: (Kosong) Sistem akan menolak akses user dan menampilkan “Name, E- mail dan Password field is required.” Sesuai Harapan Valid

Seorang pasien laki laki 40 tahun, menderita hipertensi dan gagal jantung, obat antihipertensi apakah yang dapat digunakan untuk kasus tersebut.. Pada pembutan gel Na-diklofenak,

Pensinyalan Out of band Dalam pensinyalan ini, sinyal suara tidak menggunakan sepenuhnya bandwidth 4kHz dan yang tidak terpakai akan digunakan untuk mengontrol

58 Persentase (%) Tutor Paket B Lulus Pelatihan Pembelajaran Berpusat Pada Peserta Didik yang Kontekstual Berbasis Tik 59 Persentase (%) MTs/PPS Wustha/ Paket B Di Pesantren

Pengelolaan sumber daya air sering berfokus pada pemenuhan kebutuhan air yang meningkat tanpa memperhitungkan secara memadai kebutuhan untuk melindungi kualitas dan

Saringan berfungsi untuk menyaring kotoran dalam sistem agar tidak masuk kedalam pipa kapiler dan kompressor. Kotoran tersebut terdiri dari: logam yang hancur, potongan logam, sisa